Pengolahan Awal Data Citra Satelit 1. Koreksi Geometrik

4.2. Pengolahan Awal Data Citra Satelit 4.2.1. Koreksi Geometrik Pengolahan citra Landsat 5 TM dan 7 ETM+ digital didahului dengan koreksi geometrik terhadap citra tersebut. Hal ini dilakukan karena citra tersebut belum memiliki sistem koordinat yang sama dengan koordinat geografis yang sebenarnya di lapangan. Proses selanjutnya yaitu menentukan titik ikat antara citra satelit yang belum terkoreksi dengan data vektor yang sudah terkoreksi Define Ground Control. Pada saat menentukan titik ikat, diambil pada posisi yang tidak mudah berubah seperti garis pantai dan daerah yang tidak tertutup awan. Hal ini dilakukan untuk memperkecil nilai kesalahan dari interpolasi Root Mean Square antara titik ikat. 4.2.2. Klasifikasi Penutup Lahan Menggunakan Citra Satelit Landsat Hasil klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor diperoleh melalui interpretasi digital citra Landsat TM tahun 1997 dan Landsat ETM+ tahun 2006 menggunakan klasifikasi tidak terbimbing Unsupervised Classification. Kelas yang dihasilkan dari klasifikasi ini adalah kelas spektral. Kelas spektral tersebut merupakan pengelompokan berdasarkan nilai natural spektral citra, maka perlu dilakukan analisis lebih lanjut dari hasil klasifikasi dengan membandingkan data rujukan sebagai referensi. Data rujukan yang dipakai pada penelitian ini adalah data spasial penutup dan penggunaan lahan Kodya Bogor tahun 2004 Bakosurtanal. Proses klasifikasi menggunakan band 1, 2 dan 3. Penggunaan band ini berdasarkan daerah spektrum dengan serapan panjang gelombang yang diterima oleh citra satelit Landsat diaktualisasi dalam berbagai warna yang bisa dilihat pada peta citra. Tabel 4. Klasifikasi Penutup Lahan Kodya Bogor tahun 1997 dan 2006 Penutup lahan Luas Lahan ha 1997 2006 Tubuh air 63.27 61.74 Vegetasi 797.94 776.88 Lahan Terbangun 1392.57 1421.73 Lahan Terbuka 79.74 73.17 Total 2333.52 2333.52 Hasil klasifikasi penutup lahan pada penelitian ini dibagi menjadi empat kelas penutup lahan, yaitu : tubuh air, lahan terbangun, lahan terbuka dan vegetasi Tabel 4, Lampiran 1 dan 2. Hasil klasifikasi menunjukkan bahwa jenis penutup lahan terluas di kodya Bogor didominasi oleh lahan terbangun seluas 1392.57 ha pada tahun 1997 dan 1421.73 ha tahun 2006. Kenaikan luas lahan terbangun ini kemungkinan disebabkan seiring dengan kenaikan jumlah penduduk, termasuk infra strukturnya jalan, perumahan, gedung- gedung dan perkembangan kegiatan pembangunan yang terjadi di daerah ini. Sedangkan untuk lahan vegetasi, pada tahun 1997 seluas 797.94 ha dan pada tahun 2006 mengalami pengurangan menjadi 776.88 ha. Hal ini disebabkan terjadinya konversi lahan vegetasi menjadi lahan non vegetasi. Tubuh air sebagian besar terdapat di sungai Ciliwung, Cisadane dan sumber berupa badan air lainnya. Lahan berair ini mengalami pengurangan luas dari 63.27 ha tahun 1997 menjadi 61.74 ha tahun 2006. Luasan pada masing-masing penutup lahan diatas tidak sepenuhnya menunjukkan kondisi yang sebenarnya di lapangan. Hasil luasan pada masing-masing penutup lahan dipengaruhi oleh beberapa kesalahan perhitungan seperti faktor error secara spasial ketika proses klasifikasi penutup lahan sehingga perlu dilakukan ground cek ke lapangan. 4.3. Pendugaan Suhu Permukaan dan Komponen Neraca Energi dari Data Satelit Landsat 4.3.1. Pendugaan Suhu Permukaan Berdasarkan hasil estimasi suhu permukaan di Kodya Bogor menggunakan citra Landsat TM tahun 1997 dan ETM+ tahun 2006, suhu permukaan untuk penutup lahan non vegetasi lahan terbangun dan lahan terbuka pada tahun 1997 mempunyai kisaran suhu permukaan 23 – 32 o C dengan suhu rata-rata terendah dimiliki oleh lahan terbuka 27 o C dan lahan terbangun memiliki suhu rata-rata tertinggi sebesar 29 o C. Sedangkan pada tahun 2006 penutup lahan non vegetasi mempunyai kisaran suhu permukaan 21-33 o C dengan suhu rata-rata terendah dimiliki oleh lahan terbuka 26 o C dan suhu rata-rata tertinggi dimiliki oleh lahan terbangun sebesar 29 o C. Pada penutup lahan vegetasi suhu rata-rata tertinggi terjadi pada tahun 1997 sebesar 27 o C sedangkan pada tahun 2006 suhu rata-rata sebesar 27 o C. Penutup lahan tubuh air memiliki perbedaan 9 suhu rata-rata yang tidak