Karakteristik Habitat Bokkoi di Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat

KARAKTERISTIK HABITAT BOKKOI DI AREAL IUPHHKHA PT SALAKI SUMMA SEJAHTERA KABUPATEN
KEPULAUAN MENTAWAI SUMATERA BARAT

ROMI PRASETYO

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Habitat
Bokkoi di Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera Kabupaten Kepulauan
Mentawai Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor
Bogor, Mei 2014
Romi Prasetyo
NIM E34090015

ABSTRAK
ROMI PRASETYO. Karakteristik Habitat Bokkoi di Areal IUPHHK-HA PT Salaki
Summa Sejahtera Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. Dibimbing
oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan LILIK BUDI PRSETYO.
Bokkoi (Macaca pagensis) merupakan salah satu jenis primata dari genus
Macaca yang tergolong endemik di Kepulauan Mentawai. Salah satu habitat jenis
ini adalah areal konsesi IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik habitat bokkoi. Peubah yang diamati
terdiri atas komponen fisik yang meliputi ketinggian tempat diatas permukaan laut,
kelerengan, jarak perjumpaan bokkoi dari jalan utama dan jalan sarad, dan jarak
dari sungai, serta komponen biotik meliputi LAI dan FCD. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa komponen penyusun habitat bokkoi yang mempengaruhi
keberadaan dan jumlah individu bokkoi adalah kelerengan (fisik) dan kerapatan
vegetasi pada tingkat tiang dan pohon (biotik). Aktivitas lokomosi dilakukan di
tanah dengan kelerengan datar, sedangkan lokomosi yang dilakukan di pohon,

bokkoi membutuhkan tajuk yang bersambungan. Lokasi yang memiliki tingkat
kerapatan tiang dan pohon yang cukup tinggi, gangguan yang rendah serta
kelerengan yang agak curam, dimanfaatkan bokkoi untuk aktivitas istirahat.
Aktivitas makan sangat bergantung pada keberadaan vegetasi sumber pakan baik
pada tingkat tiang ataupun pohon. Aktivitas sosial yang dilakukan bokkoi
membutuhkan kerapatan tiang yang tinggi, kerapatan pohon yang rendah serta
kelerengan yang tergolong landai hingga curam.
Kata kunci: bokkoi, habitat, karakteristik, Mentawai

ABSTRACT
ROMI PRASETYO. Characteristics of Habitat Bokkoi at IUPHHK-HA PT Salaki
Summa Sejahtera, Kabupaten Kepulauan Mentawai of West Sumatra. Supervised
by AGUS PRIYONO KARTONO and LILIK BUDI PRSETYO.
Bokkoi, (Macaca pagensis) is one of primate of the genus Macaca which
belongs to the endemic to the Mentawai Islands. One of its habitat is the concession
area of IUPHHK-HA PT Salaki Sejahtera Summa. This research aims to identify
characteristic of habitats bokkoi. The observed variables were composed of
physical components that includes height above sea level, slope, distance position
finds bokkoi from main streets and skid roads, distance from river. Meanwhile the
components biotic variables were LmAI and FCD. The result showed that the

components of habitat bokkoi that influenced the existence and the number of
individual bokkoi were slope (physical) and density of the vegetation at the level of
the pole and trees (biotic). Locomotion activity conducted on the land was occurred
on flat slope, while the locomotion on trees required continuous canopy. In case of
rest activity, bokkoi prefer to use a location that has a pole and tree with high density,
low disturbance as well as steep slope. Feeding activities will depend heavily on
the existence of a good feed of vegetation on the level of a pole or a tree. Social
activities conducted bokkoi requires a high pole density, density, low trees and
slope which belongs to the steep ramps.
Keywords: bokkoi, characteristics, habitat, Mentawai

KARAKTERISTIK HABITAT BOKKOI DI AREAL IUPHHKHA PT SALAKI SUMMA SEJAHTERA KABUPATEN
KEPULAUAN MENTAWAI SUMATERA BARAT

ROMI PRASETYO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Karakteristik Habitat Bokkoi di Areal IUPHHK-HA PT Salaki
Summa Sejahtera Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat
Nama
: Romi Prasetyo
NIM
: E34090015

Disetujui oleh

Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi
Pembimbing I


Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh,

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala Rahmat dan Berkah-Nya
penyusunan Skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini berjudul “Karakteristik
Habitat Bokkoi di Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera Kabupaten
Kepulauan Mentawai Sumatera Barat”. Pengumpulan data lapangan dilakukan
pada Juli hingga September 2013.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi dan
Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc selaku Pembimbing atas arahan, bimbingan, dan
saran kepada penulis selama menyelesaikan Skripsi ini. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada pihak Management PT Salaki Summa Sejahtera, Pak Agus FN,

Pak Bestalman, Pak Marsikin, Bang Adi serta teman – teman divisi lingkungan yang
telah membantu selama pengambilan data di lapangan. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada Bapak dan Ibu, Asti Dwi Rahmawati, Afroh Manshur S.Hut,
Utomo Pranoto, Gde Krishna W, Fami Ridho Perdana, Wisma Ruwet serta keluarga
besar Anggrek Hitam 46 atas doa, bantuan serta dukungannya selama ini.
Semoga Skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2014
Romi Prasetyo

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN


vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan

1

Manfaat

1

METODE


2

Waktu dan Lokasi Penelitian

2

Metode Pengumpulan Data

2

Pengolahan dan Analisis Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

9

Kondisi Umum Lokasi Penelitian


9

Perilaku Bokkoi

9

Karakteristik Habitat

11

Implikasi Pengelolaan

21

SIMPULAN DAN SARAN

22

Simpulan


22

Saran

22

DAFTAR PUSTAKA

22

LAMPIRAN

25

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.

6.
7.
8.
9.
10.

Jenis data yang dikumpulkan
Perjumpaan bokkoi pada masing - masing lokasi
Nilai kerapatan vegetasi pada masing - masing lokasi
Daftar jenis pakan bokkoi
Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas ketinggian
Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas kelerengan
Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas jarak dari sungai
Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas jarak dari jalan
Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas LAI
Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas FCD

3
9
11
12
14
14
16
17
19
20

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

Peta lokasi penelitian
Disain petak analisis vegetasi
Diagram alir pembuatan peta ketinggian tempat diatas permukaan laut
dan kelerengan
Diagram alir pembuatan peta jarak dari sungai
Diagram alir pembuatan peta jarak dari jalan
Diagram alir pembuatan peta LAI
Diagram alir pembuatan peta FCD
Peta perjumpaan bokkoi di setiap lokasi penelitian
Peta ketinggian tempat di atas permukaan laut di kawasan PT SSS
Peta kelerengan di kawasan PT SSS
Peta jarak perjumpaan bokkoi dari sungai
Peta jarak perjumpaan bokkoi dari jalan
Aktivitas sosial bokkoi
Peta LAI (Leaf Area Index) PT SSS
Peta FCD (Forest Canopy Density) PT SSS
Peta lokasi pengelolaan bokkoi di PT SSS

2
4
5
6
6
7
8
10
13
15
16
17
18
19
20
21

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.

