SPL, Klorofil-a, Angin dan Gelombang

11 lintas kepulauan Indonesia diketahui bahwa, termoklin di Samudera Hindia dengan suhu dingin dan salinitas rendah bergerak memotong arus lintas kepulauan Indonesia dekat 12 o LS. Perairan laut Indonesia mengalami penurunan disebabkan oleh pergerakan arus lintas kepulauan Indonseia ALKI dan diganti oleh air laut dari termoklin Pasifik Utara melintasi lapisan bawah termoklin dan masuk pada lapisan lebih dalam, kemudian langsung diganti oleh air dari Pasifik Selatan. Air masuk yang menggantikan nampak sebagai campuran utama pada perairan laut Indonesia. Jika tidak ada arus lintas Indonesia dan air tidak menjadi dingin, dan zona perairan dengan salinitas rendah memotong Samudera Hindia tropis maka dapat dibuat satu asumsi bahwa air yang hangat akan terdapat di perairan tropis dengan salinitas tinggi dan Samudera Hindia bagian utara. Tangdom 2005 menyatakan bahwa, monsun Asia mempunyai pengaruh dominan pada variasi SPL. Pada bulan Agustus, ketika angin monsun tenggara bertiup dominan, area yang luas sebelah selatan lebih dingin 5 o C, dengan suhu minimum pada daerah upwelling sebelah selatan Pulau Jawa dan di atas paparan Arafura. Air yang dingin digerakkan ke Laut Jawa bagian timur. Di Selat Makassar, ketika parameter koreolis berakhir dan hilang maka air permukaan mengalir ke arah utara searah dengan pergerakan angin. Dampak dari aliran air permukaan diperkecil oleh perluasan aliran air bagian permukaan dari Samudera Pasifik, dan sebagai hasilnya maka SPL di Selat Makassar selama musim bersangkutan lebih tinggi dari 29 o C. Angin monsun sebaliknya menggerakkan massa air yang relatif dingin dan salinitas rendah dari Laut China Selatan ke lapisan permukaan Laut Jawa bagian selatan. SPL terendah dari perairan laut Indonesia terdapat di Laut Jawa bagian barat, yaitu ketika terjadi perluasan radiasi panas permukaan sehingga SPL lebih tinggi dari 29 o C. Juga dinyatakan bahwa, mekanisme yang menyebabkan dan memelihara SPL pada kondisi yang tetap di lautan Indonesia terjadi sebagai akibat dari topografi yang komplek dan pertemuan antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Sebagai tambahan terhadap radiasi panas permukaan, percampuran pasang yang intensif dari permukaan laut dan termoklin yang digerakkan oleh angin di atas Samudera Pasifik dan Samudera Hindia memainkan peran dalam pergerakan dan pemeliharaan SPL. Konsekuensinya, dinamika regional lautan 12 dan SPL menjadi faktor penting dalam iklim regional, yang berdampak penting terhadap iklim global. Wilayah Indonesia, yang juga dikenal dengan “Maritime Continent ” telah diidentifikasi sebagai area yang sangat penting bagi iklim, baik secara lokal maupun global. Penangkapan ikan dengan alat tangkap purse seine di perairan tropis Asia dicirikan pada penggunaan rumpon untuk mengumpulkan ikan pelagis kecil. Sejak tahun 1971, fishing ground diperluas ke bagian timur Laut Jawa dengan mengembangkan taktik dan strategi penangkapan yang selalu bergeser berkaitan dengan perubahan lingkungan. Analisis hasil tangkapan ikan layang dalam kaitannya dengan fishing ground di sekitar Bawean, Masalembo Matasiri, dan kepulauan Kangean menunjukkan bahwa, keberhasilan penangkapan ikan terjadi selama periode salinitas tinggi 34 00 . Hasil tangkapan ikan tertinggi selama periode tersebut didaratkan dari fishing ground di kepulauan Masalembo. Fenomena ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang dapat diterangkan dengan jelas bahwa pergeseran massa air dari arah timur ke barat menyebabkan meningkatnya produktivitas ikan pelagis kecil