Keragaman Spora FMA Hasil Isolasi dari Bawah Tegakan Dipterocarpaceae (di Areal IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat)

(1)

I. PENDAHULUAN

Mikoriza adalah mikroorganisme tanah yang berasosiasi dengan akar tanaman. Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) merupakan salah satu jenis mikoriza yang bersifat obligat dan paling banyak berasosiasi dengan tanaman inang. FMA menerima hasil fotosintesis tanaman, yaitu karbon sebesar 15-25% dan paling banyak menyediakan nitrogen dan posfor untuk tanaman inang (Springer dan Heidelberg 2008).

Keberadaan FMA sangat penting dalam kaitannya dengan kesuburan tanah dari suatu ekosistem, terutama dalam ekosistem hutan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara keberadaan mikoriza di suatu tempat dengan kondisi lahan dan pertumbuhan suatu jenis pohon (Giri et al. 2004, Rydlova dan Vosatka 2001, Wang et al. 2005, Nandakwang et al. 2008, Osorio dan Habte 2001). Sebagai organisme yang bersifat simbiotik, keberadaan inang sangat menguntungkan bagi mikoriza dan keberadaan mikoriza sangat menguntungkan bagi inang.

Keberadaan mikoriza sangat bergantung pada vegetasi yang ada di sekitarnya. Potensi dari simbiosis FMA dengan tumbuhan sangat penting untuk dimanfaatkan bagi kepentingan budidaya tumbuhan tersebut terutama pada lahan marginal. Hal tersebut mengingat besarnya manfaat FMA bagi tanaman di antaranya: meningkatkan penyerapan unsur hara untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman (Jia et al. 2004), meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen akar (Sikes 2009), mengurangi logam berat di areal bekas tambang (Turnau 2008), dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan (Quilambo 2005).

Penggalian potensi keragaman mikoriza dalam suatu tipe ekosistem sangat diperlukan karena peranan mikoriza dalam kestabilan ekosistem. Sebagai contoh ialah penggalian potensi keragaman FMA di bawah tegakan Dipterocarpaceae yang ada di areal IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma. Tujuan dari penelitian ini ialah menganalisis keanekaragaman FMA di ekosistem hutan Dipterocarpaceae di PT Sari Bumi Kusuma.


(2)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fungi Mikoriza Arbuskula

Mikoriza pada hakikatnya adalah struktur yang terbentuk oleh akar dan fungi secara simbiotik. Kedua simbion mendapat manfaat. Umumnya tumbuhan yang memiliki akar yang bersangkutan dapat dibantu dalam penyerapan air dan hara mineral dalam tanah. Hifa fungi bertindak sebagai akar-akar rambut dan berfungsi menyerap air serta hara dalam tanah, kemudian memberikannya kepada tanaman (Fakuara 1988), dan fungi memperoleh bahan-bahan organik dari tumbuhan.

Smith dan Read (2008) membagi mikoriza ke dalam dua subdivisi besar yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Ektomikoriza dicirikan dengan mantel dan jaring Hartig hifa interselular di akar pohon, sedangkan endomikoriza memiliki ciri hifa intraselular. Endomikoriza terdiri atas fungi mikoriza arbuskula, ericoid mikoriza, arbutoid mikoriza, monotropoid mikoriza, ektendomikoriza dan orchid mikoriza.

FMA termasuk ke dalam kelas Zygomycetes, dengan ordo Glomales yang mempunyai 2 sub-ordo, yaitu Gigasporineae dan Glomineae. Gigasporineae dengan famili Gigasporaceae mempunyai dua genus, yaitu Gigaspora dan

Scutellospora. Glomaceae mempunyai empat famili, yaitu famili Glomaceae dengan genus Glomus dan Sclerocystis, famili Acaulosporaceae dengan genus

Acaulospora dan Entrophospora, Paraglomaceae dengan genus Paraglomus, dan Archaeosporaceae dengan genus Archaeospora (INVAM 2008) seperti tampak pada Gambar 1.

