2.  Pembahasan
2.1 Pemberian ASI Pembahasan  terkait  pemberian  ASI  meliputi  waktu  pemberian  ASI  dan
lamanya bayi mendapatkan ASI. 2.1.1 Waktu Pemberian ASI
Pemberian  ASI  seharusnya  dilakukan  segera  setelah  bayi  baru  lahir  atau 30 menit setelah kelahiran Newman  Pitman, 2008. Namun hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa 58,1 memberikan ASI mereka beberapa jam setelah lahir. Hal yang sama berdasarkan penelitian Amalia  Yovsyah 2009 di Rumah Sakit
Umum  Daerah  Kabupaten  Cianjur  juga  mengatakan  68  ibu  yang  bersalin  di rumah  sakit  tersebut  tidak  memberikan  ASI  kepada  bayi  mereka  segera  setelah
lahir. Padahal ibu yang dapat memberikan ASI kurang dari atau sama dengan 30 menit  setelah  lahir  akan  memiliki  peluang  2  sampai  8  kali  lebih  besar  akan
keberhasilan memberikan ASI eksklusif Fikawati  Syafiq, 2003. Roesli 2008 mengungkapkan  bayi  yang  disusui  segera  lahir  mencapai  69  akan  bertahan
menyusu sampai tiga bulan, dibanding bayi yang disusui enam jam setelah  lahir yang  hanya  mencapai  47.  Keberlangsungan  pemberian  ASI  Eksklusif  akan
berpengaruh  dalam  pemenuhan  kebutuhan  bayi  hingga  usia  dua  tahun  dan mencegah anak kurang gizi.
Kegagalan pemberian ASI segera setelah lahir ini wajar terjadi, karena dari hasil  penelitian  bahwa  59,7  responden  menjawab  saat  melahirkan  petugas
kesehatan  tidak  melakukan  inisiasi  menyusu  dini.Inisiasi  menyusu  dini  adalah kegiatan membiarkan bayi berusaha menyusu sendiri dengan meletakkan bayi di
Universitas Sumatera Utara
atas  dada  ibunya  dan  bayi  mencari  sendiri  puting  ibunya  untuk  segera  menyusu Roesli,  2008.  Hasil  yang  sama  didapat  dari  penelitian  yang  dilakukan  oleh
Suriani 2011 di klinik-klinik bersalin di Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh  Barat  mengatakan  dari  400  orang  ibu  yang  melahirkan  di  klinik  bersalin
hanya  30  ibu  yang  mendapatkan  pelaksanaan  IMD.Penelitian  yang  dilakukan Ginandjar dan Saraswati 2012 di Kabupaten Brebes juga memberikan hasil yang
memprihatinkan.  Dari  210  orang  ibu  bersalin,  hanya  12,4  yang  melakukan praktik  inisiasi  menyusu  dini.  Hal  ini  menunjukkan  bahwa  perilaku  penolong
persalinan  sangat  berpengaruh  besar  akan  keberhasilan  pemberian  ASI  segera setelah lahir Amalia  Yovsyah, 2009.
Jadwal pemberian ASI berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu memberi ASI sesuai dengan keinginan bayi 41,9, dengan interval waktu
setiap  2-3  jam  sekali  67,7.  Hasil  yang  sama  juga  didapatkan  oleh  Sitinjak 2013 bahwa 76,6 responden memberikan ASI sesuai dengan keinginan bayi
dengan  interval  waktu  setiap  3  jam  sekali.  Durasi  waktu  pemberian  ASI  dari hasil penelitian menunjukkan 74,2 responden menyusui bayinya sekitar 10-15
menit setiap kali menyusui. Demikian juga hasil penelitian oleh Sitinjak 2013 menunjukkan  86  responden  menyusui  bayinya  sekitar  5-15  menit  setiap  kali
menyusui. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori, bahwa bayi  yang sehat akan dapat  mengosongkan  satu  payudara  sekitar  5-7  menit  dan  ASI  dalam  lambung
akan  kosong  dalam  waktu  2  jam  Kristayanasari,  2009.  Hal  ini  juga  sesuai dengan  yang  dikatakan  Walshaw  2005  bahwa  para  ibu  yang  menyusui
disarankan  memberikan  ASI  kepada  bayi  maksimum  10  menit  setiap  tiga  jam,
Universitas Sumatera Utara
kemudian  ibu  dapat  memberikan  ASI  kedua  apabila  bayi  masih  menunjukkan rasa  lapar.    Pemberian  ASI  yang  melebihi  maksimum  10  menit  ternyata  juga
tidak  baik.  Penelitian  dari  Walshaw  2005  mengatakan  bahwa  menyusui  lebih dari  10  menit  ternyata  membuat  penambahan  berat  badan  yang  kurang  baik.
