Karakteristik Sosiodemografi Penilaian Antropometri

Kota Surabaya Duaratus sebelas lansia telah diukur dan diwawancarai di Kecamatan Sawahan, Bubutan, dan Simokerto. Sedangkan 6 kelurahan terpilih di Kota Surabaya yang menjadi tempat penelitian adalah: Kupangkrajan, Banyu Urip, Gundih, Tembok Dukuh, Simokerto, dan Tambakrejo. Kabupaten Magetan Sebanyak 81 lansia telah diukur dan diwawancarai di Kecamatan Barat, Plaosan, dan Magetan. Enam desa terpilih di Kabupaten Magetan yang menjadi lokasi penelitian adalah: Desa Rejomulyo, Purwodadi, Plaosan, Pacalan, Tawang Anom, dan Kepolorejo.

I. Karakteristik Sosiodemografi

Tabel 8 menggambarkan karakteristik sosio-demografi meliputi: wilayah kota dan desa, jenis kelamin, kelompok usia, pendidikan akhir, dan status pekerjaan usia 25 dan 55 tahun. a. Wilayah Dari 812 lansia yang berhasil diukur antropometrinya dan diwawancarai, mayoritas berasal dari Surabaya 26,8 yang mewakili wilayah kota dan Wonogiri mewakili wilayah desa 18,5. Menurut FAO 1994, beberapa indikator yang digunakan dalam membedakan wilayah desa dan kota adalah: rural desa memiliki kepadatan penduduk kurang dari 150 jiwakm 2 ; sebagian besar lingkungan geografis dikelilingi oleh hutan, sawah, pegunungan; dan mata pencaharian pokok penduduk adalah bertani agricultural; minimnya akses sarana air bersih, pelayanan kesehatan, kualitas infrastruktur seperti jalan raya, transportasi; dan rendahnya tingkat pendidikan akhir penduduk. Urban kota memiliki ciri-ciri yang berlawanan dengan wilayah desa. Kabupaten Wonogiri, Gunung Kidul, dan Magetan memiliki ciri-ciri khas yang mirip dengan indikator rural sehingga dianggap representatifmewakili wilayah pedesaan. Tabel 8 Karakteristik sosio-demografi Variabel Jumlah orang Persentase Wilayah: Kota : Surabaya 218 26,8 Semarang 162 20,0 Yogyakarta 71 8,7 Total 451 55,5 Desa: Wonogiri 150 18,5 Gunung Kidul 140 17,2 Magetan 71 8,7 Total 361 44,5 Jenis Kelamin: Laki-Laki 295 36,3 Perempuan 517 63,7 Kelompok Umur: 55 - 65 tahun 618 76,1 66 - 85 tahun 194 23,9 Rata-rata + SD 62,4 + 5,93 Minimum 55 Maximum 84 Tingkat pendidikan akhir: Rendah 481 59,2 Tidak sekolah 157 19,3 Tidak tamat SD 143 17,6 Tamat SD 181 22,3 Tinggi 331 40,8 Tamat SLTP 147 18,1 Tamat SLTA 147 18,1 Tamat AkademiD3 20 2,5 Tamat PT 17 2,1 Status pekerjaan usia 25 tahun: Tidak bekerja 171 21,1 Bekerja Pegawai 199 24,5 Petaninelayan 164 20,1 Niaga 136 16,7 Buruh 112 13,8 Jasa 30 3,7 Status pekerjaan usia 55 tahun: a. Tidak bekerja 319 39,3 b. Bekerja Petaninelayan 176 21,7 Niaga 152 18,7 Buruh 46 5,7 Pegawai 97 11,9 Jasa 22 2,7 Proporsi lansia di kota 55,5 sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan di desa 45,5. Hal itu berlawanan dengan proyeksi jumlah lansia di pedesaan pada Tahun 2010 lebih tinggi daripada di desa BPS 2005. Jumlah penduduk lansia yang tinggal di perkotaan sebesar 12.380.321 9,58 dan yang tinggal di pedesaan sebesar 15.612.232 9,97. Namun jika dilihat pada Tahun 2020, ternyata jumlah lansia yang tinggal di perkotaan lebih besar yaitu sebanyak 15.714.952 11,20 dibandingkan dengan pedesaan yaitu sebesar 13.107.927 11,51. Kecenderungan meningkatnya jumlah lansia yang tinggal di perkotaan dalam studi ini ini bisa jadi disebabkan karena tidak banyak perbedaan antara wilayah rural dan urban. Pemusatan penduduk di suatu wilayah dapat menyebabkan dan membentuk wilayah urban. Perbedaan wilayah rural dan urban di antara Kota Semarang dan Kabupaten Wonogiri atau antara Kota Surabaya dengan Kabupaten Magetan kelihatannya semakin tidak jelas. Alasan lain mengapa pada studi ini ada