signifikan yaitu sebesar 27 o C untuk tahun 2006 dan 28 o C untuk tahun 1997. Adapun sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun 1997 dan 2006 dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Tabel 5. Kisaran nilai suhu permukaan o C tiap penutup lahan tahun 1997 Penutup lahan Max Min Mean Tubuh air 32 23 28 Lahan Terbangun 31 22 29 Vegetasi 32 23 27 Lahan Terbuka 31 24 27 Tabel 6. Kisaran nilai suhu permukaan o C tiap penutup lahan tahun 2006 Penutup lahan Max Min Mean Tubuh air 31 23 27 Lahan Terbangun 33 21 29 Vegetasi 32 23 27 Lahan Terbuka 30 24 26 Adanya perbedaan suhu permukaan pada beberapa penutup lahan seperti ditunjukkan oleh Tabel 5, Tabel 6, Lampiran 3 dan Lampiran 4 disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah pada saat yang sama dan dengan masukan energi yang sama respon perubahan suhu permukaan lahan ditentukan oleh sifat fisik dari masing- masing jenis penutup lahan. Sifat fisik tersebut adalah emisivitas, kapasitas panas jenis dan konduktivitas thermal pada suatu penutup lahan. Diduga nilai radiasi global yang sampai di permukaan dan yang dipantulkan kembali oleh bumi tidak semua sama antara tahun 1997 dan 2006. 4.3.2. Pendugaan Albedo Albedo α merupakan nisbah antara radiasi pantulan dan radiasi yang datang. Dalam penelitian ini, nilai albedo diperoleh dari pengolahan data citra Landsat TMETM+ dengan memanfaatkan fungsi dari kanal 1, 2 dan 3. Tabel 7. Kisaran nilai rata-rata albedo tiap penutup lahan pada tahun 1997 dan 2006 Penutup lahan Tahun 1997 2006 Vegetasi 5.7 9.8 Lahan Terbangun 6.5 10.6 Tabel 7 menunjukkan deskripsi albedo tiap penutup lahan pada tahun 1997 dan 2006. Secara umum nilai albedo non vegetasi lebih tinggi dibandingkan tipe penutup lahan bervegetasi. Hal ini disebabkan lebih banyak energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan kembali oleh penutup lahan non vegetasi dibandingkan dengan penutup lahan bervegetasi. 4.3.3. Pendugaan Radiasi Netto Radiasi netto adalah selisih nilai radiasi yang diterima permukaan bumi dan radiasi yang ditinggalkan dari permukaan bumi ke atmosfer. Radiasi netto bernilai positif pada siang hari dan bernilai negatif pada malam hari. Radiasi netto yang positif inilah yang digunakan untuk memanaskan udara, memanaskan tanah atau lautan dan penguapan. Berdasarkan persamaan radiasi netto, radiasi gelombang pendek ditentukan oleh nilai albedo, sedangkan radiasi gelombang panjang yang diterima bumi ditentukan oleh nilai suhu udara dan radiasi gelombang panjang yang keluar ditentukan oleh nilai suhu permukaan. Tabel 8. Kisaran nilai rata-rata suhu permukaan o C, Albedo dan Rn Wm -2 tiap penutup lahan tahun 1997 Penutup lahan Suhu α Rn Vegetasi 27 5.7 333 Lahan Terbangun 29 6.5 319 Tubuh air 28 5.8 331 Lahan terbuka 27 6.1 328 Tabel 9. Kisaran nilai rata-rata suhu permukaan o C, Albedo dan Rn Wm -2 tiap penutup lahan tahun 2006 Penutup lahan Suhu α Rn Vegetasi 27 9.8 300 Lahan Terbangun 29 10.6 283 Tubuh air 27 10.2 294 Lahan terbuka 26 9.9 303 Nilai radiasi netto tanggal 28 Agustus 1997 dan 27 Juni 2006 dalam berbagai penutup lahan dapat dilihat dalam Tabel 8, 10 Tabel 9, Lampiran 5 dan Lampiran 6. Penutup lahan di daerah lahan terbangun mempunyai nilai radiasi netto yang rendah di bandingkan dengan penutup lahan lain, sedangkan di penutup lahan bervegetasi mempunyai energi radiasi netto paling tinggi. Adanya perbedaan penerimaan Rn pada tiap tipe penutup lahan, dipengaruhi oleh albedo, radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang. Nilai rataan radiasi netto pada tiap jenis penutup lahan yang diterima permukaan pada tahun 1997 lebih besar dibandingkan tahun 2006, seperti ditunjukkan Gambar 2. Hal ini bisa dijelaskan berdasarkan data Rn, secara empiris dapat dikatakan bahwa perubahan penutup lahan telah merubah nilai Rn. Namun demikian faktor lain yang mungkin bisa menyebabkan perubahan Rn adalah pengambilan data citra Landsat pada kedua tahun dengan sensor yang berbeda yaitu TM dan ETM+. 