Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Dalam Perjanjian Pemakaian Arus Listrik Antara Perusahaan Listrik Negara Dengan Pelanggan Akibat Wanprestasi (Studi PT. PLN (Persero) Area Medan)

(1)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Abdurrasyid, Priyatna, 1996. Penyelesaian Sengketa Komersial (Nasional dan Internasional) di luar Pengadilan, Makalah, September, Bandung.

Abdurrasyid, Priyatna, dkk., 2001. Prospek Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, Citra Aditya Bakti. Bandung

Chomzah, Ali. Achmad, 2003. Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, Prestasi Pustaka, Jakarta.

Fuady, Munir, 2009. Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra AdityaBhakti. Bandung.

Goodpaster, Gary., Felix O. Soebagjo, dan Fatimah Jatim, 1995. Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia, Arbitrase di Indonesia, Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2, diedit/diterjemahkan oleh Felix O. Soebagjo, PT Ghalia, Jakarta.

Harahap, M. Yahya, 1996. SegiSegi Hukum Perjanjian, Alumni. Bandung.

________________, 2001. Arbitrase Ditinjau dari Reglement Acara Perdata, Peraturan Prosedur BANI, ICSID, dan Peraturan Arbitrase UNCITRAL,

Sinar Grafika. Jakarta.

Kadir, Abdul, 1995. Energi Sumber Daya, Inovasi, Tenaga Listrik, dan Potensi Ekonomi, UI Prress. Jakarta.

Margono, Suyud. 2000. ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia. Jakarta.

Poerwosutjipto, H.M.N., 1992. Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Cetakan III, Djambatan. Jakarta. Sarjita,2005. Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Tugujogja

Pustaka. Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono, 2010. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press. Jakarta. Soetopo, HB, 2002. Metode Penelitian Kualitatif. UNS Press. Surakarta. Suryanto, F, 1996. Dasar-Dasar Teknik Listrik, Rineka Cipta. Jakarta.


(2)

Syahrani, Riduan, 2009. Buku Materi Dasar hukum Acara Perdata. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Usman, Rachmadi, 2002. Hukum Arbitrase Nasional, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, 2001. Seri Hukum Bisnis (Hukum Arbitrase), Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing

Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1968 Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981 Presiden Republik Indonesia

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Artikel/Makalah

Santoso, Mas Achmad. Perkembangan ADRD Indonesia, 1999. Makalah Disampaikan dalam Lokakarya Hasil Penelitian Teknik Mediasi Tradisional, Diselenggarakan The Asia Fondation Indonesia Centre for Environmental Law, kerjasama dengan Pusat Kajian Pihak Penyelesaian Sengketa Universitas Andalas. Di Sedona Bumi Minang, 27 November. Padang


(3)

Internet

2015)

Budhy Budiman. Mencari Model Ideal penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap praktik Peradilan Perdata Dan undang-Undang Nomor 30 Tahun

Eddy Leks, http://eddyleks.blog.kontan.co.id/2013/01/07/arbitrase-sebagai-alternatif-penyelesaian-sengketa-bisnis/, artikel, (diakses 10 November 2015) www.badilag.net (Lembaga Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa Alternatif),

(diakses tanggal 11 Juli 2015).

http://ilmuhukumuin-suka.blogspot.com/2013/12/macam-macam-perjanjian-arbitrase-dan.html , artikel, (diakses 1 November 2015)

(diakses tanggal 1 November 2015)

Wawancara

Wawancara dengan Putri Sinaga, selaku Asisten Officer Administrasi Umum dan K3 PT. PLN (Persero) Area Medan, 27 Agustus 2015


(4)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE

A. Pengertian dan Sumber Hukum Arbitrase

Arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak serta itikad baik dari pihak-pihak yang berselisih agar perselisihan mereka tersebut diselesaikan oleh hakim yang mereka tunjuk dan angkat sendiri, dengan pengertian bahwa putusan yang diambil oleh hakim tersebut merupakan putusan yang bersifat final (putusan pada tingkat terakhir) dan yang mengikat kedua belah pihak untuk melaksanakannya. Hakim-hakim tersebut dikenal juga dengan nama wasit menurut Reglement of de Rechtsvordering

(selanjutnya disebut Rv). Dari pengertian yang diberikan ini, tampak bagi bahwa arbitrase tidak lain merupakan suatu badan peradilan, yang putusannya memiliki sifat final dan yang mengikat para pihak yang menginginkan penyelesaian perselisihan mereka dilakukan lewat pranata arbitrase ini. Pasal 615 angka (1) Rv, menguraikan :“adalah diperkenankan kepada siapa saja yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit”.27

Pengertian arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Sebagai salah satu cara penyelesaian di luar peradilan, arbitrase


(5)

dijalankan atas dasar kehendak sendiri dari para pihak yang bersengketa dalam bentuk perjanjian arbitrase.28

Sumber Hukum Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:

Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang di dasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999.

29

1. Pasal I Aturan Peralihan UUD NRI Thn 1945

Pasal I Aturan Peralihan UUD NRI Thn 1945 menentukan bahwa “semua peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.” Demikian pula halnya dengan Herzien Indonesis Reglement (selanjutnya disebut HIR) yang diundang pada zaman Koloneal Hindia Belanda masih tetap berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan penggantinya yang baru sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD NRI Thn 1945 tersebut.

2. Pasal 377 HIR Staatsblad 1941 : 44

Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR

Staatsblad 1941 : 44 atau Pasal 705 Rechtsreglement Buitengewesten (selanjutnya disebut RBg) Staatsblad 1927: 227 yang menyatakan bahwa jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang

28

Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar hukum Acara Perdata. (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2009), hal 18.


(6)

berlaku bagi Bangsa Eropa yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam Rv.

3. Pasal 615 s/d 651 Rv Staatsblad 1847:52

Peraturan mengenai arbitrase dalam Rv tercantum dalam Buku ke Tiga Bab Pertama Pasal 615 s/d 651 Rv, yang meliputi :

a. Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter Pasal 615 s/d 623 Rv. b. Pemeriksaan di muka arbitrase Pasal 631 s/d 674 Rv.

c. Putusan Arbitrase Pasal 631 s/d 674 Rv.

d. Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase Pasal 641 s/d 674 Rv. e. Berakhirnya acara arbitrase Pasal 648-651 Rv.30

4. Pasal 3 angka (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU No. 14 Tahun 1970)

Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase dapat ditemukan dalam memori penjelasan Pasal 3 angka (1) UU No. 14 tahun 1970, yang menyatakan “ Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan”.

5. Pasal 80 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU No. 14 Tahun 1985)

Satu-satunya undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 14 Tahun 1985, sama sekali tidak mengatur mengenai


(7)

arbitrase. Ketentuan peralihan yang termuat dalam Pasal 80 UU No. 14 Tahun 1985, menentukan bahwa semua peraturan pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan UU No. 14 Tahun 1985 ini. Dalam hal ini perlu merujuk kembali Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia (selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun1950) menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang kedua atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang lebih dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1 Tahun 1950).

6. Pasal 22 angka (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (selanjutnya disebur UU No. 1 Tahun 1967)

Dalam hal ini Pasal 22 angka (2) UU No. 1 Tahun 1967 menyatakan: “Jikalau di antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak”.

Pasal 22 angka (3) UU No. 1 Tahun 1967 :

“Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal”.

7. Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1968 Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1968)


(8)

Yaitu mengenai persetujuan atas “Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal” atau sebagai ratifikasi atas “International Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States”. Dengan undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal asing diputus oleh International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSD) di Washington.

8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981 Presiden Republik Indonesia

Pemerintah Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” disingkat New York Convention (1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di New York, yang diprakarsai oleh PBB.

9. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (selanjutnnya disebut PERMA No. 1 Tahun 1990)

Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1958 Presiden Republik Indonesia, oleh Mahkamah Agung di keluarkan PERMA No. 1 Tahun 1990, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di keluarkan.


(9)

10. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka pemerintah mengeluarkan UU No. 30 Tahun 1999, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 Rv. Pasal 377 HIR Staastblad 1941:44, dan Pasal 705 RBg, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 30 Tahun 1999.

B. Unsur dan Jenis Arbitrase

Arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa secara non-litigasi atau di luar peradilan yang di dasari atas adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak baik sebelum ataupun sesudah terjadinya sengketa Dari defenisi atau pengertian tersebut dapat diambil suatu bagian unsur-unsur dari arbitrase secara umum, yaitu meliputi :

a. Penyelesaian sengketa. b. Di luar peradilan umum.

c. Berdasarkan perjanjian tertulis.31

31


(10)

http://eddyleks.blog.kontan.co.id/2013/01/07/arbitrase-sebagai-alternatif-Telah jelas bahwa pada poin c dikatakan bahwa unsur dari arbitrase adalah berdasarkan perjanjian tertulis. Sebagaimana tertera di dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 30 Tahun 1999 bahwa “perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”. Dengan adanya perjanjian arbitrase ini, berarti meniadakan hak para pihak yang bersengketa untuk mengajukan gugatan terhadap penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri. Dikarenakan suatu perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum ataupun sesudah terjadinya sengketa, menjadi dua bentuk yaitu klausula yang berbentuk pactum de compromittendo dan klausula yang berbentuk akta kompromis. Klausula yang berbentuk pactum de compromittendo dibuat oleh para pihak dalam perjanjiannya sebelum timbulnya sengketa. Dalam hal ini para pihak menyetujui atau menyepakati untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin akan timbul atau terjadi dikemudian hari melalui arbitrase kepada lembaga arbitrase ataupun arbitrase ad-hoc.