FMA adalah fungi obligat yang paling banyak bersimbiosis dengan jenis tanaman inang. Tanaman yang bersimbiosis dengan FMA antara lain angiospermae, gimnospermae, pterodopita, dan semua tanaman yang memiliki akar (Read et al. 2000). FMA dicirikan dengan adanya intraradikal hifa, arbuskula, ekstraradikal miselium (hifa yang menghubungkan akar dengan tanah), dan spora yang terbentuk di ekstraradikal miselium. Beberapa jenis fungi membentuk intraradikal struktur yang disebut sebagai vesikel (hifa yang membesar yang berisikan lemak).


(3)

Gambar 1 Klasifikasi mikoriza (INVAM 2008)

Arbuskula adalah struktur yang berfungsi sebagai tempat pertukaran metabolit antara fungi dan tanaman. Adanya arbuskula sangat penting untuk mengidentifikasi bahwa telah terjadi infeksi pada akar tanaman. Vesikula berbentuk globose dan berasal dari menggelembungnya hifa internal FMA. Vesikula berfungsi sebagai organ reproduktif atau organ yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan makanan yang kemudian diangkut ke dalam sel, tempat pencernaan oleh sel berlangsung.

Sampai saat ini ada 6 genus fungi yang termasuk ke dalam FMA. Karakteristik yang khas untuk masing-masing genus ialah sebagai berikut:

1. Glomus

Spora berbentuk bulat dan jumlahnya banyak. Jumlah dinding spora berlapis-lapis terdiri dari empat lapisan, tidak bereaksi dengan larutan Melzer, tidak memiliki ornamen. Ada dudukan hifa (subtending hyphae) lurus berbentuk silinder. Warna sporanya bening, hialin (transparan), putih, kuning, atau coklat. Ukuran spora rata-rata 259 μm (INVAM 2008).


(4)

2. Paraglomus

Spora berbentuk bulat dengan warna kuning, semi transparan, dan bening. Jumlah dinding spora terdiri dari tiga lapisan transparan. Dudukan hifa berbentuk silinder. Ukuran spora rata-rata 85μm (INVAM 2008).

3. Gigaspora

Sporanya bereaksi dengan larutan Melzer secara menyeluruh, tidak memiliki ornamen. Hifa membentuk suspensor bulbous atau dudukan hifa yang membulat. Memiliki sel auksilari yang merupakan perwujudan vesikula eksternal. Warna sporanya kuning cerah. Spora berbentuk bulat dengan ukuran rata-rata 321μm. Spora dinding terdiri dari tiga lapisan (INVAM 2008).

4. Scutellospora

Proses perkembangan Scutellospora sama dengan Gigaspora, untuk membedakan dengan genus Gigaspora, pada Scutellospora terdapat lapisan kecambah. Bila berkecambah, hifa ke luar dari lapisan kecambah tadi. Spora bereaksi dengan larutan Melzer secara menyeluruh. Warna sporanya merah coklat ketika bereaksi dengan larutan Melzer. Ukuran sporanya rata-rata 165 μm (INVAM 2008).

5. Acaulospora

Proses perkembangan spora Acaulospora seolah-olah dari hifa tapi sebenarnya tidak. Pertama-tama ada hifa yang ujungnya membesar seperti spora yang dibuat hifa terminal. Di antara hifa terminal dan dudukan hifa akan timbul bulatan kecil yang semakin lama semakin besar. Lapisan luar tidak bereaksi dengan larutan Melzer, tetapi lapisan dalam bereaksi dengan larutan Melzer (warna lebih gelap–merah keunguan). Sporanya memiliki beraneka bagian, bergantung kepada jenisnya, misalnya bentuk duri pada A. spinosa dan berbentuk tabung pada A. tuberculata. Warna sporanya dominan merah. Dinding spora terdiri dari tiga lapisan. Ukuran sporanya rata-rata 279 μm (INVAM 2008).

6. Entrophospora

Proses perkembangan spora Entrophospora hampir sama dengan proses perkembangan spora Acaulospora, yaitu di antara hifa terminal dengan dudukan hifa. Warna sporanya kuning coklat. Jika spora belum matang, warnaya tampak


(5)

jauh lebih buram. Spora berbentuk bulat dengan ukuran rata-rata 121 μm. Dinding spora terdiri dari dua lapisan (INVAM 2008).

