Dari survei pendahuluan yang peneliti lakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan, peneliti mendapatkan informasi bahwa jumlah angka kejadian abortus pada periode
Januari 2010-Desember 2011 adalah 142 orang. Dari latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan Usia dan Paritas Ibu
dengan Kejadian Abortus di RSUD Dr.Pirngadi Medan”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka perumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah hubungan usia ibu dan paritas ibu dengan kejadian abortus di
RSUD Dr. Pirngadi Medan Periode Januari 2010-Desember 2011 ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan usia ibu dan paritas ibu dengan kejadian abortus yang dirawat di RSUD Dr Pirngadi Medan Periode Januari 2010-
Desember 2011.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui usia ibu hamil normal dan ibu abortus yang dirawat di RSUD Dr Pirngadi Medan Periode Januari 2010-Desember 2011.
b. Untuk mengetahui paritas ibu hamil normal dan ibu abortus yang dirawat di RSUD Dr Pirngadi Medan Periode Januari 2010-Desember 2011
c. Untuk mengetahui hubungan usia ibu dengan kejadian abortus yang dirawat di RSUD Dr Pirngadi Medan Periode Januari 2010-Desember
2011. d. Untuk mengetahui hubungan paritas ibu dengan kejadian abortus yang
dirawat di RSUD Dr Pirngadi Medan Periode Januari 2010-Desember 2011.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat antara lain bagi : 1. Bagi Instansi Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan dan informasi tentang faktor risiko kejadian abortus yaitu usia dan paritas, sehingga dapat bekerja sama dengan pemerintah atau
pihak terkait lainnya dalam upaya pencegahan abortus dengan meningkatkan penerapan standar pelayanan kebidanan.
2. Bagi Institusi Pendidikan Sebagai bahan masukan bagi kepustakaan Fakultas Keperawatan USU serta
dapat menjadikan sumber informasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan penelitian ini.
3. Bagi Peneliti Menambah pengalaman bagi peneliti dalam mengaplikasikan ilmu yang
telah didapat selama pendidikan di D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan USU khususnya ilmu metodologi penelitian, asuhan kebidanan dan Obstetri
Gynecology.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Abortus
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi pertemuan sel telur dan sel sperma pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang
dari 500 gram, sebelum janin dapat hidup diluar kandungan Nugroho, 2011. Di Amerika Serikat, defenisi abortus terbatas pada terminasi kehamilan
sebelum 20 minggu, didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal terakhir. Defenisi lain yang sering digunakan adalah pelahiran janin-neonatus yang beratnya
kurang dari 500 gram Leveno, Cuningham, Gant, Alexander, Bloom, Casey, Dashe, Shefield Yost, 2009.
B. Etiologi dan Faktor Resiko Abortus
1. Etiologi
Harlap dan Shiono 1980, dalam Cuningham, dkk, 2006 mengatakan bahwa lebih dari 80 persen abortus terjadi pada 12 minggu pertama, dan setelah
itu angka ini cepat menurun. Risiko abortus spontan meningkat seiring dengan paritas dan usia ibu. Frekuensi abortus yang secara klinis terdeteksi meningkat
dari 12 persen pada wanita berusia kurang dari 20 tahun menjadi 26 persen pada mereka yang usianya lebih dari 40 tahun .
Menurut Maryunani dan Yulianingsih 2009, Abortus dapat disebabkan antara lain sebagai berikut :
a. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi b. Kelainan kromosom : trisomi 18 atau trisomi 21, poliploidi 50-60
Universitas Sumatera Utara
c. Lingkungan endometrium kurang sempurna sehingga suplai zat makanan terganggu
d. Pengaruh teratogenik : radiasi, virus, obat-obatan e. Kelainan plasenta oksigenasi, plasenta terganggu, gangguan pertumbuhan
janin, kematian f. Penyakit Ibu :Pneumonia akut, thypus abdominalis. Kronis : Toksoplasmosis,
gangguan endokrin, malnutrisi, keracunan obat, pengaruh toksin, gangguan hormonal yang tidak terkendali, misalnya diabetes mellitus, tirotoksikosis,
defisiensi korpus luteum, hipotiroid, kelainan anatomi alat reproduksi : kista ovarium, mioma uteri, faktor psikologis dan stress emosional Maryunani
Yulianingsih, 2009.
