Pendapat Para Ulama Tentang Demonstrasi

32 Lebih daripada itu semua ia memprotes keras bahwa khalifah memiliki wewenang dan otoritas untuk menekan dan memangkas kebebasan berpikir dan membungkam pendapat orang-orang yang mengkritiknya. Apalagi sampai mengasingkan dan membuangnya karena kritikan-kritikan dan ungkapan- ungkapan tersebut. Dia lebih suka jika Tuhan suka kepadanya daripada khalifah senang., namun Allah murka, dia selalu lantang kepada hal-hal yang di anggap benar dan tegas untuk menyuruh khalifah untuk berjalan di atas jalan yang lurus. 14 Pemerintahan Utsman selanjutnya menghadapi persoalan serius. 15 Menyebarnya para demonstran baik dari kalangan masyarakat maupun sahabat membuat khalifah Utsman merasa diambang perpecahan. Propaganda demi propaganda para penentang Utsman makin membesar yang mengantarkan kepada kematiannya. Utsman tewas terbunuh pada tahun 36 H656 M akibat penyerbuan para pembangkang yang kecewa atas kepemimpinannya. 16 Setelah itu jabatan khalifah dipegang Ali bin Thalib melalui majelis syura.

B. Pendapat Para Ulama Tentang Demonstrasi

Dalam perspektif Islam, kata demonstrasi memang tidak disebutkan secara eksplisitjelas dalam Al- Qur‘an. Akan tetapi prinsipnya sudah dikemas dalam bingkai amar ma‘ruf nahi munkar. Kata amar ma’ruf nahi munkar dalam istilah fiqih biasa disebut dengan istilah ―Al-Hisbah‖. Dengan demikian 14 Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, hal 185. 15 Syed Mahmudunnashir, Islam, Konsepsi dan Sejarahnya, penerjemah; Adang Affandi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991, hal. 188. 16 Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam, Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009, hal. 43. 33 secara sederhana maksud istilah ―AmarMa’ruf Nahi Munkar‖ yang telah meng-indonesia tersebut adalah menyerukan kebajikan dan mencegah kemunkaran. 17 Kewajiban amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu kewajiban yang berbobot besar. 18 A mar ma’ruf nahi munkar adalah bagian dari syariat Islam yang paling agung dan sarana yang paling ampuh untuk menjaga dien agama dan memelihara kehormatan. Kewajiban ini tergantung kepada kemampuan kita untuk melakukannya, serta mempertimbangkan adanya ―maslahat‖ yang lebih besar. 19 Oleh karena itu, tidak aneh jika mendapatkan para pemimpin pada masa Khulafur Rasyidin dengan sungguh-sungguh memerintahkan rakyatnya untuk mengkritik berdemo dan beroposisi kepada mereka para pemimpin. Apabila mendapatkan dalam tindakan-tindakan mereka hal-hal yang menuntut ke arah tersebut. 20 Arah yang membawa kepada kemunkaran. Allah SWT berfirman :                 Artinya: dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. QS. Ali ‗Imran, 3: 104. 17 Al- Habib Muhamad Rizieq bin Husein Syihab, Dialog FPI; Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Pustaka Ibnu Sidah, 2008, Cet. II, hal. 36. 18 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, hal. 256. 19 Abdullah Al-Muslih, Prinsip-Prinsip Islam Untuk Kehidupan, Penerjemah: M.Ridwan Yahy dkk. Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1999, Cet. II, hal. 201. 20 Fahmi Huwaydi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani, Bandung: Mizan, 1996, hal. 135. 34 Menurut Ibnu Qudamah di dalam ayat ini terkandung penjelasan, bahwa tugas ini merupakan fardhu kifayah dan bukan fardhu a‘in. Sebab Allah berfirman, ―Hendaklah ada diantara kalian segolongan umat‖, dan tidak difirmankan, ― Jadilah setiap orang di antara kalian yang menyuruh kepada yang ma‘ruf.‖ Jika sudah ada yang melaksanakannya, berarti yang lain sudah terbebas dari tugas tersebut. Namun ada keberuntungan yang khusus dan kabar gembira bagi orang-orang yang melaksanakannya. 21 Dan juga Allah SWT mewajibkan sekelompok ummat untuk menggeluti urusan ini, meskipun setiap pribadi wajib melakukan tugas ini sesuai dengan kemampuan. Allah SWT berfirman :                           Artinya: kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. QS. Ali ‗Imran, 3: 110. Dalam tafsir Ibnu Abbas, dia berkata, ―Ta’muruuna bilma’ruf artinya, hendaknya mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, mengakui apa yang diturunkan Allah SWT. Laa ilaaha illa Allah adalah sebesar-besar kebaikan ma’ruf. Tanhauna ‘an al munkar, kemungkaran adalah kedustaan, 21 Ibnu Qudamah, Mukhtasar Minh â jul-Q â shid î n, Penerjemah Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka Al-Kautsa, 1999, Cet. III hal. 147. 35 dan itulah sebesar-besar kemunkaran. 22 Oleh karena itu, melakukan kemunkaran jelas dilarang agama Islam. Dalam demonstrasi bisa dikatakan sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi umat dan mengkritik pemerintah. Apabila pemerintah tidak dapat menampung aspirasinya dan menyimpang dari ajaran dan syari‘at Islam dalam menjalani tugasnya sebagai kepala negara. Dalam hal ini banyak sekali pendapat para tokoh dan ulama muslim mengenai hukum melakukan demonstrasikritik terhadap pemerintah. Menurut Imam Ghazali melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi munkar hukumnya adalah fardhu’ain atas setiap orang. Tugas amar ma’ruf nahi munkar adalah bentuk yang tegas dari perasaan tanggung jawab terhadap kesalamatan moralnya bangsa, dan karenannya dia adalah termasuk akhlaq yang utama. Di samping itu , amar ma’ruf nahi munkar adalah pula menjadi ―benteng moral‖ yang menjaga dan mempertahankan segala akhlak-akhlak yang baik yang harus menjadi watak dan kepribadian bangsa dan negara. 23 Adapun amar ma’ruf nahi munkar sebagai benteng moral itu dibaginya pula pada 3 tingkatan sebagai dibawah ini : 1. Tugas umum yang bersifat massal dan menyeluruh, yang meliputi seluruh umat, yang dinamakan ―wajib ‗ain.‖ Setiap orang harus menjalankan amar ma’ruf nahi munkar menurut kesanggupannya masing-masing. 22 Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Jami’ Al Bayan ‘An Ta’wil Ayi Al Qur’an Jilid. 7, h. 105 dengan sanadnya, Ath-Thabari berkata: Abdullah bin Shalih menceritakan kepada kami, dia berkata: Muawiyah menceritakan kepadaku dari Ali, dari Ibnu Abbas. Kemudian disebutkanatsar ini, dengan sedikit perbedaan pada lafazhnya.Ali bin Abu Talhah, Tafsir Ibnu Abbas, Penerjemah; Muhyidin Mas Rida, Muhamad Rana Manggala, Khalid Al Sharih, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, Cet. I hal.169. 23 Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam Al Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, cet I, hal. 233. 36 2. Tugas khusus yang terpikul di atas pundak para ahli dan Ulama, di namakan ―wajib kifayah.‖ Hanyalah orang-orang yang bertugas saja yang memikul tugas itu, yang dinamakan oleh Al- Ghazali ―juru nasehat‖ nushaha dan ―juru ajaran‖ wu’azh 3. Tugas resmi yang dijalankan oleh jabatan pemerintahan, yang dinamakan oleh Al- Ghazali ―Hisbah.‖ Orang-orang yang menjalankan tugas ini adalah pegawai-pegawai yang ditetapkan oleh pemerintah, dengan dinamakan ―Polisi Susila‖ atau ―Polisi Kemasyarakatan‖ yang oleh Al Ghazali dinamakan ―Muhtasib‖ atau ―Ahl al-Hisbah‖. Menurut Syeikh Zainuddin al-Malibary pengarang kitab Irsyâdal al- Ibâd menulis dalam kitabnya bahwa perintah menyuruh mengerjakan kewajiban-kewajiban syariah dan mencegah perbuatan-perbuatan yang diharamkannya amar ma’ruf nahi munkar baik yang dilakukan penguasa maupun lainnya adalah menjadi kewajiban bagi setiap mu‘min mukallaf yang merdeka. Meliputi lelaki atau perempuan sebagai bentuk kewajiban kifayah. Sekalipun perintah dan larangan itu sekedar hanya merubah atau meluruskan ucapan yang didengar. Tetapi sewaktu-waktu kewajiban itu bisa berubah menjadi fardhu ‗ain, jika ternyata di tempat mana adanya kemunkaran itu tidak diketahui orang lain kecuali dirinya sendiri. Atau orang lain tidak sanggup menjalankan tugas itu selain dirinya saja. Kewajiban melenyapkan kemunkaran jika memungkinkan harus menggunakan kekuatan, kalau tidak mampu bisa melalui lisan,. Sebaliknya jika kedua cara itu dapat dikerjakan. Maka menggunakan cara yang pertama, 37 yakni dengan kekuatan, itu lebih utama. Kecuali bila pendekatan melalui lisan lebih efektif. 24 Menurut Syaikh Musthafa Masyhur membolehkan mengkritik dan meluruskan pendapat orang lain. Setiap orang tidak boleh membiarkan kesalahan dan penyelewengan, karena memang kebebasan berfikir dijaga oleh Islam. Setiap individu diberi kebebasan mengeluarkan pendapat sesuai kebutuhannya tanpa ancaman dan rasa takut walaupun pendapatnya salah. Kecuali jika pemikirannya itu mengajak kepada atheis dan kekafiran. 25 Menurut Taqiyuddin An-Nabhani melakukan koreksi demonstrasi terhadap penguasa hukumnya adalah fardhu. Dan makna keta‘atan kepada mereka sekalipun mereka berbuat zhalim dan merampas hak rakyat itu bukan berarti harus mendiamkan mereka. Tetapi menta‘ati mereka hukumnya wajib, sedangkan melakukan koreksi kepada mereka atas prilaku dan tindakan- tindakan yang mereka lakukan itu juga sama-sama wajib. 26 Jika penguasa memerintahkan untuk melakukan kemaksiatan maka sudah adanya kekufuran yang nyata. Kalau kekufuran yang nyata itu benar-benar telah nampak, maka wajib diperangi. 27 Menurut Muhamad Khidhr Al-Husayn wajib bagi umat memantau prilaku kepala negara dan pejabat-pejabatnya. Dengan tujuan memperingatkan 24 Syeikh Zainuddin Al Malibary, Terjemah Irsyadul ‘Ibad; Panduan Ke Jalan Kebenaran , Penerjemah Drs. H. Moh. Zuhri Drs. Ibnu Mochtar, Semarang: CV. Asy Syifa‘, 1992, hal. 309. 25 Syaikh Musthafa Masyhur, Fiqih Dakwah, Penerjemah Abu Ridho dkk Jakarta: Al- I‘tishom, 2000 cet. I hal. 732. 26 Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam; Doktrin, Sejarah dan Realitas Empirik, Penerjemah Magfur Wahid, Jakarta: Al- Izzah, 1996, Cet. I hal. 343. 27 Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam; Doktrin, Sejarah dan Realitas Empirik, hal. 347. 38 orang-orang yang menyimpang. Serta menegur orang-orang yang mengabaikan tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka. 28 Menurut Abu A‘la Maududi, Islam memberikan hak kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat bagi seluruh warganegara Islam. Sepanjang kebebasan tersebut digunakan untuk menyebarluaskan kebenaran dan kebajikan, bukannya untuk menyebarkan kejahatan dan kekejian. Kegiatan mengajak kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar ini bukan hanya sekedar hak, tetapi juga kewajiban. Menurutnya, diantara hak-hak yang telah diberikan Islam kepada ummat manusia adalah hak-hak untuk memprotesberdemonstrasi kepada tirani pemerintah. Dalam hal ini al- Qur‘an menyatakan :                 Artinya: Allah tidak menyukai Ucapan buruk, yang diucapkan dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya ....‖ QS, an-Nisa‘, 4:148 Maksudnya, Allah sangat mencela ucapan-ucapan buruk atau kutukan- kutukan yang keras, namun bagi orang-orang yang menjadi korban ketidakadilan atau tirani, Allah memberikan hak kepada mereka untuk melakukan protes terbuka terhadap perlakuan zhalim yang telah mereka terima. Hak ini tidak dibatasi terhadap pribadi-pribadi saja tetapi berlaku umum. Karena itu apabila ada pribadi atau sekelompok orang yang memegang kekuasaan dan kemudian menindas individu-individu, sekelompok manusia atau suatu partai, maka mereka yang tertindas itu memperoleh hak dari Allah 28 Muhamad Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat Dalam Islam, Penerjemah Eva Y. Nukman dan Fathiyah Basri, Bandung: Mizan, 1996 Cet. I, hal. 77. 39 untuk memprotes penguasa tersebut secara terang-terangan, dan hak ini tidak bisa di rampas atau diingkari siapapun. Siapa saja mencoba merampas hak ini, berarti ia telah menentang Allah. 29 Syeikh Abdul Aziz al-Badri dalam kitabnya al-Islamû Bayna al-Ulamâ Waal-Hukkâm, membolehkan mengkritik dan menasihati penguasa apabila penguasa itu melakukan kezhaliman, karena Islam memberikan hak penuh kepada umat untuk mengontrol dan mengawasi setiap pekerjaan dan prilaku para penguasa. Tidak ada jalan lain untuk melarang suatu kezhaliman para penguasa kecuali dengan berani dan berterus-terang. Amar ma’ruf tidak akan terwujud tanpa mau memberikan nasihat dan mengajak kepada kebajikan. Tidak ada satu kebajikan pun kecuali dengan mengikuti ajaran al- Qur‘an dan al-Sunnah. 30 Menurut Yusuf Qardhawi di dalam Islam dibolehkan kebebasan berpikir dan kebebasan ilmiah. Kebebasan mengemukakan pendapat dan mengemukakan kritik juga diakui oleh Islam. Kebebasan seperti ini dapat berubah kedudukannya dari hak menjadi wajib jika tidak ada orang lain yang dapat melaksanakannya. 31 Yusuf Qardhawi termasuk salah satu ulama kontemporer yang membolehkan demonstrasi. Bagi Qaradhawi unjuk rasa hukumnya boleh dalam Islam selagi bertujuan baik dan di dalamnya tidak terkandung unsur-unsur yang bertentangan dengan syariah Islam . 32 29 Abul A‘la Maududi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1985, hal. 53. 30 Abdul Aziz Al Badri, Ulama Mengoreksi Penguasa, Penerjemah Salim Muhamad Wakid, Solo: Pustaka Mantiq, 1991, cet. II hal. 75. 31 Dr. Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Penerjemah Drs. As‘ad Yasin, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, Cet. V hal. 884. 32 http:www.alkhoirot.net201205demonstrasi-dalam-islam.html. 40 Yusuf Qardhawi mengatakan dalam kitabnya Majmu al-Fatawâ, al- Qardhawi berkata, ―Adalah menjadi hak umat Islam –sebagimana umat manusia lainnya — melakukan demonstrasi untuk mengungkapkan tuntatan dan menyampaikan kebutuhan mereka kepada pihak pemerintah dan pembuat keputusan dengan suara yang didengar dan tidak mungkin tidak diketahui. Sesungguhnya suara satu orang, terkadang tidak diperhatikan. Berbeda dengan suara para demonstran dalam jumlah besar, apalagi jika di antara mereka terdapat para tokoh yang mempunyai kedudukan penting dan pengaruh yang kuat di tengah-tengah masyarakat, maka pasti suara diperhatikan. Karena tuntutan yang disampaikan secara bersama lebih kuat dibanding apabila dilakukan sendirian‖. Menurut Abdul Qadir ‗Audah dalam al-Tasyrî al-Jinaî al-Islamî memperbolehkan rakyat untuk mendongkel penguasa yang menyeleweng dan tidak lagi melaksanakan kewajiban-kewajibannya 33 . Menurutnya pemerintah yang tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, atau keluar dari batas- batas prinsip, dia tidak berhak didengar dan ditaati. Bahkan, dia harus mengundurkan diri, untuk kedudukannya diberikan kepada yang berkelayakan dan mampu memerintah sesuai aturan yang Allah tetapkan. Jika dia tidak mau undur diri secara sukarela, rakyat berhak memaksanya dan mencari penggantinya secara bebas. 34 Menurut Ali Muhamad Ash-Shalabi dalam kitabnya Fiqh Annasri waattamkin Fikh kemenangan dan Kejayaan, dalam berbagai hadist 33 Abdul Djalil, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2000, hal. 23. 34 Ibid , Lihat, Abdul Qadir ‗Audah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, Beirut: Mu‘assah ar- Risalah, 1412 H1992 M, juz I, hal. 44. 41 dijelaskan, bahwa diberi hak bagi setiap orang untuk mengkritik pemerintah dan memberi masukan. Menurutnya, kebebasan mengkritik demonstrasi dan berekspresi, membentuk masyarakat untuk terus berkembang maju dan kreatif, serta mampu menghilangkan penyakit mencari muka dan kedudukan, yang merupakan penyakit yang sangat berbahaya dan melemahkan pundi-pundi suatu masyarakat dan terus menggerogoti dan menjerumuskan mereka kepada kehancuran. 35 Pada intinya, demonstrasi bukan bermaksud menentang atau mengangkat senjata menghadapi pemerintah. Ia adalah sebagai salah satu cara untuk menasihati pemerintah dan mencegahnya dari terus melakukan mungkar serta ketidakadilan terhadap rakyat amar ma’ruf nahi munkar. Tanpa adanya hak ini demonstrasi, orang tidak dapat melaksanakan tugas amar makruf dan nahi munkar dengan baik sebagai salah satu cermin ketakwaan. 36 Maka boleh melakukan kritik unjuk rasa atau demonstrasi kepada penguasapemerintah apabila mereka telah melakukan penyelewengan dari tugas-tugas yang sudah diberikan kepadanya dan mengeluarkan kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginan ummat Islam keluar dari ajaran Islam. Maka dalam agama Islam dibolehkan untuk melakukan kritik ataupun nasehat dengan melakukan unjuk rasa atau demonstrasi dengan catatan diniatkan untuk menjalankan tugas amar ma’ruf nahimunkar. Menurut perspektif NU, melakukan unjuk rasa atau demonstrasi itu dibolehkan. Asalkan dalam unjuk rasa tersebut bermuatan amar ma’ruf nahi 35 Ali Muhamad Ash-Shalabi, Fikih Kemenangan dan Kejayaan, Penerjemah Samson Rahman Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006. 36 Ali Muhamad Ash-Shalabi, Fikih Kemenangan dan Kejayaan, hal. 265. 42 munkar untuk mencari kebenaran dan mencari keadilan. Akan tetapi ada beberapa hal yang mesti di ingat dalam melakukan unjuk rasa tersebut. Salah satunya ialah : 1. Tidak menimbulkan mafsadah yang lebih besar. 2. Sudah tidak ada jalan seperti menempuh musyawarah atau lobi. 3. Apabila ditujukan pada pemerintah, hanya boleh dilakukan dengan cara ta’tif menyampaikan penjelasan dan al-wa’zhu pemberian nasehat. Dalam hal ini ada beberapa rujukan yang dijadikan dalil sebagai fatwa membolehkan berunjuk rasa. Dalil-dalil tersebut di ambil dari kitab Ihyâ ‗Ulumuddîn dan hadist-hadist Nabi Muhamad SAW. Yaitu: 1. Ihyâ ‗Ulûm al-Dîn 37 : ―Amar ma’ruf nahi munkaritu ada beberapa tingkatan: Pertama, memberikan pengertian. Kedua, menyampaikan tuntunan. Ketiga, menggunakan bahasa yang lugas. Kempat, menghindari kekerasan dalam meneggakkan haq, dengan memukul dan memberikan hukuman. Adapun yang diperbolehkan dalam hubungan dengan penguasa adalah dua tingkatan, yaitu memberikan pengertian dan menyampaikan tuntunan tingkatan yang pertama dan kedua. Sedangkan menghindari dan mencegah dengan kekerasan bukan merupakan urusan perorangan rakyat bersama penguasa, karena dapat menimbulkan fitnah dan menyuburkan keburukan, sehingga berbagai hal yang tidak di inginkan lebih banyak lagi bisa terjadi. 37 Hafizh Utsman, Hasil-Hasil Keputusan Muktamar Dan Permusyawarahan Lainnya, Jakarta: Lajnah Taklif Wan Nasyr Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2006, Cet. I, hal. 450. Lihat, al-Ghazali Hujjatul Islam, Ihya ‘Ulumuddin, Mesir: Musthafal Halabi, 1354 H1939 M, Jilid II, hal. 337. 43 Adapun bahasa yang lugas, seperti ucapan: wahai orang yang lalim, wahai orang tidak takut kepada Allah SWT. Dan sebagainya, itu jika menimbulkan fitnah, akibat buruknya akan menimpa pihak lain, maka tidak diperbolehkan. Namun jika hanya mengkhawatirkan terhadap dirinya sendiri, maka boleh dan bahkan di anjurkan. Sesungguhnya kebiasaan ulama salaf, berani menghadap bahaya dan terang-terangan melakukan pembangkangan tanpa peduli dengan bencana yang menimpa kehomatan diri dan sikap bersedia menerima kemungkinan berbagai macam siksaan. Mereka tahu betul bahwa semua ini merupakan proses kematian syahid.‖ 2. Faidul Qadir 38 : ّْع ها َّص ها ْ س تْع س : اق ْع ها ض ِ ْ خْلا ْعس ْ بأ ْ ع ، اسّبف ْعطتْس ْمل ْ إف ب ْ ِغ ّْف اً ْم ْم ْم أ ْ م : ْ ق مَّسو ْمل ْ إف . ّع قفتم ا ْإْا فعْضأ كل و ، بّْقبف ْعطتْس ―Riwayat Said al-Khudri ra, berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa melihat munkar maka ia harus merubahnya dengan tangan kekuasaan-nya. Jika ia tidak mampu maka dengan lidahnya. Jika ia tidak mampu pula maka dengan hatinya, dan itu merupakan yang paling lemah. HR. Bukhari dan Muslim. 39 38 Hafizh Utsman, Hasil-Hasil Keputusan Muktamar Dan Permusyawarahan Lainnya, Jakarta: Lajnah Taklif Wan Nasyr Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2006, Cet. I, hal. 451. Lihat, Abdurrauf al-Minawi, Faidul al-Qadir, Mesir: al-Tijariah al-Kubra, 1357 H1938 M, Cet. I, Jilid VI, hal. 130. 39 Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2006, Cet. IV, hal. 42. 44

BAB IV KAJIAN DEMONSTRASI DALAM UNDANG-UNDANG NO 9 TAHUN