kecenderungan jumlah lansia yang tinggal di perkotaan menjadi lebih banyak daripada di desa karena dulunya mereka saat remaja banyak mengarah menuju kota untuk menempuh pendidikan atau mencari pekerjaan. Mereka sudah tidak tertarik kembali ke desa lagi karena saudara, keluarga dan bahkan teman-teman tidak banyak lagi yang berada di desa. Sumber penghidupan dari pertanian sudah kurang menarik lagi bagi mereka. Hal ini juga karena pada umumnya penduduk desa yang pergi mencari penghidupan di kota, pada umumnya tidak mempunyai lahan pertanian untuk digarap sebagai sumber penghidupan keluarganya. b. Jenis Kelamin, Umur, dan Pendidikan Akhir Sebagian besar lansia berjenis kelamin wanita 63,7 dan sisanya adalah laki- laki 36,3. Proporsi lansia laki- laki lebih rendah ditemukan dalam studi ini daripada perempuan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan tetap lebih dominan dibandingkan laki- laki. Tingginya jumlah lansia perempuan dibandingkan dengan lansia laki- laki karena usia harapan hidup UHH lansia perempuan lebih tinggi yaitu 70,5 tahun daripada laki- laki 66,9 tahun UNFPA 2007. Survival rate usia kelangsungan hidup lansia perempuan juga lebih tinggi yaitu 81,6 tahun dibandingkan 76,3 tahun pada laki- laki. Tingkat kerentanan lansia perempuan lebih rendah daripada lansia laki- laki karena indikator pendidikan, pekerjaan, dan perkawinan. Laki- laki lebih banyak terpapar dengan pendidikan menempuh pendidikan formal, pekerjaan untuk mencari nafkah, dan cenderung menikah kembali bila pasangan hidupnya meninggal dunia dibandingkan perempuan. Berdasarkan angka proyeksi penduduk Indonesia Tahun 2008 BPS 2005 terdapat perbedaan proporsi lansia perempuan yang sedikit lebih tinggi 11,7 daripada lansia laki- laki 11,2. Menurut Aris dan Evi 2005, pada Tahun 2000 terdapat 4,7 juta lansia perempuan dan 4,1 juta lansia laki- laki di Indonesia. Ratio lansia laki- laki dengan perempuan adalah 0,88 artinya dari 100 lansia perempuan terdapat 88 lansia laki- laki. Ratio lansia berdasarkan jenis kelamin di Pulau Jawa- Bali berada di bawah 1. Umur lansia dibagi menjadi 2 kelompok yang didominasi oleh kelompok usia 55-65 tahun 76,1, dan sisanya kelompok usia 66-85 tahun 23,9. Rata- rata usia lansia adalah 62 tahun dengan usia terendah 55 tahun dan usia tertinggi 84 tahun. Rata-rata usia lansia dalam studi ini masih sedikit di bawah UHH lansia tingkat nasional 66,2 tahun pada Tahun 2006 http:www.menkokesra.go.id. Dari seluruh lansia yang diwawancarai, hanya setengahnya mampu menyebutkan tanggal lahirnya secara lengkap 51,6. Selebihnya tidak tahu tanggal lahir 28,8, tahu tahun lahir 18,7, dan tidak ingat sama sekali tanggal, bulan, dan tahun lahir 0,9. Identifikasi usia lansia yang lupa tanggal lahir nya diperoleh dari kader posyandu lansia, bidan puskesmas, dan Ketua RWRT setempat. Pendidikan akhir lansia dikelompokkan menjadi 2 tingkat yaitu rendah dan tinggi. Tingkat pendidikan tinggi mulai dari tamat atau tidaknya pendidikan di SLTP, SLTA, akademi, dan universitas. Tidak sekolah, tidak lulus SD, dan lulus SD menjadi bagian dari penilaian tingkat pendidikan akhir rendah. Persentase tingkat pendidikan akhir rendah di desa dan kota sedikit lebih banyak 59,2 daripada yang tinggi 40,2. Mayoritas lansia yang memiliki tingkat pendidikan akhir rendah menamatkan sekolahnya hanya sampai SD 22,3. Sementara mereka yang berhasil menamatkan pendidikan akhirnya di SLTP 18,1 dan SLTA cukup berimbang 18,1. Namun masih ada lansia yang berhasil menyelesaikan pendidikan akhir di tingkat akademi dan universitas baik di desa maupun