Viabilitas Bacillus sp. Bk17 Pada Berbagai Bahan Pembawa

(1)

VIABILITAS Bacillus sp. BK17 PADA BERBAGAI BAHAN

PEMBAWA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

HEMA SRI DEVI

090805020

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUANALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

PERSETUJUAN

Judul : Viabilitas Bacillus sp. BK17 pada Berbagai Bahan Pembawa

Kategori : Skripsi

Nama : Hema Sri Devi

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi Nomor Induk Mahasiswa : 090805020

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Maret 2014

Komisi Pembimbing

Pembimbing 2, Pembimbing 1,

Dra. Nunuk Priyani. M.Sc. Prof.Dr. Erman Munir. M.Sc. NIP: 196404281996032001 NIP: 196511011991031002

Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua


(3)

PERNYATAAN

VIABILITAS Bacillus sp. BK17 PADA BERBAGAI BAHAN PEMBAWA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Maret 2014

HEMA SRI DEVI 090805020


(4)

PENGHARGAAN

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang atas limpahan rahmat kekuatan dan kemudahan

penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “ Viabilitas Bacillus sp BK17. Pada Berbagai Bahan Pembawa”. Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ibunda tercinta Kurnia Amin Pulungan, Ayahanda KH Dra. Qosim bustami dan Prayetno. Untuk saudara dan saudari tersayang terkhusus abangnda Fachruddin Bagaskara. SE beserta istri Asmara Dewi. Amd telah membantu penulis secara materil dan moril, kak Indah Munaziah S.psi atas motivasinya dan keponakanku Ariba atas semangatnya beserta saudara lainnya yang selalu memberikan doanya.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Erman Munir. M.Sc selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dra. Nunuk Priyani. M.Sc selaku dosen pembimbing II atas bimbingan, arahan serta dukungannya dalam pembuatan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Dra. It Jamilah. M.Sc dan Ibu Dra. Elimasni. S.Si Msi selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada ibu Dra. Nurwahyuni M.Sc. selaku Pembimbing Akademik. Ibu Dr. Nursahara Pasaribu. M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi, FMIPA, USU dan Drs. Kiki Nurtjahja, M.Sc selaku Sekertaris Departemen Biologi, FMIPA, USU. Ibu Dra. Nunuk Priyani. M.Sc, selaku Kepala Laboratorium Mikrobiologi, Seluruh Staf Pengajar Departemen Biologi, FMIPA, USU. Ibu Nurhasni Muluk, Ibu Roslina Ginting dan Bang Erwin selaku Staf Pegawai Departemen Biologi, FMIPA, USU.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman seperjuangan penelitian Bacillus sp. Rulya dan Rahmi, temen-temen di Mikrobiologi, Lisa, Sepwin, Bobby, Agus, Pebrin, Febri, Grace, Raymon, Anderson, Uland, Dila, Eryna, Aan, kak Netti serta kak Ria. Teman berbagi kisah Zara, Essy, Zuwanna, Nisa willy, Arfah, Nurul dan Nora. Teman-teman asisten PSDAL, Sahat, Boy, Uba, Juli, Frishy, Fika, Yenni, Jesica. Teman-teman “O9topus”: Imam, Novi, Siska, Riris, Fauziah, Afni, Nuri, Opie, Ima, Hotman, Bertua, Venny, Ichip, Rissa, Fivin, Yuli, Ririn, Elisabeth, Suma, Hans, Mona, Laura, Putri, Sylvia, Rencina, Zulfan, Rita dan Zubeir atas cinta dan semangat kebersamaannya. Kakak angkatan 2006, 2007 dan 2008 dan adik-adik angkatan 2010, angkatan 2011, angkatan 2012 dan 2013 terimakasih atas dukungan dan doanya. Sahabat SD, SMP dan SMA yang selalu memberikan cinta dan doanya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.


(5)

VIABILITAS Bacillus sp. BK17 PADA BERBAGAI BAHAN PEMBAWA ABSTRAK

Penelitian tentang viabilitas Bacillus sp. BK17 pada berbagai bahan pembawa telah dilakukan. Isolat disimpan pada bahan pembawa talek, tapioka, tepung jagung dan kitosan dengan lama penyimpanan satu bulan pada suhu ruang dan suhu 4ºC. Viabilitas isolat diukur setiap minggu dengan metode total plate count dalam media plate count agar. Hasil menunjukkan bahwa viabilitas Bacillus sp. BK17 terbaik pada bahan pembawa talek diikuti pada tepung jagung, tapioka dan terendah pada kitosan. Pada bahan pembawa talek viabilitas Bacillus sp. BK17 dapat bertahan sampai 82,85% pada suhu kamar dan sebesar 108% pada suhu 4ºC.


(6)

VIABILITY OF Bacillus sp. BK17 IN VARIOUS CARRIERS

ABSTRACT

Viability study of Bacillus sp. BK17 in various carriers has been conducted. The isolate was kept in talc, tapioca, maizena powder, and chitosan for one month at room temperature and at 4ºC. The viability of isolate was evaluated separately every week by total plate count method in media plate count agar. The result showed that viability of Bacillus sp. BK17 talc was best followed with maizena powder, tapioca and the lowest viability of isolate was found in chitosan. The value viability of Bacillus sp. BK17 in talc 82,85% in room temperature and 108% at 4ºC.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak iv

Abstract v

Daftar Isi vi

Daftar Tabel vii

Daftar Gambar ix

Daftar Lampiran x

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Hipotesis 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 Pengenalan Bacillus 4 2.2 Bacillus Sebagai Agen Pengendali Hayati 5 2.3 Ketahanan Spora Bacillus di Lingkungan 6

2.4 Bahan Pembawa 7

2.4.1 Talek 8

2.4.2 Tapioka 9

2.4.3 Kitosan 9

2.4.4 Tepung Jagung 10

BAB 3 METODE PENELITIAN 11

3.1 Waktu dan Tempat 11

3.2 Alat dan Bahan 11

3.3 Prosedur Kerja 11

3.3.1 Perbanyakan dan Pembuatan Suspensi Bakteri 11 3.3.2 Pertumbuhan dan Sporulasi Isolat Bakteri 12 3.3.3 Pemanenan Spora Bacillus sp. BK17 12 3.3.4 Pencampuran Spora Bacillus sp. BK17 pada

Berbagai Bahan Pembawa

12 3.4 Parameter Pengamatan 13 3.4.1 Pengamatan spora Bacillus sp. BK17 13 3.4.2 Asai Viabilitas Bacillus sp. BK17 pada Berbagai 13


(8)

3.4.3 Penghitungan Viabilitas Bacillus sp. BK17 pada Berbagai Bahan Pembawa

14

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15

4.1 Viabilitas Bacillus sp. BK17 pada Berbagai Bahan Pembawa Selama Penyimpanan pada Suhu Kamar

15 4.2 Viabilitas Bacillus sp. BK17 pada Berbagai Bahan

Pembawa Selama Penyimpanan pada Suhu 4ºC

18 4.3 Viabilitas Bacillus sp. BK17 pada Berbagai Bahan

Pembawa Selama Penyimpanan 1 Bulan.

20

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 23

5.1 Kesimpulan 23

5.2 Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 24


(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Halaman Tabel 2.1 Peran dan Manfaat Bacillus pada Berbagai Bidang 5


(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Halaman

Gambar 2.1 Struktur Kimia Residu pada Kitosan 9

Gambar 4.1.1 Viabilitas Bacillus sp. BK17 pada Berbagai Bahan Pembawa Selama Penyimpanan pada Suhu Kamar

15

Gambar 4.2.1 Viabilitas Bacillus sp. BK17 pada Berbagai Bahan Pembawa Selama Penyimpanan pada Suhu 4ºC

18

Gambar 4.3.1 Viabilitas Bacillus sp. BK17 pada Berbagai Bahan Pembawa Selama Penyimpanan 1 Bulan

21

Gambar 9.1 Endapan Biomassa Bacillus sp. BK17 37

Gambar 9.2 Moisture Balance 37

Gambar 9.3 Beberapa Jenis Bahan Pembawa 37

Gambar 9.4 Tempat Penyimpanan Bahan Pembawa Pada Suhu Kamar


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran

Halaman Lampiran 1 Komposisi Media MGMK Padat dan Cara

Pembuatannya

29

Lampiran 2 Komposisi Media Cair Molase Tripton dan Cara Pembuatannya

30

Lampiran 3 Perbanyakan dan Pembuatan Suspensi Bacillus sp. BK17

31

Lampiran 4 Pertumbuhan dan Sporulasi Bacillus sp. BK17 32 Lampiran 5 Pemanenan Spora Bacillus sp. BK17 33 Lampiran 6 Pencampuran spora Bacillus sp. BK17 pada Berbagai

Bahan Pembawa

34

Lampiran 7 Asai viabilitas Bacillus sp. BK17 pada Berbagai Bahan Pembawa

35

Lampiran 8 Pewarnaan dan Pengamatan Spora Bacillus sp. BK17 36 Lampiran 9 Gambar Dokumentasi Penelitian 37


(12)

VIABILITAS Bacillus sp. BK17 PADA BERBAGAI BAHAN PEMBAWA ABSTRAK

Penelitian tentang viabilitas Bacillus sp. BK17 pada berbagai bahan pembawa telah dilakukan. Isolat disimpan pada bahan pembawa talek, tapioka, tepung jagung dan kitosan dengan lama penyimpanan satu bulan pada suhu ruang dan suhu 4ºC. Viabilitas isolat diukur setiap minggu dengan metode total plate count dalam media plate count agar. Hasil menunjukkan bahwa viabilitas Bacillus sp. BK17 terbaik pada bahan pembawa talek diikuti pada tepung jagung, tapioka dan terendah pada kitosan. Pada bahan pembawa talek viabilitas Bacillus sp. BK17 dapat bertahan sampai 82,85% pada suhu kamar dan sebesar 108% pada suhu 4ºC.


