e. Wajib Membuat Catatan atau Kertas Kerja Perhitungan PPh Ps. 2126 Untuk
Setiap Masa Pajak f.
Wajib Menyimpan Catatan atau Kertas Kerja Sesuai Ketentuan g.
Wajib Membuat Bukti Potong dan Memberikannya Kepada Penerima Penghasilan
3.6. Objek Pajak PPh Pasal 21
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah : 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan
yang bersifat teratur maupun tidak teratur; 2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima paensiun secara teratur berupa
uang pensiun atau penghasilan sejenisnya; 3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan
sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua dan pembayaran lain
jenis; 4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan; 5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan; 6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi,
uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun,
dan imbalan
sejenis dengan
nama apapun;
3.7. Penghasilan yang Tidak Dikenakan PPh Pasal 21
1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna
dan bea siswa 2.
Naturakenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah 3.
Iuran pensiun kepada dana pensiun yang telah disahkan Menkeu, iuran THTJHT yang dibayar pemberi kerja
4. Zakatsumbangan wajib keagamaan dari badanlembaga yang dibentukdisahkan
pemerintah 5.
Bea siswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 3 huruf l UU PPh
3.8. Perpajakan UKM
Ada beberapa alasan mengapa pembayar pajak UMKM belum maksimal berkontribusi dalam penerimaan pajak. Pertama, usaha dengan karakteristik tersebut
mengalami kendala utama dalam bidang administrasi. Sebab, secara umum perkembangan UMKM dimulai dari usaha perorangan, yang jika berkembang, berbentuk
badan dengan skala kecil menengah. Beban administrasi yang kompleks akan meningkatkan biaya kepatuhan pajak yang dapat menurunkan daya saing UMKM. Hal
ini berdampak terhadap tingkat kepatuhan pajak yang rendah. Kedua, tarif pajak yang tidak kompetitif bagi pembayar pajak UMKM untuk
berkompetisi dengan non-UMKM. Sebagai contoh, bagi para pelaku UMKM pajak merupakan komponen biaya dalam penghitungan sederhana. Jika tingkat keuntungan
sebelum pajak 10 persen dengan Pajak Penghasilan PPh 1 persen dan Pajak Pertambahan Nilai PPN 3 persen , akan dihasilkan keuntungan 6 persen.
Dengan penghitungan sederhana ini, para pengusaha UMKM akan mudah melaksanakan pemenuhan kewajiban pajaknya, di samping
—tentu saja—memprediksi keuntungan yang dapat direalisasikan. Sebaliknya jika tarif pajak terlalu tinggi, misalnya
total PPN dan PPh 11 persen, dengan tingkat keuntungan yang sama, memungkinkan timbulnya ketidakpatuhan karena cost dan revenue sudah tidak matching.
Ketiga, etika dan pengaruh lingkungan terhadap tingkat kepatuhan pembayar pajak UMKM. Hal ini dapat disebabkan ketidakjujuran wajib pajak WP UMKM atau
pengaruh keluarga dan lingkungan. Keempat, kemungkinan untuk terdeteksi aparat pajak. Dengan adanya kemungkinan diperiksa atau terdeteksi atas kewajiban pajak yang
ada, berdampak terhadap tingkat kepatuhan pembayar pajak. Perpajakan atas UKM terdiri atas dua jenis pajak utama yang memiliki peran
signifikan, yaitu PPh dan PPN, dengan PPh sebagai pajak dominan. Berdasarkan PP No 462013, wajib pajak dengan peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dikenakan PPh 1
persen dari total peredaran usaha dan bersifat final. Pelaku UMKM tak harus menghitung secara tepat berapa keuntungan yang dihasilkan karena pajak tersebut
bersifat final sehingga tidak dipengaruhi oleh jumlah keuntungan yang dihasilkan. Ini berarti pembayar pajak di sektor ini dipermudah, baik dari segi administrasi
maupun tarif yang kompetitif. Namun, PPN masih jadi kendala mengingat kewajiban sebagai pengusaha kena pajak PKP dengan peredaran usaha di atas Rp 600 juta.
Apabila merujuk peraturan yang berlaku, yakni UMKM dengan peredaran di bawah Rp
4,8 miliar wajib memungut PPN 10 persen, bagi UMKM hal ini jadi beban. Di sini tarif pajak dan kesederhanaan administrasi jadi isu utama yang dapat berimplikasi terhadap
ketidakpatuhan wajib pajak UMKM, belum lagi ketidakjujuran pembayar pajak. Di penghujung tahun 2013, Peraturan Menteri Keuangan PMK Nomor 197 yang
mulai berlaku pada awal 2014 meningkatkan batasan wajib PKP jadi Rp 4.8 miliar per tahun. Hal ini bagaikan memberi angin segar dengan semakin memberi kemudahan bagi
pelaku usaha di sektor ini. Ini berarti bagi UMKM hanya ada satu pajak utama yang jadi beban dalam komponen penghitungan keuntungan, yaitu PPh 1 persen.
3.9. Implikasi terhadap UKM