Perubahan Mutu Ubi Jalar (Ipomea Batatas L.) Segar Pada Sistem Penyimpanan Skala Pedesaan

PERUBAHAN MUTU UBI JALAR (Ipomea batatas L.) SEGAR
PADA SISTEM PENYIMPANAN SKALA PEDESAAN

MAFTUH KAFIYA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perubahan Mutu Ubi Jalar
(Ipomea batatas L.) Segar pada Sistem Penyimpanan Skala Pedesaan adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016
Maftuh Kafiya
NIM F152130131

RINGKASAN
MAFTUH KAFIYA. Perubahan Mutu Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) Segar pada
Sistem Penyimpanan Skala Pedesaan. Dibimbing oleh SUTRISNO dan RIZAL
SJARIEF SJAIFUL NAZLI.
Ubi jalar segar merupakan salah satu bahan pangan pengganti makanan
pokok yang berfungsi sebagai produk pangan alternatif dan fungsional yang banyak
ditanam di pedesaan. Sebagian besar kebutuhan pangan di perkotaan dipenuhi oleh
bahan pangan yang ada di pedesaan. Oleh karena itu perlu penanganan pascapanen
yang tepat di pedesaan khususnya pada penyimpanan sehingga kualitas ubi jalar
masih dalam keadaan baik mengingat produk pangan selalu mengalami perubahan
mutu setelah panen.
Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji beberapa metode
penyimpanan pada sistem skala pedesaan, sedangkan tujuan khusus dari penelitian
ini, yaitu 1) melakukan identifikasi dan analisis perubahan mutu ubi jalar segar
berdasarkan fisiologis, kimiawi dan mikrobiologis pada beberapa sistem
penyimpanan skala pedesaan, 2) menentukan umur simpan ubi jalar pada sistem

penyimpanan skala pedesaan yang terbaik.
Ubi jalar varietas Manohara dengan umur panen 5 bulan setelah tanam
dibersihkan dan dilakukan curing selama 4 hari pada suhu ruang, kemudian
disimpan pada beberapa sistem penyimpanan skala pedesaan yaitu di dalam tanah
dengan alas tumpukan pasir-jerami (P1), di dalam tanah dengan alas tumpukan
plastik-jerami (P2), di dalam kotak kayu dengan taburan serbuk gergaji (P3) dan di
ruang gudang dengan alas terpal (P4). Penyimpanan dilakukan selama 28 hari pada
musim kemarau dan diamati suhu dan RH ruang penyimpanan serta beberapa
parameter mutu baik secara kuantitatif yaitu susut bobot maupun kualitatif
berdasarkan fisiologis, kimiawi, dan mikrobiologis setiap 7 hari sekali. Selanjutnya
dilakukan pendugaan umur simpan terhadap salah satu parameter penentu
terjadinya kerusakan pada ubi jalar yaitu kadar air dengan melakukan pendekatan
semi empiris yaitu kinetika orde satu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama penyimpanan ubi jalar
mengalami peningkatan susut bobot dengan nilai pada akhir penyimpanan masingmasing P1, P2, P3 dan P4 sebesar 13.41, 6.96, 18.94 dan 24.74%. Perubahan mutu
fisiologis juga terjadi selama penyimpanan yang ditandai dengan munculnya tunas
dan penurunan nilai kekerasan ubi jalar selama penyimpanan. Munculnya tunas
pertama kali terjadi pada P4 yaitu hari ke-7 penyimpanan kemudian meningkat
hingga hari ke-28 dan diikuti dengan munculnya tunas pada P1 dan P3, sedangkan
P2 tidak muncul tunas hingga akhir penyimpanan. Nilai kekerasan pada awal

penyimpanan adalah 81.05 N menurun hingga akhir penyimpanan dengan nilai
kekerasan terendah pada P4 yang signifikan berbeda nyata terhadap P1, P2 dan P3.
Sedangkan mutu secara kimiawi ditandai dengan perubahan kandungan nutrisi
seperti kadar air, kadar pati dan kadar β-karoten dengan kadar masing-masing pada
awal penyimpanan adalah 65.71%, 58.96% dan 0.167 mg/100g. Kadar air dan pati
menurun pada semua perlakuan hingga akhir penyimpanan dengan kadar terendah
pada perlakuan P4 yang masing-masing sebesar 58.96 dan 11.35%. β-karoten
sangat rentan terhadap suhu tinggi dan udara sehingga mengakibatkan degradasi
selama penyimpanan. Pada akhir penyimpanan, ubi jalar pada P4 kontak langsung

dengan udara sehingga kandungan β-karoten menurun menjadi 0.145 mg/100g.
Sedangkan pada P1, P2 dan P3 mengalami kenaikan karena ubi jalar tertutup oleh
bahan tumpukan seperti jerami dan serbuk gergaji dengan kadar masing-masing
perlakuan sebesar 0.234, 0.221 dan 0.221 mg/100g. Penyakit yang ditemukan pada
penelitian ini adalah busuk Fusarium pada P4 dan penyakit java black rot pada P2.
Berdasarkan parameter mutu di atas maka perlakuan terbaik adalah P1 yaitu
penyimpanan di dalam tanah dengan alas tumpukan pasir-jerami yang memiliki
suhu dan RH penyimpanan sebesar 28.72 oC dan 78.55%. dengan pendugaan umur
simpan pada sistem penyimpanan ini mencapai 14 hari. Metode penyimpanan ini
mampu menekan suhu lebih rendah dari lingkungan luar dan memberikan RH yang

kondusif untuk penyimpanan ubi jalar. Hal ini disebabkan oleh keberadaan jerami
sebagai bahan organik yang mampu mengurangi jumlah radiasi matahari yang
diserap oleh tanah dan adanya pasir yang mampu menjaga kelembaban udara.
Kata kunci: Ubi jalar, penyimpanan skala pedesaan, umur simpan

SUMMARY
MAFTUH KAFIYA. Quality Changes of Fresh Sweet Potato (Ipomea batatas L.)
in rural storage. Supervised by SUTRISNO and RIZAL SJARIEF SJAIFUL
NAZLI.
Fresh sweet potato is one of the staples that can be used as main carbohydrate
sources, as well as a functional product that many cultivated in rural area. The
majority of food that consumed in urban area is cultivated in rural area, including
sweet potato. Consequently, the applicable handling in rural area for sweet potato
is important to counter some quality changes that naturally happen to any food
produce during storage.
The general purpose of this research was to study several storage methods
suitable for rural area, while the specific purposes were 1) to identify and analyze
quality changes of sweet potato in relation to physiological, chemical, and
microbiological aspects in rural storage, 2) to conclude the shelf life of fresh sweet
potato of the best rural storage.