(13)

VIABILITY OF Bacillus sp. BK17 IN VARIOUS CARRIERS

ABSTRACT

Viability study of Bacillus sp. BK17 in various carriers has been conducted. The isolate was kept in talc, tapioca, maizena powder, and chitosan for one month at room temperature and at 4ºC. The viability of isolate was evaluated separately every week by total plate count method in media plate count agar. The result showed that viability of Bacillus sp. BK17 talc was best followed with maizena powder, tapioca and the lowest viability of isolate was found in chitosan. The value viability of Bacillus sp. BK17 in talc 82,85% in room temperature and 108% at 4ºC.


(14)

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Bakteri merupakan kelompok mikroorganisme bersel satu, prokariotik dan berkembang biak dengan membelah diri (Waluyo, 2007). Beberapa sifat morfologi bakteri sangat berhubungan dengan ketahanannya terhadap lingkungan. Sifat-sifat tersebut misalnya bentuk dan susunan sel, dinding sel dan pembentukan endospora (Fardiaz, 1992).

Bacillus merupakan bakteri yang mempunyai kemampuan membentuk endospora pada kondisi yang kurang menguntungkan seperti radiasi, panas, asam, desinfektan, kekeringan nutrisi dan mampu dorman dalam jangka waktu yang lama (Madigan et al., 2001). Faktor pembentukan spora dari siklus vegetatif normal adalah perubahan parameter lingkungan yaitu ketersediaan nutrisi (khususnya sumber karbon, nitrogen dan fosfor), perubahan temperatur pertumbuhan optimum dan pH (Ray, 2004). Dalam lingkungan yang menguntungkan spora akan bergerminasi kembali menjadi sel vegetatif (Lay, 1994).

Sulistiani (2009) melaporkan Bacillus subtilis merupakan bakteri pembentuk endospora yang memiliki ketahanan yang sangat tinggi terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik sebagai struktur bertahan. Dengan demikian endospora yang terbentuk dapat digunakan sebagai material bakteri inaktif yang bisa diformulasikan pada berbagai bahan pembawa.

Menurut Pasifico et al. (2008) sel yang bersifat peka dapat dienkapsulasi untuk meningkatkan viabilitas dan umur simpannya. Bahan yang umum digunakan untuk enkapsulasi adalah berbagai jenis polisakarida dan protein seperti pati, alginat, gum arab, gelatin, karagenan, albumin dan kasein Penggunaan bahan untuk enkapsulasi perlu dipertimbangkan, karena masing-masing bahan mempunyai karakter yang berbeda dan belum tentu sesuai dengan


(15)

2

bahan inti yang dienkapsulasi. Krasaekoopt et al. (2006) enkapsulasi sebaiknya dilakukan dalam sistem bipolimer dan polimer yang bersifat lembut dan tidak beracun (food grade) agar tidak mempengaruhi sel bakteri. Keefektifan dari bahan dan teknik enkapsulasi yang digunakan akan mempertahankan viabilitas sel dan dapat diukur dengan metode plate count.

Menurut Pelczar & Chan (2005) bakteri akan mampu mempertahankan diri dengan baik di dalam lingkungan selama kondisinya mengguntungkan. Adapun faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi viabilitas mikroba yaitu: suhu dapat mengubah proses metabolik tertentu serta morfologi sel. Atmosfer gas, bakteri memperlihatkan keragaman yang luas dalam hal respons terhadap oksigen bebas. Kemasaman atau kebasaan (pH), pH optimum pertumbuhan bagi kebanyakan bakteri terletak antara 6,5 dan 7,5. Namun beberapa spesies dapat tumbuh dalam keadaan sangat masam atau sangat alkalin. Pada kebanyakan spesies, nilai pH minimum dan maksimum ialah antara 4 dan 9.

Penelitian enkapsulasi telah banyak dilakukan. Noviana & Raharjo (2009) melaporkan viabilitas tertinggi Bacillus sp. DUCC-BR-K.1.3 pada media pembawa tanah gambut tercapai setelah masa penyimpananan 10 hari (2,30x1011cfu) dan memunjukan penurunan signifikan sampai 30 hari penyimpanan. Irawati (2013) melaporkan Bacillus sp. BK17 merupakan bakteri kitinolitik yang mampu menghambat pertumbuhan jamur Sclerotium rolfsii pada benih cabai merah terenkapsulasi maupun yang tidak terenkapsulasi. Gum arabik merupakan bahan yang baik digunakan untuk enkapsulasi benih dengan kemampuan viabilitas bakteri tertinggi dibandingkan dengan bahan enkapsulasi alginat, tapioka dan karboksimetil selulosa (CMC).

1.2Permasalahan

Pada penelitian sebelumnya viabilitas Bacillus sp. BK17 mengalami penurunan yang sangat signifikan pada bahan pembawa alginat-kitosan dan tapioka yang dienkapsulasi pada benih cabai merah (Indarwan, 2011). Penurunan viabilitas tersebut disebabkan karena kultur yang digunakan berada pada fase vegetatif (sel). Oleh sebab itu pada penelitian ini kultur yang digunakan berada pada fase spora.


(16)

3

Untuk itu perlu dipelajari sejauh mana viabilitas Bacillus sp. BK17 pada berbagai bahan pembawa yaitu talek, tepung tapioka, tepung jagung dan kitosan


(17)

3

1.3Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui viabilitas Bacillus sp. BK17 selama penyimpanan pada berbagai bahan pembawa.

2. Untuk mendapatkan bahan pembawa terbaik untuk mempertahankan viabilitas Bacillus sp. BK17

1.4Hipotesis

Viabilitas Bacillus sp. BK17 dipengaruhi oleh berbagai bahan pembawa selama penyimpanan.

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menyediakan informasi bagi pihak-pihak yang memerlukan tentang tingkat viabilitas terbaik Bacillus sp. BK17 pada berbagai bahan pembawa.


(18)

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengenalan Bacillus

Bacillus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk batang, beberapa spesies bersifat aerob obligat dan bersifat anaerobik fakultatif, dan memiliki endospora sebagai struktur bertahan saat kondisi lingkungan tidak mendukung (Backman et al.,1994). Menurut Fardiaz (1992) bentuk spora (endospora) Bacillus bervariasi bergantung pada spesiesnya. Endospora ada yang lebih kecil dan ada juga yang lebih besar dari pada diameter sel induknya. Pada umumnya sporulasi terjadi bila keadaan medium memburuk, zat-zat yang timbul sebagai pertukaran zat yang terakumulasi dan faktor luar lainnya yang merugikan.

Bacillus mempunyai sifat yang lebih menguntungkan daripada mikroorganisme lain karena dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan untuk pertumbuhannya (Wong, 1994). Spesies dari jenis Bacillus juga berbeda dalam sifat pertumbuhannya. Beberapa bersifat mesofilik misalnya Bacillus subtilis yang lainnya bersifat termofilik fakultatif misalnya Bacillus coagulans atau termofilik pada Bacillus stearothermophilus sering menyebabkan kerusakan pada makanan kaleng. Sebanyak 22 spesies Bacillus telah diidentifikasi diantaranya banyak ditemukan pada makanan. Beberapa kelompok bakteri ini menghasilkan metabolit sekunder yang dapat menekan pertumbuhan patogen (Backman et al.,1994).

Bacillus telah banyak diaplikasikan pada benih untuk mencegah patogen tular tanah seperti Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani, Botrytis cinera, Phytium sp. dan Sclerotium rolfsii (Baker & Cook, 1974). Pada Tabel 2.1 memberikan informasi manfaat dan peranan dari bakteri Bacillus yang telah dilaporkan.


(19)

5

Tabel 2.1 Peran dan manfaat Bacillussp.pada berbagai bidang

No Jenis Bacillus Peranan & Manfaatnya Sumber 1. Bacillus sp. - Berpotensi sebagai pemacu

pertumbuhan tanaman

- Biokontrol fungi patogen akar

Widyawati (2008). 2. Bacillus subtilis - Sebagai agen pengendali

hayati

- Sebagai PGR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria)

Sulistiani (2009).

3. Bacillus subtilis - Memiliki pengaruh biofungisida terhadap serangan penyakit antarknosa pada cabai merah (Capsicum annuum L.)

Kusnadi et al. (2009).

3. Bacillus thuringinensis

- Memproduksi bioinsektisida pada media tapioka

Salamah (2002). 4. Bacillus

thuringinensis

- Memproduksi bioinsektisida pada media air kelapa

Priatno (1999). 5. Bacillus spp. - Pengahasil α- amilase

ekstraseluler

Widyasti (2003). 6. Bacillus

thermoglucosidasius AF-01

- Memproduksi parsial protease alkali

Fuad et al. (2004). 7. Bacillus

licheniformis

- Sebagai feed suplement terhadap pertumbuhan ikan nila merah

Haetami et al. (2008). 8. Bacillus sp. BK 17 - Mampu menghambat jamur

patogen Aspergillus sp. yang menginfeksi ikan nila

(Oreochromis sp.)

Malau (2012).

9 Bacillus sp. BK 17 - Mampu menghambat layu Fussarium pada benih cabe merah (Capsicum annuum L.)

Indarwan (2011). 10 Bacillus

thuringinensisvar aizawa IH-A

- Penggunaan Bacillus thuringinensis sebagai bioinsektisida

Sjamsuriputra et al. (2002).

2.2 Bacillus Sebagai Agen Pengendali Hayati

Pengendalian hayati adalah proses pengurangan kepadatan inokulum atau aktivitas patogen dalam menimbulkan penyakit yang berada dalam keadaan aktif maupun dorman oleh satu atau lebih organisme baik secara aktif maupun dengan


(20)

6

dengan mengintroduksi satu atau lebih organisme antagonis (Baker & Cook, 1974). Proses pengendalian hayati berjalan dengan lambat tetapi dapat berlangsung dalam periode yang cukup panjang, relatif murah dan tidak berbahaya bagi kehidupan. Agens antagonis adalah mikroorganisme yang dapat mempengaruhi kemampuan bertahan atau berpengaruh negatif terhadap aktivitas patogen dalam menimbulkan penyakit. Bahkan, agens antagonis dapat berasal dari strain patogen avirulen yang dapat menghambat perkembangan patogen (Agrios, 1997).

