Eksistensi Praperadilan Dalam Proses Hukum Perkara Pidana Di Pengadilan Negeri Medan

(1)

EKSISTENSI PRAPERADILAN DALAM PROSES HUKUM

PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI MEDAN

TESIS

Oleh WESSY TRISNA 087005084 / Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

EKSISTENSI PRAPERADILAN DALAM PROSES HUKUM

PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum Dalam Bidang Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana

Oleh WESSY TRISNA 087005084 / Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : EKSISTENSI PRAPERADILAN DALAM PROSES HUKUM PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI MEDAN

Nama Mahasiswa : Wessy Trisna Nomor Pokok : 087005084 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Ketua

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum) (Dr. Marlina, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Dekan

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah Diuji

Pada tanggal : 29 September 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

Anggota : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum Dr. Marlina, SH, M.Hum

Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM


(5)

ABSTRAK

Lembaga praperadilan merupakan salah satu lembaga yang diperkenalkan oleh KUHAP dalam penegakan hukum dan bukan sebagai lembaga pengadilan yang berdiri sendiri, serta bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu perkara pidana. Lembaga praperadilan yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan upaya paksa, fungsi pengawasan lembaga yang diberikan undang-undang ini tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan karena adanya hambatan-hambatan yang muncul. Berdasarkan uraian diatas adapun permasalahannya bagaimana pengaturan hukum yang mengatur tentang praperadilan dalam proses hukum perkara pidana dan bagaimana faktor penyebab kegagalan pemohon praperadilan dalam proses hukum perkara pidana di Pengadilan Negeri Medan serta bagaimana analisis putusan praperadilan dalam praktek hukum.

Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif, dan pengumpulan data dilakukan secara kualitatif yakni dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.

Pengaturan hukum yang mengatur tentang praperadilan dalam proses hukum perkara pidana tercantum dalam Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 serta yang menjadi dasar praperadilan tersebut diatur dalam Pasal 9 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Faktor-faktor penyebab kegagalan pemohon praperadilan dalam proses hukum perkara pidana di Pengadilan Negeri Medan dapat dilihat dari 3 (tiga) komponen yaitu: Substansi Hukum (Legal Substance), Struktur Hukum (Legal structure) dan Kultur Hukum (Legal Culture). Analisis putusan praperadilan di dalam praktek hukum perkara pidana yaitu berupa isi putusan hakim yang memutuskan bahwa putusan praperadilan ditolak atau diterima, dari analisis tersebut putusan praperadilan yang ditolak pada hakekatnya pemohon tidak berhasil membuktikan dalil-dalil permohonan tuntutannya sedangkan putusan yang diterima berupa penyidik harus membebaskan tersangka dari tahanan dan terhadap penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, maka penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.


(6)

ABSTRACT

Pretrial institution is one of the institutions introduced by the Indonesian Criminal Codes in law reinforcement neither as an independent trial institution nor as a court-level institution with an authority to make a final decision for a criminal case. A pretrial institution which functions to control the implementation of force attempt as given by the legislation cannot run smoothly because of existing constraints. Based on the background above, the research questions to be answered in this study were how the legislation regulating the pretrial in the legal process of criminal case is regulated, the factors that fail the applicant who applied for a pretrial in the legal process of criminal case in Medan Court of First Instance and how the decision of pretrial was analyzed in legal practice.

This study employed normative legal research method and the data for this study were qualitatively obtained through observation and each of the data obtained was related to the existing stipulations or legal principles.

Legal regulation regulating the pretrial in the legal process of criminal case is stated in Article 1 (10) in connection with Article 77 of Law No. 8/1981 and the basic law for the pretrial is regulated in Article 9 of Law No.48/2009 on Main Stipulation on Judicial Authority. The factors causing the failure of the applicant who applies for a pretrial in legal process of criminal case in Medan Court of First Instance can be seen from 3 (three) components: Legal Substance, Legal Structure, and Legal Culture. The analysis of the pretrial decision in the legal practice of criminal case is in the form of judge’s decision that determines whether the pretrial decision is rejected or accepted. Based on the analysis, the rejected pretrial decision usually occurs because the applicant failed to prove the argumentations of the demand he/she applied while the accepted pretrial decision will say that the investigator must release the suspect from the prison and the investigation and indictment on the suspect must be continued because the closing of investigation and indictment is illegal.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat dan hidayah-Nya, tesis ini telah selesai penulis susun dengan baik.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul tesis ini adalah: ”EKSISTENSI PRAPERADILAN DALAM

PROSES HUKUM PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI MEDAN”. Penulis menyadari bahwa mulai dari persiapan sampai penulisan tesis ini

penulis sangat berhutang budi kepada semua pihak yang telah membimbing, mengarahkan, memberi dorongan semangat dan sumbangan pemikiran lain yang sangat berharga kepada penulis. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS, Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum., dan Ibu Dr. Marlina, SH., M.Hum, selaku komisi pembimbing yang dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih ditujukan juga kepada yang terhormat dan terpelajar Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, dan Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM, yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.


(8)

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Pada bapak dan Ibu Guru Besar serta Dosen Pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Ilmu Hukum. 6. Orang tua tercinta Prof. Dr. Ediwarman, SH., M.Hum dan Jasmi Riva’i ,SH., yang

senantiasa memberikan kasih sayang, semangat, do’a, cinta, pengertian dan membimbing serta menyediakan segala kebutuhan penulis.

7. Kepada abangda, kakanda, dan adik penulis yakni dr. Raufen Rissyamdani, Serli Dwi Warmi, SH, MKn. dan Ahmad Fadli, yang telah membantu dan memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.


(9)

8. Teristimewa kepada Joko Santoso, yang telah memberikan kasih sayang, dorongan, semangat dan do’a kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

9. Kepada Adi Mansyar, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan saran kepada penulis untuk kesempurnaan tesis ini.

10.Kepada Tek Rat, Tek Ema, Devi serta seluruh staf Law Office Ediwarman & Associates, yang telah memberikan semangat dan doa serta perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

11.Para sahabat yang berbaik hati, yaitu Serenity, Mala, Kak Umi, Kak Mia, bu Saniah, Rini, Nancy, bang syaiful, bang angkat, Pak nur, bang James, bang Jaka, dan rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan support kepada penulis selama masa pendidikan.

12.Para pegawai/karyawan pada program studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Akhirnya penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari ketidak sempurnaan, karena kesempurnaan hanyalah milik ALLAH SWT semata. Namun demikian besar harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca umumnya. Amin ya Robbal Alamin.

Medan, September 2010 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Wessy Trisna

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 23 Januari 1986

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. Kota Baru II No. 44 Medan

II. PENDIDIKAN

- SD : Tahun 1992 s/d 1998

SD Perguruan Nasional Khalsa – Medan

- SLTP : Tahun 1998 s/d 2001

SLTP Swasta Harapan – Medan

- SMU : Tahun 2001 s/d 2004

SMU Swasta Harapan – Medan

- Perguruan Tinggi/S1 : Tahun 2004 s/d 2008

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara – Medan


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... . i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 10

C. Tujuan Penelitian... 11

D. Manfaat Penelitian... 11

E. Keaslian Penelitian... 11

F. Kerangka Teori dan Konsep... 12

1. Kerangka Teori... 12

2. Kerangka Konsepsi... 22

G. Metode Penelitian ... 24

1. Spesifikasi Penelitian ... 24

2. Metode Pendekatan ... 24

3. Sumber Data... 25

4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data ... 25


(12)

BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR TENTANG PRAPERADILAN DALAM PROSES HUKUM

PERKARA PIDANA... 27

A. Sejarah Pengaturan Praperadilan... 27

B. Praperadilan Menurut HIR... 31

C. Praperadilan Menurut KUHAP... 32

D. Praperadilan Menurut RUU KUHAP... 59

BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEGAGALAN PEMOHON PRAPERADILAN DALAM PROSES HUKUM PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI MEDAN... 73

A. Substansi Hukum (Legal Substance)... 73

B. Struktur Hukum (Legal Sutructure)... 80

C. Kultur Hukum (Legal Culture)... 89

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PRAPERADILAN DALAM PRAKTEK HUKUM PERKARA PIDANA... 95

A. Analisis Putusan Kasus Praperadilan Pada Pengadilan Negeri Medan... 95

B. Putusan Praperadilan Ditolak... 110


(13)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 119

A. Kesimpulan... 119

B. Saran... 121


(14)

ABSTRAK

Lembaga praperadilan merupakan salah satu lembaga yang diperkenalkan oleh KUHAP dalam penegakan hukum dan bukan sebagai lembaga pengadilan yang berdiri sendiri, serta bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu perkara pidana. Lembaga praperadilan yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan upaya paksa, fungsi pengawasan lembaga yang diberikan undang-undang ini tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan karena adanya hambatan-hambatan yang muncul. Berdasarkan uraian diatas adapun permasalahannya bagaimana pengaturan hukum yang mengatur tentang praperadilan dalam proses hukum perkara pidana dan bagaimana faktor penyebab kegagalan pemohon praperadilan dalam proses hukum perkara pidana di Pengadilan Negeri Medan serta bagaimana analisis putusan praperadilan dalam praktek hukum.

Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif, dan pengumpulan data dilakukan secara kualitatif yakni dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.

Pengaturan hukum yang mengatur tentang praperadilan dalam proses hukum perkara pidana tercantum dalam Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 serta yang menjadi dasar praperadilan tersebut diatur dalam Pasal 9 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Faktor-faktor penyebab kegagalan pemohon praperadilan dalam proses hukum perkara pidana di Pengadilan Negeri Medan dapat dilihat dari 3 (tiga) komponen yaitu: Substansi Hukum (Legal Substance), Struktur Hukum (Legal structure) dan Kultur Hukum (Legal Culture). Analisis putusan praperadilan di dalam praktek hukum perkara pidana yaitu berupa isi putusan hakim yang memutuskan bahwa putusan praperadilan ditolak atau diterima, dari analisis tersebut putusan praperadilan yang ditolak pada hakekatnya pemohon tidak berhasil membuktikan dalil-dalil permohonan tuntutannya sedangkan putusan yang diterima berupa penyidik harus membebaskan tersangka dari tahanan dan terhadap penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, maka penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.


(15)

ABSTRACT

Pretrial institution is one of the institutions introduced by the Indonesian Criminal Codes in law reinforcement neither as an independent trial institution nor as a court-level institution with an authority to make a final decision for a criminal case. A pretrial institution which functions to control the implementation of force attempt as given by the legislation cannot run smoothly because of existing constraints. Based on the background above, the research questions to be answered in this study were how the legislation regulating the pretrial in the legal process of criminal case is regulated, the factors that fail the applicant who applied for a pretrial in the legal process of criminal case in Medan Court of First Instance and how the decision of pretrial was analyzed in legal practice.

This study employed normative legal research method and the data for this study were qualitatively obtained through observation and each of the data obtained was related to the existing stipulations or legal principles.

Legal regulation regulating the pretrial in the legal process of criminal case is stated in Article 1 (10) in connection with Article 77 of Law No. 8/1981 and the basic law for the pretrial is regulated in Article 9 of Law No.48/2009 on Main Stipulation on Judicial Authority. The factors causing the failure of the applicant who applies for a pretrial in legal process of criminal case in Medan Court of First Instance can be seen from 3 (three) components: Legal Substance, Legal Structure, and Legal Culture. The analysis of the pretrial decision in the legal practice of criminal case is in the form of judge’s decision that determines whether the pretrial decision is rejected or accepted. Based on the analysis, the rejected pretrial decision usually occurs because the applicant failed to prove the argumentations of the demand he/she applied while the accepted pretrial decision will say that the investigator must release the suspect from the prison and the investigation and indictment on the suspect must be continued because the closing of investigation and indictment is illegal.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehadiran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari macam-macam sudut. Para profesional hukum, seperti hakim, jaksa, advokat dan para yuris yang bekerja di pemerintahan, akan melihat dan mengartikan hukum sebagai suatu bangunan perundang-undangan. Dengan demikian, Hukum tampil dan ditemukan dalam wujud perundang-undangan.1

Indonesia adalah negara hukum, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa di dalam negara kesatuan RI, hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kedudukan yang sama bagi setiap orang dihadapan hukum. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, tidak terkecuali juga kepada tersangka/terdakwa.

Seorang tersangka/terdakwa berhak atas perlakuan yang wajar dan adil terhadap hak-hak yang melekat pada dirinya, maka dari itu segala tindakan para penegak hukum harus berdasarkan kepada hukum bukan kekuasaan.

Hukum terbentuk dan berkembang sebagai produk yang sekaligus mempengaruhi, karena itu mencerminkan dinamika proses interaksi yang berlangsung

1


(17)

terus menerus antara berbagai kenyataan kemasyarakatan (aspirasi manusia, keyakinan agama, sosial, ekonomi, politik, moral, kondisi kebudayaan dan peradaban dalam batas-batas alamiah) satu dengan lainnya yang berkonfrontrasi dengan kesadaran dan penghayatan manusia terhadap kenyataan kemasyarakatan itu, yang berakar dalam pandangan hidup yang dianut serta kepentingan kebutuhan nyata manusia, sehingga hukum dan tatanan hukumnya bersifat dinamis.2

Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem, dapat berperan dengan baik dan benar ditengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum.

Pelaksanaan hukum itu dapat berlangsung secara normal, tetapi juga dapat terjadi karena pelanggaran hukum, oleh karena itu hukum yang sudah dilanggar itu harus ditegakkan. Dalam menegakkan hukum ada 3 (tiga) unsur harus dipenuhi yaitu : Kepastian hukum (Rechtssicherheit), Kemanfaatan (Zwechmaasigheit), Keadilan (Gerechetigheit)3.

Kepastian hukum oleh setiap orang dapat terwujud dengan ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Hukum yang berlaku pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, hal ini dikenal juga dengan istilah fiat justitia et pereat

mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan

oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel

2

Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, (Medan: PT. Sofmedia, 2009), halaman 2-3. 3

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2002), halaman 181.


(18)

terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.

Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Barang siapa mencuri harus dihukum, dimana setiap orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.

Apabila penegak hukum menitik beratkan kepada nilai keadilan sedangkan nilai kegunaan dan kepastian hukum dikesampingkan, maka hukum itu tidak dapat berjalan dengan baik. Demikian pula sebaliknya jika menitik beratkan kepada nilai kegunaan sedangkan kepastian hukum dan keadilan dikesampingkan, maka hukum itu tidak jalan. Idealnya dalam menegakkan hukum itu nilai-nilai dasar keadilan yang merupakan nilai dasar filsafat dan nilai-nilai dasar kegunaan merupakan suatu kesatuan berlaku secara sosiologis serta nilai dasar kepastian hukum yang merupakan


(19)

kesatuan yang secara yuridis harus diterapkan secara seimbang dalam penegakan hukum.4

Hukum hidup dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman begitu juga dengan sistem peradilan kita. Sistem peradilan kita dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:5 Pertama; Segala sesuatu berkenaan dengan penyelenggaraan peradilan, mencakup seperti kelembagaan, sumber daya, tata cara, prasarana dan sarana, dan lain-lain, Kedua; Sistem peradilan diartikan sebagai proses mengadili (memeriksa dan memutus perkara). Sebagai sebuah sistem, peradilan meliputi proses kelembagaan, ketenagaan yang bekerja mempertahankan dan menegakkan hukum secara pro justitia (mempertahankan dan menegakkan hukum dapat juga dilakukan secara non justitia).6

Sistem peradilan pidana merupakan salah satu sarana dalam penanggulangan kejahatan dengan tujuan untuk7 :

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

4

Sacjipto Raharjo, Ilmu hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), halaman 20. 5

Bagir Manan, Sistim Peradilan Berwibawa (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: FH UII Press, 2005), halaman 14

6

Ibid, halaman 57. 7

R. Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Restu Agung, 2007), halaman 3.


(20)

Peradilan pidana dilakukan melalui prosedur yang diikat oleh aturan-aturan ketat tentang pembuktian yang mencakup semua batas-batas konstitusional dan berakhir pada proses pemeriksaan di pengadilan. 8 Dalam hal pemeriksaan perkara pidana umumnya berlangsung lama, berbelit-belit dan rumit, tidak sederhana seperti disebutkan aturan-aturan normatif/formal (KUHAP).9

Sistem peradilan pidana merujuk pada suatu konsep hukum dari ketentuan normatif suatu perundang-undangan. Hukum acara pidana adalah ketentuan normatif sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana Indonesia menganut konsep bahwa kasus pidana adalah sengketa antara individu dengan masyarakat (publik) dan sengketa itu akan diselesaikan oleh negara (pemerintah) sebagai wakil dari publik.10

Mekanisme terhadap sistem peradilan pidana yang diatur dalam KUHAP ada terdapat lembaga praperadilan. Lembaga praperadilan ini dimaksudkan untuk pengawasan penggunaan upaya-upaya paksa oleh aparat penegak hukum fungsional dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan. Lembaga praperadilan ini dimasukkan sebagai wewenang dari pengadilan sebelum memeriksa pokok perkara.11

Praperadilan adalah lembaga baru yang lahir bersamaan dengan kelahiran KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981). Praperadilan bukan lembaga peradilan yang mandiri atau berdiri sendiri terlepas dari pengadilan negeri, karena dari rumusan Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP dapat diketahui bahwa praperadilan hanyalah

8

Anthon F. Susanto, Wajah Peradilan Kita, (Bandung: Refika Aditama, 2004), halaman 1 9

Ibid, halaman 5. 10

Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Djambatan, 2008), halaman 1. 11


(21)

wewenang tambahan yang diberikan kepada pengadilan negeri (hanya kepada pengadilan negeri).12 Pengadilan Negeri sebagai peradilan umum merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan mempunyai tugas dan wewenang memeriksa, memutus atau mengadili dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata ditingkat pertama (Pasal 2 jo Pasal 50 UU No. 2 Tahun 1986).

Praperadilan dalam perwujutannya tetap satu dan berada pada Pengadilan Negeri baik organisatoris maupun administratif, personal, material, dan finansial berada dalam tubuh Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Praperadilan ini tunduk dan berada di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri setempat. Kedudukannya pun berada dan bersatu dengan pengadilan Negeri setempat.

Di Indonesia, lembaga praperadilan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 butir 10 Undang-undang No. 8 Tahun 1981, yang pada pokoknya tujuan dasar dari praperadilan adalah satu cerminan pelaksanaan dari asas presumption of innocent (praduga tidak bersalah) sehingga tiap orang yang diajukan sebagai terdakwa telah melalui proses awal yang wajar dan mendapat perlindungan harkat dan martabat manusianya.13 Lembaga praperadilan merupakan alat uji apakah seseorang itu telah melalui proses awal penangkapan dan penahanan oleh aparatur penyidik secara sah menurut undang-undang atau satu penahanan dan atau penangkapan yang mengandung cacat.

12

HMA KUFFAL, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Press, 2008), halaman 252.

13

O.C. Kaligis, dkk, Praperadilan Dalam Kenyataan: Studi Kasus Dan Kenyataan, (Jakarta: Djambatan, 1997), halaman X.


(22)

Subyek hukum praperadilan adalah setiap orang yang dirugikan. Objek praperadilan dalam hal untuk sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya yaitu untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.14

Fungsi dan peranan peradilan di dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) merupakan ikon pembaharuan hukum acara pidana model Het Herziene Inlandsch

Reglement (HIR) yang diberlakukan sejak tahun 1941-1942. HIR harus dapat

memperoleh pengakuan dari tersangka mengenai peristiwa yang melibatkan dirinya, dimana pengakuan tersangka merupakan salah satu alat bukti utama dari alat bukti lainnya sehingga terbukti sering terjadi perlakuan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan wewenang pemeriksaan dalam beberapa kasus tindak pidana.15

Lembaga peradilan diharapkan menjadi tempat bagi masyarakat mendapatkan keadilan dan menaruh harapan. Namun, realitanya jauh dari harapan. Justru, pengadilan dianggap sebagai tempat yang berperan penting menjauhkan masyarakat dari keadilan. Harapan akan memperoleh kebenaran dan keadilanpun pupus ketika ditemukan adanya permainan sistematis yang diperankan oleh segerombolan orang yang bernama mafia peradilan. Maka dari itu untuk memperoleh lembaga peradilan

14

Irma Hermawati, ”Sekilas tentang praperadilan”, http://www.profauna.org/suarasatwa/id/2007/02/sekilas_tentang_praperadilan.htm, diakses tanggal 20 April 2010.

15

Romli Atmasasmita, Seminar Nasional: Analisis Atas RUU KUHAP 2009, Peradilan Semu USU, Tanggal 02 Maret 2010.


(23)

yang baik, diperlukan pendekatan terpadu (integrated justice system) dan kemandirian Mahkamah Agung sebagai peradilan 1 (satu) atap, juga mesti memperhatikan nilai-nilai yang diinginkan oleh masyarakat, seperti nilai ketuhanan, keadilan, kebersamaan, kedamaian, ketertiban, kemodrenan, musyawarah, perlindungan hak asasi dan sebagainya. Sehingga lembaga peradilan tersebut dapat sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia.16

Apabila seseorang dikenakan penangkapan dan atau penahanan, dan ia berpendapat bahwa penangkapan/penahanannya dilakukan secara tidak sah yaitu tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang, maka tersangka/terdakwa atau keluarganya atau pihak lain yang dikuasakan yaitu penasehat hukumnya, dapat mengajukan keberatan pada pengadilan negeri melalui praperadilan untuk meminta putusan hakim mengenai sah/tidaknya penangkapan/penahanan atas dirinya. Suatu penahanan dan atau penangkapan yang tidak sah oleh aparatur penyidik berkonsekuensi seorang tersangka dapat menuntut ganti kerugian atau merehabilitasi namanya.

Realitas yang demikian dapat dilihat antara lain terhadap tiga orang dokter yang mempraperadilankan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) terkait penahanan ketiganya atas tuduhan dugaan korupsi pengadaan alat-alat kesehatan di Rumah Sakit Umum Kabanjahe. Adapun yang mendasari sah tidaknya penahanan ketiganya yaitu Pertama, bahwa tidak didasari bukti yang cukup karena Kejaksaan

16

Ediwarman, Pidato Ilmiah: Kritik Tajam Terhadap Dunia Hukum Kita, Kisaran, Tanggal 4 Februari 2006, halaman 2.


(24)

melakukan penahanan tanggal 16 November 2009, Sedangkan pihak kejaksaan baru mendapatkan bukti yang cukup untuk dijadikan dasar penahanan tanggal 2 Desember 2009 sesuai berita acara penyitaan tanggal 2 Desember 2009. Kedua, bahwa selain penahanan dinilai tidak sah, juga penyitaan pada tanggal 2 Desember 2009 yang dilakukan Kejaksaan merupakan pelanggaran terhadap KUHAP, Sebab termohon mengajukan persetujuan penyitaan kepada ketua PN Kabanjahe tanggal 24 November 2009 sebelum penyitaan dilakukan.17

Lembaga praperadilan walaupun berfungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan upaya paksa, namun fungsi pengawasan lembaga yang diberikan undang-undang ini tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini dapat disebabkan karena adanya hambatan-hambatan yang muncul karena maksud dan tujuan pemberlakuan praperadilan itu tidak tercapai dengan baik dan benar, sehingga hak-hak tersangka untuk memperoleh perlindungan hukum masih terabaikan. Adapun hambatan-hambatan yang timbul salah satunya yaitu bolak-baliknya perkara pidana dari penyidik Polri ke Jaksa sehingga hak tersangka untuk memperoleh kepastian hukum telah terabaikan; bahkan sering terjadi bolak baliknya perkara pidana dilatarbelakangi oleh kepentingan pribadi atau kelompok atau politik.

Masyarakat yang mengajukan praperadilan atas sah tidaknya suatu penahanan atau penangkapan, penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh

17

Tiga Tersangka Kasus Korupsi Pengadaan Alkes RSU Kabanjahe Praperadilankan Kejatisu di PN Medan, Sinar Indonesia Baru, Rabu, 20 Januari 2010, halaman 1.


(25)

aparat penegak hukum jarang sekali menang atau bahkan sampai ke pengadilan. Hal ini dapat menyebabkan tidak adanya kepastian hukum terhadap masyarakat sebagai pencari keadilan.

Realita ini dapat dilihat dalam beberapa kasus praperadilan dimana hampir semuanya dimenangkan oleh pihak kepolisian ataupun kejaksaan, salah satunya seperti halnya dalam putusan No. 14/Pra.Pid/2009/PN.Mdn antara Drs. Torkis P. Siahaan melawan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, terkait perihal menahan atau menghentikan berkas perkara secara diam-diam, dimana kasus tersebut dimenangkan oleh pihak kepolisian. Bukan hanya itu putusan No. 29/Pra.Pid/2007/PN.Mdn antara M. Richard Manik, SH melawan Direktur Narkoba Polda Sumatera Utara, terkait perihal penagkapan secara paksa dimana tidak adanya bukti pemula yang cukup serta tidak adanya surat perintah penahanaan serta penggeledahan dari Pengadilan Negeri.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk menyusun penelitian dalam bentuk tesis dengan judul “Eksistensi Praperadilan Dalam Proses Hukum

Perkara Pidana di Pengadilan Negeri Medan”.

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan hukum yang mengatur tentang praperadilan dalam proses


(26)

2. Bagaimana Faktor-faktor penyebab kegagalan pemohon praperadilan dalam proses hukum perkara pidana di Pengadilan Negeri Medan

3. Bagaimana analisis putusan praperadilan dalam praktek hukum perkara pidana.

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengkaji pengaturan hukum yang mengatur tentang praperadilan dalam proses hukum perkara pidana.

2. Untuk mengkaji faktor-faktor penyebab kegagalan pemohon praperadilan dalam proses perkara pidana di Pengadilan Negeri Medan.

3. Untuk mengkaji putusan praperadilan dalam praktek hukum perkara pidana.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya hukum pidana.

2. Secara Praktis

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang diteliti dan disamping itu hasil penelitian ini


(27)

dapat mengungkapkan teori-teori baru serta pengembangan teori-teori yang sudah ada.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada disekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Khususnya Fakultas Ilmu Hukum, ternyata belum ditemukan judul mengenai Eksistensi Praperadilan Dalam Proses Hukum

Perkara Pidana Di Pengadilan Negeri Medan. Oleh karena itu, penulis

berkeyakinan bahwa judul tesis ini dan permasalahan yang diajukan belum pernah diteliti dan dibahas, sehingga dapat dikatakan asli.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.18 Kerangka teoritis dalam penelitian mempunyai beberapa kegunaan, dimana mencakup hal-hal, sebagai berikut19 :

1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

18

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), halaman 27. 19


(28)

2. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi. 3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui

serta diuji kebenarannya yang menyangkut obyek yang diteliti.

4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

5. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

Teori yang akan dijadikan landasan dalam tesis ini adalah teori sistem hukum (Legal System) dan teori sistem peradilan pidana (Criminal Justice System). Dalam teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman, yaitu hukum dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri. Ada tiga komponen utama yang dimiliki sistem hukum yaitu komponen struktural hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance), dan komponen budaya hukum (legal culture). Ketiga komponen tersebut saling menentukan satu sama lainnya, demikian juga saling berpengaruh satu sama lainnya.20 Ketiga komponen dimaksud, diuraikan sebagai berikut21 :

1. Komponen struktural adalah bagian-bagian dari sistem hukum yang bergerak dalam suatu mekanisme. Termasuk dalam komponen ini antara lain lembaga

20

Lawrence M. Friedman, American Law, (New York-London : W.W. Norton & Company, 1984), halaman 7.

21


(29)

pembuat undang-undang, pengadilan, dan lembaga yang diberi wewenang untuk menerapkan hukum serta lembaga yang diberi wewenang untuk melakukan penindakan terhadap pihak yang melanggar ketentuan hukum.

2. Komponen substansi adalah hasil nyata yang diterbitkan oleh sistem hukum. Hasil ini dapat terwujud hukum in concreto atau kaidah hukum khusus dan kaidah hukum in abstracto atau kaidah hukum umum.

3. Komponen budaya hukum diartikan keseluruhan sistem nilai, serta sikap yang mempengaruhi hukum. Pembagian sistem hukum ke dalam tiga komponen ini untuk menganalisis bekerjanya suatu sistem hukum atau sistem hukum yang sedang beroperasi dalam studi tentang hukum dan masyarakat.

Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum merupakan sistem, berarti hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum.22

Selama ini orang memandang hukum itu identik dengan peraturan perundang-undangan, padahal peraturan perundang-undangan itu merupakan salah

22


(30)

satu unsur dari keseluruhan sistem hukum. Sistem hukum itu terdiri dari 7 (tujuh) unsur23 yaitu:

1. Asas-Asas Hukum

2. Peraturan-Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang a. Undang-Undang

b. Peraturan-Peraturan Pelaksanaan Undang-Undangan c. Yurisprudensi Tetap (Case Law)

d. Hukum Kebiasaan

e. Konvensi-Konvensi Internasional f. Asas-Asas Hukum Internasional

3. SDM yang Profesional, bertanggungjawab dan sadar hukum 4. Pranata-Pranata Hukum

5. Lembaga-Lembaga Hukum

6. Sarana dan Prasarana Hukum, seperti :

a. Furnitur dan lain-lain perkantoran, termasuk komputer dan sistem manajemen perkantoran

b. Senjata dan lain-lain peralatan (terutama untuk polisi) c. Kendaraan

d. Gaji

e. Kesejahteraan pegawai / karyawan

7. Budaya hukum yang tercermin oleh prilaku pejabat (eksekutif, legislatif, maupun yudikatif), tetapi juga prilaku masyarakat yang di Indonesia cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar dibuktikan seorang tersangka atau Tergugat benar-benar bersalah.

Dari uraian unsur-unsur sistem hukum tersebut diatas apabila salah satu unsur saja tidak memenuhi syarat, maka seluruh sistem hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya atau apabila salah satu unsur saja berubah maka seluruh sistem juga ikut berubah, atau dengan kata lain perubahan undang-undang saja tidak akan membawa perbaikan apabila tidak disertai perubahan yang searah dibidang peradilan,

23

C.F.G. Sunaryati Hartono, Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, halaman 227.


(31)

rekrutmen dan pendidikan hukum, reorganisasi birokrasi penyelarasan proses dan mekanisme kerja, sarana dan prasarana serta budaya dan prilaku hukum masyarakat.

Sistem hukum Indonesia sebagai suatu sistem aturan yang berlaku di negara Indonesia adalah sistem aturan yang sedemikian rumit dan luas, yang terdiri atas unsur-unsur hukum, dimana diantara unsur hukum yang satu dengan yang lain saling bertautan, saling mempengaruhi serta saling mengisi, Oleh karenanya tidak bisa dipisahkan dari yang lain.24

Sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum yang terdiri dari substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Ketiga hal tersebut menjadi komponen hukum yang berfungsi menggerakkan mesin dalam suatu pabrik dimana satu saja komponen pendukung tidak berfungsi, maka mesin mengalami kepincangan.25 Struktur hukum yang terkait dengan sistem peradilan pidana diwujudkan melalui para aparat penegak hukum yang meliputi polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan dan advokat.

Aparat penegak hukum merupakan bagian dari struktur hukum. Betapapun sempurnanya substansi hukum tanpa penegakan hukum, maka sistem hukum tidak berjalan. Sistem hukum harus ditegakkan oleh aparatur penegak hukum yang bersih, berani serta tegas. Aparatur penegak hukum yang tidak bersih atau korup dapat mengakibatkan krisis kepercayaan para warga terhadap hukum.

24

Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), halaman 39.

25


(32)

Menurut Soejono Soekanto mengatakan bahwa hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan, jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. 26

Istilah criminal justice system atau sistem peradilan pidana menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Menurut Remington dan Ohlin menyatakan bahwa:

”criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem

Menurut Mardjono, sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. Tujuannya sebagai berikut:

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

27

terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.”

28

26

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983), halaman 5.

27

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, (Bandung: Binacipta, 1996), halaman 14. 28


(33)

Adapun ciri pendekatan sistem dalam peradilan pidana menurut Romli Atmasasmita,29 yaitu:

a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan).

b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana.

c. Efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara.

d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk menetapkan the administration

of justice.

Hukum Acara Pidana adalah hukum pidana yang mengatur tata cara menegakkan hukum pidana material. Artinya, apabila terjadi pelanggaran hukum pidana material, maka penegakannya menggunakan hukum pidana formal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum acara pidana merupakan hukum yang mengatur tentang bagaimana para penegak hukum serta masyarakat (yang terpaksa berurusan pidana) beracara di muka pengadilan.30

Salah satu asas terpenting dalam hukum acara pidana ialah asas presumption

of innocent (praduga tidak bersalah). Asas praduga tidak bersalah yaitu bahwa dalam

proses peradilan pidana tersangka/terdakwa wajib mendapat hak-haknya yaitu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di depan

29

Romli Atmasasmita, Op. Cit., halaman 10. 30


(34)

pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sebagai seseorang yang belum dinyatakan bersalah maka ia mendapat hak-hak seperti: hak untuk segera mendapat pemeriksaan dalam tahap penyidikan, hak segera mendapat pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapat putusan seadil-adilnya, hak untuk diberitahu tentang apa yang disangkakan/didakwakan kepadanya dengan bahasa yang dimengerti olehnya, hak untuk menyiapkan pembelaannya, hak untuk mendapat juru bahasa, hak untuk mendapatkan bantuan hukum dan hak untuk mendapatkan kunjungan keluarganya.31

Seseorang apabila dikenakan penangkapan dan atau penahanan, dan ia berpendapat bahwa penangkapan/penahanannya dilakukan secara tidak sah yaitu tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang, maka tersangka/terdakwa atau keluarganya atau pihak lain yang dikuasakan yaitu penasehat hukumnya, dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri melalui praperadilan untuk meminta putusan hakim mengenai sah/tidaknya penangkapan/penahanan atas dirinya. Selain itu, pihak pelapor dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri melalui praperadilan, bila perkara tindak pidana yang dilaporkan dihentikan penyidikan atau penuntutan untuk mendapatkan putusan hakim mengenai sah/tidaknya penhentian penyidikan atau penuntutan.

Praperadilan tidak hanya menyangkut sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, atau tentang sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan,

31


(35)

atau tentang permintaan ganti rugi atau rehabilitasi, akan tetapi upaya praperadilan dapat dilakukan terhadap adanya kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat pembuktian, atau seseorang yang dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, atau akibat adanya tindakan lain yang menimbulkan kerugian sebagai akibat pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.32

Sejauh ini kita kenal praperadilan sering dilakukan oleh tersangka atau keluarga tersangka melalui kuasa hukumnya dengan cara melakukan gugatan/permohonan praperadilan terhadap pihak kepolisian atau terhadap pihak kejaksaan ke pengadilan negeri setempat, yang substansi gugatannya mempersoalkan tentang sah tidaknya penangkapan atau sah tidaknya penahanan atau sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Namun sesungguhnya praperadilan secara hukum dapat juga dilakukan pihak kepolisian terhadap kejaksaan, begitu juga sebaliknya, dimana tertuang dalam Pasal 77 s/d Pasal 83 KUHAP yang mengatur tentang praperadilan tidak hanya memberikan hak kepada tersangka atau keluarganya untuk mempraperadilankan kepolisian dan kejaksaan, namun pasal tersebut juga memberikan hak kepada kepolisian untuk mempraperadilankan kejaksaan dan memberi hak kepada kejaksaan untuk mempraperadilankan kepolisian.33

32

M. Sofyan Lubis, “Praperadilan Dalam KUHAP”, http://www.Kantorhukum-lhs.com/details_artikel_hukum.php?id=5, diakses tanggal 20 April 2010.

