PENURUNAN LIMBAH CAIR BOD DAN COD PADA INDUSTRI TAHU MENGGUNAKAN TANAMAN CATTAIL (Typha Angustifolia) DENGAN SISTEM CONSTRUCTED WETLAND

(1)

PENURUNAN LIMBAH CAIR BOD DAN COD PADA INDUSTRI TAHU MENGGUNAKAN TANAMAN CATTAIL (Typha Angustifolia) DENGAN

SISTEM CONSTRUCTED WETLAND

SKRIPSI

Disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

Program Studi Kimia

Oleh :

Mika Septiawan Muhajir NIM. 4350408054

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi pada:

Hari : Jum’at

Tanggal : 26 April 2013

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Sri Mantini Rahayu S, M.Si F. Widhi Mahatmanti, S.Si, M.Si NIP. 195010171976032001 NIP. 196912171997022001


(3)

iii

PENGESAHAN Skripsi yang berjudul:

PENURUNAN LIMBAH CAIR BOD DAN COD PADA INDUSTRI TAHU MENGGUNAKAN TANAMAN CATTAIL (Typha Angustifolia) DENGAN SISTEM CONSTRUCTED WETLAND

Disusun oleh

Nama : Mika Septiawan Muhajir

NIM : 4350408054

telah dipertahankan di hadapan Sidang Panitia Ujian Skripsi FMIPA UNNES pada tanggal

Panitia Ujian

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Wiyanto, M.Si Dra. Woro Sumarni,M.Si NIP. 196310121988031001 NIP. 196507231993032001 Ketua Penguji

Nuni Widiarti, S.Pd, M.Si NIP. 197810282006042001

Anggota Penguji/ Anggota Penguji/

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Dra. Sri Mantini Rahayu S, M.Si F. Widhi Mahatmanti, S.Si, M.Si NIP. 195010171976032001 NIP. 196912171997022001


(4)

iv

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Apabila dikemudian hari terbukti skripsi ini adalah hasil jiplakan dari karya tulis orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku

Semarang, 26 April 2013

Mika Septiawan Muhajir NIM 4350408054


(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO :

 Hendaknya kita tidak mengukur ilmu bukan dari tumpukan buku yang kita habiskan, bukan dari tumpukan naskah yang kita hasilkan, bukan juga dari penatnya mulut dalam diskusi panjang. Tetapi dari amal yang keluar dari setiap desah nafas kita (Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah).

 Orang—orang yang hebat dalam bidang apapun bukan baru bekerja karena mereka terinspirasi, namun mereka menjadi terinspirasi karena mereka bekerja. Mereka tidak menyia-nyiakan waktu untuk menunggu terinspirasi (Ernest Newman).

PERSEMBAHAN

Allah SWT atas segala nikmat, karunia dan anugrahNya

Untuk Abah,Ummi, Kakak, adik dan seluruh keluarga besar atas do’a dan dukungannya

Semua sahabat-sahabat saya yang mengajari saya arti sebuah

persahabatan

BFOC ’08 yang memberikan kehangatan kekeluargaan yang tak akan pernah terlupakan


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

―Penurunan Limbah Cair BOD dan COD Pada Industri Tahu Menggunakan Tanaman Cattail(Typha Angustifolia) dengan Sistem Constructed Wetland‖.

Dalam penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan yang tidak ternilai harganya. Untuk itu, penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam yang telah memberikan izin penelitian.

2. Ketua Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

3. Ketua Prodi Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

4. Ibu Dra. Sri Mantini Rahayu Sedywati, M.Si. selaku Pembimbing I yang senantiasa memberi petunjuk, pengarahan hingga selesainya skripsi ini.

5. Ibu F. Widhi Mahatmanti, S.Si, M.Si selaku Pembimbing II atas petunjuk dan bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Nuni Widiarti, S.Pd, M.Si selaku Penguji Utama yang telah memberikan pengarahan, kritikan membangun sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. 7. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Kimia yang telah memberikan bekal dalam


(7)

vii

8. Laboran serta teknisi laboratorium Kimia UNNES atas bantuan yang diberikan selama pelaksanaan penelitian.

9. Kedua orang tua khususnya keluarga besar dan saudara-saudara atas doa dan motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.

10.Sahabat-sahabat Chemscoy atas semangat dan kebersamaannya.

11.Keluarga besar Big Family Of Chemistry ’08 atas kebersamaannya sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.

12.Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya, penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Semarang, 26 April 2013


(8)

viii ABSTRAK

Muhajir, Mika Septiawan. 2013. Penurunan Limbah Cair BOD dan COD pada Industri Tahu Menggunakan Tanaman Cattail (Typha Angustifolia) dengan Sistem Constructed Wetland. Skripsi, Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Pembimbing Utama Dra. Sri Mantini Rahayu Sedyawati, M.Si dan Pembimbing Pendamping F. Widhi Mahatmanti, S.Si, M.Si.

Kata kunci : BOD, COD, Constructed Wetland, Cattail, limbah tahu.

Limbah cair yang dihasilkan dari industri tahu masih mengandung padatan tersuspensi dan terlarut yang dapat mencemari perairan, oleh karena itu harus diturunkan kadarnya sebelum dibuang ke perairan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan cara biofilter. Biofilter yang digunakan adalah menggunakan tanaman cattail (Thypa Angustifolia) dengan sistem Constructed wetland yang bertujuan untuk mengetahui penurunan optimum kadar limbah cair BOD, COD dan TSS pada limbah cair tahu. Hasil penelitian menunjukkan penurunan kadar limbah cair BOD, COD, dan TSS pada industri tahu dengan variasi waktu lama penanaman terendah terjadi pada waktu tinggal hari ke 5 dengan nilai BOD 640 mg/L (14,6%), COD 1072 mg/L (12,2%) dan TSS 520 mg/L (23,4%), sedangkan penurunan maksimum terjadi pada waktu tinggal hari ke 20 dengan nilai BOD 177 mg/L (78%), COD277 mg/L (77,3%), dan TSS 146 mg/L (78%). Penurunan terendah limbah cair BOD, COD dan TSS pada variasi berat tanaman cattail terjadi pada berat 1 kg dengan nilai BOD 400 mg/L (38,2%), COD 752 mg/L (39,4%) dan TSS 353 mg/L (45,6%), sedangkan penurunan maksimum terjadi pada berat cattail sebesar 4 kg dengan nilai BOD 80 mg/L (87,6 %), COD 165 mg/L (86,7%) dan TSS 63 mg/L (90,2%).


(9)

ix ABSTRACT

Muhajir, Mika Septiawan, 2013. Liquid Waste Reduction Of BOD and COD Tofu Industry Using Cattail (Typha angustifolia) with System Constructed Wetland. Skripsi, Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Pembimbing Utama Dra. Sri Mantini Rahayu Sedyawati, M.Si dan Pembimbing Pendamping F. Widhi Mahatmanti, S.Si, M.Si.

Keywords : Constructed Wetland, BOD, COD, Cattail, tofu industry.

Wastewater was generated from industry tofu still contains suspended and dissolved solid that can pollute the water, therefore must lowered the rate prior to discharge into water. One of the ways that can be done by way of biofilter. Biofilter using cattail plants (thypa angustifolia) constructed wetland system aims to determine the optimum decreased levels of BOD, COD and TSS in the tofu wastewater. The research showed decreased levels wastewater of BOD, COD and TSS in the tofu wastewater with variation time of planting the lowest accurs retention time of 5 days with a BOD value of 640 milligrams/L (14,6%), COD 1027 milligrams/L (12,2%), and TSS 520 milligrams/L (23,4%) while the maximum decrease occured retention time of 20 days with a BOD value of 177 milligrams/L (78%), COD 277 milligrams/L (77,3%) and TSS 146 milligrams/L (78%). Lowest decrease rate of effluent BOD, COD and TSS in the variation of weight cattail plant accurs at weight 1 kg with BOD value 400 milligrams/L (38,2%), COD 752 milligrams/L (39,4%) and TSS 353 milligrams/L (45,6%), whereas the maximum decrease occurred in cattail weight 4 kg with value BOD

80 milligrams/L (87,6%), COD 165 milligrams/L (86,7%), and TSS 63 milligrams/L (90,2%).


(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Cair ... 5


(11)

xi

2.2 Sumber Limbah Cair ... 5

2.3 Komposisi Limbah Cair ... 5

2.4 Proses Pembuatan Tahu dan Limbah yang dihasilkan ... 6

2.5 BOD (Biochemical Oxigen Demand) ... 10

2.6 COD (Chemical Oxugen Demand) ... 11

2.7 TSS (Total Suspended Solid) ... 12

2.8 Tanaman Cattail (Thypa Angustifolia)... 13

2.9 Constructed Wetland (lahan Basah Buatan) ... 15

BAB III : METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 19

3.2 Sampel Penelitian ... 19

3.3 Variabel Penelitian ... 19

3.4 Alat dan Bahan ... 20

3.5 Cara Kerja ... 20

3.5.1 Perlakuan Awal ... 20

3.5.2 Aklimatisasi Tanaman ... 21

3.6 Prosedur Penelitian ... 22

3.7 Analisis COD ... 24

3.8 Analisis BOD ... 25

3.9 Analisis TSS ... 26

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 27


(12)

xii

4.1.2 Penurunan Limbah Industri Tahu dengan Sistem

Constructed Wetland ... 28

4.1.3 Pengaruh Variasi Waktu Penanaman Terhadap Penurunan Kadar BOD, COD dan TSS ... 29

4.1.4 Pengaruh Variasi Berat Tanaman Terhadap Penurunan Kadar BOD, COD dan TSS ... 30

4.2 Pembahasan ... 30

4.2.1 Penurunan Limbah Industri Tahu dengan Sistem Constructed Wetland ... 33

4.2.2 Penurunan BOD, COD dan TSS Terhadap Variasi Waktu Penanaman ... 35

4.2.3 Penurunan BOD, COD dan TSS Terhadap Variasi Berat Penanaman ... 38

BAB V : PENUTUP 5.1 Simpulan ... 45

5.2 Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kualitas Limbah Cair Tahu ... 8

2. Baku Mutu Air Limbah Industri Tahu ... 9

3. Kinerja Lahan Basah Buatan Aliran Atas Permukaan Berdasarkan Jenis Media yang digunakan ... 18

4. Kualitas Awal Limbah Tahu Desa Sumur Jurang... 27

5. Data Penurunan Limbah Menggunakan Sub-Surface Wetland ... 28

6. Data Penurunan Limbah Menggunakan Surface Wetland ... 28

7. Penurunan BOD, COD dan TSS dengan variasi lama penanaman ... 29

8. Pengaruh variasi berat tanaman terhadap penurunan kadar BOD, COD dan TSS ... 30


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Pengelompokan Bahan yang Terkandung Di Dalam Limbah ... 6

2. Proses Pembuatan Tahu ... 7

3. Tanaman Cattail (Thypa Angustifolia) ... 13

4. Tipe Aliran Lahan Basah Buatan ... 16

5. Pengepresan Tahu ... 33

6. Limbah Awal Tahu ... 33

7. Perbandingan Sistem SSFW dan SFW Terhadap Penurunan Limbah Cair BOD, COD dan TSS ... 34

8. Penurunan BOD, COD dan TSS dengan Variasi Lama Penanaman ... 36


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Alur Kerja ... 49

1.1 Prosedur Perlakuan Awal ... 49

1.2 Analisis Kadar COD ... 50

1.3 Analisis Kadar BOD ... 51

1.4 Analisis Kadar TSS ... 52

2. Pembuatan Reagen ... 53

3. Hasil Instrumen ... 56

2.1 Limbah Sebelum Perlakuan ... 56

2.2 Perhitungan Hasil Titrasi ... 56

2.4 SSFW 10 Hari dengan 2 kg Cattail ... 58

2.5 SFW 10 Hari dengan 2 kg Cattail ... 60

2.6 Hari Ke-5 dengan Berat 2 kg ... 62

2.7 Hari Ke-10 dengan Berat 2 kg ... 65

2.8 Hari Ke-15 dengan Berat 2 kg ... 67

2.9 Hari Ke-20 dengan Berat 2 kg ... 69

2.10 Berat 1 kg Selama 20 Hari ... 71


(16)

xvi

2.12 Berat 3 kg Selama 20 Hari ... 75 2.13 Berat 4 kg Selama 20 Hari ... 77 3. Dokumentasi Penelitian ... 80


(17)

1 1.1 Latar Belakang

Industri tahu merupakan usaha yang didirikan dalam rangka pengembangan kegiatan di bidang pangan yang mempunyai dampak positif dan negatif bagi lingkungan. Dampak positif berupa pemenuhan kebutuhan masyarakat akan sumber pangan sedangkan dampak negatif dari industri tahu berupa limbah buangan yang menimbulkan masalah pencemaran sehingga merusak lingkungan. Pencemaran lingkungan tersebut berupa hasil pembuangan limbah padat (ampas tahu) dan limbah cair. Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu yang disebut air dadih.

Limbah cair yang mengandung padatan tersuspensi maupun terlarut, mengalami perubahan fisik, kimia, dan hayati yang akan menghasilkan zat beracun atau menciptakan media untuk tumbuhnya kuman. Limbah akan berubah warnanya menjadi coklat kehitaman dan berbau busuk. Bau busuk ini akan mengakibatkan gangguan pernafasan. Apabila limbah ini dialirkan ke sungai maka akan mencemari sungai dan bila masih digunakan maka akan menimbulkan penyakit gatal, diare, dan mual.

Salah satu cara untuk mengetahui seberapa jauh beban pencemaran pada air limbah adalah dengan mengukur BOD (Biological Oxygen Demand), dan COD (Chemical Oxygen Demand) (Masturi, 1997).


(18)

BOD (Biological Oxygen Demand) adalah jumlah kebutuhan oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi senyawa organik yang ada dalam limbah. COD (Chemical Oxygen Demand) adalah banyaknya oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi senyawa organik secara kimiawi (Alaerts dan Santika, 1984).

Sumber limbah industri tahu di Semarang berasal dari beberapa tahapan proses yang menghasilkan nilai rata-rata BOD, COD total, dan TSS berturut-turut adalah 3,500 mg/L, 7,300 mg/L, 5,600 mg/L. 500 mg/L (Romli, 2009). Hal ini sangat jauh dari ambang batas yang ditentukan baku mutu air limbah industri tahu oleh pemerintah menurut Perda Provinsi Jawa Tengah No.10 Tahun 2004 yaitu pH 6-9; kadar BOD 150 mg/L, COD 275 mg/L; dan TSS 100 mg/L. Dengan demikian diperlukan upaya untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh limbah cair BOD, COD dan TSS, maka proses pengolahan limbah yang wajib dilakukan sebelum limbah tersebut dibuang ke badan perairan.

Pengolahan limbah yang cukup murah dan aman adalah biofilter menggunakan tanaman air, contohnya cattail (Typha Angustifolia). Cattail (Typha Angustifolia) adalah jenis tumbuhan yang bersifat colonial. Tumbuhan ini juga mempunyai rizom serta berbentuk panjang dan ramping. Tumbuhan cattail memiliki rhyzosfera merupakan sistem perakaran yang banyak dapat menyerap zat organik di badan air. Rizka (2005) menggunakan tanaman kanna (Canna sp)

sebagai media untuk menurunkan kadar COD. Pada penelitiannya tersebut diperoleh prosentase penurunan konsentrasi COD sebesar 71,8% pada waktu tinggal 12 dan 15 hari. Penurunan kandungan BOD tertinggi terjadi pada waktu


(19)

tinggal 15 hari sebesar 81,6% dan penurunan kandungan TSS tertinggi sebesar 83,3%.

Berdasarkan morfologi dari tumbuhan cattail (Typha Angustifolia) sangat cocok untuk pengolahan limbah cair dengan sistem Constructed Wetland. Lahan basah buatan atau constructed wetland merupakan sistem pengolahan terencana atau terkontrol yang telah didesain dan dibangun menggunakan proses alami yang melibatkan vegetasi, media, dan mikroorganisme untuk mengolah air limbah.

Secara umum sistem pengolahan limbah dengan lahan basah buatan (Constructed Wetland) ada 2 (dua) tipe, yaitu sistem aliran permukaan (Surface Flow Constructed Wetland) adalah sistem aliran yang mengalir dipermukaan tanah, dan Sub-Surface Flow yaitu sistem aliran yang mengalir melalui bawah tanah (Leady, 1997). Penelitian Supradata (2005) sistem aliran bawah permukaan menggunakan tanaman rumput hias (Cyperus alterifolius) menurunkanBOD dan COD masing-masing sebesar 89% dan 70%. Menurut Awalina dan Meutia (2005) Pemanfaatan Sub-Surface flow constructed wetland untuk mengolah limbah tapioka dengan media tanah dan air dengan jenis tanaman canna dapat menurunkan efesiensi pengolahan COD 72,98%, BOD 84,57% dengan luas permukaan wetland 3 m2 dan debit air 290 m3/perhari.

Pada penelitian ini akan dilakukan penurunan limbah COD, BOD, dan TSS sebagai parameter dalam menentukan kualitas air menggunakan tanaman cattail dengan sistem constructed wetland.


(20)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah perbandingan sistem subsurface wetland dan surface wetland pada penurunan limbah BOD dan COD industri tahu menggunakan tanaman cattail(Typha Angustifolia)?

b. Bagaimanakah pengaruh berat tanaman cattail (Typha Angustifolia)

terhadap penurunan limbah cair BOD dan COD industri tahu?

c. Bagaimanakah pengaruh waktu lama penanaman tanaman cattail (Typha Angustifolia) terhadap penurunan limbah cair BOD dan COD industri tahu? 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Mengetahui perbandingan sistem subsurface wetland dan surface wetland

pada penurunan limbah BOD dan COD industri tahu.

b. Mengetahui pengaruh berat tanaman cattail (Typha Angustifolia) terhadap penurunan limbah cair BOD dan COD industri tahu.

c. Mengetahui pengaruh waktu lama penanaman tanaman cattail (Typha Angustifolia) terhadap penurunan limbah cair BOD dan COD industri tahu.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan pada penelitian ini adalah :

Memberikan informasi mengenai teknologi sederhana yang tepat untuk mengolah air limbah tahu secara alamiah sehingga sistem ini juga dapat diaplikasikan sebagai upaya untuk menanggulangi masalah limbah tahu.


(21)

5 2.1 Limbah Cair

Air limbah (waste water) adalah air buangan dari masyarakat, rumah tangga, industri, air tanah, air permukaan serta buangan lainnya (Sutapa DAI, 1999). Di dalam limbah cair terkandung zat-zat pencemar dengan konsentrasi tertentu yang bila dimasukkan ke bahan air dapat mengubah kualitas airnya. Kualitas air merupakan pencerminan kandungan konsentrasi makhluk hidup, energi, zat-zat, atau komponen lain yang ada dalam air. Limbah cair mempunyai efek negatif bagi lingkungan karena mengandung zat-zat beracun yang mengganggu keseimbangan lingkungan dan kehidupan makhluk hidup yang terdapat di dalamnya (Sutapa DAI, 1999).

2.2 Sumber Limbah Cair

Air limbah merupakan kotoran dari rumah tangga, industri, air permukaan serta air permukaan lainnya. Air buangan ini bersifat kotor pada umumnya (Sugiarto, 1987 : 36). Sumber limbah cair terdiri dari dua sumber yaitu sumber domestik (rumah tangga), meliputi permukiman, kota, pasar, jalan, dan sumber non-domestik (industri, pertanian, peternakan, dan sumber-sumber lainnya) (Unus Suriawirna, 1996 : 48).

2.3 Komposisi Air Limbah

Sesuai dengan sumber asalnya, maka air limbah mempunyai komposisi yang sangat bervariasi dari setiap tempat dan setiap waktu. Akan tetapi secara


(22)

garis besar zat-zat yang terdapat dalam air limbah dapat dikelompokkan seperti gambar 1 :

- Protein(65%) - Butiran - Karbohidrat(25%) - Garam - Lemak(10%) - Metal

Gambar.1. Diagram pengelompokan bahan yang terkandung di dalam limbah (Sugiharto. 1987)

2.4 Proses Pembuatan Tahu dan Limbah yang dihasilkan

Tahu diperoleh melalui proses pengumpalan (pengendapan) protein susu kedelai, bahan yang digunakan adalah batu tahu (CaSO4), Asam cuka (CH3COOH) dan MgSO4. Secara umum proses pembuatan tahu meliputi, perendaman, penggilingan, pemasakan, penyaringan, pengumpalan, pencetakan/pengerasan dan pemotongan. Menurut Kafadi (1990), tujuan penambahan asam cuka dalam proses pembuatan tahu untuk mengembangkan pati, membuat tahu semakin padat, dan mempersatukan pati. Tahu merupakan salah satu sumber makanan yang berasal dari kedelai yang mengandung protein tinggi, dimana dalam 100 g tahu mengandung 68 g kalori, protein 7,8 g, lemak 4,6 g, hidrat arang 1,6 g, kalsium 124 g, fosfor 63 mg, besi 0,8 mg, vitamin B 0,06 mg, air 84,8 g (Partoatmojo,S. 1991).

Air limbah

anorganik Air (90 %) Bahan padat (0,1%)


(23)

Gambar 2. Diagram Proses Pembuatan Tahu

(Sumber : Potter dkk., 1994)

kedelai

Pencucian kedelai Kotoran limbah cair

Perendaman(air hangat 55° C : ± 3 jam )

penggumpalan penyaringan

penggilingan

Pemasakan (100° C selama 30-45 menit)

Kotoran limbah cair

tahu

Perendaman (air hangat 80° C) tahu

pemotongan pencetakan

whey

whey

Ampas tahu air


(24)

Hasil analisis kualitas limbah tahu yang ada di Jateng disajikan pada tabel berikut ini :

Tabel 1. Kualitas Limbah Cair Tahu

No Parameter Satuan Kadar

1 Temperatur ° C 40-60

2 Zat Padat Terlarut Mg/L 2000-5650

3 Zat Padat Tersuspensi Mg/L 1000-4000

4 BOD Mg/L 2000-5389

5 COD Mg/L 4000-7050

6 Amoniak Mg/L 0,0-30,0

7 Sulfida Mg/L 0,0-10,0

8 Ph Mg/L 4-5

Sumber : Data Uji BPPI Semarang, tahun 2004 Menurut Hartati (2003) dalam menentukan karakteristik limbah cair tahu adalah sebagai berikut.

a. Padatan tersuspensi

Adanya padatan tersuspensi pada air limbah akan mempengaruhi kekeruhan. Apabila terjadi pengendapan dan pembusukan padatan ini disaluran umum, maka dapat mengubah peruntukan perairan tersebut.

b. Kekeruhan

Kekeruhan yang terjadi karena adanya bahan organik (seperti karbohidrat dan protein) yang mengalami peruraian serta bahan koloid yang sukar mengendap.

c. Bau

Sifat bau limbah disebabkan karena zat-zat organik yang telah berurai dalam limbah mengeluarkan gas-gas seperti sulfida atau amoniak yang menimbulkan penciuman tidak enak yang disebabkan adanya campuran dari


(25)

nitrogen, sulfur dan fosfor yang berasal dari pembusukan protein yang dikandung limbah. Timbulnya bau yang diakibatkan limbah merupakan suatu indikator bahwa terjadi proses alamiah.

d. Temperatur

Limbah yang mempunyai temperatur panas akan mengganggu pertumbuhan biota tertentu. Temperatur yang dikeluarkan suatu limbah cair harus merupakan temperatur alami. Suhu berfungsi memperlihatkan aktivitas kimiawi dan biologis. Pada suhu tinggi pengentalan cairan berkurang dan mengurangi sedimentasi. Tingkat zat oksidasi lebih besar daripada suhu tiggi dan pembusukan jarang terjadi pada suhu rendah.

e. Warna

Warna dalam air disebabkan adanya ion-ion logam besi dan mangan (secara alami), humus, plankton, tanaman air dan buangan. Warna berkaitan dengan kekeruhan dan dengan menghilangkan kekeruhan kelihatan warna nyata.

Tabel 2. Baku Mutu Air Limbah Industri Tahu

No Parameter

Industri Tahu

Kadar Beban Pencemaran Maksimun (mg/L) (kg/ton)

1. Temperatur 38°C -

2. BOD 150 3

3. COD 275 5,5

4. TSS 100 2

Sumber : Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor : 10 tahun 2004 Catatan :

1. Kadar maksimun untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam milligram parameter per liter air limbah.


(26)

2. Beban pencemaran maksimun untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam kilogram parameter per ton kedelai.

2.5 BOD (Biological Oxygen Demand)

BOD (Biological Oxygen Demand ) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk memecahkan bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air. Pemeriksaan BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran akibat air buangan penduduk atau industri, dan untuk mendesain sistem pengolahan biologis bagi air yang tercemar tersebut. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (Alaerts dan Santika, 1984).

Berkurangnya oksigen selama oksidasi ini sebenarnya selain digunakan untuk oksidasi bahan organik, juga digunakan dalam proses sintesa sel serta oksidasi sel dari mikroorganisme. Oleh karena itu uji BOD ini tidak dapat digunakan untuk mengukur jumlah bahan-bahan organik yang sebenarnya terdapat di dalam air, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah konsumsi oksigen yang digunakan untuk mengoksidasi bahan organik tersebut. Semakin banyak oksigen yang dikonsumsi, maka semakin banyak pula kandungan bahan-bahan organik di dalamnya (Kristanto, 2002).

Oksigen yang dikonsumsi dalam uji BOD ini dapat diketahui dengan menginkubasikan contoh air pada suhu 20°C selama lima hari. Untuk memecahkan bahan-bahan organik tersebut secara sempurna pada suhu 20°C sebenarnya dibutuhkan waktu lebih dari 20 hari, tetapi untuk prasktisnya diambil


(27)

waktu lima hari sebagai standar. Inkubasi selama 5 hari tersebut hanya dapat mengukur kira-kira 68% dari total BOD (Sasongko, 1990).

Pengujian BOD menggunakan metode Winkler-Alkali iodida azida, adalah penetapan BOD yang dilakukan dengan cara mengukur berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam sampel yang disimpan dalam botol tertutup rapat, diinkubasi selama 5 hari pada temperatur kamar, kemudian diukur oksigen terlarutnya. Botol yang tersisa diukur oksigen terlarutnya pada hari ke nol dengan menambahkan 1 mL MnSO4 + 1 mL reagen alkali iodida azida + 1 mL H2SO4 pekat. Setelah itu ditambah 3 tetes amilum dan dititrasi dengan larutan natrium thiosulfat. Selanjutnya dilakukan perhitungan BOD dan penurunan BOD limbah tahu sebelum dan sesudah perlakuan (Alaerts dan Santika, 1984).

2.6 COD (Chemical Oxygen Demand)

COD atau kebutuhan oksigen kimia (KOK) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam satu liter sampel air, dimana pengoksidanya adalah K2Cr2O7 atau KMNO4. Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Sebagian besar zat organik melalui tes COD ini dioksidasi oleh K2Cr2O7 dalam keadaan asam yang mendidih optimum,

CaHbOc + Cr2O72- + H+ E CO2 + H2O + 2Cr3+ Ag2SO4

Kuning katalisator Hijau


(28)

Perak sulfat (Ag2SO4) ditambahkan sebagai katalisator untuk mempercepat reaksi. Sedangkan merkuri sulfat ditambahkan untuk menghilangkan gangguan klorida yang pada umumnya ada di dalam air buangan untuk memastikan bahwa hampir semua zat organik habis teroksidasi maka zat pengoksidasi K2Cr2O7 masih harus tersisa sesudah direfluks. K2Cr2O7 yang tersisa menentukan berapa besar oksigen yang telah terpakai. Sisa K2Cr2O7 tersebut ditentukan melalui titrasi dengan Ferro Ammonium Sulfat (FAS). Reaksi yang berlangsung adalah sebagai berikut.

6Fe2+ + Cr2O72- + 14H+ 6Fe3+ + 2Cr3+ + 7H2O

(Alaerts dan Santika, 1984). Indikator ferroin digunakan untuk menentukan titik akhir titrasi yaitu disaat warna hijau biru larutan berubah menjadi coklat merah. Sisa K2Cr2O7 dalam larutan blanko adalah K2Cr2O7 awal, karena diharapkan blanko tidak mengandung zat organik yang dioksidasi oleh K2Cr2O7 (Alaerts dan Santika, 1984).

2.7 TSS (Total Suspended Solid)

TSS (Total Suspended Solid) adalah residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Bagian yang termasuk TSS adalah lumpur, tanah liat, logam oksida, sulfida, ganggang, bakteri dan jamur. TSS umumnya dihilangkan dengan flokulasi dan penyaringan. TSS memberikan kontribusi untuk kekeruhan


(29)

perairan sehingga nilai kekeruhan tidak dapat dikonversi ke nilai TSS (Sutrisno dan Suciastuti, 1991).

Kekeruhan adalah kecenderungan ukuran sampel untuk menyebarkan cahaya, Sementara hamburan diproduksi oleh adanya partikel tersuspensi dalam sampel. Kekeruhan adalah murni sebuah sifat optic pola dan intensitas sebaran akan berbeda akibat perubahan dengan ukuran dan bentuk partikel serta materi. (Sugiharto, 1987).

2.8 Tanaman Cattail (typha Angustifolia)

Cattail (Thypa Angustifolia) adalah jenis tumbuhan herba serta besifat colonial. Tumbuhan ini juga mempunyai rizom serta berbentuk panjang dan ramping. Rizomnya akan menjalar di bawah permukaan tanah yang berlumpur untuk memulakan tumbuahan baru secara melintang. Tumbuhan ini mempunyai jangka hayat selama beberapa musim dan akan terus membiak apabila mencapai tahap kematangan tumbuh secara rumpun (Bagwell, 1998).

Gambar 3. Klasifikasi Tanaman Cattail (Thypa Angustifolia)

Kingdom : plantae, Subkingdom :

Tracheobionta, Super Divisi :

Spermatophyta, Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida, Sub kelas :

Commelinidae, Ordo : Typhales, Famili :

Typhaceae, Genus : Typha, Spesies :


(30)

Jenis tamanan yang sering digunakan untuk lahan basah buatan adalah jenis tanaman air atau tanaman yang tahan hidup diair tergenang (Submerged plants atau amphibiuos plants). Pada umumnya tanaman air tersebut berdasarkan proses biofilter dapat dibedakan menjadi 3 tipe, berdasarkan area pertumbuhannya didalam air ketiga tipe tanaman air tersebut adalah sebagai berikut :

a. Tanaman yang mencuat kepermukaan air, merupakan tanaman air yang memiliki sistem perakaran pada tanah di dasar perairan dan daun berada jauh diatas permukaan air.

b. Tanaman yang mengambang dalam air, merupakan tanaman air yang seluruh tanaman (akar, batang, daun) berada didalam air.

c. Tanaman yang mengapung di permukaan air, merupakan tanaman air yang akar dan batangnya berada dalam air, sedangkan daun diatas permukaan air

(Supradata, 2005). Tanaman cattail (Thypa Angustifolia) mempunyai akar serabut yang sangat lebat, daun yang berbentuk tirus panjang (narrow-leave), dan agak lebar sedikit (broad-leave) sehingga penyerapan terhadap bahan pencemar terhadap unsur hara yang dibutuhkan relative besar. Cattail (Thypa Angustifolia) merupakan sejenis tumbuhan semi-akuatik yang mana tidak memerlukan kuantiti air yang banyak sebagaimana tumbuhan akuatik yang sebenarnya.

Tujuan penggunaan tanaman pada constructed wetland adalah untuk menyediakan oksigen di zona akar tanaman dan untuk menambah luas permukaan bagi pertumbuhan mikroorganisme yang tumbuh di zona akar selain itu tanaman


(31)

juga dapat menyerap logam dari air limbah yang diolah (Hidayah dan Wahyu, 2010).

2.9 Sistem Lahan Basah Buatan (Constructed Wetlands )

Constructed wetland (CW) atau rawa buatan adalah konstruksi yang dirancang untuk menarik keuntungan hakiki dari perbaikan fungsi kualitas air pada lahan basah alami (dimana rawa adalah salah satu bagian dari lahan basah) untuk penggunaan dan kepentingan manusia. Konstruksi ini dirancang sedemikian rupa sehingga proses perbaikan kualitas air secara khusus meliputi pengendalian ―outflow‖ dan meminimalkan fungsi pengolahan tertentu. Tatkala CW dirancang

secara benar maka sistem ini mampu secara efektif memurnikan kembali limbah cair dengan menggunakan proses yang sama terjadi pada wetland alamiah yang terdiri atas tumbuhan, tanah dan komunitas mikrobial yang terkait, tetapi dalam lingkungan yang lebih terkontrol (Hammer, 2004).

Sejalan dengan perkembangan ilmu dan penelitian, maka definisi tersebut disempurnakan oleh Metcalf & Eddy (2003), menjadi sistem yang termasuk pengolahan alami, dimana terjadi aktivitas pengolahan sedimentasi, filtrasi, transfer gas, adsorpsi, pengolahan kimiawi dan biologis, karena aktivitas mikroorganisme dalam tanah dan aktivitas tanaman.

2.9.1 Lahan Basah Alamiah (Natural Wetland)

Sistem ini umumnya merupakan suatu sistem pengolahan limbah dalam area yang sudah ada secara alami, contohnya daerah rawa. Kehidupan biota dalam lahan basah alamiah sangat beragam. Debit air limbah yang masuk, jenis tanaman


(32)

dan jarak tumbuh pada masing-masing tanaman tidak direncanakan serta terjadi secara alamiah (Supradata, 2005).

