Identifikasi Masalah Analisis Data Analisis Sistem

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN

3.1 Identifikasi Masalah

Dalam pemeriksaan untuk mendiagnosis suatu penyakit, tim kesehatan harus melakukan tes darah untuk memperoleh hasil yang akurat. Pemeriksaan tepi apusan darah merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium yang penting dan masih dilakukan secara manual sehingga kurangnya ketelitian yang dilakukan oleh para tim dokter ataupun petugas laboratorium bisa memengaruhi perbedaan identifikasi.

3.2 Analisis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 3 kategori yaitu normal dan 2 jenis bentuk kelainan sel darah merah. Data ini penulis dapatkan dari data penelitian terdahulu. Citra sel darah merah yang digunakan sebanyak 10 citra latih untuk masing-masing kategori dan 10 citra uji. 3 kategori kelainan tersebut dapat dilihat pada gambar 2.3.

3.3 Analisis Sistem

Analisis sistem merupakan tahapan untuk memberikan gambaran untuk membangun sistem sehingga sistem yang dibangun mampu menyelesaikan masalah yang ada. Sistem yang akan dibangun dalam penelitian ini adalah sistem untuk mengklasifikasi bentuk kelainan sel darah merah. a b Gambar 2.3. gambar kelainan bentuk sel darah merah: a Achanthocytosis, b Cigar Cell. Sumber : Faculty Of Medicine and Health Sciences, Stellenbosch University Universitas Sumatera Utara Analisis dari sistem ini berisi arsitektur umum, proses sistem, dan perancangan antarmuka sistem. 3.3.1. Arsitektur Umum Pada bagian ini, akan dijelaskan tahap-tahap yang dilakukan dalam pembuatan aplikasi klasifikasi kelainan bentuk sel darah merah. Arsitektur sistem dapat dilihat pada gambar 2.4. 3.3.2. Pra-Pengolahan Tahap pra-pengolahan merupakan tahap untuk menghasilkan citra yang lebih baik sebelum diproses pada tahap selanjutnya. Pada penelitian ini, tahap pra-pengolahan citra terdiri dari proses grayscalling yaitu mengubah citra berwarna menjadi citra keabuan dan dari citra keabuan grayscaling diproses lagi untuk menghasilkan citra biner thresholding. Selanjutnya setelah menjadi citra biner, sistem menggunakan deteksi tepi canny untuk memperoleh ciri tepi citra. Input Citra Latih Citra Uji pra-pengolahan Grayscaling Thresholding Otsu ekstraksi fitur Zoning klasifikasi Hasil klasifikasi kelainan bentuk sel darah merah Radial Basis Function Network Gambar 2.4 Arsitektur Umum Canny Universitas Sumatera Utara 3.3.2.1.Proses Grayscaling Citra sel darah merah berukuran 50 x 50 piksel yang berwarna akan diproses menjadi citra keabuan dari citra berwarna. Tujuan dari proses ini adalah agar citra keabuan akan mudah diproses pada tahap selanjutnya yaitu proses thresholding. Representasi piksel citra sel darah merah yang berukuran 3 x 3 piksel dapat dilihat pada gambar 2.5. Nilai dari Red, Green, Blue pada citra gambar 2.5 yaitu : D1 = R, G, B 242, 218, 225 D2 = R, G, B 204, 104, 133 D3 = R, G, B 233, 190, 202 D4 = R, G, B 235, 196, 207 D5 = R, G, B 188, 56,93 D6 = R, G, B 215, 139, 160 D7 = R, G, B 205, 106, 134 D8 = R, G, B 195, 78, 111 D9 = R, G, B 184, 48, 86 Citra warna grayscale pada sel darah didapat dengan cara menghitung rata- rata elemen warna dari Red, Green, Blue. Nilai grayscale yang didapat adalah sebagai berikut : D1 = R, G, B 242, 218, 225 3 = 228 D2 = R, G, B 204, 104, 133 3 = 147 D3 = R, G, B 233, 190, 202 3 = 208 D4 = R, G, B 235, 196, 207 3 = 212 D5 = R, G, B 188, 56,93 3 = 112 D6 = R, G, B 215, 139, 160 3 = 171 D7 = R, G, B 205, 106, 134 3 = 148 Gambar 2.5. Representasi piksel sel darah merah Universitas Sumatera Utara D8 = R, G, B 195, 78, 111 3 = 128 D9 = R, G, B 184, 48, 86 3 = 106 Gambar 2.6 menunjukkan nilai citra grayscale pada setiap piksel. 228 147 208 212 112 171 148 128 106 Citra hasil proses grayscaling dapat dilihat pada gambar 2.7. 