33 Ibid.


(36)

Realita yang demikian dapat dilihat antara lain, Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan mempraperadilankan Polda Kalimantan Selatan terkait penangkapan, penahanan serta penggeledahan atas 0,56 gram sabu-sabu yang semula diamankan Polda Kalimantan Selatan sebagai barang bukti di pengadilan. Dimana barang bukti tersebut dibawa pulang ke rumah oleh jaksa mukhyar dengan alasan tidak ada tempat penitipan barang bukti. Padahal menurut ketentuan, benda sitaan harus disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara dan tanggung jawab atas benda sitaan tersebut ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, sehingga benda yang menjadi barang bukti tersebut dilarang dipergunakan oleh siapapun juga dan dengan alasan apapun tidak diperkenankan disimpan dirumah karena apabila barang bukti tersebut sampai disimpan dirumah maka yang harus bertanggung jawab adalah instansi Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan.34

Praperadilan juga dapat dilakukan pihak kepolisian kepada kejaksaan jika suatu perkara telah dinyatakan cukup bukti oleh pihak kejaksaan dan/atau suatu perkara tersebut telah dilimpahkan dari kepolisian kepada kejaksaan, namun ditengah jalan tiba-tiba kejaksaan mengeluarkan SP3 (Surat Penetapan Penghentian Penuntutan), maka demi tegaknya hukum dan keadilan pihak kepolisian dapat mempraperadilankan pihak kejaksaan ke pengadilan negeri. Namun, realita yang demikian jarang sekali terjadi, dimana masing-masing pihak berusaha saling menjaga

34

Denny Kailimang, “Fenomena Kejaksaan Tinggi Praperadilankan Polda”, http://www.kemitraan.or.id/newsroom/media-news/fenomena-kejaksaan-tinggi-praperadilankan-polda/lang-pref/id/, diakses tanggal 15 Mei 2010.


(37)

hubungan baik atas dasar pertimbangan rasa segan sesama aparat dan/atau adanya rasa saling membutuhkan dalam sistem kerja dan/atau adanya rasa saling pengertian.35

Apabila kondisi ini dibiarkan terus tanpa adanya upaya untuk memperbaiki antar sesama penegak hukum agar tercipta budaya saling kontrol, maka hal ini dapat menganggu upaya penegakan supremasi hukum di negara kita ini.

Dalam era supremasi hukum ini kepolisian harus berani mempraperadilankan pihak kejaksaan jika suatu perkara yang telah dinyatakan cukup bukti ternyata perkara tersebut tidak jadi dilimpahkan ke pengadilan, begitu juga sebaliknya, kejaksaan harus berani mempraperadilankan pihak kepolisian jika secara tiba-tiba pihak kepolisian mengeluarkan SP3 (Surat Penetapan Pengehentian Penuntutan) terhadap suatu perkara yang telah dinyatakan memenuhi syarat untuk dilakukan penuntutan.

Persoalan praperadilan telah menjadi bagian dari tugas dan wewenang pengadilan negeri yang tidak boleh ditangani oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan lain. Hanya saja yang perlu diperhatikan, bahwa proses acara praperadilan bukanlah sebagian dari tugas memeriksa dan memutuskan (mengadili) perkara tindak pidananya itu sendiri, sehingga putusan praperadilan bukanlah merupakan tugas dan fungsi untuk menangani suatu tindak pidana (pokok) yang berupa memeriksa dan memutus perkara tindak pidana yang berdiri sendiri sebagai putusan akhir. Dengan

35

Sofyan Lubis, “Upaya praperadilan”, http://sofyanlubis.blogspot.com/2009_12_01_archive.html, diakses tanggal 15 Mei 2010.


(38)

demikian, putusan praperadilan walaupun mencakup sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan juga bukan merupakan atau yang dapat digolongkan sebagai putusan akhir walaupun dapat dimintakan banding.36

Putusan akhir mengenai hal tersebut ada pada pengadilan tinggi. Oleh karenanya, apapun yang diputus oleh praperadilan adalah yang khas, spesifik, dan mempunyai karakter sendiri, sebab hakim hanya mempunyai tugas dan wewenang sebagai sarana pengawasan secara horizontal demi penegakan hukum, keadilan dan kebenaran. Sifat ataupun fungsi praperadilan yang khas, spesifik dan karakteristik tersebut akan menjembatani pada usaha pencegahan tindakan upaya paksa sebelum seseorang diputus oleh pengadilan, pencegahan atau tindakan yang melanggar hak asasi tersangka atau terdakwa, agar segala sesuatunya berjalan atau berlangsung sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan aturan main.

2. Kerangka Konsepsi

Kerangka konsepsi merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti. Konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Kerangka konsep ini digunakan untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun kerangka konsep sehubungan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

36


(39)

a. Eksistensi adalah Keberadaan.

b. Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

2. Sah atau tidaknya penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. c. Perkara Pidana adalah delik yang merupakan objek pemeriksaan peradilan

pidana.

d. Pengadilan Negeri adalah badan yang berwenang mengadili perkara pada tingkat pertama.

e. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

f. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.


(40)

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian mengenai Eksistensi Praperadilan Dalam Proses Hukum Perkara Pidana Di Pengadilan Negeri Medan merupakan penelitian hukum normatif, yaitu lebih menitikberatkan kepada asas-asas hukum dan sinkronisasi terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang permasalahan yang diteliti, apakah telah sejalan dengan undang-undang atau tidak.

2. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

a. Pendekatan Kasus (Case Approach),37 dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap.

b. Pendekatan Konseptual (Copceptual Approach),38 dilakukan dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, yang akan menemukan ide-ide yang dapat melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.

37

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), halaman 94. 38


(41)

3. Sumber Data

Penelitian ini mempunyai sumber data yang terdiri atas:

a. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan.39

b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, dan hasil simposium mutahir yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.40

c. Bahan hukum tersier, adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Misalnya kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.41

4. Prosedur Pengambilan Data dan Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dilaksanakan dua tahap penelitian :

a. Studi Kepustakaan.

Studi kepustakaan ini untuk mencari konsep-konsep, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan tersebut dapat berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah para sarjana dan lain-lain.

39

Jhony Ibrahim, Teori Dan Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publising, 2006), halaman 295.

40 Ibid 41

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), halaman 33.


(42)

b. Studi Lapangan.

Studi lapangan adalah cara memperoleh data yang bersifat primer. Hal ini akan diusahakan untuk memperoleh data-data dengan mengadakan tanya jawab (wawancara) dengan penegak hukum. Pada wawancara ini yang akan dijadikan sumber informan akan dipilih dari institusi kepolisian, kejaksaan, hakim pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Medan, Lembaga Profesi Advokat, serta pakar hukum sebagai kelompok masyarakat yang berdasarkan profesi yang terdapat di Kota Medan.

5. Analisis Data

Setelah pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisa secara

kualitatif42 yakni dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.

42

Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), halaman 10.


(43)

BAB II

PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR TENTANG

PRAPERADILAN DALAM PROSES HUKUM

PERKARA PIDANA

A. Sejarah Pengaturan Praperadilan

Lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari adanya hak

Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan

fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan.43 Habeas

Corpus Act memberikan hak pada seseorang untuk melalui suatu surat perintah

pengadilan menuntut (menantang) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi ataupun jaksa) membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia.

Surat perintah Habeas Corpus ini dikeluarkan oleh pengadilan pada pihak yang sedang menahan (polisi atau jaksa) melalui prosedur yang sederhana langsung dan terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh siapapun. Bunyi surat perintah Habeas

43

Adnan Buyung Nasution, Praperadilan VS Hakim Komisaris : Beberapa Pemikiran Mengenai Keberadaan Keduanya, http://www.legalitas.org/content/pra-peradilan- vs - hakim – komisaris – beberapa – pemikiran – mengenai – keberadaan - keduanya, diakses tanggal 25 Mei 2010.


(44)

Corpus (the writ of habeas corpus) adalah sebagai berikut: “Si tahanan berada dalam

penguasaan Saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukan alasan yang menyebabkan penahanannya”.

Surat perintah pengadilan yang berisikan hak Habeas Corpus tersebut tidak hanya ditujukan untuk kepada penahanan yang terkait dalam proses peradilan pidana saja, namun juga terhadap segala bentuk penahanan yang dianggap telah melanggar hak kemerdekaan pribadi seseorang yang telah dijamin oleh konstitusi.44 Dalam perkembangannya surat perintah Habeas Corpus menjadi salah satu alat pengawasan serta perbaikan terhadap proses pidana baik di tingakat federal maupun di negara bagian di Amerika Serikat.