Pengaturan bentuk klausula pactum de compromittendo ini dapat dijumpai dalam Pasal 27 UU No. 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa, “para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase”. Sebelumnya diatur dalam Pasal 615 angka (3) Rv yang menentukan “bahwa diperkenankan mengikat diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit. Juga dijumpai dalam Pasal II angka (2) Konvensi New York 1958 yang antara lain menentukan “...the


(11)

parties under take to submit to arbitration all or any differences....which may arise between them. maka bentuk klausula arbitrase pun dapat dibagi32

a. Meninggalnya salah satu pihak.

Suatu perjanjian arbitrase tidak dapat dibatalkan dikarenakan oleh hal-hal sebagai berikut :

b. Bangkrutnya salah satu pihak. c. Novasi (pembaruan utang).

d. Insolvensi atau keadaan tidak mampu membayar dari salah satu pihak. e. Pewarisan.

f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok.

g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut. h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.33

Bentuk klausula lain adalah akta kompromis. Klausula ini di buat setelah timbul atau terjadinya sengketa. Pada perjanjian pokok yang telah dibuat sebelumnya, para pihak belum mencantumkan klausula arbitrase, lalu setelah terjadinya sengketa maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka melalui arbitrase. Perjanjian mengenai hal tersebut dibuat secara tersendiri serta terpisah dari perjanjian pokok yang mana di dalamnya tertera mengenai penyerahan penyelesaian sengketa secara arbitrase. Disimpulkan dari Pasal 9 UU No. 30 Tahun 1999 bahwa pembuatan suatu akta kompromis

32

Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.24 .

33


(12)

dapat diancam batal demi hukum jika tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Pemilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase oleh para pihak dilakukan setelah sengketa terjadi.

b. Persetujuan mengenai tata cara penyelesaian sengketa harus dibuat secara tertulis, tidak boleh diperjanjikan secara lisan.

c. Harus ditandatangani oleh para pihak. Jika para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut maka perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk akta notaris.

d. Isi dari perjanjian harus memuat masalah yang dipersengketakan, nama lengkap dan tempat tinggal para pihak, nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter, tempat arbiter atau majelis arbiter akan mengambil keputusan, nama lengkap sekretaris, jangka waktu penyelesaian sengketa, pernyataan kesediaan arbiter serta pernyataan kesediaan para pihak untuk menanggung segala biaya yang dibutuhkan untuk penyelesaian sengketa.

Secara umum, klausula arbitrase akan mencakup :

1. Komitmen/kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase 2. Ruang lingkup arbitrase

3. Apakah arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional atau ad.hoc.

apabila memliki bentuk ad.hoc, maka klausula tersebut merinci metode penunjukan arbiter atau majelis arbitrase


(13)

5. Tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase 6. Pilihan hukum substantif yang berlaku bagi arbitrase 7. Klausula-klausula stabilitasi dan hak kekebalan (imunitas).34

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa unsur perjanjian tertulis tersebut merupakan ciri khas penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Karena tanpa adanya perjanjian tertulis yang dibuat antara para pihak yang bersengketa, penyelesaian sengketa tidak dapat diselesaikan melalui jalan arbitrase. Berbicara tentang perjanjian, maka pembuatan perjanjian atau klausula arbitrase juga tunduk pada aturan yang tertera di dalam hukum perjanjian pada Buku III KUHPerdata. Jadi, sah atau tidaknya perjanjian arbitrase tidak terlepas dari syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.35

1. Arbitrase ad-hoc

Berdasarkan terkoordinasi dan tidak terkoordinasinya arbitrase oleh suatu lembaga, maka jenis arbitrase terbagi menjadi dua, yaitu :

2. Arbitrase institusional

Arbitrase ad-hoc atau disebut juga arbitrase volunter adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu.

34

Goodpaster, Gary., Felix O. Soebagjo, dan Fatimah Jatim, Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia, Arbitrase di Indonesia, Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2, diedit/diterjemahkan oleh Felix O. Soebagjo, (Jakarta: Ghalia, 1995) hal.25.

35


(14)

http://ilmuhukumuin-suka.blogspot.com/2013/12/macam-macam-perjanjian-arbitrase-Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan.36

Arbitrase ad-hoc ini dibentuk setelah suatu sengketa terjadi. Arbitrase ini tidak terikat dengan salah satu badan arbitrase, jadi dapat dikatakan bahwa arbitrase ini tidak memiliki aturan ketentuan sendiri mengenai tata cara pelaksanaan pemeriksaan sengketa maupun pangikatan arbiternya. Dalam hal ini arbitrase ad-hoc tunduk sepenuhnya mengikuti aturan tata cara yang ditentukan dalam perundang-undangan.37

Lain halnya dengan arbitrase institusional, adalah arbitrase yang melembaga yang didirikan dan melekat pada suatu badan (body) atau lembaga

(institution) tertentu. Sifatnya permanen dan sengaja dibentuk guna menyelesaikan sengketa yang terjadi sebagai akibat pelaksanaan perjanjian. Setelah selesai memutus sengketa, arbitrase institusional tidak berakhir. Pada umumnya, arbitrase institusional memiliki prosedur dan tata cara pemeriksaan sengketa tersendiri. Arbiternya ditentukan dan diangkat oleh lembaga arbitrase institusional sendiri.38

Akibat kesulitan yang dialami para pihak dalam melakukan negosiasi dan menetapkan aturan-aturan prosedural dari arbitrase serta dalam merencanakan metode-metode pemilihan arbiter yang dapat diterima kedua belah pihak, para

36

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., hal 52.

37

M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari Reglement Acara Perdata, Peraturan Prosedur BANI, ICSID, dan Peraturan Arbitrase UNCITRAL, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal.150.

38


(15)

pihak sering kali memilih jalan penyelesaian sengketa melalui arbitrase institusional.39

Arbitrase institusional tersebut menyediakan jasa administrasi arbitrase, yang meliputi pengawasan proses arbitrase, aturan-aturan prosedural sebagai pedoman bagi para pihak dan pengangkatan para arbiter.40 Karena arbitrase institusional sangat mendukung pelaksanaan arbitrase, para pihak yang bersengketa dapat dan sering kali sepakat menggunakan jasa-jasa lembaga arbitrase atau arbitrase institusional. Aturan-aturan umum tentang kebebasan dan otonomi para pihak juga diterapkan, bahkan para pihak yang menggunakan lembaga arbitrase dapat menyesuaikan proses arbitrase mereka.41

1. The International Centre for Setlement of Investment Dispute (ICSID),

didirikan oleh World Bank. Diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1968. Ada beberapa lembaga arbitrase institusional yang menyediakan jasa arbitrase, diantaranya bersifat Internasional dan yang bersifat Nasional. Yang bersifat Internasional misalnya :

2. Court of Arbitration of The International Chamber of Commerce (ICC),

bertempat di Paris.

3. United Nation Commisson on International Trade Law (UNCITRAL),

didirikan pada tanggal 21 Juni 1985.

Sedangkan lembaga arbitrase yang bersifat Nasional antara lain : a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

b. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)

39

Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, Fatmah Jatim, Op.Cit. hal 25.

40


(16)

Dalam bagian ini sedikit akan dibahas tentang Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai sebuah lembaga arbitrase institusional dalam lingkup Nasional yang bertujuan untuk memberikan penyelesaian sengketa yang timbul mengenai permasalahan perdagangan, industri, keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional secara adil dan cepat.

C. Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase

Berdasarkan Pasal 1 angka (1) UU No. 30 Tahun 1999, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 53 UU No. 30 Tahun 1999 dinyatakan pula bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Lembaga arbitrase disini adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

Dibandingkan dengan pengadilan konvensional, maka arbitrase mempunyai kelebihan atau keuntungan, antara lain:42

1. Prosedur tidak berbelit dan keputusan dapat dicapai dalam waktu relatif singkat.

2. Biaya lebih murah.

3. Dapat dihindari expose dan keputusan didepan umum.


(17)

4. Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih rilek.

5. Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh arbiter.

6. Para pihak dapat memilih sendiri para arbiter.

7. Dapat dipilih para arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya. 8. Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi.

9. Keputusannya umumnya final dan binding (tanpa harus naik banding atau kasasi).

10.Keputusan arbitrase umumnya dapat diberlakukan dan dieksekusi oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama sekali.

11.Proses / prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas 12.Menutup kemungkinan untuk dilakukan “forum shopping”.43

Bila dibandingkan dengan konvensional kelebihan-kelebihan, kelemahan dan kritikan terhadap arbitrase sering diajukan, antara lain sebagai berikut:

1. Hanya baik dan tersedia dengan baik terhadap perusahaan-perusahaan

bonafide.

2. Due process kurang terpenuhi 3. Kuranganya unsur finalty

4. Kurangnya power untuk menggiring para pihak ke settlement.

5. Kurangnya power untuk menghadirkan barang bukti, saksi dan putusan. 6. Kurangnya power untuk hal law anforcement dan eksekusi keputusan. 7. Dapat menyembunyikan dispute dari public scrutiny.


(18)

8. Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat preventif.

9. Kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu sama lain karena tidak ada sistem “precedent” terhadap keputusan sebelumnya dan juga karena unsur fleksibelitas dari arbiter. Karena itu kepatuhan arbitrase tidak predektif.

10.Kualitas keputusannya sangat bergantung, pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa ada norma yang cukup untuk menjaga standar mutu keputusan arbitrase. Oleh karena itu, sering dikatakan “an arbitration is as good as arbitrators”

11.Berakibat kurangnya upaya untuk mengubah sistem pengadilan konvensional yang ada.

12.Berakibat semakin tinggi rasa permusuhan kepada pengadilan.