Hasil analisis regresi jumlah individu dengan faktor fisik dan biotik
penyusun habitat bokkoi
Daftar jenis vegetasi pada lokasi penelitian

25
26

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bokkoi (Macaca pagensis Miller, 1903) merupakan salah satu jenis primata
dari genus Macaca yang tergolong endemik di Kepulauan Mentawai dan
keberadaannya terancam punah. Jenis ini hanya dapat ditemukan di Pulau Siberut,
Pulau Pagai Selatan dan Pulau Sipora (Kepulauan Mentawai). Keberadaan bokkoi di
alam terancam punah akibat perburuan yang dilakukan oleh masyarakat untuk
pemenuhan kebutuhan protein dan bahan untuk upacara adat. Selain itu, jenis ini telah
kehilangan sekitar 31% habitatnya yang menjadikan populasinya menurun dan
diperkirakan populasinya kurang dari 30.000 ekor (Whittaker 2006). Terkait dengan
hal tersebut, Pemerintah Indonesia telah memasukan jenis ini dalam daftar jenis
tumbuhan dan satwa yang dilindungi PP No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis
tumbuhan dan satwa. Menurut IUCN, jenis ini digolongkan kedalam rentan atau
vulnerable (IUCN 2014).
Keberadaan atau kelimpahan organisme di suatu wilayah sangat berhubungan
dengan faktor-faktor lingkungan yang menyusun habitatnya. Hal ini karena faktor
lingkungan dapat mempengaruhi derajat kualitas habitat. Habitat dengan kualitas
yang tinggi dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidup organisme, termasuk primata.
Salah satu contohnya adalah pemanfaatan pohon oleh bokkoi dalam berbagai
aktivitas hidupnya. Berdasarkan penelitian Gras (2010), bokkoi secara dominan
memanfaatkan bagian percabangan bawah untuk melakukan lokomosi. Bagian
kanopi lebih banyak dimanfaatkan untuk aktivitas makan dan istirahat. Sebanyak
73.9% pakan yang dikonsumsi oleh bokkoi adalah buah matang yang berasal dari 36
jenis pohon buah. Hal tersebut menunjukan bahwa keberadaan pohon menjadi amat
penting dalam menunjang aktivitas dan kehidupan bokkoi.
Salah satu areal yang menjadi habitat bokkoi adalah kawasan hutan di areal
IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera (PT SSS). Kawasan tersebut merupakan
konsesi pemanfaatan hasil hutan kayu jenis Dipterocarpaceae dan kelompok jenis
rimba campuran. Masih sedikitnya informasi mengenai karakteristik habitat bokkoi
di kawasan konsesi pemanfaatan hasil hutan kayu, menjadikan perlunya dilakukan
penelitian tentang karakteristik habitat bokkoi sebagai langkah awal dalam upaya
pelestarian bokkoi. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
guna menetapkan kebijakan dalam pengelolaan kawasan dan biodiversitas yang
terkandung di dalamnya.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik faktor fisik dan
biotik penyusun habitat bokkoi.

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi sebagai
dasar dalam upaya pelestarian bokkoi di kawasan IUPHHK-HA PT SSS.

2

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di areal Logged Over Area (LOA) 1 tahun, 6 tahun
dan kebun benih IUPHHK-HA PT SSS. Pengumpulan data lapang dilaksanakan
selama 2 bulan, dari bulan Juli – September 2013. Lokasi penelitian disajikan pada
Gambar 1.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian

Metode Pengumpulan Data
Jenis Data
Data yang dikumpulkan digolongkan menjadi dua aspek, yaitu perilaku
bokkoi dan karakteristik habitat. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
disajikan pada Tabel 1.
Perilaku Bokkoi
Hall et al. (1997) diacu dalam Johnson (2007) mendefinisikan habitat sebagai
suatu kondisi dan sumberdaya yang ada di suatu wilayah yang dapat dimanfaatkan
oleh suatu organisme untuk dapat bertahan hidup dan bereproduksi. Penentuan dan
pengukuran lokasi sebagai habitat didasarkan pada penggunaan lokasi dan
sumberdaya oleh bokkoi. Oleh karena itu dilakukan pengamatan perilaku bokkoi
melalui eksplorasi lapang pada pagi (07.00 – 11.00 WIB) dan sore hari (15.30 –

3

18.30 WIB). Setiap individu atau kelompok yang terdeteksi kemudian diikuti dan
diamati perilakunya hingga satwa tidak terdeteksi oleh pengamat. Perilaku yang
dicatat dalam penelitian ini mengacu pada perilaku bokkoi yang meliputi perilaku
makan, sosial, lokomosi dan istirahat (Gras 2010). Batasan masing-masing perilaku
adalah sebagai berikut: (1) perilaku makan adalah perilaku meraih makanan pada
pohon dan memasukkannya kedalam mulut, (2) perilaku sosial adalah adanya
interaksi antara individu satu dengan individu lain dalam kelompoknya seperti
grooming, bermain dan kawin, (3) perilaku lokomosi yaitu semua pergerakan yang
dilakukan dari suatu tempat ke tempat yang lain, (4) perilaku istirahat meliputi
aktivitas diam pada siang hari ataupun tidur dimalam hari.
Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan
No
Aspek
1 Perilaku
bokkoi
2

Jenis data
Perilaku makan,
sosial, lokomosi
dan istirahat
Karakteristik Ketinggian tempat
habitat
di atas permukaan
laut
Kelerengan
Jarak perjumpaan
bokkoi dari sungai
Jarak perjumpaan
bokkoi dari jalan
utama dan jalan
sarad
Kerapatan tajuk

Kerapatan vegetasi

Metode
Eksplorasi lapang

Sumber
Data lapang

Analisis citra
ASTER GDEM

Citra ASTER
GDEM

Analisis citra
ASTER GDEM
Analisis
Euclidean
distance
Analisis
Euclidean
distance

Citra ASTER
GDEM
Peta jaringan
sungai

Hemiview
photograph
Analisis FCD
Analisis vegetasi

Peta jaringan
jalan utama dan
jalan sarad
PT.SSS
Data lapang,
Citra Landsat 8
Citra Landsat 8
Data lapang

Karakteristik Habitat
Para ahli biologi sering mengukur karakteristik habitat terkait dengan ada atau
tidak adanya atau kelimpahan suatu jenis tertentu, dan menyimpulkan bahwa
kehadiran jenis-jenis tersebut terkait dengan kebutuhan hidupnya (Tapia et al.
2010). Anderson & Gutzwiller (1994) menyatakan bahwa sebelum melakukan studi
habitat perlu dilakukan penentuan terhadap faktor-faktor penyusun habitat.
Berdasarkan hal tersebut maka peubah-peubah yang diamati antara lain: komponen
fisik yang meliputi ketinggian tempat diatas permukaan laut, kelerengan, jarak
perjumpaan bokkoi dari sungai, dan jarak perjumpaan bokkoi dari jalan utama dan
jalan sarad, serta peubah komponen biotik meliputi Leaf Area Index (LAI) dan
Forest Cover Density (FCD).
1. Identifikasi komponen fisik habitat
Komponen fisik yang dikaji dalam penelitian ini antara lain ketinggian tempat
di atas permukaan laut, kelerengan, jarak perjumpaan bokkoi dari sungai serta jarak

