Rehabilitasi Lahan Kering Alang-Alang dengan Olah Tanah dan Amandemen Kapur Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung

(1)

REHABILITASI LAHAN KERING ALANG – ALANG DENGAN OLAH TANAH DAN AMANDEMEN KAPUR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN

PRODUKSI TANAMAN JAGUNG

TESIS

Oleh : AGUSNI 117001025

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

REHABILITASI LAHAN KERING ALANG – ALANG DENGAN OLAH TANAH DAN AMANDEMEN KAPUR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN


(2)

TESIS

Oleh : AGUSNI 117001025

Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pertanian pada Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

JudulPenelitian : REHABILITASI LAHAN KERING ALANG – ALANG DENGAN OLAH TANAH DAN AMANDEMEN KAPUR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG

NamaMahasiswa : Agusni NomorPokok : 117001025


(3)

Menyetujui : Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP

Ketua Anggota

Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D

Ketua Program Studi Agroekoteknologi, Dekan Fakultas Pertanian,

Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS

Tanggal Lulus : 14 Januari 2015 Telah diuji pada


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP Anggota : 1. Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D

2. Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP 3. Dr. Ir. Erwin Nyak Akoeb, MS 4. Dr. Deni Elfiati, SP, MP


(5)

ABSTRAK

AGUSNI : Rehabilitasi Lahan Kering Alang-Alang dengan Olah Tanah dan Amandemen Kapur Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung, dibimbing oleh Abdul Rauf dan Rahmawaty

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis rehabilitasi lahan kering alang-alang dengan olah tanah dan untuk mengetahui pengaruh amandemen kapur terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung. Penelitian ini telah dilakukan di Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh, pada bulan Januari - Maret 2014 menggunakan rancangan petak terbagi faktorial yang terdiri dari 2 faktor dengan 3 ulangan yaitu petak utama : pengolahan tanah (tanpa olah tanah, olah tanah minimum dan olah tanah maksimum) dan anak petak : pengapuran (tanpa pangapuran 0 ton/ha, pengapuran 1 ton/ha, dan pengapuran 2 ton/ha). Parameter yang diamati adalah berat volume tanah, berat partikel tanah, porositas tanah, pH tanah, kapasitas tukar kation, N total, P tersedia, K tertukar, Ca, Mg, tinggi tanaman jagung pada umur 15 HST, 30 HST dan 45 HST, berat basah berkelobot dan tanpa berkelobot, panjang tongkol tanpa kelobot, dan berat 1000 biji pipilan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan tanah berpengaruh nyata terhadap berat volume tanah, berat partikel tanah, pH tanah, kapasitas tukar kation, N total, P tersedia, K tertukar, Ca, Mg, tinggi tanaman pada umur 15 dan 45 HST, tetapi tidak berpengaruh nyata pada parameter yang lainnya. Pengapuran berpengaruh nyata terhadap pH tanah, kapasitas tukar kation, N total, P tersedia, K tertukar, Ca, Mg tetapi tidak berpengaruh nyata pada parameter yang lainnya. Interaksi perlakuan berpengaruh nyata terhadap N total, P tersedia, Ca dan Mg tetapi tidak berpengaruh nyata pada parameter yang lainnya.


(6)

ABSTRACT

AGUSNI : Rehabilitation of Crabgrass Dryland with Tillage and Calcic Amendment on Growth and Production of Corn, supervised by Abdul Rauf and Rahmawaty.

The purpose of the research was to analyzed rehabilitation of crabgrass dry land with tillage and calcic amendment on growth and production of corn. The research was conducted at Juli Subsdistrict, Bireuen Regency, Aceh Province in January - Maret 2014 using factorial split pot design with two factor which consist of main plot is tillage (notillage, minimum tillage and maximum tillage) and subplot is calcification (nocalcification 0 ton/ha, calcification 1 ton/ha and calcification 2 ton/ha). Parameters measured were weight of soil volume, weight of soil particles, soil porosity, soil pH, soil capacity exchange cation, N total, available P, exchange K, Ca, Mg, height of corn at 15, 30 and 45 day after planting, fresh weight, cab height and 1000 seed weight of dry shelled. The result showed that tillage were affected significantly on weight of soil volume, weight of soil particles, soil pH, soil capacity exchange cation, N total, available P, exchange K, Ca, Mg, height of corn at 15 and 45 days after planting, but not affected significantly on the other parameters. Calcification were affected significantly on soil pH, soil capacity exchange cation, N total, available P, exchange K, Ca, Mg, but not affected significantly on the other parameters.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan tesis yang berjudul Rehabilitasi Lahan Kering Alang – alang dengan Olah Tanah dan Amandemen Kapur Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung. Tesis merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar magister pada Program Studi Agroekoteknologi, Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D, selaku anggota komisi pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Terimakasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tesis ini, baik saat pelaksanaan penelitian, analisis data maupun bantuan berupa saran, literatur, dukungan secara moril dan materil. Penulis mengharapkan adanya masukan dan saran yang bersifat membangun dan bermanfaat demi kesempurnaan penulisan di masa yang akan datang.

Medan, Januari 2015 Penulis


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan kesempatan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis pada Program Studi Agroekoteknologi, Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf,MP selaku ketua komisi pembimbing, Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D, selaku anggota komisi pembimbing, Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP., Dr. Ir. Erwin Nyak Akoeb, MS, dan Dr. Deni Elfiati, SP, MP., selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran, masukan dan bimbingan yang sangat berarti bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Terimakasih penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Pertanian USU Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS., segenap staf pengajar yang telah membuka wawasan dan memberikan ilmu pengetahuan serta seluruh civitas akademik yang telah mendukung kelancaran studi.

Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Ayahanda (Alm) H.Sulaiman bin Ahmad dan (Alm) Ismail bin ahmad, Ibunda tercinta Hj. Juwairiah binti Ahmad dan Saidar H.Abubakar, terimakasih kepada kakakku Emyanti, A,Md, Abangku Dr. Iswahyudi, SP, M.Si, dan adik – adikku Chef Maulidar, Syamsinar,S.Pd dan Saddam Agustiar Saputra,S.Pd serta ponakan tercinta Cut Delisha Dara Phonna, yang telah memberikan banyak bantuan dan dukungan dalam menyelesaikan pendidikan ini. Terimakasih penulis sampaikan kepada istri tercinta Mauli Diana, SE yang telah


(9)

membantu selama penelitian dan atas dukungannya secara fisik dan moril yang tiada henti dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Kepada Dekan Fakultas Pertanian Almuslim Aceh Bapak T.M.Nur,M.Si dan Pembantu Dekan I Bapak Halus Satriawan,SP,M.Si beserta rekan – rekan seperjuangan Hadi Wijoyo, Aisar, Jesman, Satria Muharis, Santa, Ariani, Ibu Ichroni, Yanti, Kak Astri, Kak Lentina, Fachrina Wibowo, Nani, Iwan Saputra,SP,MP, Asniar,SP, serta teman – teman Ria Gym Medan, Nice Gym Medan dan Master Gym Aceh, terimakasih atas segala perhatian dan bantuan yang telah diberikan. Mari kita jaga silaturahmi yang telah ada.

Medan, Januari 2015 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

Agusni, dilahirkan di Blangcot Tunong tanggal 17 Agustus 1982. Menempuh pendidikan formal mulai dari Sekolah Dasar di SD Negeri Baleelabang Kabupaten Bireuen Aceh selesai pada tahun 1994, melanjutkan ke MTs Negeri Bireuen Aceh dan selesai pada tahun 1997. Pendidikan pada sekolah menengah ditempuh di SMU Negeri 1 Peudada Kabupaten Bireuen Aceh yang diselesaikan pada tahun 2000 dan lulus dari Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Aceh pad atahun 2007.

Pada tahun 2008 sampai saat ini penulis bekerja di Universitas Almuslim Aceh sebagai tenaga pengajar (Dosen) dan Kasubbag Akademik Fakultas Pertanian Universitas Almuslim Aceh.

Pada tahun 2011, penulis mendapat kesempatan menempuh pendidikan Pascasarjana Program Studi Agroekoteknologi di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan dinyatakan lulus pada tanggal 14 Januari 2015.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Manfaat Penelitian ... 4

D. Hipotesis ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Potensi Lahan Kering ... 5

B. Pengolahan Tanah ... 9

C. Konservasi Tanah dan Rehabilitasi Lahan ... 13

III.METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

B. Bahan dan Alat ... 17

C. Perencanaan Penelitian ... 17

D. Pelaksanaan Penelitian ... 20

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil ... 26

B. Pembahasan ... 37

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 50

B. Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(12)

DAFTAR TABEL

No Hal.

1. Luas Lahan Kering yang Sesuai untuk Pertanian ... 7

2. Susunan Kombinasi Perlakuan Antara Sistem Olah Tanah dan

Kapur Dolomit ... 18 3. Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengapuran Terhadap Rata – rata

Berat Volume Tanah (gr/cm3) ... 26 4. Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengapuran Terhadap Rata – rata

Berat Partikel Tanah (gr/cm3) ... 27 5. Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengapuran Terhadap Rata – rata

Porositas Tanah (%) ... 27 6. Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengapuran Terhadap Rata – rata

pH Tanah ... 28 7. Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengapuran Terhadap Rata – rata

Kapasitas Tukar Kation Tanah (me/100gr) ... 29 8. Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengapuran Terhadap Rata – rata

N – Total Tanah (%) ... 29 9. Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengapuran Terhadap Rata – rata

P – Tersedia (ppm) ... 30 10.Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengapuran Terhadap Rata – rata

K – Tertukar (me/100gr) ... 31 11.Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengapuran Terhadap Rata – rata

Ca (me/100gr) ... 31 12.Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengapuran Terhadap Rata – rata

Mg (me/100gr) ... 32 13.Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengapuran Terhadap Rata – rata

Tinggi Tanaman 15 HST (cm) ... 33 14.Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengapuran Terhadap Rata – rata


(13)

Tinggi Tanaman 30 HST (cm) ... 33 15.Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengapuran Terhadap Rata – rata

Tinggi Tanaman 45 HST (cm) ... 34 16.Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengapuran Terhadap Rata – rata

Berat Basah Berkelobot (gr) ... 35 17.Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengapuran Terhadap Rata – rata

Berat Basah Tanpa Kelobot (gr) ... 35 18.Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengapuran Terhadap Rata – rata

Panjang Tongkol Tanpa Kelobot (cm) ... 36 19.Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengapuran Terhadap Rata – rata


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Hal.