di kota. Persentase lansia tidak sekolah di desa hampir duakali lebih besar 65,6 daripada di kota 34,4. Demikianpula tingkat pendidikan tinggi yaitu SLTP dan SLTA di kota duakali lebih besar daripada di desa. Hasil studi ini konsisten dengan besarnya jumlah lansia yang tidak sekolah di tingkat kabupaten district. Lansia di kabupatendesa cenderung tidak terdidik un-educated daripada lansia di kota Aris Evi 2005. Hasil studi menggambarkan bahwa persentase tingkat pendidikan rendah pada lansia perempuan lebih besar daripada laki- laki. Lansia perempuan yang tidak sekolah hampir empatkali lipat 78,3 daripada lansia laki- laki 21,7. Demikianpula yang tidak tamat SD dan tamat SD lebih tinggi duakali lipat dibandingkan lansia laki- laki. Temuan ini sejalan dengan pernyataan Aris Ananta dan Evi N. Arifin 2005 yakni bahwa ada gapkesenjangan pencapaian tingkat pendidikan akhir pada lansia berdasarkan jenis kelamin. Lansia perempuan cenderung lebih kurang tersentuh pendidikansekolah daripada lansia laki- laki dengan kisaran antara 10-30. Lansia laki- laki lebih banyak menempuh pendidikan di SLTP dan SLTA daripada lansia perempuan. c. Pekerjaan dan Pola Pengaturan Kehidupan Lansia Status bekerja lansia saat usia 25 dan 55 tahun dibagi menjadi bekerja dan tidak bekerja. Jenis pekerjaan dikelompokkan menjadi pegawai PNS, TNIPolri, swasta, dan mandor bangunan ; petaninelayan; niaga pedagang, wiraswasta, perajin, penjahit; buruh bangunan, pabrik, mus iman, pembantu rumah tangga, tukang becak, sopir; dan jasa satpam. Sebagian besar lansia bekerja ketika berusia 25 78,9 dan 55 tahun 60,7. Jenis pekerjaan yang banyak dilakoni ketika usia muda adalah pegawai 24,5 dan petani 20,1. Petani dan niaga merupakan dua jenis pekerjaan yang banyak dilakukan ketika berusia 55 tahun. Hal itu disebabkan karena bertani dan berdagang tidak mengenal usia pensiun, tidak membutuhkan keterampilan, dan pendidikan yang tinggi. Persentase lansia bekerja dalam penelitian ini cukup tinggi 60,7. Temuan ini sesuai dengan cukup besarnya persentase lansia bekerja yaitu kurang dari 50 Aris 2005. Lansia masih cukup aktif secara ekonomi dalam pasaran kerja karena kebutuhan ekonomi. Hampir seluruh lansia di desa bekerja sebagai petani baik pada saat usia muda maupun tua. Petani adalah jenis pekerjaan yang dilakukan di desa karena mata pencaharian pokok penduduk desa adalah bertani. Namun sebagian besar lansia di desa memiliki penghasilan di bawah garis kemiskinan, terpapar oleh banyaknya masalah kesehatan, dan minimnya akses ke sarana pelayanan kesehatan Helen et al.1990. Lebih dari tiga perempat lansia perempuan ketika berusia 25 tahun 95,9 dan 55 tahun tidak bekerja 81,5. Hal ini menimbulkan kesenjanga n lebar antara laki- laki dan perempuan. Tapi pemahaman ini memang dianut oleh penduduk Indonesia bahwa kaum laki- laki yang harus bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi Aris dan Evi N. Arifin 2005. Tabel 9 Pola pengaturan kehidupan lansia Variabel Jumlah orang Persentase Tinggal bersama: IstriSuami 314 38,7 Keluarga suamiisteri, anak kandung, 452 55,6 menantu, cucu, ibu kandung Tinggal sendiri 39 4,8 Saudara adik, kakak, keponakan 7 0,9 Orang yang paling sering merawat dan menemani: Isterisuami 435 53,6 Anak kandung 298 36,7 Sendiri tidak ada 39 4,8 Saudara kandung 15 1,8 Lain-lain menantu, cucu, keponakan, 25 3,1 ibu kandung Lebih dari setengah lansia tinggal bersama keluarga 55,6 yaitu pasangan hidupnya sendiri suamiistri, anak kandung, menantu, cucu, dan ibu kandung, atau tinggal berdua dengan pasangan hidupnya karena anak kandung