Pemberian  ASI  yang  terlalu  lama  dapat  mengganggu  sistem  tubuh  ibu  dalam memproduksi  ASI.  Ibu  memerlukan  hormon  oksitosin  yang  berfungsi  memacu
sejenis ketenangan atau refleks, yang menyebabkan air susu beredar dari sel-sel payudara  melalui  pembuluh  hingga  puting  payudara.  Jika  bayi  tetap  menyusui
dalam waktu lama, produksi oksitosin akan terhambat. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ASI pada bayi
dikatakan  tidak  baik  karena  tidak  memberikan  ASI  segera  lahir,  dan  dikatakan baik karena memberikan ASI sesuai dengan keinginan bayi.
2.1.2 Lamanya Bayi Mendapatkan ASI Hasil  penelitian  ini  menunjukkan  bahwa  mayoritas  bayi  45,2
mendapat ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. Hal ini sesuai dengan rekomendasi dari  American  Academic  of  Pediatric  AAP  agar  memberikan  ASI  Eksklusif
sampai bayi berusia 6 bulan Constance, 2010. Pemberian ASI eksklusf sampai usia  6  bulan  akan  semakin  meningkatkan  manfaat  ASI  tersebut.  Penelitian
Nurmiati  dan  Besral  2008  tentang  durasi  pemberian  ASI  dengan  ketahanan hidup  bayi  di  Indonesia  mengatakan  pemberian  ASI  dengan  durasi  4-5  bulan
dapat  meningkatkan  ketahanan  hidup  bayi  2,6  kali  lebih  baik  daripada  durasi kurang  dari  4  bulan,  pemberian  ASI  dengan  durasi  6  bulan  atau  lebih  dapat
meningkatkan ketahanan hidup bayi 33,3 kali lebih baik daripada durasi kurang
Universitas Sumatera Utara
dari 4 bulan. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa anak-anak yang semasa bayi mendapatkan  ASI  eksklusif  umumnya  lebih  cerdas  dan  memiliki  daya  tahan
tubuh  yang  lebih  kuat  Roesli,  2000.  Penelitian  ini  berbeda  dengan  hasil penelitian  Susilaningsih  2013  di  wilayah  Puskesmas  Samigaluh  II,    bahwa
cakupan pemberian ASI bayi usia 4-6 bulan masih mencapai 23. Hasil  penelitian  ini  juga  bertentangan  dengan  hasil  penelitian  dari
Fikawati    Syafiq  2003  yang  mengatakan  bahwa  keberhasilan  pelaksanaan pemberian ASI ekslusif dipengaruhi dengan pemberian ASI segera setelah lahir.
Seperti  yang  sudah  dijelaskan  sebelumnya  bahwa  mayoritas  responden memberikan  ASI  mereka  beberapa  jam  setelah  lahir,  namun  mayoritas
responden  berhasil  melaksanaan  pemberian  ASI  ekslusif.  Bahkan  hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan pelaksanaan inisiasi menyusui dini
juga masih rendah. Berdasarkan  hasil  penelitian,  pemberian  susu  formula  mayoritas
diberikan  ibu  kepada  bayinya  pada  usia  5-6  bulan  51,6.  Demikian  juga dengan  pemberian  makanan  pendamping  ASI  seperti  bubur  atau  pisang,
mayoritas  diberikan  pada  usia  5-6  bulan  45,2.  Hal  ini  sejalan  dengan pendapat  Prasyetono  2012  yang  mengatakan  bahwa  pemberian  makanan
tambahan  pada  bayi  sebaiknya  dilakukan  setelah  bayi  berusia  6  bulan,  karena apabila bayi sudah diberikan makanan tambahan sebelum sistem pencernaannya
sempurna,  maka  akan  mengganggu  sistem  pencernaan  bayi  tersebut.  Markum 2002 juga mempertegas bahwa peran ASI yang dapat membantu meningkatkan
daya tahan tubuh bayi dan merangsang peningkatan status imun pada bayi belum
Universitas Sumatera Utara
mampu  digantikan  oleh  susu  formula.  Hal  ini  bertentangan  dengan  penelitian Sitinjak 2013 bahwa 75,6 responden sudah memberikan makanan tambahan
pada bayinya dibawah usia 6 bulan. Pemberian  ASI  sebaiknya  diberikan  sampai  usia  2  tahun  pertama
kehidupan karena ASI mengandung zat gizi yang paling sesuai dengan kebutuhan bayi yang sedang dalam percepatan tumbuh kembang Sekartini, 2011. Demikian
dengan  penelitian  Sitinjak  2013  bahwa  53,1  responden  memberikan  ASI mereka sampai usia 2 tahun. WHO dan UNICEF 1990 juga menyarankan untuk
tetap  memberikan  ASI  sampai  usia  2  tahun  atau  bahkan  lebih.  Namun, berdasarkan  hasil  penelitian,  mayoritas  responden  46,8  memberikan  ASI
kepada bayi hanya sampai usia 12-17 bulan, dan hanya 43,5 yang memberikan ASI sampai usia 18-24 bulan.