Manohara sweet potato, which needs five months of growth before ready to
be harvested, was rinsed and cured for four days at room temperature, and then
stored in several storage settings, i.e. underground storage with sand-straw (P1),
underground storage with plastic-straw (P2), inside a wooden box with sprinkling
of sawdust (P3), and inside a warehouse with a tarpoulin mat (P4). The storage
procedures stayed for 28 days in dry season, in the meantime some data, such as
temperature, relative humidity, quantitiy parameter (weight loss) as well as some
quality parameters (based on physiological, chemical, and microbiological
aspects), were collected every seven days. After that, the shelf life was estimated
using one distinct parameter that indicated the decreasing quality of sweet potatoes
(i.e. moisture content) by conducting semi-empirical approach, namely first order
kinetics.
According to the result, there were increases in sweet potatoes' shrinkage
during storage for each P1, P2, P3, and P4: 13.41, 6.96, 18.94 and 24.74%
respectively. There were also physiological quality changes in the form of sprouting
and declining of sweet potato hardness during storage life. The sprout first emerged
on the seventh day of treatment P4, and also on the 28th day of both P1 and P3,
meanwhile there was no sprouting in treatment P2 until the end of observation. The
hardness of sweet potatoes in the begining of the research was 81.05 N, had been
declining throughout the storage period with the least number was found in P4

which also statistically significant compared with the rest of treatments. Chemical
quality changes were resulting in changes of nutritional content, i.e. moisture
content, starch content, and β-carotene content, that were measured in the begining
of the research respectively 65.71%, 58.96%, and 0.167 mg/100 g. Moisture content
and starch content were both decreasing in all treatments until the end of
observation, with the lowest percentage were found in P4, i.e. 58.96% and 11.35%.
β-carotene is susceptible to high temperature and air which causing degradation
during storage. In the end of storage periode, sweet potatoes in P4 had been directly
in contact with air, resulting in the decrease of β-carotene content to 0.145 mg/100
g. In contrast, there were increases in those stored in P1, P2, and P3 because sweet

potatoes were covered in materials such as straw and sawdust. Beta-carotene
content of each treatments were 0.234 mg/100 g (P1), 0.221 mg/100 g (P2) dan
0.221 mg/100 g (P3). Postharvest diseases that had been identified during this
research were Fusarium rot in P4 and java black rot in P2.
Based on mentioned parameters, the best method for storing sweet potato is
treatment P1, i.e. underground storage with sand-straw, having the best
temperature (28.72 oC) and relative humidity (78.55%). By using P1, shelf life
estimation of sweet potato could reach up to 14 days. This method could supress
temperature to be lower than its surrounding and as a result, providing conducive

relative humidity for sweet potato storage. This could happen because straw as an
organic substance could reduce sun radiation level that absorbed by the soil, while
at the same time the sand could hold its humidity.
Keywords: sweet potato, rural storage, shelf life

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERUBAHAN MUTU UBI JALAR (Ipomea batatas L.) SEGAR
PADA SISTEM PENYIMPANAN SKALA PEDESAAN

MAFTUH KAFIYA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Emy Darmawati, MSi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 ini adalah
Perubahan Mutu Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) Segar pada Sistem Penyimpanan
Skala Pedesaan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr dan

Bapak Prof Dr Ir Rizal Sjarief Sjaiful Nazli, DESS selaku pembimbing yang telah
banyak memberi saran, arahan dan motivasi kepada penulis dari awal hingga
selesainya penulisan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Ibu Dr Ir Emy Darmawati selaku dosen penguji yang telah ikut serta
memberikan banyak masukan sehingga karya ilmiah ini dapat disempurnakan
dengan baik. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, kakak,
adik serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih pula
penulis haturkan untuk teman-teman TPP 2013 yang telah banyak membantu
selama proses perkuliahan, penelitian hingga penulisan karya ilmiah ini sehingga
dapat selesai pada waktunya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa
memberikan hikmah dan rahmatNya kepada kita semua.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan membawa keselamatan di dunia dan
akhirat.

Bogor, Agustus 2016
Maftuh Kafiya

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan

Alat
Prosedur Penelitian
Prosedur Analisis Data
Rancangan Percobaan

1
1
2
2
2
8
8
8
9
9
12
14

HASIL DAN PEMBAHASAN

15

2
3

4

Kondisi Lingkungan Ruang Penyimpanan
Susut Bobot
Perubahan Mutu Fisiologis
Perubahan Mutu Kimiawi
Perubahan Mutu Mikrobiologi
Penentuan Umur Simpan
5

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

15
18
20
22
25
28
29
29
30

DAFTAR PUSTAKA

31

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

40

DAFTAR TABEL
1
2
3

Komposisi utama pada ubi jalar
Spesifikasi persyaratan khusus ubi jalar
Kadar β-karoten selama penyimpanan

4
7
25

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Diagram alir penelitian
Penyimpanan di dalam tanah dengan alas tumpukan pasir-jerami (P1)
Penyimpanan di dalam tanah dengan alas tumpukan plastik-jerami (P2)
Penyimpanan di dalam kotak kayu dengan taburan serbuk gergaji (P3)
Penyimpanan di dalam gudang dengan alas terpal (P4)
Grafik suhu selama penyimpanan
Grafik suhu pada hari ke-15 penyimpanan
Grafik kelembaban relatif selama penyimpanan
Grafik kelembaban relatif pada hari ke-15 penyimpanan
Persentase susut bobot selama penyimpanan
Persentase pertunasan selama penyimpanan
Grafik kekerasan ubi jalar selama penyimpanan
Grafik kadar air ubi jalar selama penyimpanan
Grafik kadar pati ubi jalar selama penyimpanan
(a) Tanda penyakit busuk Fusarium pada P4; (b) Fusarium solani pada
ubi jalar (sumber: Saremi dan Okhovvat 2013)
(a) Tanda penyakit java black rot pada P2; (b) Penyakit Java black rot
pada ubi jalar (Nelson 2008)
Toksik pada ubi jalar : (1) Ipomeamarone ; (2) dehydroipomamarone; (3)
4-ipomeanol; (4) 1,4-ipomeadiol (sumber: Wamalwa 2015)
Grafik prediksi penurunan kadar air selama penyimpanan
Kadar air ubi jalar hasil prediksi dan observasi

10
11
11
11
11
16
16
17
18
19
21
21
23
24
26
26
27
28
29

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Uji sidik ragam suhu udara selama penyimpanan
Uji sidik ragam kelembaban udara selama penyimpanan
Uji Duncan suhu dan kelembaban udara pada pagi, siang dan malam
Uji Duncan suhu dan kelembaban udara selama penyimpanan
Uji sidik ragam mutu ubi jalar selama penyimpanan
Uji Duncan mutu ubi jalar selama penyimpanan