telah memisahkan diri dari rumah sejak menikah. Tetapi masih ada lansia yang tinggal sendiri 4,8 karena masih kuat secara fisik dan mampu dari sudut ekonomikeuangan sehingga cenderung lebih senang hidup sendiri. Bahkan saat mereka hanya memiliki penghasilan kecil, mereka tidak mau menjadi beban keluarganya dengan tinggal bersama keluarganya. Akibatnya terjadi peningkatan lansia yang hidup seorang diri khususnya lansia wanita karena berstatus janda, cerai atau tidak pernah menikah. Kebanyakan lansia tinggal bersama pasangan hidupnya atau kerabatnya menantu perempuan atau cucu perempuan atau orang yang ditunjuk oleh pihak keluarga atau keluarga yang tinggal berdekatan yang biasanya diserahkan kepada anggota keluarga wanita. Hal sama ditemukan pada orang yang paling sering merawat dan menemani lansia di rumah. Mereka adalah pasangan hidupnya sendiri yaitu suami atau isteri 53,6, dan diikuti oleh anak kandung 36,7. Sekitar 4,8 lansia yang tinggal sendiri otomatis tidak ada yang menemani sehari-hari di dalam dan luar rumah Tabel 9. d. Aktivitas Fisik dan Pengeluaran Energi Usia 25 dan 55 Tahun Tabel 10 menyajikan rata-rata pengeluaran energi berdasarkan 3 item kegiatan yang dilakukan olahraga, waktu luang, dan fisik harian ketika responden berusia 25 dan 55 tahun. Rata-rata energi yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan fisik saat usia 55 tahun menurun sekitar 146,6 kkal dibandingkan usia 25 tahun. Tetapi jumlah pengeluaran energi maksimum untuk melaksanakan kegia tan fisik harian adalah sama pada kedua periode usia tersebut. Jenis kegiatan harian rutin yang dilakukan oleh lansia terkait dengan jenis pekerjaan yang dilakoninya. Petani adalah jenis pekerjaan yang paling banyak ditekuni oleh lansia di desa. Mereka me lakukan kegiatan bercocok tanam padi di sawah dan ladang, mencari kayu di hutan dan di ladang, dan mencari rumput untuk makanan ternak. Sementara profesi pegawai banyak dilakoni oleh mayoritas lansia di kota baik pegawai negeri sipil PNS maupun swasta. Profesi PNS yang banyak digeluti adalah guru sekolah, pegawai TUadministrasi dengan bentuk kegiatan harian mengajar, duduk sambil mengerjakan pekerjaan adminsitrasi keuangan atau mengetik. Pengeluaran energi untuk kegiatan olahraga usia 25 tahun rata-rata sebesar 278,7 kkal dan usia 55 tahun sebesar 161,1 kkal. Terjadi penurunan jumlah kalori yang dikeluarkan melalui reduksi intensitas dan frekuensi olahraga yang dilakukan saat menginjak usia 55 tahun. Jenis olahraga yang paling banyak dilakukan ketika mud a adalah bersepeda, senam, bulutangkis, sepakbola, dan berjalan kaki. Sementara olahraga senam dan berjalan kaki banyak dilakukan setelah menginjak usia 55 tahun. Pada saat menjelang usia lanjut, jenis olahraga yang banyak menggunakan tenaga dan otot beralih ke olahraga santai dan lambat tidak banyak mengeluarkan keringat. Frekuensi olahraga tiap minggu sebagian besar dilakukan antara 1-2 kali pada usia 25 dan 55 tahun dengan lamadurasi antara 1-2 jam per minggu. Mayoritas lansia mengisi waktu luang saat usia muda dengan melakukan kegiatan pekerjaan rumah tangga antara lain: menyapu dan mengepel lantai, mencuci dan menyetrika pakaian, memasak, dan menghadiri pengajian di luar rumah. Menghabiskan waktu dengan mengasuh atau momong cucu dan menghadir i pengajian di luar rumah adalah dua jenis kegiatan yang paling banyak diisi oleh responden saat usia 55 tahun. Bagi petani yang sebagian besar waktunya dihabiskan di sawah mengisi waktunya dengan beristirahat duduk-duduk atau berbaring-baring di dangau. Rata-rata mereka menghabiskan