4

perjumpaan bokkoi dari jalan utama dan jalan sarad. Nilai jarak posisi
ditemukannya bokkoi dari sungai dan jalan merupakan jarak terdekat dari masingmasing kelas jarak sungai dan jalan terhadap lokasi penemuan bokkoi.
2. Identifikasi komponen biotik habitat
Komponen biotik yang dikaji dalam penelitian ini adalah kerapatan tajuk
yang dihitung melalui pendekatan LAI dan FCD. Herrmann et al. (2010)
mendefinisikan LAI sebagai perbandingan luas total tutupan tajuk pohon dengan
luas permukaan tanah di mana pohon itu tumbuh. Penghitungan nilai LAI dilakukan
dengan menggunakan teknik hemispherical photography. Welles (1990)
menyatakan bahwa teknik ini sangat cocok untuk mengukur nilai LAI pada suatu
kawasan. Penentuan lokasi pengambilan foto mengacu pada nilai NDVI
(Normalized Difference Vegetation Index) hasil analisis citra. Nilai NDVI yang
didapat kemudian dikelompokkan menjadi 10 selang kelas. Penentuan lokasi
pengambilan foto mempertimbangkan keterwakilan dari masing-masing selang
kelas NDVI. Jumlah titik pengambilan foto hemiview sebanyak 50 titik dengan
rincian 14 titik berada di LOA 1, 1 titik di LOA 6, 8 titik di Kebun benih dan 27
titik di luar lokasi penelitian. Nilai kerapatan tajuk melalui pendekatan FCD
diperoleh dari hasil analisis citra Landsat 8 dengan menggunakan software FCD
Mapper.
Selain dua variabel diatas, juga dilakukan analisis vegetasi dengan
menggunakan metode petak ganda. Unit contoh pengamatan vegetasi ditempatkan
pada lokasi yang digunakan bokkoi untuk beraktivitas. Ukuran petak contoh
pengamatan untuk tingkat semai adalah 2m x 2m, tingkat pancang 5m x 5m, tingkat
tiang 10m x 10m dan tingkat pohon 20m x 20m. Pada setiap lokasi aktivitas dibuat
tiga buah petak tunggal dengan jarak 20 m antara satu petak dengan petak yang lain
(Gambar 2). Data yang dikumpulkan untuk tingkat pohon dan tiang meliputi jenis
pohon, jumlah individu setiap jenis dan diameter batang setinggi dada (dbh). Data
yang dikumpulkan untuk tingkat pertumbuhan semai dan pancang, hanya jenis dan
jumlah individu setiap jenis yang ditemukan. Selain data diatas, juga dicatat jenisjenis pohon pakan, pohon tidur, pengambilan foto LAI di masing-masing plot serta
titik koordinatnya. Daftar jenis pakan merupakan hasil pencocokan daftar jenis
vegetasi yang ditemukan di lokasi penelitian dengan daftar jenis pakan bokkoi hasil
penelitian Gras (2010). Hal yang sama juga dilakukan untuk mengetahui bagian
yang dimakan dari masing-masing jenis.
D
C
B
20 m

20 m

A

Gambar 2 Disain petak analisis vegetasi
Notasi-notasi yang digunakan adalah A = unit contoh pengamatan untuk tingkat pohon, B = unit
contoh pengamatan untuk tingkat tiang, C = unit contoh pengamatan untuk tingkat pancang, D =
unit contoh pengamatan untuk tingkat semai.

5

Pengolahan dan Analisis Data
Perilaku Bokkoi
Data perilaku dan penggunaan habitat bokkoi yang diperoleh kemudian
dianalisis secara deskriptif. Hal ini bertujuan untuk memberi gambaran penggunaan
sumberdaya oleh bokkoi dalam aktivitasnya.
Karakteristik Habitat
Pengolahan dan analisis data karakteristik habitat dilakukan secara deskriptif
melalui analisis spasial. Data yang dianalisis dengan SIG berupa peta batas kawasan
(polygon), peta jaringan jalan, peta jaringan sungai, citra landsat 8 IUPHHK-HA
PT Salaki Summa Sejahtera, titik keberadaan bokkoi dan foto tutupan tajuk. Data
tersebut diolah menjadi 6 layer yang terdiri atas layer ketinggian, kemiringan lereng,
jarak dari sungai, jarak dari jalan, LAI, dan FCD.
1. Komponen Fisik Habitat
a) Ketinggian tempat diatas permukaan laut dan kelerengan
Peta ketinggian tempat diatas permukaan laut dan kelerengan diperoleh dari
pengolahan citra Aster GDEM menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.1. Proses
pembuatan peta ketinggian dan kelerengan disajikan pada Gambar 3. Ketinggian
lokasi penelitian diklasifikasikan ke dalam lima kelas, yaitu kelas 0 – 50 mdpl, 50
– 100 mdpl, 100 – 150 mdpl, 150 – 200 mdpl dan > 200 mdpl; sedangkan
pembagian kelas lereng pada penelitian ini didasarkan pada SK Menteri Pertanian
No. 837/Kpts/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung.
Klasifkasi yang dimaksud ialah datar (0 – 8%), landai (8 – 15%), agak curam (15 –
25%), curam (25 – 45%) dan sangat curam (> 45%).
DEM

Peta Ketinggian
surface

Slope

Peta Kemiringan Lereng

Gambar 3 Diagram alir pembuatan peta ketinggian tempat diatas permukaan
laut dan kelerengan
b) Jarak perjumpaan bokkoi dari sungai
Peta jarak posisi ditemukannya bokkoi dari sungai diperoleh dari analisis peta
digital jaringan sungai PT SSS menggunakan software ArcGIS 10.1. Hasil
pengolahan ini merupakan data raster. Jarak perjumpaan bokkoi dari sungai

6

diklasifikasikan menjadi lima kelas, yaitu 0 – 100 m, 100 – 200 m, 200 – 300 m,
300 – 400 m, dan > 400 m. Sungai yang menjadi acuan dalam penghitungan jarak
posisi ditemukannya bokkoi dengan sungai ialah sungai dan anak Sungai Tiniti
yang merupakan bagian dari DAS Pakaleuruan. Proses pembuatannya disajikan
pada Gambar 4.
Peta Sungai

Spatial analyst

Distance

Euclidean distance

Peta Jarak Sungai

Gambar 4 Diagram alir pembuatan peta jarak dari sungai
c) Jarak perjumpaan bokkoi dari jalan
Peta jarak posisi ditemukannya bokkoi dari jalan diperoleh dari analisis peta
digital jaringan jalan utama dan jalan sarad PT SSS menggunakan software ArcGIS
10.1. Hasil pengolahan ini merupakan data raster. Jarak perjumpaan bokkoi dari
jalan diklasifikasikan menjadi lima kelas, yaitu 0 – 100 m, 100 – 200 m, 200 – 300
m, 300 – 400 m, dan > 400 m. Proses pembuatan jarak posisi ditemukannya bokkoi
dari jalan disajikan pada Gambar 5. Jalan yang menjadi acuan dalam penghitungan
jarak ini ialah jalan utama dan jalan cabang (jalan sarad).

Gambar 5 Diagram alir pembuatan peta jarak dari jalan
2. Komponen biotik habitat
a) LAI (Leaf Area Index)
Peta LAI disusun berdasarkan nilai LAI dari hasil foto dan nilai NDVI
kawasan PT SSS. Kedua nilai tersebut kemudian diregresikan. Persamaan regresi

7

yang terbentuk digunakan sebagai model dalam pembuatan peta LAI. Proses
pembuatan peta LAI disajikan pada Gambar 6. Persamaan pendugaan NDVI adalah
sebagai berikut:
���� =

��
��


+

��
��

Penentuan kriteria klasifikasi kerapatan hutan berdasarkan nilai LAI mengacu pada
klasifikasi Nugroho (2012) yaitu yaitu 0 – 0.6 merupakan kawasan non hutan, 0.7
– 1.3 merupakan hutan kerapatan rendah, 1.4 – 2.3 merupakan hutan kerapatan
sedang, 2.3 – 3.6 merupakan hutan kerapatan tinggi dan > 3.6 merupakan hutan
kerapatan sangat tinggi.