32
32
32
32
32
32

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Umbi-umbian merupakan salah satu komoditi lokal yang mempunyai
peranan penting karena kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi mampu
menggantikan perananan beras yang selama ini menjadi sumber karbohidrat utama
bagi masyarakat Indonesia. Ubi jalar memiliki kandungan kalori sekitar 123 kal/100
gram yang dapat memberikan rasa kenyang dalam jumlah relatif sedikit. Disamping
itu ubi jalar mengandung β-karoten dan antosianin yang dapat berfungsi sebagai
antioksidan bagi tubuh, sehingga dapat digolongkan sebagai bahan pangan
alternatif dan fungsional.
Kejadian kelaparan pada tahun 2013 di daerah Papua Barat menunjukkan
rentannya ketersediaan bahan pangan pokok di daerah tersebut. Kejadian ini
terulang kembali pada tahun 2015, di kabupaten Nduga, Papua yang disebabkan
oleh adanya hujan es yang menyelimuti sebagian lahan pertanian masyarakat di
sana, sehingga tanaman ubi jalar yang menjadi makanan pokok mereka, tidak bisa
dipanen karena telah membusuk dan mati. Pemanenan ubi jalar di daerah tersebut
biasanya dilakukan sedikit demi sedikit sesuai dengan kebutuhan petani. Namun
ketika terjadi cuaca ekstrim, maka seharusnya petani memanennya secara serentak
untuk menghindari kerusakan. Ketika dipanen serentak inilah perlu adanya
penyimpanan yang baik sehingga cadangan makanan tetap tersedia walau terjadi
cuaca ekstrim seperti kemarau panjang atau banjir terus menerus. Hal inilah yang
menjadi peran utama penyimpanan yaitu menjamin pasokan bahan pangan untuk
masa depan dan mengatur persediaan bahan pangan dalam menghadapi paceklik.
Kebutuhan pangan di perkotaaan sebagian besar dipenuhi oleh bahan
pangan yang ada di pedesaan, termasuk salah satunya adalah ubi jalar yang banyak
ditanam di pedesaan. Pasokan kebutuhan bahan pangan di perkotaan ditentukan
oleh ketersediaan bahan pangan di pedesaan sehingga kerusakan dan kehilangan
pascapanen yang menjadi salah satu isu utama ketersediaan bahan pangan perlu
ditangani. Kehilangan merupakan segala bentuk perubahan dalam ketersediaan dan
mutu bahan pangan, yang mengakibatkan bahan pangan tersebut tidak layak
dikonsumsi. Menurut Malekuu (2014), kerusakan pada ubi jalar dapat mencapai 440% setelah tiga bulan pertama penyimpanan. Persentase yang cukup besar
mengingat ubi jalar merupakan salah satu bahan pangan pokok di beberapa daerah
di Indonesia. Limbongan dan Soplanit (2007) menjelaskan bahwa pemenuhan ubi
jalar yang berkualitas, tepat jumlah, tepat waktu dan berkesinambungan perlu
dilakukan dalam rangka penyediaan bahan pangan dan pakan ternak. Upaya
tersebut memerlukan sentuhan inovasi teknologi yang sesuai dengan kondisi
setempat, yaitu secara teknis dapat diterapkan, secara sosial budaya dapat diterima,
dan secara ekonomis menguntungkan. Oleh karena itu dibutuhkan teknologi
pascapanen terutama penyimpanan dengan sistem skala pedesaan yang baik dan
tepat.
Penyimpanan dengan sistem skala pedesaan merupakan metode yang masih
banyak dilakukan dibeberapa daerah di negara berkembang yang mengutamakan
kesederhanaan teknologi dan kemurahan biaya. Metode penyimpanan ini biasanya
menggunakan beberapa media yang mudah didapatkan di pedesaan seperti serbuk

2
gergaji, pasir, jerami dan lain-lain untuk menciptakan kondisi lingkungan
penyimpanan yang optimal (Muntandwa dan Gadzirayi 2007; Zuari 2013).
Penyimpanan ubi jalar di dalam tanah dengan jerami dan pasir serta di dalam kotak
kayu dengan taburan serbuk gergaji, ketiganya mampu menahan kerusakan ubi jalar
minimal 1 bulan penyimpanan (Muntandwa dan Gadzirayi 2007; Dandago dan
Gungula 2011). Namun penelitian tersebut dilakukan di negara Nigeria yang
memiliki standar mutu yang berbeda dengan Indonesia. Zuari (2013) melakukanan
penelitian di Indonesia dengan perlakuan penyimpanan penimbunan di dalam tanah
yang juga dapat memperpanjang umur simpan minimal 1 bulan dengan waktu
penyimpanan pada musim hujan.
Suhu, kelembaban udara, pergerakan udara, dan tekanan udara adalah
komponen lingkungan yang berpengaruh terhadap kondisi lingkungan
penyimpanan ubi jalar (Narullita et al. 2013). Pada akhirnya kondisi lingkungan
ruang penyimpanan mempengaruhi mutu baik secara fisiologis, kimiawi maupun
mikrobiologis bahan pangan sehingga akan berdampak pada daya simpan ubi jalar.
Oleh karena itu, metode penyimpanan dengan media penyimpanan yang telah
dilakukan pada skala pedesaan perlu dilakukan identifikasi dan analisis perubahan
mutu pada ubi jalar selama penyimpanan pada beberapa media penyimpanan yang
sesuai dengan mutu yang diterima oleh masyarakat Indonesia.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji beberapa metode
penyimpanan pada sistem skala pedesaan, sedangkan tujuan khusus dari penelitian
ini, yaitu: (1) melakukan identifikasi dan analisis perubahan mutu ubi jalar segar
berdasarkan fisiologis, kimiawi dan mikrobiologis pada beberapa sistem
penyimpanan skala pedesaan; (2) menentukan umur simpan ubi jalar segar pada
sistem penyimpanan skala pedesaan yang terbaik.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan alternatif metode penyimpanan
yang baik bagi ubi jalar pada skala pedesaan. Diharapkan umur simpan dari ubi
jalar dapat lebih lama dengan kualitas fisik dan kandungan nutrisi yang masih baik
dan masih dapat diterima oleh masyarakat Indonesia.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Ubi Jalar
Ubi jalar (Ipomea batatas L.) adalah tanaman tropis dan sub tropis yang
tumbuh subur pada kondisi optimal antara 20-25 oC, tanaman ini dapat tumbuh pada
ketinggian 2500 m (Muntandwa dan Gadzirayi 2007). Tanaman ini dibudidayakan
sebagai komoditas pertanian bersumber karbohidrat setelah gandum, beras, jagung
dan singkong. Alasan utama banyak dibudidayakan adalah karena tanaman ini

3
relatif mudah tumbuh, tahan hama dan penyakit serta memiliki produktivitas yang
cukup tinggi (ILO 2013).
Menurut BSN (1998), ubi jalar merupakan umbi dari tanaman ubi jalar
(Ipomea batatas L.) yang dalam keadaan utuh, segar, bersih dan aman untuk
dikonsumsi serta bebas dari organisme pengganggu tanaman. Umbi tanaman ubi
jalar merupakan bagian yang dimanfaatkan untuk bahan makanan yang
mempunyai mata tunas yang dapat tumbuh menjadi tanaman baru. Ukuran, bentuk,
warna kulit dan warna daging bermacam-macam tergantung varietasnya.
Ukurannya ada yang besar dan ada yang kecil sementara bentuknya ada yang bulat,
bulat lonjong dan bulat panjang. Kulitnya ada yang berwarna putih, kuning, ungu
dan jingga. Sedangkan daging umbi juga memiliki berbagai warna yaitu warna
putih, kuning, jingga dan ungu muda (Juanda dan Cahyono 2004). Berikut
klasifikasi ubi jalar dalam taksonomi (Juanda dan Cahyono 2004)
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Convolvulales
Famili
: Convolvulaceae
Genus
: Ipomea
Spesies
: Ipomea batatas L
Akar dan umbi-umbian merupakan makanan yang pada dasarnya
memberikan energi pada tubuh manusia dalam bentuk karbohidrat (Dandago dan
Gungula 2011). Menurut Kueper (2010) ubi jalar sering disebut sebagai “super food”
yang merupakan makanan sempurna yang mengandung serat, vitamin A, vitamin
C, vitamin B6, potasium dan mangan serta rendah kalori. Rasa manis alami yang
terdapat pada ubi jalar, tidak menyebabkan naiknya kadar glukosa atau kadar gula
darah namun mampu menstabilkan gula darah sehingga tidak menyebabkan
diabetes (ILO 2013).
Minat ubi jalar di Amerika semakin meningkat karena banyak inovasi
makanan yang tercipta seperti keripik dan french fries. Selain itu ubi jalar banyak
diminati oleh petani karena ubi jalar merupakan tanaman tangguh yang dapat hidup
pada iklim yang tidak menentu dan toleran terhadap panas dan kekeringan (Kueper
2010). Di Indonesia sendiri, ubi jalar masih terbatas sebagai bahan pangan
tambahan untuk industri. Kecuali di kawasan Indonesia Timur khususnya Papua
dan Papua Barat yaitu di wilayah pegunungan tengah atau dataran tinggi Papua, ubi
jalar dijadikan bahan pangan alternatif untuk mengganti beras dan jagung. Bagi
petani di dataran tinggi Papua, komoditas ubi jalar bukan saja sebagai makanan
pokok penduduk setempat, namun sebagai sumber karbohidrat bagi ternak
peliharaan mereka yaitu babi (Soplanit 2013).
Kandungan nutrisi ubi jalar adalah karbohidrat (pati dan serat pangan)
vitamin dan mineral (kalium dan fosfor). Disamping itu mengandung senyawa βkaroten dan antosianin yang dapat berfungsi sebagai antioksidan. Sehinga ubi jalar
memiliki potensi yang baik sebagai tanaman yang dapat menunjang diversifikasi
pangan (Anggraeni dan Yuwono 2014). Komposisi lengkap dari ubi jalar yang
ditampilkan pada Tabel 1.
Ubi jalar mengandung senyawa β-karoten dan antosianin yang dapat
berfungsi sebagai komponen fungsional. β-karoten memiliki tingkat aktivitas
vitamin A tertinggi dibanding karotenoid lainnya. Kandungan β-karoten yang baik

4
Tabel 1 Komposisi utama pada ubi jalar
Kadar/100 g bahan
Ubi Putih
Ubi Ungu
Ubi Kuning
1 Kalori (kal)
123
123
136
2 Protein (g)
1.8
1.8
1.1
3 Lemak (g)
0.7
0.7
0.4
4 Karbohidrat (g)
27.9
27.9
32.3
5 Kalsium (mg)
30
30
57
6 Fosfor (mg)
49
49
52
7 Besi (mg)
0.7
0.7
0.7
8 Natrium (mg)
5
9 Kalium (mg)
393
10 Niasin (mg)
0.6
11 Vitamin A (mg)
60
7700
900
12 Vitamin B1 (mg)
0.9
0.9
900
13 Vitamin B2 (mg)
0.4
14 Vitamin C (mg)
22
22
35
15 Air
68.5
68.5
16 Bagian daging
86
86
Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI 1981
Keterangan: - belum tersedia data

No

Unsur Gizi

pada ubi jalar adalah 2.500 g/100 g umbi. Promosi ubi jalar sebagai makanan sehat
perlu diintensifkan dalam rangka meningkatkan konsumsi ubi jalar, seiring dengan
meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan (Jusuf et al. 2007).
Penanganan Pascapanen Ubi Jalar
Pemanenan ubi jalar dilakukan bila umbinya sudah tua atau matang fisiologis.
Ubi jalar yang berumur pendek dapat dipanen pada umur 3-3.5 bulan, sedangkan
varietas umur panjang dapat dipanen pada usia 4.5-5 bulan (ILO 2013). Terdapat
dua sistem pemanenan yang biasa dilakukan oleh petani yaitu sistem pemanenan
bertahap dan pemanenan serentak. Sistem pemanenan bertahap yaitu memanen
umbi berukuran besar dan meninggalkan umbi berukuran kecil untuk tumbuh
selama beberapa bulan sampai akar rambat tumbuh. Sistem penyimpanan ini
mengakibatkan umbi yang tersisa di lahan rentan terhadap serangan infestasi
serangga, khususnya selama musim kemarau. Sedangkan sistem pemanenan
serentak memungkinkan ubi jalar terhindar dari serangan serangga karena
pemanenannya dilakukan dalam satu waktu untuk semua ukuran umbi (Data et al.
1989).
Ubi jalar adalah produk yang mudah rusak, sehingga menjaga kualitas yang
baik dan dapat diterima oleh konsumen adalah masalah utama di daerah tropis (Data
et al 1989). Berbagai kajian menyebutkan bahwa kehilangan pada saat pascapanen
yang disebabkan selama penyimpanan sebesar 4-40% dari hasil pertanian dengan
rincian penyebab adalah 31% cacat, 23% hama, 4% susut bobot, 21% pertumbuhan
tunas dan 40% busuk. Produsen juga menyebutkan bahwa tindakan pecegahan
untuk meminimalisisr kehilangan adalah dengan penanganan yang baik saat

5
pemanenan hingga distribusi (Malekuu et al. 2014). Anggapan tingginya biaya
yang dibutuhkan untuk penanganan pascapanen menyebabkan para petani tidak
menanganinya dengan baik. Sehingga perlu diidentifikasi penanganan yang
menggunakan biaya terendah supaya permasalahan kehilangan pascapanen dapat
teratasi (Muntandwa dan Gadzirayi 2007).
Kegiatan pascapanen yang perlu dilakukan sebelum penyimpanan meliputi
pembersihan, sortasi dan grading. Pembersihan adalah membersihkan umbi dari
kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi dari bermacam patogen yang
dapat merusak umbi selama penyimpanan. Pada saat pembersihan, pencucian tidak
disarankan untuk dilakukan karena pencucian secara signifikan memberikan
dampak susut bobot cukup tinggi dan terjadi pengerutan pada kulit ubi jalar. Hal ini
disebabkan lapisan eksodermis pada kulit umbi menipis sehingga proses transpirasi
lebih mudah terjadi (Data et al. 1989).
Sortasi adalah pemisahan umbi yang baik dengan umbi yang cacat. Pada
kegiatan sortasi ini juga dilakukan kegiatan grading yaitu pengelompokan yang
dilakukan berdasarkan ukuran dan tingkat kerusakannya. Fungsi sortasi dan
grading adalah mendapatkan umbi yang seragam sesuai dengan kualitasnya
sehingga akan mempermudah penentuan harga di pasaran (Juanda dan Cahyono
2004).
Keseragaman sangat penting pada saat melakukan grading pada ubi jalar.
Menurut BSN (1998), terdapat tiga parameter keseragaman yaitu warna, bentuk
umbi dan berat umbi. Keseragaman warna yang dilihat adalah pada kulit dan warna
daging umbi sesuai dengan varietasnya. Keseragaman bentuk umbi adalah
keseragaman rasio panjang (P)/ lebar (L) dari ubi jalar, seperti bulat (P/L berkisar
1-1.5), elip (P/L berkisar 1.6-2.0) dan panjang (P/L > 2.0) sesuai dengan varietasnya.
Sedangkan keseragaman berat umbi sesuai dengan tiga macam penggolongan berat
yaitu golongan A ( berat > 200 g), golongan B (berat 100-200 g) dan golongan C
(berat < 100 g).
Komoditas umbi yang mengalami kerusakan kulit akibat perlakuan mekanis
harus segera ditangani karena kerusakan ini dapat memacu kehilangan air dan
meningkatkan pembusukan oleh mikroorganisme (Utama 2006). Pada kentang,
kehilangan berat saat dikupas adalah 3-4 kali lebih banyak bila dibanding kentang
yang tidak dikupas (Winarno 2002). Pencegahannya adalah dengan melakukan
kegiatan curing. Perlakuan curing dilakukan sebelum komoditas dipasarkan atau
disimpan dengan tujuan agar permukaan kulit yang terluka atau tergores dapat
tertutup kembali. Biasanya dilakukan dengan cara membiarkan bahan untuk
beberapa hari pada suhu ruang. Pada ubi jalar dilakukan curing pada suhu 32.8 oC
dengan humiditas relatif berkisar 95-97% (Samad 2006).
Penyimpanan
Menurut Ofor et al. (2010), penyimpanan memiliki beberapa fungsi yaitu
untuk memastikan ketersediaan produksi dan menstabilkan harga, memungkinkan
petani dalam menjual produk pada waktu yang tepat dan mengurangi kerugian
kuantitatif dan kualitatif sehingga bibit yang tersedia dapat digunakan untuk musim
tanam berikutnya. Sistem penyimpanan tidak dikenal oleh petani di Papua, selama
ini mereka menggunakan lahan budidaya untuk “lumbung” ubi jalar sehingga
sebagian hasil panen tidak dapat digunakan secara optimal untuk bahan pangan

6
karena rusak dan berakar (ILO 2013). Selama ini belum ada metode penyimpanan
yang bersifat universal untuk menangani kehilangan pascapanen (Muntandwa dan
Gadzirayi 2007).
Ubi jalar sangat peka terhadap suhu rendah dengan gejala kerusakan yaitu
daging umbi yang berwarna sangat pucat, berongga dan busuk yang sering disebut
dengan chilling injury. Gejala kerusakan ini muncul jika disimpan pada suhu di
bawah 13 oC, sehingga penyimpanan pada suhu rendah tidak sesuai untuk ubi jalar
(Samad 2006).
Penyimpanan yang dilakukan pada suhu ruang yaitu 30 oC dengan RH 5070% tidak lebih baik dari penyimpanan pada suhu 25 oC dengan RH 85-90%. Hal
ini dibuktikan oleh Narullita et al. (2013) yang menyimpan ubi jalar di dalam
plastik yang berongga selama 2 bulan pada kedua suhu penyimpanan tersebut.
Beberapa parameter yang diukur yaitu susut bobot, kadar air, persentase
pertumbuhan tunas dan panjang tunas pada ubi jalar menunjukkan hasil yang baik
pada penyimpanan suhu 25 oC dengan RH 85-90%.
Metode penyimpanan yang murah dan tradisional yang paling umum adalah
meninggalkan umbi di dalam tanah di bawah naungan pohon kemudian diambil jika
umbi diperlukan. Terdapat beberapa kekurangan pada metode penyimpanan ini di
antaranya adalah berkurangnya penggunaan lahan lebih lanjut, rentan terhadap
serangan seranga dan tikus, serta sulit dilakukan pengontrolan secara rutin terhadap
umbi yang berada di dalam tanah (Umogboi 2013; ILO 2013). Metode
penyimpanan ini dilakukan untuk menghemat tenaga kerja dan transportasi selama
pemanenan. Metode ini efektif selama musim kemarau, setelah musim hujan
dimulai, lingkungan terus menerus lembab sehingga meningkatkan pembusukan
pada ubi (Ofor et al. 2010)
Penyimpanan dalam tanah merupakan metode lokal yang banyak dilakukan
oleh petani di Afrika. Penyimpanan dalam tanah dengan membuat lubang di dalam
tanah yang sering disebut dengan underground pit, mampu menahan infestasi
serangan kumbang selama 2-3 bulan. Lubang yang dibuat dilapisi dengan lapisan
daun kering di bawah dan ditutup pula dengan rumput kering di atasnya setebal 5
cm. Pada sela-sela ubi jalar yang diletakkan di dalam lubang terdapat serbuk gergaji.
Praktek ini umumnya dilakukan di Afrika bagian utara (Tewe et al. 2003).
Menurut Muntandwa dan Gadzirayi (2007), penyimpanan di dalam tanah
memberikan dampak yang baik terhadap ubi jalar yaitu tidak ada perubahan warna
dan persentase susut bobot paling rendah di antara penyimpanan dengan abu dan
rumput kering selama 5 bulan penyimpanan. Teknik penyimpanan di dalam tanah
yang dilakukan adalah dengan menggali lubang pada kemiringan tertentu, hal ini
dilakukan untuk menghindari akumulasi kelembaban yang dapat menyebakan
busuk dan pertumbuhan akar dan tunas pada umbi.
Selama ini pada penyimpanan dalam tanah dapat dilakukan dengan berbagai
variasi alas tumpukan. Menurut Zuari (2013) perlakuan penimbunan di dalam tanah
dapat memperpanjang umur simpan minimal 1 bulan. Penyimpanan dalam tanah
dengan alas tumpukan pasir dan jerami menghasilkan tingkat kerusakan terkecil
yaitu dengan laju penurunan 0.012% per hari. Sedangkan penyimpanan dalam tanah
dengan alas tumpukan plastik dan jerami menghasilkan perubahan susut bobot
terkecil dengan laju penurunan 0.31% per hari.

7
Perubahan Mutu selama Penyimpanan
Penyimpangan mutu bahan pangan secara konvensional dapat
dikelompokkan ke dalam penyusutan kualitatif dan penyusutan kuantitatif.
Keduanya sama penting dalam penanganan pascapanen, terutama jika dinilai secara
ekonomi. Penyusutan kualitatif adalah kerusakan yang terjadi akibat perubahan
biologi (mikroba, tungau, serangga, respirasi), perubahan fisik (tekanan, getaran,
suhu, kelembaban), serta perubahan kimia dan biokimia (reaksi pencokelatan,
ketengikan dan aspek keamanan terhadap kesehatan manusia). Sedangkan
penyusutan kuantitatif adalah kehilangan jumlah atau bobot hasil pertanian yang
dikarenakan oleh penanganan pascapanen yang tidak memadai dan adanya
gangguan biologi seperti proses respirasi, serangan serangga dan tikus (Syarief dan
Halid 1993).
Mutu yang dapat diterima oleh BSN (1998) secara umum adalah tidak
berbau asing, bebas hama dan penyakit, bebas bahan kimia, memiliki keseragaman
warna, bentuk dan ukuran umbi, mencapai masak fisiologis optimal dan ubi jalar
dalam kondisi bersih. Sedangkan persyaratan khusus ubi jalar ditampilkan pada
Tabel 2.
Tabel 2 Spesifikasi persyaratan khusus ubi jalar
No
1
2
3
4
5

Komponen Mutu
Berat umbi (g/umbi)
Umbi cacat (per 50 biji) maks
Kadar air (% bb min)
Kadar serat (%bb maks)
Kadar pati (%bb min)

I
>200
Tidak ada
60
2
30

Mutu
II
100-200
3 biji
60
2.5
25

III
75-100
5 biji
60
>3.0
25

Tanaman setelah dipanen masih mengalami kegiatan respirasi dan
transpirasi. Kecepatan respirasi berbanding lurus dengan kenaikan susut bobot.
(Onggo 2006). Aktivitas respirasi adalah memecah karbohidrat yang diproduksi
selama proses fotosintesis dengan ketersediaan oksigen menjadi karbondioksida,
air dan energi. Proses ini tidak memerlukan air dan terjadi siang dan malam (Utama
2006). Menurut Winarno (2002), laju respirasi dikendalikan oleh suhu lingkungan
suatu produk. Pada setiap kenaikan suhu 10 oC, laju respirasi meningkat dua atau
tiga kali lipat, hal ini mengikuti hukum Van’t Hoff. Hukum tersebut menyatakan
bahwa laju dari seluruh reaksi kimia dan biokimia meningkat dua atau tiga kali
dengan setiap peningkatan suhu 10oC. Respirasi menghasilkan CO2 yang
menyebabkan terjadinya peningkatan suhu dan uap air. Sehingga proses
kemunduran mutu seperti kehilangan air, pelayuan, dan pertumbuhan
mikroorganisme akan semakin meningkat (Narullita et al. 2013).
Kehilangan air atau transpirasi selama penyimpanan berpengaruh terhadap
penampakan yang diakibatkan oleh pelayuan atau pengeriputan sehingga produk
menjadi kurang menarik, dengan tekstur yang jelek dan mutu menurun (Narullita
et al. 2013). Kecepatan transpirasi selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan juga
dipengaruhi oleh struktur dan komposisi bahan yang disimpan (Onggo 2006).
Selama penyimpanan, karbohidrat di dalam ubi berpotensi mengalami
perubahan. Karbohidrat akan dirombak menjadi molekul yang lebih kecil (gula)

8
untuk mendapatkan energi yang diperlukan dalam proses respirasi. Makin lama
waktu penyimpanan maka rasa ubi makin manis, namun penyimpanan yang lama
akan menyebabkan ubi keriput karena proses transpirasi (Onggo 2006).
Pendugaan Umur Simpan
Penentuan umur simpan produk dapat dilakukan dengan pendekatan semi
empiris dengan bantuan persamaan matematika yaitu teori kinetika yang pada
umumnya menggunakan orde nol atau orde satu untuk produk pangan. Hasil
percobaan penentuan umur simpan diharapkan dapat memberikan informasi
tentang umur simpan pada kondisi ideal. Suhu normal untuk penyimpanan yaitu
suhu yang tidak menyebabkan kerusakan atau penurunan mutu produk. Suhu
ekstrim atau tidak normal akan mempercepat terjadinya penurunan mutu produk
dan sering diidentifikasi sebagai suhu pengujian umur simpan produk (Hariyadi
2004).
Perubahan mutu ubi jalar merupakan akibat dari adanya perubahan reaksi
yang terjadi di dalam ubi jalar selama penyimpanan. Sebagian besar perubahan
reaksi yang terjadi di dalam bahan makanan dapat dikaji menggunakan pendekatan
kinetika. Pendekatan kinetika mempelajari gerakan atau perubahan suatu sistem
kimia sebagai fungsi waktu. Menurut Karel dan Lund (2003), bahan pangan
tergolong bahan yang tidak homogen artinya bahwa terdapat gradien konsentrasi di
dalam seluruh jaringan bahan. Karena tidak homogen atau heterogen maka perlu
dilakukan studi laju reaksi di dalam bahan pangan. Laju reaksi pada sebagian bahan
makanan tergolong dalam reaksi orde satu persamaan Arrhenius seperti ditunjukkan
pada Persamaan (1), dimana dC merupakan perubahan konsentrasi dan dt adalah
waktu, sedangkan k adalah konstanta laju reaksi. Simbol operasi negatif (-) di depan
gradien merupakan tanda bahwa konsentrasi [C] menurun selama proses
berlangsung.
[ ]
= −k × [C]
(1)

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada musim kemarau yaitu bulan Agustus-Desember
2015 dengan ruang penyimpanan di Laboratorium Lapangan Siswadi Soepardjo,
dan pengujian mutu di tiga laboratorium yaitu Laboratorium Teknik Pengolahan
Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem
IPB, Laboratorium Biokimia Departemen Ilmu Teknologi Pangan IPB dan
Laboratorium Analisis dan Kalibrasi Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor.
Bahan
Bahan utama yang digunakan sebagai objek penelitian ini adalah ubi jalar
putih varietas Manohara dengan umur panen 5 bulan setelah tanam yang didapatkan
dari Desa Pasanggrahan Kecamatan Maja Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.

9
Kriteria ubi yang digunakan adalah 200-300 gram/buah, sehat tanpa cacat atau
berpenyakit. Sedangkan bahan sebagai alas tumpukan adalah pasir, jerami, serbuk
gergaji dan plastik. Pasir yang digunakan adalah pasir cimangkok dengan ukuran
partikel 2 mm sedangkan jerami yang digunakan adalah jerami utuh yang diperoleh
dari sawah. Bahan kimia yang digunakan adalah fenol 5%, H2SO4 pekat, etanol p.a
(pro analitik), glukosa standar untuk pembuatan larutan standar glukosa, KOH 50%,
asam asetat glasial, dan THF serta β-karoten standar.
Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain: Rheometer model
CR-3000 yang digunakan pada pengukuran kekerasan; timbangan analitik, oven
dan cawan digunakan pada pengujian kadar air; Spektrofotometer UV-Vis Genesys
20, autoclaf, magnetic stirer, pompa vakum, vortex dan mikropipet yang digunakan
pada pengujian kadar pati. Pengukuran susut bobot menggunakan timbangan
digital; penangas air, millipore filter, dan HPLC digunakan pada pengujian kadar
β-karoten. Sedangkan pengukuran suhu dan RH lingkungan selama penyimpanan
menggunakan environmentalmeter KW06-281.
Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan dalam 3 tahapan yaitu persiapan bahan, persiapan ruang
penyimpanan dan pengamatan selama 28 hari penyimpanan. Tahapan penelitian
ditampilkan pada diagram alir proses penelitian yaitu Gambar 1.
Persiapan bahan
Persiapan bahan pada ubi jalar dilakukan dengan proses pembersihan,
sortasi dan curing. Ubi jalar yang telah dipanan kemudian dibersihkan dari kotoran
dan dilakukan sortasi atau penyeleksian ubi yang baik dan sehat serta yang sesuai
dengan ukuran yang dibutuhkan untuk penelitian yaitu 200-300 g. Syarat umum ubi
yang akan digunakan adalah tidak boleh mempunyai bau asing, bebas dari hama
dan penyakit, tidak cacat dan busuk. Selanjutnya dilakukan curing yaitu dibiarkan
selama 4 hari pada suhu ruang dengan tujuan agar permukaan kulit yang terluka
atau tergores dapat tertutup kembali (Samad 2006).
Persiapan media alas tumpukan juga dilakukan yaitu pada pasir dan jerami
yang dijemur terlebih dahulu selama 3 hari dengan masing-masing kadar air sebesar
4.7% dan 7%, sedangkan serbuk gergaji yang digunakan berkadar air 13.14%.
Pengukuran Mutu Awal
Pengukuran mutu awal berupa bobot, kadar air, kadar pati, kekerasan, kadar
β-karoten dilakukan sebelum bahan disimpan. Selain itu dilakukan pula pengecekan
terhadap bahan dan dipastikan bahan tidak bertunas dan berpenyakit.
Persiapan ruang penyimpanan
Ruang penyimpanan yang digunakan ada 4 yaitu lubang di dalam tanah
dengan alas tumpukan pasir-jerami (Gambar 2), lubang di dalam tanah dengan alas
tumpukan plastik-jerami (Gambar 3), kotak kayu dengan taburan serbuk gergaji