Genus Bacillus digunakan sebagai agen biokontrol secara luas, menghasilkan zat antimikroba berupa bakteriosin. Bakteriosin adalah zat antimikroba polipeptida atau protein yang diproduksi oleh mikroorganisme yang bersifat bakterisida. Bakteriosin membunuh sel targetnya dengan menyisip pada membran target dan mengakibatkan fungsi membran sel menjadi tidak stabil sehingga menyebabkan sel lisis (Compant et al., 2005). Bacillus sp juga diketahui menghasilkan spora dan enzim kitinase yang mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen yaitu Aspergillus sp. 2 pada ikan nila (Oreachromis niloticus) secara in vivo maupun in vitro (Malau, 2012). Bacillus juga menghasilkan enzim yang banyak digunakan dalam industri diantaranya Widyasti (2003) melaporkan Bacillus spp. penghasil enzim α-amilase yang banyak digunakan dalam industri

untuk menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosidik pati, glikogen dan substrat sejenisnya. Fuad et al. (2004) melaporkan Bacillus thermoglucosidasius AF-01 memproduksi parsial portease alkali yang memiliki sifat proteolitik yang cukup tinggi banyak digunakan pada industri detergen dan makananan.

2.3 Ketahanan Spora Bacillus di Lingkungan

Menurut Gaman & Sherrington (1981), spora merupakan “ body “ yang kuat dan keras terbentuk pada beberapa jenis bakteri. Waluyo (2007) ada dua tipe spora yang terbentuk, pertama terbentuk di dalam sel disebut dengan endospora dan di luar sel disebut dengan eksospora. Irianto (2006) resistensi endospora terhadap panas disebabkan oleh kadar air yang dikandungnya dan pembungkus spora yang tebal. Waluyo (2007) endospora masih dapat bertahan pada suhu air mendidih selama 20 jam.


(21)

7

Naufalin (1999) mekanisme ketahanan spora terhadap panas adalah senyawa peptidoglikan yang merupakan penyusun korteks dengan struktur ikatan silang dan bersifat elektronegatif, berperan dalam meningkatkan ketahanan spora terhadap panas dengan cara mengontrol kandungan air di dalam protoplas yaitu mempertahankan kadar air yang rendah. Beberapa faktor yang ikut mempengaruhi sifat polimer peptidoglikan juga ikut berperan menurunkan ketahanan spora terhadap panas, misalnya adanya asam dan beberapa kation multivalent.

Salamah (2002) melaporkan pembentukan spora Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis dimulai pada jam ke-9 dimungkinkan karena kondisi lingkungan yang kurang sesuai bagi sel yaitu pH ekstrim. (Lay, 1994) mikroorganisme memiliki enzim yang berfungsi sempurna pada pH tertentu. Bila terjadi perubahan pH, pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme dapat berhenti. Waluyo (2007) bakteri dalam bentuk spora lebih tahan terhadap kekeringan, panas, asam dan dingin karena dinding spora lebih bersifat impermeabel dan spora mengandung sedikit air. Berdasarkan informasi ketahanan spora terhadap lingkungan diperlukan bahan pembawa untuk mempertahankan viabilitas isolat uji. Formulasi merupakan langkah awal di dalam usaha pengendalian hayati yang dapat diusahakan secara komersial yang mampu menjaga ketahanan spora terhadap lingkungan selama penyimpanan (Jones & Burges, 1998).

2.4 Bahan Pembawa

Bahan pembawa merupakan bahan yang dicampurkan dengan organisme dilengkapi dengan bahan tambahan untuk memaksimalkan kemampuan bertahan hidup di penyimpanan disebut dengan formulasi. Adapun fungsi dasar dari formulasi adalah untuk stabilisasi organisme selama produksi, distribusi dan penyimpanan, mengubah aplikasi produk, melindungi agen dari faktor lingkungan yang dapat menurunkan kemampuan bertahan hidupnya serta meningkatkan aktivitas dari agen untuk mengendalikan organisme target. Formulasi terdiri dari dua tipe, yaitu produk berbentuk padatan (tepung dan butiran) serta berbentuk suspensi (berbahan dasar minyak atau air, dan emulsi) (Jones & Burges, 1998).


(22)

8

Enkapsulasi pada bakteri dapat memberikan kondisi yang mampu melindungi mikroba dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan, seperti panas dan bahan kimia (Young et al., 1995). Vladamir et al. (2002) enkapsulasi dalam ukuran kecil memiliki beberapa keuntungan, antara lain melindungi suatu senyawa dari penguraian dan mengendalikan pelepasan suatu senyawa aktif. Rizqiati et al. (2008) melaporkan jenis bahan enkapsulasi yang berbeda akan mempengharui viabilitas Lactobasillus plantarum setelah penyimpanan. Hasil analisis statistik menunjukkan nilai viabilitas Lactobasillus plantarum setelah penyimpanan untuk ketiga kombinasi jenis bahan enkapsulasi tidak berbeda nyata. Pada kultur biomasa diperoleh nilai viabilitas pada penggunaan bahan enkapsulasi susu skim 73,5%, susu skim-gum arab 72,5% dan gum arab 71, 5%.

Menurut Master (1997) enkapsulasi dikatakan berhasil jika bahan yang dienkapsulasi memiliki viabilitas sel yang baik dan sifat-sifat fisiologis yang relatif sama dengan sebelum dan sesudah dienkapsulasi. Desmond et al. (2002) penggunaan bahan untuk enkapsulasi perlu dipertimbangkan, karena masing-masing bahan mempunyai karakter yang berbeda dan belum tentu cocok dengan bahan inti yang akan dienkapsulasi. Adapun beberapa komposisi bahan pembawa digunakan yaitu:

2.4.1 Talek

Talek adalah mineral yang lunak dengan komposisi kimia (Mg3SiO10(OH)2) dan

umumnya sebagai mineral sekunder hasil hidrasi batuan yang mengandung magnesium, seperti peridotit, gabro, dan dolomit. Talek dapat ditemukan dalam pasir dan lumpur yang mempunyai ikatan kuat. Talek merupakan jenis tanah mineral yang dominan berasosiasi dengan kaolinit dan gibsit. Stabilitas talek relatif berbeda dengan mineral liat yang lain memiliki struktur halus, licin dan penghantar panas tinggi (Dixon, 1989).

Sulistiani (2009) melaporkan pengaruh interaksi jenis formulasi dan lama penyimpanan formulasi spora B. subtilis memberikan hasil yang beragam. Formulasi talek pada penyimpanan ke-6 mencapai panjang optimum pada benih padi jika dibandingkan dengan formulasi lainnya. Hal ini terjadi karena kombinasi perlakuan paling efektif jika menggunakan formulasi talek dengan waktu aplikasi


(23)

9

pada minggu ke-6 (9,76 cm). Selain jenis formulasi lama penyimpanan juga memberikan pengaruh terhadap viabilitas spora.

2.4.2 Tapioka

Pati merupakan karbohidrat yang tersimpan dalam tanaman terutama tanaman berklorofil. Banyaknya kandungan pati pada tanaman tergantung asal pati tersebut. Pati telah lama digunakan sebagai bahan makanan maupun non-food seperti perekat, dalam industri tekstil, polimer atau sebagai bahan tambahan dalam sediaan farmasi. Penggunaan pati dalam bidang farmasi sebagai formula sediaan tablet, baik sebagai bahan pengisi, penghancur maupun sebagai bahan pengikat (Winarno, 1984).

Tepung tapioka pada dasarnya merupakan pati dari ketela pohon, dengan komposisi sebagai berikut: kalori (362 kal), karbohidrat (86,9 g), protein (0,5 g), lemak (0,3 g), kalsium (20 mg), fosfor (7 mg), besi (1,6 mg), kalium (11 mg), natrium (1 mg), magnesium (1 mg) dan air (12 g) (Djali & Riswanto, 2001). Wijayanti (2010) melaporkan tepung tapioka berpotensi sebagai campuran bahan pembawa natrium alginat pada pupuk biologis yang dihasilkan melalui enkapsulasi. Viabilitas Azospirillum brasilense di dalam kapsul Ca-alginat dan di dalam formula bahan pembawa (perbandingan konsentrasi antara natrium alginat dan tepung tapioka) sangat baik. Viabilitas A. brasilense bertahan selama masa simpan.

2.4.4 Kitosan

Kitosan tidak larut dalam air, tetapi larut dalam asam lemah encer (misalnya, asam asetat 1% [v/v]). Kitosan memiliki struktur yang mirip dengan selulosa, tetapi gugus hidroksil pada C-2 diganti dengan gugus amino. Senyawa ini dapat diperoleh dari kulit udang dengan cara mendestilasi kitinnya (Timmy et al.,2002)


(24)

10

Wukirsari (2006) melaporkan kemampuan enkapsulasi sistem penyalutan ganda alginat-kitosan lebih baik bila dibandingkan dengan gelatin. Enkapsulasi ibuprofen dengan penyalut alginat-kitosan menghasilkan kapsul dengan diameter antara 1 dan 2 mm. Enkapsulasi tersebut memiliki nilai efisiensi >86% lebih tinggi jika dibandingkan dengan penyalut gelatin nilai efesiensi 6,67% yang telah dilakukan oleh peneliti lainnya. Konsentrasi kitosan menaikkan massa kapsul akan tetapi, jumlah ibuprofen dan konsentrasi kitosan tidak berpengaruh terhadap efesiensi enkapsulasinya melainkan faktor waktu penyimpanan larutan alginat yang digunakan untuk pembuatan kapsul.