1. Rata – rata Berat Volume Tanah (gr/cm3)... 56

2. Analisis Ragam Rata – rata Berat Volume Tanah ... 56

3. Rata – rata Berat Jenis Partikel Tanah (gr/cm3) ... 57

4. Analisis Ragam Rata – rata Berat Jenis Partikel Tanah ... 57

5. Rata – rata Porositas (%) ... 58

6. Analisis Ragam Porositas ... 58

7. Rata – rata pH Tanah... 59

8. Analisis Ragam pH Tanah ... 59

9. Rata – rata Kapasitas Tukar Kation (me/100gr) ... 60

10.Analisis Ragam Kapasitas Tukar Kation ... 60

11.Rata – rata N – Total (%) ... 61

12.Analisis Ragam N – Total ... 61

13.Rata – rata P – Tersedia (ppm) ... 62

14.Analisis Ragam P – Tersedia ... 62

15.Rata – rata K – Tertukar (me/100gr) ... 63

16.Analisis Ragam K – Tertukar ... 63

17.Rata – rata Ca (me/100gr) ... 64

18.Analisis RagamCa ... 64

19.Rata – rata Mg (me/100gr) ... 65


(15)

21.Rata – rata Tinggi Tanaman Pada Umur 15 HST (cm) ... 66

22.Analisis Ragam Tinggi Tanaman Pada Umur 15 HST ... 66

23.Rata – rata Tinggi Tanaman Pada Umur 30 HST (cm) ... 67

24.Analisis Ragam Tinggi Tanaman Pada Umur 30 HST ... 67

25.Rata – rata Tinggi Tanaman Pada Umur 45 HST (cm) ... 68

26.Analisis Ragam Tinggi Tanaman Pada Umur 45 HST ... 68

27.Rata – rata Berat Basah Tanaman Berkelobot (gr) ... 69

28.Analisis Ragam Berat Basah Tanaman Berkelobot ... 69

29.Rata – rata Berat Basah Tanaman Tanpa Kelobot (gr) ... 70

30.Analisis Ragam Berat Basah Tanaman Tanpa Kelobot ... 70

31.Rata – rata Panjang Tongkol Tanaman Tanpa Kelobot (cm) ... 71

32.Analisis Ragam Panjang Tongkol Tanaman Tanpa Kelobot ... 71

33.Rata – rata Berat 1000 Biji Pipilan Kering (gr) ... 72

34.Analisis Ragam Berat 1000 Biji Pipilan Kering ... 72

35.Peta Kabupaten Bireuen Aceh ... 73

36.Hasil Analisis Fisika Tanah ... 74

37.Hasil Analisis Kimia Tanah ... 75


(16)

ABSTRAK

AGUSNI : Rehabilitasi Lahan Kering Alang-Alang dengan Olah Tanah dan Amandemen Kapur Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung, dibimbing oleh Abdul Rauf dan Rahmawaty

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis rehabilitasi lahan kering alang-alang dengan olah tanah dan untuk mengetahui pengaruh amandemen kapur terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung. Penelitian ini telah dilakukan di Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh, pada bulan Januari - Maret 2014 menggunakan rancangan petak terbagi faktorial yang terdiri dari 2 faktor dengan 3 ulangan yaitu petak utama : pengolahan tanah (tanpa olah tanah, olah tanah minimum dan olah tanah maksimum) dan anak petak : pengapuran (tanpa pangapuran 0 ton/ha, pengapuran 1 ton/ha, dan pengapuran 2 ton/ha). Parameter yang diamati adalah berat volume tanah, berat partikel tanah, porositas tanah, pH tanah, kapasitas tukar kation, N total, P tersedia, K tertukar, Ca, Mg, tinggi tanaman jagung pada umur 15 HST, 30 HST dan 45 HST, berat basah berkelobot dan tanpa berkelobot, panjang tongkol tanpa kelobot, dan berat 1000 biji pipilan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan tanah berpengaruh nyata terhadap berat volume tanah, berat partikel tanah, pH tanah, kapasitas tukar kation, N total, P tersedia, K tertukar, Ca, Mg, tinggi tanaman pada umur 15 dan 45 HST, tetapi tidak berpengaruh nyata pada parameter yang lainnya. Pengapuran berpengaruh nyata terhadap pH tanah, kapasitas tukar kation, N total, P tersedia, K tertukar, Ca, Mg tetapi tidak berpengaruh nyata pada parameter yang lainnya. Interaksi perlakuan berpengaruh nyata terhadap N total, P tersedia, Ca dan Mg tetapi tidak berpengaruh nyata pada parameter yang lainnya.


(17)

ABSTRACT

AGUSNI : Rehabilitation of Crabgrass Dryland with Tillage and Calcic Amendment on Growth and Production of Corn, supervised by Abdul Rauf and Rahmawaty.

The purpose of the research was to analyzed rehabilitation of crabgrass dry land with tillage and calcic amendment on growth and production of corn. The research was conducted at Juli Subsdistrict, Bireuen Regency, Aceh Province in January - Maret 2014 using factorial split pot design with two factor which consist of main plot is tillage (notillage, minimum tillage and maximum tillage) and subplot is calcification (nocalcification 0 ton/ha, calcification 1 ton/ha and calcification 2 ton/ha). Parameters measured were weight of soil volume, weight of soil particles, soil porosity, soil pH, soil capacity exchange cation, N total, available P, exchange K, Ca, Mg, height of corn at 15, 30 and 45 day after planting, fresh weight, cab height and 1000 seed weight of dry shelled. The result showed that tillage were affected significantly on weight of soil volume, weight of soil particles, soil pH, soil capacity exchange cation, N total, available P, exchange K, Ca, Mg, height of corn at 15 and 45 days after planting, but not affected significantly on the other parameters. Calcification were affected significantly on soil pH, soil capacity exchange cation, N total, available P, exchange K, Ca, Mg, but not affected significantly on the other parameters.


(18)

I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Lahan yang ditumbuhi alang-alang (Imperata cylindrica) di Indonesia cukup luas dan diperkirakan sekitar 30 juta hektar, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya (Koesterman, et al, (1987). Lahan alang-alang juga memiliki ketahanan tinggi, sehingga tanaman lain mengalami kesulitan ketika harus bersaing dengannya dalam memperoleh air, unsur hara dan cahaya. Beberapa jenis tanaman terganggu pertumbuhannya karena adanya zat beracun (allelopati) yang dikeluarkan oleh akar dan rimpang alang-alang sehingga vegetasi alang-alang murni sukar untuk digantikan oleh jenis-jenis yang lainnya. Tatkala pertumbuhan alang-alang tertekan, maka jenis-jenis tumbuhan lainnya akan lebih mudah tumbuh. Setiap tahun lahan alang-alang bertambah 150-200 ribu hektar (Departemen Pertanian 1980, dalam Adiningsih dan Mulyadi, 1992).

Ditinjau dari luasannya, maka lahan alang-alang merupakan lahan yang potensial untuk dikembangkan dalam program ektensifikasi lahan pertanian. Namun dalam memanfaatkan lahan ini, terutama untuk pertanian tanaman semusim harus dipertimbangkan beberapa kendala, seperti : buruknya sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Permasalahan ini diperburuk lagi oleh kebiasaan petani membuka lahan dengan cara membakar dan membuang bahan organik ke luar lahan, yang mengakibatkan buruknya sifat-sifat tanah.

Untuk mengatasi kerusakan tanah akibat kebiasaan buruk petani membuka lahan alang-alang maka harus dicari model reklamasi lahan alang-alang yang dapat


(19)

memperbaiki dan meningkatkan produktivitas tanah. Untuk membangun suatu pertanian yang berkelanjutan di lahan alang-alang maka, perlu dilakukan penelitian untuk menentukan model reklamasi lahan yang cocok, pola tanam yang tepat, dan komoditi apa saja yang harus ditingkatkan sangat perlu dilakukan.

Lahan kering tergolong suboptimal karena tanahnya kurang subur, bereaksi masam, mengandung Al, Fe, dan atau Mn dalam jumlah tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Lahan masam pada umumnya miskin bahan organik dan hara makro N, P, K, Ca, dan Mg. Pemberian bahan ameliorasi kapur, bahan organik, dan pemupukan N, P, dan K merupakan kunci untuk memperbaiki kesuburan lahan kering masam.

Tanah entisol adalah tanah yang sedikit atau tanpa perkembangan profil (tanpa proses pedogenik) akibat waktu pembentukan pendek. Tanah Entisol adalah tanah mineral yang tidak memiliki horizon - horison pedogenik yang mencirikan. Tanah ini didominasi oleh pasir sehingga kemantapan agregatnya lemah. Entisol mempunyai sifat fisik dan kimia yang kurang baik bagi pertumbuhan tanaman. Tanah ini umumnya bertekstur pasir sehingga struktur lepas, porositas aerasi besar dan permeabilitas cepat sehingga daya menahan airnya rendah (Bondansari dan Bambang, 2011).

Pada tanah Entisol kadar hara tergantung pada bahan induk. Unsur P dan K yang ada di dalam tanah yang masih dalam keadaan segar belum dapat diserap oleh tanaman akan menyebabkan tanaman tidak dapat berproduksi secara maksimal dan tanah entisol juga mengalami kekukarangan unsur hara N. Kandungan unsur hara N banyak hilang dikarenakan kandungan pasir yang dominan menyebabkan terjadi


(20)

pelindihan. Tanah Entisol yang mempunyai tekstur pasiran aerasinya bagus sehingga akan menyebabkan oksidasi bahan organik meningkat. Oleh sebab itu perlu dilakukan perbaikan sifat fisik dan kimia tanah entisol agar dapat digunakan untuk usaha – usaha pertanian (Bondansari dan Bambang, 2011).

Ditinjau dari luasannya di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen, maka lahan alang - alang merupakan lahan yang potensial untuk dikembangkan dalam program ektensifikasi lahan pertanian. Namun dalam memanfaatkan lahan ini untuk pertanian tanaman semusim harus dipertimbangkan kendala seperti buruknya sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Permasalahan ini diperburuk lagi oleh kebiasaan petani membuka lahan dengan cara membakar dan membuang bahan organik ke luar lahan, yang mengakibatkan buruknya sifat - sifat tanah.

Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk membahas tentang permasalahan yang dihadapi pada lahan kering masam, maka dalam pengelolaannya untuk pertanaman, secara teknis, terdapat dua pendekatan pokok yakni pemilihan jenis komoditas atau varietas yang adaptif serta perbaikan kesuburan tanah dengan olah tanah dan pengapuran.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis rehabilitasi lahan kering alang – alang dengan olah tanah.

2. Mengetahui pengaruh amandemen kapur terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung


(21)

C. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan kepada petani di daerah Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Aceh dalam pengolahan tanah dan pemberian kapur terhadap tanah masam untuk meningkatkan kualitas tingkat kesuburan tanah dan produksi tanaman jagung.

D. Hipotesis

• Cara pengolahan tanah berpengaruh nyata terhadap sifat tanah dan pertumbuhan serta produksi tanaman jagung.

• Pengapuran berpengaruh nyata terhadap sifat tanah dan pertumbuhan serta produksi tanaman jagung.