Dari  hasil  penelitian  dapat  disimpulkan  bahwa  lama  pemberian  ASI dikatakan  baik  karena  bayi  mendapat  ASI  eksklusif  sampai  usia  6  bulan  dan
dikatakan tidak baik karena tidak memberi ASI sampai usia 2 tahun. 2.2 Manajemen Laktasi
Dalam  pembahasan  tentang  hasil  penelitian  manajemen  laktasi  akan dijabarkan bagaimana manajemen laktasi  yang dilakukan ibu di PTPN IV Kebun
Bah  Butong.  Dari  hasil  penelitian,  menunjukkan  bahwa  mayoritas  responden sebanyak  36  orang  58,1  selama  masa  kehamilan  pernah  memeriksakan
payudara  mereka.  Berbeda  dengan  hasil  penelitian  yang  dilakukan  oleh Rahmadani,  dkk  2012  bahwa  hanya  48,7  responden  yang  memeriksakan
payudara mereka selama hamil.Pemeriksaan ini penting dilakukan dengan tujuan
Universitas Sumatera Utara
agar memelihara kebersihan payudara, melenturkan dan menguatkan puting susu, mengetahui  ada  tidaknya  benjolan  pada  puting  susu  serta  mempersiapkan
produksi ASI Huliana, 2003. Selama  menyusui,  37  responden  59,7  mengatakan  tidak  pernah
melakukan  konseling  dengan  petugas  kesehatan  mengenai  masalah  menyusui mereka, karena 46 responden 74,2 tidak  pernah mengalami masalah payudara
saat  menyusui  seperti  bengkak  dan  lecet,  dan  41  orang  66,1  responden  tidak mengalami  kesulitan  dengan  bayi  mereka  selama  menyusui.  Asumsi  peneliti,
responden  hanya  melakukan  konseling  saat  mereka  mengalami  masalah  atau kesulitan  saat  menyusui.  Walaupun  mayoritas  responden  tidak  mengalami
kesulitan  selama  menyusui,  namun  pelaksanaan  konseling  dengan  petugas kesehatan  penting  dilakukan  oleh  ibu  untuk  meningkatkan  pengetahuan  ibu.
Konseling  yang  dilakukan  secara  intens  akan  mempengaruhi  peningkatan pengetahuan  ibu.  Pengulangan  informasi  yang  dilakukan  selama  konseling  dapat
menjadi  faktor  pendukung  dalam  pemahaman  ibu  terhadap  informasi  mengenai masalah menyusui Ambarwati, dkk., 2013.
Menurut  Roesli  2000,  ASI  yang  keluar  secara  berlebihan  harus dikeluarkan  sebelum  menyusui,  karena  jika  tidak  akan  menyebabkan  bayi
tersedak  dan  enggan  menyusui.  Namun  dari  hasil  penelitian,  mayoritas responden  yaitu  35  responden  56,5  tidak  memerah  ASI  mereka  saat  terasa
penuh.Penelitian yang sama didapat oleh Putri 2013 di Puskesmas Mandiangin kota  Bukit  Tinggi  76,7  responden  tidak  melaksanakan  ASI  perah.  Hal  yang
menarik  adalah  keseluruhan  responden  yang  memerah  ASI  menyimpan  ASI
Universitas Sumatera Utara
tersebut  di  lemari  pendingin  freezer.  ASI  dapat  disimpan  di  dalam  lemari  es selama 3 hari sedangkan dalam freezer, ASI beku dapat bertahan selama 3 bulan.
ASI  perah  yang  disimpan  ini  tidak  mengalami    perubahan    kualitas,    hanya warna  dan  bentuknya  saja  yang mungkin  berubah Handayani, 2010.
Ketika akan diberikan kepada bayi, ASI perah harus dihangatkan terlebih dahulu.  Penghangatan  ASI  perah  dapat  dilakukan  dengan  menyiram  botol  ASI
dengan  kran  air  hangat    atau    merendam    botol    berisi  ASI    dalam    mangkuk yang  berisi  air hangat Handayani, 2010. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
yaitu  20  responden  74  menjawab  menghangatkan  ASI  yang  disimpan  di kulkas dengan direndam dalam rendaman air hangat. Untuk cara pemberian ASI
perah  sebaiknya  tidak  menggunakan  dot,  tetapi  menyuapinya  dengan menggunakan sendok. Ini dilakukan agar bayi tidak mengalami sindrom bingung
puting,  karena  menyusu  dengan  dot  lebih  mudah  mengeluarkan  susu  daripada menyusu  dari  payudara  ibu  Boedihartono,  2002.  Pendapat  ini  tidak  sesuai
dengan  hasil  penelitian  bahwa  mayoritas  responden  62,9  masih menggunakan  dot  saat  memberikan  ASI  perah  kepada  bayi  mereka.  Hanya
25,9 yang memberikan ASI perah menggunakan sendok, dan sisanya 11,2 menggunakan cangkir kecil.
