Potensi Lahan Kering TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Potensi Lahan Kering

Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura sayuran dan buahbuahan maupun tanaman tahunan dan peternakan. Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2001, Indonesia memiliki daratan sekitar 188,20 juta ha, terdiri atas 148 juta ha lahan kering 78 dan 40,20 juta ha lahan basah 22. Tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian, terutama karena adanya faktor pembatas tanah seperti lereng yang sangat curam atau solum tanah dangkal dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan. Dari total luas 148 juta ha, lahan kering yang sesuai untuk budi daya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha 52, sebagian besar terdapat di dataran rendah 70,71 juta ha atau 93 dan sisanya di dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datar bergelombang lereng 15 yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha. Lahan dengan lereng 15 −30 lebih sesuai untuk tanaman tahunan 47,45 juta ha. Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha Tabel 1. Universitas Sumatera Utara Masalah Pemanfaatan Lahan Kering untuk Tanaman Pangan Permasalahan dalam pengelolaan lahan kering bervariasi pada setiap wilayah, baik aspek teknis maupun sosial-ekonomis. Namun, dengan strategi dan teknologi yang tepat, berbagai masalah tersebut dapat diatasi. Kesuburan tanah Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim. Disamping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai 30 −60 dalam waktu 10 tahun Brown dan Lugo, 1990 dalam Suriadikarta et al, 2002. Bahan organik memiliki peran penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meskipun kontribusi unsur hara dari bahan organik tanah relatif rendah, peranannya cukup penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg, dan Si Suriadikarta et al, 2002. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya tanah masam, yang dicirikan oleh pH rendah 5,50, kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik Adiningsih dan Sudjadi, 1993; Soepardi, 2001. Dari luas total lahan kering Indonesia sekitar 148 juta ha, 102,80 juta ha 69,46 merupakan tanah masam Mulyani et al, 2004. Tanah tersebut didominasi oleh Inceptisols, Ultisols, dan Oxisols, dan sebagian besar terdapat di Universitas Sumatera Utara Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Lahan kering masam di wilayah berbukit dan bergunung cukup luas, mencapai 53,50 juta ha atau 52 dari total tanah masam di Indonesia. Tanah masam tersebut umumnya kurang potensial untuk pertanian tanaman pangan karena tingkat kesuburannya rendah, lereng curam, dan solum dangkal. Topografi Di Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung 30 dan berbukit 15 −30, dengan luas masing -masing 51,30 juta ha dan 36,90 juta ha Hidayat dan Mulyani, 2002. Lahan kering berlereng curam sangat peka terhadap erosi, terutama bila diusahakan untuk tanaman pangan semusim dan curah hujannya tinggi. Lahan semacam ini lebih sesuai untuk tanaman tahunan, namun kenyataannya banyak dimanfaatkan untuk tanaman pangan, sedangkan perkebunan banyak diusahakan pada lahan datar bergelombang dengan lereng 15. Lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk perkebunan mencakup 19,60 juta ha Badan Pusat Statistik 2005, terutama untuk tanaman kelapa sawit, kelapa, dan karet. Universitas Sumatera Utara Tabel 1. Luas lahan kering yang sesuai untuk pertanian Provinsi Dataran rendah ha Dataran tinggi ha Total Tanama n semusim Tanama n tahunan Total Tanam an semusi m Tanam an tahunan Total Sumater a 4.899.47 6 15.848.2 03 20.747.6 79 1.103.1 76 992.05 5 2.095.2 31 22.842.9 10 Jawa 925.412 3.982.00 8 4.907.42 200.68 7 484.96 685.64 7 5.593.06 7 Bali dan Nusa Tenggar a 1.091.87 8 1.335.46 9 2.427.34 7 58.826 201.76 1 260.58 7 2.687.93 4 Kalimant an 10.180.1 51 14.340.9 56 24.521.1 07 592.12 9 389.52 1 981.65 25.502.7 57 Sulawesi 1.801.87 7 3.664.04 5.465.91 7 70.780 1.134.3 20 1.205.1 00 6.671.01 7 Maluku dan Papua 4.360.31 8 8.282.80 9 12.643.1 27 43.094 233.98 1 277.07 5 12.920.2 02 Indonesi a 23.259.1 12 47.453.4 85 70.712.5 97 2.068.6 92 3.436.5 98 5.505.2 90 76.217.8 87 Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2001 Pengelolaan Kesuburan Tanah Pengelolaan kesuburan tanah tidak terbatas pada peningkatan kesuburan kimiawi, tetapi juga kesuburan fisik dan biologi tanah. Hal ini berarti bahwa pengelolaan kesuburan tanah tidak cukup dilakukan hanya dengan memberikan pupuk saja, tetapi juga perlu disertai dengan pemeliharaan sifat fisik tanah sehingga tersedia lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman, kehidupan organisme tanah, dan untuk mendukung berbagai proses penting di dalam tanah. Salah satu teknologi pengelolaan kesuburan tanah yang penting adalah pemupukan berimbang, yang mampu memantapkan produktivitas tanah pada level Universitas Sumatera Utara yang tinggi. Hasil penelitian Santoso et al, 1995 menunjukkan pentingnya pemupukan berimbang dan pemantauan status hara tanah secara berkala. Penggunaan pupuk anorganik yang tidak tepat, misalnya takaran tidak seimbang, serta waktu pemberian dan penempatan pupuk yang salah, dapat mengakibatkan kehilangan unsur hara sehingga respons tanaman menurun Santoso dan Sofyan, 2005. Hara yang tidak termanfaatkan tanaman juga dapat berubah menjadi bahan pencemar. Praktek pemakaian pupuk oleh petani pada lahan-lahan mineral masam, meskipun pada saat ini masih dilakukan dengan takaran rendah, dalam jangka panjang dapat menimbulkan ketidakseimbangan kandungan hara tanah sehingga menurunkan produktivitas tanaman. Penerapan teknologi pemupukan organik juga sangat penting dalam pengelolaan kesuburan tanah. Pupuk organik dapat bersumber dari sisa panen, pupuk kandang, kompos atau sumber bahan organik lainnya. Selain menyumbang hara yang tidak terdapat dalam pupuk anorganik, seperti unsur hara mikro, pupuk organik juga penting untuk memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Lahan kering akan mampu menyediakan air dan hara yang cukup bagi tanaman bila struktur tanahnya baik sehingga mendukung peningkatan efisiensi pemupukan. Jenis pupuk lain yang mulai berkembang pesat adalah pupuk hayati biofertilizer seperti pupuk mikroba pelarut fosfat, pupuk mikroba pemacu tumbuh dan pengendali hama, dan mikroflora tanah multiguna. Pupuk hayati selain mampu meningkatkan ketersediaan hara, juga bermanfaat untuk: 1 melindungi akar dari gangguan hama penyakit, 2 menstimulasi sistem perakaran agar berkembang sempurna dan memperpanjang usia akar, 3 memacu Universitas Sumatera Utara mitosis jaringan meristem pada titik tumbuh pucuk, kuncup bunga, dan stolon, 4 penawar racun beberapa logam berat, 5 metabolit pengatur tubuh, dan 6 bioaktivator perombak bahan organik. Di samping pemupukan, pengapuran juga penting untuk meningkatkan produktivitas tanah masam, antara lain untuk mengurangi keracunan aluminium Al. Cara untuk menentukan takaran kapur yang perlu diberikan adalah dengan menentukan sensitivitas tanaman dan kemudian mengukur kejenuhan Al dalam tanah dengan analisis tanah Dierolf dalam Santoso dan Sofyan, 2005.

B. Pengolahan Tanah