10
(Gambar 4) dan gudang dengan alas terpal (Gambar 5). Ukuran lubang di dalam
tanah adalah 50x70x70 cm, sedangkan kotak kayu dengan dimensi dalam yaitu
50x50x50 cm. Pasir yang digunakan sebagai media alas pada P1 sebanyak 10 kg,
sedangkan tanah yang digunakan untuk menutupi lubang pada penyimpanan di
dalam tanah setebal 5 cm untuk masing-masing lubang penyimpanan. Pada P1 dan
P2 diberi pipa sebagai tempat masuk alat pengukur suhu dan kelembaban udara
selama penyimpanan.

Ubi jalar

Sortasi

Curing
Pengukuran mutu
awal
Penyimpanan

Di dalam tanah dengan
alas pasir-jerami (P1)

Di dalam tanah dengan
alas plastik-jerami (P2)

Di dalam kotak kayu
dengan taburan
serbuk gergaji (P3)

Pengukuran mutu:

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Susut bobot
Persentase pertunasan
Kekerasan
Kadar Air
Kadar Pati
Kadar β-karoten
Identifikasi Penyakit

Pendugaan Umur Simpan
Gambar 1 Diagram alir penelitian

Di dalam ruangan
dengan alas terpal
(P4)

11

Gambar 2 Penyimpanan di dalam tanah dengan alas tumpukan pasir-jerami (P1)

Gambar 3 Penyimpanan di dalam tanah dengan alas tumpukan plastik-jerami (P2)

Gambar 4 Penyimpanan di dalam kotak kayu dengan taburan serbuk gergaji (P3)

Gambar 5 Penyimpanan di dalam gudang dengan alas terpal (P4)
Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan berupa kondisi lingkungan ruang penyimpanan
(suhu dan kelembaban) dan perubahan mutu baik secara fisiologis, kimiawi dan
mikrobiologis. Suhu dan kelembaban udara ruang penyimpanan diamati secara
berkala yaitu dua kali dalam seminggu pada pagi, siang dan malam hari. Perubahan
mutu secara fisiologis dan kimiawi diukur setiap minggu, sedangkan mikrobiologis

12
yaitu pengamatan penyakit yang menyerang ubi jalar diamati pada akhir
penyimpanan. Sebelum ubi jalar disimpan, dilakukan pengukuran mutu awal dari
ubi jalar pada beberapa parameter yaitu bobot, kekerasan, kadar air, kadar pati dan
β-karoten. Selanjutnya ubi jalar yang sudah selesai pada proses curing kemudian
ditempatkan di dalam ruang penyimpanan yang telah siap. Tiap ruang penyimpanan
diisi dengan ubi jalar sejumlah 20 buah.

Prosedur Analisis Data
Susut Bobot (AOAC 1995)
Perhitungan susut bobot ditentukan dengan menggunakan persamaan
gravimetri yang berdasarkan persentase penurunan bobot sejak awal sampai akhir
penyimpanan dan menggunakan Persamaan (2)
W−W
×
%
(2)
% susut bobot =
W
Dimana:
W
: bobot bahan awal penyimpanan (g)
Wa
: bobot bahan akhir penyimpanan (g) hari ke-n

Persentase Pertunasan
Pengukuran pertunasan adalah dengan mengamati tiap pekan jumlah akar
dan tunas yang tumbuh. Menurut Data et al. (1989), sprout adalah ketika lebih dari
10% ubi jalar memiliki bakal tunas dengan panjang 2 cm. Persentase pertumbuhan
akar dan tunas dihitung dengan Persamaan (4).
y
% pertunasan =
×
%
(3)
y

Kekerasan
Kekerasan umbi ubi jalar diukur dengan alat Rheometer yang diatur pada
mode 20 dengan beban maksimum 10 kg. Kedalaman penusukan pada ubi jalar
adalh 10 mm dengan kecepatan penurunan jarum 60 mm/menit, dan menggunakan
jarum dengan diameter 5 mm. Ubi jalar diletakkan tegak lurus dengan jarum
penusuk dan ditusukkan pada permukaan ubi jalar yang rata (Pertiwi 2009).

Kadar Air
Pengujian kadar air dilakukan degan metode gravimetri (AOAC 2005) yaitu
5 gram sampel dikeringkan di dalam oven pada suhu 105oC sampai beratnya
konstan. Perhitungan kadar air basah (KA wb) menggunakan Persamaan (3).

%Ka wb =
×
%
(4)

Kadar Pati (Dubois et al. 1956)
Pembuatan Larutan Standar Glukosa
Larutan glukosa murni (0.5 ml) yang masing-masing mengandung 0.0, 10.0,
20.0, 30.0, 40.0, 50.0, 60.0, 70.0 dan 80.0 µg larutan glukosa, ditempatkan ke dalam
tabung reaksi. Masing-masing tabung reaksi tersebut kemudian ditambahkan 0.5 ml
fenol 5% dan kemudian diaduk dengan vortex. Sebanyak 2.5 ml larutan H2SO4
pekat ditambahkan secara cepat ke dalam tabung reaksi. Larutan kemudian

13
didiamkan selama 10 menit, kemudian diaduk lagi dengan vortex. Sampel disimpan
pada suhu ruang selama 20 menit sebelum diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 490 nm. Persamaan dari kurva
standar larutan glukosa dibuat sebagai hubungan antara konsentrasi larutan glukosa
(pada sumbu x) dan absorbansinya (pada sumbu y).
Persiapan Sampel
Kadar total pati sampel ubi jalar dianalisis dengan metode fenol sulfat
dimana perhitungan kadar pati didapatkan dari analisis total glukosa terlebih dahulu.
Sebanyak 1 gram ubi jalar kering yang telah ditumbuk halus dilarutkan ke dalam
100 ml etanol 95% dan dihomogenkan dengan magnetic stirer, yang kemudian
suspensi pati disaring terlebih dahulu. Residu pati yang telah didapatkan, didiamkan
semalam di dalam desikator dan kemudian ditimbang sehingga diketahui beratnya
untuk menghitung pati pada sampel sebelum mengalami pencucian dengan etanol.
Sebanyak 40 mg pati kering yang telah dihaluskan, ditambahkan dengan 20 ml
aquades dan dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 105 oC selama 1 jam. Larutan
yang telah diautoklaf kemudian diencerkan 40 kali. Analisis sampel sebanyak 0.5
ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 0.5 ml fenol 5% dan 2.5
ml larutan H2SO4 pekat. Larutan sampel didiamkan 10 menit di dalam suhu ruang,
diaduk dengan vortex dan didiamkan kembali selama 20 menit. Nilai absorbansi
yang diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 490 nm
dimasukkan ke dalam persamaan linear pada kurva standar yang telah diperoleh.
Perhitungan kadar pati basis basah dapat menggunakan Persamaan (5).