4.3.4. Pendugaan Soil Heat Flux G Soil Heat Flux G dipengaruhi oleh perbedaan suhu permukaan dengan suhu tanah. Dalam persamaan untuk menghitung G diperlukan nilai albedo, radiasi netto dan NDVI. Dalam persamaan ini suhu permukaan berbanding lurus dengan G. Tabel 10 dan Gambar 3 menunjukkan bahwa penutup lahan terbangun mempunyai nilai G lebih tinggi dibandingkan pada penutup lahan bervegetasi. Sedangkan lahan terbuka memiliki nilai G lebih rendah dari penutup lahan lain. Tabel 10. Kisaran nilai rata-rata G Wm -2 pada penutup lahan tahun 1997 dan 2006 Penutup lahan Tahun 1997 2006 Vegetasi 38.84 37.15 Lahan Terbangun 39.43 37.63 Tubuh air 39.02 37.05 Lahan terbuka 38.45 36.74 Hal ini disebabkan tipe penutup lahan non vegetasi lahan terbangun dan lahan terbuka mempunyai proporsi yang lebih besar dalam memanfaatkan radiasi netto yang diterima untuk memanaskan tanah dibandingkan tipe penutup lahan lainnya. Hal ini menyebabkan tingginya nilai G pada penutup lahan tersebut. faktor lain yang turut mempengaruhi nilai G yaitu tingginya nilai konduktivitas thermal pada penutup lahan tersebut. Sebaran nilai Soil Heat Flux G ditunjukkan di Lampiran 7 dan Lampiran 8. Gambar 3. Grafik G tiap penutup lahan. Gambar 2. Grafik Rn tiap penutup lahan. 11 4.4. Komponen Neraca Energi pada Beberapa Penutup Lahan Perubahan penutup lahan tidak hanya mengindikasikan perubahan tipe vegetasi tetapi juga mengubah sifat-sifat permukaan seperti albedo, emisivitas, dan kekasapan yang selanjutnya akan mengubah komponen neraca energi. Proporsi komponen neraca energi yang di terima permukaan di tiap penutup lahan pada tahun 1997 dan 2006 di tunjukan oleh Tabel 11. Pada penutup lahan terbangun dan lahan terbuka, radiasi netto yang diterima permukaan lebih banyak dipergunakan untuk memanaskan udara. Energi yang dipergunakan untuk memanaskan air dan tanah hanya sebagian kecil. Hal ini mengindikasikan suhu udara pada penutup lahan tersebut lebih tinggi dibandingkan penutup lahan lainnya. Sedangkan penutup lahan vegetasi mempergunakan energinya untuk fluks pemanasan laten. Hal ini disebabkan pada tipe penutup lahan vegetasi banyak ditumbuhi pepohonan yang sangat berpotensi untuk proses transpirasi. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya nilai E disebabkan pada daerah tersebut banyak terbentuk kandungan uap air seperti kabut dan embun. Hal ini akan mengakibatkan nilai estimasi E yang didapatkan adalah nilai E dari embun dan kabut, bukannya dari objek yang dimaksud. Penutup lahan tubuh air menggunakan sebagian besar radiasi netto yang diterima untuk fluks pemanasan laten dan sisanya hanya sebagian kecil dari energi radiasi netto yang dipergunakan untuk memanaskan udara dan memanaskan tanah. Hal ini berimplikasi terhadap tingginya tingkat evaporasi pada tubuh air. Dari hal diatas dapat disimpulkan jika suatu daerah penutup lahannya didominasi oleh tipe non vegetasi maka komponen G dan H akan semakin meningkat, sebaliknya jika suatu penutup lahan didominasi oleh lahan bervegetasi dan tubuh air maka nilai E akan semakin meningkat sedangkan nilai G dan H akan semakin menurun. Tabel 12 memperlihatkan nilai suhu dan radiasi netto hasil pengukuran langsung di 3 stasiun yaitu Baranangsiang, Cimanggu dan Muara. Radiasi netto terbesar terjadi pada tahun 1997 dibandingkan pada tahun 2006, hal ini sesuai dengan radiasi netto hasil estimasi citra satelit Landsat dari tiap jenis penutup lahan yang diterima permukaan. Hal ini bisa dijelaskan berdasarkan data Rn secara empiris dapat dikatakan bahwa perubahan penutup lahan telah merubah nilai Rn. Oleh karena itu, mekanisme perubahan komponen neraca energi ini perlu dipertimbangkan dalam perencanaan suatu wilayah yang umumnya melakukan perubahan dari vegetasi menjadi non vegetasi. Komponen Tubuh Air Vegetasi Lahan Terbangun Lahan Terbuka 1997 2006 1997 2006 1997 2006 1997 2006 Rn Wm-2 330 294 333 301 320 283 328 303 G Wm-2 39 37 39 37 39 38 38 37 H Wm-2 31 24 99 82 205 196 232 213 E Wm-2 260 234 195 182 75 50 58 53 Albedo 6 10 6 10 6 10 6 10 Stasiun Koordinat Tmin o C Tmax o C Trata o C Rn Wm 2 1997 2006 1997 2006 1997 2006 1997 2006 Baranangsiang 6 o 58 S - 106 o 80 E 22.5 32.2 26.8 141.9 Muara 6 o 40 S – 106 o 45 E 22.5 21.4 31 32.4 26.7 26.9 211.9 Cimanggu 6 o 37 S – 122 o 35 E 21.6 32.8 27.9 249.8 Tabel 11. Kuantitatif nilai komponen neraca energi di beberapa penutup lahan Tabel 12. Nilai Suhu dan Radiasi Netto hasil pengukuran langsung di 3 Stasiun Tidak ada data Sumber : BMG, GFM-IPB 12