Hemispherical
Photography

Citra Landsat

NDVI (ERDAS 9.1)

Peta NDVI

Hemiview
Photo
Koordinat
calculate

Nilai
Nilai LAI

Linier Regression

Peta LAI

Gambar 6 Diagram alir pembuatan peta LAI
b) FCD (Forest Canopy Density)
Rikimaru et al. (2002) menyatakan bahwa FCD (Forest Canopy Density)
merupakan salah satu metode yang berguna untuk mendeteksi dan memperkirakan
kerapatan kanopi di suatu area yang luas dengan waktu dan biaya yang efektif. Nilai
kerapatan kanopi ditunjukkan dalam bentuk persentase mulai dari 0% - 100%.
Pengolahan model FCD dilakukan dengan menggabungkan data dari empat macam
indeks yaitu Advanced Vegetation Index (AVI), Bare Soil Index (BI), Shadow Index
atau Scaled Shadow Index (SI, SSI) dan Thermal Index (TI). Vegetation index
merupakan respon dari semua jenis vegetasi seperti hutan dan padang rumput.
Advanced Vegetation Index (AVI) lebih sensitif dalam menduga kuantitas vegetasi
bila dibandingkan dengan NDVI. Nilai SI akan meningkat seiring dengan
peningkatan kepadatan hutan. Hubungan TI dengan kuantitas vegetasi akan

8

berbanding terbalik, yakni pada lokasi yang memiliki nilai VI tinggi cenderung
akan memiliki nilai TI yang rendah. BI menunjukan tingkat keterbukaan suatu
lahan. Proses pembuatan peta FCD disajikan pada Gambar 7. Penentuan kriteria
klasifikasi kerapatan hutan berdasarkan nilai FCD mengacu pada klasifikasi
Nugroho (2012) yaitu hutan dengan kerapatan sangat tinggi (>71%), kerapatan
tinggi (51 – 70%), kerapatan sedang (31 – 50%) dan kerapatan rendah (11 – 30%).
Citra Landsat

Pembuatan
Vegetation Index
(VI)

Pembuatan
Bare Soil Index
(BI)

Pembuatan
Shadow Index
(SI)

Peta Kerapatan
Vegetasi

Pembuatan
Thermal Index
(TI)

Scale Shadow
Index

Integrasi Model

Peta Kerapatan Kanopi

Gambar 7 Diagram alir pembuatan peta FCD
c) Analisis komposisi vegetasi
Analisis komposisi vegetasi yang dilakukan yaitu analisis kerapatan jenis
vegetasi yang ditemukan pada masing-masing petak analisis vegetasi. Persamaan
yang digunakan untuk menghitung nilai tersebut antara lain:
Kerapatan suatu jenis (K) = ∑ Individu suatu jenis/Luas plot pengamatan (Ind/ha)
Analisis regresi linier
Analisis ini dilakukan guna melihat hubungan dan signifikansinya antara
variabel dependen (jumlah perjumpaan individu bokkoi) dengan variabel
independen (fisik dan biotik habitat) (Nurjannah 2008). Persamaan yang terbentuk
akan berupa:
=� + �
+ �
+�
+ �
+ �
+ �
+ �
+�
+�
+�
+�

Adapun keterangan dari notasi di atas adalah Y = jumlah individu ditemukannya
bokkoi, β0 = konstanta, β1-11 = koerfisien regresi, X1 = kerapatan semai, X2 =
kerapatan pancang, X3 = kerapatan tiang, X4 = kerapatan pohon, X5 = kerapatan
pohon pakan, X6 = ketinggian tempat di atas permukaan laut, X7 = kelerengan, X8
= jarak posisi ditemukannya bokkoi dari sungai, X9 = jarak posisi ditemukannya
bokkoi dari jalan, X10 = LAI, X11 = FCD.

9

Pengujian terhadap variabel penyusun habitat diperlukan untuk mengetahui apakah
model sampel yang terbentuk representative terhadap model populasi (Nurjannah
2008). Pengujian dilakukan dengan uji parsial dengan uji t.
Hipotesis:
H0 = 0; atau variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat
H1 ≠ 0; atau variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat
Jika p-value ≥ 0.05 maka terima H0, namun bila p-value < 0.05 maka terima H1.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kawasan IUPHHK – HA PT SSS terletak di Kepulauan Mentawai Provinsi
Sumatera Barat. Luas wilayah kerja PT SSS adalah 47605 ha meliputi tiga jenis
tutupan lahan yaitu hutan primer dengan luas 455 ha atau 0.96%, hutan bekas
tebangan 42457 ha (89.19%) dan area tidak berhutan sebesar 4693 ha (9.86%). Jenis
kelas lereng yang mendominasi dalam areal kerja adalah kelas lereng agak curam
(15 - 25%) dengan ketinggian tempat pada seluruh areal kerja berkisar dari 50 - 340
mdpl. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt & Ferguson atau Af-Am
Koppen, areal PT SSS beriklim basah (tipe A) dengan intensitas hujan 18.24 mm/hh
dan curah hujan rata-rata adalah sebesar 386.21 mm/bulan. Berdasarkan peta jenis
tanah di PT SSS terdiri dari jenis aluvial, latosol dan podsolik.

Perilaku Bokkoi
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, didapatkan total 19 titik
perjumpaan. Hasil tersebut terbagi atas 13 titik ditemukan di lokasi penelitian dan
sisanya berada di luar. Aktivitas bokkoi yang berhasil teramati berbeda-beda antara
lokasi satu dengan lainnya. Hasil pengamatan jumlah individu dan perilaku bokkoi
disajikan pada Tabel 2 dan lokasi perjumpaan bokkoi disajikan pada Gambar 8.
Tabel 2 Perjumpaan bokkoi pada masing - masing lokasi
Lokasi
KB
LOA 1
LOA 6

FPt
2
10
10

FP
1
6
6

JI (Ekor)
10
11
20

Aktivitas
Lokomosi
Istirahat, Makan, Sosial
Sosial, Lokomosi

Keterangan: FPt = Frekuensi Pengamatan, FP = Frekuensi Perjumpaan, JI = Jumlah Individu,
LOA = Logged Over Area, KB = Kebun benih.

Vegetasi yang dimanfaatkan oleh bokkoi sangat tergantung dengan aktivitas
yang dilakukannya. Euphorbiaceae merupakan famili yang penting bagi kehidupan
bokkoi karena salah satu jenis dari famili ini yaitu Endospermum malaccense paling
disukai bokkoi sebagai pohon tidur (Richter et al. 2013). Selama penelitian tidak
dijumpai pohon tidur bokkoi. Meski demikian, ditemukan bokkoi memanfaatkan

10

jenis Endospermum diadenum untuk istirahat disiang hari. Jenis lainnya yang
digunakan untuk istirahat antara lain Shorea sororia, Baccaurea bracteata, dan
Polyalthia sumatrana. Jenis-jenis tersebut memiliki tutupan tajuk yang lebar dan
lebat dengan percabangan yang hampir sejajar. Hal ini memberikan kenyamanan
dan keamanan bagi bokkoi untuk beristirahat. Pemilihan jenis-jenis tertentu sebagai
lokasi istirahat merupakan tingkah laku untuk mencari perlindungan (Tanudimadja
& Kusumadiharja 1985).

Gambar 8 Peta perjumpaan bokkoi di setiap lokasi penelitian
Richter et al. (2013) menyatakan bahwa 80.2% aktivitas lokomosi bokkoi
dilakukan di tanah, namun keberadaan pohon juga berperan dalam menunjang
aktivitas lokomosi hariannya. Gras (2010) menyatakan bahwa bokkoi secara
dominan memanfaatkan bagian percabangan bawah untuk melakukan lokomosi.
Bokkoi memanfaatkan jenis Symplocos fasciculata dan Polyalthia sumatrana untuk
melakukan aktivitas lokomosinya. Kedua jenis ini memiliki tajuk yang lebar, dan
bersambungan dengan tajuk pohon disekitarnya. Lokomosi yang dilakukan bokkoi
diatas pohon membutuhkan kontiniuitas tajuk yang ada dilokasi tersebut. Hal ini
akan memudahkan dalam melakukan perpindahan dari satu tajuk ke tajuk lainnya.
Tingginya variasi aktivitas lokomosi berkaitan erat dengan ketersediaan pakan di
suatu lokasi. Whitten (1980) menyatakan bahwa persentase keberadaan pohon buah
di Siberut rendah (hanya 5%) bila dibandingkan dengan di Semenanjung Malaya
(mencapai 16%) menjadikan bokkoi lebih banyak melakukan lokomosi.
Jenis Hydnocarpus merrillianus digunakan bokkoi untuk melakukan aktivitas
sosial. Aktivitas ini dilakukan bersamaan dengan aktivitas makan yang dilakukan
pada pohon tersebut. Bokkoi memilih bagian percabangan bawah dalam melakukan
aktivitas sosialnya. Hal ini sesuai dengan van Schaik et al. (1989) yang menyatakan
bahwa perilaku sosial Macaca berkaitan dengan distribusi pohon pakannya.

11

Aktivitas sosial bokkoi hanya 5.99% dari aktivitas hariannya (yang terkecil), namun
aktivitas ini tergolong stabil jika dibandingkan dengan aktivitas lainnya. Jenis lain
yang memiliki aktivitas harian serupa dengan bokkoi ialah kerabat dekatnya yaitu
M. nemestrina yakni lokomosi 61% dan sosial 4% (Richter et al. 2013).

Karakteristik Habitat
Berdasarkan hasil analisis regresi, diperoleh persamaan Y = -0.899 –
0.00001408X1 + 0.017X2 + 0.937X3 – 0.007X4 + 0.007X5 + 0.004X6 – 0.003X7 –
0.044X8 + 0.155X9 (R2 = 0.964, p = 0.048). Dimana X1 = kerapatan semai; X2 =
kerapatan pancang; X3 = kerapatan tiang; X4 = kerapatan pohon; X5 = kerapatan
pohon pakan; X6 = ketinggian tempat di atas permukaan laut; X7 = jarak posisi
ditemukannya bokkoi dari sungai; X8 = kelerengan; X9 = LAI. Variabel jarak posisi
ditemukannya bokkoi dari jalan dan tidak dimasukkan dalam perhitungan ini karena
tidak memenuhi syarat bebas multikolinieritas. Variabel lain yang juga tidak
dimasukan ialah FCD. Hal ini disebabkan oleh adanya awan yang menutupi
beberapa lokasi penelitian sehingga tutupan tajuknya pada lokasi tersebut tidak bisa
teridentifikasi nilainya. Secara rinci hasil analisis regresi disajikan pada Lampiran
1.
Kerapatan Vegetasi
Di lokasi penelitian ditemukan sebanyak 106 jenis dari 36 famili dengan
rincian 97 jenis teridentifiksi dan sisanya tidak. Famili terbanyak yaitu
euphorbiaceae sebanyak 20 jenis, dan terdapat 20 famili yang hanya ditemukan 1
jenis. Berdasarkan analisis vegetasi yang telah dilakukan pada ketiga lokasi
pengambilan data dan lokasi ditemukannya bokkoi, didapatkan hasil seperti yang
disajikan pada Tabel 3.
Variabel kerapatan vegetasi pada tingkat tiang memiliki p = 0.011 dan pohon
memiliki p = 0.02 sehingga kedua variabel ini berpengaruh secara nyata terhadap
model. Adanya pengaruh yang signifikan bagi jumlah individu bokkoi berkaitan
dengan fungsi vegetasi pada tingkat tiang dan pohon sebagai penyedia pakan dan
lokasi tidur bokkoi. Hal tersebut ditunjukan oleh jumlah individu terbanyak
ditemukan di lokasi LOA 6 dan yang terendah di lokasi kebun benih. Terkait dengan
fungsi tiang dan pohon sebagai lokasi tidur bokkoi, ditemukan sebanyak 16
individu dari 4 jenis vegetasi berpotensial sebagai lokasi istirahat bokkoi. Pada
LOA 1 ditemukan 6 individu dari 2 jenis vegetasi dan pada lokasi kebun benih tidak
ditemukan jenis-jenis yang biasa digunakan bokkoi tidur dan istirahat.
Tabel 3 Nilai kerapatan vegetasi pada masing - masing lokasi
Lokasi FP
KB
LOA 1
LOA 6

1
6
6

JI
(Ekor)
10
11
20

Tingkat Pertumbuhan
Semai* Pancang* Tiang* Pohon*
17500
5466.67 333.33 141.67
49166.67 13733.33 533.33
500
31666.67 9066.67 833.33 608.33

Pohon
Pakan*
16.67
100
116.67

Keterangan: FP = Frekuensi Perjumpaan, JI = Jumlah Individu, KB = Kebun benih, LOA =
Logged Over Area, * = Ind/ha

12

Hubungan positif antara kerapatan tiang dengan jumlah individu bokkoi
menandakan bahwa adanya penambahan tiang diduga akan meningkatkan jumlah
individu bokkoi. Hal ini disebabkan oleh proporsi vegetasi pakan bokkoi berada
pada selang diameter 10 – 20 cm dbh (24.6%) (Richter et al. 2013). Hubungan
antara kerapatan pohon dengan jumlah individu bersifat negatif. Hal ini
menunjukan bahwa bokkoi tidak membutuhkan kerapatan pohon yang tinggi.
Richter et al. (2013) menyatakan bahwa pohon berdiameter besar dengan kerapatan
rendah merupakan syarat penting bagi penyusun habitat bokkoi. Keberadaan pohon
berfungsi sebagai penyedia pakan dan pohon tidur. Kelas diameter yang dominan
digunakan bokkoi berada pada selang 41-90 cm dbh. Penggunaan pohon dengan
diameter pada selang kelas diameter tersebut diduga berkaitan dengan masa
produktif pohon terutama dalam menyediakan buah bagi pakan bokkoi. Richter et
al. (2013) menyatakan bahwa keberadaaan pohon pakan merupakan komponen
kunci yang penting untuk keberlangsungan hidup bokkoi.
Bokkoi merupakan satwaliar yang tergolong frugivora, karena 75.7% dari
pakannya adalah buah. Sebanyak 72.8% dari buah yang dikonsumsi ialah buah
matang matang, 20.2% buah setengah matang, 4.3% buah mentah, sisanya tidak
diketahui tingkat kematangannya. Selain buah, pakan lain yang dikonsumsi ialah
11.9 % arthropoda (terutama semut, rayap dan laba-laba), 4.5% jamur, 4.4% daun,
2.6% empulur, 0.6% getah, 0.2% tunas dan 0.2% bunga. Tidak seperti jenis macaca
lainnya, bokkoi tidak pernah terdekteksi memangsa telur, burung, bajing, ataupun
mamalia kecil lainnya (Richter et al. 2013). Di lokasi penelitian ditemukan
sebanyak sebelas jenis tumbuhan pakan bokkoi. Jenis-jenis pakan bokkoi yang
ditemukan disajikan pada Tabel 4. Dari kesebelas jenis tersebut, hanya jenis
Hydnocarpus merrillianus yang ditemukan secara langsung dikonsumsi oleh
bokkoi. Jenis Artocarpus rigidus dan Harpullia arborea teridentifikasi sebagai
pakan bokkoi melalui perjumpaan sisa-sisa jenis tersebut di lantai hutan.
Tabel 4 Daftar jenis pakan bokkoi
No