di area tersebut. Hasil tangkapan rata-rata sekitar kepulauan Masalembo dengan jelas menunjukkan siklus musiman yang berkaitan erat dengan perubahan angin monsun. Hasil tangkapan tonhari penangkapan cenderung tinggi pada bulan Agustus hingga November, pada kondisi perairan dengan salinitas tinggi dan suhu lebih rendah, sebaliknya menurun pada bulan Desember hingga Juli dengan suhu tinggi dan salintas rendah. Kondisi yang khusus terjadi pada bulan Januari – April dengan hasil tangkapan sekitar 1,5 sampai 2,5 tonhari. Perairan di bagian timur Laut Jawa merupakan daerah peralihan yang dipengaruhi oleh kondisi oseanografi Selat Makassar dan Laut Flores dengan kondisi yang bervariasi berkaitan dengan perubahan musiman. Hasil penelitian pada stasiun dekat pulau Matasiri dalam periode 1992 – 1994 menunjukkan bahwa SPL maksimum mencapai 30 o C selama angin dari barat laut atau musim basah pada bulan Desember 1993, kemudian menurun hingga 26 o C pada Februari 1994. Suhu minimum dengan nilai 28 o C terjadi selama akhir musim angin tenggara atau musim kering pada bulan September 1993. 13 Perairan di bagian timur Laut Jawa merupakan daerah peralihan yang dipengaruhi oleh karakteristik perairan Selat Makassar dan perairan Laut Flores dengan kondisi yang bervariasi berkaitan dengan perubahan musim. Hasil penelitian dalam periode 1992 – 1994 menunjukkan bahwa, SPL maksimum mencapai 30 o C selama angin dari arah barat laut atau musim barat pada bulan Desember 1993 pada stasiun dekat pulau Matasiri, kemudian menurun hingga 26 o C pada Februari 1994. Suhu minimum pada 28 o C terjadi selama akhir musim angin tenggara pada bulan September 1993. Salinitas permukaan laut mengikuti bentuk yang berlawanan dengan nilai maksimum 34,5 ooo terjadi pada bulan September 1992 sampai Oktober 1993, kemudian turun menjadi 31 – 32 ooo pada bulan Februari 1994. Salinitas teringgi 34 ooo ditemukan pada fishing ground utama dari Bawean, Masalembo dan kepulauan Matasiri. Pengukuran secara khusus di perairaan sekitar kepulauan Masalembo menunjukkan bahwa SPL cenderung tinggi 29 C selama periode Mei, November dan Desember 1992, juga pada bulan Juni, November dan Desember 1993. Kondisi lingkungan Laut Jawa; sangat dipengaruhi oleh perubahan permukaan laut dan interaksi atmosfir pada saat arus permukaan timur – barat mengikuti arah angin mengakibatkan terjadinya percampuran mulai sepanjang permukaan ke perairan yang lebih dalam melalui pengadukan secara vertikal. Proses pengadukan terus berlangsung sampai perairan laut mencapai kondisi homogen dengan salinitas tinggi 34 00 yang terjadi selama musin angin tenggara pada bulan Juli – Oktober. Proses sebaliknya terjadi dari barat laut selama monsun barat laut pada bulan November sampai Februari dengan salinitas rendah 32 00 berkaitan dengan masuknya air tawar dari beberapa sungai besar selama musim hujan. Salinitas terendah pada permukaan laut terjadi pada bulan Mei 1992 32 – 32,5 00 dan tertinggi tejadi pada bulan Oktober 1993 33 – 34,5 00 . Sediadi 2004 menyatakan bahwa, pada waktu musim timur terjadi proses upwelling di perairan Laut Banda. Untuk mengetahui effek upwelling terhadap kelimpahan dan distribusi fitoplankton di perairan Laut Banda, dilakukan penelitian pada bulan Agustus 1997 yang mewakili musim timur dan bulan Oktober 1998 yang mewakili musim peralihan sebagai pembanding. Data kelimpahan dan distribusi fitoplankton dengan mengambil contoh fitoplankton 14 dari kedalaman 100 m ke permukaan menggunakan jaring plankton dengan bukaan mulut berdiamter 31 cm, panjang 120 cm dan ukuran mata jaring 80 µm. Hasil