waktu antara 1-2 jam setiap hari. Jika dibandingkan besarnya pengeluaran energi untuk mengisi waktu luang saat usia 25 tahun dengan usia 55 tahun, terdapat kenaikan pengeluaran energi sekitar 140,9 kkal. Hal itu disebabkan karena banyaknya waktu kosong di dalam dan luar rumah setelah menginjak pensiun atau jarang bertani di sawah karena usia mulai lanjut. Mereka mengisinya dengan aktivitas berkebun, beternak ikan lele, menanam bunga, dan menjaga warung di rumah. Tabel 10 Rata-rata pengeluaran energi harian berdasarkan kegiatan olahraga, waktu luang, kegiatan fisik harian, dan total ketiga kegiatan pada usia 25 dan 55 tahun Jenis kegiatan Umur 25 Tahun kkal Umur 55 Tahun kkal X SD Min Maks X SD Min Maks Olah Raga 278.7 420.8 0.0 4200.0 161.1 220.3 0.0 1242.9 Waktu Luang 594.2 599.5 0.0 3546.0 735.1 600.3 0.0 3882.0 Kegiatan Fisik 1428.2 1261.2 0.0 8592.0 1281.6 1188.4 0.0 8592.0 Total 2301.2 1585.7 0.0 11442.0 2177.8 1483.8 0.0 10536.0 Tabel 11 menjelaskan besarnya rata-rata pengeluaran energi berdasarkan karakteristik sosio-demografi pada usia 25 dan 55 tahun. Di tingkat wilayah, pengeluaran energi di kota berbeda dengan di desa yakni lebih besar di desa daripada di kota. Hal itu disebabkan oleh lebih beratnya tingkat pekerjaan petani di desa yang harus bercocok tanam sambil mencari rumput bagi pakan ternak dan kayu di hutan untuk persediaan kayu bakar di rumah. Mereka menempuh perjalanan lama dari rumah menuju sawah atau ladang dengan berjalan kaki. Umumnya mereka bertani setiap hari antara 7 – 8 jam. Sedangkan pegawai yang banyak bekerja di kota melakukan kegiatan rutin harian antara lain berdiri di ruangan sambil mengajar, duduk mengerjakan pekerjaan administratif atau mengetik. Kegiatan-kegiatan terakhir ini tidak banyak menguras tenaga dan cenderung santai. Tabel 11 Rata-rata pengeluaran energi harian berdasarkan karakteristik sosio- demografi pada usia 25 dan 55 tahun Variabel Umur 25 Tahun kkal Umur 55 Tahun kkal n X SD n X SD Wilayah Kota 451 1837.1 ±1013.3 451 1721.5 ±931.1 Desa 361 2881.0 ±1942.6 361 2747.8 ±1813.8 Jenis kelamin Laki-laki 295 2400.4 ±1687.2 295 2164.6 ±1566.5 Perempuan 517 2244.6 ±1523.5 517 2185.3 ±1436.0 Tingkat pendidikan akhir Rendah 481 2408.9 ±1778.8 481 2300.9 ±1651.4 Tinggi 331 2144.6 ±1239.0 331 1998.8 ±1179.0 Pekerjaan u mur 25 tahun Tidak kerja 171 1754.1 ±892.9 171 1761.4 ±897.6 Sektor informal 446 2638.5 ±1825.3 446 2483.3 ±1720.9 Sektor formal 195 2009.4 ±1248.7 195 1844.0 ±1107.3 Pekerjaan u mur 55 tahun Tidak kerja 319 1870.2 ±1167.6 319 1714.3 ±1055.3 Sektor informal 397 2686.1 ±1821.4 397 2599.7 ±1709.7 Sektor formal 96 2141.5 ±1343.0 96 1972.8 ±1173.1 Pekerjaan Umur 25 tahun Petaninelayan 164 3502.8 ±1986.5 164 3306.7 ±1978.5 Pegawai 199 1992.7 ±1258.8 199 1822.1 ±1108.9 Buruh 112 2199.4 ±1594.0 112 2174.8 ±1528.2 Niaga 136 2157.2 ±1521.7 136 1977.8 ±1242.2 Jasa 30 1929.8 ±1128.9 30 1655.9 ±874.8 Pekerjaan Umur 55 tahun Petaninelayan 176 3552.4 ±2037.7 176 3641.2 ±1834.5 Pegawai 152 2089.0 ±1308.6 152 1795.6 ±936.6 Buruh 46 1730.8 ±853.3 46 1617.7 ±925.9 Niaga 97 2129.2 ±1341.4 97 1962.3 ±1171.6 Jasa 22 1957.5 ±1586.1 22 1952.0 ±1573.7 p 0,01 Berdasarkan perbedaan jenis kelamin, kaum perempuan lebih sedikit mengeluarkan energi saat muda karena kaum laki- laki yang bekerja mencari nafkah. Tetapi begitu menginjak usia tua, kaum perempuan jua yang sedikit lebih banyak menguras tenaga untuk bekerja seperti mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengasuh cucu, dan kadang bekerja sebagai pedagang di rumah menjaga warung. Kaum laki- laki lebih banyak