Prinsip dasar Habeas Corpus inilah yang memberikan inspirasi untuk menciptakan suatu forum yang memberikan hak dan kesempatan kepada seseorang yang sedang menderita karena dirampas atau dibatasi kemerdekaannya untuk mengadukan nasibnya sekaligus menguji kebenaran dan ketetapan dari tindakan kekuasaan berupa penggunaan upaya paksa (dwang middelen), baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-surat yang diberlakukan oleh pihak kepolisian ataupun kejaksaan ataupula kekuasaan lainnya. Prinsip dasar Habeas Corpus memunculkan gagasan lembaga praperadilan yang

44

Indira Putiet, Perbandingan Praperadilan, Habeas Corpus dan rechter Commisarie, http://one.indoskripsi.com/node/10432, diakses tanggal 10 Agustus 2010.


(45)

memberikan perlindungan kepada terdakwa/tersangka terhadap upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum. 45

Sistem peradilan menganut asas praduga tidak bersalah, namun tetap pada kenyataan dalam mencari pembuktian terhadap orang yang baru disangka atau diduga melakukan tindak pidana, pihak penyidik atau penuntut umum seringkali langsung saja menggunakan upaya paksa tanpa dipenuhinya syarat-syarat formil terutama syarat-syarat materiil dalam hal penangkapan maupun penahanan.

Lembaga Praperadilan muncul didalam KUHAP pada Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP. Ketentuan yang menjadi dasar praperadilan tersebut diatur dalam Pasal 9 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman, yaitu:

(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. (2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam Undang-Undang.

Penjabaran Pasal 9 UU No. 48 Tahun 2009 ini diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 83 KUHAP, dan dihubungkan dengan Pasal 95 ayat (2) KUHAP. Dalam KUHAP,

45

Akbar, MF, Perkuat Lembaga Praperadilan daripada Konsep Hakim Komisaris, http://kampus.okezone.com/read/2010/05/18/95/333714/95/perkuat-lembaga-praperadilan-daripada-konsep-hakim-komisaris., diakses tanggal 10 Agustus 2010.


(46)

praperadilan diatur dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP yang pada pokoknya mengatur sebagai berikut: Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :

1. Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan, demi tegaknya hukum dan keadilan;

3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Lembaga Praperadilan muncul didalam KUHAP pada Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP, dan bagi seorang tersangka/terdakwa mengetahui dengan jelas hak-hak mereka dan batas-batas wewenang aparat penegak hukum dalam melaksanakan upaya paksa yang dapat mengurangi hak asasinya.

Ada beberapa perbedaan mendasar antara habeas corpus dengan lembaga praperadilan, yaitu:46

1. Pada praperadilan, hakim yang mengadili perkara praperadilan memeriksa sebelum sidang biasa di pengadilan, sedangkan habeas corpus, hakim yang memeriksa adalah hakim di pengadilan dalam sidang biasa.

2. Dalam praperadilan, kewenangannya terbatas pada menguji keabsahan suatu penangkapan dan penahanan yang dilakukan sehubungan dengan upaya paksa

46

Loebby Loqman, Pra-Peradilan Di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1987), halaman 56.


(47)

dalam hukum acara pidana, sedangkan habeas corpus, lebih luas dalam arti permohonan dikeluarkannya surat perintah habeas corpus ditujukan kepada instansi manapun yang melakukan penangkapan dan penahanan.

B. Praperadilan Menurut HIR

Secara historis, sebelum berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau dikenal dengan Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada tanggal 31 Desember 1981, maka hukum acara pidana sebagai pedoman untuk peradilan umum adalah HIR (Het Herziene Indonesisch

Reglement) Stb. Tahun 1941 Nomor 44 yang merupakan produk hukum pada masa

kolonial dengan berbagai multi aspek pada zamannya, dimana didalamnya terdapat beberapa kendala, kelemahan, kekurangan serta menguntungkan pihak penguasa, bahkan khususnya mengabaikan perlindungan akan hak asasi manusia, ketidakpastian hukum dan keadilan. Misalnya, ketidakpastian tentang tindakan pendahuluan dalam proses hukumnya dalam hal penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, hak-hak dan status tersangka, terdakwa, bantuan hukum, lamanya serta ketidakpastian dalam proses penyelesaian perkara pada semua tingkat pemeriksaan dan sebagainya.

HIR diciptakan dalam suasana kolonial Belanda, yang pada dasarnya produk hukum serta perangkat-perangkat sarananya dibentuk sedemikian rupa sehingga menguntungkan pihak yang berkuasa, dalam hal ini penjajah. Berhubungan dengan perkembangan dan kemajuan zaman yang semakin moderen serta didasari pada perkembangan era kemerdekaan negara RI, sistem yang dianut HIR dirasakan telah ketinggalan zaman, tidak sesuai lagi dengan cita-cita hukum nasional dan diganti


(48)

dengan undang-undang hukum acara pidana baru yang mempunyai ciri kodifikasi dan unifikasi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.47

Pada masa HIR, pengawasan dan penilaian terhadap proses penangkapan dan penuntutan sama sekali tidak ada. Pada masa itu yang ada hanya pengawasan oleh hakim, dalam hal perpanjangan waktu penahanan sementara yang harus disetujui hakim.48 Namun, dalam kenyataannya kontrol hakim ini kurang dirasakan manfaatnya, karena tidak efektif mengingat urusan perpanjangan penahanan oleh hakim itu bersifat tertutup dan semata-mata dianggap urusan birokrasi.

C. Praperadilan Menurut KUHAP

Ditinjau dari aspek historis yuridis, Sejak berdirinya Negara Hukum Republik Indonesia, perundang-undangan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia adalah hukum acara pidana warisan pemerintahan kolonial Belanda yang terkenal dengan nama HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement).

Ketentuan hukum acara pidana yang diatur dalam HIR dirasakan tidak sesuai dengan jiwa dan cita-cita hukum yang terkandung dalam dasar Negara Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan penjabarannya telah dituangkan dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Berdasarkan UUD 1945 Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum (rechtsstaat/constitusional/state) yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) serta menjamin segala warga negara

47

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), halaman 7.

48


(49)

bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang dirasakan kurang menghargai hak asasi manusia yang diatur dalam HIR, maka Pemerintah RI bersama-sama DPR-RI berupaya melakukan pembaharuan hukum acara pidana dengan mencabut HIR dan menggantikannya dengan Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan perumusan pasal-pasal dan ayat-ayat yang menjamin pemberian perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dengan demikian KUHAP hadir menggantikan Het

Herziene Inlandsch Reglement (HIR) sebagai payung hukum acara di Indonesia. 49

Kehadiran KUHAP dimaksudkan oleh pembuat undang-undang untuk “mengoreksi” pengalaman praktek peradilan masa lalu yang tidak sejalan dengan penegakan hak asasi manusia di bawah aturan HIR, sekaligus memberi legalisasi hak asasi kepada tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum. 50

KUHAP telah menggariskan aturan yang melekatkan integritas harkat harga diri kepada tersangka atau terdakwa, dengan jalan memberi perisai hak-hak yang sah kepada mereka. Pengakuan hukum yang tegas akan hak asasi yang melekat pada diri mereka, dimana merupakan jaminan yang menghindari mereka dari perlakuan sewenang-wenang. Misalnya KUHAP telah memberi hak kepada tersangka atau

49

HMA Kuffal, Op.Cit., halaman 253 50

A. Samsan Nganro, Praktik Penerapan KUHAP dan Perlindungan HAM,

http://anggara.org/2006/10/16/praktik-penerapan-kuhap-dan-perlindungan-ham/, diakses


(50)

terdakwa untuk segera mendapat “pemeriksaan” pada tingkat penyidikan maupun putusan yang seadil-adilnya, juga memberi hak untuk memperoleh “bantuan hukum” pemeriksaan pengadilan.

Terhadap “pembatasan” jangka waktu setiap tingkat pemeriksaan mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan dan penangkapan dan penahanan, ditentukan secara limitatif bagi semua instansi dalam setiap tingkat pemeriksaan. Bahkan untuk setiap penangkapan atau penahanan yang dikenakan, wajib diberitahukan kepada keluarga mereka. Dengan demikian tersangka atau terdakwa maupun keluarga mereka, akan mendapat kepastian atas segala bentuk tindakan penegakan hukum. Ini sejalan dengan tujuan KUHAP sebagai sarana pembaruan hukum, yang bermaksud hendak melenyapkan kesengsaraan masa lalu.

Lahirnya hukum acara pidana nasional yang moderen sudah lama didambakan oleh semua orang. Masyarakat menghendaki hukum acara pidana yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dan selaras dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. KUHAP boleh dikatakan telah membangkitkan optimisme harapan yang lebih baik dan manusiawi dalam pelaksanaan penegakan hukum.