pengamatan pada musim timur Agustus 1997 menunjukkan bahwa proses taikan air upwelling masih berlangsung. Hal ini terlihat dari nilai regresi antara suhu dan salinitas r 2 = 84,1 , suhu dan nitrat 94,5. Pada saat musim timur tercatat 33 jenis fitoplankton, komposisi jenis fitoplankton lebih bervariasi dibandingkan musim peralihan yang hanya 26 jenis fitoplankton. Berdasarkan hasil penelitian klorofil-a di Selat Bali dengan menggunakan data satelit SeaWiFS yang dilakukan oleh Gaol et al 2004 bahwa terjadi peningkatan kandungan klorofil-a secara musiman. Konsentrasi klorofil-a mengalami peningkatan pada bulan Mei dan mencapai kondisi tertinggi pada bulan September, dan berkorelasi erat dengan fluktuasi SPL. Distribusi suhu permukaan Selat Bali menunjukkan bahwa proses upwelling terjadi selama monsun tenggara. Rata-rata kelimpahan fitoplankton selama monsun tenggara adalah 35,5 x 10 3 celm 3 , sedangkan pada monsun timur laut adalah 35,5 x 10 3 celm 3 . Sementara proses upwelling di perairan Laut Jawa bagian selatan mencapai puncaknya pada saat monsun tenggara. Penelitian SPL dan klorofil-a menggunakan data SeaWiFS di perairan sekitar Nias yang dilakukan oleh Lumban Gaol et al 2007 menunjukkan bahwa, variasi SPL hasil estimasi dari sensor satelit NOAA-AVHRR dipengaruhi oleh perubahan musim dan iklim global. Pada musim timur SPL cenderung lebih rendah. Variasi SPL antara musim timur dan musim barat tidak terlalu tinggi dengan rata-rata 1,5 o C, namun variasi SPL akibat pengaruh iklim global cukup tinggi, rata-rata 4 o C. Fluktuasi konsentrasi klorofil-a hasil deteksi menggunakan sensor satelit SeaWiFS menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a juga dipengaruhi oleh perubahan musim dan iklim global. Sugimory 2006 menyatakan bahwa, lama kegiatan penangkapan ikan bervariasi mulai dari beberapa hari sampai orde satu musim, dengan liputan mulai dari cakupan beberapa 1 km sampai 100 km, dengan memperhatikan masa sirkulasi musim ikan. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan dengan memperhatikan kondisi nutrien di perairan laut, masa bertelur, pengasuhan dan masa mencari makan. Deteksi ikan dengan teknologi satelit dilakukan dengan cara 15 tidak langsung karena keterbatasan skala peta yang diperoleh dari citra satelit dan ikan berada di bawah permukaan air laut, namun dilakukan dengan mendeteksi distribusi produktivitas primer klorofil-a dengan menggunakan sensor visible. Sulistya 2007 menyatakan bahwa, pemahaman tentang karakteristik dan keanekaragaman SPL Laut Jawa belum memadai. Metode analisis spektral, spasial dan temporal perlu digunakan untuk mempelajari karakteristik SPL dalam kaitannya dengan musim. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, SPL tertinggi di Laut Jawa pada umumnya terjadi pada bulan April – Mei dan bulan November, sebaliknya SPL terendah umumnya terjadi pada bulan Februari dan Agustus. Kostianoy 2004, melakukan penelitian thermal fornt menggunakan SST rata-rata mingguan yang dihasilkan dari NOAA-AVHRR dengan resolusi 18 km. Untuk mendapatkan data dengan resolusi spasial maksimum, analisis tidak didasarkan pada data rata-rata bulanan, tetapi menggunakan rata-rata data mingguan pada pertengahan tiap bulan dalam 3 tahun. Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 36 peta SPL 36 mingguan tiap pertengahan bulan. Untuk mendapatkan gambar dari thermal front utama di bagian selatan dari Samudera Hindia, peta SPL dikonversi menjadi peta gradien SPL. Gradien SPL dihitung untuk tiap piksel berdasarkan operator gradien dua dimensi yang menghitung perbedaan antara dua piksel yang berdekatan. Dengan menggunakan 36 peta gradien SPL mingguan untuk tiap pertengahan bulan, diperoleh indikasi secara umum tentang struktur, perluasan, keragaman, dan intensitas dari thermal front di bagian selatan Samudera Hindia. Pengukuran arah dan kecepatan angin pada umumnya dilakukan di daratan dengan sistem pengukuran yang bersifat statis. Secara teknis sangat sulit untuk melakukan pengukuran arah dan kecepatan angin di suatu wilayah perairan, karena pengukuran secara langsung di perairan laut hanya mungkin dilakukan dengan peralatan yang ada di kapal-kapal berukuran besar, dan tidak tetap di suatu tempat tergantung pada tujuan pelayaran itu sendiri. Dengan memperhatikan keadaan tersebut maka arah dan kecepatan angin di perairan laut hanya dapat diperoleh dari pemodelan berdasarkan hasil pengukuran angin di daratan. Triatmojo 1996 menyatakan bahwa hubungan antara angin di daratan dan di lautan dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut : 16 U w = R 1 U l ............................................................................................1. dengan : R 1 = Faktor regangan yang nilainya sangat tergantung pada bentuk lahan di wilayah pesisir serta jarak antara lokasi pengukuran dengan lokasi pengamatan di perairan laut; U w = kecepatan angin di laut terdekat dengan lokasi pengukuran; U l = kecepatan angin di daratan yang terdekat dengan lokasi perairan yang diamati. Angin di laut kemudian dikonversi menjadi tegangan angin dan dinyatakan dengan rumus sebagai berikut : U A = 0,71 U 1,23 ...................................................................................2. dengan U A = faktor tegangan angin, dan U = kecepatan angin dengan satuan meterdetik. Pembentukan gelombang oleh angin, fetch dibatasi oleh bentuk gelombang yang mengelilingi laut. Di daerah pembentukannya, gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam arah yang sama dengan arah angin tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah angin. Angin sebagai pembangkit gelombang di perairan laut juga sangat dipengaruhi oleh bentuk daratan yang mengelilingi lautan yang pada umumnya dinyatakan dengan fetch. Hubungan antara arah angin dengan fetch dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut : ∑ Xi coc α F eff = ..............................................................................3. ∑ coc α dengan : F eff = fetch rerata efektif; X i = panjang segmen diukur dari titik observasi gelombang ke ujung akhir fetch; dan α deviasi pada kedua sisi arah angin dengan menggunakan pertambahan 6 o sampai sudut 45 o pada kedua sisi dari arah angin. Nontji 2002 menyatakan bahwa, air laut sebenarnya tidak pernah dalam keadaan tenang sempurna, akan selalu terjadi gelombang bahkan gelombang besar atau hanya sekedar riak kecil. untuk menjelaskan proses terjadinya gelombang di lautan pada umumnya digunakan model, baik model yang sederhana maupun yang kompleks. Gelombang mempunyai tiga unsur penting yaitu panjang, tinggi dan periode. Panjang gelombang adalah jarak mendatar antara dua puncak gelombang yang berurutan, tinggi gelombang adalah jarak menegak antara puncak dan lembah, sedangkan periode gelombang adalah waktu yang diperlukan oleh dua puncak gelombang yang berurutan untuk melalui suatu titik. Ukuran besar 17 kecilnya suatu gelombang pada umumnya ditentukan berdasarkan tinggi gelombang. Gelombang yang diamati di laut disebabkan oleh hembusan angin. Ada tiga fakor yang menentukan besarnya gelombang yang disebabkan oleh angin yakni kuatnya hembusan, lamanya hembusan, dan jarak tempuh angin fetch.