2. Faktor Resiko
Faktor resiko adalah keadaan ibu baik berupa faktor biologis maupun non biologis yang biasanya sudah dimiliki ibu sejak sebelum hamil dan dalam
kehamilan mungkin memudahkan timbulnya gangguan lain Depkes, 2006. Beberapa faktor resiko diduga merupakan faktor resiko dari kejadian
abortus yaitu Cunningham et al 2006, Prawirohardjo, 2010. 1 Usia Ibu
Usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun merupakan usia resiko untuk hamil dan melahirkan. Wanita hamil kurang dari 20 tahun dapat merugikan
kesehatan ibu maupun pertumbuhan dan perkembangan janin karena belum matangnya alat reproduksi untuk hamil. Penyulit pada kehamilan remaja 20
tahun lebih tinggi dibandingkan kurun waktu reproduksi sehat antara 20-35 tahun. Keadaan tersebut akan makin menyulitkan bila ditambah dengan
Universitas Sumatera Utara
tekanan stress psikologis, sosial, ekonomi, sehingga memudahkan terjadinya abortus Manuaba,1998.
Menurut Catanzarite 1999, health categories, 2009, ¶ 3 usia 30 tahun sering kali mengalami kondisi kesehatan yang kronik resiko tinggi. Tentu
saja hal itu akan sangat berpengaruh jika wanita tersebut hamil. Menurut Samsulhadi 2003, health categories, 2009, ¶ 4 semakin lanjut
umur wanita, semakin tipis cadangan telur yang ada, indung telur juga semakin kurang peka terhadap rangsangan gonadotropin. Makin lanjut usia wanita,
maka resiko terjadi abortus makin meningkat karena menurunnya kualitas sel telur atau ovum dan meningkatnya resiko kejadian kelainan kromosom.
Menurut Dr.Nyol 2008, health categories, 2009, ¶ 9 semakin tua umur ibu berpengaruh terhadap fungsi ovarium, dimana sel telur yang berkualitas
akan semakin sedikit, yang berakibat abnormalitas kromosom hasil konsepsi yang selanjutnya akan sulit berkembang.
Resiko terjadinya abortus spontan meningkat bersamaan dengan peningkatan jumlah paritas, usia ibu, jarak persalinan dengan kehamilan
berikutnya. Abortus meningkat sebesar 12 pada wanita usia kurang dari 20 tahun dan meningkat sebesar 26 pada usia lebih dari 40 tahun. Insiden
terjadinya abortus meningkat jika jarak persalinan dengan kehamilan berikutnya 3 bulan Cunningham et al, 2006.
Menurut Prawirohardjo 2010 risiko ibu terkena aneoploidi adalah 1:80, pada usia di atas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosomtrisomi
akan meningkat setelah usia 35 tahun. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyati 2003, dalam Firman 2011
di Lima Rumah Sakit di Jakarta mendapatkan bahwa terdapat hubungan
Universitas Sumatera Utara
bermakna p=0,004 antara usia ibu dengan kejadian abortus serta ibu dengan kelompok usia 20 dan 35 tahun memiliki resiko 1,9 kali lebih besar
dibanding kelompok usia 20-35 tahun. Penelitian lainnya oleh Nurjaya, Muliaty dan Saniah 2006 di RSIA Siti
Fatimah Makassar tahun 2006 menyatakan bahwa ibu hamil dengan usia 20 tahun dan 35 tahun mempunyai resiko abortus 3,808 kali lebih besar
dibanding ibu hamil dengan usia 20-35 tahun, dan terdapat hubungan bermakna usia terhadap kejadian abortus
2 Paritas Ibu Menurut Wikjasastro 1999, dalam Taharuddin, 2012, ¶ 6 setiap
kehamilan yang disusul dengan persalinan akan menyebabkan kelainan- kelainan pada uterus, dalam hal ini kehamilan yang berulang-ulang
menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah dinding uterus yang mempengaruhi sirkulasi nutrisi kejanin dimana jumlah nutrisi akan semakin
berkurang dibanding kehamilan sebelumnya. Menurut Prawirohardjo 1999, dalam Taharuddin, 2012, ¶ 8 paritas 1
dan paritas 3 memiliki kompilikasi persalinan. Kehamilan yang berulang paritas tinggi akan membuat uterus menjadi renggang, sehingga dapat
menyebabkan kelainan letak janin dan plasenta yang akhirnya akan berpengaruh buruk pada kesehatan janin dan pada proses persalinan. Hal–hal
tersebut dapat menimbulkan komplikasi yang dapat menjadi penyulit dalam persalinan dan menjadi indikasi dilakukannya operasi caesar. Paritas 2 –3
merupakan paritas paling aman di tinjau dari sudut kesehatan dan kematian maternal, tetapi ini akan berkurang tingkat keamanannya apabila persalinan
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya telah melalui bedah caesar sehingga masih perlu untuk tetap memperhatikan kondisi kesehatan ibu selama kehamilan dan saat persalinan.