2.9.2 Lahan Basah Buatan (Constructed Wetland)

Sistem Pengolahan yang direncanakan, seperti untuk debit limbah, beban organik, kedalaman media, jenis tanaman lainnya, sehingga kualitas air limbah yang keluar dari sistem tersebut dapat dikontrol sesuai dengan yang dikehendaki oleh pembuatnya. Secara umum sistem pengolahan limbah dengan lahan basah buatan (Constructed Wetland) ada 2 (dua) tipe, yaitu sistem aliran permukaan (Surface FlowConstructed Wetland) atau FWS (Free Water System) dan sistem aliran bawah permukaan (Sub-Surface Flow Constructed Wetland) atau sering dikenal dengan sistem SSF-Wetlands (Leady, 1997). Perbedaan sistem aliran dari kedua sistem Lahan Basah tersebut dapat dilihat secara rinci pada Gambar 4. berikut ini :

Gambar 4. Tipe Aliran Lahan Basah Buatan

Sedangkan klasifikasi lahan basah buatan (Constructed Wetlands) berdasarkan jenis tanaman yang digunakan, terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok :


(33)

1. Sistem yang menggunakan tanaman makrophyta mengambang atau sering disebut dengan lahan basah sistem tanaman air mengambang (Floating Aquatic Plant System).

2. Sistem yang menggunakan tanaman makrophyta dalam air (Submerged) dan umumnya digunakan pada sistem lahan basah buatan tipe aliran permukaan (Surface Flow Wetlands).

3. Sistem yang menggunakan tanaman makrophyta yang akarnya tenggelam atau sering disebut juga amphibiuos plants dan biasanya digunakan untuk lahan basah buatan tipe aliran bawah permukaan (Subsurface FlowWetlands) SSF-Wetlands. (Suriawiria, 1993).

Menurut Tangahu dan Warmadewanthi (2001), pengolahan air limbah dengan sistem wetland lebih dianjurkan karena beberapa alasan sebagai berikut :

a. Dapat mengolah limbah domestik, pertanian dan sebagian limbah industri termasuk logam berat.

b. Efisiensi pengolahan tinggi (80 %).

c. Biaya perencanaan, pengoperasian dan pemeliharaan murah dan tidak membutuhkan ketrampilan yang tinggi.

Proses pengolahan air limbah dengan sistem ini dipengaruhi oleh media yang sangat berpengaruh terhadap kinerja sistem wetland. Media reaktor lahan basah aliran permukaan (SF-Wetlands) dan aliran bawah permukaan (SSF-Wetland) secara umum dapat berupa tanah, pasir, batuan atau bahan-bahan lainnya. Tingkat permeabilitas dan konduktivitas hidrolis media tersebut sangat berpengaruh terhadap waktu detensi air limbah, dimana waktu detensi yang cukup


(34)

akan memberikan kesempatan kontak antara mikroorganisme dengan air limbah, serta oksigen yang dikeluarkan oleh akar tanaman (Tangahu & Warmadewanthi, 2001).

Khiatuddin, M. (2003) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kinerja

SSF – wetlands berdasarkan media yang digunakan dapat dilihat pada tabel 3 : Tabel 3. Kinerja Lahan Basah Buatan Aliran Atas Permukaan Berdasarkan Jenis Media Yang Digunakan

No Jenis Media Presentase Pengurangan Polutan BOD SS Coliform 1. Kerikil 55 – 96 51 – 98 99

2. Tanah 62 – 85 49 – 85 - 3. Pasir 96 94 100 4. Tanah Liat 92 91 -

Sumber : Khiatuddin, M. (2003)

Khiatuddin (2003), menyatakan bahwa dibawah permukaan tanah, akar tumbuhan akuatik mengeluarkan oksigen, sehingga terbentuk zona rizosfer yang kaya akan oksigen diseluruh permukaan rambut akar. Oksigen tersebut mengalir ke akar melalui batang setelah berdifusi dari atmosfir melalui pori-pori daun. Pendapat tersebut diperkuat dengan penyataan Tangahu dan Warmadewanthi (2001), yang menyatakan bahwa pelepasan oksigen disekitar akar (rizosfer) terjadi karena jenis tanaman hydrophyta mempunyai ruang antar sel atau lubang saluran udara (aerenchyma) sebagai alat transportasi oksigen dari atmosfer ke bagian perakaran.


(35)

19 3.1 Waktu dan Tempat

Tempat untuk Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah untuk analisis kadar BOD, COD dan TSS pada limbah industri tahu.

3.2 Sampel Penelitian

Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah limbah cair tahu yang dihasilkan dari industri tahu di Desa Sumur Jurang, Kecamatan Gunung pati, Kabupaten Semarang, diambil pagi hari sekitar jam 09.00 WIB.

3.3 Variabel Penelitian

3.3.1 Variabel bebas variabel yang nilainya divariasi dalam penelitian ini adalah sistem constructed wetland, berat tanaman dan waktu penanaman.

3.3.2 Variabel terikat adalah variabel yang menjadi titik pusat penelitian, dalam hal ini adalah penurunan angka limbah tahu BOD, COD dan TSS.

3.3.3 Variabel terkendali yaitu variabel yang dijaga dalam penelitian ini adalah suhu, pH, volume limbah.


(36)

3.4 Alat dan Bahan 3.4.1 Alat

Buret 50 mL, Erlenmeyer 500 mL, Pipet volume 10 mL, Gelas ukur 25 mL, Pipet tetes, Labu ukur 1000 mL, Botol Winkler yang volumenya telah diketahui dengan ketelitian ± 0,1 mL lengkap dengan tutupnya.

3.4.2 Bahan

Tanaman cattail (Thypa Angustifolia), Limbah cair industri tahu di Desa Sumur Jurang, Kecamatan Gunung pati, Kabupaten Semarang, larutan standar kalium bichromat K2Cr2O7 0,25 N (Mr = 294,216 g/mol; merek = E. Merck), Ag2SO4 (Mr = 311,79 g/mol; merek = E. Merck), pembuatan larutan perak sulfat -asam sulfat (Ag2SO4. H2SO4), Indikator feroin, larutan standar FAS (Fe (NH4)2 (SO4)2) 0,1 N (Mr = 390,00 g/mol; merek = E. Merck), larutan Na2SO3 0,1 N (Mr = 248,21 g/mol; merek = E. Merck), larutan MnSO4, Merkuri sulfat (HgSO4) bubuk atau kristal, larutan 1 mL alkil azida.

3.5 Cara Kerja 3.5.1 Perlakuan Awal

Perlakuan awal dalam penelitian ini adalah pembuatan media constructed wetland yang terdiri dari model surface wetland dan sub surface wetland

menggunakan tanaman cattail. Pengambilan tanaman cattail berdasarkan kriteria jumlah daun, batang, dan tinggi tanaman yang sama. Selanjutnya akar tanaman

cattail dibersihkan dengan air sumur cattail dilakukan secara bersamaan, dilanjutkan proses aklimatisasi tanaman. Setelah proses aklimatisasi, tanaman


(37)

dalam penelitian. Media wetland yang disiapkan berupa ember yang berisi tanah, pasir dan kerikil sebanyak 4 ember untuk proses constructed wetland. Air limbah dalam penelitian ini menggunakan air limbah industri tahu dari Desa Sumur Jurang, Kecamatan Gunung Pati, Kabupaten Semarang, waktu pengambilannya pada pagi hari sekitar pukul 09.00 WIB ketika industri tahu melakukan proses produksi. Pengambilan sampel dilakukan dari satu titik dengan volume yang sama hingga volume sampel total ditampung dalam jerigen 20 L yang dibilas terlebih dahulu dengan air limbah itu sendiri. Kemudian jerigen ditutup rapat dan dipererat dengan plastik hitam.

3.5.2 Aklimatisasi tanaman percobaan

Tanaman Cattail yang digunakan untuk penelitian ini dipilih yang satu sama lain saling berdekatan. Setelah itu tanaman cattail diseleksi, dicuci dengan air sumur sampai bersih untuk menghilangkan kotoran dalam akar tanaman

cattail. Tanaman diaklimatisasi dengan cara ditanam pada ember yang berisi tanah, pasir dan kerikil ± selama 1 minggu.

Tujuan pemeliharaan tanaman cattail pada air limbah tanaman cattail pada proses aklimatisasi untuk menstabilkan dan menyesuaikan keadaan lingkungan wetland untuk memulai proses biofilter.


(38)

3.6 Prosedur penelitian

Limbah industri tahu di alirkan secara vertikal dan horisontal kedalam masing-masing bak yang berisi media serta tanaman cattail untuk proses

constructed wetland, hitung kadar BOD, COD dan TSS limbah awal sebelum perlakuan. Langkah selanjutnya melakukan pengukuran kadar BOD, COD dan TSS sampel limbah cair tahu menggunakan sistem Subsurface wetland dan

Surface wetland dengan berat tanaman cattail 2 kg dan lama penanaman selama 10 hari untuk mencari hasil optimum. Setelah mendapatkan metode yang lebih baik antara Subsurface dan Surface wetland, dilakukan perlakuan berat tanaman

cattail 2 kg dengan variasi hari ke 5, ke 10, ke 15, dan ke 20 hari. Perlakuan selanjutnya menggunakan tanaman cattail dengan variasi berat 1 kg, 2 kg, 3 kg, dan 4 kg dengan waktu yang maksimum, dilanjutkan proses pengujian parameter BOD, COD dan TSS.


(39)

Rangkaian alat constructed wetland:

A. Sub-Surface Wetland B. Surface Wetland

(Borkar.R.P, Mahatme.P.S, 2011) Keterangan :

A. Metode Sub-Surface Wetland dimana limbah industri tahu dialirkan dengan cara horisontal melewati kerikil, pasir, tanah dan akar tanaman cattail.

B. Metode Surface Wetland dimana limbah industri tahu dialirkan secara vertikal dari atas melalui tanaman cattail, akar cattail, tanah, pasir, dan kerikil.

Limbah industri tahu cattail

Tanah pasir kerkil Tanah

pasir kerkil

Hasil limbah Limbah

industri tahu

Hasil limbah


(40)

3.7 Analisis Uji COD

Pipet 5 mL larutan sampel, kemudian dimasukkan kedalam tabung erlenmeyer 250 mL. Setelah itu dilakukan penambahan 1 gram Hg2SO4, 1 mL K2Cr2O7 0,25 N, 3 mL reagen yang berisi campuran Ag2SO4 dan H2SO4 , kemudian mulut tabung COD ditutup , dikocok sampai homogen. Selanjutnya tabung COD beserta isinya dimasukkan kedalam reactor COD, tekan tombol on pada temperatur 148 ° C, kemudian membiarkannya selama 2 jam. Setelah 2 jam sampel dipanaskan, kemudian reactor COD dimatikan dengan cara menekan tombol of, kemudian tabung COD dituangkan kedalam erlenmeyer dan tabung COD dibilas dengan aquadest. Kemudian larutan tersebut ditambahkan indikator feroin dan dilakukan titrasi dengan Ferro Ammonium Sulfat (FAS) 0,1 N. Selanjutnya dilakukan perhitungan kadar COD limbah cair industri tahu yang telah mendapat perlakuan dan blanko.( Alaerts dan Santika, 1984).