2.4.3 Tepung Jagung

Jagung mempunyai nilai gizi yang relatif cukup baik, mengandung protein 10%, lipid 4,4 % dan kandungan pati sekitar 72%. Kandungan asam amino lisin, triptopan, dan isoleusin. Komposisi tepung jagung terdiri dari: kalori (355 kal); karbohidrat (73,7 g); protein (9,2 g); lemak (3,9 g); kalsium (7 mg); fosfor (256 mg); besi (2,4 mg); kalium (287 mg); natrium (35 mg); magnesium (127 mg); vitamin A (510 SI); vitamin B1 (0,38 mg) dan air (12 g) (Mudjisihono & Munarsono, 1993).

Sulistiani (2009) melaporkan viabilitas spora Bacillus subtilis dalam berbagai formulasi dipengaruhi oleh jenis formulasi dan lama penyimpanan. Pengaruh jenis formulasi spora B. subtilis menunjukkan hasil yang berbeda untuk setiap formulasi yang digunakan. Formulasi tepung jagung memiliki nilai 6,92 cfu/g dalam mendukung ketahanan hidup spora B. subtilis selama penyimpanan. Hal ini disebabkan karena tepung jagung memilliki kandungan pati, gula, dan kadar air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bakteri. Namun tidak sebaik formulasi campuran antara tepung jagung, tepung udang, zeolit dan dedak memiliki nilai tertinggi 7,77 cfu/g. Hal ini disebabkan adanya tepung udang yang berasal dari cangkang udang memiliki kandungan protein yang cukup tinggi untuk mendukung viabilitas spora B. subtilis selama penyimpanan.


(25)

11

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2013 bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah timbangan meja, cawan petri, erlenmeyer, autoklaf, inkubator bakteri, oven, kamera digital, mikroskop, spatula, propipet, bunsen, jarum ose, pipet serologi, hot plate, handspray, objek glass, cover glass, tabung reaksi, rak tabung, sentrifugasi, refegirator, gelas ukur, spektrofotometer, water bath, air laminar flow dan moisture balance.

Bahan yang digunakan adalah talek, tapioka, kitosan, tepung jagung, akuades, spiritus, Media Plate Count Agar (PCA), larutan Mac Farland, Phosphate Buffer Saline (PBS), malachite green,safranin, aluminium foil, Media Garam Minimum Kitin (MGMK), unsur mikro yaitu Fe, Mg, Mn, dan Zn pada konsentrasi 5 ppm, kitin 0,5 %, ekstrak yeast 1% dan isolat bakteri kitinolitik koleksi Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara yaitu Bacillus sp. (sebelumnya disebut isolat BK17 yang diisolasi dari tanah Bangka).

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Perbanyakan dan Pembuatan Suspensi Bacillus sp. BK17

Isolat bakteri Bacillus sp. BK17 disubkultur dalam media MGMK (Komposisi media MGMK padat dan cara pembuatannya pada Lampiran 1 halaman 29) kemudian diinkubasi pada suhu kamar dengan pH 6,5-7 selama ± 2 hari. Hasil subkultur biakan bakteri diambil dengan jarum ose dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml akuades steril. Suspensi bakteri divortex dan


(26)

12

disamakan kekeruhannya dengan standart Mac Farland sehingga diperoleh suspensi bakteri dengan kerapatan sel 108 cfu/ml.

3.3.2 Pertumbuhan dan Sporulasi Bacillus sp. BK17

Isolat bakteri Bacillus sp. BK17ditumbuhkan pada media cair (Komposisi media cair molase tripton dan cara pembuatannya pada Lampiran 2 halaman 30) yang mengandung sumber karbon dan nitrogen terbaik yaitu molase tripton. Bakteri ditumbuhkan selama tiga hari yang dishaker dengan kecepatan 100 rpm pada suhu 28ºC (belum dipublikasi: Rachmi, 2014). Untuk pembentukan spora (belum dipublikasi: Annisa, 2014) dilakukan shock temperature dengan pemanasan suhu 70ºC selama 60 menit didalam water bath. Kepadatan spora dan sel dihitung dengan menggunakan spektrofotometer masing-masing dengan panjang gelombang 600 nm dan 660 nm (Fachmiasari & Sembiring, 2004).

3.3.3 Pemanenan Spora Bacillus sp. BK17

Pemanenan spora Bacillus sp. BK17 dilakukan dengan cara sentrifugasi pada 3.000 rpm selama 20 menit. Endapan yang diperoleh dicuci sebanyak tiga kali secara serial dengan larutan Phosphate Buffer Saline (PBS) kemudian disentrifugasi kembali 3.000 rpm selama 20 menit, lalu supernatan dibuang. Pengujian dilakukan dengan tiga kali pengulangan. Endapan biomassa (Lampiran 9. Gambar 9.1 halaman 37) yang telah dicuci larutan PBS sebanyak tiga kali kemudian diresuspensikan kembali dengan kekeruhan yang sama dengan standart Mac Farland yaitu 108 cfu/ml setelah itu dimasukkan ke dalam bahan pembawa.

3.3.4 Pencampuran Spora Bacillus sp. BK17 pada Berbagai Bahan Pembawa

Bahan pembawa yang digunakan dalam penelitian ini adalah talek, tapioka, kitosan, dan tepung jagung (Lampiran 9 Gambar 9.3 halaman 37). Bahan pembawa ditambahkan unsur mikro seperti Fe, Mg, Mn, dan Zn pada konsentrasi 5 ppm, kitin 0,5 % dan yeast ekstrak 1% Sulistiani (2009). Suspensi spora Bacillus sp. BK17 dicampurkan secara merata dengan perbandingan 10 ml suspensi spora (standart Mac Farland 108 cfu/ml) untuk setiap 50 g bahan


(27)

13

dikeringanginkan dengan cara menyebarkannya pada loyang alumunium foil dengan sesekali dibalik dengan menggunakan spatula untuk memastikan bahwa seluruh bagian dapat tercampur secara baik, proses ini dilakukan secara aseptis di dalam laminar air flow dengan suhu 28ºC. Pengeringan campuran suspensi spora dan bahan pembawa dilakukan hingga kadar air mencapai ±12%, di dalam oven dengan suhu 60ºC selama ± 21 jam. Kadar air bahan pembawa diukur menggunakan moisture balance (Lampiran 9 Gambar 9.2 halaman 37). Bahan pembawa selanjutnya disimpan dalam botol film dimana masing-masing botol dilapisi lakban hitam. Bahan pembawa yang disimpan pada suhu ruang, pada botol film ditambahkan silica gel dalam kemasan yang telah dilapisi kertas saring agar menjaga kelembaman tetap rendah (Lampiran 9 Gambar 9.4 halaman 37).

3.4 Parameter Pengamatan

3.4.1 Pengamatan Spora Bacillus sp. BK17

Pengamatan spora Bacillus sp. BK17 dilakukan dengan perwarnaan yang mengikuti metode Schaeffer-Fulton. Inokulum bakteri dioleskan pada kaca obyek yang telah dibersihkan dengan alkohol 75%, diberi 1-2 tetes akuades. Kultur disebarkan menggunakan jarum ose secara merata membentuk bujur sangkar, lalu ditutup dengan kertas saring dan diberi 1-2 tetes malachite green selama 1 menit. Preparat diletakkan diatas water bath selama 5 menit. Kertas saring diangkat secara perlahan-lahan, kemudian preparat sediaan dibilas dengan akuades dan dikeringkan, selanjutnya diberi safranin selama 30-60 detik. Preparat sediaan dibilas dengan akuades, lalu dikeringkan. Pengamatan dan pengambilan gambar bakteri dilakukan dengan menggunakan mikroskop perbesaran 1000x.

3.4.2 Asai Viabilitas Bacillus sp. BK17 pada Berbagai Bahan Pembawa

Viabilitas Bacillus sp BK17 diukur setelah pencampuran suspensi isolat pada berbagai bahan pembawa disimpan selama 1 bulan pada suhu kamar dan suhu 4oC. Jumlah koloni isolat dihitung pada minggu ke-0, 1, 2, 3, dan 4 menggunakan metode Total Plate Count (TPC) dengan media Plate Count Agar (PCA). Pengujian dilakukan dengan dua kali ulangan. Penghitungan koloni dilakukan setelah 36-48 jam masa inkubasi.


(28)

14

3.4.3 Penghitungan Viabilitas Bacillus sp. BK17 pada Berbagai Bahan Pembawa

Viabilitas dihitung berdasarkan rasio log jumlah bakteri per gram sesudah dan sebelum penyimpanan dinyatakan dalam persen (%) (Lian et al., 2002). Rumus perhitungannya adalah:

Viabilitas (%) = Jumlah sel sesudah perlakuan Jumlah sel sebelum Perlakuan


(29)

15

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Viabilitas Bacillus sp.BK17 pada Berbagai Bahan Pembawa Selama Penyimpanan pada Suhu Kamar

Viabilitas Bacillus sp. BK17 dipengaruhi oleh jenis bahan pembawa, lama penyimpanan dan kondisi penyimpanan. Gambar 4.1.1 menyajikan pengaruh jenis bahan pembawa pada suhu kamar terhadap viabilitas Bacillus. sp BK17.