3.3.2.3. Proses Thresholding Setelah proses grayscaling selesai, langkah selanjutnya adalah proses thresholding untuk menghasilkan citra biner. Jika intensitas warna dari 0 sampai 255 maka proses mendapatkan citra biner adalah dengan cara menghitung nilai tengahnya, yaitu 128. Jika niali yang didapat diatas 128, maka citra akan cenderung berwarna putih, dan jika nilai dibawah 128, maka citra akan cenderung berwarna hitam sehingga proses thresholding dibagi menjadi dua kelompok warna yaitu hitam dan putih. Santi, 2011. Contoh hasil proses thresholdingdapat dilihat pada gambar 2.8 Gambar 2.7. Citra sel darah merah hasil grayscale Gambar 2.6. Nilai citra grayscale pada tiap piksel Universitas Sumatera Utara 3.3.3. Ekstraksi Fitur Setelah citra sel darah merah mengalami proses thresholding, langkah selanjutnya adalah mencari karakteristik dari suatu citra dengan menggunakan deteksi tepi cannyuntuk mencari nilai tepi yang memiliki perbedaan yang besar. Dalam melakukan proses pengambilan tepi citra menggunakan deteksi tepi canny, langkah-langkah yang diambil antara lain kamal, et. al., 2013 : 1. Dengan menggunakan fungsi gaussian, noise pada citra akan dihilangkan terlebih dahulu. 2. Dengan salah satu operator deteksi tepi untuk melakukan pencarian secara horizontal dan vertikal, lakukan proses pendeteksian tepi. 3. Tentukan arah tepi citra, sehingga garis dengan arah yang berbeda akan memiliki warna yang berbeda. 4. Garis tepi yang muncul akan diperkecil sehingga menghasilkan garis tepi yang lebih jelas. 5. Melakukan binerisasi citra. Setelah mengamali proses deteksi tepi canny, citra yang dihasilkan akan terlihat lebih jelas. Contoh citra hasil proses ekstraksi fitur deteksi tepi canny ditunjukkan gambar 2.9 Gambar 2.8. Citra sel darah merah hasil thresholding Gambar 2.9. Citra sel darah merah hasil deteksi tepi canny Universitas Sumatera Utara Setelah proses ekstraksi fitur, akan dihasilkan ciri citra yang menggambarkan karakteristik dari citra tersebut. Setelah ektraksi fitur canny, tahap selanjutnya adalah memperkecil zona citra untuk menwakili beberapa zona. Citra yang berukuran 50 x 50 piksel yang mewakili 2500 ciri citra akan diperkecil menjadi 25 x 25 yang mewakili 625 ciri citra. Proses ini disebut sebagai proses zoning. Nilai dari ciri citra sel darah merah hasil proses deteksi tepi canny adalah sebagai berikut : [0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 1, 0, 0, 0, 1, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 1, 0, 0, 0, 1, 0, 0, 1, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 1, 0, 0, 0, 0, 1, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 1, 0, 0, 0, 0, 1, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 1, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0] Setelah ektraksi fitur, maka selanjutnya adalah proses klasifikasi yang akan dilakukan oleh jaringan saraf tiruan radial basis function. 3.3.4. Analisis Radial Basis Function Network RBFN Radial basis function network merupakan salah satu model jaringan saraf tiruan yang bekerja secara feed-foward dan memiliki tiga lapisan yaitu input layer yang menuju ke hidden layeryang bersifat nonlinear dan dari hidden layer menuju ke output layer yang bersifat linear. Jarak antara vektor input dan vektor output dari jaringan saraf tiruan digunakan sebagai input dari fungsi aktivasi di lapisan tersembunyi. Jaringan saraf tiruan ini bekerja untuk membangkitkan matriks desain sehingga input data, centroidcluster, dan fungsi aktivasi dibutuhkan oleh matriks desain tersebut Yasfi, 2015. Perhitungan Manual Radial Basis Function Network RBFNadalah sebagai berikut Haidaroh, 2014 :Terdapat tabel kebenaran XOR yang ditunjukkan oleh tabel 2.2 X 1 X 2 Target 1 1 1 1 1 1 Tabel 2.2 XOR Universitas Sumatera Utara Langkah 1 : Menentukan center data yang digunakan secara acak, misalnya P 1 = 1,1 P 2 = 1,0 .Pada tabel 2.2 XOR, nilai dari X 1 dan X 2 dibuat kedalam bentuk matriks yaitu [ ] Langkah 2 : Melakukan pembaharuan bobot, dengan tahap-tahap sebagai berikut  Tahap 1: Menghitung nilai fungsi aktivasi dengan persamaan 2.8 dengan σmerupakan nilai dari spread yang bisa dihitung dengan persamaan 2.9 σ = Nilai fungsi aktivasi gaussian didapat dari perhitungan nilai input yang dimasukkan dan nilai center yang ditentukan secara acak. Fungsi gaussian ϕ1,1 adalah nilai yang didapat, diletakkan dalam matriks pada kolom pertama dan baris pertama, fungsi gaussian ϕ2,1 terletak pada matriks kolom kedua dan baris pertama, dan seterusnya. Nilai fungsi aktivasi gaussian yang telah dihitung dapat dilihat pada tabel 2.3 Tabel 2.3 Nilai Fungsi Gaussian Fungsi Gaussian Input Center Nilai Fungsi Gaussian ϕ1,1 0,0 1,1 exp -0-1 2 + 0-1 2 = exp -2 = 0.1353 ϕ2,1 0,1 1,1 exp -0-1 2 + 1-1 2 = exp -1 = 0.3678 ϕ3,1 1,0 1,1 exp -1-1 2 + 0-1 2 = exp -1 = 0.3678 ϕ4,1 1,1 1,1 exp -1-1 2 + 1-1 2 = exp 0 = 1 ϕ1,2 0,0 1,0 exp -0-1 2 + 0-0 2 = exp -1 = 0.3678 2 σ 2 ϕx – p = exp -x – p 2 2.8 -r 2 ϕr = exp Jarak antara 2 cluster data √ banyaknya cluster data 2.9 Universitas Sumatera Utara Fungsi Gaussian Input Center Nilai Fungsi Gaussian ϕ2,2 0,1 1,0 exp -0-1 2 + 1-0 2 = exp -2 = 0.1353 ϕ3,2 1,0 1,0 exp -1-1 2 + 0-0 2 = exp 0 = 1 ϕ4,2 1,1 1,0 exp -1-1 2 + 1-0 2 = exp -1 = 0.3678  Tahap 2 : Setelah mendapatkan nilai aktivasi diatas, langkah selanjutnya adalah membuat sebuah matriks gausian dari nilai fungsi aktivasi yang telah dihitung.  Tahap 3 : Setelah membuat nilai-nilai fungsi gaussian yang didapat kedalam sebuah matriks, maka selanjutnya menghitung bobot baru w dengan mengalikan pseudoinvers dari matriks gaussian, dengan vektor target dari data training dan nilai target yang telah ditentukan, melalui persamaan 2.8 w = G † d = G T G -1 G T d  Membuat sebuah matriks transpose dari matriks gaussian yang telah didapat.  Setelah membuat transpose matriks gaussian, selanjutnya mencari nilai perkalian matriks transpose tersebut dengan matriks gaussian yang didapat. G = G T = . . . . . . 2.8 . . . . . . Tabel 2.3 Nilai Fungsi Gaussian Lanjutan Universitas Sumatera Utara  Setelah itu, menghitung matriks pseudoinvers hasil perkalian transpose matiks gaussian dengan matriks gausian  Mencari nilai bobot w dengan mengalikan matriks hasil pseudoinvers tersebut dengan transpose matriks gaussian. Selanjutnya, hasil dari perkalian tersebut dikalikan lagi dengan matriks target d yang telah ditentukan. Jadi nilai dari W 1 = -0.3326; W 1 = 0.9845; b = 0.1378  Tahap 4: Tahap selanjutnya sadalah menghitung nilai output y yang didapat dari hasil perkalian bobot dan penjumlahan dengan biasyang dapat dilihat pada persamaan 2.9 Y = W 1 ϕ 1 + W 2 ϕ 2 + bias Nilai hasil perhitungan output dapat dilihat pada tabel 2.4. G T G = . . . . . . . . G T G -1 = d = � � w = − . . . . . − . . . − . − . − . . 2.9 w = G T G -1 G T d = G T G -1 G T = − . − . . . − . − . . − . . . − . − . Universitas Sumatera Utara X 1 X 2 W 1 ϕ 1 W 2 ϕ 2 Bias Y Target -0.3326 0.1353 0.9845 0.3678 0.1378 0.4549 1 -0.3326 0.3678 0.9845 0.1353 0.1378 0.9999 1 1 -0.3326 0.3678 0.9845 1 0.1378 0.9999 1 1 1 -0.3326 1 0.9845 0.3678 0.1378 0.1673 Dari perhitungan yang didapat pada tabel 2.4, nilai output yang dihasilkan, mendekati nilai target yang telah ditentukan sehingga dapat dikatakan trainingberhasil. Tabel 2.4 Perhitungan Output Universitas Sumatera Utara 3.3.5. Proses Sistem Adapun proses sistem dapat dilihat pada gambar 2.10. Penjelasan dari gambar 2.10 adalah :  Sistem menginput citra yang akan diuji yang berformat jpg dengan ukuran 50 piksel x 50 piksel  Sistem melakukan proses grayscale untuk mengubah citra berwarna menjadi citra keabuan Start Proses Grayscale Proses Zoning Proses Deteksi Tepi Canny Proses Threshold Proses Klasifikasi RBFN Pilih Gambar Hasil Klasifikasi End Gambar 2.10 Proses Sistem Universitas Sumatera Utara  Setelah citra berwarna diubah ke citra grayscale, tahap selanjutnya sistem melakukan proses threshold untuk mengubah citra keabuan menjadi citra biner.  Setelah mendapatkan citra biner, sistem selanjutnya melakukan deteksi tepi canny untuk mendapatkan ciri dari citra bentuk citra.  Kemudian sistem melakukan Setelah melalui tahap pra-pengolahan, didapat ciri citra hasil ekstraksi fitur menggunakan metode zoning.  Sistem melakukan proses klasifikasi dengan menggunakan RBFN setelah mendapatkan karakteristik citra

3.4 Perancangan Sistem