2.2. Ekologi Fungi Mikoriza Arbuskula

Lebih dari 80% tanaman dapat bersimbiosis dengan FMA. FMA telah diidentifikasi di berbagai jenis tanaman, termasuk beberapa jenis tanaman gimnospermae dan mayoritas angiospermae (Peterson et al. 2004). Beberapa angiospermae yang tidak bersimbiosis dengan FMA, di antaranya yaitu Brassicaceae (kanola, sawi, kubis, dan lain-lain) dan Chenopodiaceae (bayam dan genus Chenopodium) (Peterson et al. 2004). Beberapa famili tanaman air mungkin memiliki tingkat kolonisasi yang rendah dengan FMA. FMA telah dipelajari dengan sangat intensif di banyak ekosistem di dunia dan ditemukan di banyak jenis tegakan yang penting antara lain: gandum, kedelai, padi, jagung, anggur, pohon buah-buahan, dan kapas (Peterson et al. 2004).

FMA yang banyak ditemukan berasal dari genus Acaulospora dan

Glomus. Hutan alami dengan beragam umur tanaman dan jenisnya sangat mendukung pertumbuhan FMA. Konservasi hutan untuk pertanian akan mengurangi keragaman jenis dan jumlah FMA karena jenis tanaman, unsur hara yang tersedia, dan kandungan bahan organik tanah telah berubah. Praktik pertanian seperti pengolahan tanah, perbaikan bahan organik, pemupukan, dan penggunaan pestisida sangat berpengaruh terhadap keberadaan FMA (Joner 2000). Pengolahan tanah yang intensif akan merusak jaringan hifa eksternal, sebaliknya pengolahan tanah minimal akan meningkatkan populasi FMA. Sistem tumpang sari atau pengiliran tanaman juga dapat meningkatkan populasi FMA (McGonigle et al. 1999).

2.3. Manfaat Mikoriza

Manfaat asosiasi FMA dengan tanaman antara lain: meningkatkan pengangkutan nutrisi, meningkatkan penyerapan mikronutrisi, meningkatkan aktivitas mikroorganisme, meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan, dan memperbaiki struktur tanah. Kontribusi FMA terhadap pengangkutan nutrisi untuk tanaman terutama ialah penyerapan nutrisi (khususnya P) dari dalam tanah melalui hifa ekstraradikal (Peterson et al. 2004). Mayoritas mikoriza mendapatkan


(6)

karbohidrat dari tanaman inang yang merupakan hasil fotosintesis dari tanaman inang. Mekanisme translokasi nutrisi oleh fungi ke tanaman inang memberikan pengaruh yang signifikan dalam pertumbuhan tanaman (Springer dan Heidelberg 2008). Hifa fungi memiliki fungsi yang sama seperti rambut akar yaitu sebagai organ penyerapan nutrisi. Ukuran diameter rambut akar yaitu 5–20 μm (Wulfshon dan Nyengaard 1999), sedangkan diameter hifa FMA yaitu 3–7 μm (Dodd et al.

2000), sehingga jangkauan hifa FMA lebih jauh dibandingkan dengan rambut akar (Dodd et al. 2000). Selain itu, FMA memiliki enzim posfatase yang dapat merubah P yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Joner et al. 2000).

Mikronutrisi sangat diperlukan oleh tanaman walaupun dalam jumlah yang sedikit. Mikronutrisi sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Elemen mikronutrisi antara lain yaitu besi, zink, magnesium, mangan, dan kobalt. FMA membantu tanaman melalui dua cara, yang pertama FMA membantu dalam penyerapan elemen mikronutrisi yang relatif immobile, dan yang kedua FMA menyerap elemen mikronutrisi dan menyimpannya untuk mencegah elemen tersebut mencapai tingkat beracun (Springer dan Heidelberg 2008).

Asosiasi mikoriza dapat meningkatkan penyerapan nutrisi dan produksi biomasa total (Jia et al. 2004). Kolonisasi FMA terbanyak dijumpai pada tanah dengan kandungan N yang rendah (Jia et al. 2004), oleh karena itu keberadaan FMA akan meningkatkan mikroorganisme lain yang dapat memfiksasi N dari udara, seperti Rhizobium. Adanya Rhizobium pada tanah ditandai dengan adanya nodul pada akar yang akan meningkatkan penyerapan N tanaman.

Banyak penelitian melaporkan bahwa tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan dengan tanaman yang tidak bermikoriza (Musfal 2010). Mekanisme translokasi dan penyerapan langsung air melalui jaringan hifa sama dengan cara penyerapan nutrisi. Kemungkinan pengaruh kolonisasi mikoriza pada tanaman tahan kekeringan, terkait dengan penyerapan nutrisi (Smith dan Read 2008). Pada tanah kering, ketersedian nutrisi menjadi berkurang karena adanya peningkatan proses difusi (Peterson et al. 2004).

Struktur tanah menentukan karakteristik laju penyerapan, siklus biogeokimia, ketahanan erosi, dan penyimpanan C (Rilig 2004). Bahan organik


(7)

tanah memiliki peranan utama dalam agregasi tanah. Akumulasi bahan organik berfungsi untuk aktivitas biotik (Six et al. 2000). Hifa FMA melibatkan partikel tanah untuk membentuk tanah menjadi agregat, dengan agregat yang lebih kecil dan kuat dibandingkan dengan agregat yang lebih besar (Musfal 2010).

2.4. Famili Dipterocarpaceae

Menurut Appanah dan Turnbull (1998), famili Dipterocarpaceae memiliki tiga sub famili, yaitu Dipterocarpoidae, Pakaraimoideae, dan Monotoideae. Di antara ketiga sub famili tersebut, Dipterocarpoidae merupakan sub famili yang terpenting karena memiliki jumlah jenis yang banyak dan bernilai komersil. Sub famili Dipterocarpaceae ini memiliki 13 genus dan 470 jenis. Famili Dipterocarpaceae yang terdapat di Indonesia adalah Anisoptera (Mersawa),

Cotylelobium, Dipterocarpus (Keruing), Dryobalanops (Kapur), Hopea (Giam),

Parashorea, Shorea (Meranti), Vatica (Resak) dan Upuna.

Menurut Appanah dan Turnbull (1998), sifat umum dari famili Dipterocarpaceae antara lain pohon berukuran besar atau kecil, berdamar dan selalu menghijau. Pada umumnya batang berbanir, dan biasanya kulit luar bersisik atau beralur dan seringkali mengelupas. Daun tunggal dengan kedudukan berselang-seling (alternate), bertepi rata atau beringgit, bertulang sirip, seringkali berdaging, daun penumpu (stipula) besar atau kecil dan seringkali mudah rontok.

Lebih lanjut Appanah dan Turnbull (1998) mengemukakan bahwa bunga berkelamin dua, terletak di ujung ranting atau di ketiak daun dalam bentuk malai atau tandan. Daun kelopak berjumlah 5 helai, seringkali menyerupai sayap. Daun mahkota berjumlah 5 helai, berpilin dalam kuncup dan dasar lepas atau berlekatan. Benang sari berjumlah 5–110 dan melebar dalam satu atau beberapa baris. Tangkai sari umumnya bebas, pendek, seringkali pangkalnya melebar dan beberapa di antaranya sukar rontok. Bakal buah beruang 3 (jarang 2) atau beruang 1 tidak sempurna. Bakal biji berjumlah 2–3 pada setiap ruang, menempel pada dinding. Buah kebanyakan tidak memecah, berbiji satu, kulit buah mengeras (mengayu).

Kebanyakan dari jenis-jenis Dipterocarpaceae bersifat toleran terhadap intensitas cahaya pada saat semai dan intoleran setelah mencapai tahap pancang dan tiang (Appanah dan Turnbull 1998). Sebagian dari jenis Dipterocarpaceae


(8)

yang toleran terutama yang memiliki kayu dengan berat jenis yang tinggi (tenggelam) contohnya Dipterocarpus spp. dan sebagian lagi tergolong semi toleran, yaitu jenis-jenis yang memiliki kayu dengan berat jenis rendah (terapung) contohnya Shorea spp., Hopea spp. Kebutuhan cahaya untuk keperluan pertumbuhan waktu muda (tingkat anakan) berkisar antara 50–75 % dari cahaya total. Untuk jenis semi toleran, anakan membutuhkan naungan 3–4 tahun atau sampai tanaman mencapai tinggi 1–3 meter. Sedangkan jenis yang toleran lebih lama lagi, yaitu sampai 5–8 tahun. Menurut Appanah dan Turnbull (1998), sebagian besar jenis-jenis Dipterocarpaceae terdapat pada daerah beriklim basah dan kelembaban yang tinggi di bawah ketinggian 1.000 m dpl, dengan rata-rata curah hujan tahunan mencapai 2.000 mm dan musim kemarau yang pendek.