Gambar 4.1.1 Viabilitas Bacillus sp. BK17 pada berbagai bahan pembawa selama penyimpanan pada suhu kamar (1012 cfu/g)

Pada Gambar 4.1.1 terlihat bahwa pada bahan pembawa talek viabilitas Bacillus sp. BK17 tertinggi pada penyimpanan minggu ke-2 yaitu 88,5x1012cfu/g dan mengalami penurunan pada minggu ke-4 yaitu 7,5x1012cfu/g. Pada bahan pembawa tapioka viabilitas sel tinggi dijumpai pada awal inkubasi (minggu ke-0)

52,5 40,5 88,5 28,5 7,5 66

56,5 53

8,5

5 85

37,5

67,5

9 7

41 128,5 86 12 6,5 0 20 40 60 80 100 120 140

0 1 2 3 4

P op u lasi Bac il lus sp . B K 17 (10 12c fu /g)

Lama penyimpanan (minggu ke-)

Talek Tapioka Kitosan Tepung jagung


(30)

16

kemudian minggu ke-3 dan ke-4 mengalami penurunan yaitu 8,5x1012cfu/g dan 5x1012cfu/g. Pada bahan pembawa kitosan viabilitas sel menunjukkan pola yang hampir sama dengan viabilitas sel tapioka, tertinggi pada awal inkubasi yaitu 85x1012cfu/g dan bertahan sampai minggu ke-2 yaitu 67,5x1012cfu/g kemudian pada minggu ke-3 dan ke-4 mengalami penurunan yaitu 9x1012cfu/g dan 7x1012 cfu/g. Pada bahan pembawa tepung jagung viabilitas tertinggi dijumpai minggu ke-1 selama penyimpanan yaitu 128,5x1012cfu/g dan menurun sampai minggu ke-4 yaitu 6,5x1012cfu/g.

Dari hasil (Gambar 4.1.1) terlihat bahwa viabilitas sel pada semua bahan pembawa yang digunakan mengalami penurunan pada minggu ke-4. Berdasarkan keempat jenis bahan pembawa tersebut viabilitas sel paling baik terdapat pada bahan pembawa talek karena dapat mempertahankan viabilitas sel sampai minggu ke-3. Tingginya viabilitas sel pada bahan pembawa talek pada penyimpanan suhu kamar kemungkinan disebabkan pengeringan sesuai, pencampuran dilakukan secara merata dan kandungan air pada bahan pembawa talek sangat rendah. Penggunaan kadar air ±12% pada bahan pembawa talek sesuai dengan spora isolat sehingga viabilitas sel mampu bertahan dengan baik. Hal ini sesuai dengan sifat yang dimiliki talek. Menurut Dixon, (1989) talek bersifat nonpolimer yang merupakan mineral sekunder hasil batuan mengandung magnesium seperti peridotit, gabro dan dolomit dengan sedikit kadar air. Stabilitas talek relatif berbeda dengan mineral liat lain. Talek memiliki struktur yang halus dengan luas permukaan < 20µ m dengan komposisi kimia Mg3SiO10(OH)2 dimana kadar

magnesium 26,228%, silikon 10,10%, oksigen 63,36% dan hidrogen 0,3626%. Pada bahan pembawa tapioka dan tepung jagung viabilitas sel tidak stabil. Hal ini kemungkinan pada saat pengeringan dan pencampuran tidak terjadi secara merata sehingga kadar air ±12% belum sesuai dengan spora isolat. Spora isolat dapat bergeminasi kembali menjadi sel dan mengambil nutrisi lengkap yang dimiliki bahan pembawa, terlihat adanya pertumbuhan dan penurunan sel yang secara signifikan pada kedua bahan pembawa tersebut. Menurut Djali & Riswanto (2001) tepung tapioka dan tepung jagung merupakan pati yang memiliki komposisi yang lebih lengkap dengan kadar air yang cukup tinggi.


(31)

17

Pada bahan pembawa kitosan yang merupakan senyawa yang diperoleh dari kulit udang dengan cara mendestilasi kitinnya (Timmy et al., 2002), komposisi tertinggi yang dimiliki adalah protein di mana protein mudah rusak saat terjadi pemanasan. Pengeringan bahan pembawa kitosan kemungkinan merusak protein sehingga viabilitas sel menurun. Triana et al. (2006) mengatakan penyebab utama kematian sel adalah panas yang tinggi yang diterima oleh sel pada waktu proses enkapsulasi. Protein akan mengalami kerusakan sehingga sel mengalami kematian.

Berdasarkan hasil (Gambar 4.1.1) menunjukkan bahwa viabilitas sel Bacillus sp. BK17 tidak hanya dipengaruhi oleh jenis bahan pembawa, lama penyimpanan dan tempat penyimpanan. Akan tetapi, adaptasi lingkungan pada awal penyimpanan dan kadar air bahan pembawa (Pengeringan) kemungkinan juga sangat berpengaruh terhadap viabilitas sel. Wukirsari (2006) mengatakan parameter dasar yang biasa digunakan untuk menganalisa bahan alam adalah kadar air dan abu karena kadar air sangat berkaitan dengan daya simpan bahan sebagai bahan pembawa. Rizqiati et al. (2009) melaporkan kadar air mikrokapsul probiotik yang digunakan 9,2% untuk viabilitas tertinggi pada enkapsulasi kultur Lactobacillus plantarum yang dengan susu skim + gum arab. Seveline (2005) melaporkan enkapsulasi probiotik dengan bahan dekstrin dan triasil gliserol memiliki viabilitas yang tinggi dengan kadar air sebesar 7-12%. Lian et al. (2002) melaporkan bahwa kadar air mikrokapsul Bifidobacteria dari bahan enkapsulasi gelatin, gum arab dan pati yang dibuat dengan metode spray drying berkisar antara 6-10% mampu mempertahankan viabilitas dengan baik. Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Rizqiati et al. (2008) viabilitas Lactobacillus plantarum mengalami penurunan sekitar 42% yang dienkapsulasi dengan susu skim dan gum arab selama 1 bulan penyimpanan pada suhu kamar.

Effendy (2010) melaporkan bahan pembawa pada formulasi bioinsektisida berbahan aktif jamur Metarhizium sp. terhadap toksisitas bioinsektisida dalam mematikan nimfa wereng batang cokelat, Nilaparvata lugens (Stal.) dapat mempertahankan viabilitas konidia. Bahan pembawa tepung dedak + gula 1% pada formulasi bioinsektisida dapat mempertahankan viabilitas konidia sampai


(32)

18

4.2 Viabilitas Bacillus sp. BK17 pada Berbagai Bahan Pembawa Selama Penyimpanan pada Suhu 4ºC.

Viabilitas Bacillus sp. BK17 selama 1 bulan penyimpanan pada suhu 4ºC didapatkan hasil yang bervariasi seperti terlihat pada Gambar 4.2.1

Gambar 4.2.1 Viabilitas Bacillus sp. BK17 pada berbagai bahan pembawa selama penyimpanan pada suhu 4ºC (1012cfu/g)

Viabilitas Bacillus sp. BK17 menunjukan hasil yang berbeda untuk setiap bahan pembawa yang digunakan. Pada bahan pembawa talek viabilitas sel tertinggi pada minggu ke-2 yaitu 109,5x1012cfu/g kemudian minggu ke-3 mengalami penurunan yaitu 44,5x1012cfu/g dan pada minggu ke-4 meningkat kembali 64,5x1012cfu/g. Hal ini terjadi karena pada awal penyimpanan spora Bacillus sp. BK17 membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungannya, setelah mampu untuk beradaptasi dengan baik, maka viabilitas sel akan cenderung stabil. Suciatmih et al. (2005) isolat akan mampu mempertahankan viabilitasnya jika sifat fisiologi sesuai dengan metode penyimpanan.

Pada bahan pembawa tapioka viabilitas sel cukup tinggi pada awal inkubasi (minggu ke-0) yaitu 66x1012cfu/g. Hal ini terjadi kemungkinan pada awal penyimpanan spora Bacillus sp. BK17 merupakan kumpulan spora yang masih muda, setengah matang dan matang. Adanya penurunan pada minggu ke-2

52,5 12,5 109,5 44,5 64,5 66 26 5 15,5 1,5 85

3 6,5 7 4

41

3 2,5

37,5 5,5 0 20 40 60 80 100 120

0 1 2 3 4

P o p u las i B ac il lus s p. B K 17 (10 12 c fu /g)

Lama penyimpanan (minggu ke-)

Talek Tapioka Kitosan Tepung jagung


(33)

19

15,5x1012cfu/g, hal ini dikarenakan spora yang masih muda tidak mampu bertahan dengan kondisi lingkungan yang baru sedangkan spora yang setengah matang atau matang mampu beradaptasi dengan lingkungan baru. Viabilitas sel pada minggu ke-4 yaitu 1,5x1012 mengalami penurunan yang sangat signifikan. Hal ini kemungkinan pada saat penyimpanan spora telah bergeminasi kembali menjadi sel sehingga terjadi persaingan nutrisi. Menurut Noviana & Raharjo (2009) media pembawa sangat berpengaruh terhadap viabilitasnya namun proses produksi biomassa dan awal penyimpanan juga sangat berpengaruh. Sejumlah sel dalam suatu populasi mungkin mengalami pertumbuhan maupun kematian selama proses produksi biomassa.

Pada bahan pembawa kitosan viabilitas sel menunjukkan pola yang hampir sama dengan viabilitas sel tapioka, tertinggi pada awal inkubasi (minggu ke-0) yaitu 85x1012cfu/g kemudian pada minggu ke-1 mengalami penurunan yang drastis yaitu 3x1012cfu/g kemudian viabilitas sel bertahan sampai minggu ke-4. Hal ini kemungkinan dikarenakan pada awal penyimpanan spora Bacillus sp. BK17 merupakan kumpulan spora muda, setengah matang dan matang. Penurunan viabilitas sel terjadi karena spora muda tidak mampu bertahan dan beradaptasi pada kondisi lingkungan yang baru sedangkan spora setengah matang dan matang mampu bertahan dan beradaptasi pada kondisi lingkungan yang baru. Krasaekoopt et al. (2006) mengatakan viabilitas sel terenkapsulasi lebih tinggi dan mampu bertahan terhadap lingkungan dibandingkan dengan sel bebas.