4.5. Perbandingan Nilai Indeks Vegetasi NDVI dengan Komponen Neraca Energi

Dokumen yang terkait

Identifikasi Sebaran Dan Potensi Agroforestri Menggunakan Citra Landsat Tm 5 Di Kecamatan Wampu Dan Sawit Seberang Kabupaten Langkat

1 45 100

Kajian Manajemen Perparkiran Perkotaan Studi Kasus : Kawasan Pasar Baru Kota Padangsidimpuan

2 51 167

Analisis Perubahan Fungsi Lahan Di Kawasan Pesisir Dengan Menggunakan Citra Satelit Berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Di Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Dan Langkat Timur Laut)

1 62 6

Identifikasi Persepsi Masyarakat Tentang Pengaruh Slum Area Terhadap Kawasan Heritage Kota Bandung (Studi Kasus : Kelurahan Braga)

10 84 115

Analisis Perubahan Konsentrasi Total Suspended Solids (TSS) Dampak Bencana Lumpur Sidoarjo Menggunakan Citra Landsat Multi Temporal (Studi Kasus: Sungai Porong, Sidoarjo)

0 0 6

Pemetaan Sebaran Total Suspended Solid (TSS) Menggunakan Citra Landsat Multitemporal dan Data In Situ (Studi Kasus : Perairan Muara Sungai Porong, Sidoarjo)

0 0 6

Pendeteksian Kerapatan Vegetasi dan Suhu Permukaan Menggunakan Citra Landsat Studi Kasus : Jawa Barat Bagian Selatan dan Sekitarnya

0 0 10

Identifikasi Kejadian Hujan Konvektif Menggunakan Citra MTSAT 2R pada Musim Kemarau di Daerah Perkotaan Yogyakarta Tahun 2014

0 0 10

Interpretasi Hibrida Untuk Identifikasi Perubahan Lahan Terbangun dan Kepadatan Bangunan Berdasarkan Citra Landsat 5 TM dan Sentinel 2A MSI (Kasus: Kota Salatiga)

0 0 8

Penentuan Suhu Permukaan Tanah Kawah Wurung – Ijen Jawa Timur Menggunakan Citra Landsat 8 Sebagai Studi Pendahuluan Dalam Survei Eksplorasi Panas Bumi

0 0 7