Kesibukan  ibu  bekerja  selama  menyusui,  tentu  mengganggu  keberhasilan pemberian ASI eksklusif kepada bayi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari
30  responden  yang  bekerja,  29  responden  tetap  bekerja  sejak  bayi  lahir  sampai bayi  berusia  2  tahun.  Namun  demikian  ada  alternatif  cara  yang  dapat  dilakukan
yaitu  pemberian  ASI  sebelum  ibu  berangkat  kerja  dan  pemberian  ASI  perah.
Universitas Sumatera Utara
Danuatmaja  2003  juga  menganjurkan  kepada  ibu  yang  bekerja  untuk memberikan ASI sebelum berangkat kerja agar kebutuhan nutrisi bayi terpenuhi.
Pemberian ASI sebelum ibu berangkat kerja sesuai dengan hasil penelitian, yaitu mayoritas responden 89,6 memberikan ASI  mereka sebelum berangkat  kerja.
Penelitian  yang  dilakukan  Sitinjak  2013  juga  mengatakan  95,3  memberikan ASI sebelum ibu berangkat kerja. Hanya saja, kebanyakan dari responden 51,7
tidak memberikan ASI perah kepada bayi mereka saat ibu bekerja. Kebijakan  dari  pemerintah  atau  perusahaan  tempat  para  ibu  bekerja  juga
berperan  penting  dalam  keberhasilan  pemberian  ASI  eksklusif.  WHO  2014 menyarankan agar perusahaan yang mempekerjakan wanita dalam perusahaannya
membuat  sebuah  kebijakan  untuk  mereka  seperti  memberi  waktu  cuti  hamil, pengaturan  kerja  paruh  waktu  serta  fasilitas  ruangan  tempat  ibu  memerah  ASI.
Keberhasilan  mayoritas  responden  memberikan  ASI  eksklusif  mungkin dipengaruhi  oleh  hasil  penelitian  bahwa  68,9  responden  diberi  waktu  oleh
perusahaan  tempat  mereka  bekerja  untuk  kembali  kerumah  menyusui  bayi mereka.Hasil penelitian yang sama oleh Danso 2014 tentang praktik pemberian
ASI eksklusif oleh ibu pekerja di Ghana mengatakan 51 responden kembali ke rumah untuk menyusui bayi mereka pada saat jam istirahat kerja.
Keberhasilan  pemberian  ASI  ekslusif  pada  ibu  bekerja  juga  dapat dilakukan dengan memerah ASI mereka di tempat kerja dan membawanya pulang
untuk  diberikan  kepada  bayi  mereka.  Selainbayi  tetap  memperoleh  ASI  saat ibunya  bekerja,  memerah  ASI  juga  dapat  menghilangkan  bendungan  ASI,
menghilangkan  rembesan  ASI,  juga  menjaga  kelangsungan  persediaan  ASI  saat
Universitas Sumatera Utara
ibu  sakit  atau  bayi  sakit  Roesli,  2005.  Pendapat  ini  tidak  sesuai  dengan  hasil penelitian  bahwa  79,3  responden  tidak  memerah  ASI  mereka  di  tempat  kerja.
Asumsi  peneliti,  hal  ini  mungkin  disebabkan  oleh  tidak  adanya  fasilitas  tempat untuk ibu memerah ASI di tempat kerja mereka.
Dari  hasil  penelitian  dapat  disimpulkan  bahwa  pelaksanaan  manajemen laktasi  pada  masa  kehamilan  dikatakan  baik  karena  mayoritas  responden
memeriksakan  payudara  mereka  saat  hamil,  tidak  baik  pada  saat  segera  setelah lahir karena petugas kesehatan tidak melakukan inisiasi menyusu dini, dan untuk
pasca  melahirkan  juga  dikatakan  tidak  baik  karena  mereka  tidak  melakukan konseling  dengan  petugas  kesehatan,  tidak  melakukan  perawatan  payudara  serta
tidak memerah ASI mereka saat terasa penuh. 3.  Keterbatasan Peneliti
Peneliti  tidak  mengidentifikasi  kelompok  bayi  usia  berapa  pola  pemberian ASI berjalan dengan baik, misalnya apakah bayi masih tetap mendapat ASI setiap
kali  bayi  menginginkan  pada  usia  di  atas  6  bulan,  yang  seharusnya  pada  usia tersebut bayi harus sudah diberi makanan tambahan.
Universitas Sumatera Utara
62
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN