Praktek perkawinan yang tidak tercatat di desa Kertnegara, Indramayu (analisis hukum Islam dan hukum positif)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: Komarudin Beta NIM: 106044101361
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
(2)
2
PRAKTEK PERKAWINAN YANG TIDAK TERCATAT DI DESA
KERTANEGARA, INDRAMAYU
(Analisis Hukum Islam dan Hukum Positif ) Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh :
Komarudin Beta NIM: 106044101361
Di bawah bimbingan;
Drs. Abu Tamrin, M. Hum Hotnidah Nasution, S.Ag.,M.A NIP : 196509081995031001 NIP: 197106301997032002
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(3)
(4)
4
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini hasil karya saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 Agustus 2010
(5)
KATA PENGANTAR
ﹺﺒ
ﺴ
ﹺﻡ
ِﷲﺍ
ﺭﻟﺍ
ﺤ
ﻤ
ﹺﻥ
ﺭﻟﺍ
ﺤ
ﻴ
ﻡ
Assalam u’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah m emberikan nikm at dan karunia yang t idak t erhingga banyaknya. Dem ikian pula tak luput penulis ucapkan shalawat beriring salam kepada imamnya para nabi dan rasul, im amnya para orang-orang yan bertakw a yait u Nabi M uhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang set ia hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat m enyelesaikan skripsi ini dengan judul
“ Praktek Perkaw inan yang tidak tercat at di Desa Kertanegara, Indramayu (Analisis Hukum
Islam dan Hukum Posit if) ” sebagai persyaratan unt uk m em peroleh gelar Sarjana Syariah (SHI). Dalam proses penyelesaian skripsi ini, banyak sekali hikmah dan manfaat yang penulis pet ik dan menjadi kesan tersendiri bagi penulis. M aka atas tersusunnya skripsi ini penulis m engucapkan terima kasih yang set inggi-t ingginya kepada para pihak yang t elah m emberikan bantuan, dan bimbingan, petunjuk serta dukungan terutama kepada kedua orang tua penulis yang selalu m encurahkan kasih sayang t iada hent inya sem oga amal keduanya m endapat balasan yang set im pal disisi Allah SWT. am in
Ucapan t erima kasih penulis disampaikan kepada yang t erhormat :
(6)
6
1. Bapak Prof. Dr. M uham mad Am in Suma, SH, M A, M M . Dekan Fakult as Syariah dan Hukum sekaligus dosen Penasehat Akadem ik Jurusan Peradilan Agama kelas A angkatan 2006.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, M A. Ket ua program studi Ahwal Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag, M H sebagai Sekretaris Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syari’ah dan Hukum , Universit as Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Abu Tam rin, M . Hum . dan Ibu Hotnidah Nasution, S.Ag.,M .A. sebagai pem bimbing penulis yang sudah berkenan memberikan waktu dan arahannya dalam rangka m enyelesaikan karya ini.
4. Kepala Desa Kertanegara, khususnya masyarakat desa yang m elakukan perkaw inan yang tidak t ercatat , penulis ucapkan t erim a kasih atas bant uan yang t elah diberikan kepada penulis untuk m emperoleh data-dat a dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang t elah m engamalkan ilm unya kepada penulis sem oga m enjadi ilm u yang bermanfaat dunia dan akhirat. Dan seluruh staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah atas pelayanannya yang sangat m embantu penulis dalam m enyelesaikan skripsi ini.
6. Unt uk seluruh teman-t eman penulis, yakni t eman-tem an seperjuangan yang t elah m ewarnai sehari-hari penulis dengan hal-hal positif t erutama t eman-teman
(7)
peradian agama angkatan 2006 yang m emberikan kesan t ersendiri bagi penulis selam a m enuntut ilm u di UIN Syarif Hidayat ullah Jakarta.
Penulis m engucapkan terima kasih kepada seluruh kom ponen yang berjasa yang t elah memberikan bantuannya. Tidak ada balasan dari penulis kecuali do’a semoga Allah SWT m embalas amal budi baik sekalian. am in
Wassalamu’alaikum . Wr. Wb
Jakart a, 27 Agust us 2010
Penulis
(8)
8
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...i
DAFTAR ISI ...iii
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ...1
B.Pembatasan dan Perumusan Masalah ...5
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ...6
D.Studi Review Terdahulu ……….7
E.Metode Penelitian ...8
F.Sistematika Penulisan ...11
BAB II KERANGKA TEORI PERKAWINAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan ………..13
B. Rukun dan Syarat Perkawinan ……….20
C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ………..25
D. Pencatatan perkawinan 1. Arti pencatatan ………....31
2. Pentingnya pencatatan perkawinan ………...32
3. Pencatatan nikah dalam Hukum Islam ………....33
(9)
BAB III GAMBARAN UMUM DESA KERTANEGARA, INDRAMAYU A.Profil Desa Kertanegara, Indramayu
1. Potensi Sumber Daya Alam ………46 2. Praktek Perkawinan yang tidak Tercatat di desa Kertanegara….54
BAB IV ANALISIS PERKAWINAN YANG TIDAK TERCATAT
A.Analisis hukum Islam dan Hukum Positif mengenai perkawinan yang tidak tercatt
1. Faktor terjadinya perkawinan yang tidak tercatat ………58 2. Akibat hukum perkawinan yang tidak tercatat ……….…63 B.Persamaan dan Perbedaan Pandangan Hukum Islam dan Hukum
Positif Terhadap Perkawinan yang tidak Tercatat………...…64
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ………....69
B. Saran ………..…71
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
(10)
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu kebutuhan hidup yang paling utama dalam kehidupan masyarakat yang sempurna. Namun perkawinan juga merupakan suatu hal yang mempunyai dasar-dasar hukum. Jadi perkawinan bukan sesuatu permainan, karena perkawinan mempunyai ketentuan hukum, baik hukum menurut syariat Islam maupun hukum menurut UU.
Sebagaimana diketahui, manusia merupakan makhluk sosial, yang dalam setiap segi kehidupannya memerlukan kehadiran orang lain. Salah satunya ialah dalam mempertahankan eksistensinya. Manusia membutuhkan pasangan hidup, disamping untuk memperpanjang jalur keturunan, juga sebagai pasangan dalam mengarungi kehidupan. Dalam mencapai tujuan itu maka perkawinan merupakan solusi bagi kebutuhan mendasar tersebut.
Pengertian nikah dalam hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, tampaknya tidak ada perbedaan dengan pengertian perkawinan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
(11)
Perkawinan. Pada Bab I, pasal 1 yang berbunyi: “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Definisi itu bila dirinci akan ditemukan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan sorang wanita sebagai suami isteri. Kemudian juga, ikatan lahir batin itu ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan sejahtera1. Dasar ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pelaksanaan pernikahan ditetapkan menurut hukum Islam maupun menurut undang-undang, untuk menjaga agar tidak terjadi suatu hal yang mengkhawatirkan terhadap suatu umat, maka hal itu diperintahkan kepada para pemuda untuk melaksanakan suatu pernikahan dengan maksud untuk menjaga pandangan bagi para pemuda agar terhindar dari perbuatan zina.
Dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan2, Pasal 2 ayat (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
1
Neng Djubaedah dkk, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Hecca Mitra Utama, 2005), h. 55.
2
Subekti, R. & Tjitrosudibio, R. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. (Jakarta: Pradnya Paramita, 2002), h. 538.
(12)
3
agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat, tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu diakui lagi oleh negara yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan.
Sedangkan hukum nikah yang tidak dicatatkan ke KUA dan Perkawinan yang dilakukan tanpa diawasi oleh pegawai pencatat nikah (PPN) Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum3, meski dianggap sah menurut agama, karena telah memenuhi syarat dan rukun nikah, tapi pernikahan ini masih menyisakan persoalan. Setidaknya yang bersangkutan dianggap “berdosa” karena mengabaikan perintah Alquran untuk mengikuti aturan pemerintah (ulil amri). Firman Allah SWT.:
…
“Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu sekalian kepada Allah swt. dan patuhlah kamu kepada Rasul dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu”. (QS. Al-Nisa’: 59)
Pencatatan ini selanjutnya dinyatakan dalam surat-surat akte resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. Pencatatan perkawinan sama halnya dengan
3
(13)
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Perkawinan berkaitan erat dengan hak waris-mewarisi dan keturunan, sehingga perkawinan perlu dicatat untuk menjaga jangan sampai ada konflik hukum setelah terlaksananya perkawinan.
Pencatatan perkawinan disamping untuk memberikan kepastian hukum juga bertujuan untuk menjaga kelestarian dalam rumah tangga, sehingga tercapailah keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Akta perkawinan yang menjadi hasil dari pencatatan perkawinan itu, menjadi sesuatu yang harus dimiliki oleh suami dan isteri, supaya dapat memberikan ketertiban hukum dalam bermasyarakat dan bernegara.
Dalam hal ini tidak akan timbul kesulitan apabila telah memiliki bukti autentik berupa akta perkawinan yang dibuat oleh penjabat yang berwenang. Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa dengan akta perkawinan, maka isteri yang ditinggalkan oleh suaminya mempunyai suatu pegangan (alat bukti) yang menunjukkan bahwa dia benar-benar sebagai janda dari si suami yang telah meninggal dunia.
Dalam menegakkan supremasi hukum perlu kiranya membangun imej yang positif terhadap efektifitas hukum itu sendiri, akan tetapi pengaturan perkawinan ini yang sudah ditetapkan dalam undang-undang acap kali tidak diindahkan oleh sebagian masyarakat Islam di Indonesia. Mereka berusaha menghindari sistem dan
(14)
5
cara pengaturan pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang Perkawinan yang dinilai terlalu birokratis dan berbelit-belit serta membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Dalam kaitan inilah penulis ingin membahas secara analitis terhadap perkawinan yang tidak tercatat, sehingga penulis hendak mewujudkannya dalam tulisan berbentuk skripsi, dengan judul : “PRAKTEK PERKAWINAN YANG TIDAK TERCATAT DI DESA KERTANEGARA, INDRAMAYU (STUDI ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF).
B.Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah yang penulis ungkapkan diatas, agar tidak melebar terlalu jauh maka penulis membatasi penelitian ini dengan hanya mengkaji mengenai faktor dan akibat perkawinan yang tidak tercatat serta implikasi terhadap perkawinan di desa Kertanegara, Indramayu., yang ditinjau dari hukum Islam dan hukum Positif (setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) .
2. Perumusan Masalah
Di dalam pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di dalam pasal 5 ayat 1 KHI juga diatur bahwa agar terjaminnya
(15)
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. dalam prakteknya masih banyak masyarakat yang perkawinannya tidak dicatatkan dengan berbagai alasan padahal masyarakat mengetahui akibat-akibatnya.
Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi adanya perkawinan yang tidak
tercatat dalam masyarakat Desa Kertanegara, Indramayu ?
2. Apa saja akibat hukum perkawinan yang tidak tercatat di desa Kertanegara menurut hukum Islam dan hukum positif ?
3. Apa perbedaan dan persamaan menurut hukum Islam dan hukum positif mengenai perkawinan yang tidak dicatatkan ?
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
a. Untuk menjelaskan faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi perkawinan yang tidak tercatat di Desa Kertanegara, Indramayu.
b. Untuk menjelaskan akibat hukum apa saja yang ditimbulkan atas perkawinan yang tidak tercatat.
c. Untuk menjelaskan perbedaan dan persamaan menurut hukum Islam dan hukum positif mengenai perkawinan yang tidak tercatat.
(16)
7
a. Bagi penulis sendiri, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan penulis agar lebih memahami hal-hal seputar perkawinan yang tidak dicatatkan dalam tataran teoritis maupun praktis.
b. Menambah suatu sumbangan wawasan keilmuan berupa tinjauan hukum Islam dan Hukum Positif mengenai implikasi perkawinan yang tidak dicatatkan. c. Menambah literatur perpustakaan pusat maupun fakultas.
D.Studi Review
Penulis menemukan beberapa judul skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiswa-mahasiswa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang akan diteliti oleh penulis.
No Nama penulis/ Judul/ Tahun Substansi
1 Ahmad Muhajir, persepsi Masyarakat Betawi terhadap Persyaratan Poligami yang berpengaruh pada terjadinya nikah sirri, 2006. Fakultas Syariah dan Hukum
Terjadinya nikah sirri disebabkan banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi menurut Hukum positif.
2 Syarif Hidayatullah, Hukum Pengulangan Nikah Sirri, perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. (Studi kasus masyarakat Kedoya Kebon Jeruk Jak – Bar), 2006.
Pengulangan akad yang disebabkan nikah sirri menurut hukum Islam dan Hukum positif.
(17)
Fakultas Syariah dan Hukum.
3 Hafizh, Perkawinan di Bawah Tangan dan Pengaruh terhadap Sengketa Pembagian Warisan Akibat Perceraian, 2005. Fakultas Syariah dan Hukum.
Disini membahas perkawinan di bawah tangan berdampak pada sengketa pembagian warisan akibat perceraian.
4 A.Syaadzali, Mahalnya Biaya Pernikahan sebagai Faktor Pemicu Nikah di Bawah Tangan (studi kasus di KUA kec. Benda Tangerang), 2006. Fakultas Syariah dan Hukum.
Skripsi ini mengulas mahalnya biaya pernikahan sebagai faktor seseorang melakukan nikah di bawah tangan.
Dari beberapa judul skripsi di atas, sudah jelas berbeda pembahasannya dengan skripsi yang akan dibahas oleh penulis. Penulis akan mencoba membahas praktek perkawinan di desa Kertanegara dan mencari apa yang melatarbelakangi masyarakat desa Kertanegara melakukan perkawinan tidak tercatat, apakah benar perkawinan tersebut menjadi tradisi masyarakat desa Kertanegara dan akibat dari perkawinan tersebut.
(18)
9
E.Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka penulis menggunakan beberapa metode antara lain.
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian karya ilmiah ini, penulis menggunakan pendekatan empiris, yaitu suatu pendekatan penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan kondisi yang dilihat di lapangan secara apa adanya.4 Pendekatan empiris ini diharapkan dapat menggali data dan informasi semaksimal mungkin tentang perkawinan yang tidak tercatat di desa kertanegara, Indramayu.
2. Sumber Data
a. Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan.5 Dalam hal ini diperoleh dari hasil wawancara penulis kepada masyarakat desa Kertanegara, Indramayu.
b. Data Sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari bahan pustaka, dengan cara membaca, mencari data-data, keterangan, informasi yang relevan dengan konsep penelitian serta mengkaji literatur lainnya.
4 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
2006), h.142.
5 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003),
(19)
3. Teknik Pengumpul Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik berupa wawancara dan Observasi.
a. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara penulis atau pewanwancara dengan informan dengan menggunakan instrumen pengumpulan data yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).
Penulis menggunakan teknik ini karena teknik interview merupakan teknik tanya jawab secara lisan yang berpedoman pada pertanyaan terbuka untuk mencari informasi secara detail dan terperinci. Dengan demikian diperoleh jawaban secara langsung yang sedalam-dalamnya tentang masalah yang dibahas.
b. Observasi
Penulis mengadakan pengamatan secara langsung di desa Kertanegara serta mengumpulkan data-data dan informasi yang terkait erat dengan penelitian ini.
4. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu suatu teknik menganalisis data dimana penulis menjabarkan data-data yang
(20)
11
telah didapatkan dari hasil wawancara dan observasi, kemudian menganalisis dengan content analysist (analisa isi).
5. Teknik Penulisan
Sedangkan dalam penyusunan secara teknik penulisan semua berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
F.Sistematikan Penulisan
Agar penulisan skirpsi ini menjadi lebih sistematis, maka tata uraian terbagi menjadi lima bab dengan susunan sebagai berikut :
BAB I Bab pertama ini merupakan Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Studi Review, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Bab kedua ini menjelaskan tentang Kerangka Teori yang membahas Pengertian Perkawinan dan Dasar hukum, Rukun dan Syarat, Tujuan dan Himah Perkawinan, Pencatatan Perkawinan, Pentingnya pencatatan perkawinan serta Pencatatan dalam hukum Islam dan Hukum Positif.
(21)
BAB III Bab ketiga ini berisikan tentang Gambaran umum masyarakat yang terdiri dari Potensi sumber daya alam dan Praktek perkawinan yang tidak tercatat.
BAB IV Bab keempat berisikan tentang analisis perkawinan yang tidak tercatat di desa Kertanegara, dengan menguraikan Analisis Hukum Islam dan Hukum Positif mengenai perkawinan yang tidak tercatat, yang berisikan faktor terjadinya perkawinan yang tidak tercatat dan akibat hukum perkawinan yang tidak tercatat., Persamaan serta perbedaan pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap perkawinan yang tidak tercatat.
BAB V Bab kelima yaitu uraian tentang penutup yang memuat tentang kesimpulan penulis yang didasarkan pada uraian bab-bab sebelumnya, yang kemudian dilanjutkan dengan saran-saran dari penulis.
(22)
BABA II
LANDASAN TEORI PERKAWINAN
A.Pengertian
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan menurut istilah Ilmu fiqh dipakai perkataan (
َﺢَﻜَﻧ
)
dan perkataanجوز
. (
َﺢَﻜَﻧ
)
menurut bahasa arti sebenarnya dan arti kiasan, arti yang sebenarnya dari nikah ialah(
ﻢﺿ
) yang berarti mengumpulkan, memegang,
menggenggam, menyatukan, menggabungkan, menyandarkan, merangkul.6 sedangkan (ﻊﻤﺠﻟا
)
berarti mengumpulkan, menghimpun, menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari perkataan nikah lebih banyak dipakai dalam arti kiasan dari pada arti yang sebenarnya, jarang sekali dipakai saat ini. Sementara perkataanجوز
diartikan sama denganَﺢَﻜَﻧ
.7 Sedangkan pengertian perkawinan dalam Ensiklopedia Indonesia adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang keduanya bukan muhrim dan dilakukan dengan ijab kabul.8
6 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Qamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok
Pesantren Al-Munawwir, 1984), h.887.
7 A. Zuhdi Muhdor, Hukum Perkawinan, (Jakarta: Al-Bayan, t.th), Cet. Ke-1, h.5.
8 Hassan Sadily, et al., Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1983), h.2388.
(23)
Secara arti kata nikah berarti “bergabung”
(
ﻢﺿ
), “hubungan kelamin”
(
ءطو
) dan juga berarti “akad” (
ﺪﻘﻋ
) adanya dua kemungkinan arti ini karena kata
nikah terdapat dalam Al-Qur’an memang mengandung dua arti tersebut. kata nikah yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 230:
.
..
Artinya: jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (QS. al-Baqarah [1] : 230)
Mengandung arti hubungan kelamin dan bukan hanya sekadar akad nikah karena ada petunjuk dari hadis Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah merasakan nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan tersebut.9
Dalam Al-Qur’an terdapat pula kata nikah dengan arti akad, seperti tersebut dalam firman Allah surat an-Nisa ayat 22:
....
Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau.(QS. an-Nisa [4] : 22)
9
Amir Syarifudin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2006), h. 36.
(24)
15
Ayat terasebut di atas mengandung arti bahwa perempuan yang dinikahi oleh ayat itu haram dinikahi dengan semata ayat telah melangsungkan akad nikah dengan perempuan tersebut, meskipun di antara keduanya belum berlangsung hubungan kelamin.
Meskipun ada dua kemungkinan arti dari kata na-ka-ha itu namun mana di antara dua kemungkinan tersebut yang mengandung arti sebenarnya terdapat beda pendapat di antara ulama. Golongan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki). Sebaliknya, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin.
Dalam arti terminologis dalam kitab-kitab terdapat beberapa rumusan yang saling melengkapi. Perbedaan perumusan tersebut disebabkan oleh berbeda dalam titik pandangan. Di kalangan ulama Syafi’iyah rumusan yang biasa dipakai adalah:
ﺞﯾوﺰﺘﻟا وا حﺎﻜﻧﻻا ﻆﻔﻠﺑ ءطو ﺔﺣﺎﺑا ﻦﻤﻀﺘﯾ ﺪﻘﻋ
“Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan
kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atah za-wa-ja”10
Ulama golongan Syafi’iyah ini memberikan definisi sebagaimana disebutkan di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungankan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak boleh bergaul.
10
(25)
Definisi tersebut mengandung maksud sebagai berikut:
Pertama: penggunakan lafaz akad
(
ﺪﻘﻋ
) untuk menjelaskan bahwa
perkawinan itu adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan. Perkawinan itu dibuat dalam bentuk akad karena ia adalah peristiwa hukum, bukan peristiwa biologis atau semata hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan.
Kedua: penggunaan ungkapan;
ءطﻮﻟا ﺔﺣﺎﺑا ﻦﻤﻀﺘﯾ
(yang mengandungmaksud membolehkan hubungan kelamin), karena pada dasarnya hubungan
laki-laki dan perempuan itu adalah terlarang, kecuali ada hal-hal yang membolehkannya secara hukum syara’. Di antara hal yang membolehkan hubungan kelamin itu adalah adanya akad nikah di antara keduanya. Dengan demikian, akad itu adalah suatu usaha untuk membolehkan sesuatu yang asalnya tidak boleh itu.
Ketiga: menggunakan kata
ﺞﯾوﺰﺘﻟا وا حﺎﻜﻧﻻا ﻆﻔﻠ
ﺑ
yang berartimenggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja mengadung maksud bahwa akad yang membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan itu mesti dengan menggunakan kata na-ka-ha dan za-wa-ja, oleh karena dalam awal Islam di samping akad nikah itu ada lagi usaha yang membolehkan hubungan hubungan antara laki-laki dengan perempuan itu, yaitu pemilikan seorang laki-laki atas seorang perempuan atau disebut juga “perbudakan”. Bolehnya hubungan kelamin
(26)
17
dalam bentuk ini tidak disebut perkawinan atau nikah, tetapi menggunakan kata “tasarri”.11
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah
(
حﺎﻜﻧ
)
yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi)12.Dari berbagai rumusan tentang definisi pernikahan, maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah:
1. Adanya suatu akad atau perjanjian yang melahirkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan;
2. Untuk membentuk sebuah keluarga;
3. Melaksanakannya merupakan suatu ibadah; 2. Dasar Hukum Perkawinan
Menurut ulama jumhur hukum perkawinan itu adalah sunnah, hal ini didasari dari banyaknya perintah Allah dalam al-Qur’an dan juga hadits nabi yang berisikan anjuran untuk melangsungkan perkawinan.13
11 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia , h.38.
12
Abdurrahman Ghazaly., Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h.7.
13
(27)
Artinya:“Dan kawinkanlah orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan Allah Maha
Luas(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”. (QS. an-Nur [24] : 32)
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
ُﻦَﺼْﺣَأَو ِﺮَﺼَﺒﻠِﻟ ﱡﺾَﻏأ ُﮫﱠﻧﺈَﻓ ،ْجﱠوَﺰَﺘَﯿﻠَﻓ َةَءﺎَﺒﻟا ُﻢُﻜْﻨِﻣ َعﺎَﻄَﺘْﺳا ِﻦَﻣ ِبﺎَﺒﱠﺸﻟا َﺮَﺸْﻌَﻣ ﺎَﯾ
ٌءﺎَﺟِو ُﮫَﻟ ُﮫﱠﻧِﺈَﻓ ،ِمْﻮﱠﺼﻟﺎِﺑ ِﮫْﯿَﻠَﻌَﻓ ْﻊِﻄَﺘْﺴَﯾ َﻢﻟ ْﻦَﻣَو ،ِجْﺮَﻔْﻠِﻟ
)
ﻢﻠﺴﻣو ىرﺎﺨﺒﻟا هاور
(
Artinya: “Hai golongan pemuda, barang siapa di antara kamu telah sanggup kawin, kawinlah, karena kawin itu lebih menundukkan mata dan lebih memelihara faraj (kemaluan), dan barangsiapa tidak sanggup, hendaklah
berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat (HR. Bukhari dan
Muslim)”.
َﺲْﯿَﻠَﻓ ﻰِﺘﱠﻨُﺳ ْﻦَﻋ َﺐِﻏَر ْﻦَﻤَﻓ ،َءﺎَﺴﱢﻨﻟا ُجﱠوَﺰَﺗَأَو ُﺮِﻄْﻓُأَو ُمْﻮُﺻَأَو ،ُمﺎَﻧَأَو ﻰﱢﻠَﺻُأ ﺎَﻧَا ﱠﻦِﻜَﻟ
ﻰﱢﻨِﻣ
)
ﻢﻠﺴﻣو ىرﺎﺨﺒﻟا هاور
(
(28)
19
Artinya: “Tetapi aku sembahyang, tidur, puasa, berbuka dan kawin. Barangsiapa tidak menyukai perjalananku (sunnahku), ia bukan ummatku (HR. Bukhari dan Muslim)”.14
Sedangkan asal hukum nikah itu sendiri adalah mubah sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nur [24] ayat 32.15 Hukum tersebut bisa berubah sesuai dengan keadaan seseorang uang akan malakukan perkawinan, hukum itu bisa menjadi wajib, sunnah atau makruh.
a. Sunnah: Sekiranya seseorang telah mampu membiayai rumah tangga dan ada juga keinginan berumah tangga, tetapi keinginan nikah itu tidak dikhawatirkan dirinya terjerumus kepada perbuatan zina, maka sunnah baginya menikah. b. Wajib: Sekiranya seseorang sudah merasa mampu membiayai rumah tangga,
ada keinginan untuk berkeluarga dan takut terjerumus kedalam perbuatan zina, maka baginya diwajibkan nikah. Sebab, menjaga diri jatuh ke dalam perbuatan haram, wajib hukumnya.
c. Haram: Orang yang belum mampu membiayai rumah tangga, atau diperkirakan tidak dapat memenuhi nafkah lahir dan batin (impoten), haram baginya menikah, sebab akan menyakiti perasaan wanita yang dinikahinya. d. Makruh: Orang yang tidak dapat memenuhi nafkah lahir batin, tetapi tidak
sampai menyusahkan wanita itu, kalau dia orang berada dan kebutuhan biologis
14 Muhammad Nashirudin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, jilid 1, (Jakarta: Pustaka
Azam, 2003), h.557
15 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h.23
(29)
pun tidak begitu menjadi tuntutan, maka terhadap orang itu dimakruhkan menikah. Sebab, walaupun bagaimana nafkah lahir batin menjadi kewajiban suami, diminta atau tidak oleh istri.16
B.Rukun Nikah dan Syarat
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya.
Menurut ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan perkawinan di sini adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan segala unsurnya, bukan hanya akad nikah itu saja. Dengan begitu rukun perkawinan itu adalah segala hal yang harus terwujud dalam suatu perkawinan karena perkawinan merupakan suatu ibadah maka di dalamnya terdapat rukun dan syarat.
16
M. Ali Hasan, “Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam”, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h.7-10.
(30)
21
Syarat dan rukun tersebut harus dipenuhi agar perkawinan yang dilakukan tidak batal. yaitu sebagai berikut:
1. Rukun nikah17 a. Calon suami b. Calon istri c. Wali nikah d. Dua orang saksi e. Ijab dan qabul 2. Syarat Nikah
Kelima rukun tersebut, masing-masing harus memenuhi syarat: a. Syarat Calon Suami18
1) Beragama islam
2) Terang (jelas) bahwa calon suami betul Laki-laki. 3) Orangnya diketahui
4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri
5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal dengan calon istri serta tahu betul bahwa calon istrinya halal baginya.
6) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
17
Amir syarif Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia., h.61.
(31)
7) Tidak sedang melakukan ihram.
8) Tidak memiliki istri yang haram dimadu 9) Tidak sedang memiliki istri empat. b. Syarat Calon mempelai wanita:19
1) Beragama islam atau ahli kitab
2) terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci) 3) dapat izin dari wali
4) halal bagi calon suami
5) wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih masa iddah. 6) Tidak dalam ihram haji atau umrah
c. Syarat wali nikah:20 1) Laki-laki 2) Muslim 3) Baligh 4) Berakal
5) Adil (tidak fasik)
19 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986), h.32.
(32)
23
c. Syarat saksi nikah:21 1) Dua orang Laki-laki 2) Muslim
3) Baligh 4) Berakal
5) Dapat mendengar dan melihat (paham) akan maksud akad nikah d. Syarat ijab dan qabul22
1) Ada ijab (pernyataan) mengawinkan dari pihak wali
2) Ada qabul (pernyataan) penerimaan dari calon suami
3) Memakai kata “nikah”, “tazwij” atau terjemahannya seperti “kawin”. 4) Antara ijab dan qabul bersambungan tidak boleh terputus.
5) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak dalam keadaan haji atau umrah.
6) Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri paling kurang empat orang yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari calon mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.23
21 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata DI Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006), h,62.
22 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata DI Indonesia, h.63.
(33)
Ulama Hanafiyah membagi syarat itu kepada :24
1. Syuruth al-in’iqad, yaitu syarat yang menentukan terlaksananya suatu akad perkawinan. Karena kelangsungan perkawinan tergantung pada akad, maka syarat di sini adalah syarat yang harus dipenuhi karena ia berkenaan dengan akad itu senriri. Bila syarat-syarat itu tertinggal, maka akad perkawinan disepakati batalnya. Umpamanya, pihak-pihak yang melakukan akad adalah orang yang memiliki kemampuan untuk bertindak hukum.
2. Syuruth al-shihhah, yaitu sesuatu yang keberadaannya menentukan dalam
perkawinan. Syarat tersebut harus dipenuhi untuk dapat menimbulkan akibat hukum, dalam arti bila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perkawinan itu tidak sah; seperti adanya mahar dalam setiap perkawinan.
3. Syuruth al-nufuz, yaitu syarat yang menentukan kelangsungan suatu
perkawinan. Akibat hukum setelah berlangsung dan sahnya perkawinan tergantung kepada adanya syarat-syarat itu tidak terpenuhi menyebabkan fasad-nya perkawinan adalah seseorang yang berwenang untuk itu.
4. Syuruth al-luzum, yaitu syarat yang menentukan kepastian suatu perkawinan dalam arti tergantung kepadanya kelanjutan berlangsungnya suatu perkawinan sehingga dengan telah terdapatnya syarat tersebut tidak mungkin perkawinan yang sudah berlangsung itu di batalkan. Hal ini berarti selama syarat itu belum
(34)
25
terpenuhi perkawinan dapat dibatalkan, seperti suami harus sekufu dengan istrinya.
C.Tujuan dan Hikmah perkawinan 1. Tujuan Perkawinan
Tujuan dasar dalam perkawinan adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, yaitu rumah tangga yang diliputi rasa tenteram, penuh kasih sayang dan bahagia lahir batin, sebagaimana yang diterangkan firman Allah SWT dalam surah ar-Rum ayat 21:
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum [30] : 21)
Sehubungan dengan tujuan perkawinan, al-Syarkhasi mengatakan, bahwa tujuan nikah dalam Islam bukanlah untuk melampiaskan hawa nafsu semata-mata,
(35)
tetapi merupakan jenjang untuk mencapai kemaslahatan dan kebahagiaan hidup.25 Selanjutnya akan dibahas beberapa tujuan perkawinan yaitu:
a. Menenteramkan Jiwa
Merupakan salah satu tujuan daripada perkawinan adalah menenteramkan jiwa baik dari pihak laki-laki dan perempuan, sehingga setelah terjadinya perkawinan pihak perempuan merasa ada yang melindungi dan tanggung jawab dalam hidupnya.
Perkawinan itu dapat menimbulkan kedamaian dan ketenteraman dalam jiwa pada manusia serta dapat menenteramkan rasa cinta dan kasih sayang pada pasangan suami isteri. Ini merupakan suatu dorongan yang besar bagi seseorang yang bersangkutan untuk dapat melakukan ibadah kepada Allah SWT.
Allah menciptakan hambanya hidup berpasang-pasangan dan tidak hanya manusia saja, tetapi juga hewan dan tumbuh-tumbuhan, hal ini adalah sesuatu yang alami, yaitu pria tertarik kepada wanita dan begitu juga sebaliknya.26 Dalam ikatan perkawinan, masing-masing pasangan suami isteri harus menemukan serta menikmati kedamaian dan ketenteraman dalam hubungan timbal balik tersebut, dan mereka harus terikat bersama tidak hanya
25 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam : Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988), Cet. Pertama, h.108.
(36)
27
hubungan seksual belaka, demikian suami isteri itu harus menunjukkan rasa saling memperhatikan, mengasihi, menyayangi, dan saling menghargai.
Dalam bahasa yang indah Imam Al-Ghazali menjelaskan: “manfaat daripada perkawinan adalah membuat hati menemukan ketenteraman lewat kemesrahan dengan pasangan, duduk berdua dan bersendu-gurau dengannya. Ketenteraman ini kemudian menjadi sebab menimbulkan rasa lelah dan hatipun menjadi berkerut, namun rasa tenteram yang di peroleh tersebut akan mengembalikan kekuatan hati”.27
b. Melestarikan Keturunan
Islam memandang perkawinan bukan hanya sekedar halalnya hubungan kelamin semata, tetapi bertujuan untuk mendapatkan suatu keturunan yang sah sehingga dapat melanjutkan generasi setelahnya secara baik dan berkualitas, di samping itu supaya suami isteri dapat membina kehidupan yang tenteram secara lahir dan batin atas dasar saling cinta-mencintai dan rasa sayang diantara keduanya.
Al-Qur’an memberikan suatu petunjuk yang nyata dan jelas, bahwa untuk meraih kedamaian dan kepuasan dalam hidup adalah melalui hubungan suami isteri secara sehat dan bijaksana berdasarkan ajaran agama, sebagaimana yang telah dilakukan nabi Adam dan Hawa sebelumnya.
27 Hafaa A. Jawad, Otentitas Hak-Hak Perempuan: Perspektif Islam Atas Kesetaraan Jender,
(37)
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah". (Qs. al-Nahl [16] : 72)
Ayat tersebut mengaplikasikan bahwa suatu ikatan perkawinan dari masing-masing pasangan laki-laki dengan perempuan untuk hidup bersama saling menikmati dan berbagi kasih dan sayang serta saling menghargai satu dengan yang lainnya.
c. Memenuhi Kebutuhan Biologis
Allah SWT. menciptakan manusia secara berpasang-pasangan, ini adalah bentuk daripada kesempurnaan dan merupakan anugerah yang wajib disyukuri. Kemudian dari keduanya diberikan nafsu syahwat supaya ada rasa saling suka dan tarik-menarik yang pada akhirnya melangsungkan perkawinan yang sah untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya secara sehat.
Adanya suatu usaha yang dilakukan oleh masing-masing dari dua belah pihak baik suami maupun isteri ini bertujuan untuk mempermudah mereka untuk mendapatkan apa yang dicita-citakan bersama sebagai impian dan harapan baru.
(38)
29
d. Latihan Memikul Tanggung Jawab
Ketika perkawinan telah dilaksanakan berarti pasangan laki-laki dan perempuan yang bersangkutan telah resmi sebagai suami isteri yang sah keduanya memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab bersama. Suami berkewajiban mencarai nafkah dan bertanggung jawab atas rumah tangganya dalam mewujudkan rumah tangga yang sakinah.
2. Hikmah Perkawinan
Adapun hikmah dalam perkawinan sangatlah banyak, ada beberapa tokoh Islam menyebutkan sebagai berikut:
Menurut Sayyid Sabiq menyebutkan beberapa hikmah daripada perkawinan antara lain:28
a. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan, kacau dan menerobos jalan yang jahat. Kawin merupakan jalan yang sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks.
b. Kawin merupakan jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan.
28
(39)
c. Menyadari tanggung jawab beristeri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Cekatan bekerja karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.29
d. Perkawinan dapat membendung serta memberantas penyakit sosial, tidak berdua-duaan tanpa ikatan perkawinan, perzinaan, dan seks bebas.
Firman Allah SWT. Qs. al-Mu’minun [23]: 5-6:
....
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya
mereka dalam hal Ini tiada terceIa”. (Qs. al-Mukminun [23] : 5-6)
e. Berkah antara pasangan suami dan isteri saling mewarisi harta antara satu sama lain apabila salah seorang telah meninggal dunia.
f. Menghubungkan tali persaudaraan sesama Islam. g. Mengkukuhkan ekonomi bagi pasangan yang bekerja.30
29 Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h.69-71.
30 http: //organisasi org/hikmah-perkawinan-hikmah-sesuai-ajaran-agama-islam, Mon,
(40)
31
Allah menciptakan manusia yang berupa laki-laki dan perempuan sebagai suatu pasangan hidup yang saling memberikan kasih dan sayang serta kebahagiaan. Berpasangan adalah merupakan sunnatullah kehidupan, karena Allah menganjurkan bagi mereka yang mampu, baik secara lahir maupun batin suapaya melangsungkan perkawinan. Namun apabila tidak mampu, maka dianjurkan untuk lebih baik menunda perkawinannya. Menikah merupakan anjuran dari Allah karena di dalamnya terkandung beberapa hikmah dan karunianya.
D.PENCATATAN PERKAWINAN 1. Arti Pencatatan
Pada mulanya, syariat Islam baik dalam al-Qur’an maupun Hadis tidak mengatur secara konkret tentang adanya pencatatan perkawinan dan akta nikah sebagai alat bukti. Ini berbeda dengan ayat muamalah (mudayanah) yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya.31
Pencatatan perkawinan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat Negara terhadap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini pegawai pencatat
31 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), cet.
(41)
nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon istri.32
Pencatatan perkawinan adalah upaya pemerintah sebagai bentuk penertiban agar tidak terjadi kekacauan dalam perkawinan. Dengan demikian, seseorang yang ingin menikah harus dicatatkan sebagai bukti yaitu berupa akta nikah yang merupakan bukti autentik di depan pengadilan ketika terjadi permasalahan dan menjamin kepastian hukum.
Dengan demikian, maka pengertian pencatatan adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh pejabat atau seseorang yang ditunjuk oleh pemerintah mengenai suatu perstiwa yang terjadi. Sedangkan pengertian perkawinan dalam Ensiklopedia Indonesia adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang keduanya bukan muhrim dan dilakukan dengan ijab kabul.33 Jadi Pencatatan perkawinan dapat diartikan dengan kegiatan menulis yang dilakukan seseorang mengenai telah berlangsungnya akad antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim untuk menjadi suami isteri.
2. Pentingnya Pencatatan perkawinan
Beberapa hal mengenai pentingnya suatu akad nikah dicatatkan:
32 Muhammad Zein & Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis, cet. 1, (Jakarta:
Graha Cipta, 2005), h.36
(42)
33
a. Sebagaimana tersebut dalam tujuan Pencatatan nikah, dengan adanya akta nikah maka seseorang memiliki bukti yang sah menurut Negara sehingga jika terjadi suatu masalah, Negara dengan kekuasaannya dapat mengadili.
b. Dalam Syari’ah Islam ketetapan seorang anak Sah hanya dapat dilakukan dengan ikrar atau pembuktian dengan adanya dua orang saksi. Namun ketika hal itu tidak dapat menjanjikan lagi maka penacatatan nikah menjadi hal yang representatif untuk mencapai tujuan maslahah.
c. Begitu pentingnya alat bukti dalam satu perkawinan sehingga Rasulullah pernah menyatakan bahwa nikah tanpa saksi identik dengan perbuatan zina. Bahkan Nabi SAW mensunahkan untuk mengadakan walimah.
d. Catatan dan tulisan akan bertahan lama jangka waktunya, sehingga sekalipun yang bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih bisa digunakan setiap waktu. Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan merupakan salah satu cara penentuan hukum.
e. Menutup pintu pengakuan-pengakuan dusta dalam pengadilan, di mana bisa saja sebagian orang yang hatinya rusak mengaku telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatannya hanya karena mudahnya suatu perkawinan dengan saksi palsu.
(43)
3. Pencatatan Nikah Dalam Hukum Islam
Pada bab ini penulis akan bahas kedudukan hukum pencatatan perkawinan dalam pandangan hukum Islam serta akibatnya ditinjau dari sumber hukum Islam: a. Berdasarkan Al-Qur’an dan Qiyas
Pengertian qiyas menurut ulama ushul ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Defenisi lain dari qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan
illat hukum.34
Dalam al-Qur’an tidak ada ayat yang menjelaskan dengan tegas mengenai perintah pencatatan perkawinan, namun dalam surah al-Baqarah [2]: 282 menjelaskan keharusan melakukan pencatatan dalam akad hutang-piutang, ayat tersebut berbunyi:
…
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (Q.S. al-Baqarah [2] : 282)
34 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, terj. Oleh Saifullah Ma’shum dari Ushul al-Fiqh Abu
(44)
35
Ayat ini dikenal oleh para ulama dengan nama ayat al-Mudayanah (ayat utang-piutang). Ayat ini berisi tentang penulisan utang-piutang dan mempersaksikannya di hadapan pihak ketiga yang dipercaya/notaries, sambil menekankan perlunya menulis utang walaupun sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya.35
Mengenai ayat ini, ulama berbeda pendapat tentang hukum pencatatan tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa pencatatan tersebut hukumnya tidak wajib karena ia hanya bersifat anjuran. Hal ini menurut Quraish Shihab berdasarkan praktek para sahabat Nabi ketika itu, keadaan kaum muslimin ketika turunnya ayat ini sangat langka yang memiliki kepandaian tulis menulis, maka jika perintah tersebut bersifat wajib tentunya akan sangat memberatkan. Namun demikian ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis menulis, karena dalam hidup seorang dapat mengalami kebutuhan pinjam dan meminjamkan. Hal ini diisyaratkan oleh penggunaan kata
اذا
(apabila) yang ada pada awal penggalan ayat ini, yang lazim digunakan untuk menunjukan kepastian akan terjadinya sesuatu.36 Berdasarkan pendapat Quraish Shihab diatas, dapat disimpulkan bahwa pada kondisi saat ini dimana kepandaian tulis menulis sudah banyak, serta
35 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Cet. Ke-1, h. 562-563.
(45)
penggunaan pencatatan sebagai salah satu bukti yang diterima dimata hukum, maka pencatatan tersebut hukumnya dapat menjadi wajib.
Abu Said, asy-Sya’bi, dan Rabi’ bin Anas mengatakan bahwa pada mulanya pencatatan ini hukumnya wajib, kemudian dinasakh oleh firman Allah:
“Namun, apabila sebagaian kamu mempercayai sebagaian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya” (QS. al-Baqarah [2]:
283). Dalam hal ini yang dinasakh adalah kewajiban mencatatnya, bukan mencatat itu sendiri, karena mencatat transaksi itu lebih utama.37 Penulis kitab Fi Zhilal
Al-Qur’an berpendapat bahwa penulisan tersebut adalah wajib dan tidak ada pilihan
lain dalam kondisi hutang sampai batas waktu tertentu.38
Dalam hal pencatatan perkawinan, ayat diatas adalah satu-satunya ayat yang dijadikan landasan hukum pencatatan perkawinan dikalangan ahli hukum Islam dengan menggunakan pendekatan qiyas. Mengenai qiyas Imam Syafi’i mengatakan: “Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan ummat Islam wajib melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan jalan ijtihad. Ijtihad itu salah
37 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah, ringkasan tafsir Ibnu Katsir, terj.
Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Jilid. I, Cet. Ke-1, h. 463.
38 Syaikh M. Abdul Athi Bukhairi, Tafsir Ayat-ayat yaa Ayyuhal-ladziina Aamanu, terj.
(46)
37
satunya dengan qiyas”.39 Menurut Abu Zahrah hukum Islam itu ada kalanya dapat diketahui melalui bunyi nash, yakni hukum-hukum yang secara tegas tersurat dalam al-Qur’an dan Hadits, ada kalanya harus digali melaui kejelian memahami makna dan kandungan nash, yaitu melalui pendekatan qiyas.
b. Berdasarkan Al-Dzari’ah
Definisi al-Dzari’ah secara bahasa adalah perantara (wasilah). Sedangkan secara istilah dzari’ah adalah sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada dzari’ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasarannya. Jelasnya, perbuatannya yang membawa ke arah mubah adalah mubah, perbuatan yang membawa ke arah haram adalah haram, dan perbuatan yang yang menjadi perantara perbuatan wajib adalah wajib.40
Dengan demikian, yang menjadi dasar diterimanya dzari’ah sebagai sumber pokok hukum Islam ialah tinjauan terhadap akibat suatu perbuatan. Perbuatan yang menjadi perantara memiliki ketetapan hukum yang sama dengan perbuatan yang menjadi sasarannya, baik akibat hukum itu dikehendaki ataupun tidak. Jika perbuatan itu mengarah kepada hal yang diperintahkan (mathlub), maka
39 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, terj. Oleh Saifullah Ma’shum dari Ushul al-Fiqh Abu
Zahrah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995). Cet. Ke-5, h. 336.
40 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, terj. Oleh Saifullah Ma’shum dari Ushul al-Fiqh Abu
(47)
ia menjadi mathlub (diperintahkan). Sebaliknya jika perbuatan itu mengarah kepada perbuatan buruk, maka ia menjadi terlarang.41
Disamping itu, perkawinan yang tidak dicatatkan berpotensi menimbulkan kemudharatan dan terdzaliminya para pihak dalam perkawinan. Seperti contoh sorang suami yang menelantrakan isteri dan anaknya, sedang isteri tidak dapat menggugat suaminya karena tidak mempunyai bukti mengenai telah terjadinya perkawinan antara dia denagn suaminya. Untuk menghindari hal itu, maka pencatatan perkawinan sebagai elemen penyempurnaan dari suatu perkawinan adalah wajib.42
Peninjauan terhadap akibat suatu perbuatan, sebagaimana disebut diatas, bukan memperhitungkan kepada niat si pelaku, namun yang diperhitungkan adalah akibat dan buah dari perbuatannya itu.43 Demikian pula dalam hal pencatatan perkawinan, tidak tergantung kepada niat suami untuk menelantarkan isterinya ketika calon suami akan menikahi calon isterinya, mungkin hampir seluruh laki-laki tidak berniat untuk menelantarkan dan merugikan pasangan serta anak keturunannya. Namun dalam menjalani kehidupan rumah tangga, bisa terjadi
41 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, h. 439.
42 Yayan Sofyan, “Itsbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak Dicatat Setelah Berlakunya UU
No. 1 Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”. Jurnal “AHKAM” No.08/IV/2002, (April, 2002), h.74.
(48)
39
ketidak harmonisan keluarga, atau suami tergoda dengan perempuan lain sehingga membuatnya meninggalkan dan menelantarkan isteri serta anaknya.44
Jika perkawinannya itu tercatat, maka ia dapat mengadukan perlakuan suaminya itu ke pangadilan. Namun jika tidak ada pencatatan, maka isteri tidak dapat mengadukan suaminya kepengadilan, karena hukum tidak memberi jaminan kepada isteri dan anak keturunannya itu sebab perkawinan yang dilakukan dengan suaminya itu tidak mendapat pengakuan hukum sehingga perkawinan itu dianggap tidak pernah terjadi di mata hukum.
c. Berdasarkan Maslahah Mursalah
Menurut istlah ahli ushul, arti maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak disyariatkan oleh Syar’i dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak ada dalil yang membenarkan atau menyalahkan. Misalnya, kemaslahatan yang diambil oleh para sahabat dalam mensyariatkan adanya penjara, dicetaknya mata uang, penetapan hak milik pertanian, penentuan pajak penghasilan, dan lain-lain yang diadakan berdasarkan kebutuhan, keadaan dan kebaikan yang belum ada syariat hukumnya, disamping tidak ada hukum syara’ yang membenarkan atau menyalahkan.45
44 Yayan Sofyan, “Itsbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak Dicatat Setelah Berlakunya UU
No. 1 Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, h.74-75.
45 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Masdar Helmy, (Bandung: Gema Risalah
(49)
Maslahah yang ditopang oleh sumber dalil yang khusus disebut dengan
maslahah mu’tabarah (maslahat yang diterima), oleh karenanya maslahat jenis ini
termasuk dalam golongan qiyas. Sedangkan maslahat yang tidak didukung oleh sumber dalil yang khusus disebut dengan maslahah mursalah (maslahat yang lepas) atau disebut juga dengan istislah karena ia sebagai dalil yang berdiri sendiri.46 Jika hukum pencatatan perkawinan dapat ditetapkan berdasarkan qiyas sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka maslahat dalam pencatatan perkawinan termasuk maslahah mu’tabarah. Namun jika ada yang berpendapat bahwa penetapan hukum pencatatan perkawinan tidak bisa berdasarkan qiyas, maka menurut penulis hukum pencatatan perkawinan tersebut bisa ditetapkan berdasarkan maslahah mursalah.
Demikianlah uraian hukum pencatatan perkawinan ditinjau dari aspek sumber hukum dalam Islam. Dari pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa pencatatan perkawinan merupakan kebijakan pemerintah yang sesuai dengan hukum Islam, bahkan hukum Islam sendiri memandang wajib akan adanya pencatatan perkawinan berdasarkan tinjauan sumber hukum Islam sebagimana dijelaskan diatas. Akan tetapi, bagi golongan yang tidak menerima sumber hukum selain al-Qur’an dan as-Sunnah, seperti golongan Zahiriyah yang berpegang teguh
(50)
41
pada ketentuan lahiriyah nash, maka bagi mereka pencatatan perkawinan merupakan perkara di luar ketentuan syar’i yang tidak ada ketetapan hukumnya.
Ada berbagai pertentangan pendapat masyarakat mengenai hukum pencatatan perkawinan, setidaknya ini dapat dikembalikan kepda ayat al-Qur’an yang mewajibkan umat Islam untuk mematuhi peraturan yang dibentuk oleh pemerintah, sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan syariat Islam. Ayat al-Qur’an tersebut adalah Surat an-Nisa’: 59 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu”.
Walaupun ada sebagian ahli tafsir yang mengartikan ulil amri sebagai ulama, namun Busthanul Arifin menafsirkannya sebagai “pemerintah”, karena menurutnya ijtihad para ulama itu tidak bisa saling membatalkan, maka jika ulil amri ditafsirkan sebagai ulama maka akan menimbulkan ketidak pastian hukum mengenai pendapat ulama mana yang harus diikuti, karenanya ulil amri lebih tepat diartikan sebagai “pemerintah”,47oleh karenanya berdasarkan ayat ini, pencatatan perkawinan wajib dilakukan oleh setiap muslim yang melangsungkan perkawinan. Namun kewajiban itu sebagai unsur penentu dalam terlaksananya akad nikah. Disamping itu, ketetapan pemerintah mengenai hal-hal kemasyarakatan dipandang mampu menghilangkan semua pertentangan pendapat yang ada, berdasarkan kaidah fiqh yang berbunyi:
47 Amrullah Ahmad, et. al., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasiona: mengenang
(51)
َﺤﻟا ُﻢْﻜُﺣ
دِﺎَﮭِﺘْﺟِِﻹ ِﻞِﺋﺎَﺴَﻣ ﻲِﻓ ُﻢِﻛﺎ
َفﻼِﺨﻟا ُﻊَﻓْﺮَﯾ
“Hukum yang diputuskan oleh hakim dalam masalah-masalah ijtihad
menghilangkan perbedaan pendapa”48
Oleh karena itu, pencatatan perkawinan ini lebih bersifat kemasyarakatan, maka dalam hal ini ketetapan pemerintah menganai keharusan pencatatan perkawinan ini bersifat tetap serta mampu menghilangkan pertentangan yang terjadi dikalangan masyarakat mengenai hukum pencatatan perkawinan itu sendiri. 4. Pencatatan Menurut Hukum Positif
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara penegakan hukum dan keadilan merupakan sesuatu hal yang amat penting, dalam setiap kehidupan pergaulan masyarakat dalam bernegara, termasuk di Negara Hukum Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Keadilan, kebenaran, ketertiban kepastian hukum dalam sistem penyelengaraan hukum merupakan hal pokok yang sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana kehiduapn yang aman tenteram dan tertib. 49
Prospek dari hukum-hukum perdata Islam yaitu untuk ketertiban dalam bermasyarakat dan bernegara, guna terciptanya keadaan tersebut, yakni suatu ketertiban di manapun di dunia ini termasuk Indonesia selalu berbarengan dengan hukum, sebagai kaidah-kaidah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
48 Salam Madkur, al-Ibahah ‘inda al-Ushuliyyin wa al-Fuqaha, (t.t: Dar Nahdhah
al-Islamiyah, 1965), cet. II, h,336
(52)
43
manusia yaitu ketertiban dan kedamaian. Dengan kata lain masyarakat dan hukum merupakan dua gejala yang tidak dapat dipisahkan.50
Hukum perdata Islam berfungsi sebagai pengendali dan sarana untuk memperlancar interaksi sosial. Sebagai pengendali sosial berarti hukum perdata juga bisa dikatakan pemaksa, sebagai sarana memperlancar interaksi wanita dan pria untuk hidup bersama sebagai suami isteri.
Pencatatan nikah merupakan suatu yang pelik, disebabkan adanya polemik yang berkepanjangan di antara fiqih dan undang-undang perkawinan, kenyataan yang terjadi di lapangan masih ada pasangan yang melakukan akad pernikahan dengan tidak dicatat di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Hal ini disebabkan adanya tunpang tindih antara hukum islam itu sendiri yang notabelnya fiqih dengan Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Dalam hal terjadi pelanggaran kaidah-kaidah hukum yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, yang berakibat timbulnya kerugian pada kepentingan (hak) orang lain, pihak yang berkepentingan (haknya) dirugikan dengan adanya pelanggaran tersebut, apabila ia tidak dapat menyelesaikannya secara kekeluargaan maka adanya campur tangan dari instansi pemerintahan demi terciptanya ketertiban dan ketenteraman.
50 Taufik Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama Sistem Tata Hukum di
(53)
Pencatatan nikah dalam persfektif UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 diatur dalam pasal 2 ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Dalam UU ini mengharuskan adanya pencatatan nikah menurut peraturan dan perundangan yang berlaku. Pencatatan setiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan suatu peristiwa hukum dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kamatian yang dinyatakan dalam suatu akta resmi (surat keterangan) yang dimauat dalam daftar pencatatan yang disediakan khusus untuk itu.51
Selanjutnya penjelasan lebih rinci mengenai pencatatan nikah dapat ditemukan pada PP No. 9 Tahun 1975 dalam Bab II pasal 2 ayat 1 yaitu:
(1)Pencatatan nikah dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatatan nikah, Talak da Rujuk.
Dalam pasal 3 ayat 1 disebutkan:
(1)Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.52
Sama halnya dalam kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat 1 dan 2, menyatakan:
51 Moch. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. (Jakarta: sinar Grafika, 2006),h.44.
52 Subekti & Tjitrosudibio, Kitab UU Hukum Perdata. (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,
(54)
45
(1)Agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap
perkawinan harus dicatat.
(2)Pencatatan nikah tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 tahun 1954.