Pada bahan pembawa tepung jagung viabilitas sel pada awal inkubasi tinggi yaitu 41x1012cfu/g dan pada minggu ke-1 dan ke-2 mengalami penurunan yaitu 3x1012cfu/g dan 2,5x1012cfu/g. Hal ini dikarenakan kumpulan spora muda yang tidak mampu beradaptasi dan bertahan pada kondisi lingkungan yang baru. Pada minggu ke-3 viabilitas sel meningkat kembali yaitu 37,5x1012cfu/g dan menurun pada minggu ke-4 yaitu 5,5x1012cfu/g. Hal ini dikarenakan spora setengah matang dan matang yang mampu bertahan dan beradaptasi pada kondisi lingkungan yang baru dan kemungkinan adanya perubahan kadar air pada penyimpanan sehingga spora bergeminasi menjadi sel. Terjadi persaingan nutrisi yang menyebabkan penurunan viabilitas sel yang sangat signifikan. Kuswanto


(34)

20

(1996) mengatakan salah satu tujuan pelapisan benih (seed coating) adalah untuk mempertahankan kadar air selama penyimpanan.

Hasil (Gambar 4.2.1) menunjukkan bahan pembawa yang paling baik dan stabil dalam menjaga viabilitas Bacillus sp. BK17 pada suhu 4ºC adalah talek. Husen (2007) mengatakan jenis dan sifat dari bahan pembawa sangat berpengaruh pada tingkat viabilitas sel.

Jenis bahan pembawa, lama penyimpanan dan kondisi penyimpanan (adaptasi lingkungan) sangat berpengaruh terhadap peningkatan dan penurunan viabilitas Bacillus sp. BK17 selama penyimpanan pada berbagai bahan pembawa selama penyimpanan 1 bulan pada suhu 4ºC. Secara umum pada semua bahan pembawa viabilitas sel mengalami penurunan akan tetapi penurunan tersebut masih pada batas jumlah sel yang tinggi yaitu 1012cfu/g. Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Rizqiati et al. (2008) viabilitas Lactobacillus plantarum pada penyimpanan suhu 4ºC dalam berbagai kombinasi bahan enkapsulasi gum arab + susu skim, gum arab dan susu skim, setelah penyimpanan selama 1 bulan menunjukkan bahwa viabilitas bakteri untuk semua perlakuan bahan enkapsulasi mengalami penurunan 71%.

4.3 Viabilitas Bacillus sp. BK17 dengan Berbagai Bahan Pembawa Selama Penyimpanan 1 Bulan

Pertumbuhan dan viabilitas sel bakteri sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pada penelitian ini dilakukan penyimpanan berbagai bahan pembawa pada dua kondisi penyimpanan yaitu suhu kamar dan suhu 4ºC. Adapun pengaruh dari jenis bahan pembawa pada kedua suhu terhadap viabilitas Bacillus sp. BK17 dapat dilihat pada Gambar 4.3.1


(35)

21

Gambar 4.3.1 Pengaruh Jenis Bahan Pembawa Selama Penyimpanan 1 Bulan terhadap Viabilitas Bacillus sp. BK17 (1012cfu/g)

Pada (Gambar 4.3.1) awal penyimpanan (kontrol) pada berbagai bahan pembawa viabilitas Bacillus sp. BK17 tinggi yaitu: talek 52,5x1012cfu/g, tapioka 66x1012cfu/g, kitosan 85x1012cfu/g dan tepung jagung 41x1012cfu/g. Keempat bahan pembawa kemudian disimpan pada suhu kamar dan suhu 4ºC selama 1 bulan penyimpanan. Pada suhu kamar viabilitas sel pada keempat bahan pembawa baik, talek 43,5x1012cfu/g, tapioka 37,8x1012cfu/g, kitosan 41,2x1012cfu/g dan tepung jagung 54,8 x1012cfu/g, sedangkan pada suhu 4ºC hanya bahan pembawa talek yang memiliki viabilitas sel tinggi yaitu 56,7x1012cfu/g dan bahan pembawa yang lain viabilitas sel menurun yaitu tapioka 10,3x1012cfu/g, kitosan 4,7x1012cfu/g dan tepung jagung 10,3x1012cfu/g. Penurunan viabilitas sel dapat disebabkan oleh faktor suhu lingkungan, lama penyimpanan, perubahan kadar air, jenis dan sifat dari bahan pembawa sangat berpengaruh terhadap viabilitas Bacillus sp. BK17 selama 1 bulan penyimpanan. Waluyo (2007) mengatakan pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh nutrisi yang tersedia dan lingkungan. Noviana & Raharjo (2009) perubahan jumlah populasi pada bahan pembawa dipengaruhi beberapa faktor yaitu nutrisi, suhu, proses produksi biomassa, awal penyimpanan dan adanya senyawa toksik yang mungkin terkandung dalam bahan pembawa.

52,5

66

85

41 43,5

37,8 41,2

54,8 56,7

10,3

4,7 10,3

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Talek Tapioka Kitosan Tepung Jagung

P op u lasi Bac il lus sp . B K 17 (10 12c fu /g)

Lama penyimpanan 1 bulan

kontrol suhu kamar


(36)

22

Hasil (Gambar 4.3.1) menunjukkan viabilitas sel selama penyimpanan 1 bulan pada suhu kamar yang dinyatakan dalam bentuk persen yaitu pada bahan pembawa talek (82,85%) kemudian tepung jagung (133%), tapioka (57,27%) dan

kitosan (48,47%) sedangkan viabilitas sel selama penyimpanan pada suhu 4˚C

pada bahan pembawa talek (108%), kemudian tepung jagung (25,12%), tapioka (15,60%) dan kitosan (5,52%). Berdasarkan hasil (Gambar 4.3.1) viabilitas sel yang paling baik selama penyimpanan 1 bulan pada bahan pembawa talek, kemudian tepung jagung, tapioka dan kitosan. Sultana et al. (2000) mengatakan bakteri harus aktif dan berlimpah dalam produk dan dapat mempertahankan jumlah yang cukup jika dimasukkan dalam berbagai produk dan kondisi penyimpanan. Penelitian yang menggunakan bahan talek sebagai bahan pembawa juga dilakukan Yusuf et al. (2010) melaporkan viabilitas Beauveria bassiana dengan bahan pembawa talek lebih baik dibandingkan dengan bahan pembawa tongkol jagung dan abu sekam dalam menekan populasi trips pada bunga krisan dirumah kaca. Talek merupakan media yang memiliki partikel dengan permukaan yang luas yang mampu menghasilkan konidia dalam jumlah maksimal.

Beberapa hasil penelitian viabilitas sel yang bervariasi dalam suhu penyimpanan dan bahan pembawa yang digunakan juga dilaporkan Rizqiati et al. (2008) kultur Lactobacillus plantarum yang dienkapsulasi pada susu skim, gum arab dan susu skim+gum arab viabilitas sel bertahan dan lebih baik setelah spray drying yang disimpan selama 1 bulan pada suhu rendah dan suhu kamar dari pada dalam bentuk suspensi. Nazarro et al. (2009) viabilitas Lactobacillus acidophilus dengan enkapsulasi alginat + xanthan gum (6x1012cfu/ml) memiliki kemampuan yang lebih baik selama 8 minggu penyimpanan pada suhu 4ºC dibandingkan sel bebas (2x108 cfu/ml). Sukamto & Yuliantoro (2006) melaporkan adanya pengaruh interaksi antara jenis bahan pembawa dan dosis pembawa terhadap viabilitas Beauveria bassiana pada penyimpanan 2 minggu persentase perkecambahan lebih tinggi perlakuan bubuk kering spora B. bassiana yang telah ditambah bahan pembawa tepung dibandingkan bubuk kering spora B. bassiana tanpa perlakuan.


(37)

23

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan yaitu:

1. Viabilitas Bacillus sp. BK17 pada bahan pembawa talek, tepung jagung tapioka dan kitosan tergolong baik selama penyimpanan satu bulan.

2. Viabilitas Bacillus sp. BK17 paling baik pada bahan pembawa talek yaitu pada suhu kamar 82,85% dan suhu 4˚C 108%.

5.2 Saran

Diharapkan hasil penelitian yang didapat memberikan informasi awal dilakukannya penelitian lebih lanjut terhadap bahan pembawa terbaik sebagai formulasi Bacillus sp. BK17 dan pengamatan yang lebih bervariasi pada pengujian secara in vivo maupun in vitro terhadap isolat uji dalam menghambat patogen.


(38)

24

DAFTAR PUSTAKA

Annisa, R. 2014. Pengaruh pH dan Perubahan Temperatur Terhadap Pembentukan Spora Bacillus sp. BK17. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Agrios GN. 1997. Plant Pathology. 4th edition. San Diego: Academic Press Inc. Backman PA, Brannnen PM &Mahaffe WF. 1994. Plant Respon and Disease

Control Following Seed Inoculation with Bacillus sp. Di dalam: Ryder MH, Stephen PM, Bowen GD, editor. Improving Plant Production with Rhizosphere Bacteria. Australia: Pruc Third Int Work PGPR South Australia.

Baker KF & Cook RJ. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. San Fransisco: Freeman and Company.

Capela PTK, Hay C & Shah NP. 2006. Effect of Cryoprotectant, Prebiotics and Microencapsulation on Survival of Probiotic Organism in Yogurt and Freeze-dried Yoghurt. Food Research International. 39:203-211.

Compant S, Duffy B, Nowak J, Clement C & Barka EA. 2005. Mini review: Use Of Plant Growth – Promoting Rhizobacteria for Biocontrol Of Plant Diseases: Principles, Mechanism Of Action and Future Prospect. Appl Environ Microbiol. 71:4951-4959.

Desmon C, Stanto, Collins GFK & Ross RP. 2002. Improved Survival of Lactobacillus paracesei NFBC 338 in Spray Dried Powders Containing Gum Acacia. J Appl Microbiol. 93:1003-1012.

Dixon JB. 1989. Kaolinit and Serpentine Group Mineral. Di dalam: Dixon JB, Weed SB, editor: Minerals in Soil Environments. Ed ke-2.

USA:Wisconsin. 357-398.