menghabiskan waktu untuk beristirahat sambil membaca koran atau menonton televisi. Sebagian besar kaum laki- laki tidak lagi bekerja mencari nafkah, tetapi mengandalkan uang pensiun sebagai sumber pendapatannya bagi mereka yang bekerja sebagai pega wai. Bagi yang bekerja sebagai petani tidak lagi bertani ke sawah saat berusia tua karena sudah digantikan oleh anaknya. Tabel 11 menggambarkan perbedaan besar pengeluaran energi berdasarkan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan rendah lebih banyak menghabiskan energi untuk bekerja daripada pendidikan tinggi. Kelompok pertama ini kebanyakan bekerja di sektor informal yang banyak menggunakan fisik seperti buruh musimanbangunan, tukang batu, tukang becak, pembantu rumah tangga, atau petani. Kelompok berpendidikan tinggi biasanya bekerja sebagai pegawai PNS, swasta di bidang formal. Sektorpekerjaan informal merupakan jenis pekerjaan tidak teratur; tidak dilindungi oleh pemerintah; tidak ada regulasi atau peraturan seperti perlindungan sosial, keuntungan; dan gaji rendah Hussmanns 2003. Tabel 12 Tingkat aktivitas fisik pada umur 25 tahun dan 55 tahun Tingkat aktivitas fisik n Umur 25 tahun Rendah 1494 kkal 272 33.5 Sedang 1494-2478 kkal 270 33.3 Tinggi 2474 kkal 270 33.3 Total 812 100.0 Umur 55 tahun Rendah 1398 kkal 271 33.4 Sedang 1398-2316 kkal 271 33.4 Tinggi 2316 kkal 270 33.3 Total 812 100.0 Tingkat aktivitas fisik lansia saat usia 25 dan 55 tahun disajikan pada Tabel 12. Pembagian kelompok aktivitas fisik menjadi tingkat rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan quartil Q3. Sebagian besar lansia memiliki tingkat aktivitas rendah 33,5 saat masa mudanya. Sebaliknya mereka mempunyai aktivitas fisik tingkat rendah dan sedang begitu memasuki usia lanjut 55 tahun. e. Kebiasaan Makan Usia 25 dan 55 Tahun Tabel 13 Jenis makanan sumber protein hewani dan nabati yang paling sering dikonsumsi ketika berusia 25 dan 55 tahun Zat gizi Jenis makanan Umur 25 tahun Umur 55 tahun Protein hewani gr X SD X SD Daging Ayam 9.7 13.3 10.2 25.2 Daging Sapi 8.3 11.8 5.8 8.4 Ikan Tongkol 12.1 18.5 11.6 13.2 Telur Ayam Asin Itik 15.5 16.8 22.4 29.8 Ikan Asin 5.2 6.5 4.9 9.0 Protein nabati gr Tahu 69.9 52.7 73.3 56.9 Tempe 63.7 49.2 65.0 46.6 Jenis makanan sumber protein hewani dan nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh lansia saat usia 25 dan 55 tahun disajikan pada Tabel 13. Rata- rata tertinggi sumber protein hewani yang paling sering dikonsumsi oleh lansia ketika berusia 25 tahun adalah telur ayamasinitik dan terendah adalah ikan asin. Gambaran sama juga ditunjukkan pada usia 55 tahun, tetapi terjadi penurunan konsumsi daging sapi dan ikan asin pada saat itu dibandingkan dengan usia 25 tahun. Hal itu mungkin itu disebabkan oleh tingkat pengetahuan yang dimiliki lansia bahwa daging sapi mengandung lemak dan kolesterol, serta ikan asin tinggi garam yang keduanya memicu munculnya penyakit jantung dan hipertensi. Tahu dan tempe sebagai makanan tinggi protein nabati paling banyak dikonsumsi di seluruh lokasi penelitian baik di kota dan desa. Bila dibandingkan rata-rata konsumsi usia 25 dan 55 tahun, terjadi sedikit peningkatan pada usia tua 55 tahun. Hal itu disebabkan oleh perubahan pola konsumsi protein hewani ke protein nabati pada usia lanjut karena mengandung kadar protein kurang atau hanya sedikit. Fungsi protein pada lansia tidak lagi untuk pertumbuhan, melainkan untuk pemeliharaan dan penggantian sel-sel jaringan yang rusak, serta pengaturan fungsi fisiologis tubuh. Pada lansia tidak diperlukan banyak konsumsi protein karena selain akan diubah menjadi lemak, dalam jumlah yang berlebihan akan memberatkan fungsi ginjal dan hati. Proses teknologi pangan tempe dan tahu merupakan teknologi pangan tertua dalam sejarah orang Jawa pada Tahun 1875. Meningkatnya popularitas tempe di Jawa dimulai sejak awal abad 20. Makanan tradisonal ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa. khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Pada mulanya tempe diproduksi dari kedelai hitam berasal dari masyarakat pedesaan tradisional Jawa, mungkin dikembangkan di daerah Jawa Tengah, dan berkembang sebelum abad ke-16. Kata tempe diduga berasal dari bahasa Jawa Kuno. Pembuatan tempe diawali semasa era Tanam Paksa di Jawa. Pada saat itu, masyarakat Jawa terpaksa menggunakan hasil pekarangan, seperti singkong, ubi, dan kedelai sebagai sumber pangan. Selanjutnya, teknik pembuatan tempe menyebar ke seluruh Indonesia, sejalan dengan penyebaran masyarakat Jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air Wikipedia 2003. Tabel 14 Jenis makanan sumber kalsium mg yang paling banyak dikonsumsi saat usia 25 dan 55 tahun Jenis makanan Umur 25 tahun Umur 55 tahun X SD X SD Daun papaya 31.2 33.6 20.3 30.6 Daun singkong 20.3 25.2 27.5 52.0 Ikan sarden 28.9 44.8 4.1 8.0 Sawi hijau 5.8 7.3 23.1 30.6 Susu sapibubukkental manis 25.4 25.9 67.5 118.3 Ikan asin 70.7 121.6 4.9 9.0 Tahu 5.2 6.5 73.3 56.9 Tempe 69.9 52.7 65.0 46.6 Tabel 14 menampilkan jenis makanan sumber kalsium yang paling banyak dikonsumsi oleh lansia ketika menginjak usia 25 dan 55 tahun. Pada umumnya mereka lebih banyak mengonsumsi tahu, tempe, dan susu sebagai sumber kalsium dibandingkan dengan sayuran, ikan sarden, dan ikan teriasin. Harga tahu dan tempe relatif lebih terjangkau oleh sebagian besar lansia yang berasal dari kalangan ekonomi rendah dibandingkan dengan susu yang harganya lebih mahal. Asal responden dari Suku Jawa juga mendorong tingginya konsumsi tahu dan tempe di lokasi penelitian. Tempe dan tahu banyak diproduksi di P. Jawa khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain itu, tempe mengandung tinggi kalsium dan tidak mengandung kolesterol. Tahu mengandung tinggi kalsium, protein dan vitamin B, juga berfungsi sebagai substitusi makanan sumber protein hewani. Protein nabati dalam tahu dipresipitasi dengan kalsium sehingga membuat tahu tinggi kandungan kalsium. Kalsium dalam tahu berkontribusi untuk mencegah osteoporosis. Selain kalsium, tahu juga mengandung isoflavon yang mengurangi risiko osteoporosis. Rata-rata konsumsi daun pepaya, ikan sarden, dan ikan asin menurun pada usia 55 tahun dibandingkan dengan usia 25 tahun. Terjadinya penurunan itu mungkin disebabkan oleh meningkatnya pengetahuan dan kesadaran lansia terhadap makanan pemicu penyakit degeneratif lansia antara lain asam urat, dan hipertensi. Sebagian kecil lansia menyebutkan daun pepaya dapat menimbulkan penyakit asam urat. Ikan asin memicu peningkatan tekanan darah pada lansia yang berisiko terhadap hipertensi sehingga mereka menghindari makanan- makanan tersebut. Makanan tinggi lemak yang paling sering dikonsumsi oleh seluruh lansia digambarkan pada Tabel 15. Hampir seluruh makanan itu berkurang konsumsinya ketika lansia berusia 55 tahun dibandingkan dengan usia 25 tahun, kecuali telur ayam. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran terhadap bahaya konsumsi tinggi lemak yang berdampak pada kesehatan khususnya penyakit jantung koroner, stroke, dan hipertensi menyebabkan lansia berusaha menghindari konsumsi makanan sumber lemak. Diet lansia harus ditekankan pada makanan padat gizi, tetapi relatif rendah lemak karena berkurangnya kebutuhan energi Robert et al. 1998. Tabel 15 Jenis makanan sumber lemak gram yang paling banyak dikonsumsi saat usia 25 dan 55 tahun Jenis makanan Umur 25 tahun Umur 55 tahun X SD X SD Babat 11.7 24.7 6.0 5.0 Baso 18.0 30.4 12.1 15.6 Daging ayamitiksapi 8.9 12.4 8.0 18.9 Hati ayamsapiusus 5.6 10.0 3.6 4.9 Kerupuk udang 24.4 38.0 22.5 30.5 Mentega 2.5 3.3 4.8 8.0 Mie kering 22.6 34.4 18.3 22.5 Nasi putih 432.7 189.6 317.5 221.5 Sardines 5.8 7.3 4.1 8.0 Susu sapisegarkental manis 70.7 121.6 67.5 118.3 Telur ayamasinitik 15.5 16.8 17.5 25.8 Gambaran pola makan lansia dalam penelitian sejalan dengan temuan Boedhi Darmojo tentang studi Trend Pola Makan Diet Lansia Indonesia pada Tahun 2002. Beliau menyatakan adanya kecenderungan lansia untuk menurunkan konsumsi lemak dan protein khususnya ikan dan telur. Tetapi 80 lansia meningkatkan asupan sayuran daun hijau, tahu, dan tempe. Kecuali telur yang banyak dihindari oleh lansia pada studi Boedhi D. tersebut, maka adanya sedikit kenaikan rata-rata konsumsi telur pada penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku konsumsi makan lansia sudah cukup baik. Mereka cenderung sudah mengurangi lemak dan protein hewani, meningkatkan konsumsi protein nabati khususnya tahu dan tempe. Lansia disarankan tetap mengonsumsi telur karena telur merupakan functional food yang menyehatkan tubuh selain mampu memenuhi kebutuhan dasar protein, vitamin D dan K. II. Status Gizi Berdasarkan Indikator Indeks Massa Tubuh IMT, Densitas Massa Tulang DMT, Persen Lemak Tubuh PLT, dan Lemak Viseral Tabel 16 menggambarkan data status gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh IMT, densitas massa tulang skor T, persen lemak tubuh PLT, dan lemak viseral. Hampir seperempat lansia memiliki status gizi lebih 23,9, dan selebihnya masuk ke dalam kelompok status gizi baik, dan kegemukan. Tetapi masih ada sekitar 10,2 lansia termasuk dalam kelompok gizi kurang. Tabel 16 Status gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh IMT, Skor T densitas massa tulang, persen lemak tubuh, dan lemak viseral Indikator Jumlah orang Persentase Indeks Massa Tubuh IMT Gizi kurang 18,5 83 10,2 Gizi baiknormal 18,5 – 24,9 460 56,7 Gizi lebih 25,0 – 29,9 194 23,9 Kegemukan = 30,0 75 9,2 Skor T DMT : Osteoporosis = -2,5 SD 267 32,9 Osteopenia -1 - -2,49 SD 396 48,8 Normal -1 SD 149 18,3 Persen Lemak Tubuh Normal 157 19,3 Mendekati Tinggi 230 28,3 Tinggi 425 52,3 Lemak viseral Normal 491 60,5 Mendekati Tinggi 217 26,7 Tinggi 104 12,8 Proporsi lansia yang menderita osteoporosis cukup besar 32,9. Nilai ini sedikit lebih rendah dari nilai rata-rata osteoporosis hasil studi Puslitbang Gizi Bogor Tahun 2005 35,1 pada lansia di atas usia 55 tahun. Hal sama ditemukan pada proporsi osteopenia dari studi sebesar 48,8 yaitu sedikit di atas nilai rata- rata hasil studi Puslitbang Gizi Bogor Tahun 2005 sebesar 45,4. Status lemak tubuh diukur berdasarkan indikator persen lemak tubuh PLT dan lemal viseral VL. Dari 812 lansia yang diukur kadar lemak tubuhnya, setengahnya memiliki tingkat persen lemak tubuh yang tinggi 52,3. Bahkan proporsi lansia dengan tingkat PLT mendekati tinggi lebih besar daripada yang normal. Sebaliknya ditunjukkan dari persentase lemak viseral kategori normal yang lebih banyak dimiliki oleh lansia pada studi ini daripada status mendekati tinggi dan tinggi. Tetapi persentase visceral fat kelompok mendekati tinggi masih di atas kelompok tinggi.

III. Karakteristik Ant ropometri Tinggi Badan, Tinggi Lutut, Panjang Depa, dan Tinggi Duduk