- Perhitungan COD

(Dwinanto, A. 2009) - Keterangan :

A = mL titran blangko B = mL titran sample N = Normalitas FAS Be O2= 8000 P = Pengenceran


(41)

- Perhitungan setelah perlakuan

3.8 Analisis Uji BOD

Pipet 5 mL sampel kedalam larutan Erlenmeyer tutup asah, tambahkan 1 mL MnSO4 dan 1 mL larutan alkali azida, tutup sampel dan kocok dengan membolak – balikkan botol beberapa kali, biarkan hingga terbentuk endapan setengah bagian. Tambahkan 1 mL H2SO4 pekat melalui dinding botol, kemudian tutup kembali, kocok kembali sampai endapan larut. Masukkan secara kuantitatif kedalam erlenmeyer yang berisi larutan jernih, diaduk hingga homogen. Titrasi larutan dengan natrium thiosulfat 0.1 N sampai warna kuning muda, tambahkan 1 – 2 mL indikator kanji sampai warna biru dan lanjutkan titrasi sampai warna biru hilang. Lakukan hal sama dengan blanko. ( Alaerts dan Santika, 1984).

- Perhitungan BOD sebelum perlakuan

(Dwinanto, A. 2009) BOD = DO0– DO5

- Keterangan :

DO0 = Oksigen terlarut 0 hari DO5 = Oksigen terlarut 5 hari Be O2= 8000


(42)

- Perhitungan BOD setelah perlakuan

3.9 Analisis Uji TSS

Pengujian dilakukan dengan melakukan penyaringan menggunakan peralatan vakum. Saringan dibasahi dengan sedikit aquades. Contoh uji diaduk dengan pengaduk magnetik untuk memperoleh contoh uji yang lebih homogen. Contoh uji dipipet dengan volume tertentu, pada waktu contoh diaduk dengan pengaduk magnetik. Penyaringan dilakukan menggunakan kertas saring yang dicuci dengan 3x10 mL air suling, dibiarkan kering sempurna, dan dilanjutkan penyaringan dengan vakum selama 3 menit agar diperoleh penyaringan sempurna. Kemudian contoh uji dengan padatan terlarut yang tinggi memerlukan pencucian tambahan. Kertas saring dipindahkan secara hati-hati dari peralatan penyaring dan dipindahkan ke wadah timbang aluminium sebagai penyangga. Kemudian dikeringkan dalam oven minimal selama 1 jam pada suhu 103 sampai dengan 105°C ( Alaerts dan Santika, 1984).

- Perhitungan TSS

(Dwinanto, A. 2009) Keterangan : A = berat sample setelah ditimbang

B = berat cawan tanpa sample (mg) C = berat cawan(mg)


(43)

27 4.1.1 Kualitas limbah cair tahu

Pada penelitian ini telah dilakukan penurunan limbah cair dari industri tahu di Desa Sumur Jurang, Kecamatan Gunung Pati, Kabupaten Semarang. Penelitian dilakukan di Laboratorium Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah. Kegiatan penelitian meliputi analisis kadar BOD, COD, dan TSS menggunakan tanaman cattail dengan sistem constructed wetland. Sampel yang dianalisis berasal dari sisa pengepresan. Suhu limbah pada tanggal 24 Desember 2012 saat pengambilan adalah 29,5 °C.

Sebelum diberi perlakuan dengan metode wetland limbah cair tahu dianalisis BOD, COD, TSS dan pH untuk mengetahui kualitas dari limbah tersebut. Hasil analisis limbah cair tahu dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Kualitas awal limbah tahu Desa Sumur Jurang.

Parameter Satuan Hasil Uji Baku Mutu Air

Limbah

BOD mg/L 800 150

COD mg/L 1232 275

TSS mg/L 667 100

PH - 4,5 6,0-9,0

Sumber : Data primer

Berdasarkan tabel 4 diatas, dapat diketahui bahwa limbah tahu Desa Sumur Jurang tidak layak dibuang langsung ke perairan karena nilai BOD, COD, TSS dan pH nya melebihi baku mutu air limbah. Dengan demikian limbah perlu


(44)

diberi perlakuan sebelum di buang ke perairan. Pada penelitian ini perlakuan limbah tahu dilakukan dengan sistem constructed wetland menggunakan tanaman

cattail.

4.1.2 Penurunan limbah industri dengan sistem constructed wetland

Penurunan Limbah industri dengan sistem constructed wetland pada penelitian ini menggunakan constructed wetland horizontal subsurface wetland

dan vertical surface wetland dengan menanam tanaman cattail seberat 2 Kg selama 10 hari penanaman untuk menentukan sistem constructed wetland yang terbaik dalam menurunkan kadar limbah cair industri tahu. Hasil pengukuran terhadap parameter uji (BOD, COD dan TSS) menggunakan perbandingan sistem

constructed wetland dapat dilihat pada tabel 5 dan tabel 6.

Tabel 5. Data penurunan limbah menggunakan SubSurface Wetland No Parameter Satuan Hasil

Uji

Baku Mutu Air Limbah Industri Tahu

Metode

1. BOD mg/L 640 150

SubSurface Wetland

2. COD mg/L 858 275

3. 4. TSS pH mg/L - 547 5 100 6,0-9,0

Tabel 6. Data penurunan limbah menggunakan Surface Wetland No Parameter Satuan Hasil

Uji

Baku Mutu Air Limbah Industri Tahu

Metode

1. BOD mg/L 693 150

Surface Wetland

2. COD mg/L 944 275

3. TSS mg/L 621 100

4. pH - 4,5 6,0-9,0

Berdasarkan perbandingan Tabel 5 dan 6 menunjukkan penurunan kadar BOD, COD dan TSS pada limbah industri tahu. Kedua tabel tersebut


(45)

menunjukkan sistem SubSurface wetland mampu menurunkan kadar dengan prosentase BOD 30,3%, COD 20%, dan TSS 17,9%, yang lebih baik dibandingkan dengan sistem Surface wetland yang hanya mampu menurunkan kadar dengan prosentase BOD 23,3%, COD 13,3% dan TSS 6,8%. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa sistem SubSurface wetland lebih baik dalam menurunkan kadar BOD, COD dan TSS dibandingkan dengan sistem Surface wetland.

4.1.3 Pengaruh variasi waktu penanaman terhadap penurunan BOD, COD dan TSS

Setelah diketahui sistem Sub-Surface Wetland mempunyai kemampuan menurunkan kadar BOD, COD dan TSS yang lebih baik dibandingkan dengan sistem Surface wetland. Langkah selanjutnya adalah optimasi waktu penanaman

cattail untuk mengetahui penurunan maksimum kadar BOD, COD dan TSS terhadap variasi waktu penanaman selama 5, 10, 15 dan 20 hari dengan berat tanaman cattail sebanyak 2 kg. Hasil analisis kadar BOD, COD dan TSS terhadap variasi waktu penanaman dapat dilihat pada tabel 7 berikut:

Tabel 7. Penurunan BOD, COD dan TSS dengan variasi lama

penanaman

No

Parameter Satuan Baku Mutu

Waktu Penanaman 5 hari 10

hari

15 hari 20 hari

1. BOD mg/L 150 640 623 266 177

2. COD mg/L 275 1072 837 602 277

3. TSS mg/L 100 520 481 245 146

4. pH - 6,0-9,0 5,5 6,0 6,5 6,0


(46)

Tabel 7 menunjukkan penurunan kadar BOD, COD dan TSS terendah pada hari ke 5 dengan nilai BOD 640 mg/L (14,6%), COD 1072 mg/L (12,2%) dan TSS 520 mg/L (23,4%), sedangkan penurunan optimum kadar BOD, COD dan TSS pada penelitian terjadi pada hari ke 20 dengan nilai BOD 177 mg/L (78 %), COD 277 mg/L (77,3%) dan TSS 146 mg/L (78%).

4.1.4 Pengaruh variasi berat tanaman terhadap penurunan kadar BOD, COD dan TSS

Hasil pemeriksaan BOD, COD dan TSS dari keempat reaktor bak wetland

dengan variasi berat tanaman sebesar 1, 2, 3 dan 4 kg selama 20 dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Penurunan kadar BOD, COD dan TSS dengan variasi berat cattail

No

Parameter Satuan Baku mutu

Berat cattail

1 kg 2 kg 3 kg 4 kg

1. BOD mg/L 150 400 160 106 80

2. COD mg/L 275 752 330 261 165

3. TSS mg/L 100 353 142 93 63

4. pH - 6,0-9,0 6,0 6,5 7,0 7,0

Tabel 8 menunjukkan penurunan terendah pada tanaman cattail seberat 1 kg dengan nilai BOD 400 mg/L (38,2%), COD 752 mg/L (39,4%) dan TSS 353 mg/L (45,6%), sedangkan penurunan maksimum terjadi pada berat cattail 4 kg dengan nilai BOD 80 mg/L (87,6 %), COD 165 mg/L (86,7%) dan TSS 63 mg/L (90,2%). Hasil Penurunan BOD, COD dan TSS dengan berat cattail 4 kg ternyata sudah masuk dalam baku mutu air limbah yang layak dibuang diperairan.


(47)

4.2 Pembahasan

Parameter uji penurunan kadar limbah cair pada industri tahu di Desa Sumur Jurang, Kecamatan Gunung Pati, Kabupaten Semarang meliputi BOD, COD dan TSS yang menggunakan tanaman cattail (Thypa Angustifolia) dengan sistem constructed wetland. Penentuan nilai BOD pada percobaan ini adalah dengan menggunakan metode titrasi winkler yang secara umum banyak digunakan untuk menentukan kadar oksigen terlarut. Prinsip metode winkler adalah oksigen didalam sampel akan mengoksidasi MnSO4 yang ditambahkan ke dalam larutan pada keadaan alkalis, sehingga terjadi endapan MnO2. Penambahan asam sulfat dan kalium iodida menyebabkan dibebaskannya iodin yang ekuivalen dengan oksigen terlarut. Iodin yang dibebaskan tersebut kemudian dianalisis dengan metode titrasi iodometri dengan larutan standard tiosulfat dan indikator kanji.

Berikut ini reaksi dalam metoda Titrasi Winkler yaitu

MnSO4 + 2KOH Mn(OH)2(aq) + K2SO4(aq) Mn(OH)2 + 1/2 O2 MnO2(s) + H2O(l)

(endapan)

MnO2 + 2KI + 2H2O Mn(OH)2 + I2 + KOH I2 + 2Na2S2O3 2NaI + Na2S2O6

(Salmin, 2005) Kelebihan Metode Winkler dalam menganalisis oksigen terlarut (DO) adalah lebih mudah karena hanya dilakukan cara titrasi, lebih teliti dan akurat apabila dibandingkan dengan cara alat DO meter. Hal yang perlu diperhatikan dalam titrasi iodometri ialah penentuan titik akhir titrasinya, standarisasi larutan


(48)

tio dan penambahan indikator amilumnya, sedangkan cara DO meter, harus memperhatikan suhu dan salinitas sampel yang akan diperiksa. Disamping itu, sebagaimana lazimnya alat yang digital, peranan kalibrasi alat sangat menentukan akurasinya hasil penentuan. Berdasarkan pengalaman di lapangan, penentuan oksigen terlarut dengan cara titrasi lebih dianjurkan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Alat DO meter masih dianjurkan jika sifat penentuannya hanya bersifat kisaran.