Upaya untuk menjamin agar ketentuan-ketentuan dalam KUHAP tersebut dapat terlaksana sebagaimana yang dicita-citakan, maka didalam KUHAP diatur lembaga baru dengan nama praperadilan sebagai pemberian wewenang tambahan kepada pengadilan negeri untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan penggunaan upaya paksa (penangkapan, penahanan,


(51)

penggeledahan, penyitaan dan lain-lain) yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum.51

Lembaga praperadilan diperkenalkan KUHAP dalam penegakan hukum dan bukan sebagai lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Serta bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu perkara pidana. Lembaga praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya: 52

a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada setiap pengadilan negeri, dimana praperadilan ini hanya dijumpai pada tingkat pengadilan negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari dan dengan pengadilan yang bersangkutan.

b. Dengan demikian, praperadilan bukan berada di luar atau disamping maupun sejajar dengan pengadilan negeri.

c. Administratif yustisial, personal teknis, peralatan dan finansialnya takluk dan bersatu dengan pengadilan negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.

d. Tatalaksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial pengadilan negeri itu sendiri.

51

HMA Kuffal, Op.Cit, halaman 253. 52

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Jilid II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), halaman 1.


(52)

Dengan demikian, eksistensi atau keberadaan dan kehadiran praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri tetapi hanya merupakan pemberian wewenang baru dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri, sebagai wewenang dan fungsi tambahan terhadap wewenang dan fungsi pengadilan negeri yang telah ada selama ini. Kalau selama ini wewenang dan fungsi pengadilan negeri mengadili dan memutus perkara pidana dan perkara perdata sebagai tugas pokok, maka terhadap tugas pokok tadi ditambahkan tugas sampingan untuk menilai sah atau tidaknya penahanan, penyitaan atau penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum, yang wewenang pemeriksaannya diberikan kepada praperadilan.

Fungsi dan peranan praperadilan didalam KUHAP merupakan ikon pembaharuan hukum acara pidana model Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR). HIR tidak mengatur bagaimana seseorang tersangka seharusnya dilindungi dari proses pemeriksaan penyidik ketika ditetapkan sebagai tersangka. Penyidik menurut HIR harus dapat memperoleh pengakuan dari tersangka mengenai peristiwa yang melibatkan dirinya, dimana pengakuan tersangka merupakan salah satu alat bukti utama dari alat bukti lainnya sehingga terbukti sering terjadi perlakuan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan wewenang pemeriksa dalam beberapa kasus tindak pidana.53

53

Romli Atmasasmita, Seminar Nasional: Analisis Atas RUU KUHAP 2009, Peradilan Semu USU, Tanggal 02 Maret 2010.


(53)

Secara filosofi praperadilan ini merupakan suatu bentuk implementasi respon masyarakat terhadap langkah-langkah yang dilakukan oleh negara/pemerintah. Dalam hal ini sistem peradilan pidana sebagai sarana bagi masyarakat yang dirugikan hak-haknya melakukan upaya hukum untuk memperjuangkan keadilan.

Lembaga praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP sebenarnya identik dengan lembaga pre trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip

Habeas Corpus yang pada dasarnya menjelaskan bahwa didalam masyarakat yang

beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang.54 Menurut Adnan Buyung Nasution, terdapat beberapa kelebihan yang berkenaan dengan keberadaan lembaga praperadilan ini, yaitu:55

Pertama, Sidang praperadilan yang diadakan atas permintaan tersangka atau

terdakwa ataupun keluarganya atau pula atas kuasanya merupakan suatu forum yang terbuka. Yang dipimpin seorang hakim atau lebih untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum yang telah melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan tindakannya dimuka forum yang bersangkutan, apakah benar-benar beralasan dan berlandaskan hukum. Dengan sistem pengujian melalui sidang terbuka ini, maka tersangka atau terdakwa seperti halnya dalam Habeas

Corpus Art, dijamin hak asasinya berupa hak dan upaya hukum untuk melawan

perampasan atau pembatasan kemerdekaan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik ataupun penuntut umum. Dalam forum itu penyidik atau penuntut

54

Luhut M.P. Pangaribuan, Op.Cit., halaman 41. 55


(54)

umum wajib membuktikan bahwa tindakannya sah dan tidak melanggar hukum. Untuk keperluan tersebut tentu saja pihak penyidik ataupun penuntut umum harus membuktikan bahwa dia memiliki semua syarat-syarat hukum yang diperlukan, baik berupa syarat-syarat formal maupun materiil, seperti misalnya surat perintah penangkapan atau penahanan, adanya dugaan keras telah melakukan tindak pidana yang didukung oleh bukti permulaan yang cukup, ataupun dalam hal penahanan dengan alasan yang nyata dan konkrit bahwa si pelaku akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau menggulangi kejahatannya.

Kedua, melalui forum praperadilan ini juga dipenuhi syarat keterbukaan

(transparancy) dan akuntabilitas publik (public accountabiliti) yang merupakan syarat-syarat tegaknya sistem peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas publik ini maka dapat dicegah timbulnya praktek-praktek birokrasi yang tertutup dan sewenang-wenang dalam menahan orang ataupun memperpanjang penahanan juga dapat dicegah terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam proses membebaskan penahanan. Melalui forum terbuka ini masyarakat dapat ikut mengontrol jalannya proses pemeriksaan dan pengujian kebenaran dan ketepatan tindakan penyidik maupun penuntut umum dalam menahan seseorang ataupun dalam hal pembebasan, mengontrol alasan-alasan dan dasar hukum hakim praperadilan yang memerdekakannya.

Dengan demikian, keberadaan lembaga praperadilan didalam KUHAP ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang sekaligus


(55)

berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horizontal, atau dengan kata lain, praperadilan mempunyai maksud sebagai sarana pengawasan horizontal dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia terutama hak asasi tersangka dan terdakwa.56 Perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia tersebut sudah merupakan hal yang bersifat universal dalam setiap negara hukum. Karena pengakuan, jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah salah satu essensi pokok yang menjadi dasar legalitas suatu negara hukum.

Pada dasarnya, asas-asas yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak asasi atau keluhuran harkat dan martabat manusia telah dituangkan/diatur dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 jo UU No. 35 tahun 1999 jo UU no. 4 tahun 2004 jo UU No. 48 tahun 2009 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman atau UU Kekuasaan Kehakiman akan tetapi baru setelah sebelas tahun kemudian asas-asas tersebut dapat dituangkan dalam KUHAP dan dijabarkan menjadi 10 asas yaitu:57

a. Asas equality before the law : Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di

muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.

b. Asas legalitas dalam upaya paksa : Penangkapan, penahanan, penggeledahan

dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang.

56

HMA Kuffal, Op.Cit., halaman 253. 57


(56)

c. Asas presumption of innocence : Setiap orang yang disangka, ditangkap,

ditahan, dituntut dan/atau dihadapan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

d. Asas remedy and rehabilitation : Kepada seorang yang ditangkap, ditahan,

dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan/atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.

e. Asas fair, impartial, impersonal, and objective : Peradilan harus dilakukan

dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. f. Asas legal assistance : setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi

kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.

g. Miranda Rule : Kepada seseorang tersangka, sejak saat dilakukan

penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahukan haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum.


(57)

h. Asas presentasi : Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya

terdakwa.

i. Asas keterbukaan : Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk

umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang.

j. Asas pengawasan : Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam

perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan. Asas-asas ini dimaksudkan untuk melindungi tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum, baik pada pemeriksaan permulaan, penuntutan maupun dipersidangan pengadilan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Hukum Pidana kita hendaknya menjunjung tinggi hak asasi manusia, sekalipun terhadap seseorang yang didakwa telah melakukan suatu tindak pidana. Bukan berarti terhadap seseorang yang disangka ataupun didakwa telah melakukan suatu tindak pidana diberikan haknya sedemikian rupa seperti halnya seseorang yang tidak tersangkut suatu tindak pidana, akan tetapi meskipun akan dilaksanakan tindakan-tindakan tertentu bagi mereka yang disangka maupun didakwa telah melakukan tindak pidana, hendaknya pelaksanaan tindakan-tindakan tersebut tidak sewenang-wenang, akan tetapi menuruti apa yang telah ditentukan undang-undang.

Apabila diperinci maka wewenang hakim dalam praperadilan adalah sebagai berikut:58

1. Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penangkapan.

58


(58)

Pada Pasal 1 butir 20 KUHAP, yang dimaksud dengan penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Sebagaimana juga tertera dalam Pasal 17 KUHAP, maka penangkapan terhadap seorang yang diduga keras melakukan suatu tindak pidana, haruslah berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Hal ini sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 17 KUHAP yang menyatakan bahwa: “Yang dimaksud bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan Pasal 1 Butir 14 KUHAP.” Pada pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

Maka berdasarkan bunyi pasal tersebut, syarat materiil dari suatu penangkapan adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup. Jadi meskipun hakim praperadilan hanya berfungsi sebagai examinating judge saja, maka dalam meng ‘examinasi’ sahnya suatu penangkapan haruslah juga dilihat dasar dilakukannya suatu penangkapan, yakni adanya bukti permulaan yang cukup.

Dasar dilakukannya suatu penangkapan haruslah mendapat perhatian khusus, karena sesuai dengan penjelasan dari Pasal 17 KUHAP, bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.


(1)

mengabulkannya sehingga terhadap aparat penegak hukum yang melakukan kesalahan dalam hal penangkapan/penahanan dapat dikenakan sanksi.

3. Perlunya perbaikan pembaharuan tentang ketentuan Undang-Undang khususnya KUHAP yang mengatur tentang praperadilan dengan dasar setiap kasus yang ditolak tidak dibenarkan untuk mengajukan kembali maupun banding, kasasi dan peninjauan kembali, guna untuk menerapkan peradilan yang cepat dan biaya murah.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdussalam, R. dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Restu Agung, 2007.

Adji, Indriyanto Seno, Penyiksaan dan HAM dalam Perspektif KUHAP, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998.

Ali, Zainuddin, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Anwar, Yesmil dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Bandung: Widya Padjajaran, 2009.

---, Saat Menuai Kejahatan Sebuah Pendekatan Sosiokultural,

Kriminologi, Hukum, dan HAM, Bandung: Refika Aditama, 2009.

Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana, Bandung: Binacipta, 1996., Bisri, Ilhami, Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004. Chaerudin, dkk., Strategi Pencegahan & Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi,

Bandung: Refika Aditama, 2008.

Friedmann, Lawrence M., The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russel Sage Fourdation, 1975.

---, American Law, New York-London : W.W. Norton & Company, 1984.

Hamzah, Jur. Andi, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Jilid II, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Hikmahanto Juwana, “Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia”, dalam Gagasan dan Pemikiran Tentang Pembaruan Hukum Nasional, Vol. II Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2003.


(3)

Ibrahim, Jhony, Teori Dan Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publising, 2006.

Kaligis, O.C. dkk, Praperadilan Dalam Kenyataan: Studi Kasus Dan Kenyataan, Jakarta: Djambatan, 1997

KUFFAL, HMA Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang: UMM Press, 2008.

Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu

Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Loqman, Loebby, Pra-Peradilan Di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1987. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994.

Manan, Bagir Sistim Peradilan Berwibawa (Suatu Pengantar), Yogyakarta: FH UII Press, 2005.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2006

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2002.

Pangaribuan, Luhut M.P. Hukum Acara Pidana, Jakarta: Djambatan, 2008. Rahardjo, Satjipto, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas, 2007. ---, Ilmu hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

Rasjidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Salam, Moch. Faisal, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2001.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.


(4)

---, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, 1983.

Soeparmono, R., Praperadilan Dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian

Dalam KUHAP, Bandung : Mandar Maju, 2003.

Susanto, Anthon F. Wajah Peradilan Kita, Bandung: Refika Aditama, 2004.

Sunggono, Bambang, Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Syahrin, Alvi, Beberapa Masalah Hukum, Medan: PT. Sofmedia, 2009.

Tanubroto, S., Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, Bandung: Alumni, 1983.

B. Makalah, Surat Kabar Dan Situs Internet

Brigjen Pol. DR. RM. Panggabean, SH., MH, Seminar Nasional: Rancangan

Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dalam Perspektif penyidik Polri,

Peradilan Semu USU, Tanggal 02 Maret 2010.

C.F.G. Sunaryati, Hartono, Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca

Tahun 2003, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN,

Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, halaman 227.

Ediwarman, Pidato Ilmiah: Kritik Tajam Terhadap Dunia Hukum Kita, Kisaran, Tanggal 4 Februari 2006.

---, Monograf: Sejarah Hukum, Program Pascasarjana Universitas Islam

Riau,: Pekan Baru, 2009.

Romli Atmasasmita, Seminar Nasional: Analisis Atas RUU KUHAP 2009, Peradilan Semu USU, Tanggal 02 Maret 2010.

Suwarto, Seminar Nasional: Beberapa Pemikiran Terhadap RUU KUHAP (Upaya

Paksa dan ganti Kerugian Terhadap Korban), Peradilan Semu USU, Tanggal


(5)

Tiga Tersangka Kasus Korupsi Pengadaan Alkes RSU Kabanjahe Praperadilankan Kejatisu di PN Medan, Sinar Indonesia Baru, Rabu, 20 Januari 2010.

Dwi AP, Mencermati Konsep Hakim Komisaris Dalam RUU KUHAP, http://www.endradharmalaksana.com/content/view/232/46/lang, indonesia/, diakses tanggal 28 Juli 2010.

Adnan Buyung Nasution, Praperadilan VS Hakim Komisaris : Beberapa Pemikiran

Mengenai Keberadaan Keduanya,

http://www.legalitas.org/content/pra-peradilan- vs - hakim – komisaris – beberapa – pemikiran – mengenai – keberadaan - keduanya, diakses tanggal 25 Mei 2010.

Akbar, MF, Perkuat Lembaga Praperadilan daripada Konsep Hakim Komisaris, http://kampus.okezone.com/read/2010/05/18/95/333714/95/perkuat-lembaga-praperadilan-daripada-konsep-hakim-komisaris., diakses tanggal 10 Agustus 2010.

A. Samsan Nganro, Praktik Penerapan KUHAP dan Perlindungan HAM, http://anggara.org/2006/10/16/praktik-penerapan-kuhap-dan-perlindungan-ham/, diakses tanggal 10 Agustus 2010.

Denny Kailimang, “Fenomena Kejaksaan Tinggi Praperadilankan Polda”, http://www.kemitraan.or.id/newsroom/media-news/fenomena-kejaksaan-tinggi-praperadilankan-polda/lang-pref/id/, diakses tanggal 15 Mei 2010. Essensi hukum praperadilan, http://www.kr.co.id/web/detail.php? sid=171008&actmenu=42,

diakses tanggal 10 Agustus 2010.

Fahroji, Ikhwan, Pembaharuan Praperadilan dan Pemberantasan Mafia-Hukum, Majalah Desain Hukum: Hakim Komisaris Melawan Kesewenang-wenangan Hukum , tanggal 4 Mei 2010, halaman 33.

Guse Prayudi, Praperadilan dan permasalahannya, http://www.scribd.com/doc/34852191/Praperadilan-Dan-Permasalahannya, diakses tanggal 10 Agustus 2010.

Irma Hermawati, ”Sekilas tentang praperadilan”, http://www.profauna.org/suarasatwa/id/2007/02/sekilas_tentang_praperadilan. htm, diakses tanggal 20 April 2010.

Indira Putiet, Perbandingan Praperadilan, Habeas Corpus dan rechter Commisarie, http://one.indoskripsi.com/node/10432, diakses tanggal 10 Agustus 2010.


(6)

M. Sofyan Lubis, “Praperadilan Dalam KUHAP”, http://www.Kantorhukum-lhs.com/details_artikel_hukum.php?id=5, diakses tanggal 20 April 2010. ---, “Upaya praperadilan”, http://sofyanlubis.blogspot.com/

2009_12_01_archive.html, diakses tanggal 15 Mei 2010.

Penelitian KHN : Praperadilan Mengandung Banyak Kelemahan, http://www. Hukumonline.com/berita/baca/lt4b29bab9ef3a7/penelitian-khn-praperadilan-mengandung-banyak-kelemahan, diakses tanggal 28 Juli 2010

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c12528d2415c/ma-pernah-kabulkan-pk-terhadap-praperadilan., diakses tanggal 23September 2010.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12161/ma-tegaskan-tak-akan-tutup-upaya-kasasi-terhadap-putusan-praperadilan, diakses tanggal 22 September 2009.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12001/dipersoalkan-pembatasan-upaya-hukum-terhadap-putusan-praperadilan, diakses tanggal 22 September 2009.

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung


Dokumen yang terkait

EKSISTENSI EKSEPSI DALAM PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1 A TANJUNG KARANG

0 17 12

ANALISIS PUTUSAN HAKIM DALAM GUGATAN PRAPERADILAN PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI KUDUS ( TELAAH YURIDIS MENGENAI PUTUSAN HAKIM PRAPERADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK )

0 5 95

PENDAHULUAN PERTIMBANGAN PENANGGUHAN PENAHANAN OLEH PENEGAK HUKUM DALAM PROSES PERKARA PIDANA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI SLEMAN.

0 4 9

PENUTUP PERTIMBANGAN PENANGGUHAN PENAHANAN OLEH PENEGAK HUKUM DALAM PROSES PERKARA PIDANA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI SLEMAN.

0 4 5

PRAPERADILAN SEBAGAI FUNGSI PENGAWASAN HORIZONTAL DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA Praperadilan Sebagai Fungsi Pengawasan Horizontal Dalam Penyelesaian Perkara Pidana (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta Dan Pengadilan Negeri Sragen).

0 1 13

PENDAHULUAN Praperadilan Sebagai Fungsi Pengawasan Horizontal Dalam Penyelesaian Perkara Pidana (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta Dan Pengadilan Negeri Sragen).

0 3 12

PRAPERADILAN SEBAGAI FUNGSI PENGAWASAN HORIZONTAL Praperadilan Sebagai Fungsi Pengawasan Horizontal Dalam Penyelesaian Perkara Pidana (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta Dan Pengadilan Negeri Sragen).

0 1 22

PROSES DAN PELAKSANAAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI PADANG.

0 1 8

PERLINDUNGAN HUKUM SAKSI DAN KORBAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA DI PENGADILAN

0 0 14

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR

0 0 80