%pati =

T

G

%

× .9 ×

−K

(5)

Kadar β-karoten
Persiapan Larutan Standar β-karoten
Ditimbang standar induk β-karoten 0.001 g dan kemudian dilanjutkan cara
kerja sama seperti persiapan sampel. Kemudian dibuat deret standar dengan
memipet larutan sebanyak 0.01, 0.02, 005, 0.1, 0.5 ml dan dilarutkan ke dalam labu
takar 10 ml. Ditera dengan 1:1 THF: etanol. Larutan diinjek ke dalam HPLC dengan
kondisi yang sama. Diplotkan hubungan antara luas area peak (sumbu y) yang
terbaca dengan konsentrasi larutan (sumbu x) yang diinjeksikan (ppm). Kemudian
didapatkan persamaan linear dari kurva tersebut, kurva yang baik memiliki
linieritas (R2) di atas 0.990.
Persiapan Sampel
Sampel ubi jalar sebanyak 1.25 g dilarutkan dengan 10 ml etanol dan 2.5 ml
KOH 50%. Kemudian di refluks di penangas air pada suhu 80 oC selama 2 jam dan
didinginkan pada suhu ruang. Larutan ditambahkan dengan 2.5 ml asam asetat
glasial 100% dan didinginkan pada suhu ruang. Sampel ditera dengan 1:1
THF:etanol ke dalam labu takar 25 ml. Kemudian disaring dengan milipore 0.45
µm dan diinjek ke HPLC pada panjang gelombang 450 nm. Sebelumnya kondisi
HPLC diatur dengan kolom C18, laju alir 08 ml/menit dengan fase gerak
metanol:etil asetat: acetonitril kolom. Dicatat area dari peak yang waktu

14
resistensinya sama dengan standar β-karoten. Kemudian area peak dimasukkan ke
dalam persamaan dari kurva standar yang telah didapatkan sebelumnya dan
didapatkan konsentrasi (ppm). Perhitungan kadar β-karoten dalam basis basah
dapat menggunakan Persamaan (6).
Kadar βkaroten =

×

× Faktor pengenceran

(6)

Identifikasi Penyakit
Identifikasi penyakit pada bahan pangan dapat dilakukan dengan metode
diagnosis penyakit. Sinaga (2013) menyatakan bahwa, diagnosis penyakit
merupakan proses mengidentifikasi penyakit melalui gejala dan tanda-tanda
penyakit yang khas, termasuk faktor-faktor lain yang berhubungan dengan proses
pembentukan penyakit tersebut. Pengamatan dilakukan pada akhir penyimpanan
yaitu hari ke-28 dengan melihat secara visual perubahan fisik yang terjadi pada ubi
jalar yang kemudian diidentifikasi dengan literatur yang telah ada.
Pendugaan Umur Simpan
Semakin lama proses penyimpanan maka konsentrasi kandungan di dalam
bahan mengalami perubahan. Gradien garis (-k) pada Persamaan 1 yang merupakan
nilai konstanta laju perubahan konsentrasi di dapat dengan membuat grafik
hubungan ln Ct/Co terhadap waktu penyimpanan pada Persamaan 8, sedangkan
untuk memprediksi nilai konsentrasi kandungan sesaat [Ct] dalam bahan selama
penyimpanan digunakan Persamaan 9.
�[�]
= ∫� −� �
(7)

ln

[�]
[�� ]

[�� ]

[�� ] =

= −� �
− ∙�

(8)

× [�� ]

(9)

Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 3 kali ulangan. Faktor yang digunakan yaitu ruangan penyimpanan
dengan 4 taraf perlakuan yaitu penyimpanan di dalam tanah dengan alas tumpukan
pasir-jerami (P1), di dalam tanah dengan alas tumpukan plastik-jerami (P2), di
dalam kotak kayu dengan taburan serbuk gergaji (P3) dan di ruang dengan alas
plastik terpal. Model linear dari rancangan acak lengkap dapat dilihat pada
Persamaan (10).
Yij = µ + αi + εij

(10)

i = 1,2,3,4 ; j = 1,2,3
Dimana
Yij
: parameter pengamatan pada perlakuan taraf ke-i dari ruangan
penyimpanan dan ulangan ke-j

15
µ
αi
εij

: rataan umum
: pengaruh taraf ke-i dari ruangan penyimpanan
: pengaruh acak (galat) pada perlakuan taraf ke-i dari suhu
penyimpanan dan ulangan ke-j

Data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis sidik ragam pada tingkat
kepercayaan 95%. Jika terdapat pengaruh perlakuan, maka akan dilakukan uji lanjut
Duncan Multiple Range Test (DMRT).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Lingkungan Ruang Penyimpanan
Kondisi lingkungan ruang penyimpanan merupakan faktor penting yang perlu
diperhatikan karena menempatkan bahan pangan pada ruang penyimpanan yang
tidak tepat dapat memberikan peluang terjadinya kerusakan. Berbagai kondisi
lingkungan selama penyimpanan produk pertanian sangat berpengaruh terhadap
mutu produk atau fisiologi pascapanennya (Winarno 2002). Narullita (2013)
menyatakan bahwa suhu dan kelembaban udara adalah faktor lingkungan yang
paling penting pada ruang penyimpanan karena dapat berpengaruh terhadap laju
kehilangan air pada produk pangan. Perbedaan musim pada suatu daerah
mempengaruhi hasil panen dari suatu produk. Penelitian ini dilakukan pada musim
kemarau dengan waktu penyinaran matahari lebih lama daripada musim hujan
sehingga suhu udara cenderung relatif tinggi dan kelembaban udaranya relatif lebih
rendah daripada musim hujan.
Suhu Ruang Penyimpanan
Suhu selama penyimpanan yang ditampilkan pada Gambar 6 cenderung tidak
berbeda pada tiap hari pengamatan. Rata-rata suhu pada ruang penyimpanan adalah
28.72 oC (P1), 28.85 oC (P2), 29.54 oC (P3) dan 29.61 oC (P4), dimana suhu di
dalam tanah terbukti lebih rendah dari pada suhu di dalam gudang. Pengaruh
keberadaan jerami sebagai bahan organik mampu mengurangi jumlah radiasi
matahari yang diserap oleh tanah. Menurut Budhyastoro et al. (2006), bahan
organik mampu mengurangi fluktuasi suhu tanah. Penggunaan mulsa d