• Interaksi antara cara pengolahan tanah dan pengapuran berpengaruh nyata terhadap sifat tanah dan pertumbuhan serta produksi tanaman jagung.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Potensi Lahan Kering

Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buahbuahan) maupun tanaman tahunan dan peternakan. Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2001),

Indonesia memiliki daratan sekitar 188,20 juta ha, terdiri atas 148 juta ha lahan kering (78%) dan 40,20 juta ha lahan basah (22%). Tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian, terutama karena adanya faktor pembatas tanah seperti lereng yang sangat curam atau solum tanah dangkal dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan. Dari total luas 148 juta ha, lahan kering yang sesuai untuk budi daya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%), sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau 93%) dan sisanya di dataran tinggi.

Di wilayah dataran rendah, lahan datar bergelombang (lereng < 15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha. Lahan dengan lereng 15−30% lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha (Tabel 1).


(23)

Masalah Pemanfaatan Lahan Kering untuk Tanaman Pangan

Permasalahan dalam pengelolaan lahan kering bervariasi pada setiap wilayah, baik aspek teknis maupun sosial-ekonomis. Namun, dengan strategi dan teknologi yang tepat, berbagai masalah tersebut dapat diatasi.

Kesuburan tanah

Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim. Disamping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai 30−60% dalam waktu 10 tahun (Brown dan Lugo, 1990 dalam Suriadikarta et al, 2002). Bahan organik memiliki peran penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meskipun kontribusi unsur hara dari bahan organik tanah relatif rendah, peranannya cukup penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg, dan Si (Suriadikarta et al, 2002).

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya tanah masam, yang dicirikan oleh pH rendah (< 5,50), kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan Sudjadi, 1993; Soepardi, 2001). Dari luas total lahan kering Indonesia sekitar 148 juta ha, 102,80 juta ha (69,46%) merupakan tanah masam (Mulyani et al, 2004). Tanah tersebut didominasi oleh Inceptisols, Ultisols, dan Oxisols, dan sebagian besar terdapat di


(24)

Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Lahan kering masam di wilayah berbukit dan bergunung cukup luas, mencapai 53,50 juta ha atau 52% dari total tanah masam di Indonesia. Tanah masam tersebut umumnya kurang potensial untuk pertanian tanaman pangan karena tingkat kesuburannya rendah, lereng curam, dan solum dangkal.

Topografi

Di Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (> 30%) dan berbukit (15−30%), dengan luas masing -masing 51,30 juta ha dan 36,90 juta ha (Hidayat dan Mulyani, 2002). Lahan kering berlereng curam sangat peka terhadap erosi, terutama bila diusahakan untuk tanaman pangan semusim dan curah hujannya tinggi. Lahan semacam ini lebih sesuai untuk tanaman tahunan, namun kenyataannya banyak dimanfaatkan untuk tanaman pangan, sedangkan perkebunan banyak diusahakan pada lahan datar bergelombang dengan lereng < 15%. Lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk perkebunan mencakup 19,60 juta ha (Badan Pusat Statistik 2005), terutama untuk tanaman kelapa sawit, kelapa, dan karet.


(25)

Tabel 1. Luas lahan kering yang sesuai untuk pertanian

Provinsi

Dataran rendah (ha) Dataran tinggi (ha)

Total Tanama n semusim Tanama n tahunan Total Tanam an semusi m Tanam an tahunan Total Sumater a 4.899.47 6 15.848.2 03 20.747.6 79 1.103.1 76 992.05 5 2.095.2 31 22.842.9 10 Jawa 925.412 3.982.00

8 4.907.42 0 200.68 7 484.96 0 685.64 7 5.593.06 7 Bali dan Nusa Tenggar a 1.091.87 8 1.335.46 9 2.427.34 7

58.826 201.76 1 260.58 7 2.687.93 4 Kalimant an 10.180.1 51 14.340.9 56 24.521.1 07 592.12 9 389.52 1 981.65 0 25.502.7 57 Sulawesi 1.801.87

7

3.664.04 0

5.465.91 7

70.780 1.134.3 20 1.205.1 00 6.671.01 7 Maluku dan Papua 4.360.31 8 8.282.80 9 12.643.1 27

43.094 233.98 1 277.07 5 12.920.2 02 Indonesi a 23.259.1 12 47.453.4 85 70.712.5 97 2.068.6 92 3.436.5 98 5.505.2 90 76.217.8 87 Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2001)

Pengelolaan Kesuburan Tanah

Pengelolaan kesuburan tanah tidak terbatas pada peningkatan kesuburan kimiawi, tetapi juga kesuburan fisik dan biologi tanah. Hal ini berarti bahwa pengelolaan kesuburan tanah tidak cukup dilakukan hanya dengan memberikan pupuk saja, tetapi juga perlu disertai dengan pemeliharaan sifat fisik tanah sehingga tersedia lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman, kehidupan organisme tanah, dan untuk mendukung berbagai proses penting di dalam tanah.

Salah satu teknologi pengelolaan kesuburan tanah yang penting adalah pemupukan berimbang, yang mampu memantapkan produktivitas tanah pada level


(26)

yang tinggi. Hasil penelitian (Santoso et al, 1995) menunjukkan pentingnya pemupukan berimbang dan pemantauan status hara tanah secara berkala. Penggunaan pupuk anorganik yang tidak tepat, misalnya takaran tidak seimbang, serta waktu pemberian dan penempatan pupuk yang salah, dapat mengakibatkan kehilangan unsur hara sehingga respons tanaman menurun (Santoso dan Sofyan, 2005). Hara yang tidak termanfaatkan tanaman juga dapat berubah menjadi bahan pencemar. Praktek pemakaian pupuk oleh petani pada lahan-lahan mineral masam, meskipun pada saat ini masih dilakukan dengan takaran rendah, dalam jangka panjang dapat menimbulkan ketidakseimbangan kandungan hara tanah sehingga menurunkan produktivitas tanaman.

Penerapan teknologi pemupukan organik juga sangat penting dalam pengelolaan kesuburan tanah. Pupuk organik dapat bersumber dari sisa panen, pupuk kandang, kompos atau sumber bahan organik lainnya. Selain menyumbang hara yang tidak terdapat dalam pupuk anorganik, seperti unsur hara mikro, pupuk organik juga penting untuk memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Lahan kering akan mampu menyediakan air dan hara yang cukup bagi tanaman bila struktur tanahnya baik sehingga mendukung peningkatan efisiensi pemupukan. Jenis pupuk lain yang mulai berkembang pesat adalah pupuk hayati (biofertilizer) seperti pupuk mikroba pelarut fosfat, pupuk mikroba pemacu tumbuh dan pengendali hama, dan mikroflora tanah multiguna.

Pupuk hayati selain mampu meningkatkan ketersediaan hara, juga bermanfaat untuk: 1) melindungi akar dari gangguan hama penyakit, 2) menstimulasi sistem perakaran agar berkembang sempurna dan memperpanjang usia akar, 3) memacu


(27)

mitosis jaringan meristem pada titik tumbuh pucuk, kuncup bunga, dan stolon, 4) penawar racun beberapa logam berat, 5) metabolit pengatur tubuh, dan 6) bioaktivator perombak bahan organik.

Di samping pemupukan, pengapuran juga penting untuk meningkatkan produktivitas tanah masam, antara lain untuk mengurangi keracunan aluminium (Al). Cara untuk menentukan takaran kapur yang perlu diberikan adalah dengan menentukan sensitivitas tanaman dan kemudian mengukur kejenuhan Al dalam tanah dengan analisis tanah (Dierolf dalam Santoso dan Sofyan, 2005).

B.Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menyediakan tempat tumbuh bagi tanaman jagung., sehingga perakaran tanaman dapat berkembang dengan baik. Pengolahan tanah diusahakan agar kondisi air tanah dapat dipelihara dengan baik. Pada tanah – tanah bertekstur berat, pengolahan tanah sebaiknya dilakukan intensif untuk mendapatkan drainase dan aerase yang menunjang pertumbuhan tanaman jagung (Bastari, 2003). Kegiatan pengolahan tanah dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu : (1) Tanpa olah tanah (TOT), (2) Pengolahan tanah minimum (OTM), dan (3) Pengolahan tanah sempurna (OTS).

1. Tanpa Olah Tanah (TOT)

Tanpa olah tanah (Zero Tillage) sering disebut TOT. Cara yang dimaksud adalah tanpa olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisa – sisa tanaman sebelumnya dibiarkan tersebar di permukaan, yang akan melindungi tanah dari ancaman erosi selama masa yang sangat rawan yaitu pada saat pertumbuhan awal


(28)

tanaman. Penanaman dilakukan dengan tugal. Gulma diberantas dengan menggunakan herbisida (Utomo, 2000).

Tanpa olah tanah banyak memiliki keunggulan atau kelebihan, diantaranya dapat menghemat tenaga kerja dan biaya serta dapat memperbaiki struktur tanah melalui peningkatan pori makro. Proses ini terjadi karena dengan tanpa olah tanah, fauna (hewan) tanah seperti cacing menjadi lebih aktif (Tan, 2007).

2. Olah Tanah Minimum (OTM)

Pengolahan tanah minimum (Minimum Tillage). Bagian tanah yang diolah hanya pada calon zona perakaran dengan kelembaban dan suhu yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pengolahan tanah minimum adalah teknik konservasi tanah dimana gangguan mekanis terhadap tanah diupayakan sesedikit mungkin. Dengan cara ini kerusakan struktur tanah dapat dihindari sehingga aliran permukaan dan erosi berkurang. Teknik ini juga mengurangi biaya dan tenaga kerja untuk pengolahan tanah dan mengurangi biaya / tenaga kerja untuk penyiangan secara mekanik. Pengolahan tanah minimum cukup efektif dalam mengendalikan erosi, dan biasa dilakukan pada tanah – tanah yang berpasir dan rentan terhadap erosi. Pengolahan tanah minimum hanya dapat dilakukan pada tanah yang gembur. Tanah gembur dapat terbentuk sebagai hasil dari penggunaan mulsa secara terus menerus dan / atau pemberian pupuk hijau / pupuk kandang / kompos dari bahan organik yang lain secara terus menerus (Suwardjo, 2001).

Pengolahan tanah minimum adalah teknik konservasi tanah dimana gangguan mekanis terhadap tanah diupayakan sesedikit mungkin. Dengan cara ini kerusakan struktur tanah dapat dihindari sehingga aliran permukaan dan erosi berkurang. Teknik


(29)

ini juga mengurangi biaya dan tenaga kerja untuk pengolahan tanah dan mengurangi biaya / tenaga kerja untuk penyiangan secara mekanik. Pengolahan tanah minimum cukup efektif dalam mengendalikan erosi. Pengolahan tanah minimum hanya dapat dilakukan pada dilakukan pada tanah yang gembur. Penerapan teknik pengolahan tanah minimum selalu perlu disertai pemberian mulsa (Tan, 2007).

Keuntungan pengolahan tanah minimum yaitu menghindari kerusakan struktur tanah, mengurangi aliran permukaan dan erosi, memperlambat proses mineralisasi, sehingga penggunaan zat – zat hara dalam bahan – bahan organik lebih berkelanjutan, tenaga kerja yang lebih sedikit daripada pengelolaan penuh, sehingga mengurangi biaya produksi, dapat diterapkan pada lahan – lahan marginal yang jika tidak dengan cara ini mungkin tidak dapat diolah (Utomo, 2000).

3. Olah Tanah Maksimum (OTM)

Pengolahan tanah sempurna memerlukan biaya yang tinggi, disamping mempercepat kerusakan sumberdaya tanah. Pada umumnya saat dilakukan pengolahan tanah, lahan dalam keadaan terbuka, tanah dihancurkan oleh alat pengolah, sehingga agregat tanah mempunyai kemantapan rendah. Jika pada saat tersebut terjadi hujan, tanah dengan mudah dihancurkan dan terangkut bersama air permukaan (erosi).

Untuk jangka panjang, pengolahan tanah yang terus menerus mengakibatkan pemadatan pada lapisan tanah bagian bawah lapisan olah, hal demikian menghambat pertumbuhan akar. Untuk mengatasi kerusakan karena pengolahan tanah, akhir – akhir ini diperkenalkan sistem pengolahan tanah minimum (Minimum Tillage) yang


(30)

diikuti oleh pemberian mulsa dapat meningkatkan produksi pertanian (Suryanta, 2006).

Peranan Pengolahan Tanah Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung

Peranan pengolahan tanah terhadap tanaman jagung untuk menyuburkan tanah supaya akar tanaman mudah menyerap unsur hara dalam tanah dan udara juga bisa masuk kedalam tanah. Pada tanah bertekstur ringan pengolahan tanah secara minimum (Minimum Tillage) dapat dilakukan untuk menghemat tenaga, waktu dan memanfaatkan ketersediaan air tanah. Setelah tanaman jagung tmbh kira – kira 4 – 5 minggu, segera dilakukan pembubunan. Pembubunan, disamping untuk memperbaiki drainase dan aerasi tanah, juga dimaksudkan untuk mengurangi gulma serta untuk menjaga agar tanaman jagung tidak mudah rebah. Pembubunan ini dapat meningkatkan produksi +50%, dibanding pada pertanaman jagung yang semula hanya diolah pada bagian yang ditanami saja (Djauhari, 2008).

Pada waktu pengolahan tanah terhadap tanaman jagung, keadaan tanah hendaknya tidak terlampau basah tetapi harus cukup lembab sehingga mudah dikerjakan, dan tidak lengket, sampai tanah menjadi cukup gembur. Pada tanah – tanah berpasir atau tanah ringan tidak banyak diperlukan pengerjaan tanah. Pada tanah – tanah berat dengan kelebihan air, perlu dibuat saluran penuntas air. Pembuatan saluran dan pembubunan yang tepat dapat menghindarkan terjadinya genangan air yang sangat merugikan bagi pertumbuhan tanaman jagung (Effendi, 2006).

Adapun peran pengolahan tanah memperbaiki struktur tanah, pada tanah berat pengolahan tanah hendaknya dilakukan dengan olah tanah yang mampu merobah


(31)

tanah tersebut menjadi gembur, pengolahan tanah dapat juga mendorong pertumbuhan mikro dan hara tanaman, mencegah hama dalam tanah yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.

C.Konservasi Tanah dan Rehabilitasi Lahan

Erosi merupakan salah satu penyebab menurunnya produktivitas lahan kering, terutama yang dimanfaatkan untuk usaha tani tanaman semusim seperti tanaman pangan (Abdurachman dan Sutono 2005; Kurnia et al, 2005). Hasil penelitian menunjukkan budi daya tanaman pangan semusim tanpa disertai konservasi tanah menyebabkan erosi berkisar antara 46−351 t/ha/tahun (Sukmana, 1994; 1995).

Erosi bukan hanya mengangkut material tanah, tetapi juga hara dan bahan organik, baik yang terkandung di dalam tanah maupun yang berupa input pertanian. Erosi juga merusak sifat fisik tanah. Oleh karena itu, penerapan teknik konservasi merupakan salah satu prasyarat keberlanjutan usaha tani pada lahan kering. Target yang harus dicapai adalah menekan erosi sampai di bawah batas toleransi, dengan kisaran antara 1,10−13,50 t/ha/tahun, bergantung pada sifat tanah dan substratanya (Thompson dalam Arsyad, 2000). Untuk menekan erosi sampai di bawah ambang batas toleransinya, beberapa jenis teknik konservasi dapat diterapkan dengan memperhatikan persyaratan teknis (Agus et al, 1999).

Pengaturan pola tanam dengan mengusahakan permukaan lahan selalu tertutup oleh vegetasi dan/atau sisa-sisa tanaman atau serasah, juga berperan penting dalam konservasi tanah. Pengaturan proporsi tanaman semusim dan tahunan pada lahan kering juga penting; makin curam lereng sebaiknya makin tinggi proporsi


(32)

tanaman tahunan. Pengaturan jalur penanaman atau bedengan yang searah kontur juga berkontribusi dalam mencegah erosi.

Pengolahan tanah secara intensif merupakan penyebab penurunan produktivitas lahan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan tanah yang berlebihan dapat merusak struktur tanah (Larson dan Osborne, 1982; Suwardjo et al, 1989) dan menyebabkan kekahatan bahan organik tanah (Rachman et al, 2004). Olah tanah konservasi (OTK) merupakan alternatif penyiapan lahan yang dapat mempertahankan produktivitas lahan tetap tinggi (Brown et al, 1991; Wagger dan Denton, 1991). OTK dicirikan oleh berkurangnya pembongkaran atau pembalikan tanah, mengintensifkan penggunaan sisa tanaman atau bahan lainnya sebagai mulsa, kadang-kadang (namun tidak dianjurkan) disertai penggunaan herbisida untuk menekan pertumbuhan gulma atau tanaman pengganggu lainnya. Rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi dapat mendukung optimalisasi lahan-lahan kering, antara lain dengan menanam legume penutup tanah atau tanaman penghasil bahan organik lainnya, khususnya yang bersifat in situ seperti alley cropping dan strip cropping. Penggunaan bahan pembenah tanah baik organik maupun mineral juga dapat merehabilitasi lahan terdegradasi.

Penggunaan Kapur

Beberapa jenis kapur telah diproduksi dan digunakan untuk berbagai kepentingan, diantaranya untuk perkebunan rakyat, pertanian dan perikanan darat. Jenis – jenis kapur yang ada dipasaran antara lain adalah dolomite dan kaptan. Kedua jenis kapur ini memiliki kandungan kalsium (Ca) yang cukup tinggi, hanya saja


(33)

dolomit yang mengandung unsur yang lebih lengkap yaitu CaMgO, sedangkan kaptan hanya mengandung unsur Ca dalam bentuk CaCO3.

Dolomit merupakan batuan sedimen laut yang terangkat ke permukaan, sedang dikenal dengan sebutan batu gamping. Batu gamping umumnya berwarna putih, tetapi ada juga yang berwarna merah jambu dan abu – abu. Untuk keperluan pertanian, batu gamping dihaluskan serta memiliki unsur campuran antara CaCO3, MgO3, dimana kadar CaCO3 lebih banyak. Dolomit yang dikeluarkan oleh Puskud Sumatera Barat, misalnya mempunyai komposisi MgO 18% dan CaO 30% dan apabila dicelupkan kedalam air maka air tersebut akan memiliki pH 7.5 – 8.0

Kapur dan dolomit sering digunakan sebagai bahan ameliorasi lahan karena : 1) merupakan sumber Ca dan Mg, 2) merupakan salah satu tindakan dalam pemupukan berimbang, dengan perbandingan Ca, Mg, K adalah 75 : 18 : 7 didalam komplek jerapan tanah, dan 3) dapat meningkatkan pH tanah atau menetralkan Al3+ melalui proses sebagai berikut :

CaCO3 Ca2+ + CO

MgCO3 Mg2+ + CO

Ion karbonat (CO═) bereaksi dengan air sebagai berikut : CO3 = + H2O H2CO3 + 2OH

-Ion OH- ini akan bereaksi dengan Al3+ sehingga membentuk senyawa Al(OH)3 dan mengendap. Menurut Sudarsono (1996), untuk keperluan menetralkan Al3+ dalam kompleks jerapan tanah, maka jumlah dolomit yang diperlukan adalah 1 ton / ha untuk setiap me Al3+ yang akan dihasilkan.


(34)

Pendugaan kebutuhan kapur pada tanah masam dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : 1) pemberian kapur secara bertingkat untuk mendapatkan takaran kapur yang menghasilkan hasil optimum, 2) inkubasi tanah dengan pemberian kapur bertingkat ntuk mencari takaran kapur yang dapat memberikan pH tanah yang diinginkan, 3) titrasi tanah menggunakan larutan basa atau larutan sangga, 4) menggunakan Al dapat tukar sebagai indeks kebutuhan kapur (Sulaeman, 1990). Menurut Kamprat (1970), (Didi Ardi dan Widjaja – Adhi, 1986), takaran kapur yang diberikan kedalam tanah lebih baik didasarkan pada Al dapat tukar, tetapi cara yang paling mudah dan praktis dilakukan dilapangan untuk mengetahui jumlah kapur yang dibutuhkan tiap satuan luas adalah cara inkubasi dan analisis tanah.


(35)

III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh, pada bulan Januari sampai dengan Maret 2014.

B. Bahan dan Alat

Bahan – bahan yang digunakan antara lain : benih jagung hibrida, glifosat, dolomit, pupuk Urea, SP36, dan KCl sebagai pupuk dasar.

Alat – alat yang digunakan dalam penelitian antara lain : cangkul, gembor, meteran, tangki semprot besar, tali, parang, penggaruk tanah, dan alat tulis menulis. C. Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan rancangan petak terbagi, dengan petak utama adalah pengolahan tanah, sedangkan anak petak adalah pengapuran.

• Petak utama adalah pengolahan tanah yang terdiri dari : TOT : Tanpa Olah Tanah

OTM : Olah Tanah Minimum OTM : Olah Tanah Maksimum

• Anak petak yang terdiri dari : PO : 0 ton/ha

P1 : 1 ton/ha P2 : 2 ton/ha

Maka kombinasi perlakuan ada 9, dengan 3 ulangan maka jumlah bloknya ada 27 blok. Adapun kombinasinya dapat dilihat pada Tabel 2.


(36)

Tabel 2. Susunan Kombinasi Perlakuan Antara Sistem Olah Tanah dan Kapur Dolomit

Pengapuran

Pengolahan Tanah

TOT (T0) OTM (T1) OTM (T2)

0 ton/ha (P0) T0P0 T1P0 T2P0

1 ton/ha (P1) T0P1 T1P1 T2P1


(37)

BLOK I 3 Meter

3 Meter 1 Meter

0.5 Meter

BLOK II

BLOK III

Gambar 1. Bagan Percobaan Penelitian

Pupuk dasar digunakan SP36 dan KCl masing – masing 100 kg/ha, sedangkan pupuk nitrogen 1/3 bagian diberikan pada saat tanam dan 2/3 bagian yang lain diberikan setelah tanaman berumur 1 bulan.

T1P2 T2P0

T0P1

T0P0

T0P2 T1P0 T2P1

T1P1 T2P2

T2P0 T1P1

T0P2

T2P1 T1P2

T0P0

T2P2 T1P0

T0P1

T0P1

T2P1 T1P0

T0P2

T2P2 T1P1

T0P0

T2P0 T1P2


(38)

Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah model linier dan analisis ragam sebagai berikut (Taufan, 2012) :

Yijk = µ + αi + βj + γik + (αβ)ij + εijk Keterangan :

Yijk = hasil pengamatan sistem olah tanah ( J ) pada taraf ke-j dan dosis kapur dolomit ( K ) pada taraf ke-k pada ulangan ke-i

µ = nilai tengah umum

αi = pengaruh blok ke-i ( i = 1,2,3 )

βj = pengaruh sistem olah tanah ( J ) taraf ke-j ( j = 1,2,3 )

γik = pengaruh acak dari petak utama, yang muncul pada taraf ke-I dari faktor dosis kapur dolomit ( K ) taraf ke-k ( k = 1,2,3 )

(αβ)jk = pengaruh interaksi antara faktor J taraf ke-j dan faktor K taraf ke-k εijk = pengaruh acak penelitian

Apabila hasil uji F menunjukkan adanya pengaruh yang nyata pada perlakuan yang diujikan, maka analisis diteruskan dengan uji lanjut pada taraf 5% (BNJ0.05)

BNJ0.05 (p;dbacak)����

Keterangan :

BNJ0.05 = Beda Nyata Jujur pada level 5%

Q0.05(p;dbacak) = Nilai Baku q pada level 5% jumlah perlakuan dan derajat bebas acak

KTA = Kuadrat Tengah Acak r = Jumlah Ulangan D. Pelaksanaan Penelitian

1. Contoh Tanah Awal

Contoh tanah diambil sebelum percobaan dimulai dan diambil dari beberapa titik tempat lokasi percobaan yang akan dilakukan, yang kemudian di kompositkan untuk keperluan analisis sifat kimia tanah. Analisis contoh tanah dilakukan di Laboratorium Jurusan Tanah Universitas Syiah Kuala.


(39)

2. Persiapan Lahan

Sebelum pengolahan tanah, areal penelitian terlebih dahulu dibersihkan dari gulma, setelah itu lahan tersebut diukur luasnya untuk disesuikan dengan kebutuhan penelitian.

3. Pengolahan Tanah Tanpa Olah Tanah

Tanpa olah tanah dipersiapkan 2 minggu sebelum penanaman. Minggu pertama, plot yang akan ditanami tanaman tidak diolah sama sekali hanya dilakukan penyemprotan herbisida untuk membunuh gulma yang ada, lahan yang akan digunakan tersebut gulma dibiarkan saja tanpa dibersihkan. Minggu kedua dilakukan penyemprotan koreksi (susulan).

Olah Tanah Minimum

Pengolahan tanah minimum dapat dilakukan 1 minggu sebelum penanaman. Pengolahan tanah dengan cara mencangkul sedalam lebih kurang 20 – 30 cm dan setelah dicangkul kemudian disemprot dengan menggunakan herbisida.

Olah Tanah Maksimum

Pengolahan tanah maksimum dapat dilakukan 3 – 4 hari sebelum penanaman. Lahan yang akan ditanami tanaman dibersihkan gulmanya dengan cara dibabat, setelah dibabat kemudian tanahnya diolah dengan menggunakan cangkul, pengolahan tanahnya dilakukan tiga kali pengolahan, pengolahan hari pertama dicangkul kasar, pengolahan hari kedua dicangkul halus dan pengolahan hari ketiga tanahnya dicangkul dan digemburkan.


(40)

4. Aplikasi Pengapuran

Pengapuran diberikan pada lahan satu hari sebelum dilakukan penanaman, sebelum dilakukan pengapuran pada lahan dilakukan penyiraman ataupun pembasahan lahan, kapur yang diberikan disini adalah kapur dolomit, dengan dosis yang berbeda sesuai dengan perlakuan.

5. Penanaman

Benih direndam terlebih dahulu selama 2 jam sebelum ditanam. Daya tumbuh benih dimulai proses pertumbuhan embrio kira – kira benih tersebut sudah matang. Penanaman tanaman dilakukan dengan sistem tugal dan setiap lubang tugal diisi 2 benih jagung sedalam 3 – 5 cm. Jarak tanam yang digunakan adalah 50 x 50 cm. 6. Pemupukan

Pupuk dan dosis anjuran yang diberikan untuk tanaman jagung yaitu pupuk urea 200 kg / ha, SP 36 100 kg / ha dan KCl 100 kg / ha. Pemupukan ini bertujuan untuk menambahkan unsur hara dalam tanah karena mengingat unsur hara dalam tanah masih belum cukup (Ma’shum, 1989).

7. Pengendalian Hama dan Penyakit

Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman jagung dilakukan apabila gejala serangannya ada seperti pengendalian hama terpadu.

8. Penyiraman

Penyiraman dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari apabila tidak ada hujan.


(41)

9. Penyiangan

Penyiangan dilakukan dengan menggunakan cangkul. Gulma yang disiangi dibuang dari areal pertanaman. Pembubunan dilakukan waktu penyiangan dan pemupukan.

10.Panen

Panen dilakukan setelah biji dan tongkol mencapai kriteria panen dengan tanda – tanda daun mongering, kelobot berwarna kuning dan biji kering dan mengkilat serta bila ditekan dengan kuku tidak meninggalkan bekas, panen dilakukan dengan mengambil tongkol dari batangnya dengan cara mematahkannya.

11. Pengamatan

Adapun pengamatan yang diteliti adalah analisis contoh tanah awal dan akhir, tinggi tanaman, berat basah berkelobot dan tanpa kelobot, panjang tongkol dan berat 1000 biji pipilan kering.

a. Contoh tanah akhir

Contoh tanah diambil setelah percobaan atau setelah panen dan diambil dari setiap perlakuan ditempat lokasi percobaan, yang kemudian dianalisis sifat fisika dan kimia tanah. Analisis contoh tanah dilakukan di Laboratorium Jurusan Tanah Universitas Syiah Kuala.

b. Sifat Fisika Tanah Berat Volume Tanah

Berat volume tanah ditentukan dengan metode ring. Suatu ring berbentuk silinder dimasukkan ke dalam tanah dengan cara ditekan sampai kedalaman tertentu, kemudian dibongkar dengan hati-hati supaya volume


(42)

tanah tidak berubah. Contoh tanah dikeringkan selama 24 jam pada suhu 105oC, kemudian ditimbang.

Berat Jenis Partikel Tanah

Berat jenis partikel dihitung berdasarkan pengukuran massa dan volume partikel tanah. Massa padatan tanah ditentukan dengan cara menimbang contoh tanah kering oven (1050C, selama 24 jam). Volume partikel dihitung dari massa dan berat jenis zat cair yang dipisahkan oleh partikel tanah (metode piknometer) atau dari volume zat cair yang dipisahkan partikel (metode perendaman atau submersion). Kedua metode, yaitu metode piknometer dan metode perendaman mempunyai prinsip serupa. Metode ini mudah dilakukan dan memberikan hasil yang akurat bila dilakukan dengan teliti.

Porositas

Perbandingan berat isi dengan berat jenis. Berat jenis tanah ditentukan dengan cara menimbang berat tanah kering oven dalam satuan gr dalam terhadap volume tanah (cc). Berat isi tanah ditentukan dengan cara menimbang berat tanah kering mutlak (gr) terhadap volume tanah (cc).

c. Sifat Kimia Tanah pH Tanah

Dihaluskan tanah dan diayak dengan ayakan 0,5 mm, ditimbang tanah 5 gr, dimasukan ke botol kocok, ditambahkan aquades 25 ml, dikocok selama 30 menit dan kemudian diukur dengan pH meter.


(43)

Kapasitas Tukar Kation

Penjenuhan dengan Amonium asetat 1 N pH 7,0. Metode ini untuk pengukuran KTK simultaneous dan kation-kation dapat ditukar didasarkan pada sangat tingginya affinitas senyawa amonium asetat untuk menduduki sisi pertukaran pada koloid tanah. Amonium sisa dalam tanah diukur seperti N-total. Kation yang terdepak juga dikur dengan AAS, atau flamefotometer untuk Na dan K , serta titrasi AAS untuk Ca dan Mg.

N-Total

Metode yang digunakan metode Kjeldahl. Nitrogen total tanah didestruksi dengan H2SO4 pekat dan tablet Kjeldahl pada temperatur 300°C.Hasil Destruksi diencerkan dengan aquadest hingga volume 100 ml dan ditambah NaOH 40%, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dengan 20 ml. Asam Borat sampai warna hijau dan volumenya sekitar 50 ml. Kemudian dititrasi dengan H2SO4 0.01 N sampai titik akhir titrasi.

P-Tersedia

Metode yang digunakan metode Olsen. Phosphorus diekstrak dari tanah dengan menggunakan larutan Olsen (H2CO3). P- terekstrak diukur secara kolorimetri didasarkan pada reaksi dengan amonium molybdate dan pengembangan dari warna “ biru ‘Molybdenum’. Absorbance senyawa diukur pada panjang gelombang 660 nm dalam sutau spectrophotometer dan langsung sebanding dengan jumlah phosphorus yang terekstrak dari tanah.


(44)

K-Tertukar

Kandungan Kalium larutan tanah ektraksi Ammonium asetat 1 N pH 7,0. dibaca dengan Flamephotometer.

Ca dan Mg

Kandungan Kalsium dan Magnesium larutan tanah ekstraksi Ammonium asetat 1 N pH 7,0. dititrasi dengan AAS . mililiter titrasi AAS setara dengan jumlah Ca atau Mg larutan.

d. Tinggi Tanaman

Tinggi tanaman diukur pada umur 15, 30 dan 45 hari setelah tanam, mulai dari permukaan tanah sampai keujung (pucuk) yang dinyatakan dalam cm.

e. Berat Basah Berkolobot dan Berat Basah Tanpa Kelobot

Berat basah berkolobot yang ada pada tanaman jagung dinyatakan dalam satuan gram.

f. Panjang Tongkol

Panjang tongkol tanaman jagung diukur mulai pangkal sampai ujung kelobot dalam satuan cm.

g. Berat 1000 Biji Pipilan Kering

Berat 1000 biji pipilan kering dihitung mulai satu biji sampai 1000 biji dalam satuan gram.


(45)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Hasil

a. Berat Volume Tanah

Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana tertera pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa pengolahan tanah berpengaruh nyata terhadap berat volume tanah, sedangkan pengapuran dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap berat volume tanah. Hasil uji beda rataan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata berat volume tanah (gr/cm3).

Perlakuan Pengapuran Rataan

P0 P1 P2

Olah Tanah

T0 1.32 1.29 1.31 1.31a

T1 1.28 1.27 1.26 1.27b

T2 1.27 1.26 1.26 1.26c

Rataan 1.29 1.27 1.28

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Duncan.

Dari Tabel 3 diatas, menunjukkan bahwa pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata berat volume tanah tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa olah tanah (T0) dan tanpa pengapuran (P0), sedangkan terendah terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2) dan pengapuran 1 ton / ha (P1) dan 2 ton / ha (P2).


(46)

b.Berat Partikel Tanah

Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana tertera pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa pengolahan tanah berpengaruh nyata terhadap berat partikel tanah, sedangkan pengapuran dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap berat partikel tanah. Hasil uji beda rataan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata berat partikel tanah (gr/cm3).

Perlakuan Pengapuran Rataan

P0 P1 P2

Olah Tanah

T0 2.64 2.58 2.63 2.62a

T1 2.57 2.55 2.53 2.55b

T2 2.54 2.53 2.53 2.53c

Rataan 2.58 2.55 2.56

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Duncan.

Tabel diatas menunjukkan bahwa pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata berat partikel tanah tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa olah tanah (T0) dan tanpa pengapuran (P0), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2) dan pengapuran 1 ton / ha (P1).

c. Porositas Tanah

Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana tertera pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa pengolahan tanah, pengapuran dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap porositas tanah. Hasil uji beda rataan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 5.


(47)

Tabel 5. Pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata porositas tanah (%).

Perlakuan Pengapuran Rataan

P0 P1 P2

Olah Tanah

T0 53.49 54.53 54.51 54.18

T1 54.84 54.24 55.57 54.88

T2 55.44 55.65 55.51 55.53

Rataan 54.59 54.81 55.20

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Duncan.

Tabel 5 menunjukkan bahwa pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata porositas tanah tertinggi terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2) dan pengapuran 2 ton / ha (P2), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan tanpa olah tanah (T0) dan tanpa pengapuran 0 ton / ha (P0).

d. pH tanah

Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana tertera pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa pengolahan tanah dan pengapuran berpengaruh nyata terhadap pH tanah, sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap pH tanah. Hasil uji beda rataan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata pH tanah

Perlakuan Pengapuran Rataan

P0 P1 P2

Olah Tanah

T0 5.12 5.59 5.75 5.49b

T1 5.44 5.70 5.78 5.64a

T2 5.49 5.67 5.89 5.68a

Rataan 5.35c 5.65b 5.81a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Duncan.


(48)

Berdasarkan Tabel 6 diatas, menunjukkan bahwa pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata pH tanah tertinggi terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2) dan pengapuran 2 ton / ha (P2), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan tanpa olah tanah (T0) dan tanpa pengapuran 0 ton / ha (P0). e. Kapasitas Tukar Kation

Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana tertera pada Lampiran 10 menunjukkan bahwa pengolahan tanah dan pengapuran berpengaruh nyata terhadap kapasitas tukar kation, sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap kapasitas tukar kation tanah. Hasil uji rataan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata kapasitas tukar kation tanah (me/100gr).

Perlakuan Pengapuran Rataan

P0 P1 P2

Olah Tanah

T0 6.27 7.47 8.00 7.25c

T1 8.40 8.53 8.33 8.42b

T2 10.13 9.83 10.70 10.22a

Rataan 8.27c 8.61ab 9.01a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Duncan.

Dari Tabel 7,menunjukkan bahwa pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata kapasitas tukar kation tertinggi terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2) dan pengapuran 2 ton / ha (P2), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan tanpa olah tanah (T0) dan tanpa pengapuran 0 ton / ha (P0).


(49)

f. N – Total Tanah

Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana tertera pada Lampiran 12 menunjukkan bahwa pengolahan tanah, pengapuran dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap N-total tanah. Hasil uji beda rataan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata N – total tanah (%).

Perlakuan Pengapuran Rataan

P0 P1 P2

Olah Tanah

T0 0.08d 0.11b 0.13a 0.11b

T1 0.08cd 0.09c 0.09cd 0.09c

T2 0.11b 0.14a 0.13a 0.13a

Rataan 0.09b 0.11a 0.12a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Duncan.

Tabel 8 menunjukkan bahwa pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata N-Total tanah tertinggi terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2) dan pengapuran 2 ton / ha (P2), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan olah tanah minimum (T1) dan tanpa pengapuran 0 ton / ha (P0). g. P - Tersedia

Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana tertera pada Lampiran 14 menunjukkan bahwa pengolahan tanah, pengapuran dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap P-tersedia. Hasil uji beda rataan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata P – tersedia (ppm).


(50)

P0 P1 P2

Olah Tanah

T0 18.87f 29.36cd 30.59bc 26.27c T1 28.38de 28.22de 26.85e 27.82b T2 32.57b 34.79a 36.82a 34.73a

Rataan 26.61b 30.79a 31.42a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Duncan.

Tabel 9 menunjukkan bahwa pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata P-tersedia tertinggi terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2) dan pengapuran 2 ton / ha (P2), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan tanpa olah tanah (T0) dan tanpa pengapuran 0 ton / ha (P0).

h.K - Tertukar

Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana tertera pada Lampiran 16 menunjukkan bahwa pengolahan tanah dan pengapuran berpengaruh nyata terhadap P – tersedia, sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap K - tertukar. Hasil uji beda rataan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata K –

tertukar (me/100gr).

Perlakuan Pengapuran Rataan

P0 P1 P2

Olah Tanah

T0 0.23 0.30 0.36 0.30b

T1 0.39 0.40 0.47 0.42a

T2 0.35 0.45 0.51 0.44a

Rataan 0.32b 0.38ab 0.45a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Duncan.


(51)

Tabel 10 menunjukkan bahwa pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata K-tertukar tertinggi terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2) dan pengapuran 2 ton / ha (P2), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan tanpa olah tanah (T0) dan tanpa pengapuran 0 ton / ha (P0).

i.Ca

Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana tertera pada Lampiran 18 menunjukkan bahwa pengolahan tanah, pengapuran dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap Ca. Hasil uji beda rataan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata Ca (me/100gr).

Perlakuan Pengapuran Rataan

P0 P1 P2

Olah Tanah

T0 2.23e 3.54d 3.44d 3.07c

T1 5.26c 5.78bc 5.32c 5.45b

T2 6.30b 5.93bc 7.63a 6.62a

Rataan 4.60c 5.08b 5.46a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Duncan.

Kadar Ca menunjukkan bahwa pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata Ca tertinggi terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2) dan pengapuran 2 ton / ha (P2), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan tanpa olah tanah (T0) dan tanpa pengapuran 0 ton / ha (P0).

j. Mg

Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana tertera pada Lampiran 20 menunjukkan bahwa pengolahan tanah, pengapuran dan interaksi keduanya


(52)

berpengaruh nyata terhadap Mg. Hasil uji beda rataan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata Mg (me/100gr).

Perlakuan Pengapuran Rataan

P0 P1 P2

Olah Tanah

T0 0.21d 0.31c 0.39c 0.30c

T1 0.39c 0.54b 0.55b 0.49b

T2 0.61b 0.56b 0.74a 0.64a

Rataan 0.40c 0.47b 0.56a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Duncan.

Kadar Mg menunjukkan bahwa pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata Mg tertinggi terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2) dan pengapuran 2 ton / ha (P2), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan tanpa olah tanah (T0) dan tanpa pengapuran 0 ton / ha (P0).

k. Tinggi Tanaman Jagung pada Umur 15 HST

Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana tertera pada Lampiran 22 menunjukkan bahwa pengolahan tanah berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 15 HST, sedangkan pengapuran dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 15 HST. Hasil uji beda rataan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 13.


(53)

Tabel 13. Pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata tinggi tanaman 15 HST (cm).

Perlakuan Pengapuran Rataan

P0 P1 P2

Olah Tanah

T0 32.85 32.38 32.90 32.71a

T1 24.94 23.81 27.02 25.26c

T2 27.13 29.54 31.67 29.45b

Rataan 28.31 28.58 30.53

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Duncan.

Tabel diatas menunjukkan bahwa pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata - rata tinggi tanaman pada umur 15 HST tertinggi terdapat pada tanpa olah tanah (T0) dan pengapuran 2 ton / ha (P2), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan olah tanah minimum (T1) dan tanpa pengapuran 0 ton / ha (P0). l. Tinggi Tanaman Jagung Pada Umur 30 HST

Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana tertera pada Lampiran 24 menunjukkan bahwa pengolahan tanah, pengapuran dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 30 HST. Hasil uji beda rataan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 14.


(54)

Tabel 14. Pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata tinggi tanaman 30 HST (cm).

Perlakuan Pengapuran Rataan

P0 P1 P2

Olah Tanah

T0 75.44 73.69 65.35 71.49

T1 74.40 72.77 78.65 75.27

T2 86.56 87.35 94.31 89.41

Rataan 78.80 77.94 79.44

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama, menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Duncan.

Tabel 14, menunjukkan bahwa pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata tinggi tanaman pada umur 30 HST tertinggi terdapat pada olah tanah maksimum (T2) dan pengapuran 2 ton / ha (P2), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan tanpa olah tanah (T0) dan pengapuran 1 ton / ha (P1).

m. Tinggi Tanaman pada Umur 45 HST

Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana tertera pada Lampiran 26 menunjukkan bahwa pengolahan tanah berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 45 HST, sedangkan pengapuran dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 45 HST. Hasil uji beda rataan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 15.


(55)

Tabel 15. Pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata tinggi tanaman 45 HST (cm).

Perlakuan Pengapuran Rataan

P0 P1 P2

Olah Tanah

T0 160.23 156.35 147.79 154.79c T1 170.08 166.98 170.19 169.08b T2 180.73 180.56 195.56 185.62a

Rataan 170.35 167.96 171.18

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Duncan.

Tabel diatas menunjukkan bahwa pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata tinggi tanaman pada umur 45 HST tertinggi terdapat pada olah tanah maksimum (T2) dan pengapuran 2 ton / ha (P2), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan tanpa olah tanah (T0) dan pengapuran 1 ton / ha (P1).

n. Berat Basah Berkelobot

Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana tertera pada Lampiran 28 menunjukkan bahwa pengolahan tanah, pengapuran dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap berat basah berkelobot. Hasil uji beda rataan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 16.


(56)

Tabel 16. Pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata berat basah berkelobot (gr).

Perlakuan Pengapuran Rataan

P0 P1 P2

Olah Tanah

T0 276.70 268.24 316.98 287.31 T1 280.40 258.62 248.48 262.50 T2 278.95 349.73 340.78 323.15

Rataan 278.68 292.20 302.08

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Duncan.

Tabel 16 diatas, menunjukkan bahwa pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata berat basah berkelobot tertinggi terdapat pada olah tanah maksimum (T2) dan pengapuran 2 ton / ha (P2), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan tanpa olah tanah (T0) dan pengapuran 1 ton / ha (P1).

o. Berat Basah Tanpa Kelobot

Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana tertera pada Lampiran 30 menunjukkan bahwa pengolahan tanah, pengapuran dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap berat basah tanpa kelobot. Hasil uji beda rataan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 17.


(57)

Tabel 17. Pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata berat basah tanpa kelobot (gr).

Perlakuan Pengapuran Rataan

P0 P1 P2

Olah Tanah

T0 239.41 243.15 280.71 254.42 T1 241.71 225.68 215.29 227.56 T2 243.17 309.64 302.34 285.05

Rataan 241.43 259.49 266.11

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Duncan.

Tabel 17 menunjukkan bahwa pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata berat basah tanpa kelobot tertinggi terdapat pada olah tanah maksimum (T2) dan pengapuran 2 ton / ha (P2), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan olah tanah minimum (T1) dan tanpa pengapuran 0 ton / ha (P0). p. Panjang Tongkol Tanpa Kelobot

Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana tertera pada Lampiran 32 menunjukkan bahwa pengolahan tanah, pengapuran dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap panjang tongkol tanpa kelobot. Hasil uji beda rataan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 18.


(58)

Tabel 18. Pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata panjang tongkol tanpa kelobot (cm).

Perlakuan Pengapuran Rataan

P0 P1 P2

Olah Tanah

T0 15.50 15.84 15.86 15.73

T1 16.00 15.15 15.28 15.48

T2 15.15 17.01 17.44 16.53

Rataan 15.55 16.00 16.19

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Duncan.

Tabel 18 menunjukkan bahwa pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata panjang tongkol tanpa kelobot tertinggi terdapat pada olah tanah maksimum (T2) dan pengapuran 2 ton / ha (P2), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan olah tanah minimum (T1) dan tanpa pengapuran 0 ton / ha (P0). q. Berat 1000 Biji Pipilan Kering

Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana tertera pada Lampiran 34 menunjukkan bahwa pengolahan tanah, pengapuran dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap berat 1000 biji pipilan kering. Hasil uji beda rataan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 19.


(59)

Tabel 19. Pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata berat 1000 biji pipilan kering (gr).

Perlakuan Pengapuran Rataan

P0 P1 P2

Olah Tanah

T0 232.87 227.00 253.00 237.62 T1 229.07 227.07 230.87 229.00 T2 241.47 267.00 264.07 257.51

Rataan 234.47 240.36 249.31

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom atau baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan Uji Duncan.

Tabel 19 diatas, menunjukkan bahwa pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran terhadap rata – rata berat 1000 biji pipilan kering tertinggi terdapat pada olah tanah maksimum (T2) dan pengapuran 2 ton / ha (P2), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan olah tanah minimum (T1) dan tanpa pengapuran 0 ton / ha (P0).

B. Pembahasan Fisika Tanah

Sistem pertanian konservasi yang meliputi pengolahan tanah minimum, tanpa olah tanah dapat mempertahankan kualitas tanah, peningkatan produksi tanaman pangan (Schmidt, et al, 2001). Pengolahan tanah minimum akan meningkatkan jumlah pori makro sehingga meningkatkan kapasitas infiltrasi (Husain, et al, 2001), mengurangi aliran permukaan (run off) dan tentunya erosi tanah (Bens, et al, 2001).

Berat volume (BV) dan berat partikel tanah penting artinya dalam penilaian kepadatan atau kesarangan tanah. Pada mumnya perkembangan akar tanaman mulai


(60)

terganggu bila BV tanah > 1.2 g cm-3. Untuk mendapatkan media perakaran yang baik diperlukan pengolahan tanah (Arsyad, 2000).

Berat volume (BV) tanah dan berat jenis partikel (BP) tanah tertinggi umumnya terdapat pada tanah yang tidak diolah, sedangkan porositas tanah lebih tinggi pada tanah yang diolah maksimum. Hal senada juga pernah diungkapkan oleh (Kirkby, 1980 dan Hardjowigeno, 2003) bahwa adanya pengolahan tanah menyebabkan tanah menjadi sarang, porositas menjadi tinggi, bobot isi tanah menurun, selanjutnya hal ini akan berpengaruh pada kecepatan infiltrasi tanah.

Tabel 3 menunjukkan bahwa berat volume tanah dan berat partikel tanah berpengaruh nyata terhadap pengolahan tanah, sedangkan pengolahan tanah terhadap porositas tanahnya tidak berpengaruh nyata. Pada pemberian kapur dolomit tidak berpengaruh nyata terhadap berat volume tanah, berat partikel tanah dan porositas tanah.

Nilai berat volume tanah akibat pengaruh pengolahan tanah dan pemberian kapur dolomit tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa olah tanah (T0) yaitu 1.31 g cm-3 dan tanpa pemberian kapur dolomit 0 ton ha-1 (P0) yaitu 1.29 g cm-3, sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2) yaitu 1.26 g cm-3 dan pemberian kapur dolomit 1 ton ha-1 (P1) yaitu 1.27 g cm-3. Nilai berat partikel tanah akibat pengaruh pengolahan tanah dan pemberian kapur dolomit tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa olah tanah (T0) yaitu 2.62 g cm-3 dan tanpa pemberian kapur dolomit (P0) yaitu 2.58 g cm-3, sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2) yaitu 2.53 g cm-3 dan pemberian kapur dolomit 1 ton ha-1 (P1) yaitu 2.55 g cm-3. Hal ini berarti bahwa tanpa olah tanah menyebabkan


(61)

BV tanah meningkat, karena tanah semakin padat, sedangkan pengolahan tanah maksimum menyebabkan tanah gembur sementara. Hal ini berarti pengolahan tanah minimum dapat memelihara kondisi fisik tanah.

Hasil analisis tanah diperoleh bahwa besar porositasnya mempunyai porositas yang tinggi. Hal ini disebabkan karena pada tanah penelitian memiliki banyak mineral – mineral besar. Hal ini disebabkan oleh pengaruh bulk densitynya. Secara tidak langsung bulk density tersebut sangat mempengaruhi porositas tanah, selain itu, partikel density juga sangat mempengaruhi porositas tanah tersebut karena juga dipengaruhi dengan keberadaan mineralnya. Hal ini sesuai dengan pendapat (Hardjowigeno, 2003) yang menyatakan bahwa tanah entisol banyak mengandung mineral – mineral kecil seperti mineral kwarsa, feldspart dan silikat koloida yang merupakan komponen tanah sekitar angka tersebut.

Adapun hal – hal yang mempengaruhi porositas adalah iklim, kelembaban dan struktur tanah. Sifat mengembang dan mengerut sangat mempengaruhi porositas, misalnya saja wilayah yang beriklim hujan tropis maka tingkat curah hujan pada tanah tersebut akan tinggi pada saat tanah tersebut basah maka tanah tersebut akan mengalami pengembangan dan pori tanah pada saat tersebut akan banyak terisi oleh air juga akan mempengaruhi kelembaban tanah tersebut yang nantinya akan berpengaruh pada porositasnya. Sebaliknya pada musim kemarau atau kering tanah akan mengerut dan pori tanah akan semakin besar tetapi kebanyakan diisi oleh udara, sehingga nantinya akan berpengaruh terhadap porositas tanah tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat (Pairunan, 1997), yang menyatakan bahwa selain iklim, suhu, dan kelembaban, struktur tanah juga akan sangat berpengaruh, karena sangat bergantung


(62)

pada kadar liat, pasir dan debu yang dikandung tanah tersebut apabila struktur tanah dirusak maka porositas tanah tersebut akan berubah.

Tanah – tanah pasir mempunyai pori – pori kasar lebih banyak daripada tanah liat. Tanah dengan banyak pori – pori kasar sulit menahan air sehingga tanaman mudah kekeringan. Tanah – tanah liat mempunyai pori total (jumlah pori – pori makro dan mikro) lebih tinggi daripada tanah pasir.

Porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur tanah, dan tekstur tanah. tanah yang tekstur pasir banyak mempunyai pori – pori makro sehingga sulit menahan air (Hardjowigeno, 2003). Ruang pori – pori total pada tanah berpasir semakin rendah, tetapi sebahagian besar dari pori – pori itu terdiri dari pori – pori yang besar dan sangat effisien dalam lintas air maupun udara. Persentase volume yang ditempati oleh pori – pori kecil, dalam tanah berpasir adalah rendah, yang menunjukkan kapasitas memegang air yang rendah (Buckman dan Brady, 1982).

Porositas sangat berpengaruh terhadap kesuburan tanah karena dimana jika pori didalam tanah kurang maka kurang udara / oksigen didalam tanah. Adapun beberapa pengaruh jika tanah memiliki pori yang baik, diantaranya adalah memaksimalkan penyerapan air, member banyak persediaan air dalam tanah, mengurangi resiko air tergenang, menampung air hujan sehingga tidak terbuang kelaut sia – sia, menyelamatkan kehidupan biota tanah. Dengan adanya porositas tanah yang baik maka pertumbuhan tanaman juga baik karena banyak persediaan air dalam tanah, sehingga pertumbuhan tanaman beserta hasil produksinya banyak dan memiliki kualitas yang baik, produktivitas tanaman pertanian bisa meningkat dan lebih memajukan pertanian (Pairunan, 1992).


(63)

Kimia Tanah

Berdasarkan hasil analisis tanah awal dan analisis tanah akhir terhadap pH tanah, Kapasitas Tukar Kation (KTK), N-total, P-tersedia, K-tertukar, Ca dan Mg maka didapatkan bahwa pH tanah sebelum perlakuan adalah 5.30 (rendah) dan setelah perlakuan pengolahan tanah didapatkan pH tanah tertinggi yaitu 5.68 (netral) terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2). Berikutnya akibat dari pemberian kapur dolomit maka didapatkan pH tanah tertinggi pada perlakuan pemberian kapur dolomit 2 ton ha-1 (P2). Pengaruh perlakuan pengolahan tanah dan pemberian kapur dolomit berpengaruh sangat nyata terhadap pH tanah.

Pengolahan tanah dapat meningkatkan KTK tanah dan mengurangi kemasaman tanah. hal ini terkait dengan terbukanya lapisan tanah yang banyak mengandung bahan organik sehingga terjadi proses mineralisasi. Meningkatnya proses mineralisasi akan menambah konsentrasi ion – ion yang dapat dipoertukarkan di dalam koloid tanah.