Djali M, & Riswanto I. 2001. Pengaruh Penggunaan Berbagai Media (Absorben) Terhadap Kualitas Ubi Kayu (Manihot usculenta) Selama penyimpanan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Tepat Guna Untuk Menumbuhkan Industri Kecil & Menengah. Bandung. P: R11-1-R11-21.

Effendy TA. 2010. Uji Toksisitas Bioinsektisida Jamur Metarhizium sp. Berbahan Pembawa Bentuk Tepung untuk Mengendalikan Nilaparvata lugens (Stal) (Homoptera: Delphacidae). Skripsi. Universitas Sriwijaya. Palembang.


(39)

25

Fachmiasari A & Sembiring T. 2004. Kombinasi Ekstrak Kedelai dengan Tepung Jagung dan Tapioka Sebagai media Produksi Kristal Spora Bacillus Thuringiensis. Jurnal Tekonologi Indonesia LIPI Press 27:33-49.

Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Fuad AM, Rahmawati R & Mubarik NR. 2004. Produksi dan Karekterisasi Parsial Protease Alkali Termostabil Bacillus thermoglucosidasius AF-01. Jurnal Mikrobiologi Indonesia. 9:29-35.

Gaman PM & Sherrington KB. 1981. Ilmu Pangan. Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi.Yogyakarta: Gadjah mada University Press. Haetami K, Abun & Mulyani Y. 2008. The Study Probiotik Bacillus licheniformis

As Feed Suplement And Its Implicated On Reed Nile. Pustaka Ilmiah Unpad. Universitas Padjajaran. Bandung.

Husen E. 2007. Kajian Sistem Kendali Mutu Pupuk Hayati Pra-Komersialisasi. Peneliti Badan Litbang Pertanian. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Indarwan A. 2011. Penghambatan Layu Fussarium Pada Benih Cabai Merah (Capsicum annuum L.) yang Dienkapsulasi Alginat-Kitosan dan Tapioka dengan Bakteri Kitinolitik. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Irianto. 2006. Mikrobiologi Menguak Dunia mikrobiologi. Bandung: CV

YRAMA WIDYA.

Irawati N. 2013. Kemampuan Bakteri Kitinolitik Terenkapsulasi dalam Menghambat Serangan Sclerotium rolfsii pada Benih Cabai. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara.

JonesKA & Burges HD. 1998. Technology of Formulation and Application. 7- 27 P. Di dalam: Beneficial Microorganisms, Nematodes and Seed Treatments. Dodnecht: Klower Academic Publisher.

Krasaekoopt W, Bhandari B & Hilton CD. 2006. Survival of Probiotic Encapsulated in Chitosan-coated Alginate beads in Yoghurt from UHT- and conventionally treated milk during stroge. International Dairy Journal. 13:3-13.

Kusnadi, Sutarya R & Munandar A. 2009. Pengaruh Biofungisida Bacillus subtilis dan Mulsa Terhadap Efek Serangan Penyakit Antraknosa pada Cabai merah (Capsicum annuum L). Jurnal Biosainstifika.1:124-138.

Kuswanto H. 1996. Dasar-dasar Teknologi Produksi dan Sertifikasi Benih.Edisi ke-1. Yogyakarta. ANDI.


(40)

26

Lay BW. 1994. Analisis mikroba di Laboratorium. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Lian WC, Hsio HC & Chou CC. 2002. Survival Bifidobacterium longum After Spray Drying. International Journal Food Microbiol. 74:79-86.

Madigan MT, Martinko JK & Parker JW. 2001. Brock Biology of Microorganisme. New Jersey: Prentince Hall Inc.

Malau J. 2012. Kemampuan Bakteri Kitinolitik dalam Menghambat Infeksi Aspergillus sp. pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Skripsi. Medan: Sumatera Utara.

Master K. 1997. Spray Drier. In: Baker CGJ. Industrial Drying for Foods. 1st Ed. London: Academic and Profesional.

Mudjisihono R & Munarsono SJ. 1993. Pengaruh Penambahan Tepung Kacang Hijau Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tepung Jagung. Buletin Pertanian. 12:8-14.

Naufalin R. 1999. Isolasi, Identifikasi dan Ketahanan Panas Bakteri Pembentuk Spora Aerob pada Bumbu Masakan Tradisional.Tesis. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Nazzaro F, Fratianni F, Coppola R, Sada A & Orlando P. 2009. Fermentatif Ability of Alginate-prebiotic Encapsulated Lactobacillus acidophilus and Survival under Simulated Gastrintestinal Condition. Journal of Fungsional Food. 1:319-323.

Noviana L & Raharjo B. 2009. Viabilitas Rhizobakteria Bacillus sp. DUCC-BR- K1.3 pada Media Pembawa Tanah Gambut Disubtitusi dengan Padatan Limbah Cair Industri Rokok. BIOMA. 11:30-39.

Pasifico CJ, Wie WU & Fraley M. 2008. Sensitive Substance Encapsulation. Tagra Biotechnologies Ltd. US Patent.

Pelczar MJ & Chan ECS. 2005.Dasar-Dasar Mikrobiologi2. Jakarta: Universitas Indonesia.

Priatno T. 1999. Mempelajari Penggunaan Air Kelapa Sebagai Media Utama dalam Produksi Bahan Aktif Bioinsektisida dari Bacillus thuringinensis subp. Isralaensis. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Rachmi. 2014. Pengaruh Sumber Karbon dan Nitrogen Terhadap Pertumbuhan dan Pembentukan spora Bacillus sp. BK17. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.


(41)

27

Ray B. 2004. Fundamental Food Microbiology. Third Edition. New York: CRC Press.

Rizqiati H, Jenie BSL, Nurhidayat N & Nurwitri C. 2008. Ketahanan dan Viabilitas Lactobacillus plantarum yang Dienkapsulasi dengan Susu Skim dan Gum Arab Setelah Pengeringan dan Penyimpanan. Journal Animal Production. 10:179-186.

. 2009. Karakteristik Mikrokapsul Probiotik Lactobacillus plantarum yang Dienkapsulasi dengan Susu Skim dan Gum arab. Journal Indonesia Trop. Animal Agriculture. 34:139-144 Salamah U. 2002. Kajian Produksi Bioinsektisida Bacillus Thuringiensis subsp.

israelensis dari pada Media Tapioka. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Seveline. 2005. Pengembangan Produk Probiotik dari Isolat Klinis Bakteri Asam Laktat dengan Menggunakan Teknik Pengeringan Semprot dan Pengeringan beku. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sjamsuriputra AA, Sastramihardja I & Sastramihardja US. 1984. Pengaruh Beberapa Faktor Lingkungan dalam Optimasi Produksi Insektisida Bakteri dari Bacillus thuringinensis var. Aizawa IH-A. Laporan Penelitian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Suciatmih, Ilyas M, Kanti A, Fadmaulidha N & Nditasari A. 2005. Uji Viabilitas Mikroba Koleksi LIPI MC Penyimpanan 1 Tahun dengan Metoda L-Drying. Pusat penelitian Biologi. LIPI. Bogor.

Sulistiani. 2009. Formulasi Spora Bacillus subtilis Sebagai Agens Hayati dan PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) pada Berbagai Bahan Pembawa. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sultana KG, Godward N, Reynolds R, Arumugaswamy P, Peiris & Kailasapathy K. 2000. Encapsulation of Probiotic Bacteria with Alginate-starch and Evaluation of Survival in Simulated Gastro Intestinal Condition and In Yogurt. International Journal of Food Microbiology. 62:47-55.

Sukamto S & Yuliantoro K. 2006. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Viabilitas Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. dalam Beberapa Bahan Pembawa. Pelita Perkebunan. 22:40-57

Timmy SA, Victor SP, Sharma CP & Kumari V. 2002. Betacyclodextri Complexed Insulin Loaded Alginate Microsphere Oral Delivery System. Trend Biometer Artif Organs.15:48-53.

Triana E, Yulianto E & Nurhidayat. 2006. Uji Viabilitas Lactobacillus sp. Mar 8 Terenkapsulasi. Biodiversitas. 7:114-117.


(42)

28

Vladamir B, Emma K & Yury S. 2002. Method of Microencapsulation. Tagra Biotechnologies Ltd. US Patent.

Waluyo L. 2007. Mikrobiologi Umum. Edisi Revisi. Malang: Universitas Muahmmadiyah Malang.

Widyasti E. 2003. Isolasi Bacillus spp. Penghasil α-Amilase Ekstraseluler dan Penentuan Suhu Serta pH Optimum Pertumbuhan. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Widyawati A. 2008. Bacillus sp. Asal Rhizosper Kedelai yang Berpotensi Sebagai Pemicu Pertumbuhan Tanaman dan Biokontrol Fungi Patogen Akar. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Wijayanti G. 2010. Viabilitas Azospirillum brasilense pada Enkapsulasi Menggunakan Campuran Natrium Alginat dan Tepung Tapioka. Skripsi. Semarang: Universitas Dipenogoro.

Winarno FG. 1984. Enzim Pangan. Jakarta. Penerbit Gramedia.

Wong PTW. 1994. Bio-control of Wheat Take-All in the Field Using Soil Bacteria and Fungi. Di dalam: Ryder MH, Stephens PM, Bowen GP, editor. Improving Plant Productivity with Rhizosphere Bacteria. Australia: Pruc Third Int Work PGPR South Australia.

Wukirsari T. 2006. Enkapsulasi Ibuprofen dengan Penyalut Alginat-Kitosan. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Young SLX. Sarda & Rosenberg M. 1995. Microencapsulating Properties of Whey Proteins with Carbohydrate. Journal of Dairy Science.76:2878-2885.