Nama lokal

1

6
7
8
9
10

Kabid / kabid
raba
Kalabatti
Kalapupuk
Malei
Peiki /
pepetnoit
Posa
Renggeu
Sibeu muntei
Sinailup
Tetepana

11

Tumu

2
3
4
5

Artocarpus rigidus

Moraceae

Bagian yang
dimakan
Buah

Nephelium elasticus
Dillenia excelsa
Ardisia lanceolata
Artocarpus integer

Sapindaceae
Dilleniaceae
Myrsinaceae
Moraceae

Getah
Biji, bunga
Buah
Biji, getah

Baccaurea bracteata
Palaquium obovatum
Syzygium grandis
Harpullia arborea
Hydnocarpus
merrillianus
Campnosperma
macrophylla

Euphorbiaceae
Sapotaceae
Myrtaceae
Sapindaceae
Flacourtiaceae

Nama ilmiah

Famili

Buah
Getah
Buah
Buah
Daun muda,
buah
Anacardiaceae Getah

13

Gras (2010) menyatakan bahwa terdapat 36 spesies pakan, dan jenis tersebut
dimakan berdasarkan variasi musim. Hal ini dikarenakan waktu berbuah dari
masing-masing jenis berbeda. Beberapa jenis yang tergolong sering dikonsumsi
dibanyak bulan antara lain siputojet, tumu (Campnosperma macrophylla) dan
nampeu. Selain penggantian jenis buah, bokkoi juga akan mengganti pakannya
dengan jenis pakan yang lain untuk mempertahankan hidupnya. Richter et al.
(2013) menyatakan bahwa ketika terjadi penurunan proporsi konsumsi buah, secara
bersamaan terjadi peningkatan yang signifikan proporsi konsumsi antrhopoda, sari
dan daun.
Ketinggian
Kondisi kawasan PT SSS bervariasi dari datar, berawa-rawa, berbukit, hingga
berlereng curam dengan puncak tertinggi 384 mdpl (ICS 2012). Berdasarkan hasil
analisis, lokasi penelitian memiliki ketinggian 0 – 368 mdpl dan dikategorikan
sebagai tipe hutan hujan tropis dataran rendah (Hadi et al. 2009). Klasifikasi nilai
ketinggian lokasi penelitian disajikan pada Gambar 9. Bokkoi dominan ditemukan
pada kelas 3 (100 – 150 mdpl) dan yang terendah pada kelas > 200 mdpl. Pada kelas
tersebut pengamat tidak pernah menjumpai keberadaan bokkoi. Perjumpaan bokkoi
berdasarkan kelas ketinggian tempat disajikan pada Tabel 5.

Gambar 9 Peta ketinggian tempat di atas permukaan laut di kawasan PT SSS
Bokkoi dominan ditemukan pada kelas 3 (100 – 150 mdpl) dan yang terendah pada
kelas > 200 mdpl. Pada kelas tersebut pengamat tidak pernah menjumpai
keberadaan bokkoi. Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas ketinggian tempat
disajikan pada Tabel 5.

14

Tabel 5 Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas ketinggian
Kelas (mdpl)

FP

JI (ekor)

0 – 50
50 – 100
100 – 150
150 – 200
> 200

1
4
7
1
0

2
10
28
1
0

Lokasi perjumpaan
KB
LOA 1
LOA 5
















Keterangan: FP = Frekuensi Perjumpaan, JI = Jumlah Individu, LOA = Logged Over Area, KB
= Kebun benih.

Variabel ketinggian memiliki pengaruh yang tidak signifikan (p = 0.062)
terhadap jumlah individu bokkoi. Kondisi pada ketinggian 100 – 150 mdpl
cenderung didominasi dengan kerapatan tiang yang tinggi, kerapatan pohon yang
rendah serta kelerengan yang datar ataupun landai. Hal tersebut yang menjadikan
bokkoi lebih banyak ditemukan pada kelas ketinggian 100 – 150 mdpl.
Bokkoi menyebar di Pulau Siberut mulai dari hutan rawa gambut hingga
hutan hujan tropis dataran rendah (Quinten et al. 2009; Richter et al. 2013; Gras
2010). Beberapa jenis lain dari genus Macaca juga memiliki persebaran yang luas,
seperti Macaca fascicularis 0-2000 mdpl (Supartono 2001), Macaca nigra 0-1351
mdpl (Indrawati 2010). Berdasarkan penelitian Quinten et al. (2009) di bagian utara
Hutan Paleonan, menyatakan bahwa kepadatan bokkoi di hutan rawa gambut lebih
besar dibandingkan di hutan tropis dataran rendah. Lebih lanjut Quinten et al.
(2009) menyatakan meskipun keanekaragaman vegetasi di hutan tropis dataran
rendah lebih tinggi daripada hutan rawa gambut, namun hutan rawa gambut dapat
menjamin keberlangsungan ketersediaan buah sebagai pakan bokkoi.
Kelerengan
Kondisi kawasan PT SSS bervariasi dari datar, berawarawa, berbukit, hingga
berlereng curam. Wilayah perbukitan terdapat di bagian barat dengan kelerengan
bervariasi antara 40 - 75 % (ICS 2012). Pembagian kelas lereng pada lokasi
penelitian disajikan pada Gambar 10. Bokkoi lebih banyak ditemukan pada lokasi
yang berkategori agak curam (15 – 25%). Perjumpaan terendah berada lokasi yang
tergolong datar (0 - 8%). Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas kelerengan
disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 10.
Tabel 6 Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas kelerengan
Kelas (%)

Kategori

FP

JI (ekor)

0–8
8 – 15
15 – 25
25 – 45
> 45

Datar
Landai
Agak curam
Curam
Sangat curam

1
3
8
1
0

10
12
18
1
0

Lokasi perjumpaan
KB LOA 1 LOA 5
















Keterangan: FP = Frekuensi Perjumpaan, JI = Jumlah Individu, LOA = Logged Over Area, KB
= Kebun benih.

15

Variabel kelerengan memiliki pengaruh yang nyata dengan nilai p = 0.009.
Hubungan negatif antara kelerengan dengan jumlah individu bokkoi menunjukan
bahwa jumlah individu bokkoi akan cenderung bertambah seiring dengan penuruan
kelerengan di suatu lokasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah individu
bokkoi cenderung banyak ditemukan pada kelas kelerengan landai dan datar.
Aktivitas yang dilakukan pada kelas tersebut adalah lokomosi, makan dan sosial.
Bokkoi memilih kelas tersebut karena dominan melakukan lokomosi di tanah. Hal
ini dilakukan untuk mengurangi resiko jatuh dari pohon. Selain itu, energi yang
dikeluarkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan memanjat pohon dan lokomosi
dari pohon satu ke pohon lainnya. Pola yang sama juga ditunjukan pada spesies
frugivor lainnya yaitu M. nemestrina (Declue 1992; Simonds 1987). Lokasi dengan
kategori datar umumnya memiliki kondisi yang terbuka.
Aktivitas yang dilakukan bokkoi pada kelerengan agak curam yaitu sosial dan
istirahat. Pada lokasi tersebut, kondisi dan kerapatan vegetasi tegolong baik. Rasa
aman dari predator diduga menjadi alasan bokkoi memilih lokasi tersebut. Matsuda
et al. (2011) menyatakan bahwa secara umum satwaliar memilih suatu habitat
optimal yang mampu menyediakan pakan dan aman dari predator. Spilornis cheela
sipora dan Phython reticulatus merupakan predator bokkoi di Pulau Siberut.

Gambar 10 Peta kelerengan di kawasan PT SSS
Jarak Perjumpaan Bokkoi dari Sungai
Klasifikasi jarak posisi ditemukannya bokkoi dari sungai disajikan pada
Gambar 11. Bokkoi ditemukan di semua kelas klasifikasi dengan jumlah individu
yang ditemukan hampir sama. Jumlah individu terbanyak ditemukan pada kelas 100
– 200 m, dan terendah pada kelas > 400. Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas jarak
dari sungai disajikan pada Tabel 7.

16

Tabel 7 Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas jarak dari sungai
Kelas (m)

FP

JI (ekor)

0 – 100
100 – 200
200 – 300
300 – 400
> 400

2
3
3
3
2

4
15
11
9
2

Lokasi perjumpaan
KB
LOA 1
LOA 5
















Keterangan: FP = Frekuensi Perjumpaan, JI = Jumlah Individu, LOA = Logged Over Area, KB
= Kebun benih.

Variabel jarak perjumpaan bokkoi dari sungai memiliki pengaruh yang tidak
signifikan (p = 0.779). Hal ini dibuktikan dari frekuensi perjumpaan yang hampir
sama di masing-masing kelas jarak. Aktivitas minum tidak pernah terdeteksi ketika
pengamatan berlangsung. Bokkoi yang tergolong frugivora menyebabkan sebagian
besar kebutuhan bokkoi akan air dipenuhi dari buah yang mereka konsumsi.
Adanya tadahan air hujan pada banir pohon ataupun daun menjadi sumber
pemenuhan air lainya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rodman (1978) bahwa
penyebaran primata frugivora akan lebih jauh dari tepi sungai. Tidak seperti
bekantan yang lebih menyukai habitat tepi sungai (Bismark 2009).

Gambar 11 Peta jarak perjumpaan bokkoi dari sungai
Jarak Perjumpaan Bokkoi dari Jalan
Adanya jalan baik jalan utama maupun jalan cabang pada dasarnya dibuat
untuk memudahkan dalam pengangkutan log, namun secara tidak langsung hal

17

tersebut menjadikan kawasan terpisah (terfragmen). Lebar jalan utama ± 5 m dan
lebar jalan cabang ± 2 – 3 m. Variabel ini tidak dimasukkan dalam pengolahan
model regresi karena asumsi multikolinieritas tidak dipenuhi pada variabel ini.
Klasifikasi jarak posisi ditemukannya bokkoi dari jalan disajikan pada Gambar 13.
Perjumpaan bokkoi dominan ditemukan pada kelas klasifikasi 0 – 100 m dan
terendah pada kelas klasifikasi 300 – 400 m. Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas
jarak dari jalan disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 12.
Tabel 8 Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas jarak dari jalan
Kelas (m)

FP

JI (ekor)

0 – 100
100 – 200
200 – 300
300 – 400
> 400

7
2
3
0
1

29
3
8
0
1

Lokasi perjumpaan
KB
LOA 1
LOA 6
















Keterangan: FP = Frekuensi Perjumpaan, JI = Jumlah Individu, LOA = Logged Over Area, KB
= Kebun benih.

Gambar 12 Peta jarak perjumpaan bokkoi dari jalan
Bokkoi melakukan aktivitas sosial, istirahat dan lokomosi pada selang kelas
0 – 100 m. Aktivitas sosial dilakukan bokkoi di tanah (Gambar 13) dan pohon,
sedangkan aktivitas istirahat dilakukan di atas pohon. Jenis yang digunakan untuk
beristirahat ialah Shorea sororia, Polyalthia sumatrana (tiang). Aktivitas sosial
yang ditemukan terjadi di dekat jalan utama yang aktif dilalui oleh karyawan dan
pengangkutan log. Hal tersebut diduga disebabkan karena sifat bokkoi yang lebih
toleran bila dibandingkan dengan tiga primata siberut lainnya. Meskipun aktivitas

18

sosial bokkoi masih ditemukan di dekat jalan utama, namun untuk aktivitas istirahat,
bokkoi memilih pohon di LOA 1 (TP 9 dan 10) karena lokasi tersebut memiliki
kondisi kelerengan yang agak curam dan jarang dilalui oleh manusia.

Gambar 13 Aktivitas sosial bokkoi
LAI (Leaf Area Index)
Pembuatan peta LAI melalui analisis regresi LAI dengan NDVI mendapatkan
persamaaan LAI = 1.72 + 2.95 NDVI dengan nilai determinan (R2) sebesar 34%.
Nilai ini memiliki arti bahwa model yang terbentuk dari pendugaan LAI ini
memiliki peluang data terwakili sebesar 34%. Hasil yang diperoleh ini masih
tergolong lebih baik bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Djumhaer (2003) yang hanya memperoleh nilai 8.22%. Hasil berbeda justru
ditunjukan oleh Turner et al. (1999) yang menyatakan bahwa faktor NDVI
memiliki pengaruh yang cukup nyata terhadap pendugaan LAI.
Kurangnya pengaruh atau hubungan antara faktor indeks vegetasi dalam hal
ini NDVI dengan nilai LAI setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama,
disebabkan oleh adanya variasi bukaan kanopi disuatu lokasi. Azhima (2001)
menyatakan bahwa adanya variasi bukaan kanopi yang cukup besar pada jarak 2 –
10 m sebagai akibat dari adanya variasi struktur, orientasi dan bentuk kanopi. Selain
itu nilai NDVI yang digunakan untuk membuat model diolah dari citra Landsat 8
yang memiliki resolusi spasial 30 m. Kedua, faktor awan yang menyelimuti area
pengambilan data. Zein (2009) menyatakan bahwa salah satu gangguan yang sangat
mempengaruhi nilai NDVI ialah adanya awan yang mempengaruhi pantulan radiasi
panjang gelombang inframerah dekat yang diterima oleh optik satelit. Radiasi
panjang gelombang inframerah dekat yang di pantulkan oleh vegetasi yang berada
di bawah naungan awan akan terhalang oleh adanya keberadaan awan tersebut.
Selain itu keberadaan awan juga akan lebih banyak memantulkan energi pada
panjang gelombang cahaya tampak dibandingkan pada inframerah dekat. Hal ini
akan mengakibatkan nilai NDVI pada lokasi yang tertutup awan cenderung bernilai
kecil atau tak jarang bernilai negatif.
Nilai LAI pada area penelitian berkisar antara 1.72 – 3.61. Perjumpaan
bokkoi berdasarkan kelas LAI disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 14. Jumlah
perjumpaan terbanyak berada pada selang kelas 2.3 – 3.6. Secara rinci disajikan
pada Tabel 9. Lokasi penelitian didominasi oleh hutan kerapatan tinggi seluas
69463 ha, sementara 15502 ha sisanya teridentifikasi sebagai hutan kerapatan

19

sedang. Variabel LAI memiliki pengaruh yang tidak signifikan karena nilai p-nya
= 0.334. Dominannya perjumpaan bokkoi pada lokasi dengan kategori kerapatan
tinggi mengindikasikan peran pohon dalam menunjang berbagai aktivitas bokkoi.
Aktivitas yang tercatat pada hutan kerapatan tinggi antara lain, lokomosi, sosial,
makan dan istirahat. Gras (2010) menyatakan bahwa bagian kanopi lebih banyak
dimanfaatkan bokkoi untuk aktifitas makan 34%, istirahat 27%, aktifitas sosial 10%,
dan sisanya untuk lokomosi serta aktifitas lainnya.
Tabel 9 Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas LAI
Kelas
1.7 – 2.3
2.3 – 3.6
> 3.6

Kategori
Kerapatan sedang
Kerapatan tinggi
Kerapatan sangat
tinggi

FP JI (ekor)
1
12

4
37

0

0

Lokasi perjumpaan
KB LOA 1 LOA 6












Keterangan: FP = Frekuensi Perjumpaan, JI = Jumlah Individu, LOA = Logged Over Area,
KB = Kebun benih.

Gambar 14 Peta LAI (Leaf Area Index) PT SSS
FCD (Forest Canopy Density)
Lokasi penelitian di dominasi oleh hutan dengan kategori kerapatan tinggi
seluas 21210 ha dan kerapatan sangat tinggi sebesar 16710 ha. Hasil yang didapat
dari pengolahan FCD ini sedikit berbeda dengan hasil yang didapat dari
penghitungan nilai LAI. Namun bila dibandingkan dengan kondisi aktual di lapang,
hasil pengolahan FCD inilah yang mendekati kondisi sebenarnya. Rikimaru (1996)
menyatakan bahwa metode ini dapat menghasilkan penilaian yang akurat tentang

20

kondisi yang sebenarnya. Pengintegrasian nilai VI dan SI akan dapat membedakan
dengan jelas antara vegetasi di kanopi dan vegetasi di tanah. Nilai yang dihasilkan
dari penggunaan metode menunjukan lokasi penelitian tergolong memiliki
kerapatan tinggi. Hal ini merupakan indikator terlaksananya konsep RIL (Reduced
Impact Logging) di kawasan PT SSS. Adanya batasan jumlah tebangan pada
masing-masing petak menjadikan kondisi kawasan tergolong baik dengan
kerapatan vegetasi yang tinggi. Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas FCD
disajikan pada Tabel 10 dan Gambar 15.
Tabel 10 Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas FCD
Kelas FCD (%)

FP

JI (ekor)

No Data
21 – 30
31 – 40
41 – 50
51 – 60
61 – 70
71 – 80
81 – 90
91 – 100

4
0
0
2
5
1
0
1
0

17
0
0
5
16
1
0
2
0

Lokasi perjumpaan
KB
LOA 1 LOA 5




























Keterangan: FP = Frekuensi Perjumpaan, JI = Jumlah Individu, LOA = Logged Over Area,
KB = Kebun benih.

Gambar 15 Peta FCD (Forest Canopy Density) PT SSS
Bokkoi ditemukan di empat dari sembilan kelas kerapatan tajuk yang telah
dibuat (Gambar 15), dengan perjumpaan terbanyak pada kelas 51 – 60%. Kelas no

21

data merupakan lokasi-lokasi yang tertutup oleh awan sehingga nilai kerapatan
tajuk di lokasi teridentifikasi sebagai 0, yang bila dibandingkan dengan kondisi
aktualnya tidak sesuai. Jumlah perjumpaan terkecil ialah pada selang kelas 61 –
70% dan 81 – 90%. Aktivitas yang dilakukan bokkoi pada selang kelas tersebut
secara berturut-turut ialah istirahat dan lokomosi. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa pemilihan jenis-jenis atau lokasi tertentu (kelas 61 – 70%)
sebagai lokasi istirahat merupakan tingkah laku untuk mencari perlindungan.
Bokkoi melakukan aktivitas lokomosi pada lokasi dengan kerapatan kanopi 81 –
90%. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan bokkkoi akan kontinuitas tajuk dalam
melakukan lokomosinya.

Implikasi Pengelolaan
Kawasan PT SSS berperan penting dalam konservasi bokkoi diluar kawasan
konservasi. Rencana pengelolaan yang baik dan terarah dibutuhkan agar program
konservasi bokkoi dapat berjalan. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa
terdapat tiga variabel yang berpengaruh signifikan terhadap keberadaan dan jumlah
individu bokkoi di suatu lokasi yaitu kerapatan vegetasi pada tingkat tiang, pohon
dan kelerengan. Berdasarkan ketiga variabel tersebut, maka lokasi yang dapat
digunakan sebagai areal pengelolaan bokkoi disajikan pada Gambar 16. Penentuan
area pengelolaan tersebut didasarkan atas irisan dari polygon penggunaan dominan
pada ketiga variabel. Meskipun berdasarkan hasil analisis regresi kerapatan pohon
pakan tidak tergolong berpengaruh signifikan, namun pakan merupakan kebutuhan
penting bagi mahluk hidup, termasuk bokkoi. Pengayaan jenis pohon pakan (Tabel
4) serta pengaturan waktu tanam dapat dilakukan guna menjamin ketersediaan
pakan bokkoi sepanjang tahun. Selain itu beberapa jenis pohon yang digunakan
bokkoi untuk istirahat seperti Endospermum diadenum, Shorea sororia, Baccaurea
deflexa, dan Pternandra cordata juga dapat ditanam diareal pengelolaan bokkoi.

Gambar 16 Peta lokasi pengelolaan bokkoi di PT SSS

22

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Komponen penyusun habitat bokkoi yang mempengaruhi keberadaan dan
jumlah individu bokkoi yaitu kelerengan (fisik) dan kerapatan vegetasi pada tingkat
tiang dan pohon (biotik). Aktivitas lokomosi dilakukan ditanah dengan kelerengan
yang datar, sedangkan lokomosi yang dilakukan di pohon, bokkoi membutuhkan
kontinuitas tajuk. Lokasi yang memiliki tingkat kerapatan tiang dan pohon yang
cukup tinggi, gangguan yang rendah serta kelerengan yang agak curam,
dimanfaatkan bokkoi untuk aktivitas istirahat. Aktivitas makan akan sangat
bergantung pada keberadaan vegetasi pakan baik pada tingkat tiang ataupun pohon.
Aktivitas sosial yang dilakukan bokkoi membutuhkan kerapatan tiang yang tinggi,
kerapatan pohon yang rendah serta kelerengan yang tergolong landai hingga curam.

Saran
Jenis-jenis yang tergolong vegetasi pakan ataupun yang digunakan untuk
istirahat harus dipertahankan. Pengayaan jenis pakan serta pengaturan waktu tanam
dapat dilakukan guna menjamin ketersediaan pakan bokkoi sepanjang tahun. Selain
itu, perlu ditanami jenis-jenis pohon

Dokumen yang terkait

Keragaman Spora FMA Hasil Isolasi dari Bawah Tegakan Dipterocarpaceae (di Areal IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat)

0 6 61

Penyusunan model penduga volume pohon jenis Keruing (Dipterocarpus sp.) di IUPHHK-HA PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Sumatera Barat

0 4 129

Kehilangan Cadangan Karbon pada Pemanenan Secara Mekanis (Studi Kasus Konsesi Hutan PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut Provinsi Sumatera Barat)

1 5 113

Emisi Karbon Potensial Akibat Pemanenan Kayu Secara Mekanis di Hutan Alam Tropis (Kasus Konsesi Hutan PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Provinsi Sumatera Barat)

1 15 171

Pola Sebaran Jenis Keruing (Dipterocarpus spp.) di Areal Konsesi Hutan PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Sumatera Barat

0 3 27

Kualitas Tanah pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Areal IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat

0 6 30

Karakteristik Habitat Joja (Presbytis potenziani Chasen & Kloss, 1928) di Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera, Sumatera Barat

0 3 33

Pemulihan Vegetasi di Areal Hutan yang Dikelola dengan Sistem TPTJ (Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat)

0 2 36

Karakteristik Habitat Bekantan (Nasalis Larvatus, Wurmb 1787) Di Iuphhk-Ha Pt Indexim Utama, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah

0 6 32

PELAKSANAAN HUBUNGAN WEWENANG PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI DENGAN PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT DALAM PENANGGULANGAN BENCANA (STUDI BENCANA DI KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI).

0 0 6