Penentuan nilai COD pada penelitian ini dengan titrasi metode refluks tertutup. Sampel diambil sebanyak 5 mL, kemudian dimasukkan ke dalam tabung, ditambah dengan 1 g H2SO4, 1 mL K2Cr2O7 0,25 N, dan 3 mL reagen yang berisi campuran Ag2SO4 dan H2SO4 kemudian mulut tabung COD ditutup rapat, dikocok sampai homogen. Selanjutnya tabung beserta isinya dimasukkan ke dalam COD reaktor, yang dioperasikan pada suhu 1500C selama 120 menit. selanjutnya larutan yang telah dingin dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambah 2 tetes indikator ferroin, dan dititrasi dengan larutan Ferro Ammonium Sulfat (FAS) 0,1 N. Analisis BOD, COD dan TSS dilakukan pada limbah industri tahu baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan dengan sistem constructed wetland (Alaerts dan Santika, 1984).

Berdasarkan hasil pengukuran BOD, COD dan TSS limbah awal pada tabel 4, maka limbah tahu Sumur Jurang belum layak dibuang langsung ke perairan karena nilai BOD, COD dan TSS nya masih melebihi ambang batas baku mutu limbah tahu, terutama nilai BOD, COD dan TSS, sehingga perlu perlakuan


(49)

terlebih dahulu sebelum dibuang ke perairan. Pada penelitian ini perlakuan limbah tahu dilakukan dengan sistem constructed wetland menggunakan tanaman cattail.

Sistem pengolah limbah Wetlands ini hanya membutuhkan bak-bak (kolam) sederhana, sehingga tidak membutuhkan biaya besar untuk membuat instalasi bangunannya. Pengolahan limbah mengandalkan kinerja tanaman dan mikrobia yang bekerja secara alamiah, sehingga tidak membutuhkan sistem pengoperasian yang rumit dan dapat menekan biaya operasionalnya. Keunggulan lain dari sistem ini adalah relatif tahan dengan debit limbah yang bervariasi, sehingga cocok digunakan untuk pengolahan air limbah home industri (Suriawiria, U. 1993).

Gambar 5. Pengepresan tahu gambar 6. Limbah awal tahu Pengolahan limbah domestik dengan sistem lahan basah buatan (Wetlands) sangat mengandalkan kemampuan bakteri dan tanaman air dalam mengolah limbah (Suriawiria, U. 1993).


(50)

4.2.1 Penurunan limbah industri tahu dengan sistem constructed wetland Penurunan limbah industri tahu dengan sistem Constructed wetland pada penelitian digunakan metode SubSurface wetland dan Surface wetland dengan menanam tanaman cattail seberat 2 kg selama 10 hari penanaman untuk menentukan sistem constructed wetland yang terbaik dalam menurunkan kadar limbah cair industri tahu. Constructed wetland pada sistem ini menggunakan aliran horisontal pada SubSurface wetland dan aliran vertikal Surface wetland. Hasil pengukuran terhadap uji BOD, COD dan TSS menggunakan perbandingan sistem constructed wetland dapat dilihat pada gambar 7 berikut,

Gambar 7. Grafik perbandingan sistem SSFW dan SFW terhadap penurunan limbah cair BOD, COD dan TSS selama 10 hari.

Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa penurunan kadar limbah cair BOD, COD dan TSS tertinggi adalah menggunakan sistem horizontal

640 693 858 944 547 621 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 K ad ar m g/L

SSFW SFW

BOD

COD


(51)

subsurface wetland dengan kandungan BOD 640 mg/L (30,3%), COD 858 mg/L (20%) dan TSS 547 mg/L (17,9%) dari kadar limbah awal dimana BOD sebesar 1232 mg/L, COD sebesar 800 mg/L dan TSS sebesar 667 mg/L. Sedangkan penurunan kadar limbah cair BOD, COD dan TSS dengan sistem vertikal Surface wetland menghasilkan kandungan kadar BOD 693 mg/L (23,3%), COD 944 mg/L (13,3%) dan 621 mg/L (6,8%).

Ditinjau dari pola aliran air limbah terlihat bahwa aliran air limbah yang masuk secara horizontal kedalam lahan basah ternyata lebih efektif menurunkan kadar pencemaran (COD, BOD dan TSS) daripada yang mengalir secara vertical

kebawah. Sistem horizontal subsurface wetland (aliran dari bawah) lebih efektif untuk proses berlangsungnya degradasi secara simultan antara kondisi aerobik dan anaerobik. Dengan demikian proses biodegradasi lebih besar daripada sistem aliran dari atas (vertical surface wetland) yang kontak awal berlangsungnya degradasi dalam kondisi aerobik, sehingga proses biodegeadasi hanya terbatas pada senyawa organik sederhana saja (Supradata, 2005).

Penggunaan reaktor vertikal pada sistem constructed wetland menghasilkan penurunan kadar BOD, COD dan TSS yang rendah karena adanya kelemahan pada reaktor tersebut. Salah satu kelemahan reaktor vertical adalah kemungkinan adanya aliran pendek yang terjadi dalam reaktor dimana air limbah yang masuk sebagai influen akan melewati jalur terpendek untuk dapat keluar dari reaktor. Hal ini menyebabkan air limbah tidak mencapai akar-akar cattail dengan optimal dan merata. Air limbah akan sulit didegradasi sempurna karena air limbah hanya mencapai permukaan tanah sehingga proses pengolahan yang terjadi akan


(52)

berlangsung kurang efektif, sedangkan pada reaktor constructed wetland aliran

horizontal, permasalahan aliran pendek tersebut dapat teratasi sehingga penurunan kadar BOD, COD dan TSS lebih efisiens.

4.2.2 Penurunan BOD, COD dan TSS terhadap variasi waktu penanaman Setelah diketahui sistem Sub-Surface wetland yang paling baik dalam menurunkan kadar BOD, COD dan TSS, langkah selanjutnya untuk mengetahui penurunan maksimum dalam penurunan kadar BOD, COD dan TSS terhadap variasi waktu penanaman selama 5, 10, 15 dan 20 hari dengan berat tanaman cattail 2 kg. Hasil pengukuran uji BOD, COD dan TSS terhadap variasi waktu penanaman dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 8. Penurunan Kadar BOD, COD dan TSS dengan variasi lama penanaman

640 623 266 177 1072 837 602 277 520 481 245 146 0 200 400 600 800 1000 1200

5 Hari 10 Hari 15 Hari 20 Hari

K ad ar m g/ L BOD COD TSS


(53)

Gambar 8 menunjukkan bahwa semakin lama waktu penanaman semakin besar penurunan kadar BOD, COD dan TSS pada limbah tahu. Setelah perlakuan kadar BOD, COD dan TSS mengalami penurunan pada hari ke 5 dengan nilai kadar BOD 640 mg/L (14,2%), COD 1072 mg/L (12,9%) dan TSS 520 mg/L (21,5%). Penurunan yang sangat maksimum terjadi pada hari ke 20 dengan nilai BOD 177 mg/L (77,8%), COD 277 mg/L (77,1%), sedangkan TSS 146 mg/L (78,4%).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecenderungan penurunan konsentrasi COD sejalan dengan penurunan konsentrasi BOD secara bertahap mengindikasikan bahwa bahan organik yang terkandung dalam air limbah sebagian besar merupakan bahan organik yang bersifat biodegradable (dapat terdegradasi secara biologis). Hal senada juga dinyatakan oleh Tebbut (1977), bahwa komposisi padatan yang terdapat dalam limbah industri tahu 70% merupakan bahan organik. Hal ini disebabkan dari hasil proses biodegradasi oleh mikroorganisme dimanfaatkan oleh tanaman untuk memenuhi kebutuhan unsur hara selama masa pertumbuhan.

Aktivitas mikroorganisme dalam reaktor mampu mendegradasi sebagian besar bahan organik dalam air limbah yang akan mempengaruhi konsentrasi BOD, COD dan TSS pada awal penelitian. Disamping itu proses pengolahan secara fisik (filtrasi dan sedimentasi) yang terjadi di dalam media reaktor cukup besar pada hari ke-20 sehingga mempengaruhi penurunan konsentrasi BOD, COD dan TSS pada effluent air limbah.


(54)

Menurut Tangahu dan Warmadewanthi (2001) mekanisme filtrasi dan sedimentasi juga terjadi dalam sistem lahan basah buatan aliran bawah permukaan (SSF-Wetlands) tersebut. Proses filtrasi dilakukan oleh media dan akar tanaman yang terdapat dalam reaktor, dimana proses tersebut terjadi karena kemampuan partikel-partikel media maupun sistem perakaran membentuk filter yang dapat menahan partikel-partikel solid yang terdapat dalam air limbah.

Hasil penelitian ini menunjukkan kadar nilai BOD, COD dan TSS terjadi penurunan walaupun masih dibawah standar baku mutu limbah industri tahu Perda Jawa Tengah 2004. Berdasarkan waktu tinggal penanaman, maka penggunaan tanaman air jenis Cattail (Typha angustifolia) memiliki efektivitas / kinerja yang tidak jauh berbeda dengan jenis tanaman yang telah umum digunakan dalam SSFWetlands.

Hasil yang sama diperoleh oleh Tjokrokusumo (2003) bahwa eceng gondok (Eichhornia crassipe) dengan berat 1 kg mampu menurunkan nilai BOD, COD dan TSS berturut-turut sebesar 64%, 67%,dan 65% selama 10 hari waktu tinggal. Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu perlakuan untuk menghasilkan penurunan yang lebik baik yaitu dengan merubah variasi berat tanaman cattail

dengan waktu penanaman maksimum untuk menghasilkan penurunan yang lebih baik.

4.2.3 Penurunan maksimum kadar BOD, COD dan TSS terhadap variasi berat tanaman

Penurunan kadar BOD, COD dan TSS terhadap variasi waktu penanaman dapat menurunkan kadar BOD, COD dan TSS , akan tetapi hasil tersebut masih belum layak untuk dibuang keperairan sehingga masih dibutuhkan


(55)

suatu perlakuan lebih lajut untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Berdasarkan hasil pemeriksaan BOD, COD dan TSS dari keempat reaktor bak wetland dengan berat tanaman sebesar 1, 2, 3 dan 4 kg selama 20 hari terjadi penurunan kadar yang maksimum dilihat pada gambar 9.

Gambar 9. Penurunan kadar BOD, COD dan TSS dengan variasi berat cattail

Gambar diatas menunjukkan pengaruh berat tanaman cattail terhadap penurunan kadar BOD, COD dan TSS dengan lama penanaman selama 20 hari sangat signifikan dari limbah awal. Hasil penurunan terendah terjadi pada berat tanaman cattail 1 kg selama penanaman 20 hari menghasilkan kadar BOD sebesar 400 mg/L (41,8%), COD 400 mg/L (41,8%), dan TSS 353 mg/L (45,6%), Sedangkan penurunan tertinggi terjadi pada berat tanaman cattail 4 kg dengan

400 160 106 80 752 330 261 165 353 142 93 63 0 100 200 300 400 500 600 700 800

1 Kg 2Kg 3Kg 4Kg

K ad ar m g/ L BOD COD TSS


(56)

nilai BOD sebesar 80 mg/L (86,7%), COD 165 mg/L (88,8%), dan TSS 63 mg/L (90,2%).

Gambar 9 menunjukkan penurunan kadar BOD, COD dan TSS pada hari ke 20 dengan berat 1 kg sudah terjadi penurunan selama proses wetland. Hal ini menunjukkan berat jumlah tanaman dan lama waktu tinggal ternyata akan meningkatkan penurunan kadar BOD, COD dan TSS yang terjadi. Semakin lama waktu kontak antara air limbah dengan biomassa maka proses degradasi parameter-parameter pencemar organik dapat berlangsung lebih lama sehingga kinerja reaktor akan semakin baik dan konsentrasi effluent yang dihasilkan juga semakin rendah.

Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Fachrurrozi (2010) memakai tanaman kayu apu dengan variasi berat tanaman dari 50 gram sampai 250 gram dengan waktu penanaman selama 7 hari dapat menurunkan kadar BOD, COD dan TSS pada limbah cair tahu di Dusun Klero Sleman Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan kadar BOD, COD dan TSS terjadi pada berat 250 gram dengan waktu tinggal optimal adalah 7 hari dapat menurunkan prosentase BOD sebesar 91,7%, COD 89,9%, dan TSS 84,6%. Hal ini menunjukkan bahwa biomassa tanaman kayu apu hanya dengan berat 50 - 250 gram mampu menurunkan kadar BOD, COD dan TSS. Perbedaan penurunan kadar BOD, COD dan TSS disebabkan karena untuk biomassa 250 gram terdapat banyak tanaman yang rusak, daun - daun yang telah rusak dan terendam air limbah akan membusuk. Pembusukan tersebut tentu akan menambah jumlah


(57)

bahan organik dalam air limbah sehingga oksigen yang terlarut menjadi berkurang dan akhirnya menambah nilai COD air limbah.

Tanaman cattail memiliki rongga batang yang banyak, akar lebat dan daun tanaman cattail sangat kuat tidak seperti tanaman air lainnya sehingga resiko jatuhnya daun yang dapat mengganggu pembusukan dapat terhindarkan. Jumlah biomassa atau berat tanaman sangat mempengaruhi proses penurunan kadar BOD, COD dan TSS. Semakin kecil berat tanaman akan semakin besar kemungkinan tanaman tersebut akan mati mengakibatkan proses penurunan kadar limbah cair akan terganggu, sehingga jumlah berat tanaman sangat diperlukan untuk menggantikan tanaman yang mati (Suriawira 2003). Hasil penelitian menunjukkan biomassa berat tanaman cattail sangat berpengaruh terhadap penurunan maksimal kadar limbah BOD, COD dan TSS. Tanaman kayu apu sama hal nya dengan tanaman jenis air lainnya, akan tetapi dari segi kemampuan untuk menurunkan kadar BOD, COD dan TSS tanaman cattail cenderung lebih baik daripada tanaman kayu apu.

Nilai BOD dipengaruhi juga oleh adanya tanaman yang menutupi permukaan air limbah. Keberadaan tanaman tersebut dapat menyerap zat organik yang terdapat dalam air limbah. Semakin banyak tanaman, maka semakin banyak bahan organik yang terserap dan bahan organik yang harus didegradasi oleh mikroorganisme semakin sedikit. Semakin sedikit bahan organik yang harus didegradasi oleh mikrobia, maka kandungan oksigen dalam air limbah semakin tinggi. Oksigen terlarut dalam air limbah juga semakin banyak karena adanya suplai oksigen dari hasil fotosintesis tanaman. Jadi semakin banyak tanaman,


(58)

maka nilai BOD semakin kecil yang berarti semakin baik kualitas air limbah tersebut.

Nilai COD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik dalam air secara kimiawi. Jika bahan organik yang belum diolah dibuang ke badan perairan, maka bakteri akan menggunakan oksigen untuk proses pembusukannya. Nilai COD biasanya lebih tinggi dari pada nilai BOD karena bahan buangan yang dapat dioksidasi melalui proses kimia lebih banyak dari pada bahan buangan yang dapat dioksidasi melalui proses biologi.

Penurunan nilai COD tersebut disebabkan karena bahan padatan telah mulai mengendap sehingga bahan buangan di air limbah juga berkurang. Selain itu, sebagian bahan buangan telah teroksidasi dan sebagian lagi juga telah terserap oleh tanaman sehingga juga mengurangi nilai COD. Penurunan ini juga dikarenakan suplai oksigen terlarut cukup banyak terutama dari hasil fotosintesis tanaman sehingga menyebabkan dekomposisi bahan organik menjadi lebih efektif.

Menurut Haberl dan Langergraber (2002), bahwa proses fotosintetis pada tanaman cattail (Thypa Angustifolia), memungkinkan adanya pelepasan oksigen pada daerah sekitar perakaran (zona rhizosphere). Kondisi zona rhizosphere yang kaya akan oksigen, menyebabkan perkembangan bakteri aerob di zona tersebut.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suriawiria (1993), bahwa kadar oksigen bebas suatu perairan dapat ditentukan oleh adanya aktivitas fotosintesis didalamnya, serta hubungan antara permukaan perairan dengan udara bebas.


(59)

Reaksi fotosintesis : 6CO2 + 6H2O C6H12O6 + 6O2

Nilai padatan tersuspensi total menunjukkan banyaknya bahan yang tersuspensi di dalam air. TSS (Total Suspended Solid) adalah berat mg/L kering lumpur yang ada dalam air limbah setelah mengalami penyaringan dengan membran berukuran 0,45 mikron. Analisa TSS atau padatan tersuspensi penting dilakukan untuk mengetahui kuantitas senyawa-senyawa organik dan anorganik yang larut dalam air, mineral, dan garam. Aplikasi dalam penurunan nilai TSS digunakan sebagai dasar pengolahan dan pengawasan air minum atau air buangan. Penurunan nilai TSS juga disebabkan karena tanaman Thypa Angustifolia

memiliki akar serabut yang dapat menjadi tempat menempelnya koloid yang melayang di air. Semakin tinggi biomassa tanaman, semakin banyak akar serabutnya, maka semakin banyak koloid yang menempel di akar-akar tersebut. Endapan dan koloid serta bahan terlarut yang berasal dari bahan buangan yang berbentuk padat akan mengendap di dasar bila tidak dapat larut dan sebagian akan menjadi koloidal bila dapat larut. Endapan yang tidak dapat larut sebelum mencapai dasar akan melayang-layang dalam air bersama koloidial. Akar tanaman

cattail yang panjang dan lebat dapat menjangkau area yang lebih dalam dan luas sehingga dapat lebih banyak menyerap nutrien seperti senyawa organik, phospat dan nitrogen dalam tanah serta mentransfer oksigen ke dalam dasar media dan memungkinkan mikroorganisme tumbuh di sekitar perakaran sehingga oksidasi zat organik berlangsung lebih baik.

Reaksi yang terjadi pada proses penguraian bahan organik baik secara aerob maupun anaerob menurut Hammer (1986) adalah sebagai berikut :


(60)

Aerob : senyawa organik + O2 CO2 + H2O + e Anaerob : senyawa organik + NO3- CO2 + N2 + e

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka peran utama mikroorganisme dalam mendegradasi bahan organik dalam sistem wetlands tersebut, akan dapat menjelaskan trend/kecenderungan penurunan bahan organik dari hasil percobaan. Adanya proses aklimatisasi tanaman pada awal percobaan, akan memberikan kesempatan pada bakteri yang terdapat rhizosphere untuk tumbuh dan beradaptasi, sehingga lag phase akan terjadi saat proses aklimatisasi tersebut.

Media yang digunakan dalam reaktor wetland berupa tanah, pasir dan kerikil yang tingkat permeabilitas dan konduktivitas hidrolis media tersebut sangat berpengaruh terhadap waktu detensi air limbah, dimana waktu detensi yang cukup akan memberikan kesempatan kontak antara mikroorganisme dengan air limbah (Kurniawan, 2005). Menurut Crites & Tchobanoglous (1998), media pasir yang digunakan pada reaktor SSF-Wetland akan dapat menurunkan kecepatan aliran air limbah yang masuk dalam reaktor. Penurunan debit air limbah ini akan memudahkan terjadinya proses sedimentasi partikel-partikel solid dalam air limbah. Proses penurunan kandungan kadar limbah BOD, COD dan TSS dalapada industri tahu dengan sistem constructed wetland menggunakan tanaman cattail (Thypa Angustifolia) dalam variasi waktu penanaman dan jumlah berat tanaman cattail mampu menurunkan kadar BOD, COD dan TSS sehingga hasil yang diperoleh layak dibuang keperairan dan sesuai baku mutu limbah industri tahu.


(61)

45

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Sistem Sub-Surface wetland mampu menurunkan kadar BOD dengan prosentase sebesar 30,3%, COD : 20% dan TSS :17,9%, dibandingkan

Surface wetland prosentase penurunan BOD hanya sebesar 23,3%, COD:13,3% dan TSS : 6,8%.

2. Waktu lama penanaman cattail pada hari ke 5 mampu menurunkan prosentase kadar BOD sebesar 14,6%, COD : 12,2% dan TSS : 23,4%, dan penurunan maksimum terjadi pada hari ke 20 dengan prosentase BOD sebesar 78%, COD : 77,3% dan TSS : 78%.

3. Berat tanaman cattail 1 kg mampu menurunkan kadar BOD sebesar 38,2%, COD :39,4% dan TSS : 45,6%, dan penurunan maksimum terjadi pada berat 4 Kg dengan prosentase BOD sebesar 86,7%, COD : 88,8 % dan TSS: 90,2%. 5.2 Saran

1. Dalam penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan tanaman air lainnya untuk proses aklimatisasi yang lebih baik sehingga diharapkan menghasilkan variasi penurunan kadar BOD, COD dan TSS.

2. Perlu dilakukan penelitian menggunakan sistem constructed wetland untuk tanaman air dengan media air sehingga diharapkan menghasilkan penurunan limbah yang lebih efisien dan akurat.


(62)

46

Anonim. 2004. Laboratorium Pengujian Limbah dan Lingkungan dan Aneka Komoditi. Badan Penelitian dan Pengembangan Industri dan Perdagangan : Semarang.

Awalina, Ami A. dan Meutia. 2005. Aplikasi Lahan Basah Buatan Tropis Jenis Aliran Permukaan Untuk Menyisihkan SS dan Konstituen Organik dalam Limbah Industri Tepung Tapioka. Jurnal Vol.4, No.12, Bogor : Puslit Limnologi-LlPI.

Bagwell, E. C. 1998. Physiological of Rhizophere Diazotroph Assemblages of Selected Salt Marsh Grasses, Applied and Environmental Microbiology

Journal of Science Education, Vol. 64, No.11, p.c4276-4282.

Borkar.R.P, Mahatme.P.S. 2011. Wastewater Treatment with Vertical Flow Constructed Wetland. International Journal of Environmental Sciences

Volume 2 No.2.

Dwinanto, A. 2009. Analisis Kadar Parameter Air Limbah Industri. Prosedur Analisis Laboratorium PERUM PERHUTANI UNIT 1, Jawa Tengah. Fachrurrozi. 2010. Pengaruh Variasi Biomassa Pistia stratiotes L. Terhadap

Penurunan Kadar BOD, COD, dan TSS Limbah Cair Tahu. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.

Haberl, R., and Langergraber, H. 2002. Constructed wetlands: a chance to solve wastewater problems in developing countries. Wat. Sci. Technol. 40:11-17.

Hammer, M. J. 1986. Water and Wasterwater Tecnology 5th ed,Prentice-Hall, Inc, Upper Sadlle River, New Jersey 07458.

Hartati. 2003. Mengelola Air Limbah Hasil Proses Pembuangan Tahu. Surabaya : ProRistand Indag.