Yusuf S, Nuryani EW & Djatnika I. 2010. Pengaruh Bahan Pembawa Terhadap Efektivitas Beauveria bassiana dalam Mengendalikan Thrips parvispinus karny pada Tanaman Krisan di Rumah Plastik. Balai Peneliti Tanaman


(43)

29

LAMPIRAN

Lampiran 1. Komposisi Media MGMK Padat dan Cara Pembuatannya Bahan:

 K2HPO4 0,7 g

 KH2HPO4 0,3 g

 MgSO4.7H2O 0,5 g

 FeSO4.7H2O 0,01 g

 ZnSO4 0,001 g

 MnCl2 0,001 g

 Koloidal kitin 12,5% (b/v) 72,7 ml

 Agar 20 g

 pH 6,8

Cara pembuatan:

Semua bahan dicampur dan ditambahkan akuades sampai volumenya menjadi satu liter. Diatur pH sampai 6,8 dengan penambahan NaOH 0,1 N. Setelah dicapai pH yang diinginkan, medium disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121º C dengan tekanan 2 bar selama 15 menit.


(44)

30

Lampiran 2. Komposisi Media Cair Molase Tripton dan Cara Pembuatannya

Bahan:

 Molase 12 g

 Tripton 1,8 g

 Mineral (Larutan garam) 10 ml

 Akuades 600ml

Cara pembuatan:

Semua bahan dicampur kemudian ditambakan akuades setelah itu media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121ºC dengan tekanan 2 bar selama 15 menit.


(45)

31

Lampiran 3. Perbanyakan dan Pembuatan Suspensi Bacillus sp.BK17

Dikultur dalam media MGMK selama 2 hari pada suhu 37ºC

Diambil hasil subkultur menggunakan jarum ose

Dimasukkan subkultur kedalam tabung yang berisi 10 ml akuades steril

Dihomogenkan

Disamakan kekeruhannya dengan larutan standart Mac Farland 108 cfu/ml

.

Biakan Bakteri


(46)

32

Lampiran 4. Pertumbuhan dan Sporulasi Bacillus sp. BK17

Ditumbuhkan subkultur dalam media cair molase + tripton dengan suhu 28ºC kemudian dishaker dengan kecepatan 100 rpm selama 3 hari (Belum dipublikasi: Rachmi, 2014) Dilakukan sporulasi dengan shock temperature yaitu 70ºC selama 60 menit (Belum dipublikasi Annisa, 2014)

Diukur kepadatan sel dan spora dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm dan 660 nm

Hasil Biakan Bakteri


(47)

33

Lampiran 5. Pemanenan Spora Bacillus sp. BK17

Disentrifugasi pada 3000 rpm selama 20 menit

Dicuci endapan biomassa sebanyak tiga kali secara serial dengan larutan Phosphate Buffer Saline (PBS)

Disentrifugasi 3000 rpm selama 20 menit, lalu supernatan dibuang

Dicuci kembali endapan biomassa dengan PBS sebanyak 3 kali Diresuspensikan kembali dengan kekeruhannya yang sama dengan standart Mac Farland108 cfu/ml

Dimasukkan kedalam bahan pembawa Inokulum bakteri

penghasil spora


(48)

34

Lampiran 6. Pencampuran Spora Bacillus sp. BK17 pada Berbagai Bahan Pembawa

Disebarkan secara merata dengan perbandingan 10 ml suspensi spora (standart Mac Farland 108 cfu/ml) untuk setiap 50 g bahan pembawa: talek, tapioka, kitosan dan tepung jagung

Ditambahkan unsur mikro seperti Fe, Mg, Mn, Zn pada konsentrasi 5 ppm, kitin 0,5% dan yeast ekstrak 1%

Dikeringanginkan dengan menyebarkan bahan pembawa di dalam loyang yang dilapisi alumunium foil. Proses ini dilakukan secara aseptisdi dalam laminar air flow dengan suhu 28ºC.

Dibolak-balik dengan menggunakan spatula untuk memastikan bahwa keseluruhannya tercampur secara baik Dilakukan pengeringan didalam oven dengan menggunakan suhu 600C selama ± 21 jam, sehingga kadar air campuran suspensi spora dan bahan pembawa mencapai ± 12%

Disimpan bahan pembawa di dalam botol film yang dilapisi lakban hitam. Pada suhu ruang ditambahkan silica gel dalam kemasan yang telah dilapisi kertas saring agar terjaga kelembamannya.

Suspensi spora


(49)

35

Lampiran 7. Asai Viabilitas Bacillus sp. BK17 Pada Berbagai Bahan Pembawa

Disimpan campuran suspensi bakteri + bahan pembawa selama 1 bulan pada suhu kamar dan 40C

Ditumbuhkan dan diihitung jumlah koloni dengan menggunakan metode TPC (Total Plate Count) pada media PCA (Plate Count Agar) setiap minggu ke-0,1,2,3 dan 4 dengan masa inkubasi 36-48 jam.

Suspensi bakteri + Bahan Pembawa


(50)

36

Lampiran 8. Pewarnaan dan Pengamatan SporaBacillus sp. BK17

Dioleskan pada kaca obyek yang telah dibersihkan dengan alkohol 70%, diberi 1-2 tetes akuades, disebarkan secara merata membentuk bujur sangkar

Ditutup dengan kertas saring.Teteskan 1-2 tetes malachite green selama 1 menit.

Diletakkan preparat sediaan diatas water bath selama 5 menit Diangkat pelan-pelan kertas saring, kemudian preparat sediaan dibilas dengan akuades dan dikeringkan.

Diberi safranin selama 30 detik- 60 detik. Dibilas preparat sediaan dengan akuades, lalu dikeringkan

Pengamatan dan pengambilan gambar bakteri dilakukan dengan menggunakan mikroskop perbesaran 1000x

Inokulum bakteri


(51)

37

Lampiran 9. Gambar Dokumentasi Penelitian

Gambar 9.1 Endapan biomassa Gambar 9.2 Moisture Balance

Bacillus sp. BK17

Gambar 9.3 Beberapa jenis bahan pembawa

Gambar 9.4 Tempat penyimpanan bahan pembawa

Talek Tapioka Kitosan T. Jagung


(1)

Lampiran 4. Pertumbuhan dan Sporulasi Bacillus sp. BK17

Ditumbuhkan subkultur dalam media cair molase + tripton dengan suhu 28ºC kemudian dishaker dengan kecepatan 100 rpm selama 3 hari (Belum dipublikasi: Rachmi, 2014) Dilakukan sporulasi dengan shock temperature yaitu 70ºC selama 60 menit (Belum dipublikasi Annisa, 2014)

Diukur kepadatan sel dan spora dengan spektrofotometer

dengan panjang gelombang 600 nm dan 660 nm

Hasil Biakan Bakteri


(2)

Disentrifugasi pada 3000 rpm selama 20 menit

Dicuci endapan biomassa sebanyak tiga kali secara serial dengan larutan Phosphate Buffer Saline (PBS)

Disentrifugasi 3000 rpm selama 20 menit, lalu supernatan dibuang

Dicuci kembali endapan biomassa dengan PBS sebanyak 3 kali Diresuspensikan kembali dengan kekeruhannya yang sama dengan standart Mac Farland108 cfu/ml

Dimasukkan kedalam bahan pembawa Inokulum bakteri

penghasil spora


(3)

Lampiran 6. Pencampuran Spora Bacillus sp. BK17 pada Berbagai Bahan Pembawa

Disebarkan secara merata dengan perbandingan 10 ml suspensi spora (standart Mac Farland 108 cfu/ml) untuk setiap 50 g bahan pembawa: talek, tapioka, kitosan dan tepung jagung

Ditambahkan unsur mikro seperti Fe, Mg, Mn, Zn pada konsentrasi 5 ppm, kitin 0,5% dan yeast ekstrak 1%

Dikeringanginkan dengan menyebarkan bahan pembawa di dalam loyang yang dilapisi alumunium foil. Proses ini dilakukan secara aseptisdi dalam laminar air flow dengan suhu 28ºC.

Dibolak-balik dengan menggunakan spatula untuk memastikan bahwa keseluruhannya tercampur secara baik Dilakukan pengeringan didalam oven dengan menggunakan suhu 600C selama ± 21 jam, sehingga kadar air campuran suspensi spora dan bahan pembawa mencapai ± 12%

Disimpan bahan pembawa di dalam botol film yang dilapisi lakban hitam. Pada suhu ruang ditambahkan silica gel

dalam kemasan yang telah dilapisi kertas saring agar terjaga kelembamannya.

Suspensi spora


(4)

Lampiran 7. Asai Viabilitas Bacillus sp. BK17 Pada Berbagai Bahan Pembawa

Disimpan campuran suspensi bakteri + bahan pembawa selama 1 bulan pada suhu kamar dan 40C

Ditumbuhkan dan diihitung jumlah koloni dengan menggunakan metode TPC (Total Plate Count) pada media PCA (Plate Count Agar) setiap minggu ke-0,1,2,3 dan 4 dengan masa inkubasi 36-48 jam.

Suspensi bakteri + Bahan Pembawa


(5)

Lampiran 8. Pewarnaan dan Pengamatan SporaBacillus sp. BK17

Dioleskan pada kaca obyek yang telah dibersihkan dengan alkohol 70%, diberi 1-2 tetes akuades, disebarkan secara merata membentuk bujur sangkar

Ditutup dengan kertas saring.Teteskan 1-2 tetes malachite green

selama 1 menit.

Diletakkan preparat sediaan diatas water bath selama 5 menit Diangkat pelan-pelan kertas saring, kemudian preparat sediaan dibilas dengan akuades dan dikeringkan.

Diberi safranin selama 30 detik- 60 detik. Dibilas preparat sediaan dengan akuades, lalu dikeringkan

Pengamatan dan pengambilan gambar bakteri dilakukan dengan menggunakan mikroskop perbesaran 1000x

Inokulum bakteri


(6)

Lampiran 9. Gambar Dokumentasi Penelitian

Gambar 9.1 Endapan biomassa Gambar 9.2 Moisture Balance

Bacillus sp. BK17

Gambar 9.3 Beberapa jenis bahan pembawa

Gambar 9.4 Tempat penyimpanan bahan pembawa

Talek Tapioka Kitosan T. Jagung