Jenis-jenis Dipterocarpaceae sebagian besar menghendaki tanah kering yang bereaksi sedikit masam, bersolum dalam, dan banyak mengandung liat. Pada tanah berkapur ditemukan H. aptera, S. guiso dan S. harilandii. Pada hutan kerangas biasanya ditemukan C. burckii, D. fusca, H. karanganensis, S. coriacea, S. ratusa, V. coriacea, dan D. bornensis. Pada tanah berpasir biasanya ditemukan

S. falcifera, H. beccariana, dan U. borneensis. Pada tanah bergambut banyak ditemukan D. rappa, A. marginata, S. albida dan D. coriaceus.

Famili Dipterocarpaceae menyebar mulai dari Afrika, Seychelles, Ceylon hingga Semenanjung India, selanjutnya di India Timur, Bangladesh, Burma, Tahiland, Indocina, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Philipina (Appanah dan Turnbull 1998). Secara alami jenis-jenis Dipterocarpaceae merupakan hutan alam campuran yang tersebar luas pada berbagai topografi dan jarang ditemukan hutan-hutan Dipterocarpaceae murni atau berkelompok.


(9)

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung selama 4 bulan yaitu dari bulan Pebruari–April 2011, dan dilanjutkan bulan Juni–Agustus 2011.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah sampel tanah, larutan glukosa 60%, larutan Melzer, dan aquades. Alat-alat yang digunakan ialah mikroskop stereo, cawan Petri, timbangan, pipet tetes, tusuk gigi, pinset, tabung film, tabung gelas, kuteks, gelas objek dan penutup, sentrifus, saringan spora (saringan bertingkat dengan diameter lubang berukuran 500 μm, 250 μm, 125 μm, dan 63 μm), dan software minitab16.

3.3. Metode Penelitian Sampel Tanah

Sampel tanah diambil dari PT Sari Bumi Kusuma. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada tiga lokasi yang berbeda yaitu lokasi 1, 2, dan 3. Dari tiap lokasi diambil delapan sampel tanah. Dari tiap sampel tanah diambil contoh sebanyak 50 gram. Data mengenai sifat fisik dan kimia tanah di setiap lokasi diperoleh dari PT Sari Bumi Kusuma.

Isolasi Spora

Isolasi spora FMA dilakukan dengan menggunakan metoda tuang basah (Vilarino dan Arines 1990). Tanah diletakkan di atas saringan spora empat tingkat dengan diameter lubang 500 μm, 250 μm, 125 μm, dan 63 μm, lalu dialirkan air untuk menghancurkan tanah tersebut. Tanah yang menempel pada saringan yang berukuran 63 μm dikumpulkan dalam tabung gelas.

Tanah-tanah tersebut dituangkan ke dalam tabung sentrifus, dan ke dalamnya dituangkan larutan glukosa 60% sampai terisi 2/3 isi tabung. Lalu dikocok sebelum dimasukkan ke dalam mesin sentrifus. Sentrifugasi dilakukan selama lima menit dengan kecepatan 3000 rpm. Supernatan disedot lalu disaring pada saringan yang berukuran 63 μm. Lalu dicuci dengan air mengalir yang deras


(10)

untuk menghilangkan larutan gula yang masih tertinggal. Spora yang menempel pada saringan dipindahkan ke dalam cawan Petri untuk diidentifikasi.

Identifikasi Spora FMA

Identifikasi spora berupa penentuan genus spora dilakukan berdasarkan ciri morfologi. Spora diletakkan di preparat, lalu ditetesi dengan larutan Melzer. Spora dipecahkan untuk melihat reaksi antara lipid yang ada di dalam spora dengan larutan Melzer.

Pengamatan

Peubah yang diamati dalam penelitian ini ialah (1) kepadatan spora, (2) keragaman spora, (3) kelimpahan relatif, dan (4) frekuensi spora. Masing-masing peubah dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kepadatan spora = Jumlah spora/50 gram tanah Kekayaan spora = Jumlah genus pada 50 gram tanah Kelimpahan Relatif = Jumlah genus x 100%

total spora

Frekuensi = Jumlah sampel ditemukan spora x 100%


(11)

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Luas

Areal PT Sari Bumi Kusuma terletak pada 112033‟–113014‟ Bujur Timur dan 00001‟–00033‟ Lintang Selatan. Areal tersebut termasuk ke dalam dua kelompok hutan, yaitu kelompok hutan Sungai Ambalau dan Kelompok hutan Sungai Jengunui. Administrasi pemerintahannya termasuk ke dalam Kecamatan Nangah Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, dan menurut administrasi kehutanan kelompok hutan ini termasuk wilayah Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Barat.

Berdasarkan SK Menhut No. 201/Kpts-II/1998 tanggal 27 Pebruari 1998, Luas areal kerja total PT Sari Bumi Kusuma Blok S. Seruyan dan Katingan adalah 146.700 ha. Tutupan lahan berdasarkan penafsiran citra landsat tahun 2007 terdiri atas areal berhutan primer 4.507 ha, berhutan bekas tebangan 110.002 ha, belukar tua 25.389 ha, belukar muda 5.674 ha, dan areal tertutup awan 2.028 ha.

4.2. Keadaan Lapangan

Keadaan lapangan seluruhnya merupakan tanah kering dengan ketinggian tempat antara 100–500 m dpl. Keadaan topografi areal kerja terdiri dari 5% datar, 20% berombak, 40% bergelombang, dan 35% berbukit. Jenis tanahnya ialah podsolik merah kuning.

4.3. Iklim

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, areal PT Sari Bumi Kusuma tergolong tipe A dengan curah hujan rata 282,33 mm/bulan dan rata-rata hari hujan 12,08 hari. Suhu rata-rata-rata-rata berkisar antara 22–28 0C pada malam hari dan 30–33 0C pada siang hari. Bulan kering adalah bulan Juni sampai September. Kelembaban nisbi di areal kerja IUPHHK berkisar antara 85–95%. Kelembaban nisbi terkecil terjadi pada bulan September dan terbesar pada bulan Juli dan Desember. Kecepatan dan arah angin di wilayah kerja PT Sari Bumi Kusuma berkisar antara 7–9 knot dengan kecepatan angin terbesar terjadi pada bulan Agustus dan Desember.


(12)

4.4. Vegetasi

Berdasarkan tipe hutannya areal hutan IUPHHK PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat termasuk ke dalam tipe Hutan Tropika Basah dengan komposisi jenis didominasi oleh Dipterocarpaceae seperti S. stenopten, S. leprosula, S. johorensis, S. parvifolia, S. platyclados, S. macrophylla, Dyera costulata, dan


(13)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil

Sifat Fisik Dan Kimia Tanah di PT Sari Bumi Kusuma

Data sifat fisik dan kimia tanah pada ekosistem Dipterocarpaceae di PT Sari Bumi Kusuma dapat dilihat pada Tabel 1, 2, dan 3.

Tabel 1 Karakteristik fisik tanah di PT Sari Bumi Kusuma Tipe lokasi Kedalaman (cm) Bobot isi (g/cc) Porositas (%) Permeabilitas (cm/jam) Tekstur

Lokasi 1 0-20 1,20 54,54 4,42 Lempung liat berpasir

Lokasi 2 0-20 0,99 62, 39 7,76 Lempung liat berpasir Lokasi 3 0-20 1,15 56, 62 2,94 Lempung liat berpasir

Berdasarkan Tabel 1 tiap lokasi memiliki tekstur tanah yang sama yaitu lempung liat berpasir. Lokasi dua memiliki nilai porositas dan permeabilitas yang tertinggi dibandingkan dengan lokasi satu dan tiga. Sedangkan lokasi satu memiliki nilai bobot isi yang lebih tinggi di antara kedua lokasi lainnya.

Tabel 2 Karakteristik kimia tanah di PT Sari Bumi Kusuma Tipe lokasi Kedalaman

(cm) C-org (%) N-tot (%) P (ppm)

Kation (me/100 g) KTK (me/100

g)

Ca Mg K Na

Lokasi 1 0-20 2,16 0,16 4,10 2,30 1,60 0,55 0,29 9,42 Lokasi 2 0-20 2,53 0,18 5,10 1,60 1,07 0,50 0,30 8,44 Lokasi 3 0-20 1,98 0,15 4,10 2,40 1,37 0,56 0,30 9,04

Berdasarkan Tabel 2, lokasi dua memiliki nilai C-organik, N-total, dan P yang lebih tinggi di antara kedua lokasi lainnya. Lokasi satu memiliki nilai KTK yang cukup tinggi dibandingkan dengan lokasi tiga dan dua.


(14)

Tabel 3 pH tanah dan kandungan Al di PT Sari Bumi Kusuma Tipe lokasi Kedalaman

(cm)

pH (H2O)

Al (me/100 g)

Lokasi 1 0-20 4.93 0,90

Lokasi 2 0-20 4,76 1,84

Lokasi 3 0-20 4,90 1,20

Berdasarkan Tabel 3, nilai pH pada ketiga lokasi menunjukkan perbedaan nilai yang tidak signifikan di antara ketiga lokasi. Nilai Al pada lokasi dua memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi satu dan tiga.

Kepadatan Spora

Jumlah spora FMA yang dijumpai pada masing-masing lokasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Kepadatan spora tiap lokasi

Kepadatan spora di lokasi tiga lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi satu dan dua. Nilai kepadatan spora FMA tidak dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia tanah. Hasil analisis regresi antara sifat fisik dan kimia tanah dengan kepadatan spora dapat dilihat pada Tabel 4.


(15)

Tabel 4 Hasil analisis regresi antara sifat fisik dan kimia tanah dengan nilai kepadatan spora

Sifat fisik dan kimia tanah Persamaan

Bobot isi Nilai kepadatan spora = -0,32 + (2,68*Bobot isi), R2 = 3,9% Porositas Nilai kepadatan spora = 6,72 + (0,07*Porositas), R2 = 3,7% Permeabilitas Nilai kepadatan spora = 3,52 – (0,170*Permeabilitas),

R2 = 8,0%

C-org Nilai kepadatan spora = 6,01 – (1,50*C-org), R2 = 8,1% N-tot Nilai kepadatan spora = 7,19 – (27,7*N-tot), R2 = 8,1% Posfor Nilai kepadatan spora = 5,44 – (0,625*P), R2 = 5,9% pH Nilai kepadatan spora = -14,2 + (3,47*pH), R2 = 4,5% Al Nilai kepadatan spora = 3,39 – (0,551*Al), R2 = 3,2%

Berdasarkan hasil regresi pada Tabel 4 terlihat bahwa nilai R2 dari sifat fisik dan kimia tanah yang diuji tidak mencapai selang kepercayaan 95% (α=5%). Hal ini menunjukkan bahwa sifat fisik dan kimia tanah tidak berpengaruh nyata terhadap kepadatan FMA di areal PT Sari Bumi Kusuma.

Keragaman Spora

Keragaman spora merupakan kekayaan jenis spora yang merupakan hasil identifikasi sampai pada tingkat genus. Identifikasi FMA dilakukan dengan bantuan larutan Melzer. Lipid yang terkandung di dalam spora akan bereaksi dengan larutan Melzer. Genus Glomus tidak bereaksi terhadap larutan Melzer. Genus Gigaspora dan Scutellospora bereaksi secara menyeluruh dengan larutan Melzer, hal ini dicirikan dengan adanya perubahan warna menjadi warna merah coklat. Lapisan luar genus Acaulospora tidak bereaksi dengan larutan Melzer tetapi lapisan dalam bereaksi dengan Melzer dengan adanya perubahan warna menjadi warna merah keunguan. Genus spora FMA yang ditemukan adalah

Glomus, Acaulospora, Gigaspora, dan Scutellospora dapat dilhat pada Gambar 3.

Gambar 3 Spora FMA (a) Glomus; (b) Acaulospora; (c) Gigaspora; (d)

Scutellospora


(16)

Tabel 5 Keragaman spora di PT Sari Bumi Kusuma

Sampel tanah Nilai Keragaman FMA

Lokasi 1 3 (Glomus, Acaulospora, Gigaspora) Lokasi 2 3 (Glomus, Acaulospora, Gigaspora) Lokasi 3 3 (Glomus, Acaulospora, Scutellospora)

Nilai keragaman spora FMA pada setiap lokasi sama yaitu tiga genus (Tabel 5), tetapi macam genus di lokasi satu dan dua berbeda dengan lokasi tiga. Genus Glomus dan Acaulospora ditemukan pada semua lokasi. Genus Gigaspora

ditemukan pada lokasi satu dan dua, sedangkan genus Scutellospora hanya ditemukan pada lokasi tiga.