Salah satu upaya untuk meningkatkan pH tanah adalah dengan pengapuran. Cara ini biasa dilakukan pada lahan – lahan yang memiliki pH rendah. Tujuan utama dari pengapuran ini ialah untuk meningkatkan pH dari pH masam menjadi pH netral. Pada pH tanah yang masam, banyak unsur hara (misalnya : N, P, K, Ca dan Mg) yang tidak tersedia bagi tanaman karena pada pH rendah unsur tersebut rusak. Hanya unsur Fe dan Al (unsur mikro) yang tersedia pada tanah masam. Maka diharapkan, dengan pengapuran akan meningkatkan pH menjadi netral, dimana pada pH netral banyak unsur hara yang dapat tersedia bagi tanaman (Hardjowigeno, 2007).


(64)

Berdasarkan hasil analisis tanah awal dan akhir terhadap kapasitas Tukar Kation (KTK) maka didapatkan bahwa KTK sebelum perlakuan adalah sebesar 9.60 me/100gr, sedangkan setelah perlakuan olah tanah dan pemberian kapur dolomit adalah sebesar 10.22 me/100gr dan 9.01 me/100gr. KTK pada perlakuan olah tanah sangat berpengaruh nyata sedangkan KTK pada perlakuan pemberian kapur berpengaruh nyata. Pada perlakuan pengolahan tanah KTK nya meningkat sedangkan pada perlakuan pemberian kapur dolomit KTK nya menurun, perlakuan keduanya yang terbaik dijumpai pada perlakuan olah tanah maksimum (T2) dan pemberian kapur 2 ton ha-1 (P2).

Pengapuran juga dapat meningkatkan kapasitas tukar kation, namun perlu dipahami bahwa peningkatan KTK tersebut tidak bersifat permanen atau dengan kata lain hanya temporer karena untuk meningkatkan KTK tanah diperlukan upaya merubah jenis mineral liat atau penambahan bahan organik. Peningkatan KTK disebabkan unsur – unsur basa yang dapat dipertukarkan semakin meningkat, namun setelah batas waktu tertentu dimana kation – kation tersebut telah habis diserap tanaman atau hilang tercuci , maka KTK tanah akan menurun kembali.

Interaksi pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran berpengaruh nyata terhadap N – total, kadar N-total tanah tertinggi dijumpai pada perlakuan olah tanah maksimum, diikuti oleh tanpa olah dan olah tanah minimum. P-tersedia tanah juga meningkat dibandingkan dengan P- tersedia tanah sebelum perlakuan. P- tersedia tertinggi ditemukan pada kombinasi perlakuan olah tanah maksimum. Semakin baiknya kondisi hara tanah terutama P- tersedia ini diduga karena meningkatnya pH tanahnya.


(65)

N-total tanah sebelum perlakuan adalah 0.07% (sangat rendah) sedangkan setelah perlakuan terhadap pengolahan tanah dan pemberian kapur dolomit tertinggi terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2) yaitu 0.13% (rendah) dan pemberian kapur dolomit 2 ton ha-1 (P2) yaitu 0.12% (rendah), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan olah tanah minimum (P1) yaitu 0.09% (sangat rendah) dan tanpa pemberian kapur dolomit 0 ton ha-1 (P0) yaitu 0.09% (sangat rendah). Hal ini disebabkan pada olah tanah maksimum (T2) peningkatan nitrogen dalam tanah dalam hal penyerapan oleh tanaman berhubungan dengan pH tanah yang pada keadaan pH lebih kecil dari 5.0 dan lebih besar dari 8.0 maka proses nitrifikasi akan terhambat. Hal ini sesuai dengan literature Hasibuan (2004) yang menyatakan bahwa perubahan ammonia menjadi nitrat berlangsung dengan proses enzimatik yang dibantu oleh bakteri Nitrosomonas dan Nictrobacter sedangkan kehidupan mikroorganisme tersebut dipengaruhi oleh pH tanah. Kemasaman tanah yang optimum untuk proses tersebut (nitrifikasi) berkisar antar pH 6.0 – 8.0. Pengolahan tanah dan interaksi pengolahan tanah dan pengapuran berpengaruh sangat nyata terhadap N-total tanah.

Pengolahan tanah dan pemberian kapur setelah perlakuan sangat berpengaruh nyata terhadap P - tersedia. P-tersedia sebelum perlakuan adalah sebesar 7.18 ppm (rendah) sedangkan setelah perlakuan pada pengolahan tanah nilai tertinggi adalah sebesar 34.73 ppm (sedang) terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2), sedangkan pada perlakuan pemberian kapur dolomit nilai tertinggi adalah 31.42 ppm (sedang) terdapat pada perlakuan pemberian kapur dolomit 2 ton / ha (P2).


(66)

Interaksi pengolahan tanah dan pengapuran berpengaruh sangat nyata terhadap P-tersedia tanah. hal ini dapat dilihat dari perlakuan kombinasi olah tanah sempurna dan pemberian kapur dolomit 2 ton / ha. Peningkatan P-tersedia di dalam tanah dipengaruhi oleh interaksi pengolahan tanah dan pemberian kapur dolomit. Dimana pengolahan tanah maksimum, tanah diolah dengan sempurna dan dibersihkan dari sisa – sisa gulma. Pada pengolahan tanah maksimum tanah diolah dengan sempurna sehingga kondisi fisik tanah tetap terjaga yaitu aerasi, kelembaban dan temperatur tanah baik.

Pengolahan tanah dan pemberian kapur setelah perlakuan berpengaruh nyata terhadap K - tertukar. K-tertukar sebelum perlakuan adalah sebesar 0.31 me/100gr (sangat rendah), sedangkan setelah perlakuan pada pengolahan tanah yang tertinggi adalah sebesar 0.44 me/100gr (sedang) terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2), sedangkan pada perlakuan pemberian kapur dolomit yang tertinggi adalah 0.45 me/100gr(sedang) terdapat pada perlakuan pemberian kapur dolomit 2 ton ha-1 (P2).

Penambahan kapur dapat menyebabkan peningkatan fiksasi kalium. Bila kapur diberikan secara biasa, maka tindakan ini akan lebih bermanfaat daripada merugikan disebabkan karena pengaruh pengawetan kalium. Kalium yang terdapat dalam tanah yang dikapur tidak mudah terlindi dibandingkan bila tanah itu masam. Dalam beberapa keadaan yang bertentangan, pengaruh kapur justru dapat menekan ketersediaan kalium, terutama jika kapur yang diberikan berlebihan (Ma’shum, 1989).

Pengolahan tanah dan pemberian kapur setelah perlakuan berpengaruh nyata terhadap kalsium (Ca). Kalsium (Ca) sebelum perlakuan adalah sebesar 4.26


(67)

me/100gr (sangat rendah) sedangkan setelah perlakuan pada pengolahan tanah tertinggi adalah sebesar 6.62 me/100gr (sedang) terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2), sedangkan pada perlakuan pemberian kapur dolomit yang tertinggi adalah 5.46 me/100gr (sangat rendah) terdapat pada perlakuan pemberian kapur dolomit 2 ton / ha (P2). Magnesium (Mg) setelah perlakuan sangat berpengaruh nyata terhadap pengolahan tanah dan pemberian kapur dolomit. Magnesium (Mg) sebelum perlakuan adalah sebesar 0.30 me/100gr (sangat rendah) sedangkan setelah perlakuan pada pengolahan tanah tertinggi adalah sebesar 0.64 me/100gr (tinggi) terdapat pada perlakuan olah tanah maksimum (T2), sedangkan pada perlakuan pemberian kapur dolomit tertinggi adalah 0.56 me/100gr (sedang) terdapat pada perlakuan pemberian kapur dolomit 2 ton ha-1 (P2).

Interaksi pengaruh pengolahan tanah dan pengapuran berpengaruh nyata terhadap Ca dan Mg, Kandungan Ca dan Mg yang tinggi dalam tanah berhubungan dengan taraf perkembangan tanah tersebut, semakin kuat pelindian / semakin tua tanahnya, akan semakin kecil pula kandungan kedua zat tersebut. Kadar tinggi berkaitan dengan pH yang netral atau agak kalis. Sebagai unsur hara makro Ca dan Mg mempunyai fungsi yang penting pada tanaman. Kalsium (Ca) berperan sebagai penyusun dinding sel tumbuhan dan sering pula menetralkan bahan racun dalam jaringan tanaman. Magnesium (Mg) merupakan komponen dari klorofil dan berperan pula dalam pembentukan lemak dan minyak pada tumbuhan. Kekurangan kedua zat ini dalam tanah dapat menghambat perkembangan normal pada jaringan muda (Ma’shum, 1989).


(68)

Ma’shum juga mengatakan bahwa tanah yang bertekstur kasar, dan yang terbentuk didaerah humid dari bahan induk yang rendah kandungan kalsiumnya, dengan sendirinya menyediakan sedikit kalsium bagi tanaman. Sebaliknya tanah yang bertekstur halus dan terbentuk dari pelapukan mineral kaya kalsium, mengandung kalsium yang lebih banyak, baik yang tertukar maupun kalsium total. Meskipun demikian sering terjadi di daerah humid tanah di lapisan atas menunjukkan reaksi masam, meskipun berbahan induk kapur, hal ini disebabkan karena kehilangan kalsium dan kation lain akibat pelindihan yang berlebihan.

Penyerapan magnesium oleh tanaman tergantung pada jumlah yang tersedia, derajat penjenuhan kompleks pertukaran oleh magnesium, sifat ion – ion tertukar lainnya dan tipe lempung. Seperti halnya kalium, magnesium sangat boleh jadi berada dalam keadaan lambat tersedia yang berada dalam keseimbangan Mg tertukar. Pembentukan senyawa yang relatif kurang tersedia tersebut di tanah asam sangat dimungkinkan akibat tersedianya magnesium larut dalam jumlah besar dan kehadiran lempung sistem 2 : 1. Diduga bahwa dalam keadaan sedemikian itu, terjadinya penyematan ion magnesium akibat pembengkakan dan pengerutan mineral (Ma’shum, 1989).

Tanaman

Pengolahan tanah setelah perlakuan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 15 dan 45 hari setelah tanam, sedangkan pada umur 30 hari setelah tanam tidak berpengaruh nyata terhadap pengolahan tanah. Pada umur 15 hari setelah tanam pada perlakuan pengolahan tanah tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa olah tanah (T0), sedangkan pada umur 30 dan 45 hari setelah tanam


(1)

Olah Tanah Sempurna


(2)

15 Hari Setelah Tanam


(3)

45 Hari Setelah Tanam


(4)

Berat Basah Tanpa Kelobot


(5)

(6)

Pipilan Kering Blok II