D. Sengketa yang dapat diselesaikan Melalui Arbitrase

Sengketa merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan di dalam dunia bisnis. Diingini atau tidak, sengketa sering kali timbul dan harus dihadapi oleh setiap pihak yang terlibat di dalamnya. Sengketa dapat diselesaikan secara kekeluargaan (di luar pengadilan) atau melalui pengadilan. Jika perselisihan yang ada tetap dapat dibicarakan dan diselesaikan secara baik, penyelesaian secara kekeluargaan merupakan jalur yang sangat wajar dan efisien.44

44

Waktu yang terbuang tidak banyak dan biaya yang dikeluarkan tidak besar. Namun, penyelesaian sengketa juga sering dilakukan melalui pengadilan. Dalam hal ini,


(19)

waktu yang terpakai akan banyak dan harus melalui tahap-tahapan peradilan yang ada, yang tentunya juga melibatkan biaya yang tidak sedikit. Secara fakta, masih banyak pihak yang menyelesaikan sengketanya melalui pengadilan karena pihak-pihak yang bersengketa ingin memperoleh kepastian dan kejelasan secara hukum melalui putusan pengadilan tentang obyek sengketa yang ada. Tentunya, putusan pengadilan secara umum bersifat menang-kalah (win-lose).

Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa melalui “adjudikatif privat”, yang putusannya bersifat final dan mengikat. Arbitrase sekarang diatur UU No. 30 Tahun 1999. Ketentuan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Adapun objek pemeriksaan Arbitrase adalah memeriksa sengketa keperdataan, tetapi tidak semua sengketa keperdataan dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya bidang tertentu yang disebutkan dalam Pasal 5 angka (1) UU No. 30 Tahun 1999 yaitu :“sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.

Penjelasannya tidak memberikan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan. Jika dihubungkan dengan penjelasan Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999, termasuk dalam ruang lingkup perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang :45


(20)

1. Perniagaan 2. Perbankan 3. Keuangan

4. Penanaman modal 5. Industri dan;

6. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)

Selanjutnya Pasal 5 angka (2) menyebutkan bahwa : “Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian”. Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, maka kompetensi arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.

E. Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase

Di samping berbagai kelebihan dari penyelesaian sengketa di arbitrase, yang menurut beliau menjadi keunggulan adalah arbiter pemeriksa perkara adalah ahli yang memiliki kompetensi dalam bidang usaha yang dipersengketakan.” Berbeda dengan sidang perdata di tingkat pengadilan negeri, dalam proses arbitrase didahului dengan pengajuan permohonan arbitrase disertai dengan permohonan penunjukkan arbitrer yang akan dipilih oleh pemohon untuk menangani sengketa di arbitrase hingga bukti-bukti yang akan diajukan oleh pemohon untuk mendukung permohonannya (statement of claim).46

Arbitrase


(21)

sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat menjatuhkan putusan yang bersifat final dan mengikat. Idealnya, para pihak yang menyelesaikan sengketa di arbitrase tidak lagi membawa permasalahan ke pengadilan, baik dalam hal eksekusi ataupun membatalkan putusan arbitrase.

Walaupun hanya berupa quasi judicial, lembaga arbitrase akan lebih efektif dipilih untuk menyelesaikan sengketa bisnis, sepanjang dilakukan secara sukarela dan dengan itikad baik. Karena secara prinsip, para pihak memilih arbitrase untuk menghindari pengadilan. Salah satu alasannya karena sifat tertutup arbitrase yang dapat menjaga kerahasiaan kasus mereka. Mengingat, publikasi tentang sengketa kurang baik bagi pebisnis. Yang menarik dalam arbitrase, sebelum sidang dimulai, para pihak sudah mengetahui posisi dan sikap masing-masing pihak sebagaimana tertuang dalam permohonan arbitrase dan jawaban terhadap permohonan arbitrase. Bahkan, para pihak pun sudah menyerahkan daftar bukti untuk mendukung dalilnya. Sehingga, pada saat sidang pemeriksaan arbitrase, para pihak mendapatkan keleluasaan untuk mengutarakan argumennya secara verbal dan juga dapat menyertakan bukti tambahan.

Pemandangan sidang arbitrase jauh berbeda dengan sidang perdata di pengadilan negeri yang terkadang hanya bertukar dokumen sidang. Agenda pembuktian pun seperti seremonial penyerahan dokumen semata, jika tidak ada saksi yang diajukan dalam perkara tersebut.

Lebih jauh mengenai permohonan arbitrase juga telah diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999. Selanjutnya, Setya Kandhy akan menggunakan pendekatan


(22)

dalam prosedur berarbitrase di Badan arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Berikut adalah tahapan prosedurnya.47

a. nama dan alamat para pihak; 1. Permohonan Arbitrase

Prosedur arbitrase dimulai dengan pendaftaran dan penyampaian Permohonan Arbitrase oleh pihak yang memulai proses arbitrase pada Sekretariat BANI. Di dalam permohonan tersebut, pemohon menjelaskan baik dari sisi formal tentang kedudukan pemohon dikaitkan dengan perjanjian arbitrase, kewenangan arbitrase (dalam hal ini BANI) untuk memeriksa perkara, hingga prosedur yang sudah ditempuh sebelum dapat masuk ke dalam penyelesaian melalui forum arbitrase.

Penyelesaian sengketa di arbitrase dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak berperkara. Kesepakatan tersebut dapat dibuat sebelum timbul sengketa (Pactum De Compromittendo) atau disepakati para pihak saat akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase (akta van compromis).

Sebelum mendaftarkan permohonan ke BANI, Pemohon terlebih dahulu memberitahukan kepada Termohon bahwa sehubungan dengan adanyasengketa antara Pemohon dan Termohon maka Pemohon akan menyelesaikan sengketa melalui BANI. Sesuai dengan Pasal 8 angka (1) dan (2) UU No. 30 Tahun 1999, pemberitahuan sebagaimana dimaksud di atas harus memuat dengan jelas:

b. penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku; c. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;


(23)

d. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada; e. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan

f. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.

Setelah menerima Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen serta biaya pendaftaran yang disyaratkan, Sekretariat harus mendaftarkan Permohonan itu dalam register BANI. Badan Pengurus BANI juga akan memeriksa Permohonan tersebut untuk menentukan apakah perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase dalam kontrak telah cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk memeriksa sengketa tersebut.

2. Penunjukan Arbiter

Pada dasarnya, para pihak dapat menentukan apakah forum arbitrase akan dipimpin oleh arbiter tunggal atau oleh Majelis. Dalam hal forum arbitrase dipimpin oleh arbiter tunggal, para pihak wajib untuk mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan arbiter tunggal pemohon secara tertulis harus mengusulkan kepada termohon nama orang yang dapat diangkat sebagai arbiter tunggal. Jika dalam 14 (empat belas) hari sejak termohon menerima usul pemohon para pihak tidak berhasil menentukan arbiter tunggal maka dengan berdasarkan permohonan dari salah satu pihak maka Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter tunggal.

Dalam hal forum dipimpin oleh Majelis maka para pihak akan mengangkat masing-masing 1 (satu) arbiter. Dalam forum dipimpin oleh Majelis arbiter yang


(24)

telah diangkat oleh Para Pihak akan menunjuk 1 (satu) arbiter ketiga (yang kemudian akan menjadi ketua majelis arbitrase). Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah pengangkatan arbiter terakhir belum juga didapat kata sepakat maka atas permohonan salah satu pihak maka Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga.

Apabila setelah 30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan diterima oleh termohon dan salah satu pihak ternyata tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah pihak. 3.Tanggapan Termohon

Apabila Badan Pengurus BANI menentukan bahwa BANI berwenang memeriksa, maka setelah pendaftaran Permohonan tersebut, seorang atau lebih Sekretaris Majelis harus ditunjuk untuk membantu pekerjaan administrasi perkara arbitrase tersebut. Sekretariat harus menyampaikan satu salinan Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen lampirannya kepada Termohon, dan meminta Termohon untuk menyampaikan tanggapan tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah menerima penyampaian Permohonan Arbitrase, Termohon wajib menyampaikan Jawaban. Dalam jawaban itu, Termohon dapat menunjuk seorang Arbiter atau menyerahkan penunjukan itu kepada Ketua BANI. Apabila, dalam Jawaban tersebut, Termohon tidak menunjuk seorang Arbiter, maka dianggap bahwa penunjukan mutlak telah diserahkan kepada Ketua BANI.


(25)

Ketua BANI berwenang, atas permohonan Termohon, memperpanjang waktu pengajuan Jawaban dan atau penunjukan arbiter oleh Termohon dengan alasan-alasan yang sah, dengan ketentuan bahwa perpanjangan waktu tersebut tidak boleh melebihi 14 (empat belas) hari.

4. Tuntutan Balik

Apabila Termohon bermaksud mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian sehubungan dengan sengketa atau tuntutan yang bersangkutan sebagai-mana yang diajukan Pemohon, Termohon dapat mengajukan tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut bersama dengan Surat Jawaban atau selambat-lambatnya pada sidang pertama. Majelis berwenang, atas permintaan Termohon, untuk memperkenankan tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian itu agar diajukan pada suatu tanggal kemudian apabila Termohon dapat menjamin bahwa penundaan itu beralasan.

Atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut dikenakan biaya tersendiri sesuai dengan cara perhitungan pembebanan biaya adminsitrasi yang dilakukan terhadap tuntutan pokok (konvensi) yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak berdasarkan Peraturan Prosedur dan daftar biaya yang berlaku yang ditetapkan oleh BANI dari waktu ke waktu. Apabila biaya administrasi untuk tuntutan balik atau upaya penyelesaian tersebut telah dibayar para pihak, maka tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian akan diperiksa, dipertimbangkan dan diputus secara bersama-sama dengan tuntutan pokok.