Hidayah, E. N dan Aditia, W. 2010. Potensi Dan Pengaruh Tanaman Pada Pengolahan Air Limbah Domestik Dengan Sistem Constructed Wetland.

Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.2 No. 2: 11-18


(63)

Khiatuddin, M. 2003. Melestarikan Sumber Daya Air Dengan Teknologi Rawa Buata. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta : Ando Offest

Kurniawan. 2005. proses pengolahan air limbah dengan sistem wetland. Jakarta : Karya Anda Edisi 2.

Leady, B. 1997. Constructed Subsurface Flow Wetlands For Wastewater Treatment, Purdue University.

Masturi. 1997. Pengambilan Minyak Kedelai Pra Proses Pembuatan Tahu. Laporan Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Semarang.

Metcalf and Eddy. 1991. Wastewater Engineering : Treatment, Disposal, and Reuse. Mc Graw Hill Inc. New York.

Metcalf and Eddy. 2003. Wastewater Engineering : Treatment and Reuse, Fourth Edition, International Edition. McGraw-Hill. New York.

Partoatmojo, S. 1991. Karakteristik Limbah Cair Pabrik Tahu dan Pengolahannya dengan Ecenggondok (Eichormia Crasipes(Mart) Solums. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor.

Potter, C. Soeparwadi, M & Gani A. 1994. Limbah Cair Berbagai Industri di Indonesia. Sumber Pengendalian dan Baku mutu. Enviromental Management Development in Indonesia (EMDI).

Rizka. 2005. Studi Penurunan Kandungan COD dan BOD Air Limbah Domestik dengan Menggunakan Tanaman Kana (Canna Sp) dalam Sistem Sub-Surface Flow Constructed Wetland. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Lingkungan ITS, Surabaya.

Romli. 2009. Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Tahu. Jurnal Vo1. 10, No.2. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan.

Jurnal Oseana, Vol xxx, No 3 : 21-26.

Sasongko dan Setia, B. 1990. Beberapa Parameter Kimia Sebagai Analisi. Edisi keempat. Semarang: Reaktor

Sugiharto. 1987. Dasar-Dasar Pengolahan Air Limbah. Jakarta: Universitas Indonesia Prees.


(64)

Supradata. 2005. Pengolahan Limbah Menggunakan Tanaman Rumput Hias (Cyperus alterifolius L) dengan Sistem Aliran Bawah Permukaan. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

Sutapa D. AI. 1999. Lumpur Aktif : Alternatif Pengolah Limbah Cair, Jurnal Studi Pembangunan, Kemasyarakatan & Lingkungan, No.3; 25-38. Sutrisno, dan Suciati. 1987. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta: Rineka

Cipta Karya.

Tangahu, B. V. dan Warmadewanthi, I. D. A. A. 2001. Pengelolaan Limbah Rumah Tangga Dengan Memanfaatkan Tanaman Cattail (Typha angustifolia) dalam Sistem Constructed Wetland. jurnal Purifikasi,

Volume 2 Nomor 3, ITS – Surabaya.

Tebbut, T. H. Y. 1977. Principles of Water Quality Control. 2-nd Ed. University of Birmigham, England.

Tjokrokusumo, W. 2003. Tanaman Potensial Penyerap Studi Kasus Di Pulau Batam .J. Tek.Ling. P3TL-BPPT.4(2):8-15).


(65)

Lampiran 1

Alur Kerja 1.1 Skema Prosedur Perlakuan awal

Diambil dari sawah dengan kriteria umur, tinggi yang sama

diaklimatisasi ±selama 1 minggu

Cattail ditimbang dengan berat 1 kg, 2 kg, 3 kg dan 4kg

Dimasukkan kedalam

wetland dengan volume ±16 lt Diukur BOD, COD dan TSS masing-masing variasi lama penanaman dan berat cattail Cattail

Bak ember

Limbah industri tahu

Limbah hasil wetland Constructed wetland


(66)

1.2. Skema analasis kadar COD

Ditambah 1 mg HgSO4 + 1mL K2Cr2O7 + 3 mL reagen

Ag2SO4 dan H2SO4

Dikocok sampai homogen

Dibiarkan selama 2 jam dengan Temperatur 148°C

Dititrasi dengan FAS 0,1 N Warna larutan kuning

Ditambah indikator feroin Warna coklat kemerahan

Catat volume titrasi balnko dan sampel Sampel 5 mL

Tabung COD

Reaktor/ Hotplate

Erlenmeyer berisi sampel+1 mg HgSO4 + 1mL K2Cr2O7 + 3 mL reagen Ag2SO4 dan H2SO4

Erlenmeyer hasil titrasi


(67)

1.3. Analisis Kadar BOD

Diinkubasi selama 5 hari Dituangkan secara kuntitatif

Diaduk sampai homogen ditambah 1mL MnSO4 + 1 mL alkil iodida azida dikocok

ditambah 1mL H2SO4

dititrasi dengan Na2S2O3 0,1N warna kuning muda

ditambah indikator amilum warna biru

catat volume titrasi blanko dan sampel Sampel limbah 5 mL

Erlenmeyer berisi sampel+1mL MnSO4+1 mL alkil iodida azida+1mL H2SO4

Botol winkler

Erlenmeyer berisi sampel inkubasi

Erlenmeyer hasil titrasi


(68)

1.4. Skema Analisis TSS

diaduk dengan pengaduk magnetik dipipet dengan volume tertentu

disaring untuk penyaringan sempurna

Biarkan kering sempurna

selama 1 jam, suhu 103 sampai 105 ° C catat berat kosong dan isi

Contoh uji

Kertas saring yang dicuci 3x10 mL air suling

timbang magnetik

Oven


(69)

Lampiran 2

2.1 Pembuatan reagen

1. Pembuatan larutan standar kalium dikromat 0,25 N Perhitungan :

K2Cr2O7 2 K+ + Cr2O7

Cr2O72- + 14 H+ + 6 e 2 Cr3+ + 7H2O 1 mol K2Cr2O7 ~ 1mol Cr2O72-

~ 6 mol ~ 6 ekivalen

~ 6 berarti valensi 6 Mr K2Cr2O7 = 294,18

a. M = = = 0,0417

b. Volume yang dibutuhkan 1000 mL c. Massa K2Cr2O7 = V. M . . Mr.10-3

=

= 12,259 g

Jadi ditimbang sebanyak 12,259 g K2Cr2O7 , kemudian dilarutkan dalam aquades hingga 1000 mL.

2. Pembuatan larutan standar FAS 0,1 N a. Volume yang dibutuhksan : 250 mL b. Mr (Fe(NH2)2(SO4)2.6H2O) : 390 g/mol


(70)

c. Fe2+ Fe3+ + 1e 1mol Fe2+ ~ 1mol e

= n atau valensi

d. Massa Fe (NH2)2 = V. M . . Mr.10-3

=

=

Sebanyak 9,75 g Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O dilarutkan dalam kurang lebih 100 mL aquades, kemudian tambahkan 5 mL H2SO4 pekat, larutan didinginkan, lalu masukkan kedalam labu takar 250 mL dan ditambahkan aquades sampai tanda tera. Standarisasikan dengan K2Cr2O7 0,2499 N. 3. Pembuatan indikator fenantrolin Ferro sulfat (feroin)

Digunakan labu takar 100 mL untuk melarutkan penantrolin monohidrat sebanyak 1,485 g dan 0,695 g FeSO4.7H2O dengan sedikit aquades, kemudian encerkan 100 mL

4. Pembutan reagen asam sulfat-perak sulfat

2,53 g Ag2SO4 dilarutkan dalam 250 mL H2SO4 pekat, aduk dan biarkan selama 1-2 hari untuk melarutkan.

5. Pembuatan reagen Ag2SO4.H2SO4.

Serbuk Ag2SO4 sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam 500 mL H2SO4 pekat, diaduk, dan didiamkan selama satu sampai dua hari untuk proses pelarutannya. Campuran disimpan di dalam botol gelap tertutup.


(71)

Serbuk MnSO4.H2O sebanyak 36,4 g dilarutkan dalam akuades dan ditepatkan volumenya sampai dengan 100 mL.

7. Pembuatan larutan alkali iodida azida

Padatan NaOH atau KOH sebanyak 50 g dan 15 g KI dilarutkan dengan akuades sampai dengan volume 100 mL. Kemudian ditambahkan larutan 1 g NaN3 dalam 4 mL akuades.

8. Pembuatan larutan natrium thio-sulfat 0,1 N

Dibuat Na2S2O3. 5H2O 0,1 N dengan cara melarutkan kristal Na2S2O3. 5H2O sebanyak 12,4 g dalam labu takar dengan akuades sampai menjadi 1000 mL. Sebanyak 62,5 mL larutan Na2S2O3. 5H2O 0,1 N diencerkan menjadi 250 mL. Larutan ini distandarisasi dengan K2Cr2O7 0,25 N.

9. Pembuatan larutan standar kalium dikromat 0,025 N 10.Pembuatan larutan mangan sulfat

11.Pembuatan larutan indikator kanji

Serbuk amilum sebanyak 2 g amilum dan 0,2 gram asam salisilat sebagai pengawet dilarutkan dalam 100 mL air yang telah dididihkan.


(1)

BOD = DO0– DO

=1920– 1824 = 96 mg/L

2. Vol titrasi : DO0 = 1,19/ DO5 = 1,11

=1904 mg/L

= 1776 mg/L BOD = DO0– DO

= 1904–1776 = 128 mg/L

3. Vol titrasi : DO0= 1,19/ DO5 = 1,13

= 1904 mg/L

=1808 mg/L BOD = DO0– DO

= 1904–1808 = 96 mg/L

= 106 mg/L

= 83,6% TSS

B = 17,4081 mg A = 12,7409 mg C = 50mL


(2)

= 93 mg/L

= 85,6% 3.2.11. 20 hari 4 kg Vol sampel : 5 mL

Vol blanko : 2 ,69 mL (A) 1. Vol titrasi : 2,59 mL(B)

= 160 mg/L 2. Vol titrasi : 2,59mL(B)

= 160 mg/L 3. Vol titrasi : 2,58 mL(B)

= 176 mg/L


(3)

= 86,7% BOD

1. Vol titrasi : DO0 = 1,14/ DO5 = 1,09

= 1824 mg/L

=1744 mg/L

BOD = DO0– DO

= 1824 – 1744 = 80 mg/L

2. Vol titrasi : DO0 = 1,13/ DO5 = 1,07

= 1808 mg/L

= 1712 mg/L BOD = DO0– DO

= 1808 – 1712 = 96 mg/L

3. Vol titrasi : DO0= 1,14/ DO5 = 1,10

= 1824 mg/L

=1760 mg/L BOD = DO0– DO

= 1824– 1760 = 64 mg/L


(4)

= 80 mg/L

= 87,6% TSS

B = 15,5713 mg A = 12,4124 mg C = 50 mL

= 63 mg/L

= 90,2%


(5)

3.1 dokumentasi penelitian

Gambar 10. Pembersihan akar gambar 11. Aklimatisasi

Gambar 12. Penimbangan


(6)

Gambar 14. Wetland beserta media Gambar 15. SSFW dan SFW

Gambar17. Pengambilan sampel wetland Gambar 18. Limbah awal

Gambar 19. hasil SSFW dan SFW

Gambar 21. Hasil variasi berat 1 kg, 2 kg, 3 kg dan 4 kg

10 HARI 5 HARI

15HARI