Menurut Mulyati 2003, dalam Firman, 2011 semakin banyak jumlah kelahiran yang dialami seorang ibu semakin tinggi resikonya untuk mengalami
komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas. Persalinan kedua dan ketiga merupakan persalinan yang aman, sedangkan risiko terjadinya komplikasi
meningkat pada kehamilan, persalinan, dan nifas setelah yang ketiga dan seterusnya. Demikian juga dengan paritas 0 dan lebih dari 4 merupakan
kehamilan risiko tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyati 2003, dalam firman 2011
di Lima Rumah Sakit di Jakarta mendapatkan ibu hamil yang paritasnya 1 dan 3 mempunyai resiko abortus 1,2 kali dibanding ibu hamil yang paritasnya
1-3 kali, tetapi secara statistik tidak bermakna p=0,447. Hasil penelitian lainnya oleh Nurjaya, et al. 2006 di RSIA Siti Fatimah
Makassar menyatakan bahwa ibu hamil yang paritasnya 3 mempunyai resiko abortus 5,534 kali lebih besar dibanding ibu hamil yang paritasnya 3 kali, dan
terdapat hubungan bermakna paritas terhadap kejadian abortus.
C. Patofisiologi
Kebanyakan abortus spontan terjadi setelah kematian janin yang kemudian diikuti dengan perdarahan ke dalam desidua basalis, lalu terjadi perubahan-
perubahan nekrotik pada daerah implantasi, infiltrasi sel-sel peradangan akut, dan akhirnya perdarahan per vaginam. Hasil konsepsi terlepas seluruhnya atau sebagian
yang diinterpretasikan sebagai benda asing dalam rongga rahim. Hal ini menyebabkan kontraksi uterus dimulai, dan segera setelah itu terjadi perdorongan
benda asing itu keluar rahim ekspulsi. Perlu ditekankan bahwa pada abortus
Universitas Sumatera Utara
spontan, kematian embrio biasanya terjadi paling lama 2 minggu sebelum perdarahan. Oleh karena itu, pengobatan untuk mempertahankan janin tidak layak
dilakukan jika telah terjadi perdarahan banyak karena abortus tidak dapat dihindari. Sebelum minggu ke-10, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan dengan lengkap.
Hal ini disebabkan sebelum minggu ke-10 vili korialis belum menanamkan diri dengan erat ke dalam desidua hingga telur mudah terlepas keseluruhannya. Antara
minggu ke-10-12 korion tumbuh dengan cepat dan hubungan vili korialis dengan desidua makin erat hingga mulai saat tersebut sering sisa-sisa korion plasenta
tertinggal kalau terjadi abortus. Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk, ada
kalanya kantung amnion kosong atau tampak didalamnya benda kecil tanpa bentuk yang jelas blighted ovum, mungkin pula janin telah mati lama missed aborted.
Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses modifikasi janin mengering dank arena cairan amnion menjadi kurang oleh karena
diserap Maryunani Yulianingsih, 2009
D. Klasifikasi Abortus