(26)

Kelalaian para pihak atau salah satu dari mereka, untuk membayar biaya administrasi sehubungan dengan tuntutan balik atau upaya penyelesaian tidak menghalangi ataupun menunda kelanjutan penyelenggaraan arbitrase sehubungan dengan tuntutan pokok (konvensi) sejauh biaya administrasi sehubungan dengan tuntutan pokok (konvensi) tersebut telah dibayar, seolah-olah tidak ada tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tuntutan.

Jawaban Tuntutan Balik

Dalam hal Termohon telah mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian, Pemohon (yang dalam hal itu menjadi Termohon), berhak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari atau jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Majelis, untuk mengajukan jawaban atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut.

5. Sidang Pemeriksaan

Dalam sidang pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan. Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus. Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil


(27)

putusan provisionil atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan.

Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus dilakukan secara tertulis. Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase. Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat tertentu diluar tempat arbitrase diadakan. Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata.

Arbiter atau majelis arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah agar dapat juga hadir dalam pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila :

a. Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu; b. Sebagai akibat ditetapkan putusan provisionil atau putusan sela lainnya;

atau

c. Dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan.


(28)

Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa. Dalam hal usaha perdamaian sudah tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut. Apabila pada hari yang ditentukan sebagaimana dimaksud termohon tanpa suatu alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi. Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum.

Majelis wajibmenetapkan Putusan akhir dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak ditutupnya persidangan, kecuali Majelis mempertimbangkan bahwa jangka waktu tersebut perlu diperpanjang secukupnya. Selain menetapkan Putusan akhir, Majelis juga berhak menetapkan putusan-putusan pendahuluan, sela atau Putusan-putusan-putusan parsial.

6. Biaya-biaya

Permohonan Arbitrase harus disertai pembayaran biaya pendaftaran dan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan BANI. Biaya administrasi meliputi biaya administrasi Sekretariat, biaya pemeriksaan perkara dan biaya arbiter serta biaya Sekretaris Majelis. Mengenai biaya ini didasarkan juga pada besarnya nilai


(29)

tuntutan yang dicantumkan dalam permohonan arbitrase, baik materiil juga imateriil. Oleh karena itu, pemohon arbitrase hendaknya lebih bijak dalam menetapkan nilai tuntutannya. Satu dan lain hal, karena pendaftaran biaya arbitrase dihitung berdasarkan prosentase nilai tuntutan dan majelis arbiter hanya akan mengabulkan nilai tuntutan yang dapat dibuktikan oleh pemohon.

Apabila terdapat pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase seperti yang dimaksud oleh Pasal 30 UU No. 30 Tahun 1999, maka pihak ketiga tersebut wajib untuk membayar biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya sehubungan dengan keikutsertaannya tersebut. Dalam hal Termohon tidak memberikan tanggapan atau diam saja, maka Pemohon arbitrase berkewajiban untuk membayar beban biaya perkara Termohon. Pemeriksaan perkara arbitrase tidak akan dimulai sebelum biaya administrasi dilunasi oleh kedua belah pihak.

7. Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59 sampai dengan 64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final ddan mengikat.

Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan


(30)

Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan Pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.48

48

Budhy Budiman. Mencari Model Ideal penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap praktik Peradilan Perdata Dan undang-Undang Nomor 30 Tahun


(31)

BAB IV

PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE DALAM PERJANJIAN PEMAKAIAN ARUS LISTRIK ANTARA

PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA DENGAN PELANGGAN AKIBAT WANPRESTASI

A. Profil Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero Kantor Area Medan 1. Profil Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero Kantor Area Medan

Sejarah keberadaan PT PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara berawal dari dimulainya usaha kelistrikan di Sumatera Utara pada tahun 1923, yakni ketika perusahaan swasta belanda bernama NV NIGEM / OGEM membangun sentral listrik di tanah pertapakan yang saat ini menjadi lokasi kantor PLN Cabang Medan di Jl. Listrik No. 12 Medan. Kemudian menyusul pembangunan kelistrikan di Tanjung Pura dan Pangkalan Brandan pada tahun 1924, di Tebing Tinggi tahun 1927, di Sibolga (oleh NV ANIWM) Berastagi dan Tarutung tahun 1929, di Tanjung Balai tahun 1931, di Labuhan Bilik tahun 1936 dan Tanjung Tiram pada tahun 1937.49

Setelah proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, bergeraklah aksi karyawan perusahaan listrik di seluruh penjuru tanah air untuk mengambil alih perusahaan listrik bekas milik swasta Belanda dari tangan Jepang. Perusahaan listrik yang diambil alih itu kemudian diserahkan kepada Pemerintah RI yakni kepada Departemen Pekerjaan Umum. Untuk mengenang peristiwa ambil alih itu maka dengan Penetapan Pemerintah No.1 sd /45 ditetapkanlah tanggal 27 Oktober sebagai Hari Listrik.


(32)

Dalam suasana hubungan antara Indonesia dan Belanda yang makin memburuk, maka pada tanggal 3 Oktober 1953 terbitlah Surat Keputusan Presiden No. 163 yang memuat ketentuan Nasionalisasi Perusahaan Listrik milik swasta Belanda sebagai bagian dari perwujudan Pasal 33 angka (2) UUD NRI Thn 1945. Setelah aksi ambil alih itu maka sejak tahun 1955 berdiri Perusahaan Listrik Negara Distribusi Cabang Sumatera Utara (yang meliputi daerah Sumatera Timur dan Tapanuli) yang berpusat di Medan.

Pada bulan Maret 1958 dibentuk Penguasa Perusahaan-Perusahaan Listrik dan Gas (P3LG) yang merupakan gabungan antara pengusahaan listrik dan pengusahaan gas. Dalam perjalanannya, pada tahun 1959 P3LG berubah menjadi Direktorat Djenderal PLN (DDPLN). Pada tanggal 1 Januari 1961 dibentuklah Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU–PLN) yang bergerak di bidang listrik, gas dan kokas. Setelah BPU PLN berdiri dengan SK Menteri PUT No. 16/1/20 tanggal 20 Mei 1961, maka organisasi kelistrikan pun berubah. Perusahaan listrik di Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau diubah namanya menjadi PLN Eksploitasi. Pada tanggal 1 Januari 1965, BPU-PLN dibubarkan melalui Peraturan Menteri PUT No. 9 /PRT/64 dan kemudian dibentuklah 2 perusahaan negara yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengelola tenaga listrik dan Perusahaan Gas Negara (PGN) yang mengelola gas. Kemudian dengan terbitnya Peraturan Menteri No. 1/PRT/65 ditetapkanlah pembagian daerah kerja PLN secara nasional menjadi 15 Kesatuan daerah Eksploitasi, dimana PLN Sumatera Utara ditetapkan menjadi PLN Eksploitasi I.


(33)

Sebagai tindak lanjut dari pembentukan PLN Eksploitasi I Sumatera Utara tersebut, maka dengan Surat Keputusan Direksi PLN No. KPTS 009/DIRPLN/1966 tanggal 14 April 1966, PLN Eksploitasi I dibagi menjadi empat cabang dan satu sektor, yaitu Cabang Medan, Binjai, Sibolga, dan Pematang Siantar (yang berkedudukan di Tebing Tinggi). Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1972 mengubah bentuk perusahaan menjadi Perusahaan Umum (PERUM) yang isinya mempertegas kedudukan PLN sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara dengan hak, wewenang dan tanggung jawab untuk membangkitkan, menyalurkan dan mendistribusikan tenaga listrik ke seluruh Wilayah RI. Dalam Surat Keputusan Menteri PUTL No. 01/PRT/73 menetapkan PLN Eksploitasi I Sumatera Utara diubah menjadi PLN Eksploitasi II Sumatera Utara. Menyusul kemudian terbit Peraturan Menteri PUTL No. 013/PRT/75 yang mengubah PLN Eksploitasi menjadi PLN Wilayah, dimana PLN Eksploitasi II berubah namanya menjadi PLN Wilayah II Sumatera Utara.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan, Perusahaan Umum (PERUM) Listrik Negara ditetapkan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK). Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas usaha penyediaan tenaga listrik, maka pada tanggal 16 Juni 1994 terbitlah Peraturan Pemerintah No.23/1994 yang isinya menetapkan status PLN yang berubah dari Perusahaan Umum (PERUM) Listrik Negara dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).

Sejak status perusahaan berubah, perkembangan kelistrikan di Sumatera Utara terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang begitu pesat. Hal ini


(34)

ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah pelanggan, perkembangan fasilitas kelistrikan, kemampuan pasokan listrik dan indikasi-indikasi pertumbuhan lainnya. Untuk mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan kelistrikan Sumatera Utara dimasa mendatang serta sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan jasa kelistrikan, maka berdasarkan Surat Keputusan Direksi Nomor 078.K/023/DIR/1996 tanggal 8 Agustus 1996, dibentuklah organisasi baru bidang jasa pelayanan kelistrikan yaitu PT PLN (Persero) Pembangkitan dan Penyaluran Sumatera Bagian Utara.

Dengan pembentukan Organisasi baru PT PLN (Persero) Pembangkitan dan Penyaluran Sumatera Bagian Utara yang terpisah dari PT PLN (Persero) Wilayah II, maka fungsi – fungsi pembangkitan dan penyaluran yang sebelumnya dikelola oleh PT PLN (Persero) Wilayah II berpisah tanggung jawab pengelolaannya ke PLN Pembangkitan dan Penyaluran Sumbagut. Sementara itu, PT PLN (Persero) Wilayah II berkonsentrasi pada bidang distribusi dan penjualan tenaga listrik. Pada Tahun 2003 PT PLN (Persero) Wilayah II berubah namanya menjadi PT PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara.

Wilayah Kerja PT PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara meliputi keseluruhan wilayah Provinsi Sumatera Utara dengan luas 71.680,68 km2 yang terdiri atas 25 Kabupaten dan 8 Kota dengan 417 Kecamatan dan 5.856 Desa/Kelurahan dimana sebagian besar berada di daratan Pulau Sumatera dan sebagian kecil berada di Pulau Nias.


