BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehadiran tenaga listrik di zaman modern ini merupakan hal yang sangat penting dan berguna sebagai sumber tenaga. Karena dengan adanya listrik kita
dapat melakukan segala macam kegiatan dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah tangga maupun industri. Penggunaan pemakaian tenaga listrik ini sudah
dapat dilihat secara langsung baik itu di lingkungan rumah tangga, sekolah, rumah sakit, dan industri-industri.
1
Tenaga listrik mempunyai peranan yang sangat penting sebagai pendorong perekonomian di bidang industri, karena bagi industri tenaga listrik merupakan
bahan bakar terpenting untuk mempermudah pekerjaan dan juga untuk pertumbuhan ekonomi pada khususnya, selain itu tenaga listrik juga berperan
penting dalam kecerdasan masyarakat.
2
1
F. Suryanto, Dasar-Dasar Teknik listrik, Jakarta: Rineka Cipta, 1996, hal. 13.
2
Abdul Kadir, Energi Sumber Daya, Inovasi, Tenaga Listrik, dan Potensi Ekonomi, Jakarta: UI Prress, 1995, hal.559.
Oleh sebab itu demi terciptanya keadilan dalam rangka pemenuhan tenaga listrik, maka penguasaan dan pengelolaan tenaga
listrik sepenuhnya dilakukan oleh negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, ini sesuai dengan Pasal 33 angka 2 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD NRI Thn 1945 yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak di kuasai oleh negara.
Universitas Sumatera Utara
Untuk memberikan pelayanan yang baik dan mempermudah pemakaian tenaga listrik serta memenuhi keinginan masyarakat dalam pengadaan maupun
perluasan jaringan distribusi listrik agar dapat menjamin tersedianya tenaga listrik dalam jumlah yang cukup dan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat, maka
pemerintah perlu melakukan penataan dan pengaturan mengenai penyelenggaraan listrik nasional dengan menunjuk suatu Badan Usaha Milik Negara BUMN yang
bernama PT. Perusahaan Listrik Negara yang biasanya disebut dengan PT. PLN Persero.
Listrik termasuk barang bergerak yang tidak bertubuh, artinya barang yang tidak dapat dilihat, tetapi dapat dirasakan manfaatnya. Oleh karena itu produk
listrik tersebut merupakan objek transaksi jual beli yang mengandung risiko cukup besar. Untuk mendapatkan aliran listrik, masyarakat cenderung menggunakan jasa
dari PT. PLN Persero. Sedangkan syarat dan prosedur untuk mendapatkan aliran listrik dari PLN harus terjadi perjanjian antara pelanggan listrik dengan
perusahaan. Dengan adanya perjanjian, maka secara tidak langsung akan timbul hak dan kewajiban secara timbal balik antara pelanggan listrik dengan perusahaan
listrik negara, dimana kedua belah pihak mempunyai kehendak untuk melakukan suatu prestasi yang telah diperjanjikan.
Berdasarkan pengertian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata Pasal 1313 bahwa suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Sedang perjanjian itu sendiri mengandung pengertian yaitu:
“Suatu hubungan hukum kekayaanharta benda antara dua orang atau lebih, yang
Universitas Sumatera Utara
memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain menunaikan prestasi.
3
3
M. Yahya Harahap, Segi
‐
Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1996, hal.6.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 walaupun berjudul Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, namun hampir keseluruhan isinya mengatur
mengenai arbitrase, sementara pengaturan mengenai Alternatif Penyelesaian Sengketa lainnya tidak dijabarkan secara detail. Pengaturan Alternatif
Penyelesaian Sengketa hanya dimuat dalam Pasal 1 angka 10 dan Pasal 6. Selebihnya Undang-Undang ini mengatur mengenai Arbitrase.
Mekanisme alternatif penyelesaian sengketa lainnya seperti konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli sangat minim dimuat dalam
Undang-Undang ini. Bahkan pengertian dari masing-masing mekanisme alternatif penyelesaian sengketa tersebut tidak didefiniskan dalam Undang-Undang ini.
Dalam Ketentuan Umum, hanya istilah Arbitrase yang didefinisikan secara tegas Pasal 1 angka 1, sedangkan istilah konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli tidak didefinisikan secara tegas namun hanya dicantumkan sebagai bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 1 angka 10.
Ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa selanjutnya disebut UU No. 30
Tahun 1999 tidak banyak memberikan kejelasan apa dan bagaimana Alternatif Penyelesaian Sengketa itu. Padahal, masing-masing cara penyelesaian tersebut
perlu diatur secara terperinci untuk menghindari timbulnya kesalahan subyektivitas dalam penafsiran.
Universitas Sumatera Utara
Idealnya UU No. 30 Tahun 1999 harus dapat menjadi rujukan dan payung hukum penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa melalui mediasi di berbagai
bidang sehingga tidak menimbulkan multitafsir dan kebingungan dalam praktek. Berdasarkan latar belakang di atas maka tertarik memilih judul Tinjauan
Yuridis Tentang Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dalam Perjanjian Pemakaian Arus Listrik antara Perusahaan Listrik Negara dengan Pelanggan
Akibat Wanprestasi.
B. Permasalahan