II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Patin Pangasius pangasius
Gambar 1. Ikan Patin Pangasius sp Ikan patin berbadan panjang, warna putih seperti perak, punggung
berwarna kebiru-biruan. Kepala ikan patin relatif kecil, mulut terletak di ujung kepala agak di sebelah bawah merupakan ciri khas golongan catfish. Pada
sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba. Ikan ini bersifat omnivora dan nokturnal beraktifitas dimalam hari.
Susanto dan Amri, 1998 Ikan patin merupakan ikan sungai yang banyak ditemukan di Asia
Tenggara, seperti Thailand, Kamboja, Laos, Burma dan Vietnam. Ikan ini didatangkan untuk pertama kali ke Indonesia pada tahun 1972 Anonimous,
1999. Ikan ini sangat digemari oleh masyarakat sumatera. Khairuman dan Sudenda 2002 menambahkan, kini ikan patin telah banyak dibudidayakan di
Pulau Jawa. Ikan patin dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, karena
memiliki harga jual yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan ikan patin mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk
membudidayakannya. Ikan ini cukup responsif terhadap pemberian makanan buatan. Pada pembudidayaan, dalam usia enam bulan ikan patin bisa mencapai
panjang 35-40 cm. Sebagai keluarga Pangasidae, ikan ini tidak membutuhkan perairan yang mengalir untuk “membongsorkan“ tubuhnya. Pada perairan yang
tidak mengalir dengan kandungan oksigen rendahpun sudah memenuhi syarat untuk membesarkan ikan ini Susanto dan Amri, 1998.
Ikan patin juga memiliki komposisi kimiawi tubuh yang baik untuk dikonsumsi Tabel 1
Tabel 1. Komposisi Kimia Daging Segar Ikan Patin
Komposisi Kimia Jumlah
Air 75,70
Abu 0,97
Lemak 5,75
Protein 16,08
Sumber : anonimous, 1998
2.2. Bau Lumpur
Ikan patin yang dibesarkan atau dipelihara pada kolam tanah seringkali memiliki daging yang berbau lumpur atau biasa disebut off-flavours . Off- flavours
atau biasa disebut bau lumpur merupakan salah satu masalah yang seringkali dihadapi petani ikan yang memelihara pada kolam tanah selama ini. Hal ini tentu
saja sangat merugikan petani ikan, karena selain ikan yang berbau lumpur akan ditolak oleh para pembeli, ikan yang berbau lumpur ini juga akan dibeli dengan
harga rendah. Masalah ini telah diamati beberapa abad yang lalu pada kolam pemeliharaan ikan carp di Cina, Jepang dan Eropa dan bahkan terjadi pula pada
kolam catfish di Amerika Serikat Lovell, 1979 dalam Harpher, 1981. Bau lumpur ikan disebabkan oleh senyawa kimia yaitu 2-Methylisoborneol
atau MIB 1,2,7,7-tetramethyl-exo-bicyclo[2,2,1]heptan-2-ol dan Geosmin 1,10 - trans-dimethyl - trans-9 - decalol Gambar 2. MIB dan Geosmin merupakan
metabolit sampingan metabolic by-products yang dihasilkan oleh
mikroorganisme terutama golongan alga biru hijau Cyanophyta seperti Oscillatoria sp. dan Anabaena sp., fungi Actinomycetes dan bakteria
Streptomyces tendae.
Dari hasil penelitian Leviena Dewi 2005, di Waduk Cirata terdapat lima mikroorganisme penghasil senyawa berbau lumpur tersebut, yaitu : Anabaena,
Aphanizomenon, Lyngbya, Oscillatoria dan Pormidium. Kelima genus ini berasal dari satu kelas Cyanophyceae
Geosmin merupakan senyawa yang larut dalam minyak atau lemak dan dapat dengan mudah diserap oleh ikan melalui insang dan kemudian disimpan
dalam jaringan lemak. Banyaknya kedua senyawa kimia tersebut yang diserap oleh ikan ditentukan oleh kosentrasi, lamanya ikan berada dalam perairan yang
mengandung senyawa tersebut, dan suhu perairan Killian,1977. Sedangkan menurut Yamprayoon Noomhorm 2000, geosmin diserap melalui insang, kulit
maupun usus. Usus merupakan organ dengan kandungan geosmin paling tinggi, kemudian perut, kulit dan otot Yamprayoon Noomhorm, 2000. Geosmin
menyebabkan ikan berasa lumpur sedangkan MIB menyebabkan daging ikan berasa apek Killian, 1977.
Gambar 2. Struktur kimia geosmin dan MIB
Geosmin dan MIB dapat terasa dalam air oleh manusia pada konsentrasi berturut-turut 0,01 dan 0,03 ì g 1
-1
, dengan kata lain jika kita menambahkan 1 gram geosmin dan 3 gram MIB ke dalam 1000 m
3
air maka kita sudah dapat merasakannya Killian, 1977. Senyawa geosmin ini diproduksi sekitar 0,03
ng104 sel Anonimous, 2004. Meningkatnya populasi mikroorganisme-mikroorganisme tersebut dapat
disebabkan karena pemberian pakan dan pemupukan lahan dengan menambahkan nutrisi pada kolam budidaya. Untuk meminimalkan limbah
buangan dari ikan maka penggunaan pakan harus yang berkualitas baik dan tidak memberikan pakan berlebih pada ikan. Hal ini akan menyebabkan banyak
sisa pakan yang tidak termakan dan menumpuk di perairan, sehingga perairan tersebut menjadi subur bagi mikroorganisme-mikroorganisme tersebut.
Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi jumlah geosmin dan MIB yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut. Jumlah geosmin dan MIB di perairan
akan bertambah seiring bertambahnya jumlah mikroorganisme penghasil kedua
Geosmin
1,10 - trans-dimethyl - trans-9 - decalol
Rumus Molekul : C
12
H
22
O Berat Molekul : 182,31
2-Methylisoborneol MIB
1,2,7,7-tetramethyl-exo-bicyclo[2,2,1]heptan-2-
ol Rumus Molekul : C
11
H
20
O Berat Molekul : 168,278
senyawa kimia tersebut dan akan lebih meningkat ketika musim kemarau dimana air di perairan akan mengalami peningkatan suhu Hutchings,1998.
Bau Lumpur
Gambar 3. Proses terjadinya bau lumpur pada ikan Mendeteksi kandungan geosmin dan MIB pada ikan tidak akan sama
seperti mendeteksi kandungan pada air karena ada beberapa efek yang dapat terjadi. Salah satu akan menutupi rasa geosmin pada rasa ikan tersebut tetapi
umumnya akan memberikan rasa pada ikan air tawar, namun efek ini termasuk efek yang kecil. Efek yang paling besar disebabkan oleh lemak yang berada di
daging. Karena geosmin lebih mudah larut pada lemak dibandingkan air Chiou, 1985.
2.2 Arus Terhadap Metabolisme