Karakteristik Petani Sampel Pendapatan petani sebelum industri pengolahan salak

sebagai petani menempati posisi yang paling banyak jumlahnya yaitu sebesar 824 jiwa 67.32 , pegawai negeri 164 jiwa 13.39 , pedagang 137 jiwa 11.19 , karyawan 30 jiwa 2.45 , buruh 33 jiwa 2.69 , wiraswasta dan jasa memiliki jumlah yang sama yaitu 18 jiwa 1.47 .

4.1.3. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang ada di suatu desa sangat dibutuhkan demi perkembangan desa tersebut. Di Desa Parsalakan, sarana dan prasarana yang dibutuhkan penduduk, seperti sarana ibadah, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lain-lain telah tersedia. Hal ini dapat dilihat pada tabel 10 berikut ini : Tabel 6. Sarana dan Prasarana Desa Parsalakan Tahun 2009 No Jenis Sarana dan Prasarana Jumlah Unit 1 Sarana Ibadah Mesjid 18 2 Sarana Kesehatan Posyandu 5 3 Pendidikan SD 2 4 Ekonomi Kios Warung 137 5 Kantor Kepala Desa 1 6 Sarana Olah Raga Lapangan Bulu Tangkis 2 7 Jalan Dusun Jalan Desa Jalan Protokol Jalan Kabupaten 2 1 1 1 Sumber : Kantor Kepala Desa Parsalakan, 2009

4.2 Karakteristik Petani Sampel

Dalam penelitian ini petani responden adalah petani yang berusahatani salak sebanyak 30 responden. Yang termasuk karakteristik sampel antara lain : umur, pengalaman bertani dan luas lahan. Universitas Sumatera Utara Tabel 7. Karakteristik Petani Sampel di Desa Parsalakan Tahun 2009 Uraian Satuan Rataan Rentangan Umur Tahun 33,36 24-50 Pengalaman Bertani Tahun 10,03 5-28 Luas Lahan Ha 1,71875 1-6 Sumber : Analisis Data Primer, 2009 Dari tabel 7 dapat dilihat bahwa rata-rata umur petani responden adalah 33,267 tahun dengan rentangan antara 24-50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum petani di daerah penelitian masih tergolong dalam usia produktif sehingga ketersediaan tenaga kerja dalam usahatani salak masih produktif, sehingg dapat dikatakan bahwa di daerah penelitian memiliki tenaga kerja petani yang masih sangat potensial untuk mengusahakan usahataninya. Dalam hal Pengalaman Bertani rata-rata petani sampel di daerah penelitian adalah 10,03 tahun dengan rentangan 5-28 tahun. Ini menunjukkan pengalaman bertani sampel di daerah penelitian sudah cukup baik walaupun kalau dillihat dari masing-masing petani sampel sangat bervariasi. Tetapi jika dilihat dari pengalaman bertani rata-rata yaitu 10,03 tahun sudah menunjukkan pengalaman yang cukup lama untuk berusahatani salak sehingga petani sampel sudah memahami betul teknik bertanam salak walaupun di daerah penelitian masih dilakukan dengan cara tradisional dan turun temurun. Luas lahan rata-rata yang dikelola petani sampel adalah 1,71875 Ha dengan rentangan 1-6 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa luas lahan usahatani salak yang dikelola petani sampel sudah cukup baik untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga petani. Universitas Sumatera Utara

4.3 Karakteristik Industri Secara Umum

Sampel pada penelitian ini juga adalah industri pengolahan salak yang bernama ”Showroom dan Work Shop Sentra Industri Kecil Pengolahan Buah Salak Agrina”. Industri ini berdiri pada 25 September 2007, namun baru aktif pada tahun 2008. Industri ini tergolong ke dalam industri kecil karena sesuai dengan penggolongan jenis industri menurut Departemen Perindustrian. Dikatakan industri kecil jika suatu industri memiliki aset lebih kecil dari Rp 200 juta diluar tanah dan bangunan, omset tahunan lebih kecil dari Rp 1 milyar dan dimiliki oleh orang Indonesia independen. Industri ini merupakan sebuah industri yang bergerak dalam bidang pengolahan makanan dan minuman yang terbuat dari buah salak, dimana proses produksi dilakukan sebanyak lima kali dalam seminggu. Hasil dari pengolahan tersebut adalah nagogo drink, sirup salak, madu salak, kurma salak, dodol salak dan kripik salak. Universitas Sumatera Utara HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Tingkat Pendapatan Petani Salak Sebelum dan Sesudah Ada Industri

Pengolahan Salak Di Daerah Penelitian Pendapatan petani salak adalah hasil dari penjualan produksi salak yang diukur dalam satuan rupiah. Pendapatan petani salak diperoleh dari seberapa besar total biaya yang di keluarakan oleh petani dan seberapa besar penerimaan yang diterima oleh petani. Total biaya terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan yang jumlahnya relative tetap selama masa produktif. Petani harus tetap membayarnya, berapapun jumlah komoditi yang dihasilkan usahataninya. Biaya tetap menjadi penting apabila petani memikirkan tambahan investasi. Tiap tambahan investasi hanya dapat dibenarkan apabila petani mampu membelinya dan dalam jangka panjang dapat memberikan arus keuntungan. Keuntunga ini dapat terjadi karena berkurangnya biaya tidak tetap atau meningkatnya produksi pada waktu yang bersamaan atau berkurangnya biaya tetap untuk tiap satuan komoditi yang dihasilkan. Dalam hal ini, biaya tetap meliputi biaya penyusutan dari peralatan yang dugunakan oleh petani dan biaya PBB. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang besarnya tergantung pada Universitas Sumatera Utara jumlah produksi. Umumnya biaya variabel meliputi biaya tenaga kerja dan biaya sarana produksi saprodi. Penerimaan diperoleh dari seberapa banyak hasil penjualan yang dihasilkan oleh petani salak dengan melihat harga jual salak per kg dan jumlah produksi yang dihasilkan.