(35)

2. Visi dan Misi PT PLN (Persero)

Visi yang ingin dicapai PT PLN (Persero) Area Medan adalah:

Diakui sebagai Perusahaan Kelas Dunia yang Bertumbuh kembang, Unggul dan Terpercaya dengan bertumpu pada Potensi Insani.

Misi

Misi yang diusung oleh PT PLN (Persero) Are Medan adalah:

a. Menjalankan bisnis kelistrikan dan bidang lain yang terkait, berorientasi pada kepuasan pelanggan, anggota perusahaan dan pemegang saham. b. Menjadikan tenaga listrik sebagai media untuk meningkatkan kualitas

kehidupan masyarakat.

c. Mengupayakan agar tenaga listrik menjadi pendorong kegiatan ekonomi. d. Menjalankan kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan.

3. Moto

Listrik untuk Kehidupan yang Lebih Baik

B. Proses Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase antara Perusahaan Listrik Negara dengan Pelanggan dalam Perjanjian Pemakaian Arus Listrik Akibat Wanprestasi

Hak dan Kewajiban Para Pihak pada Perjanjian Pemakaian Arus Listrik 1. Hak PLN

a. Menerima pembayaran arus listrik yang telah dinikmati konsumen pelanggan.

b. Memeriksa instalasi ketenagalistrikan yang diperlukan oleh masyarakat baik sebelum maupun sesudah mendapat sambungan listrik.


(36)

c. PLN tidak bertanggung jawab atas bahaya terhadap keselamatan nyawa dan barang yang timbul karena penggunaan arus listrik yang tidak sesuai pemakaiannya.

2. Kewajiban PLN

a. Menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan keandalan yang berlaku.

b. Memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada konsumen dan masyarakat.

c. Mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.50 3. Hak Pelanggan

a. Mendapat pelayanan yang baik.

b. Mendapat tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan yang baik.

c. Memperoleh tenaga listrik dengan harga yang wajar.

d. Mendapatkan pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik.

4. Kewajiban Pelanggan

a. Melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik.

b. Menjaga dan memelihara keamanan instalasi ketenagalistrikan. c. Mentaati persyaratan teknis dibidang ketenagalistrikan.

d. Memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya.

50


(37)

e. Membayar uang langganan atau harga tenaga listrik sesuai ketentuan dan perjanjian.

f. Mengizinkan PLN untuk melaksanakan kewenangannya.51 5. Sanksi

a. Pengenaan biaya keterlambatan. b. Tagihan susulan.

c. Pemutusan sementara.

d. Pemutusan/pembongkaran rampung.

e. Pembatalan perjanjian jual beli tenaga listrik.

f. Bentuk-bentuk sanksi lainnya yang dinyatakan dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.

Terjadinya suatu sengketa merupakan suatu hal yang sering terjadi terutama bagi kalangan para pebisnis bahkan hal semacam ini menjadi tidak asing lagi di mana setiap ada permasalahan terutama yang berkaitan dengan permasalahan hukum perdata pastilah akan mengajukan suatu gugatan. Sementara di kalangan para pebisnis penyelesaian suatu sengketa dapat menggunakan jalur litigasi maupun non litigasi tetapi para pebisnis sendiri cenderung menggunakan cara non litigasi dimana cara ini cenderung lebih efektif terutama penyelesaian dengan menggunakan cara arbitrase. Tidak hanya itu saja penyelesaian melalui arbitrase ini didasari oleh itikad baik di antara para dengan membuat suatu perjanjian sehingga hal ini berlandaskan tata cara yang kooperatif dan non kooperatif.

51


(38)

Tidak hanya itu penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ini menjadi populer di kalangan bisnis disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :

1. Sifatnya tertutup sehingga pihak yang bersengketa merasa lebih aman karena sengketanya tidak diketahui oleh masyarakat luas.

2. Biaya relatif lebih ringan dan dapat dibuat estimasi yang mendekati kenyataan.

3. Waktu yang diperlukan lebih singkat karena para pihak dapat menyepakati putusan arbiter atau majelis arbiter adalah putusan terakhir yang berlaku bagi para pihak sehingga tidak ada upaya hukum lain (final and binding). 4. Putusan arbiter atau majelis arbiter lebih dipercaya akan menghasilkan

putusan yang lebih adil karena majelis arbiter dipilih oleh para pihak. 5. Kebebasan untuk membuat pilihan hukum, hal ini sangat penting bagi para

pihak yang mempunyai sistem hukum yang berbeda.52

Proses penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, adalah sebagai berikut:53

52

Priyatna Abdurrasyid, dkk., Prospek Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 162.

53

Wawancara dengan Putri Sinaga, selaku Asisten Officer Administrasi Umum dan K3 1. Arbiter dapat mendengar keterangan setiap orang untuk hadir, setelah

dipanggil dengan patut;

2. Arbiter dapat menunjuk seorang/para ahli, menetapkan syarat-syarat, menerima laporannya dan/atau mendengar keterangan mereka;

3. Arbiter dapat memutuskan perkara berdasarkan dokumen yang ada saja, jika para pihak mengusulkan/menyetujui;


(39)

4. Jika salah satu pihak, meskipun telah dipanggil, tidak hadir tanpa alasan yang sah, jika arbiter merasa pemanggilan tersebut cukup, arbiter mempunyai kewenangan untuk melanjutkan arbitrase, dan persidangannya dianggap telah dilaksanakan dengan kehadiran semua pihak;

5. Menentukan bahasa yang dipergunakan dalam arbitrase, dengan memperhatikan semua keadaan, khususnya bahasa perjanjian yang dibuat;

6. Memiliki kewenangan penuh untuk mendengar semua pihak. Kecuali dengan persetujuan arbiter dan para pihak, pihak yang tidak terkait dengan perkara tidak boleh hadir (tertutup);

7. Jangka waktu penyelesaian dilakukan dalam 6 bulan, bila semua persyaratan telah dipenuhi. Jangka waktu tersebut terhitung sejak tanggal penandatanganan oleh arbiter atau dokumen para pihak

8. Keputusan arbiter bersifat final dan mengikat.54

1. Pemakaian arus daya listrik tidak sesuai dengan Kwh (kilowatt-hour).

Berdasarkan keterangan yang di dapat penulis mengenai jenis-jenis pelanggaran yang dilakukan oleh pelanggan dalam perjanjian pemakaian arus listrik dengan PT. PLN, antara lain:

2. Merusak segel meteran arus daya listrik.

3. Tidak membayar arus daya listrik dengan tepat waktu. 4. Penggunaan arus daya listrik diluar pelanggan.

54


(40)

Adapun proses penyelesaiannya pihak PLN memberikan tugas kepada tim Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (selanjutnya disebut P2TL) untuk memeriksa pelanggan yang bermasalah sebelumnya tim P2TL menentukan target operasi kemudian menentukan jadwal waktu pelaksanaan lalu melakukan koordinasi lapangan dengan pihak terkait guna untuk memeriksa pelanggan yang melakukan pelanggaran. Cara tim P2TL menentukan target operasi adalah melakukan pemantauan dari daftar langganan yang perlu diperhatikan, daftar pembacaan meter dan daftar pemakaian Kwh lalu melakukan pemantauan terhadap pemakaian arus tenaga listrik bagi pelanggan yang tidak wajar minimum selama tiga bulan berturut-turut kemudian mengumpul data dan informasi tentang pelanggan yang melakukan pelanggaran dan setelah semua upaya tersebut dilakukan maka pihak P2TL datang melakukan pemeriksaan terhadap pelanggan yang melakukan pelanggaran atau dapat juga disebut target operasi dan tim P2TL itu melakukan pemeriksaan harus disaksikan oleh penghuni atau saksi untuk menghindari dugaan merusak segel sebelum diadakan pemeriksaan jika adanya saksi atau penghuni maka pemeriksaan dilanjutkan, jika setelah pemeriksaan tersebut benar pelanggan melakukan pelanggaran dan mempunyai bukti yang sah maka tim P2TL melakukan pemutusan sementara kemudian tim P2TL melakukan pengisian formulir berita acara hasil pemeriksaan untuk memenuhi pembuktian perkara, berita acara tersebut ditandatangani oleh tim P2TL dan pelanggan atau yang mewakilinya jika pelanggan tidak mau menandatanganinya maka tim P2TL mencatat bahwa pelanggan tidak mau menandatanganinya dan selanjutnya petugas P2TL meminta kepada kepala lingkungan atau masyarakat setempat yang


(41)

mengenal pelanggan yang melakukan pelanggaran sebagai saksi, jika saksi juga keberatan atau tidak bersedia menandatangani maka Tim P2TL juga mencatat bahwasanya saksi tidak bersedia menandatangani berita acara tersebut dan tim P2TL memberikan surat panggilan kepada pelanggan untuk datang kekantor PLN guna menyelesaikan pelanggaran yang dilakukan pelanggan dengan cara melakukan negosiasi di Kantor PLN antara PLN dengan Pelanggan sampai permasalahan tersebut selesai dengan damai dan pelanggan mau membayar tagihan-tagihan atas pelanggaran yang dilakukannya.55