2.2 Karakteristik Beberapa Jenis Ikan Pelagis

Pengetahuan mengenai penyebaran dan bioekologi berbagai jenis ikan sangat penting artinya bagi usaha penangkapan. Data dan informasi tentang penyebaran dan bioekologi ikan pelagis sangat diperlukan dalam mengkaji ZPPI di suatu perairan. Berdasarkan habitatnya, ikan pelagis dibagi menjadi ikan jenis pelagis besar dan pelagis kecil. Menurut Komnas Kajiskanlaut 1998, diantara ikan-ikan utama dalam kelompok ikan pelagis besar adalah; tuna dan cakalang madidihang, tuna mata besar, albakora tuna sirip biru, cakalang, marlin ikan pedang, setuhuk biru, setuhuk hitam, setuhuk loreng, ikan layaran, tongkol dan tenggiri tongkol dan tenggiri, dan cucut cucut mako. Sedangkan jenis ikan pelagis kecil antara lain; karangaid layang, selar, sunglir, klupeid teri, japuh, tembang, lemuru, Siro dan skombroid kembung. Tuna dan cakalang adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol schooling sewaktu mencari makan, kecepatan renang ikan dapat mencapai 50 kmjam. Kemampuan renang ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penyebarannya dapat meliputi skala ruang wilayah geografis yang cukup luas, termasuk beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudera. Kedalaman renang tuna dan cakalang bervariasi tergantung jenisnya. Umumnya tuna dan cakalang dapat tertangkap di kedalaman 0 - 400 meter. Suhu perairan berkisar 17 - 31 o C. Salinitas perairan yang disukai berkisar 32 – 35 ppt atau di perairan oseanik. Madidihang thunnus albacares tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Panjang madidihang bisa mencapai lebih dari 2 meter. Jenis tuna ini menyebar di perairan dengan suhu antara 17 -31 o C dengan suhu optimum yang berkisar antara 19 o - 23 o C Nontji, 1987, suhu yang baik untuk kegiatan penangkapan berkisar antara 20 o - 28 o C Wudianto, 1993 dalam Yusuf, 2000. 18 Ikan tongkol Euthynnus spp hidup pada suhu 20 – 22 o C dengan salinitas dalam kisaran 32,21–34,40 o oo , tersebar di perairan Kalimantan, Sumatera, pantai India, Filipina dan sebelah selatan Australia, sebelah barat Afrika Barat, Jepang, sebelah barat Hawai dan perairan pantai Pasific – Amerika. Ikan tongkol memiliki panjang tubuh mencapai 80 cm dan umumnya 30 – 50 cm. Jenis tongkol lainnya adalah axuis thazard, hidup di daerah pantai, lepas pantai perairan Indonesia dan berkelompok besar, panjangnya mencapai 50 cm, umumnya 25 – 40 cm. Tenggiri scomberomorus lineolatus, habitatnya di seluruh perairan pantai sehingga daerah penangkapan ikan tenggiri di perairan pantai, pada salinitas 34,21–34,60 o oo . Tenggiri tersebar di seluruh perairan Indonesia, Sumatera, Jaut Jawa. Perairan Indo-Pasifik, Teluk Benggala, Laut Cina Selatan dan India. Semua jenis tongkol dan tenggiri bersifat karnivora makan ikan–ikan kecil, cumi-cumi dan predator serta merupakan ikan perenang cepat. Pada umumnya ketiga jenis ikan tersebut ditangkap saat gelombang dan angin sedang. Ikan layang decapterus spp. bersifat stenohaline, hidup secara berkelompok pada kedalaman 20 – 25 meter , menghendaki perairan yang jernih dan merupakan ikan karnivora plankton, crustacea. Sebarannya di Indonesia terdapat di perairan Ambon, Ternate, Laut Jawa. Selar atau bentong selar cromenopthalmus hidup berkelompok di perairan pantai yang hangat sampai kedalaman 80 m. Ikan ini bersifat karnivora makan ikan kecil, crustacea, panjang mencapai 30 cm, umumnya 20 cm. Tersebar di Sumatera, Nias, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi, Ambon, Seram, Laut Merah, Natal, Zanzibar, Madagaskar, Muskat, India, Cina, Jepang, Formosa, Filipina, sampai perairan tropis Australia. Waktu siang dan malam, keadaan cuaca sedang, pada kedalaman 20 –25 m dan berjarak 1 – 3 mil. Linting 1994 menyatakan bahwa, informasi tentang musim ikan merupakan satu di antara unsur penunjang pengembangan usaha perikanan. Yang dimaksud dengan musim ikan adalah melimpahnya hasil tangkapan yang diperoleh dan didaratkan di suatu wilayah tanpa ada hubungan langsung dengan kelimpahan stok ikan yang ada di suatu perairan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa musim ikan dicirikan oleh tingginya hasil tangkapan dan bukan oleh tingginya indeks kelimpahan stok. Dari data yang diperoleh di TPI Bau-Bau