1.1 Pendapatan petani sebelum industri pengolahan salak

Untuk mengidentifikasi pendapatan petani salak sebelum ada Industri Pengolahan Salak dapat dilihat dari tabel berikut ini. Tabel 8. Pendapatan Petani Salak Sebelum Industri Pengolahan Salak Keterangan Total Rp Rata-rata Rp Penerimaan 62.895.000,00 2.096.500,00 Biaya Tetap 1. Biaya PBB 645.000,00 21.500,00 2. Biaya Penyusutan 3.478.933,33 116.322,78 Biaya Variabel 1. Biaya Tenaga Kerja 4.918.000,00 163.933,33 2. Biaya Saprodi 29.338.500,00 977.950,00 Pendapatan 24.519.566,67 817.318,89 Sumber: Data diolah dari lampiran 7 Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa rata-rata penerimaan yang diterima oleh setiap petani salak sebelum ada industri pengolahan salak sebesar Rp 2.096.500,00. sedangkan biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap petani rata- rata terdiri dari: biaya PBB sebesar Rp 21.500,00, biaya penyusutan sebesar Rp 116.322,78, biaya tenaga kerja sebesar Rp 163.933,33 dan biaya saprodi sebesar Rp 977.950,00. Dimana pendapatan yang diperoleh setiap petani sebelum ada industri pengolahan salak rata-rata sebesar Rp 817.318,89 bulan. Sebelum ada industri pengolahan salak, pendapatan yang diperoleh petani salak dapat dikatakan rendah, karena jika dibandingkan dengan standart Upah Universitas Sumatera Utara Minimum Provinsi UMP pada saat ini yaitu sebesar Rp 905.000. Dimana pendapatan pada saat itu masih dibawah nya Rp 817.318 905.000. Rendahnya pendapatan ini disebabkan oleh produksi yang masih rendah dan harga buah salak yang juga masih rendah. Untuk melihat rata-rata luas lahan, harga jual dan produksi petani sebelum ada industri pengolahan salak, dapat dilihat dari tabel berikut ini. Tabel 9. Rata-rata luas lahan, harga jual dan produksi salak per petani sebelum ada industri pengolahan salak Luas lahan Ha Harga jual RpKg Produksi salak Kg 1,41 3.000,00 698,83 Sumber : Data diolah dari lampiran 1 dan 6 Dari tabel 9 dapat dilihat bahwa dengan luas lahan, harga jual yang murah sebesar Rp 3000Kg dan rata-rata produksi salak pada saat itu juga sedikit yaitu sebesar 698,83 Kg mengakibatkan penerimaan yang diperoleh petani salak juga sedikit. Selain itu biaya-biaya yang harus dikeluarkan juga besar. Sehingga penerimaan yang diperoleh petani tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Misalnya pengeluaran untuk biaya PBB, biaya sarana produksi dan biaya tenaga kerja baik dalam keluarga maupun luar keluarga. Dari hasil penelitian yang didapat bahwa biaya sarana produksi yang dikeluarkan petani hanya biaya bibit. Sedangkan untuk biaya pupuk tidak ada, karena dalam penanaman salak, petani tidak menggunakan pupuk. Atau dengan kata lain salak yang ditanam tanpa pupuk. Untuk melihat biaya bibit yang dikeluarkan petani, dapat dilihat dari tabel berikut ini. Tabel 10. Biaya dan jumlah bibit salak sebelum ada industri pengolahan salak Harga Bibit Rp Jumlah bibit Universitas Sumatera Utara Sumber : Data diolah dari lampiran 5 Dari tabel 10 dapat terlihat jelas rata-rata biaya bibit yang dikeluarkan oleh petani dimana dapat dilihat harga dan jumlah bibit sebelum ada industri pengolahan salak. Selain biaya saprodi yangn dikeluarkan oleh petani, ada juga biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan petani. Dari hasil penelitian yang didapat bahwa umumnya petani tidak pernah menghitung biaya tenaga kerja dalam keluarga dan kebanyakan petani menggunakan tenaga kerja dalam keluarga, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya tenaga kerja yang begitu besar dan pengeluaran untuk biaya tenaga kerja sedikit. Namun, dikarenakan tenaga kerja dalam keluarga dan luar keluarga jug dihitung, maka pendapatan petani rendah. Petani salak juga umumnya menjual salak langsung kepada konsumen di sekitar dan pemasarannya pun tidak luas, sehingga pendapatan yang diperoleh rendah. Untuk melihat upah tenaga kerja per tahapan per orang dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 11. Rata-rata upah tenaga kerja per tahapan per orang sebelum ada industri pengolahan salak Tahapan Jumlah Tenaga Kerja Orang Upah Tenaga Kerja Anak Rporang Upah Tenaga Kerja Rporang Pengolahan lahan dan penanaman 96 5.000,00 18.000,00 Pemeliharaan 68 5.000,00 15.000,00 Panen 72 5.000,00 10.000,00 Pembersihan 61 5.000,00 10.000,00 Pemasaran 49 5.000,00 20.000,00 Total 346 25.000,00 73.000,00 Sumber : Data diolah dari lampiran 4 500 1.955,90 Universitas Sumatera Utara Dari tabel 11 dijelaskan bahwa jumlah tenaga kerja dan upah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh rata-rata petani sedikit apabila disbanding dengan jumlah tenaga kerja sesudah ada industri pengolahan salak. Hal ini terjadi karena luas lahan masih relative sempit dan sebelumnya belum ada industri pengolahan salak, sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan relatif sedikit.

1.2 Pendapatan petani sesudah industri pengolahan salak