Apabila pelanggan atau saksi tidak datang memenuhi surat panggilan pertama dalam waktu 3 (tiga) hari maka petugas administrasi P2TL mengirimkan surat panggilan kedua jika dalam waktu 3 (tiga) hari kedepan setelah dikeluarkan surat panggilan kedua pelanggan atau saksi tidak datang juga maka pihak PLN memberikan surat panggilan ketiga apabila sampai dengan surat ketiga pelanggan atau saksi tidak datang memenuhi panggilan PLN maka petugas administrasi P2TL mengirimkan surat peringatan pertama yang berisi tagihan susulan dan melakukan pemutusan sementara dengan selang waktu 3 (tiga) hari kerja dari surat panggilan ketiga. Masa peringatan pertama adalah 5 (lima) hari kerja setelah tanggal surat peringatan pertama apabila sampai berakhirnya masa peringatan pertama, pelanggan atau yang mewakili belum datang memenuhi panggilan PLN maka petugas administrasi mengirimkan surat peringatan kedua yang berkerja sama dengan jaksa. Masa surat peringatan kedua adalah selama 6 (enam) hari kerja dan apabila pelanggan atau yang mewakili tidak datang memenuhi

55


(42)

panggilan PLN pada masa surat peringatan kedua maka PLN akan mengirimkan petugas untuk melaksanakan kegiatan pemutusan rampung (pembongkaran meteran arus daya listrik).56

Ketentuan tagihan susulan dibuat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak Pelanggan atau yang mewakili datang memenuhi panggilan PLN untuk penyelesaian hasil temuan P2TL, Tagihan Susulan dan biaya P2TL lainnya harus dibayar tunai atau atas permintaan Pelanggan dan atas Pertimbangan tertentu dapat dibayar secara angsuran 12 (dua belas) kali dengan jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan. Dalam hal kasus khusus General Manager unit setempat dapat memberikan angsuran lebih dari 12 (dua belas) kali dengan jangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan. Pembayaran tagihan susulan P2TL dilakukan dikantor PLN setempat di mana Pelanggan terdaftar. Jika setelah pemutusan rampung terjadi Pelanggan tidak terima atas yang dilakukan PLN dikarenakan mereka mempunyai alasan-alasan dan bukti-bukti yang sah maka dari

Apabila bagi Pelanggan yang telah dikenakan Pemutusan Sementara kemudian melakukan pembayaran tagihan susulan (denda atas pelanggaran) biaya P2TL lainnya dan telah melunasi angsuran pertama maka pihak PLN melakukan penyambungan kembali paling lama 2 (dua) hari kerja setelah dilakukan pembayaran oleh Pelanggan dan bagi Pelanggan yang telah dikenakan pemutusan rampung juga melakukan pelunasan tagihan susulan (denda atas pelanggaran) serta biaya P2TL lainnya dan melunasi angsuran pertama maka dilakukan penyambungan kembali yang diberlakukan sebagai Pelanggan pasang baru.

56


(43)

itu pelanggan juga dapat mengajukan keberatan atas penetapan sanksi P2TL, maka Pelanggan dapat mengajukan keberatan kepada General Manager

Distribusi/Wilayah atau Manajer Area/Cabang Unit PLN yang memberikan sanksi dimaksud dengan disertai alasan-alasan dan bukti-bukti yang jelas. Pelanggan dapat mengajukan keberatan dengan jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah kejadian P2TL setelah diterimanya atas keberatan yang diajukan pelanggan tersebut oleh PLN maka akan dianalisa dan evakuasi oleh Tim Keberatan yang dibentuk oleh General Manager Distribusi/Wilayah untuk tingkat Distribusi/Wilayah dan oleh Manajer Area/Cabang untuk tingkat Cabang/Area.Tim Keberatan dibentuk dan diketuai oleh General Manager untuk Wilayah/Distribusi dan Manajer untuk Cabang/Area serta berjumlah minimal 5 (lima) orang atau ganjil yang terdiri dari unsur-unsur yang meliputi:

a. Teknik

b. Niaga/Pelayanan Pelanggan c. Administrasi dan Kepegawaian

d. Wakil Pemerintah di Bidang Ketenagalistrikan.

Dalam hal keberatan yang diajukan oleh Pelanggan jika tidak terpenuhi baik secara keseluruhan maupun sebahagian, maka unit yang mengenakan sanksi P2TL harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak keberatan diterima. Dan sebaliknya jika yang diajukan oleh Pelanggan terpenuhi untuk diproses lebih lanjut, maka unit yang menerima keberatan harus menyampaikan keputusan atas keberatan tersebut kepada pelanggan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak


(44)

diterimanya keberatan dari Pelanggan.57

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui konsiliasi, mediasi dan arbitrase.

Dalam hal Pelanggan yang terkena Pemutusan Sementara/Pemutusan Rampung dan dinyatakan terbukti tidak bersalah apabila kesalahan yang mengakibatkan dilakukan Pemutusan Sementara/Pemutusan Rampung terbukti akibat kelalaian yang dilakukan oleh Pihak PLN, Manajemen PLN dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja harus menyampaikan permohonan maaf secara tertulis kepada Pelanggan tersebut.

Setelah adanya hasil dari Tim Keberatan bahwasanya Pelanggan adalah yang bersalah maka Pelanggan juga diwajibkan melakukan pembayaran Tagihan Susulan tetapi jika Pelanggan tersebut tidak mau membayar dan merasa keberatan atas keputusan tersebut maka Pelanggan membuat laporan kepada kantor Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK) Pelanggan tersebut membuat laporan meminta perlindungan konsumen dikarenakan merasa keberatan atas keputusan oleh pihak PLN bahwa Pelanggan melanggar perjanjian dalam pemakaian Arus Listrik. Pelanggan membuat laporan kepada kantor BPSK adalah untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dengan PLN. Adapun fungsi dan tugas BPSK sebagai berikut ;

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen. c. Pengawasan perjanjian baku.

57


(45)

d. Melaporkan daripada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran undang-undang ini.

e. Menerima pengaduan lisan dan tertulis tentang dilanggarnya perlindungan konsumen.

f. Melakukan penelitian dan pemriksaan sengketa konsumen. g. Memanggil pelaku usaha pelanggar.

h. Menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang mengetahui pelanggaran ini.

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan saksi apabila tidak memenuhi panggilan.

j. Mendapatkan, meneliti dan menilai surat-surat, dokumen dan alat-alat bukti lain guna penyilidikan dan pemeriksaan.

k. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian konsumen.

l. Memberitahukan keputusan kepada pelaku usaha pelanggaran undang-undang.

m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha melanggar undang-undang.

Dari keseluruhan tugas dan fungsi kantor BPSK maka pelanggan menyerahkan sepenuhnya untuk menyelesaikan sengketa konsumen dengan dasar dan aturan yang dibuat kantor BPSK hingga masalah selesai. Adapun cara mengajukan sengketa yaitu membuat surat permohonan kepada ketua BPSK mengisi formulir pengaduan dikantor BPSK yang berisi :


(46)

b. Keterangan waktu/tempat terjadinya transaksi. c. Kronologis kejadian.

d. Bukti-bukti yang lengkap seperti ; faktur, bon, kwitansi dan lain-lain. e. Fotokopi KTP pengadu. 58

Setelah berkas diterima oleh BPSK kemudian dilakukan pemanggilan pada pihak-pihak yang bersengketa guna dipertemukan dalam Prasidang. Dari Prasidang itu bisa ditentukan langkah selanjutnya apakah konsumen dan pelaku usaha masih bisa didamaikan atau harus menempuh langkah-langkah penyelesaian yang telah ditetapkan antara lain:

a. Konsiliasi: usaha perdamaian antara dua pihak. Metode konsiliasi ditempuh jika pihak konsumen dan pengusaha bersedia melakukan musyawarah untuk mencari titik temu dengan disaksikan majelis hakim BPSK. Dalam hal ini, majelis hakim BPSK bersikap pasif

b. Mediasi: negosiasi yang dimediasi oleh BPSK. Kedua belah pihak melakukan musyawarah dengan keikutsertaan aktif majelis hakim BPSK, termasuk memberikan penetapan.

c. Arbitrase: kedua belah pihak menyerahkan sepenuhnya kepada arbiter. Konsumen akan memilih salah satu arbiter konsumen yang terdiri dari tiga orang, demikian pula pengusaha akan memilih satu arbiter pengusaha dari tiga arbiter yang ada. Sedangkan ketua majelis hakim BPSK adalah seorang dari tiga wakil pemerintah dalam BPSK.59

58


(47)

Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dalam bentuk kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, yang dikuatkan dalam bentuk keputusan BPSK (SK No. 350/MPP/Kep/12/2000 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 6). Putusan yang dikeluarkan BPSK dapat berupa perdamaian, gugatan ditolak, atau gugatan dikabulkan. Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, berupa pemenuhan ganti rugi dan atau sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (Pasal 40).

Penyelesaian yang dilakukan PLN terhadap yang bukan pelanggan dalam pemakaian arus daya listrik, yaitu Tim P2TL datang memeriksa si pelanggar tersebut jika benar melakukan pemakaian arus daya listrik dengan tidak terdaftar di Kantor PLN, maka Tim P2TL memberikan surat panggilan untuk datang ke Kantor PLN menyelesaikan permasalahan pelanggaran yang dilakukan si pelanggar dengan membayar denda sesuai arus daya listrik yang digunakannya tanpa sepengetahuan pihak PLN, kemudian Tim P2TL langsung melakukan pemutusan rampung arus daya listrik tersebut, sebelum Tim P2TL meninggalkan si pelanggar maka Tim P2TL meminta identitas si pelanggar sebagai bukti bahwa benar melakukan pelanggaran, jika si pelanggar tidak datang memenuhi panggilan, maka Tim P2TL datang ke alamat si pelanggar sesuai identitas untuk memanggil paksa si pelanggar ke Kantor PLN. 60


(48)

kepada PLN:

No Tahun Jenis Pelanggaran Jumlah

Pelanggaran Penyelesaian

Persentase 1 Januari s/d Desember 2013

1. Pemakaian arus daya listrik tidak sesuai dengan Kwh

95 3 (Tiga) diselesaikan melalui Arbitrase di kantor BPSK

92 (sembilan puluh dua) diselesaikan melalui Negosiasi di Kantor PLN

3% 97%

2. Merusak segel meteran arus

daya listrik 85

5 (lima) diselesaikan melalui Arbitrase di kantor BPSK

80 (delapan puluh) diselesaikan melalui Negosiasi di Kantor PLN

5% 80%

3. Tidak membayar arus daya listrik dengan tepat waktu.

150 - 150 (seratus lima puluh)

diselesaikan melalui negosiasi di Kantor PLN

100%

4. Penggunaan arus daya listrik diluar pelanggan

130 - 130 (seratus tiga puluh)

diselesaikan melalui negosiasi di Kantor PLN

100% 2 Januari s/d Desember 2014

1. Pemakaian arus daya listrik tidak sesuai dengan Kwh

101 3 (tiga) diselesaikan melalui Arbitrase di kantor BPSK

98 (Sembilan puluh delapan) diselesaikan melalui Negosiasi di Kantor PLN

3% 98%

2. Merusak segel meteran arus daya listrik

70 4 (empat) diselesaikan melalui Arbitrase di kantor BPSK

66 (enam puluh enam) diselesaikan melalui Negosiasi di Kantor PLN

6% 94%

3. Tidak membayar arus daya listrik dengan tepat waktu.

180 - 180 (seratus delapan puluh)

diselesaikan melalui negosiasi di Kantor PLN

100

4. Penggunaan arus daya listrik diluar pelanggan

175 - 175 (seratus tujuh puluh lima)

diselesaikan melalui negosiasi


(49)

3

Januari s/d Desember

2015

1. Pemakaian arus daya listrik tidak sesuai dengan Kwh

150 5 (lima) diselesaikan melalui Arbitrase di kantor BPSK

145 (seratus empat puluh lima) diselesaikan melalui Negosiasi di Kantor PLN

3% 97%

2. Merusak segel meteran arus daya listrik

139 6 (enam) diselesaikan melalui Arbitrase di Kantor BPSK

133 (seratus tiga puluh tiga) diselesaikan melalui Negosiasi di Kantor PLN

4% 96%

3. Tidak membayar arus daya listrik dengan tepat waktu.

201 - 201 (dua ratus satu)

diselesaikan melalui negosiasi di Kantor PLN

100%

4. Penggunaan arus daya listrik diluar pelanggan

182 - 182 (seratus delapan puluh

dua) diselesaikan melalui negosiasi di Kantor PLN


(50)

C. Kendala dan Upaya dalam Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dalam Perjanjian Pemakaian Arus Listrik antara Perusahaan Listrik Negara Dengan Pelanggan Akibat Wanprestasi

Kendala dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam perjanjian pemakaian arus listrik antara perusahaan listrik negara dengan pelanggan akibat wanprestasi antara lain:

1. Tidak lengkapnya berkas pelanggan akibat terlalu lama sudah menjadi Pelanggan

2. Pelanggan tidak terima atas tagihan susulan yang ditetapkan oleh PLN.61 Upaya dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam perjanjian pemakaian arus listrik antara perusahaan listrik negara dengan Pelanggan akibat wanprestasi antara lain :

1. Pihak PLN berusaha mengumpulkan berkas untuk membuktikan bahwa Pelanggan tersebut benar melakukan pelanggaran dalam perjanjian pemakaian arus listrik

2. Memberikan tenggang waktu kepada Pelanggan yang merasa keberatan atas tagihan susulan dengan cara PLN memberikan keringanan untuk menyelesaikan tagihan-tagihan susulan sengketa dengan memberikan cicilan kepada Pelanggan dan juga PLN harus menjalankan tugas sebagaimana mestinya.

61


(51)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Proses pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui arbitrase antara perusahaan listrik negara dengan Pelanggan Dalam Perjanjian Pemakaian Arus Listrik Akibat Wanprestasi, pihak PLN memberikan tugas kepada tim Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik untuk memeriksa pelanggan yang bermasalah sebelumnya tim P2TL menentukan target operasi kemudian menentukan jadwal waktu pelaksanaan lalu melakukan koordinasi lapangan dengan pihak terkait guna untuk memeriksa pelanggan yang melakukan pelanggaran.cara tim P2TL menentukan target operasi adalah melakukan pemantauan dari daftar langganan yang perlu diperhatikan, daftar pembacaan meter,dan daftar pemakaian Kwh lalu.

2. Kendala dan upaya dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam perjanjian pemakaian arus listrik antara Perusahaan Listrik Negara dengan pelanggan akibat wanprestasi antara lain tidak lengkapnya berkas pelanggan akibat terlalu lama, pelanggan yang tidak terima dikarenakan tunggakan atau tagihan tidak sesuai, pelanggan tidak terima karena tidak disaksikan oleh saksi atau pelanggan tersebut.

B. Saran

1. Penyelesaian secara arbitrase di Indonesia nampaknya kurang sosialisasi, sehingga sebagian masyarakat belum mengetahui eksistensi lembaga


(52)

arbitrase untuk itu hendaknya mengenai eksistensi lembaga arbitrase ini disosialisasikan kepada masyarakat luas.

2. Penyelesaian secara arbitrase merupakan suatu hasil kesepakatan kedua belah pihak yang ditungkan dalam perjanjian, untuk itu kaitannya dengan upaya hukum permohonan pembatalan keputusan pada Pengadilan Negeri, hendaknya Pengadilan Negeri mempertimbangkan kesepakatan kedua belah pihak dan menekan waktu dalam menerbitkan penetapan atas permohonan tersebut.


(53)

BAB II

TINJAUAN UMUM PENYELESAIAN SENGKETA

A. Pengertian Sengketa dan Penyelesaian Sengketa

Sengketa tidak lepas dari suatu konflik. Dimana ada sengketa pasti disitu ada konflik. Begitu banyak konflik dalam kehidupan sehari-hari. Entah konflik kecil ringan bahkan konflik yang besar dan berat. Hal ini dialami oleh semua kalangan, karena hidup ini tidak lepas dari permasalahan. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Kenapa harus mempelajari tentang sengketa. Karena untuk mengetahui lebih dalam bagaimana suatu sengketa itu dan bagaimana penyelesaiannya.8

Menurut Sarjita, sengketa pertanahan adalah: “Perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang merasa atau dirugikan pihak-pihak tersebut untuk penggunaan dan penguasaan hak atas tanahnya, yang diselesaikan melalui

Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia adalah pertentangan atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu obyek permasalahan. Menurut Winardi, pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu obyek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.


(54)

musyawarah atau melalui pengadilan.”9 Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :10

Macam-macam penyelesaian sengketa pada awalnya, bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dipergunakan selalu berorientasi pada bagaimana supaya memperoleh kemenangan (seperti peperangan, perkelahian bahkan lembaga pengadilan). Oleh karena kemenangan yang menjadi tujuan utama, para

Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.

Dari kedua pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah perilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.

Munculnya sengketa jika salah satu pihak menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak berlaku demikian. Pencarian berbagai jenis proses dan metode untuk menyelesaikan sengketa yang muncul adalah sesuatu yang urgent dalam masyarakat. Para ahli non hukum banyak mengeluarkan energi dan inovasi untuk mengekspresikan berbagai model penyelesaian sengketa (dispute resolution). Berbagai model penyelesaian sengketa, baik formal maupun informal, dapat dijadikan acuan untuk menjawab sengketa yang mungkin timbul asalkan hal itu membawa keadilan dan kemaslahatan.

9

Sarjita, Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan, (Yogyakarta : Tugujogja Pustaka, 2005), hal 8.

10

Ali. Achmad Chomzah, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, (Jakarta : Prestasi


(55)

pihak cenderung berupaya mempergunakan berbagai cara untuk mendapatkannya, sekalipun melalui cara-cara melawan hukum. Akibatnya, apabila salah satu pihak memperoleh kemenangan tidak jarang hubungan diantara pihak-pihak yang bersengketa menjadi buruk, bahkan berubah menjadi permusuhan. Dalam perkembangannya, bentuk-bentuk penyelesaian yang berorientasi pada kemenangan tidak lagi menjadi pilihan utama, bahkan sedapat mungkin dihindari. Pihak-pihak lebih mendahulukan kompromi dalam setiap penyelesaian sengketa yang muncul di antara mereka, dengan harapan melalui kompromi tidak ada pihak yang merasa dikalahkan/dirugikan.

Upaya manusia untuk menemukan cara-cara penyelesaian yang lebih mendahulukan kompromi, dimulai pada saat melihat bentuk-bentuk penyelesaian yang dipergunakan pada saat itu (terutama lembaga peradilan) menunjukkan berbagai kelemahan/kekurangan, seperti: biaya tinggi, lamanya proses pemeriksaan, dan sebagainya. Akibat semakin meningkatnya efek negatif dari lembaga pengadilan, maka pada permulaan tahun 1970-an mulailah muncul suatu pergerakan dikalangan pengamat hukum dan akademisi Amerika Serikat untuk mulai memperhatikan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa.

Laura Nader dan Herry F. Todd membedakan konflik dan sengketa melalui proses bersengketa (disputing process), sebagai berikut:11

1. Tahap pra-konflik atau tahap keluhan, yang mengacu kepada keadaan atau kondisi yang oleh seseorang atau suatu kelompok dipersepsikan sebagai hal yang tidak adil dan alasan-alasan atau dasar-dasar dari adanya perasaan

11


(56)

itu. Pelanggaran terhadap rasa keadilan itu dapat bersifat nyata atau imajinasi saja. Yang terpenting pihak itu merasakan haknya dilanggar atau diperlakukan dengan salah;

2. Tahap Konflik (conflict), ditandai dengan keadaan dimana pihak yang merasa haknya dilanggar memilih jalan konfrontasi, melemparkan tuduhan kepada pihak pelanggar haknya atau memberitahukan kepada pihak lawannya tentang keluhan itu. Pada tahap ini kedua belah pihak sadar mengenai adanya perselisihan pandangan antar mereka;

3. Tahap Sengketa (dispute), dapat terjadi karena konflik mengalami eskalasi berhubung karena adanya konflik itu dikemukakan secara umum. Suatu sengketa hanya terjadi bila pihak yang mempunyai keluhan telah meningkatkan perselisihan pendapat dari pendekatan menjadi hal yang memasuki bidang publik. Hal ini dilakukan secara sengaja dan aktif dengan maksud supaya ada sesuatu tindakan mengenai tuntutan yang diinginkan.

B. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Alternatif

Beberapa cara yang dapat dipilih dalam menyelesaikan sengketa, diantaranya adalah :

1. Konsultasi

Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan dalam UU No. 30 Tahun 1999 mengenai makna maupun arti dari konsultasi. Jika melihat pada Black’s law dictionary dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan


(57)

konsultasi (consultation) adalah “act of consulting or conferring e.g patient with doctor, client with lawyer. Deliberation of persons on some subject”. 12

12

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis (Hukum Arbitrase), (Jakarta: Raja Dari rumusan yang diberikan tersebut dapat dilihat, bahwa pada prinsipnya konsultasi merupakan satu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu, yang disebut “klien” dengan pihak lain yang merupakan pihak “konsultan”, yang memberikan pendapatnya klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang menyatakan sifat “keterikatan” atau “ kewajiban” untuk memenuhi dan mengikuti pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan. Ini berarti klien adalah bebas untuk menentukan sendiri keputusan yang akan diambil untuk kepentingannya sendiri, walau demikian tidak menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut. Ini berarti dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alternatif penyelesaian sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidaklah dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak meskipun ada kalahnya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.


(1)

ABSTRAK

*Malem Ginting, SH., M.Hum ** Maria Kaban, SH., M.Hum *** Ade Rizki Syahputra Siregar

Tenaga listrik mempunyai peranan yang sangat penting sebagai pendorong perekonomian di bidang industri, karena bagi industri tenaga listrik merupakan bahan bakar terpenting untuk mempermudah pekerjaan dan juga untuk pertumbuhan ekonomi pada khususnya, selain itu tenaga listrik juga berperan penting dalam kecerdasan masyarakat. Adapun yang menjadi masalah hak dan kewajiban para pihak pada perjanjian pemakaian arus listrik. Proses pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui arbitrase antara perusahaan listrik negara dengan pelanggan dalam perjanjian pemakaian arus listrik akibat wanprestasi. Kendala dan upaya dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam perjanjian pemakaian arus listrik antara perusahaan listrik negara dengan pelanggan akibat wanprestasi.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan normatif sosiologis. Karena pada awalnya hanya meneliti bahan pustaka atau data sekunder untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan, atau terhadap masyarakat.

Hak dan kewajiban para pihak pada perjanjian pemakaian arus listrik. Hak PLN antara lain Menerima pembayaran arus listrik yang telah dinikmati konsumen pelanggan. Memeriksa instalasi ketenagalistrikan yang diperlukan oleh masyarakat baik sebelum maupun sesudah mendapat sambungan listrik. Kewajiban PLN antara lain Menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan keandalan yang berlaku. Memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada konsumen dan masyarakat.Memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan. Mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.Hak Pelanggan antara lain Mendapat pelayanan yang baik. Mendapat tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan yang baik. Memperoleh tenaga listrik dengan harga yang wajar. Mendapatkan pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik. Mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan atau kelalaian pengoperasian oleh pengusaha sesuai syarat-syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik. Kewajiban Pelanggan antara lain Melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik.Menjaga dan memelihara keamanan instalasi ketenagalistrikan.Mentaati persyaratan teknis dibidang ketenagalistrikan. Proses pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui arbitrase antara perusahaan listrik negara dengan Pelanggan Dalam Perjanjian Pemakaian Arus Listrik Akibat Wanprestasi, pihak PLN memberikan tugas kepada tim Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik untuk memeriksa pelanggan yang bermasalah sebelumnya tim P2TL menentukan target operasi kemudian menentukan jadwal waktu pelaksanaan lalu melakukan koordinasi lapangan dengan pihak terkait guna untuk memeriksa pelanggan yang melakukan pelanggaran.cara tim P2TL menentukan target operasi adalah melakukan pemantauan dari daftar langganan yang perlu diperhatikan, daftar pembacaan meter,dan daftar pemakaian Kwh lalu. Kendala dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam perjanjian pemakaian arus listrik antara perusahaan listrik negara dengan pelanggan akibat wanprestasi antara lain tidak lengkapnya berkas pelanggan akibat terlalu lama, pelanggan yang tidak terima dikarenakan tunggakan atau tagihan susulan tidak sesuai.


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmad dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah Tinjauan Yuridis Tentang Penyelesaian Sengketa Melalui dalam Perjanjian Pemakaian Arus Listrik antara Perusahaan Listrik Negara dengan Pelanggan Akibat Wanprestasi.

Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belumlah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kapada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, selaku Wakil Dekan II Fakultas


(3)

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH, MHum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Prof Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Malem Ginting, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I, yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu Maria Kaban, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh staf dan pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi

menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

9. Ibu Dr.Rosnidar Sembiring, SH,M.Hum yang telah banyak membantu dan

memberi dukungan kepada penulis

10.Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis ayahanda

Ir H. Maratua Siregar, MBA dan Ibunda Hj. Emi Zarmi, kakanda penulis Tama Ulina Siregar dan adinda penulis Novi Cintya Ramadhani Siregar, yang telah banyak memberikan dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang tidak pernah putus sampai sekarang dan selamanya.

11.Buat teman-teman stambuk 011, Abib,Bul, Fadel, Desty, Dewi, Aldila, Ido,

Daniel ferdoli,Fauzan zaki,Rickyfauzan,Azhary dan yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas dukungan dan motivasinya sehingga


(4)

12. Buat teman-teman SMA yang selalu memberi dukungan Rizki Jay, Anis, Ikhfan, Arief Barqah, Fahriza dan teman diluar kampus Aprilino, Rara, Agatha, Melly serta teman yang di Jakarta yang memberi dukungan Putra Rendang, Gamawanda Komok

13.Buat yang terbaik Nia Angelia Sutanto, S.Ked yang selalu memberikan

dukungan

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapatkan Balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis memohon maaf kepada Bapak atau Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.

Medan, Desember 2015 Penulis,

Ade Rizki Syahputra Siregar 110200588


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 4

D. Manfaat Penulisan ... 5

E. Metode Penulisan ... 6

F. Keaslian Penulisan ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN UMUM PENYELESAIAN SENGKETA ... 11

A. Pengertian Sengketa dan Penyelesaian Sengketa ... 11

B. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Alternatif ... 14

C. Tujuan Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Alternatif ... 28

D. Peran dan Fungsi Arbiter dalam Penyelesaian Sengketa... 30

BAB III TINJAUAN TENTANG ARBITRASE ... 33

A. Pengertian dan Sumber Hukum Arbitrase ... 33

B. Unsur dan Jenis Arbitrase ... 38


(6)

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE DALAM PERJANJIAN PEMAKAIAN ARUS LISTRIK ANTARA

PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA DENGAN

PELANGGAN AKIBAT WANPRESTASI (STUDI KANTOR

PT. PLN (PERSERO) AREA MEDAN ... 60

A. Profil Perusahaan Listrik Negara Kantor Area Medan ... 60

B. Proses pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui arbitrase

antara perusahaan listrik negara dengan pelanggan dalam

perjanjian pemakaian arus listrik akibat wanprestas ... 64

C. Kendala dan upaya dalam penyelesaian sengketa melalui

arbitrase dalam perjanjian pemakaian arus listrik antara

perusahaan listrik negara dengan pelanggan akibat wanprestasi.. 79 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 80 A. Kesimpulan... 80 B. Saran ... 80 DAFTAR PUSTAKA


Dokumen yang terkait

Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Antara PT.PLN (Persero) dengan CV.Carmel dalam Hal Penyeimbangan Beban Trafo (Studi pada PT.PLN (Persero) Area Payakumbuh)

4 40 96

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN LISTRIK AKIBAT KESALAHAN PENGUKURAN JUMLAH PEMAKAIAN ARUS LISTRIK (Studi Pada PT PLN (Persero) Wilayah Lampung Area Tanjung Karang Rayon Karang)

5 41 56

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA LISTRIK ANTARA PT. PLN (Persero) APJ TEGAL DENGAN PELANGGAN.

1 2 16

PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA LISTRIK TEGANGAN RENDAH ANTARA PT. PLN APJ PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA LISTRIK TEGANGAN RENDAH ANTARA PT. PLN APJ PEKALONGAN DENGAN PELANGGAN LISTRIK (Studi Kasus Di Pengadilan Neger

0 0 14

Tinjauan Hukum Terhadap Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik Antara PT.PLN (PERSERO) Dengan Pelanggan.

0 0 13

Tinjauan Hukum Terhadap Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik Antara PT.PLN (PERSERO) Dengan Pelanggan.

0 0 2

Tinjauan Hukum Terhadap Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik Antara PT.PLN (PERSERO) Dengan Pelanggan.

1 2 28

Tinjauan Hukum Terhadap Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik Antara PT.PLN (PERSERO) Dengan Pelanggan.

0 1 38

Tinjauan Hukum Terhadap Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik Antara PT.PLN (PERSERO) Dengan Pelanggan.

0 0 4

URGENSI PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA LISTRIK ANTARA PT. PLN (PERSERO) DENGAN PELANGGAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT PENERTIBAN PEMAKAIAN TENAGA LISTRIK (P2TL) (Tinjauan Yuridis Aspek Keperdataan) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 181