2.7. Diagnosis Epistaksis
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior biasanya akibat
mengorek hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi. Sedangkan dari bagian posterior atau biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis,
fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan darah dan periksa faktor pembekuan darah. Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan tambahan foto
tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-scan. Anamnesis yang penting ditanyakan antara lainAdam et al., 1997 :
Riwayat perdarahan sebelumnya Lokasi perdarahan
Apakah ada darah mengalir kedalam tenggorokan atau keluar dari hidung bila pasien duduk tegak?
Lama perdarahan dan frekuensinya Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
Hipertensi Diabetes mellitus
Penyakit hati Penggunaan antikoagulan
Trauma hidung yang belum lama
2.8. Penatalaksanaan Epistaksis
Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan, dan cari faktor penyebab untuk mencegah
berulangnya perdarahan. Farmakoterapi hanya sebagai terapi pendukung pada pasien epistaksis. Bila pasien datang dengan epistaksis, periksa keadaan umumnya, nadi,
pernafasan, serta tekanan darah. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang infus.
Universitas Sumatera Utara
Pada epistaksis anterior yang tidak berhenti sendiri, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, cara ini seringkali berhasil.
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, dapat dikauterisasi dengan larutan Nitrat Argenti AgNO
3
25-30. Bila perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon
anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini berfungsi agar tampon mudah dimasukkan dan
tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal
perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi. Bila perdarahan belum berhenti, dapat dipasang tampon baru.
Pasien juga harus diberikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi akibat pemasangan tamponIskandar, 2006.
Gambar 2.9. Tampon Anterior Frazee Hauser, 2000 Epistaksis posterior lebih sulit diatasi karena biasanya perdarahan hebat dan
sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Dapat dilakukan
Universitas Sumatera Utara
pemasangan tampon posterior atau yang disebut tampon Bellocg. Tampon ini terbuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini
terikat 3 buah benang, 2 di satu sisi dan 1 di sisi yang lain. Sebagai pengganti tampon
Bellocg, dapat digunakan kateter Folley dengan balon.
Gambar 2.10. Tampon Posterior Durr, 2004 Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan
meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan
yang tepat pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke mukosa hidung :
a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal arteri tiroid superior untuk
melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anastesi lokal. Dibuat
insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir anterior muskulus sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma
dielevasi, muskulus sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan
Universitas Sumatera Utara
diseksi diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian arteri karotis eksterna dipisahkan.
Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah arteri faringeal asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau
nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasidengan benang 30 silk atau linen. b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anastesi lokal atau umum,
lalu dilakukan insisi Caldwell – Luc dan buat lubang pada fosa kanina.
Setelah dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari
bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah terbentuk jendela window pada tulang, lakukan insisi pada periostium
posterior. Dengan operatin microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak
dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan bipolarelectrocauter dan
nervehook. Setelah arteri maksila interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya.
Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi antibiotik selama 24 jam.
c. Ligasi Arteri Etmoidalis Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik
diterapi dengan ligasi arteri etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen
etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista
lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm.sebelah anterior nervus optikus. Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk
Universitas Sumatera Utara
mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah
posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal.Dua klem arteri diletakkan pada arteri etmoidalis anterior, dan rongga hidung
dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, arteri etmoidalis posterior jangan diganggu untuk menghindari trauma nervus optikus. Tetapi bila
perdarahan persisten, arteri etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem.
2.9.Komplikasi Epistaksis
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksis itu sendiri atau sebagai akibat dari upaya penanggulangan epistaksis yang dilakukan. Perdarahan yang hebat
dapat menyebabkan aspirasi darah kedalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara
mendadak dapat menyebabkan hipoksia, edema serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematianIskandar, 2006.
Pemasangan tampon anterior dapat menyebabkan rino-sinusitis, bloodytears akibat darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis, dan
septikemia atau toxic shock syndrome. Pemasangan tampon posterior dapat menyebabkan otitis media, hemotimpanum akibat darah mengalir melalui tuba
Eustachius, dan laserasi palatum mole atau sudut bibir jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan di pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh di
pompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum. Pada pasien yang di pasang tampon harus selalu diberikan antibiotik dan
setelah 2-3 hari, tampon harus di cabut. Bila perdarahan masih berlanjut, pasang tampon baru.
Universitas Sumatera Utara
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Epistaksis merupakan kondisi kegawatdaruratan yang umum ditemukan di bagian Telinga Hidung Tenggorokan. Epistaksis merupakan kondisi klinis yang dapat
terjadi pada semua umur dengan berbagai penyebab. Epistaksis bisa disebabkan karena kelainan lokal maupun sistemik. Kelainan
lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, benda asing, tumor, dan pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskular, kelainan darah,
infeksi sistemik, kelainan hormonal, kelainan kongenital, dan perubahan tekanan atmosfir Mangunkusumo Wardhani, 2007.
Epistaksis merupakan masalah medis umum, dimana sekitar 60 penduduk akan mengalami setidaknya satu kali episode epistaksis seumur hidup dan hanya
sekitar 6 dari penderita epistaksis yang mencari bantuan medis. Epistaksis bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu tanda atau gejala. Kebanyakan ringan dan dapat
berhenti sendiri tanpa bantuan medis. Epistaksis biasanya terjadi spontan dengan perdarahan yang sedikit, mungkin juga banyak, sehingga pederita ketakutan dan
merasa perlu menemui dokter untuk mendapatkan bantuan medis. Prevalensi epistaksis tidak banyak diketahui oleh karena episode epistaksis
dapat berhenti sendiri sehingga tidak banyak orang yang melaporkan kejadian ini ke rumah sakit ataupun pelayanan kesehatan yang lainnya.
Menurut Nash Simon 2008, prevalensi epistaksis pada pria dan wanita umumnya sama, dan distribusi umur penderita epistaksis biasanya terjadi pada usia
Universitas Sumatera Utara
20 tahun dan 40 tahun. Menurut Nguyen 2011, epistaksis kebanyakan terjadi pada laki-laki 58 dibandingkan dengan perempuan 42.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Etnic Comitte of Hospital Clinicals, Faculty of Medicine in Brazil, tercatat 40 pasien yang di diagnosis epistaksis, 23
pasien perempuan 67,5 dan 13 pasien laki-laki 32,5. Usia berkisar 4-78 tahun, tetapi rata-rata terjadi pada usia 20-40 tahun dan usia anak SD.
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan dari hidung, yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Pada epistaksis anterior, perdarahan terjadi pada
pleksus Kiesselbach, biasanya perdarahan dapat berhenti spontan dan mudah diatasi. Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri
etmoidalis posterior, perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti sendiri. Epistaksis anterior lebih sering dijumpai pada anak-anak, sedangkan
epistaksis posterior lebih sering dijumpai pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi, arteriosklerosis, atau penyakit kardiovaskular lainnya.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
Bagaimana karakteristik pasien epistaksis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum