Model Prediksi Tinggi Badan Lansia Etnis Jawa Berdasarkan Tinggi Lutut, Panjang Depa, Dan Tinggi Duduk

(1)

BERDASARKAN TINGGI LUTUT, PANJANG

DEPA, DAN TINGGI DUDUK

FATMAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

TINGGI BADAN LANSIA ETNIS JAWA

BERDASARKAN TINGGI LUTUT, PANJANG

DEPA, DAN TINGGI DUDUK

FATMAH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(3)

FATMAH.

Predictive Equations for Estimation of Stature in Javanese Elderly People based on Knee Height, Am Span, and Sitting Height. Under the direction of

HARDINSYAH, BOEDHIHARTONO, and TRIBOEDHI S.

Height is an important clinical indicator to derive body mass index (BMI) predicting the nutritional status of elderly. However, height measurement in the elderly may impose some difficulties and the reliability is doubtful. Equation estimating height from knee height parameter to predict stature in elderly i.e. Chumlea equation have been developed in European, but it could not be applied in Indonesian elderly due to in-accuracy of the result and the difference of stature. The objective of this study was to develop statistical model using knee height, arm span, sitting height; to analyze the correlation between height and underlying factors i.e. areas, age, sex, physical activity level, economic level, occupational physical activity level, bone mineral density (osteoporosis), and body fat (percentage and visceral fat). There were 812 healthy Javanese elderly people (295 males, and 517 females), aged 55 to 85 years old in the six places (Surabaya, Magetan, Yogyakarta, Gunung Kidul, Semarang, and Wonogiri) who participated in this cross sectional study. Standing height, weight, knee height, arm span, sitting height, bone mass density, and body fat were measured.Standing height is an ideal technique for estimating the stature of elderly people, but in cases it was not to be measured. It can be estimated from proxy indicators of stature. Linear regression analysis was carried out to derive predictive equations for estimation of stature with elderly height as the dependant variable and knee height, arm span, and sitting height as independent variables, according to gender. The Chumlea equation tended to be over-estimate in stature of elderly men (2.78 cm), and elderly women (4.90 cm). In this study, arm span showed the stongest correlation with standing height on elderly men (r = 0.815), and elderly women (r = 0.754). There was a significant difference of stature in urban and rural areas and economic level (p<0.05). Advancing age was associated with decreased mean of height, weight, arm span, and sitting height both on elderly male and female, but not on knee height (p < 0.01). In conclusions arm span has the highest validity to predict height on healthy Javanese elderly people. The correlation coefficient of arm span to actual height was a little bit larger on elderly male than on female. It should be borne in mind that equation derived from taller stature populations (e.g. Chumlea from Caucasians ethnic) may be less accurate when applied to shorter stature populations. The study showed that height had significant correlation with bone density in female elderly, and visceral fat in both sex of elderly.


(4)

FATMAH.

Model Prediksi Tinggi Badan Lansia Etnis Jawa Berdasarkan Tinggi Lutut, Panjang Depa, dan Tinggi Duduk. Dibimbing oleh

HARDINSYAH,

BOEDHIHARTONO, and TRIBOEDHI S.

Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia meningkatkan kebutuhan interpretasi hasil-hasil pengukuran antropometri untuk mengevaluasi status gizi dan kesehatan mereka. Oleh karena tinggi badan adalah komponen beberapa indikator status gizi, maka pengukuran tinggi badan individu secara tepat sangat penting. Tetapi mendapatkan hasil pengukuran yang akurat pada manusia usia lanjut cukup sulit karena masalah postur tubuh yang berubah, atau harus duduk di kursi roda atau tempat tidur.

Tujuan studi adalah untuk mengembangkan model prediksi tinggi badan lansia berdasarkan prediktor tinggi lutut, panjang depa, tinggi duduk, wilayah tempat tinggal (desa dan kota), jenis kelamin, usia, asupan zat gizi kalsium tingkat aktivitas fisik, dan ekonomi (tingkat pendidikan akhir). Studi telah dilakukan pada 812 lansia Etnis Jawa di 6 lokasi yaitu Kota Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Kabupaten Magetan, Wonogiri, dan Gunung Kidul.

Kriteria inklusi responden adalah lansia yang tinggal/berada di masyarakat baik pria maupun wanita dengan usia antara 55 – 65 tahun, memiliki kedua orang tua berasal dari Suku Jawa asli, tinggal sendiri atau bersama keluarga, kondisi tubuh sehat dan masih mampu berdiri tegak, memiliki status densitas massa tulang normal atau osteopenia atau menderita osteoporosis, tidak mengidap stroke atau gangguan ingatan (masih dapat mengingat kejadian pada masa lampau dengan cukup baik), serta dapat berkomunikasi dua arah dengan baik. Kriteria eksklusi sampel yang tidak masuk dalam penelitian adalah: lansia memiliki salah satu tangan yang tidak dapat direntangkan karena patah,

joint stiffness, atau akibat tertentu, mengalami patah tulang/kaki palsu, menderita stroke atau gangguan ingatan, dan gangguan berkomunikasi.

Setengah dari seluruh responden yang diukur dan diwawancarai dalam studi ini memiliki status gizi normal (56,7%). Selebihnya adalah gizi lebih (23,9%), gizi kurang (10,2%), dan kegemukan (9,2%) berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT). Hampir setengah total responden menderita osteopenia (48,8%), sisanya osteoporosis (32,9%), dan normal (18,3%). Setengah dari total responden memiliki persen lemak tubuh tingkat tinggi (52,3%), dan selebihnya mendekati tingkat tinggi (28,3%), dan normal (19,3%). Sebagian besar responden mempunyai lemak viseral normal (60,5%), dan sebagian kecil mendekati tingkat tinggi (26,7%), dan tinggi (12,8%).

Tinggi badan lansia dapat diprediksi dari tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk. Panjang depa memiliki korelasi dan sensitivitas paling tinggi dibandingkan tinggi lutut dan tinggi duduk. Persamaan Chumlea pada Ras Kaukasoid di Eropa dengan prediktor tinggi lutut tidak tepat digunakan untuk memprediksi tinggi badan lansia Etnis Jawa karena rata-rata selisih terhadap tinggi badan sebenarnya pada lansia laki-laki cukup besar (2,78 cm) dan lansia perempuan (4,90 cm).

Tinggi badan memiliki perbedaan bermakna dengan tingkat pendidikan akhir yang dilalui dan beban pekerjaan fisik harian lansia. Tinggi badan berhubungan dengan densitas massa tulang (osteoporosis), dan lemak viseral. Faktor-faktor risiko yang


(5)

perempuan dengan OR = 2,85.

Setengah dari total responden memiliki persen lemak tubuh tingkat tinggi (52,3%), dan selebihnya mendekati tingkat tinggi (28,3%), dan normal (19,3%). Wilayah kota-desa, beban kerja fisik harian usia 25 dan 35 tahun merupakan faktor-faktor risiko peningkatan persen lemak tubuh. Lansia dengan beban kerja ringan ketika berusia 25 tahun paling berpengaruh terhadap peningkatan persen lemak tubuh karena memiliki peluang sebesar 4,32 kali lebih besar daripada lansia dengan beban kerja fisik berat pada usia yang sama.

Mayoritas responden mempunyai lemak viseral normal (60,5%), dan sebagian kecil mendekati tingkat tinggi (26,7%), dan tinggi (12,8%). Lemak viseral tingkat tinggi dalam penelitian ini berhubungan dengan faktor-faktor risikonya yaitu: wilayah kota, jenis kelamin, tingkat pendidikan akhir, dan beban kerja fisik harian yang ringan ketika berusia 55 tahun. Beban kerja fisik harian memiliki faktor risiko terbesar dalam peningkatan status lemak viseral lansia karena berpeluang 2,29 kali lebih besar dibandingkan dengan lansia yang memiliki beban kerja fisik berat.


(6)

Latar Belakang

Penuaan populasi (population ageing) atau peningkatan proporsi penduduk usia tua (di atas 60 tahun) dari total populasi penduduk telah terjadi di seluruh dunia.Proporsi penduduk lanjut usia terhadap total penduduk dunia akan naik dari 10% pada Tahun 1998 menjadi 15 persen pada Tahun 2025, dan meningkat hampir mencapai 25 persen pada Tahun 2050 (UNFPA 2007).

Populasi penduduk lanjut usia (lansia) di Asia dan Pasifik meningkat dengan pesat dari 410 juta di Tahun 2007 menjadi 733 juta di Tahun 2025, dan diprediksi menjadi 1,3 trilyun pada Tahun 2050 (Macao 2007).

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga mengalami peningkatan populasi penduduk lansia dari 4,48% di Tahun 1971 (5,3 juta jiwa) menjadi 9,77% di Tahun 2010 (23,9 juta jiwa). Bahkan pada Tahun 2020 diprediksi akan terjadi ledakan jumlah penduduk lansia sebesar 11,34% atau sekitar 28,8 juta jiwa (Makmur 2006). Indonesia termasuk negara kelima yang akan memiliki populasi lansia terbesar setelah Cina, India, Amerika Serikat, dan Meksiko (WHO 2002).

Indonesia dengan 1000 kelompok etnis dan sub-etnis adalah negara yang lebih besar daripada Malaysia dan Singapura. Issue penuaan di Indonesia bervariasi menurut kelompok wilayah dan etnis. Proporsi penuaan di beberapa propinsi dan kabupaten lebih besar daripada di Indonesia secara keseluruhan. Contohnya adalah 8,5% di Propinsi Yogyakarta; 10,65% di Kabupaten Gunung Kidul; 10,01% di Kabupaten Wonogiri; dan 10,13% di Kabupaten Magetan (Aris, Evi, dan Bakhtiar 2005). Perempuan menempati proporsi terbesar lansia di dunia dan di kebanyakan negara di dunia. Saat ini, hampir 60 persen penduduk lansia Indonesia adalah perempuan dan proporsi ini diduga terus meningkat menjadi 64% pada Tahun 2030 (UNFPA 2007).

Fenomena peningkatan jumlah lansia terjadi karena beberapa faktor yaitu perbaikan status kesehatan akibat kemajuan teknologi dan pelayanan kedokteran, transisi epidemiologi dari penyakit infeksi menuju penyakit degeneratif, perbaikan status gizi yang ditandai peningkatan kasus obesitas dibandingkan kasus gizi


(7)

kurang (underweight), peningkatan Usia Harapan Hidup (UHH) dari 45 tahun di awal tahun 1950 menjadi usia 65 tahun pada saat ini, pergeseran gaya hidup dari urban rural lifestyle ke arah sedentary urban lifestyle, dan peningkatan pendapatan per-kapita sebelum krisis moneter melanda Indonesia (Makmur 2006).

Peningkatan jumlah lansia mempengaruhi aspek kehidupannya melalui perubahan-perubahan fisik, biologis, psikologis, dan sosial atau munculnya penyakit degeneratif akibat proses penuaan tersebut. Salah satu jenis penyakit degeneratif yang banyak dialami oleh lansia adalah osteoporosis. Osteoporosis mempengaruhi penurunan tinggi badan pada lansia wanita karena gejala paling umum pada osteoporosis adalah retak/patah tulang, tubuh bungkuk, kehilangan tinggi badan, dan sakit punggung (Takao 2001). Hasil analisis data Densitas Mineral Tulang (DMT) di 16 wilayah di Indonesia hasil kerjasama antara Puslitbang Gizi Bogor dengan PT. Fonterra Brands Indonesia pada Tahun 2005 menemukan bahwa makin lanjut usia makin tinggi proporsi osteoporosis. Prevalensi osteoporosis lansia perempuan lebih besar daripada laki- laki (Abas & Sri 2006).

Selain masalah penyakit degeneratif seperti osteoporosis, malnutrisi juga menjadi masalah kesehatan masyarakat pada lansia saat ini yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Penilaian status gizi lansia dapat dilakukan dengan indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) dari perhitungan tinggi badan dan berat badan. Namun untuk memperoleh pengukuran tinggi badan yang tepat pada lansia cukup sulit dilakukan karena masalah postur tubuh, kerusakan spinal, kelainan kifosis dan skoliosis, serta kelumpuhan yang menyebabkan lansia harus duduk di kursi roda atau di tempat tidur. Beberapa penelitian menunjukkan perubahan tinggi badan lansia sejalan dengan peningkatan usia dan efek beberapa penyakit seperti osteoporosis. Perubahan struktur tulang akan terjadi pada tulang-tulang punggung (vertebrae), struktur jaringan pengikat dan tulang rawan (fibrosapost-chondralis)

yang akan me ngubah kurvatura tulang punggung menjadi lebih melengkung (discus invertebralis), dan posisi akan menjadi bungkuk (Darmojo & Hadi 1999).

Sebagian besar fungsi- fungsi fisiologis tubuh berhubungan secara allometri dengan massa tubuh. Allometri digunakan untuk menggambarkan hubungan antar bagian-bagian atau organ dalam tubuh manusia. Tubuh manusia memiliki


(8)

ukuran-ukuran bentuk linier proportional yang bervariasi sesuai jenis kelamin dan tingkat pertumbuhan. Perkiraan tinggi badan dapat diperoleh dari persamaan regresi yang tingkat keakuratannya dipengaruhi oleh pola dan hubungan yang proporsional antara berbagai ukuran bagian tubuh, yang dikenal dengan konsep allometri. Model allometri memberikan prediksi fungsi fisiologi tubuh manusia yang lebih akurat karena memanfaatkan hubungan antara struktur tubuh yang homolog pada bagian kiri dan kanan tubuh, dan menghilangkan variabel-variabel perancu (Sorg 2005).

Tinggi badan prediksi lansia dapat diperoleh dari prediktor tinggi lutut (knee height), panjang depa (arm span), dan tinggi duduk (sitting height). Tinggi lutut dapat digunakan untuk melakukan estimasi tinggi badan lansia dan orang cacat. Proses penuaan tidak mempengaruhi panjang tulang di tangan, kaki, dan tinggi tulang vertebral. Panjang depa relatif kurang dipengaruhi oleh penambahan usia. Pada kelompok lansia terlihat adanya penurunan nilai panjang depa yang lebih lambat dibandingkan dengan penurunan tinggi badan sehingga dapat disimpulkan bahwa panjang depa cenderung tidak banyak berubah sejalan penambahan usia. Panjang depa direkomendasikan sebagai parameter prediksi tinggi badan, tetapi tidak seluruh populasi memiliki hubungan 1:1 antara panjang depa dan tinggi badan. Tinggi duduk juga dapat memprediksi tinggi badan lansia, tetapi cenderung me nurun seiring penambahan usia. Selanjutnya prediksi tinggi badan lansia dianggap sebagai indikator yang cukup valid dalam mengembangkan indeks antropometri, dan melakukan interpretasi pengukuran komposisi tubuh.

Beberapa penelitian tentang pengembangan model prediksi tinggi badan lansia telah dilakukan selama ini. Salah satunya adalah penggunaan parameter tinggi lutut oleh Chumlea. Formula ini diperuntukkan bagi kaum Caucasian (Kaukasoid) dan setelah melalui beberapakali pengukuran tinggi lutut lansia ditemukan adanya prediksi nilai yang terlalu tinggi (overestimate). Myers et al.

(1985) membuktikan bahwa persamaan Chumlea menimbulkan kesalahan sistematik (systematic error) saat diterapkan pada penduduk lansia Jepang-Amerika (Shahar & Pooy 2003).

Alasan yang mela tarbelakangi pentingnya suatu studi pengembangan model prediksi tinggi badan lansia di Indonesia adalah studi pengukuran tinggi lutut


(9)

sebagai prediktor tinggi badan lansia telah banyak dilakukan pada populasi lansia Amerika Utara dan Eropa. Sementara studi tentang validasi model persamaan Chumlea bagi penduduk lansia Indonesia masih amat terbatas. Salah satunya dilakukan oleh Oktavianus et al. (2005) pada 150 lansia di DKI Jakarta. Penggunaan model regressi Chumlea menunjukkan adanya estimasi yang lebih tinggi (over-estimate) pada lansia wanita yaitu ada perbedaan tinggi badan 0,9 cm daripada tinggi badan sebenarnya (p = 0,002). Sementara studi validasi persamaan Chumlea yang dilakukan oleh Fatmah Tahun 2005 terhadap 217 lansia di DKI Jakarta dan Tangerang menunjukkan bahwa prediksi tinggi badan menggunakan tinggi lutut pada lansia pria dengan persamaan Chumlea sedikit lebih rendah 1 cm daripada hasil pengukuran tinggi badan sebenarnya. Perbedaan nyata ditunjukkan pada kelompok lansia wanita sebesar 2 cm ( p < 0,05).

Alasan lain yang mendorong perlunya dilakukan suatu penelitian pengembangan model prediksi tinggi badan lansia di Indonesia adalah hingga saat ini Departemen Kesehatan RI belum memiliki rumus persamaan prediksi tinggi badan dengan parameter tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk untuk menilai status gizi lansia. Departemen Kesehatan RI menggunakan rumus Eleanor D. Sthlenker Tahun 1993 dalam Buku Pedoman Tatalaksana Gizi Usia Lanjut untuk Tenaga Kesehatan di Indonesia untuk menghitung tinggi badan prediksi lansia dalam menilai status gizinya. Belum tersedianya model prediksi tinggi badan lansia di Indonesia yang dikembangkan melalui pengukuran tinggi badan aktual menyebabkan perhitungan tinggi badan lansia tidak akurat dan tepat sehingga akhirnya mempengaruhi penilaian Indeks Massa Tubuhnya.

Berdasarkan kedua alasan sebelumnya, maka diperlukan suatu penelitian pengembangan model prediksi tinggi badan lansia di Indonesia. Sebagai langkah awal, suatu studi telah dilakukan pada Suku Jawa sebaga i salah satu etnis terbesar di Indonesia. Proporsi penduduk lansia Suku Jawa menempati urutan terbesar di antara empat suku lain di Indonesia yaitu Sunda, Batak, Melayu, dan Madura (Aris & Evi 2005). Penelitian ini menggunakan parameter tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk. Selanjutnya analisis perbedaan rata-rata tinggi badan dengan faktor-faktor penentu tinggi badan; hubungan antara tinggi badan dengan densitas massa tulang (osteoporosis) dan lemak tubuh; serta analisis faktor- faktor


(10)

risiko dengan osteoporosis dan lemak tubuh juga telah dilakukan. Analisis prevalensi osteoporosis dengan faktor-faktor risikonya berhubungan dengan tinggi badan. Lemak tubuh dan faktor-faktor risikonya berperan dalam kejadian obesitas lansia. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan dengan kejadian penyakit-penyakit metabolik antara lain hipertensi, dislipidemia, dan aterosklerosis. Semua ini dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner (PJK). Akumulasi jaringan lemak terutama di bagian abdomen atau viseral berperan besar dalam pengembangan sindrom metabolik, PJK, atau keduanya. Oleh karena itu, penelitian persen lemak tubuh dan lemak viseral sebagai salah satu indikator penilaian risiko obesitas lansia juga dilakukan dalam studi ini mengingat minimnya penelitian-penelitian ini pada lansia khususnya etnis Jawa di Indonesia.

Perumusan Masalah

Penilaian status gizi lansia ditentukan melalui perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT). Tinggi badan dan berat badan merupakan indikator penting dalam menghitung nilai IMT. O leh karena tinggi badan adalah komponen beberapa indikator status gizi, maka pengukuran tinggi badan individu secara tepat sangat penting. Tetapi mendapatkan hasil pengukuran yang akurat pada manusia lanjut usia cukup sulit karena masalah postur tubuh yang berubah, atau harus duduk di kursi roda atau tempat tidur.

Studi antropometri lansia yang dilaksanakan di Indonesia amat terbatas. Hingga saat ini belum ada studi-studi pengembangan model prediksi tinggi badan lansia pada etnis-etnis tertentu melalui pengukuran tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk. Hal itu mungkin disebabkan oleh belum ada metode standard untuk pengumpulan data dan perlunya jumlah sampel yang sangat besar sehingga menyulitkan perbandingan nilai referensi untuk tujuan klinik dan epidemiologi. Variasi berbagai metode pengukuran tinggi badan seperti tinggi badan tegak (stature), tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk dapat memberikan hasil penilaian tinggi badan yang lebih akurat dibandingkan dengan persamaan yang telah ada seperti Chumlea.


(11)

Chumlea telah mengembangkan persamaan untuk memprediksi tinggi badan lansia dan individu yang mengalami cacat melalui pengukuran tinggi lutut karena tinggi lutut tidak berubah seiring meningkatnya usia. Namun persamaan itu kadang-kadang tidak dapat diterapkan bagi penduduk la nsia di Indonesia karena tinggi badan prediksi dari persamaan Chumlea cenderung memiliki selisih/perbedaan cukup jauh dari tinggi badan aktual.

Di wilayah Asia, pengembangan persamaan tinggi badan prediksi dari berbagai pengukuran antropometri telah dilakukan untuk Ras Kaukasoid, tetapi hanya satu studi yang dikembangkan berdasarkan pengukuran panjang depa untuk populasi lansia Malaysia (Shahar & Pooy 2003). Beberapa studi sejenis telah dilakukan di Indonesia dalam jumlah terbatas. Salah satunya adalah studi pengembangan persamaan tinggi badan prediksi lansia di beberapa panti werdha terpilih di DKI Jakarta dan Tangerang oleh Fatmah Tahun 2005. Beberapa temuan penting dalam studi ini antara lain korelasi tinggi lutut dengan tinggi badan lansia wanita lebih tinggi daripada lansia pria. Korelasi panjang depa dengan tinggi badan lansia pria lebih tinggi dibandingkan lansia wanita. Persamaan Chumlea saat diaplikasikan pada lansia pria dan wanita menunjukkan selisih 1 cm lebih rendah daripada tinggi badan sebenarnya (under-estimate). Prediksi tinggi badan lansia wanita lebih tinggi 2 cm dibandingkan dengan tinggi badan sebenarnya (over-estimate). Disimpulkan bahwa persamaan Chumlea kurang tepat digunakan dalam menghitung prediksi tinggi badan lansia di Indonesia. Panjang depa lebih tepat digunakan untuk memprediksi tinggi badan karena memiliki korelasi lebih tinggi terhadap tinggi badan sebenarnya pada lansia pria daripada lansia wanita. Korelasi antara tinggi lutut dengan tinggi badan aktual pada lansia wanita lebih besar daripada lansia pria sehingga lebih representatif untuk memperoleh tinggi badan prediksi lansia wanita.

Hal lain yang mendorong perlunya dilakukan studi pengembangan model prediksi tinggi badan lansia Indonesia adalah hingga saat ini Departemen Kesehatan RI belum memiliki model prediksi tinggi badan lansia Indonesia baik menggunakan parameter tinggi lutut, panjang depa, ataupun tinggi duduk dalam menilai status gizi la nsia. Institusi ini menggunakan formula yang dikembangkan oleh Eleanor D. Sthlenker Tahun 1993 dalam Buku Pedoman Tatalaksana Gizi


(12)

Usia Lanjut untuk Tenaga Kesehatan di Indonesia. Belum tersedianya model prediksi tinggi badan lansia di Indonesia yang dikembangkan melalui pengukuran tinggi badan sebenarnya menyebabkan perhitungan tinggi badan lansia tidak akurat dan tepat sehingga akhirnya mempengaruhi penilaian Indeks Massa Tubuhnya. Hasil perhitungan dapat bersifat under-estimate atau over-estimate bila memakai persamaan Chumlea ataupun persamaan dari negara di luar Indonesia. Akibatnya adalah penilaian status gizi lansia tidak akurat dan bias sehingga berdampak pada perencanaan program gizi lansia oleh pemerintah maupun pihak swasta. Melalui uji validitas model prediksi tinggi badan pada beberapa lansia di luar studi ini dengan kondisi tubuh sehat dan mampu berdiri tegak, diharapkan persamaan prediksi tinggi badan dapat diterapkan pada semua lansia. Berbagai variasi kondisi tubuh baik bungkuk, memiliki gangguan pergelangan tangan sehingga sulit merentangkan kedua tangannya, lumpuh, dan sebagainya tidak menjadi halangan untuk diukur tinggi badannya. Salah satu parameter pengukuran bisa dipilih yaitu panjang depa, tinggi lutut, atau tinggi duduk dengan memperhatikan bagian organ tubuh yang dapat diukur dan posisi pengukuran (duduk atau berbaring). Selanjutnya hasil pengukuran salah satu parameter itu dimasukkan ke dalam Tabel IMT yang berbeda untuk tiap parameter pengukuran baik lansia laki- laki maupun perempuan.

Pertanyaan Penelitian

1. Apakah tinggi badan dapat diprediksi dari tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk?

2. Apakah tinggi badan (aktual dan prediksi) berbeda makna dengan faktor- faktor penentu tinggi badan yaitu wilayah tinggal, jenis kelamin, tingkat aktivitas fisik, ekonomi (tingkat pendidikan akhir), dan beban pekerjaan fisik harian? 3. Apakah tinggi badan (aktual dan prediksi) berhubungan dengan densitas tulang

(osteoporosis), dan lemak tubuh?

4. Apakah prevalensi osteoporosis dan faktor-faktor risikonya yaitu wilayah tinggal, jenis kelamin, usia, tingkat aktivitas fisik, ekonomi (tingkat pendidikan akhir), dan beban pekerjaan fisik harian dapat dianalisis?


(13)

5. Apakah lemak tubuh (persen lemak tubuh dan lemak viseral) dan faktor- faktor risikonya yaitu wilayah tinggal, jenis kelamin, usia, tingkat aktivitas fisik, ekonomi (tingkat pendidikan akhir), dan beban pekerjaan fisik harian dapat dianalisis ?

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian adalah untuk mengembangkan model prediksi tinggi badan lansia berdasarkan tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk.

Tujuan Khusus

1. Menganalisis perbedaan antara tinggi badan (aktual dan prediksi) dengan faktor- faktor penentu tinggi badan yaitu wilayah tinggal, jenis kelamin, tingkat aktivitas fisik, ekonomi (tingkat pendidikan akhir), dan beban pekerjaan fisik harian.

2. Menganalisis hubungan antara tinggi badan (prediksi dan aktual) dengan densitas tulang (osteoporosis), dan lemak tubuh (persen lemak tubuh dan lemak viseral).

3. Menganalisis prevalensi osteoporosis dan faktor-faktor risikonya yaitu wilayah tinggal, jenis kelamin, usia, tingkat aktivitas fisik, ekonomi (tingkat pendidikan akhir), dan beban pekerjaan fisik harian.

4. Mengana lisis lemak tubuh (persen lemak tubuh dan lemak viseral) dan faktor-faktor risikonya yaitu wilayah tinggal, jenis kelamin, usia, tingkat aktivitas fisik, ekonomi (tingkat pendidikan akhir ), dan beban pekerjaan fisik harian.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi beberapa bidang ilmu dan sejumlah pihak yaitu:

Pihak Pelayanan Kesehatan khususnya Kesehatan Usia Lanjut

1. Tabel Indeks Massa Tubuh (IMT) yang dihasilkan dalam studi ini diharapkan bermanfaat bagi pihak pemerintah (puskesmas, RS, atau tempat sarana pelayanan kesehatan usia lanjut lainnya), swasta, LSM, maupun berbagai


(14)

kelompok usia lanjut itu sendiri untuk merancang strategi program-program pengembangan kesehatan gizi lansia di Indonesia dalam rangka mengoptimalkan pelayanan gizi usia lanjut yang selaras dengan peningkatan program kesehatan usia lanjut

2. Penelitian ini berupaya mengembangkan pemakaian alat Sahara Bone Clinical Sonometer yang memiliki tingkat sensitivitas cukup tinggi untuk memprediksi kejadian fraktur osteoporosis ke depan, dan Omron Body Fat Analyzer dalam menilai kandungan persen lemak tubuh dan lemak viseral. Diharapkan nantinya pemakaian kedua alat ini di lapangan oleh pihak pelayanan kesehatan dapat menghasilkan penilaian status densitas massa tulang dan lemak tub uh lansia yang cukup akurat.

Bidang Gizi Lansia

Hasil penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan keilmuan gizi lansia terkait dengan antropologi gizi. Dengan diperolehnya model prediksi tinggi badan lansia Etnis Jawa yang diperoleh dari persamaan regresi dengan konsep allometri, maka diketahui kekuatan korelasi antara prediktor panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk lansia etnis terbesar di Indonesia.

Ahli Gizi dan Bidang Lain yang Terkait

1. Prediktor panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk dapat digunakan untuk menilai tinggi badan prediksi lansia dan individu yang mengalami kecacatan sehingga dapat dinilai status gizinya, lalu ditindaklanjuti dengan langkah-langkah penanganan malnutrisi (gizi kurang dan gizi lebih) jika ditemukan kelainan status gizi.

2. Studi sejenis dapat dilakukan dengan pengukuran parameter lain seperti

calf circumference, dan length trunk atau tetap menggunakan 3 prediktor sebelumnya, namun pada etnis yang berbeda karena etnis adalah faktor non patologis yang mempengaruhi perbedaan tinggi badan antar individu. 3. Tersedianya data dan informasi epidemiologis tentang besaran masalah

osteoporosis, gambaran persen lemak tubuh, dan lemak viseral menjadi penting dalam rangka mencegah penduduk lansia dari risiko osteoporosis


(15)

dan obesitas. Ketiga jenis data tersebut dapat dijadikan sebagai input bagi pihak pemerintah, swasta, dan pihak lain yang terkait untuk merancang program-program kesehatan lansia terutama bagi pencegahan osteoporosis dan obesitas di Indonesia. Gizi merupakan salah satu bidang yang menjadi aspek penting bagi peningkatan kesehatan hidup lansia melalui perbaikan pola konsumsi makanan dan aktivitas fisik.

Pihak Masyarakat

Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi masyarakat dalam menuju usia tua yang sehat (healthy aging) khususnya dalam melakukan upaya-upaya pencegahan dan penanganan osteoporosis dan obesitas antara lain melakukan aktivitas fisik secara rutin; mengonsumsi makanan rendah lemak dan tinggi serat; serta makanan sumber kalsium.

Bagi Perguruan Tinggi

Bagi perguruan tinggi, penelitian ini merupakan:

1. Salah satu realisasi Tridharma Perguruan Tinggi dalam melakukan fungsi dan tugas perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan, penelitian, dan penegakan masyarakat.

2. Pembuka jalan bagi penelitian lanjutan yang sejenis pada etnis lain di Indonesia.

Bagi Peneliti

Penelitian ini merupakan salah satu kesempatan untuk:

1. Mengembangkan daya nalar, minat, dan kemampuan dalam bidang penelitian.

2. Memperoleh hal- hal baru mengenai pengembangan model prediksi tinggi badan lansia, hubungan antara tinggi badan dengan densitas massa tulang dan lemak tubuh.

3. Membuka wawasan bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian osteoporosis dan lemak tubuh pada lansia etnis lain di Indonesia.


(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Pertumbuhan dan perkembangan manusia terdiri dari serangkaian proses perubahan yang rumit dan panjang sejak pembuahan ovum oleh sperma dan berlanjut sampai berakhirnya kehidupan. Secara garis besarnya, perkembangan manusia terdiri dari beberapa tahap yaitu kehidupan sebelum lahir, saat bayi, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan lanjut usia (lansia).

Menjadi tua adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri secara perlahan- lahan dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo R .Boedhi & Hadi Martono 1999).

Lanjut Usia (Lansia)

Lanjut usia (lansia) merupakan kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan secara bertahap dalam jangka waktu tertentu. Menurut WHO, lansia dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu:

a. Usia pertengahan (middle age) : usia 45-59 tahun. b. Lansia (elderly) : usia 60 – 74 tahun. c. Lansia tua (old) : usia 75 – 90 tahun. d. Usia sangat tua (very old) : usia di atas 90 tahun Depkes RI (2006) memberikan batasan la nsia sebagai berikut:

a. Prasenium/virilitas :

Masa persiapan usia lanjut yang menampakkan kematangan jiwa (usia 55 – 59 tahun).

b. Senescen (Usia Lanjut Dini):

Kelompok yang mulai memasuki masa usia lanjut dini (usia 60-64 tahun)

c. Lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif: usia di atas 65 tahun

Pengertian lansia dibedakan atas 2 macam yaitu lansia kronologis (kalender) dan lansia biologis. Lansia kronologis mudah diketahui dan dihitung, sedangkan lansia biologis yang dijadikan patokan adalah keadaan jaringan tubuh. Individu


(17)

yang berusia muda tetapi secara biologis dapat tergolong lansia dilihat dari keadaan jaringan tubuhnya.

Penuaan merupakan proses alamiah, terus menerus dan berkesinambungan yang mengalami perubahan anatomi, fisiologis, dan biokimia pada jaringan atau organ yang pada akhirnya mempengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Penuaan

Menurut Soekirman et al. (2006), kecepatan proses menua tiap individu berbeda-beda yang bergantung pada beberapa faktor yaitu:

1. Keturunan

Kemampuan mengganti sel-sel yang rusak menurun pada proses menua. Kecepatan penurunan ini ditentukan oleh faktor keturunan artinya ada orang yang berasal dari keturunan ”cepat tua” dan ”awet muda”.

2. Lingkungan

Lingkungan seperti paparan sinar matahari, rokok, polusi udara, ozon dapat merusak sel-sel tubuh sehingga lebih cepat menua.

3. Kebugaran

Diperoleh dari istirahat yang cukup, dan olahraga teratur dapat memperlambat penuaan jantung dan pembuluh darah, serta menurunkan risiko Penyakit Jantung Koroner (PJK).

4. Stress

Stress fisik seperti dingin, panas, sakit, dsbnya serta stress psikologis antara lain tekanan hidup, marah, kesal, sedih, dll ternyata mempercepat proses penuaan. Tubuh yang mengalami stress berat atau berkepanjangan dapat menghabiskan cadangan tubuh sehingga tubuh melemah, menua, dan rentan terhadap penyakit.

5. Gizi

Gizi seimbang yang terlihat dari perbandingan berat badan sesuai tinggi badan turut mempengaruhi proses penuaan artinya dapat memperpanjang usia. Hal itu terjadi karena gizi seimbang potensial untuk mencegah penyakit infeksi dan degeneratif.


(18)

Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Proses Penuaan

Menurut Soekirman et al. (2006) proses penuaan ditandai oleh terjadinya gangguan fungsi tubuh dan penurunan kemampuan tubuh untuk mengatur proses kehidupan antara lain:

1. Tulang dan Otot

Lansia mengalami kerusakan jaringan tulang dengan kecepatan lebih besar pada perempuan daripada laki- laki sehingga terjadi osteoporosis. Hal ini menimbulkan risiko patah tulang pada lansia akibat jatuh. Osteoporosis dapat berkembang dengan cepat atau dengan lambat, tergantung pada mekanisme homeostatik yang terlibat. Fase cepat kehilangan massa tulang (disebut juga tipe I) terjadi disebabkan karena kekurangan hormon estrogen dan testosteron. Kehilangan massa tulang cend erung lebih banyak ditemukan pada wanita. Hal itu disebabkan oleh wanita lebih muda diserang kehilangan tulang dalam 3 atau 5 tahun setelah menopause akibat kekurangan hormon estrogen (osteoporosis tipe I). Osteoporosis pada pria lebih lambat dari wanita. Kekurangan kadar testosteron pria kira-kira 40% antara usia 40 – 70 tahun, diikuti pengurangan massa tulang. Kehilangan massa tulang pada pria dua kali lipat setelah operasi atau pembuangan hormon testosteron (bentuk pengobatan untuk kanker prostat). Fase lambat kehilangan tulang, disebut juga tipe II atau osteoporosis akibat penuaan, terjadi disebabkan karena pengurangan penyerapan kalsium. Osteoporosis berdasarkan umur berhubungan dengan penyakit karena dampak kehilangan tulang terjadi lebih lambat dan biasanya tidak terlihat sampai masa tua. Proses menua menyebabkan proporsi lemak dan otot di dalam tubuh berubah. Semakin tua lemak tubuh bertambah sedangkan otot berkurang dan melemah. Inilah yang menyebabkan kegemukan/obesitas. Kegemukan mempunyai implikasi terhadap kesehatan, yaitu memberi beban ekstra pada tulang yang dapat menyebabkan arthritis atau radang sendi dan penyakit rematik lainnya. Di samping itu, kegemukan meningkatkan risiko terhadap penyakit diabetes, penyakit jantung, kanker dan stroke.


(19)

2. Jantung dan Pembuluh Darah

Proses menua menyebabkan jantung mengecil, katup jantung menjadi kaku dan menebal. Kantong jantung akan dilapisi oleh lemak. Elastisitas pembuluh darah berkurang dan terjadi pengapuran. Akibatnya, kemampuan jantung untuk memompa darah berkurang, begitupun kemampuan untuk menggunakan oksigen. Jantung yang menua tidak tahan terhadap stres fisik, seperti kenaikan tekanan darah, demam dan olah raga berlebihan. Stres ini dapat menyebabkan kegagalan jantung. Tekanan darah sistole biasanya mengalami kenaikan pada proses menua, sedangkan perubahan pada tekanan darah diastole hanya sedikit.

3. Kehilangan Gigi

Kesehatan gigi dan mulut yang tdiak diperhatikan sejak usia dini mengakibatkan gigi mudah tanggal atau berlubang sejalan denga n proses penuaan. Akibatnya lansia merasa kurang nyaman atau sakit saat mengunyah makanan.

4. Sistem Saluran Cerna

Terjadi pengurangan cairan saluran cerna dan enzim yang membantu pencernaan saat penuaan. Kemampuan penyerapan zat gizi terutama lemak dan kalsium, dan nafsu makan berkurang. Sekresi air ludah yang menurun dapat mengurangi kemampuan mengunyah dan menelan makanan.

Kesulitan buang air besar (BAB) pada lansia disebabkan oleh berkurangnya gerakan usus, kurangnya konsumsi makanan tinggi serat, obat-obatan, atau infeksi saluran cerna.

5. Sistem Ginjal

Ginjal mengalami kehilangan sel yang berfungsi mengeluarkan urin sehingga tidak mampu berfungsi optimal dan aliran darah yang masuk berkurang. Akibatnya terjadi penumpukan garam dan gula dalam darah, serta pengeluaran sisa-sisa pemakaian protein tubuh menurun.

6. Sistem Endokrin

Terjadi gangguan fungsi endokrin sehingga metabolisme sel-sel dan kemampuan tubuh mengatasi stress terganggu, produksi insulin dan hormon reproduksi juga menurun.


(20)

7. Sistem Imunitas Tubuh

Menurunnya imunitas tubuh pada lansia menimbulkan kerentanan terhadap penyakit infeksi dan degeneratif.

8. Sistem Syaraf

Terjadi pengurangan kemampua n mengalirkan rangsangan syaraf. Sel otak cenderung rusak dan ingatan menurun sehingga timbul kepikunan. Juga terjadi gangguan pola tidur di mana lansia lebih banyak tidur di siang hari daripada malam hari.

9. Sistem Pernapasan

Elastisitas paru-paru berkurang pada penuaan sehingga paru-paru kaku dan kemampuan tub uh untuk melakukan kegiatan fisik berkurang. Juga terjadi pengurangan kemampuan paru-paru untuk menghirup gas O2 dan mengeluarkan gas CO2.

10. Indera

Indera perasa, penciuman, pendengaran, penglihatan, dan perabaan menurun. Akibatnya timbul penurunan nafsu makan dan sensitivitas rasa asin dan manis. 11. Kulit

Kulit mengering, keriput, ada pembentukan bintik hitam (pigmentasi), dan kapiler di bawah kulit mudah pecah (memar). Rambut memutih dan mudah rontok.

Perubahan Pertumbuhan Fisik Berdasarkan Siklus Kehidupan

Menurut George Kluger dan Meriem F. Kaluger (1974), perubahan-perubahan fisik yang timbul pada kelompok daur kehidupan remaja, dewasa muda, dan lanjut usia adalah sebagai berikut:

1.Masa remaja (pubertas) dan dewasa muda

Growth spurt dimulai pada 1 sampai 2 tahun sebelum anak-anak menjadi matang secara seksual dan dilanjutkan 6 bulan – 1 tahun setelahnya. Growth spurt remaja puteri dimulai pada usia 8,5 – 11,5 tahun. Setelah pubertas, pertumbuhan tubuh dilanjutkan hingga usia 17 – 18 tahun. Remaja pria memiliki pola percepatan pertumbuhan pada usia 14,5 – 15,5 tahun. Setelah itu mengalami penurunan hingga usia 18 atau 20 tahun ketika rata-rata TB dewasa


(21)

tercapai. Perbedaan distribusi lemak selama pubertas terjadi akibat perubahan hormonal dan meningkatnya nafsu makan. Pada remaja pria, penumpukan lemak terjadi pada perut, paha, dan pinggul. Jaringan lemak pada remaja pria menurun setelah pubertas. Distribusi lemak pada remaja puteri terdapat pada abdomen perut dan pinggul. Pria dewasa muda biasanya memiliki karakteristik garis kaki lurus, pinggul ramping, bahu lebar, paru-paru yang luas, dan pengembangan otot terpusat pada bahu, tangan, dan paha. Wanita dewasa muda mempunyai garis kaki melengkung seperti kurva, payudara penuh, dan pinggul melebar dengan lemak menumpuk pada panggul, paha, dan lengan atas. Garis pinggang yang tinggi terbentuk pada remaja seiring dengan batang tubuh yang memanjang, tetapi menurun saat proportional tubuh dewasa tercapai. Sebelum pubertas, kaki menjadi lebih panjang daripada batang tubuh dan tangan juga bertambah panjangnya sehingga tangan dan kaki tampak tidak proportional. Pengembangan tulang skeletal berhenti saat seseorang berusia 18 tahun. Akhir perkembangan TB dan BB pada remaja tergantung pada faktor- faktor

seperti keturunan, asupan makanan saat prenatal dan postnatal, lingkungan, aktivitas tubuh saat bayi dan masa kanak-kanak, serta status kesehatan.

2. Lanjut Usia (Lansia)

Kondisi fisik lansia tergantung pada temperamen psikologi, kehidupan sosial (stress), keturunan, status gizi (malnutrisi), penyakit infeksi dan degeneratif, serta lingkungan (panas dan dingin). Perubahan fisik yang tampak pada lansia antara lain bahu membungkuk, kekuatan tangan dan kaki menurun, komposisi bahan kimia dalam tulang berubah sehingga kepadatan tulang berkurang dan lebih rapuh. Akibatnya meningkatkan risiko kerusakan tulang di kemudian hari. Gerakan- gerakan sendi menjadi kaku dan lebih terbatas sehingga merusak skeleton.

Status Gizi La nsia

Status gizi lansia sangat dipengaruhi oleh proses menua (aging). Proses penuaan sangat individual dan berbeda perkembangannya bagi tiap individu karena dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Asupan gizi dari makanan mempengaruhi proses menjadi tua karena seluruh aktifitas sel/metabolisme tubuh


(22)

memerlukan nutrien yang cukup selain faktor penyakit dan lingkungan. Sebagian besar masalah gizi lansia adalah gizi lebih yang memicu timbulnya penyakit degeneratif seperti: obesitas, PJK, Diabetes Mellitus (DM), hipertensi, rematik, dan kanker. Dampak asupan gizi saat usia muda akan mempengaruhi status kesehatan dan gizinya di usia lanjut.

Gizi Lebih

Gizi lebih merupakan masalah gizi yang umum terjadi pada lansia. Hal itu disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Salah satu faktor eksternal yang menimbulkan gizi lebih adalah pola konsumsi makanan secara berlebihan, banyak mengandung lemak, protein, dan karbohidrat yang tidak sesuai dengan kebutuhan kalori sejak usia muda maupun kanak-kanak. Gizi lebih atau obesitas merupakan salah satu pencetus berbagai penyakit degeneratif seperti PJK, hipertensi, diabetes, dan sebagainya.

Tubuh lansia mengalami kenaikan lemak tubuh dan menurunnya jaringan otot seiring peningkatan usia. Bila seseorang memiliki berat badan (BB) 20% di atas normal termasuk kategori kegemukan. Orang yang gemuk memiliki risiko sakit dan meninggal lebih tinggi karena erat hubungannya dengan penyakit hipertensi, PJK, diabetes, dan kanker.

Gizi Kurang

Penurunan berat badan yang drastis pada lansia merupakan pertanda kekurangan gizi akibat rendahnya nafsu makan (anoreksia) yang berkepanjangan. Seringkali gizi kurang merupakan akibat dari penyakit infeksi kronis, keganasan penyakit, penyakit jantung kongestif, masalah sosial, masalah ekonomi atau sebab-sebab lain yang tidak diketahui. Selain itu, pada beberapa keadaan tertentu ditemukan kekurangan vitamin dan mineral khususnya defisiensi Fe, Ca, vitamin C, vitamin B12, dan vitamin B6 karena kurangnya asupan makanan sumber-sumber vitamin dan mineral, penyakit-penyakit tertentu, dan obat-obatan yang dimakan.


(23)

Penilaian Status Gizi

Status gizi lansia dapat diukur dengan berbagai cara yaitu: 1. Penilaian Klinis

Berdasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi pada jaringan epitel atau tubuh lain terutama pada mata, kulit, dan rambut. Juga pada bagian tubuh yang dapat diraba dan dilihat atau bagian tubuh lain yang terletak d dekat permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Cara ini relatif murah dan tidak memerlukan perala tan canggih, namun hasilnya sangat subyektif dan memerlukan tenaga terlatih.

2. Penilaian Biokimia

Merupakan cara penilaian yang lebih sensitif dan mampu menggambarkan perubahan status gizi lebih dini pada lansia seperti hiperlipidemia, KKP, dan anemia defisiensi Fe dan asam folat. Plasma dan serum memberikan gambaran hasil masukan jangka pendek, sedangkan cadangan dalam jaringan menggambarkan status gizi dalam waktu panjang/lama.

3. Penilaian Dietetik

Biro et al. (2002) mendefinisikan penilaian dietetik sebagai penilaian yang menggambarkan kualitas dan kuantitas asupan dan pola makan lansia melalui pengumpulan data dalam survey konsumsi makanan.

Metode pengumpulan data asupan makanan individu terbagi 2 yaitu: a. Short term

Mengumpulkan infomasi data makanan saat sekarang (current)

Alat ukur: 24 hours food recall & lbh dari 2 hari (dietary records) b. Long term

Mengumpulkan informasi tentang makanan yg biasa dikonsumsi sebulan atau setahun yg lalu.

Alat ukur: dietary history atau FFQ

Food Frequency Questionnaire (FFQ)

Menurut Willet (1999), metode Food Frequency Questionnaire (FFQ) digunakan untuk menggambarkan frekuensi konsumsi makanan dan jenis makanan yang dikonsumsi beberapa waktu yang lalu (satuan minggu, bulan, atau tahun).


(24)

Pada dasarnya metode ini terdiri dari 2 komponen yaitu: daftar makanan dan frekuensi konsumsi untuk melaporkan seberapa sering suatu makanan dikonsumsi. FFQ semi kuantitatif digunakan untuk memperoleh data jumlah porsi makanan yang dikons umsi (ukuran potong atau sendok, dsbnya). Guthrie dalam Willet (1999) menge mukakan bahwa umumnya individu tidak dapat menggambarkan ukuran porsi makanan yang dikonsumsi secara tepat (hanya sekitar 25% yang akurat). Namun demikian, beberapa peneliti menemukan bahwa ukuran porsi secara positif berkorelasi dengan frekuensi konsumsi artinya informasi ukuran porsi mendukung informasi frekuensi konsumsi.

Data FFQ dapat digunakan untuk menghitung asupan zat gizi dengan status kesehatan dan gizi individu melalui program analisis zat gizi bahan makanan. Asupan zat gizi dari FFQ dapat dihitung dari pembobotan frekuensi konsumsi makanan, contohnya 1-3 kali/hari, 1 kali//minggu, 1 kali/bulan, atau 1 kali/tahun. Pengumpulan data FFQ melalui wawancara dapat memberikan hasil lebih akurat karena responden memiliki waktu lama untuk berpikir mengingat kembali semua jenis makanan, frekuensi dan porsi makanan yang dikonsumsi, responden memahami pertanyaan yang diajukan oleh enumerator.

Validitas metode FFQ cukup tinggi dibandingkan metode lainnya. Suatu studi yang dilakukan pada wanita post- menopause di Cina (Liangzhi et al. 2004) menemukan bahwa FFQ cukup valid dalam menggambarkan kebiasaan makan responden karena FFQ mengukur volume makanan yang dikonsumsi oleh responden dan bukan berat makanan.

Dietary assessment pada lansia

Pengukuran asupan makanan pada lansia secara retrospektif yangg memerlukan konfirmasi kurang tepat dilakukan. Tidak satupun metode dietary asessment menghasilkan estimasi kebutuhan energi umum yang akurat pada lansia karena adanya defisit memori atau gangguan lainnya. Dietary history &

dietary record tampaknya menghasilkan nilai under-estimate pada makanan yg dikonsumsi oleh lansia.


(25)

Penggunaan FFQ lebih tepat digunakan bagi lansia untuk menilai rata-rata asupan zat gizi daripada metode food weighing yang memerlukan waktu lama dan biaya mahal. Metode FFQ yang menggunakan ukuran porsi (semi kuantitatif FFQ) dapat memberikan estimasi jumlah makanan atau zat gizi yang dikonsumsi pada masa lampau. Pada penilaian diet jangka pendek, ukuran porsi makanan yg dikonsumsi adalah ukuran nyata, sedangkan pada jangka panjang adalah ukuran porsi yang umum/biasa dipakai.

Informasi tentang makanan yang dikonsumsi dapat mengidentifikasi sumber atau penyebab malnutrisi dan menjadi dasar bagi perubahan-perubahan diet yang direkomendasikan. Data-data asupan makanan di tingkat individu dapat meningkatkan pemahaman antara diet dengan kesehatan, sebagai tanda-tanda adanya kelainan gizi, dan dapat memecahkan masalah-masalah gizi. Data tersebut menjadi dasar bagi pelaksanaan program bantuan pangan pada kelompok-kelompok rawan gizi, program konseling terkait dengan penyakit degeneratif, dan untuk monitoring tujuan-tujuan gizi yang terkait dengan kesehatan.

Survey diet atau konsumsi makanan di tingkat nasional menjadi dasar bagi program edukasi gizi, pengembangan petunjuk gizi, atau legislasi makanan. Pemilihan metode survey gizi tergantung pada tujuan survey itu sendiri. Informasi tentang asupan makanan saat kini dan masa lalu dikumpulkan melalui recal

makanan berulang, frekuensi makanan, atau diet history (Sanjur & Maria 1997).

4. Penilaian Antropometri

Antropometri adalah serangkaian teknik-teknik pengukuran dimensi kerangka tubuh manusia secara kuantitatif. Antropometri seringkali digunakan sebagai tool pengukuran antropologi biologi yang bersifat cukup obyektif dan terpercaya. Perubahan komposisi tubuh yang terjadi pada pria dan wanita yang bervariasi sesuai tahapan penuaan dapat mempengaruhi antropometri. Akibatnya nilai standard antropometri dari populasi dewasa tidak dapat diterapkan pada kelompok lansia. Seleksi variabel- variabel antropometri untuk menentukan status gizi lansia harus berdasarkan: validitas, availabilitas standarisasi teknik-teknik pengukuran dan data rujukan, serta kepraktisan (Perissinotto et al. 2002).


(26)

Penilaian status gizi lansia diukur dengan antropometri/ukuran tubuh yaitu tinggi badan (TB) dan berat badan (BB). Namun pengukuran TB lansia sangat sulit dilakukan mengingat adanya masalah postur tubuh seperti terjadinya kifosis, atau pembengkokan tulang punggung sehingga lansia tidak dapat berdiri tegak, maka pengukuran tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk dapat digunakan untuk memperkirakan TB.

Faktor genetik, diet, dan ras atau lingkungan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perbedaan TB seseorang. Faktor-faktor non-patologis yang mempengaruhi distribusi karakteristik antropometri antara lain: usia, gender/sex, dan daerah geografi/etnis (Chumlea et al. 1984). Sebuah studi yang dilakukan pada masyarakat dewasa Suku Aborigin Australia relatif memiliki kaki lebih panjang, tubuh lebih pendek, dan BB/TB lebih rendah dibandingkan etnis lainnya pada umur dan jenis kelamin yang sama (Launer & Harris, 1996). Sementara komposisi tubuh orang dewasa di MesoAmerika mempunyai TB yang rendah dan pada usia lanjut mengalami penuruna n TB sesuai bertambahnya usia (Edmun et al. 2000). Studi lainnya di Belanda menggambarkan penduduk lansia Mediterranian lebih tinggi daripada penduduk lansia Eropa Barat, Asia, Afrika, dan Amerika (Myers & Takiguchi 1994).

Studi tentang validasi persamaan Caucasian (Chumlea) tinggi lutut untuk prediksi TB lansia di berbagai negara masih amat minim/langka. Beberapa studi tentang pengembangan persamaan estimasi TB penduduk lansia di beberapa negara disajikan berikut ini. Sebuah studi telah dilakukan pada tahun 2000 terhadap penduduk lansia wanita dan pria Cina di Hongkong tanpa kelainan tulang apapun dan masih dapat berdiri tegak melalui pengukuran TB dan tinggi lutut. Ternyata ditemukan perbedaan signifikan antara persamaan Chumlea dengan studi tersebut pada kelompok lansia wanita. Ada hubungan antara tinggi badan, tinggi lutut, dan umur terhadap etnis dan jenis kelamin. Sementara tinggi badan lansia pria Cina dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan Caucasian atau Cina. Regressi model yang dikembangkan dalam studi ini menghasilkan estimasi tinggi badan lebih baik pada kelompok lansia wanita Cina (Pini et al. 2001).


(27)

Estimasi tinggi badan pada lansia Jepang dilakukan untuk memprediksi tinggi badan menggunakan tinggi badan aktual dan prediksi dengan Multiple Linear Regressión. Persamaan tinggi lutut lansia Jepang di wilayah geografis tertentu digunakan untuk memudahkan pemakaian tinggi lutut secara akurat (Pini

et al. 2001). Suatu studi longitudinal dilakukan pada penduduk lansia Italia untuk menentukan perubahan tinggi badan dalam waktu 6 tahun. Studi menemukan hasil pengukuran tinggi lutut lebih besar dibandingkan dengan hasil pengukuran tinggi badan pada populasi dan jenis kelamin yang sama. Ada penurunan tinggi badan 1,7 cm di mana wanita menunjukkan penurunan yang lebih besar daripada pria (Donini et al. 2000). Prediksi tinggi badan penduduk lansia Italia juga dilakukan pada tahun 2000 untuk merumuskan persamaan tinggi badan dari hasil pengukuran tinggi lutut (Pini et al. 2001). Pengukuran panjang depa (arm span) sebagai prediktortinggi badan dilakukan terhadap wanita dewasa usia 20-29 tahun di Indian Selatan. Studi membuktikan hubungan antara panjang depa dengan tinggi badan (Mohanty et al. 2001).

Tinggi badan merupakan parameter penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang dan menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam kondisi normal, maka tinggi badan tumbuh bersama dengan pertambahan umur. Lansia akan mengalami penuruna n tinggi badan akibat terjadinya pemendekan

columna vertebralis, berkurangnya massa tulang (12% pada pria dan 25% pada wanita), osteoporosis, dan kifosis. Rata-rata penurunan tinggi badan lansia sekitar 1-2 cm/10 tahun, di mana penurunan ini dimulai sejak usia 50 tahun. Sementara Chumlea menemukan adanya penurunan tinggi badan sebesar 0,5 cm/tahun pada lansia kulit putih usia 60-80 tahun (Chumlea et al. 1984). Studi yang dilakukan oleh Perissinotto et al. (2002) menunjukkan penurunan tinggi badan lansia 2-3 cm/10 tahun. Studi lain pada lansia Swedia menemukan penurunan tinggi badan 4-5 cm selama 25 tahun, dan studi Baumgartner et al melaporkan penurunan

tinggi badan 0,5-1,5 cm/dekade (Chumlea et al. 1984). Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan menggunakan alat microtoise

dengan ketelitian 0,1 cm. Tetapi pada lansia yang mengalami kelainan tulang dan tidak dapat berdiri, maka tidak dapat dilakukan pengukuran tinggi badan secara tepat. Menurut Chumlea, bagi lansia yang tidak dapat berdiri ataupun bongkok


(28)

pengukuran tinggi lutut dapat dilakukan untuk memperkirakan tinggi badan. Sementara Schlenker (1993) menyebutkan bahwa metode lain yang dapat dipakai dalam memprediksikan tinggi badan dengan tinggi lutut dan panjang depa. Menurut Gibson, tinggi lutut memiliki korelasi yang erat dengan tinggi badan sehingga tinggi badan lansia pria dan wanita dapat dirumuskan dari data tinggi lutut sebagai berikut (Chumlea 1988).

TB pria = 64,19 – (0,04 x usia dalam tahun) + (2,02 x tinggi lutut dlm cm) TB wanita = 84,88 – (0,24 x usia dalam tahun) + (1,83 x tinggi lutut dlm cm)

Gambar 1 Tabel nomogram untuk konversi prediksi tinggi badan dari tinggi lutut hasil pengukuran (Gibson 2005).

Gambar 1 menampilkan nomogram yang dapat digunakan untuk mengkonversikan data tinggi lutut hasil pengukuran untuk memprediksi tinggi badan lansia pada kelompok usia dan jenis kelamin yang berbeda tanpa perlu memasukkan nilai tinggi lutut hasil pengukuran ke dalam persamaan Chumlea (Gibson 2006). Selanjutnya data tinggi lutut yang telah dikonversikan


(29)

menggunakan tabel normogram atau persamaan Chumlea dimasukkan dalam rumus IMT yaitu:

Pengelompokan IMT untuk klasifikasi status gizi lansia berdasarkan standar WHO (WHO 1999) adalah:

Tabel 1 Kategori status gizi lansia berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut WHO 1999

IMT (kg/m2) Status Gizi < 20 underweight

20 – 25 normal 25 - 30 overweight

>= 30 obesitas

Penilaian status gizi lansia menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI 2005) ditampilkan pada Tabel 2 di bawah ini:

Tabel 2 Kategori status gizi lansia berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut Depkes RI 2005

IMT (kg/m2) Status Gizi < 18,5 gizi kurang 18,5 – 25 gizi normal > 25 gizi lebih

Penentuan status gizi lansia di Indonesia hingga saat ini masih menggunakan kategori dalam Tabel 2 di atas sesuai yang dirumuskan oleh Departemen Kesehatan RI Tahun 2005.

Berikut ditampilkan beberapa model prediksi tinggi badan lansia dari sejumlah negara di dalam dan luar Indonesia berdasarkan hasil- hasil penelitian (Tabel 3). Umumnya parameter panjang depa dan tinggi lutut lebih banyak digunakan dalam studi-studi tersebut. Tinggi duduk hanya ditemukan dalam dua studi di luar Indonesia. Namun meskipun jarang dipakai, tinggi duduk merupakan

IMT = berat badan (kg) tinggi badan (m)2


(30)

salah satu prediktor tinggi badan yang dapat digunakan untuk melakukan prediksi tinggi badan pada kelompok lansia.

Tabel 3 Model- model prediksi tinggi badan lansia beberapa negara

No. Negara Etnis Model Prediksi Tinggi Badan Lansia Laki-Laki R2 Wanita R2

1. Ethiopia Oromo 45,5 + (0,70 PD) 0,71 55,5 + 0,62 PD 0,68

Amhara 56,9 + (0,64 PD) 0,70 53,4 + 0,64 PD 0,73 Tigre 44,9 + (0,70 PD) 0,71 49,9 + 0,66 PD 0,70 Somali 56,8 + (0,67 PD) 0,73 52,1 + 0,68 PD 0,64

2. Cina - 51,16 + (2,24 TL) 0,63 46,11+ (2,46TL) - (0,12U) 0,67

3. Italia 94,87 + 1,58TL – 0,23U + 4,8S

-4. Ohio Kulit putih (TL x 2,08) + 59,01 - (TL x 1,91) - (U x 0,17) + 75 -

Kulit hitam (TL x 1,96) + 58,72 - - -

5. AS Non-Hispanic Putih 78,31+ (1,94 TL)- (0,14 U) 0,69 82,21+ (1,85 TL) - (0,21U) 0,64

Non-Hispanic Hitam 79,69 + (1,85 TL)- (0,14 U) 0,70 89,58+(1,61TL)-(0,17 U) 0,63 Mexico – Amerika 82,77 + (1,83 TL)-(0,16U) 0,66 84,25 + (1,82 TL) – (0,26 U) 0,65

6. Filipina - 96,50 + (1,38 TL) – (0,08 U - 86,98 + (1,53 TL) – (0,17 U) - 118,24 + (0,28 PD) – (0,07 U) - 63,18 + (0,63 PD) – (0,17 U) - 7. Jepang - 71,16 + (2,61 TL) – (0,56 U) - 63,06 + (2,38 TL) – (0,34 U) - 8. Chumlea - 64,19 – (0,04 U) + (0,02 TL) - 84,88 – (0,24 U) + (1,83 TL) -

9. Malaysia - (0.681 PD) + 47.56 0,75 (0.851 PD) + 18.78 0,81 (1.924 TL) + 69.38 0,66 (2.225 TL) + 50.25 0,70

10. Indonesia DKI Ja karta 63,05 + (0,59 PD) – (0,05 U) 0,62 83,96 + (0,41PD) - (0,07U) + 0,47 + (0,07 BB) – (0,39 JAWA) + 0,07BB – (0,39 JAWA) + (1,13

(1,13 CINA) CINA)

81,48 + (1,58 TL) – (0,04 U) 0,55 71,55 + (1,66 TL) – (0,03U) + 0,63 + (0,07 BB) – (0,79 JAWA) (0,07BB) –(0,76 JAWA) +

+ (1,82 CINA) (1,82 CINA)

Catt: PD = PANJANG DEPA TL = TINGGI LUTUT S = SEX

U = UMUR

Standar Posisi Pengukuran Antropometri

Kebanyakan pengukuran antropometri dilakukan dengan satu atau dua posisi yang berbeda. Pada posisi berdiri, maka subyek yang diukur harus berdiri tegak, mata menatap lurus ke depan dengan bahu rileks dan tangan menggantung


(31)

bebas. Subyek berdiri menempel di dinding, dan membelakangi alat atau instrumen pengukuran (Peasant 2000).

Pada posisi duduk, maka subyek harus duduk tegak di atas permukaan tempat duduk yang rata (flat), menempel pada dinding tembok, pandangan lurus ke depan, an tanpa alas kaki. Bahu rileks dengan tangan menggantung bebas, dan lengan bawah di posisi horisontal (yaitu siku membentuk sudut sebelah kanan). Tinggi tempat duduk disesuaikan (atau sebuah balok ditempatkan di bawah kaki).

IMT (Indeks Massa Tubuh)

Penilaian status gizi lansia ditentukan melalui perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah salah satu estimasi komposisi tubuh yang berkorelasi dengan berat badan dan tinggi badan terhadap lean body mass. Tingginya IMT menggambarkan cadangan lemak berlebihan, dan rendahnya IMT mengindikasikan penurunan cadangan lemak sehingga IMT berguna dalam mendiagnosa obesitas atau KEP (Kurang Energi Protein). Terdapat hubungan yang kuat antara IMT dan massa lemak tubuh melalui variasi tinggi badan individu. Indeks Massa Tubuh mencerminkan persen lemak tubuh orang dewasa. Tinggi badan dan berat badan merupakan indikator penting dalam menghitung nilai IMT.

Model IMT dengan formula di atas (halaman 24) memiliki kesamaan dengan model yang terdapat pada ikan. Model ini menerangkan hubungan antara panjang dan bobot ikan dan dirumuskan sebagai berikut (Efendie 1985):

Parameter ß ditentukan berdasarkan populasi yang diamati, tetapi nilai ß yang umum digunakan adalah 2. Pada manusia nilai ß = p dengan nilai antara 1 – 3 (Shetty 1994).

W = bobot ikan

L = panjang ikan

a & ß = paramer yang nilainya berbeda tergantung jenis ikannya

IMT = W/Hß


(32)

Pada ikan, nilai ß = 3 bila bentuk ikan bulat dan terus memipih dengan mengecilnya nilai ß tersebut..

IMT berhubungan erat dengan berat badan populasi tiap-tiap etnis dan jenis kelamin, tetapi kurang dipengaruhi oleh TB (Shetty 1994). Bentuk tubuh seseorang berhubungan dengan jenis kelamin, etnis, jenis aktivitas fisik, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, status pernikahan, keturunan, dsbnya. Oleh karena itu, untuk menghindari bias pada penilaian status gizi individu atau kelompok, maka perlu diperhatikan faktor-faktor tersebut.

Studi yang dilakukan pada penduduk dewasa laki- laki dan perempuan di 13 kota besar di Indonesia menunjukkan adanya nilai IMT pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki- laki. Nilai IMT laki- laki di kota Medan dan Surabaya lebih tinggi daripada perempuan. Sementara nilai IMT baik laki- laki maupun perempuan di Yogyakarta dan Ambon adalah sama. Nilai ß untuk orang dewasa di Indonesia di 13 ibukota propinsi di Indonesia disarankan bernilai 1,85 bagi laki-laki dan 1,68 bagi perempuan (Luqman 1997).

Kusdiatmono menyatakan bahwa bentuk tubuh orang dewasa di Indonesia lebih beragam atau banyak yang tidak proporsional. Keragaman itu mungkin disebabkan oleh keragaman suku dan masalah gizi pada masa anak-anak (Kusdiatmono 1997).

Laki- laki Aceh memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping daripada laki-laki Denpasar, sedangkan orang Jayapura memiliki volume tulang yang besar sehingga nilai ß= a menjadi besar meskipun rata-rata berat badan dan tinggi badan hampir sama dengan Aceh. Perempuan dewasa Banjarmasin memiliki rata-rata BB dan TB yang kecil dibandingkan perempuan kota lainnya (Sutriyati 1998).

Somatometri

Antropometri terdiri dari 2 bagian yaitu cephalometri dan somatometri. Cephalometri mengukur bagian-bagian panjang dan lebar kepala, muka, hidung, bibir, dan telinga manusia menggunakan sinar X, dan ultrasound. Menurut Kewal Krishan (2007), somatometri adalah bagian dari antropometri yang berhubungan dengan pengukuran seluruh anggota tubuh manusia seperti tinggi badan, ukuran kaki, panjang anggota gerak tubuh lainnya, dan wajah selain kepala. Somatometri


(33)

merupakan bagian dari ilmu somatologi yang mempelajari tubuh manusia. Somatometri merupakan alat ukur dalam beberapa studi antara lain studi variabilitas biologi manusia, studi estimasi usia manusia dari faktor- faktor terkait antara lain tanggal lahir, jenis kelamin, etnis, lokasi geografi, status sosio-ekonomi, dan sebagainya. Teknik somatometri dipakai dalam menentukan umur kronologi manusia.

Somatometri juga digunakan dalam melakukan estimasi tinggi badan dari berbagai segmen tubuh yang berbeda. Salah satu studi yang menggunakan teknik ini adalah studi Bhatnagar et al melalui 3 pengukuran antropometri pada bagian tangan kanan dan kiri secara terpisah. Persamaan regressi dikembangkan dari ketiga pengukuran tersebut. Studi lain dilakukan oleh Jason et al yang mengukur panjang servik, toraks, dan lumbar pada bagian tulang belakang populasi Amerika kulit putih dan kulit hitam. Lalu dikembangkan suatu formula regresi dari pengukuran tersebut. Krishan dan Sharma (2007) mengembangkan studi estimasi tinggi badan populasi Punjabi dari pengukuran panjang depa.

Somatometri berhubunga n dengan ergonomi karena ergonomi yang telah berkembang sejak 50 tahun lalu menggunakan teknik pengukuran somatometri untuk merancang sistem, mesin, dan peralatan agar aman, efisien, dan nyaman digunakan oleh manusia. Ergonomi menerapkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dari sudut pandang berbeda termasuk empat lapangan ilmiah yaitu: antropometri, biomekanik, fisiologi, dan psikologi. Ergonomi melakukan pengukuran somatoskopi dan somatometri untuk menggambarkan karakteristik struktur, proporsi, dan penge mbangan tubuh antara lain ukuran vertikal (tinggi duduk, tinggi akromion), ukuran horizontal (lebar tangan, panjang kaki) (Marilena & Diana 2002).

Tulang dan Sistem Otot

Tulang menga ndung protein kolagen sehingga bersifat lentur dan Calcium Phosphat (hydroxyapatite) membuat tulang menjadi kuat dan kasar. Tulang terdiri dari dua lapisan berbeda yaitu: tulang kortikal (bagian luar) dan tulang trabekular (bagian dalam). Sebagian besar tulang kortikal terletak di tulang


(34)

panjang lengan depan, sementara trabekular mendominasi bagian tulang belakang (vertebral), dan pinggang.

Selama hidup, tulang mengalami siklus perombakan dan pembentukan. Sel-sel osteoclast menghilangkan tulang-tulang tua (resorpsi) dan sel-sel

osteoblast membentuk tulang-tulang baru (formasi). Proses remodeling- modeling ini diatur oleh faktor- faktor seperti: status gizi, hormon, tingkat hormon paratiroid, dan status vitamin D.

Tahap kritis pembentukan tulang yang sehat terjadi pada masa kanak-kanak hingga dewasa muda. Pada masa ini lebih banyak terjadi pembentukan tulang daripada kehilangan tulang. Sekitar 50% peak bone mass terjadi pada masa remaja dan sekitar 90% isi mineral tulang disimpan sejak usia 18 tahun dan 99% pada usia 22 tahun. Perkembangan kepadatan tulang berjalan lambat hingga usia 30 tahun saat puncak massa tulang tercapai.

Jaringan - jaringan otot, tendon, ligamen, kartilago, dan tulang terdiri dari sistem muskuloskeletal. Pada lansia terjadi penurunan fungsi tubuh karena gangguan sistem muskuloskeletal pada gerakan- gerakan sendi yaitu sendi menjadi kaku sehingga gerakannya terbatas. Gangguan sistem muskuloskeletal itu disebabkan oleh lambatnya proses turn-over atau perombakan.

Sejak usia 50 tahun, densitas tulang (massa tulang per- unit volume) menurun dengan cepat, terutama pada wanita. Proses ini menimbulkan kerusakan tulang belakang dan meningkatkan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko patah tulang atau osteoporosis.

Penurunan hormon-hormon seks dan proses penuaan berkontribusi pada kehilangan densitas tulang. Pada laki- laki, produksi testosteron menurun secara perlahan- lahan sehingga kehilangan massa tulang berjalan linear dan lambat. Sementara pada wanita, proses hilangnya massa tulang selama 5-10 tahun setelah menopause karena kehilangan estrogen. Kehilangan densitas tulang secara cepat pada wanita saat menopause dini, masa pertumbuhan, dan pubertas dapat meningkatkan jumlah kehilangan massa tulang lebih tinggi daripada laki- laki. Pada usia lanjut, konsekuensi kehilangan densitas tulang pada wanita lebih besar dibandingkan laki- laki sehingga insidens patah tulang duakali hingga tigakali lebih besar pada wanita.


(35)

Kehilangan massa tulang lebih besar terjadi saat meningkatnya sirkulasi glukokortikoid endogen atau eksogen dan tiroid, pengidap alkoholik, penderita kelainan gastrointestinal, dan perokok. Hilangnya massa tulang secara progresif saat usia menua menimbulkan efek pada trabecular dan apendicular yaitu penurunan atau berhentinya tinggi badan, dan kifosis. Dua perubahan yang timbul pada struktur tula ng adalah berkurangnya ketebalan dan meningkatnya poros tulang. Wanita memiliki korteks tulang lebih tipis daripada laki- laki sehingga efek penipisan korteks tulang lebih berat.

Onset kehilangan massa tulang terjadi pada wanita dan laki- laki berusia antara 50 hingga 65 tahun. Wanita memiliki kecepatan hilangnya densitas tulang lebih cepat daripada laki- laki yang ditandai saat menopause. Laki- laki dan wanita kehilangan tulang trabekular dan kortikal.

Proses Regenerasi Tulang Secara Normal

Menurut Mark dan Robert (1996), kerangka tubuh mengalami proses remodelling secara periodik yaitu penggantian tulang-tulang tua dengan yang baru tiap 10 tahun. Proses ini terjadi pada permukaan tulang bagian dalam (internal) melalui osteoclast (bagian depan) dan osteoblast (bagian belakang). Massa tulang dipelihara melalui keseimbangan pembentukan (formasi) dan resorpsi tulang.

Osteoclast dan osteoblast terjadi dalam sumsum tulang belakang. Prekursor

osteoclast adalah sel-sel hematopoietik monist/makrofag. Prekursor osteoblast

merupakan sel-sel stem mesensimal yang terdapat pada sel-sel stromal sumsum tulang belakang, kondrosit, sel otot, dan adiposit. Pengembangan osteoclast dan

ostoblast dikontrol oleh faktor- faktor pertumbuhan dan sitokin yang diproduksi oleh hormon sistemik dalam sumsum tulang belakang.

Hilangnya massa tulang merupakan bagian dari proses penuaan secara normal terjadi melalui 2 fase yaitu: menopausal bone loss (terjadi setelah menopause wanita dengan cepat) dan senescent bone loss (pada wanita dan laki-laki berusia di atas 50 tahun dengan lambat). Perbedaan keduanya ditampilkan pada Tabel 4 di atas.

Pada senescent bone loss, terjadi penurunan jumlah tulang yang terbentuk selama remodelling seiring dengan bertambahnya usia pada kedua jenis kelamin


(36)

laki- laki dan wanita. Hal itu terlihat dari menurunnya ketebalan dinding tulang secara konsisten khususnya pada tulang trabekular. Selain itu terjadi penurunan formasi osteoblast, peningkatan formasi adiposit di sumsum tulang belakang, kecepatan formasi tulang berkurang, dan densitas mineral tulang menurun. Perubahan-perubahan ini menurunkan formasi tulang, menghasilkan osteopenia, dan meningkatkan adiposit sumsum tulang belakang sejalan dengan bertambahnya usia. Fraktur pinggul dan vertebral merupakan tipe senescent bone loss.

Tabel 4 Gambaran menopausal dan senescent bone loss Menopausal Bone Loss Senescent Bone Loss

Kecepatan remodelling tinggi Kecepatan remodelling lambat Meningkatnya risiko fraktur vertebral Meningkatnya risiko fraktur vertebral & pinggul

Meningkatnya formasi osteoblast & osteoclast Menurunnya formasi osteoblast &

osteoclast

Jaringan lemak sumsum tl. Be

lakang tidak Jaringan lemak sumsum tl. belakang meningkat diketahui

Rentang hidup osteoclast meningkat Rentang hidup osteoclast tidak diketahui Rentang hidup osteoblast menurun Rentang hidup osteoblast tidak diketahui

Prediktor Tinggi Badan Lansia

Beberapa faktor yang dianggap memiliki hubungan allometrik dengan tinggi badan lansia adalah:

1. Panjang depa (arm span)

Panjang depa merupakan salah satu prediktor tinggi badan lansia dan dianggap sebagai pengganti ukuran tinggi badan lansia karena usia berkaitan dengan penurunan tinggi badan. Panjang depa relatif kurang dipengaruhi oleh penambahan usia. Namun nilai panjang depa pada kelompok lansia cenderung lebih rendah daripada kelompok dewasa muda. Pada kelompok lansia terlihat adanya penurunan nilai panjang depa yang lebih lambat dibandingkan dengan penurunan tinggi badan sehingga dapat disimpulkan bahwa panjang depa cenderung tidak banyak berubah sejalan penambahan usia. Panjang depa direkomendasikan sebagai parameter prediksi tinggi badan, tetapi tidak


(37)

seluruh populasi memiliki hubungan 1:1 antara panjang depa dan tinggi badan. Pengukuran panjang depa tidaklah mahal dan teknik prosedurnya sederhana sehingga mudah dilakukan di lapangan (Tayie et al. 2003).

Studi pada 4 etnis di Ethiopia (Lucia et al. 2002) menunjukkan bahwa panjang depa dapat digunakan sebagai proksi tinggi badan untuk mengestimasi IMT. Penelitian terhadap 761 pria dan wanita dewasa Ghana usia 20 – 85 tahun menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara pengukuran panjang depa dengan tinggi badan (r = 0,85 pada pria dan r = 0,91 pada wanita). Nilai panjang depa pada dewasa lansia sedikit lebih rendah daripada dewasa muda. Terlihat adanya kecenderungan penurunan kecepatan panjang depa daripada tinggi badan seiring peningkatan usia. Disimpulkan bahwa kemungkinan panjang depa tidak berubah selama terjadinya proses penuaan pada populasi penelitian (Tayie et al. 2003).

2. Tinggi lutut (knee height)

Tinggi lutut berkorelasi dengan tinggi badan lansia ditunjukkan dari studi lansia di DKI Jakarta dan Tangerang. Tinggi lutut memiliki hubungan yang signifikan dengan tinggi badan pada kedua kelompok lansia wanita dan pria (Fatmah 2005). Tinggi lutut direkomendasikan oleh WHO (1999) untuk digunakan sebagai prediktor dari tinggi badan pada seseorang yang berusia ≥ 60 tahun (lansia). Proses bertambahnya usia tidak berpengaruh terhadap tulang yang panjang seperti lengan dan tungkai, tetapi sangat berpengaruh terhadap tulang belakang. Prediksi tinggi badan menggunakan tinggi lutut pertama kali dilakukan pada sampel kecil lansia non-Hispanic kulit putih di Ohio, Amerika Serikat. Kemudian Chumlea et al melakukan penelitian yang lebih baru dengan menggunakan sampel yang lebih besar dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III). Model persamaan yang dirumuskan hanya spesifik untuk kelompok kulit putih non-Hispanic, kulit hitam non-Hispanic dan Meksiko Amerika. Tinggi badan pada kelompok wanita lansia dengan osteoporosis diukur dengan tinggi lutut. Parameter ini lebih akurat dan tepat sebagai prediktor tinggi badan maksimal.

Studi tentang estimasi tinggi badan lansia di Jepang membuktikan adanya hubungan signifikan antara tinggi lutut dengan tinggi badan (Knous &


(38)

Arisawa 2002). Demikianpula studi lain yang dilakukan pada 126 lansia Perancis menunjukkan tinggi lutut dapat dipakai untuk menggantikan tinggi badan tegak pada lansia (Ritz 2004).

3. Tinggi duduk (sitting height)

Penurunan tinggi badan dapat dipengaruhi oleh berkurangnya tinggi duduk ketika potongan tulang rawan antara tulang belakang (vertebrae) mengalami kemunduran seiring peningkatan usia. Tulang-tulang panjang menunjukkan sedikit perubahan sejalan dengan bertambahnya umur. Studi yang dilakukan pada 279 lansia di India menunjukkan bahwa penurunan tinggi badan dan tinggi duduk berhubungan dengan usia (Tyagi et al. 2003).

Sementara faktor- faktor (underlying factors) yang dianggap menentukan pertumbuhan fisik tinggi badan adalah:

1. Penyakit

Osteoporosis merupakan kelainan metabolisme tulang atau kegagalan tulang rangka akibat kehilangan massa tulang yang berakibat timbulnya fraktura. Penyebabnya bermacam- macam, tetapi terutama disebabkan oleh proses penuaan dan kehilangan estrogen, suatu hormon pelindung massa tulang dan menurunkan kehilangan tulang. Osteoporosis saat ini telah menjadi masalah kesehatan masyarakat pada kelompok lansia di Indonesia.

Di masyarakat Barat, osteoporosis juga merupakan masalah kesehatan utama. Pada tahun 1986 di Australia terdapat angka 10.000 kasus retak tulang pada pinggul akibat osteoporosis. Diduga pada tahun 2011 insidens itu akan meningkat menjadi 18.000 kasus per tahun.

Ada 2 jenis osteoporosis yaitu osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Jenis pertama ditandai adanya gejala penurunan massa tulang dan meningkatnya kerentanan pada keretakan tulang (fracture) tanpa disertai penyebab kehilangan massa tulang. Sementara jenis kedua adalah kondisi di mana osteoporosis dan fraktur merupakan hasil bone resorption akibat kelainan endokrin seperti hiperparatiroid dan hipertiroid, atau pemakaian obat-obatan yang mengganggu metabolisme tulang seperti kortikosteroid. Perilaku


(39)

berisiko terhadap kejadian osteoporosis antara lain: rendahnya kegiatan fisik, merokok, peningkatan konsumsi alkohol, dan status gizi kurang.

Penurunan tinggi badan dengan peningkatan usia pada wanita umumnya mencerminkan pengembangan osteoporosis pada columna vertebral.

Penyakit virus seperti penyakit Paget adalah suatu penyakit disebabkan oleh infeksi virus yang mengganggu proses normal pembentukan tulang sehingga tulang menjadi lemah dan tipis.

2. Kelainan genetik/keturunan

Kondisi bersifat genetik yang mempengaruhi pertumbuhan tulang adalah

acondroplasia dan osteogenesis imperfecta. Achondroplasia atau Dwarfism

memiliki ciri-ciri tulang panjang pada lengan dan tangan yang pendek sehingga menghasilkan tinggi badan yang rendah. Keadaan ini diturunkan dari orang tua pada anaknya atau dihasilkan dari mutasi gen orang tua pada anaknya. Pertumbuhan tubuh terganggu saat terjadinya pengembangan kartílago yang terlalu dini. Anak-anak dengan kelainan ini berisiko 50% memiliki kelainan gen seperti halnya penyakit sehingga tidak dapat disembuhkan.

Osteogenesis imperfecta adalah kelainan akibat kerusakan kolagen dan jaringan penghubung yang membentuk bahan dasar tulang sehingga menghasilkan kualitas kolagen yang rendah dan menimbulkan kerapuhan tulang/mudah retak. Keadaan ini juga diturunkan oleh orang tua pada anaknya atau karena mutasi gen secara spontan sehingga tidak dapat diperbaiki.

3. Kelainan hormonal

Disebabkan oleh rendahnya produksi hormon akibat diet, berat badan, dan kelainan kelenjar produksi hormon. Gigantism adalah kondisi pada anak-anak atau remaja akibat adanya tumor pada kelenjar pituitari yang disebabkan oleh meningkatnya produksi hormon dan tinggi badan. Jika tumor berkembang setelah pertumbuhan tubuh terhenti, maka timb ul acromegaly (pembesaran rahang, tangan dan kaki). Gigantism diobati dengan obat-obatan yang menghambat pelepasan hormon pertumbuhan atau dengan terapi radiasi atau bedah untuk mengangkat tumor.


(40)

Kelenjar paratiroid di bagian leher manusia menghasilkan hormon paratiroid yang berfungsi mengontrol tingkat Ca dalam darah. Osteitis fibrosa

merupakan keadaan di mana tulang menjadi rapuh akibat berlebihnya produksi hormon oleh kelenjar paratiroid, dan menimbulkan nyeri tulang. Kondisi ini dapat diperbaiki melalui pembedahan untuk menurunkan produksi hormon paratiroid oleh kelenjar paratiroid dan menurunkan konsentrasi Ca dalam darah.

4. Defisiensi zat gizi mikro seperti Ca dan Vitamin D

Perkembangan tulang yang sehat membutuhkan asupan Ca dan P yang cukup dari diet. Kedua mineral ini tidak dapat diabsorpsi tanpa bantuan vitamin D yang diperoleh dari sumber makanan seperti: keju, susu, dan ikan, serta dari sinar matahari. Jenis mineral lain yang juga dibutuhkan oleh tubuh adalah vitamin A dan C, Mg, Zn, dan protein.

Defisiensi zat gizi dapat memperburuk kelainan tulang, pada lansia disebut osteoporosis dan osteomalacia/rickets. Kekurangan asupan Ca dan vitamin D mempengaruhi pengembangan dan kekuatan tulang, mudah rapuh, dan rentan terhadap osteoporosis. Kehilangan tulang (bone loss) mudah terjadi pada wanita setelah menopause sehingga dianjurkan untuk mengkonsumsi 1200 mg Ca per hari.

Pola makan salah yang mempengaruhi pertumbuhan tulang adalah menghindari konsumsi makanan utama; diet rendah kalori; tidak mengonsumsi makanan sumber Ca, buah, sayuran; atau konsumsi makanan tinggi kalori dengan sejumlah kecil zat gizi.

Asupan rendah Ca di bawah 1000 mg/hari dihubungkan dengan menurunnya

puncak massa tulang. Dua pertiga kasus osteoporosis berhubungan dengan rendahnya asupan Ca sehingga Ca membantu mencegah osteoporosis. Konsumsi Ca cukup penting bagi pemeliharaan massa tulang sejak usia kanak-kanak hingga tua. Sebanyak 52 studi intervensi menunjukkan bahwa asupan tinggi Ca mampu memperbaiki massa tulang selama pertumbuhan, menurunkan kehilangan tulang pada lansia atau menurunkan risiko fraktur. Suplementasi Ca pada lansia wanita mencegah kehilangan tulang selama musim salju ,dan vitamin D mempercepat perombakan tulang.


(41)

Osteomalacia merupakan demineralisasi tulang yang menyebabkan tulang lemah dan rapuh. Biasanya osteomalacia disebabkan oleh defisiensi vitamin D karena minimnya asupan makanan sumber vitamin D, rendahnya paparan tulang terhadap sinar matahari, dan rendahnya absorpsi vitamin D dari usus halus.

5. Kelainan degeneratif

Biasanya dikaitkan dengan usia tua yaitu osteoarthritis yang ditandai dari degenerasi kartílago (jaringan penghubung yang lembut) menutupi gabungan/joints tulang. Kehilangan kartílago menimbulkan nyeri, pembengkakan, dan kehilangan fungsi tulang. Osteoarthritis biasanya terjadi pada kelompok lansia di atas usia 60 tahun karena aktivitas fisik yang berlebihan.

6. Tumor dan kanker tulang

Tumor jinak dan ganas dapat melemahkan tulang saat menekan jaringan normal atau menggantinya dengan jaringan abnormal sehingga mudah terjadi fraktur. Osteokhondroma (tumor jinak) terjadi pada anak-anak dan remaja dan berhenti saat tulang rangka belakang selesai terbentuk. Sebagian kecil kanker tulang bersifat genetik.

7 . Efek pengobatan kanker

Pengobatan kanker dengan radiasi atau kemoterapi menimbulkan efek tidak menguntungkan yaitu kehilangan tulang. Terapi hormon pada penderita kanker prostat dapat menurunkan kadar testosteron dalam tubuh, dan pada kanker payudara terjadi penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron. Kedua hormon terakhir ini dibutuhkan untuk menguatkan struktur tulang. 8. Kelainan auto- imun

Rheumatoid arthritis suatu kelainan autoimmun yang mempengaruhi tulang disertai sel-sel darah putih migrasi ke daerah antara joints. Akibatnya merusak tulang, ligamen, dan kartílago.

9. Usia

Beberapa perubahan pada komposisi tubuh manusia terjadi seiring peningkatan usia. Studi tentang perubahan antropometri pada lansia di Kanada (Shatenstein et al. 2001) menunjukkan perubahan tinggi badan lansia di panti


(42)

werdha sebesar 2 cm terutama pada lansia di atas usia 90 tahun dan dengan dementia.

10. Rendahnya aktivitas kerja fisik dan olahraga

Aktivitas fisik didefinisikan sebagai tiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot-otot rangka dan menyebabkan pengeluaran energi. Olahraga merupakan bagian dari kegiatan fisik secara terencana, terstruktur, dan berulang untuk meningkatkan kebugaran tubuh (Hazzard 2003). Kurang olahraga juga berisiko terhadap penurunan kekuatan dan massa tulang, serta berkurangnya absorpsi Ca.

Aktivitas fisik atau olahraga seperti berjalan, berlari, aerobik, tenis, dan senam memperbaiki kesehatan tulang melalui peningkatan puncak massa tulang dan memperlambat kehilangan tulang. Selain itu juga membantu mencegah kejadian fraktur karena memperbaiki kekuatan otot dan keseimbangan tubuh. Bukti epidemiologi menunjukkan bahwa risiko fraktur pada pinggul menurun dari 20-40% di antara individu yang melakukan olahraga dibandingkan individu yang tidak berolahraga.

Intensitas olahraga yang tinggi dihubungkan dengan peningkatan densitas tulang. Tetapi bagi anak-anak dan lansia tidak dianjurkan jenis olahraga berat agar memiliki efek positif terhadap kesehatan tulang. Suatu multi-center studi pada 10.000 lansia wanita yang melakukan olahraga aerobik dan tenis dihubungkan dengan penurunan fraktur vertebral dan pinggang. Sementara lansia wanita yang duduk minimal 9 jam per hari memiliki risiko fraktur lebih besar daripada mereka yang duduk kurang dari 6 jam per hari.

11. Jenis kelamin

Rata-rata tinggi badan lansia wanita lebih rendah dibandingkan dengan lansia pria. Studi yang dilakukan di beberapa panti werdha terpilih di DKI Jakarta dan Tangerang (Fatmah 2005) menyatakan adanya perbedaan nyata rata-rata tinggi badan lansia wanita dan lansia pria (p < 0,05). Rata-rata tinggi badan lansia pria adalah 158,6 cm + 5,9 cm dan lansia wanita 145,8 cm + 6,1 cm. Studi lain yang dilakukan pada 100 lansia di Malaysia (Shahar et al. 2003) menggambarkan hal yang sama yaitu rata-rata tinggi badan lansia wanita lebih rendah (148,5 cm + 6,4 cm) daripada lansia pria (160,4 cm + 5,5 cm).


(43)

12. Sosio-ekonomi

Pencapaian tinggi badan merupakan hasil kombinasi antara faktor- faktor lingkungan dan genetik. Peningkatan standard kehidupan ekonomi dapat memperbaiki pertumbuhan tinggi badan manusia melalui gizi dan penyakit. Tinggi badan yang rendah atau pendek dihubungkan dengan rendahnya tingkat pendidikan. Tinggi badan merupakan indikator yang baik bagi kondisi kehidupan masa kanak-kanak di negara maju dan negara berkembang .

Kemiskinan mempengaruhi pola asupan makanan mengandung zat gizi. Individu yang berasal dari keluarga kurang mampu cenderung sedikit mengkonsumsi makanan bergizi antara lain Ca dan P yang penting bagi pertumbuhan tulang.

Perkembangan tulang yang sehat membutuhkan asupan Ca dan P yang cukup dari diet. Kedua mineral ini tidak dapat diabsorpsi tanpa bantuan vitamin D yang diperoleh dari sumber makanan seperti: keju, susu, dan ikan, serta dari sinar matahari. Jenis mineral lain yang juga dibutuhkan oleh tubuh adalah vitamin A dan C, Mg, Zn, dan protein.

13. Etnis

Etnis secara tidak langsung berhubungan dengan tinggi badan manusia melalui pola kebiasaan makan makanan yang mengandung Ca dan P, perbedaan iklim, dan letak geografis. Sebagai lansia, suatu studi yang dilakukan terhadap 461 lansia di Jakarta dan Semarang menunjukkan bahwa lansia Jakarta mengkonsumsi daging lebih tinggi; produk susu lebih rendah; konsumsi tempe, tahu, buah, dan sayuran lebih tinggi; dan konsumsi ikan dan telur yang sama dengan lansia Semarang. Lansia Jakarta memiliki tinggi badan dan berat badan lebih tinggi dibandingkan dengan lansia Semarang. Namun lansia Indonesia lebih pendek daripada lansia Caucasian (Martalena 2000).

14. Perbedaan iklim

Perbedaan iklim menentukan adanya perbedaan tinggi badan antar etnis (Hukum Allen atau Allen’s Rule). Teori Allen menjelaskan bahwa hewan atau manusia endotermik dengan volume/massa tubuh yang sama mungkin memiliki permukaan tubuh berbeda yang akan menghalangi atau membantu pengaturan suhu tubuh. Rata-rata panjang le ngan dan tangan populasi Afrika


(44)

lebih besar daripada populasi Eropa kulit putih. Penduduk Indian Amerika Selatan lebih pendek dibandingkan dengan penduduk Amerika Utara. Perbedaan iklim mempengaruhi ukuran dan bentuk tubuh individu karena kemampuan adaptasi tubuh yang berbeda dari individu yang tinggal di wilayah dengan iklim panas dan dingin (Hardy & Robert 1988).

Orang yang hidup di daerah dingin cenderung lebih pendek daripada orang yang hidup di daerah panas karena terjadi pengurangan jumlah daerah permukaan tubuh. Hal itu tercermin dari penampilan fisik yaitu tangan dan lengan yang pendek pada lansia penduduk Eskimo. Orang di daerah iklim lebih panas akan lebih pendek dengan bentuk tubuh linier. Hal itu disebabkan oleh variabilitas morfologi manus ia dalam beradaptasi dengan temperatur. Populasi yang tinggal di bagian selatan Sungai Nil di Afrika (Sudan, Kenya, dan Uganda) lebih tinggi di seluruh dunia karena perbedaan tingkat kelembaban di beberapa bagian di seluruh dunia. Mereka hidup di wilayah sangat panas dengan tingkat kelembaban rendah.

Kemampuan beradaptasi secara maksimum dapat dilakukan oleh orang yang hidup di wilayah permukaan lebih tinggi dan massa tubuh rendah. Saat kelembaban rendah, maka ada gelembung udara dan keringat keluar lebih cepat dari permukaan tubuh. Orang bertubuh tinggi dengan permukaan tubuh lebih luas akan memiliki daerah untuk berkeringat dan dingin yang lebih banyak. Semakin besar permukaan tub uh terpapar oleh iklim dingin, semakin besar tubuh kehilangan energi sehingga makhluk hidup yang menetap di wilayah dingin membutuhkan persediaan energi sebanyak mungkin.

Sebaliknya makhluk hidup yang tinggal di wilayah panas akan cepat merasa kepanasan jika memiliki ratio permukaan tubuh terhadap volume yang rendah. Oleh karena itu, mereka sebaiknya memiliki ratio wilayah permukaan tubuh terhadap volume yang tinggi untuk membantu kehilangan panas yang cepat. Singkatnya, ada ratio antara permukaan tubuh terhadap massa tubuh. Penduduk Darfur or Watutsi di Afrika melepaskan panas tubuh lebih cepat karena rationya tinggi. Namun penduduk Eskimo dan Inuits menyimpan panas tubuh sehingga memiliki ratio lebih rendah.


(1)

155

Gambar 22 Pengukuran persen lemak tubuh dan lemak viseral lansia perempuan di Kota Semarang.

Gambar 23. Pengukuran persen lemak tubuh dan lemak viseral lansia laki- laki di Kota Yogyakarta.


(2)

156

Gambar 24 Pengukuran densitas massa tulang lansia laki- laki di Kab. Gunung Kidul

Gambar 25 Pengukuran densitas massa tulang lansia perempuan di Kota Yogyakarta.


(3)

157

Gambar 26. Pengukuran berat badan lansia perempuan di Kota Surabaya.


(4)

158

Gambar 28 Wawancara dengan lansia perempuan di Kab. Gunung Kidul bersamaan dengan kegiatan posbindu lansia.

Gambar 29 Suasana kegiatan pengumpulan data di posyandu lansia Kota Semarang.


(5)

159

Gambar 30 Tempe manding makanan khas masyarakat Kab. Gunung Kidul.


(6)

160

Gambar 32 Tewel/gori/nangka muda mentah makanan khas lansia di 6 lokasi penelitian.