Pada pasal 6 disebutkan:
(1)Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, seiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2)Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tdak
mempunyai kekauatan hukum.53
Memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pencatatan nikah adalah syarat administratif. Syarat administratif artinya perkawinan tetap sah karena standar sah dan tidaknya perkawinan ditentukan oleh norma-norma agama dari pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. Pencatatan nikah diatur sebab tanpa pencatatan, suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum dan akibat hukum dalam perkawinan yang tidak dicatatkan. Apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum karena tidak mempunyai bukti-bukti yang sah dan autentik dari perkawinan yang dilangsungkannya.54
53 Instruksi Presiden RI Nomor 1 tahun 1991. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 1998), h. 15.
(55)
A.Profil Desa Kertanegara, Indramayu
Masyarakat desa Kertanegara merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Haurgeulis, Indramayu. desa Kertanegara adalah pemukiman yang komposisinya perumahannnya belum diatur dan belum dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan prasarana yang cukup memadai. Desa Kertanegara merupakan salah satu desa yang belum mandiri karena banyak kekurangan disana-sini.
Luas wilayah desa Kertanegara adalah 423,35 ha/m2. Umumnya masyarakat bekerja sebagai petani dan pembuat kusen yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Ekonomi masyarakat desa Kertanegara masih kurang sejahtera ini terbukti masih banyaknya masyarakat desa yang hidup dalam kemiskinan.55
Jumlah penduduk desa Kertanegara adalah 10575 pada tahun 2009 dimungkinkan pada tahun 2010 bertambah karena adat (kebiasaan) desa Kertanegara menikah di usia remaja (dini)56. Banyaknya perkawinan dini di desa Kertanegara
55
Wawancara dengan Soehaji S.Pol selaku sekretaris desa Kertanegara,(Indramayu, tanggal 16 Juni 2010).
56 Sumber Kantor Desa Kertanegara.
(1)
68
yang buta huruf sehingga masalah pencatatan masih tergolong awam, kemudian tradisi perjodohan banyak dilakukan antara kerabat dekat.
Setelah masa kemerdekaan, pencatatan perkawinan ditetapkan melalui Undang-undang No. 22/1946 jo Undang-undang No. 32/1954 yang mengatir tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk. Mengingat Indonesia belum punya hukum materiil sendiri tentang perkawinan, maka dibuatlah UU No. 1/1974 tentang perkawinan. Rancangan UU Perkawinan ini sebelumnya banyak yang protes, karena dianggap banyak yang gertentangan dengan hukum Islam, sehingga beberapa pasal yang bermasalah dibuang atau dirubah redaksinya termasuk masalah pencatatan, apakah sebagai syarat akad atau syarat administrasi, kemudian pelolakan FPP tentang pencatatan untuk dijadikan syarat sah pada waktu RUU tersebut dibahas yang merupakan warisan daripada kolonial Belanda pada saat itu yang disebut “tasabbuh” artinya menyerupai atau meniru.
(2)
C.Kesimpulan
1. Pencatatan perkawinan yang tidak dilakukan oleh beberapa masyarakat desa Kertanegara karena beberapa faktor, yaitu:
a. Kemiskinan
b. Poligami liar/perkawinan yang tidak diizinkan oleh isteri pertama c. Menghindari perzinahan
d. Menurut masyarakat melakukan perkawinan tersebut tidak melanggar hukum Islam
2. Akibat dari perkawinan yang tidak dicatatkan akan membawa permasalahan hukum baru diantaranya adalah :
a. Perkawinan tidak diakui oleh negara sehingga tidak mempunyai kepastian hukum.
b. Suami sering mengucapkan kata talak melebihi dari 3 kali. c. Tidak mendapatkan nafkah ketika terjadi perceraian.
3. Persamaan dan Perbedaan Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Perkawinan yang tidak Tercatat adalah :
(3)
70
a. Persamaan
1) Keduanya sama-sama memiliki aturan mengenai ketentuan pencatatan perkawinan.
2) Kewajiban pencatatan perkawinan dalam hukum Islam dan hukum positif sama-sama tidak berakibat pada sah atau tidaknya suatu akad nikah.
b. Perbedaan
1) Dalam hukum Islam pencatatan perkawinan tidak disyaratkan secara khusus harus dilakukan oleh petugas yang khusus menangani pencatatan perkawinan dan dalam hukum positif, pencatatan perkawinan dalam pelaksanaannya hanya dapat dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) 2) Dalam pandangan hukum positif perkawinan yang tidak dicatat tidak
mendapatkan pengakuan hukum, karenanya perkawinan itu dianggap tidak pernah terjadi di mata hukum dan Perkawinan yang tidak dicatatkan dalam pandangan hukum Islam tetap mendapat pengakuan hukum mengenai telah terjadinya perkawinan tersebut.
(4)
D.Saran
1. Perkawinan tidak dicatatkan perlu disosialisasikan dalam bentuk pembinaan atau penyuluhan kepada masyarakat desa Kertanegara mengenai dampak/akibat dari perkawinan tersebut agar tidak terjadi perkawinan yang tidak dicatatkan.
2. Untuk aparat desa Kertanegara agar di adakannya nikah massal bagi suami-isteri yang perkawinannya tidak dicatatkan yang bertujuan untuk memiliki buku akta nikah dan mendapatkan kepastian hukum.
3. Bagi suami-isteri yang masih perkawinannya tidak dicatatkan setelah ada penyuluhan, pembinaan, serta nikah massal yang diadakan oleh aparat desa. Menurut penulis bagi yang masih perkawinannya tidak dicatatkan maka perlu ada sanksi administratif.
(5)
72
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2007, cet. V.
Ahmad, Amrullah., et., al., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasiona: mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H., Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986.
Al- Jaziri, Abdurrahman., AlFiqh ‘Ala Mazahib Al-Arba’ah, Beirut : Dar Al-Fikr, 1977.
Al- Mahalliy, Jalal al-Dien, Syarh Minhaj al-Thalibin, Mesir, Dar Ihyai Kutub al-Kubra.
Al- Zuhaily, Wahbah., Al Fiqh al-Islam wa Adillatuhu juz IX, Damsyiq : Dar El Fikr, 1989.
Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bahkti Wakaf, 1995, jilid2
Djalil, Basiq, Pernikahan Lint as Agama dalam Perspekt if Fiqih dan Kom pilasi Hukum
Islam , Jakart a: Penerbit Qalbun Salim, 2005, cet. I.
Djubaedah, Neng dkk. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Hecca Mitra Utama, 2005.
Effendi, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan Pedekatan Ushuliyah, Jakarta: Kencana, 2004.
Ghazaly, Abd. Rahman., Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003.
Hafiz, Ibn Rusyd., Bidayatu al Mujtahid wa nihayatu al-muqtasid, Beirut : Dar Al-Fikr, t.t.
Hamami, Taufik., Kedudukan dan Eksist ensi Peradilan Agam a Sist em Tat a Hukum di
(6)
Hosen, Ibarahim, Fiqih Perbandingan dalam Masalah Pernikahan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, cet. I.
htt p: / / organisasi org/ hikmah-perkaw inan-hikmah-sesuai-ajaran-agama-islam, M on, 23/ 06/ 2008 – 4:56pm - suarapemuda.
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2000, cet. XI.
Manan, Abdul., Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-1.
Muhammad Zein & Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis, cet. 1, Jakarta: Graha Cipta, 2005.
M uhdlur, Zuhdi., Hukum Perkaw inan, Jakart a: Al-Bayan, t .t h, Cet . Ke-1.
M unaw w ir, Warson., Al-M unaw w ir Qam us Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pondok
Pesant ren Al-M unaww ir, 1984.
Ramulyo, M och. Idris., Hukum Perkaw inan, Hukum Kew arisan, Hukum Acara
Peradilan Agam a dan Zakat M enurut Hukum Islam , Jakart a: sinar Grafika, 2006.
Rofiq, Ahmad., Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, Cet . ke-6.
Sabiq, Sayyid., Fiqh al Sunnah, Beirut : Dar Al-Fikr, 1983, Cet. Ke-4. Sadily, Hasan., et al., Ensiklopedia Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru, 1983.
Subekti, R. & Tjitrosudibio, R. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Pramita, 2002.
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1987.
Syarifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2006.