Kelimpahan Spora

Besarnya kelimpahan genus spora FMA dalam lokasi di areal PT Sari Bumi Kusuma dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Kelimpahan spora FMA dalam ekosistem PT Sari Bumi Kusuma

Glomus memiliki nilai kelimpahan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tiga genus lainnya, yaitu sebesar 48,43%, sedangkan Gigaspora memiliki nilai terendah, yaitu sebesar 3,13%.

Frekuensi Spora

Frekuensi spora berkaitan dengan penyebaran spora pada lokasi tempat pengambilan sampel tanah. Frekuensi spora pada areal PT Sari Bumi Kusuma disajikan pada Gambar 5.


(17)

Gambar 5 Frekuensi sebaran genus spora FMA di areal PT Sari Bumi Kusuma Genus Glomus memiliki frekuensi paling besar dengan nilai 79,17%. Hal ini menunjukkan bahwa genus Glomus penyebarannya 79,17% dari tiga lokasi yang ada di areal PT Sari Bumi Kusuma. Genus Gigaspora memiliki nilai frekuensi spora yang terendah yaitu sebesar 8,33%, berarti keberadaan penyebarannya hanya 8,33% dari tiga lokasi yang ada di areal PT Sari Bumi Kusuma.

5.2. Pembahasan

Keberadaan mikoriza di dalam tanah dapat mempengaruhi sifat fisik dan kimia tanah. Mikoriza yang telah berasosiasi dengan akar tanaman dapat membantu tanaman untuk menyerap unsur hara (khususnya P dan N) (Jia et al.

2004) maupun memperbaiki struktur tanah (Musfal 2010). Keberadaan mikoriza sangat penting bagi tanaman terutama di lahan marjinal (Yassir dan Budi 2007).

Kepadatan spora di setiap ekosistem berbeda-beda tergantung terhadap kesuburan lahan dan struktur tanah. Kepadatan spora yang berbeda di setiap ekosistem di PT Sari Bumi Kusuma dapat disebabkan kondisi lingkungan yang lebih sesuai, optimal, dan kompatibel dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan spora FMA pada ekosistem tiga. Kepadatan spora FMA pada areal PT Sari Bumi Kusuma tergolong rendah. Hal ini dikarenakan tegakan Dipterocarpaceae pada umumnya lebih banyak berasosiasi dengan fungi ektomikoriza (Tata 2008). Nilai kepadatan spora yang rendah juga ditemukan di Kebun Percobaan Sukamulya yaitu sebanyak 32 spora dengan genus Glomus,


(18)

Acaulospora, dan Scutellospora (Hartoyo et al. 2011). FMA jumlahnya tergolong banyak jika dalam 50 gram tanah terdapat 5–100 spora berukuran besar atau 50– 500 spora berukuran kecil (Brundrett et al. 1996). Keberadaan FMA ditegakan Dipterocarpaceae sangat penting, karena FMA dapat meningkatkan konsentrasi P, K, Mg, dan Ca di dalam tanah ultisol pada tegakan Dipterocarpaceae (Palmiotto et al. 2004).

Nilai keragaman FMA yang sama pada areal PT Sari Bumi Kusuma dapat disebabkan oleh jenis tanah pada setiap ekosistem sama yaitu podsolik merah kuning dan vegetasi pada ketiga ekosistem yang didominasi oleh jenis meranti. Genus Glomus memiliki nilai kelimpahan relatif dan frekuensi yang tinggi dibandingkan dengan genus lainnya di PT Sari Bumi Kusuma. Nilai kelimpahan relatif yang tertinggi adalah genus Glomus. Jumlah populasi Glomus yang tinggi ini disebabkan Glomus merupakan genus yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik dan Glomus mempunyai jenis yang paling banyak. Dari 172 Jenis FMA yang sudah diidentifikasi diketahui Glomus adalah genus yang paling dominan (52,3%), diikuti Acaulospora (20,9%), Scutellospora (16,9%), Gigaspora (4,7%),

Entrophospora (2,3%), Archaeospora (1,7%), dan Paraglomus (1,2%) (INVAM 2008). Nilai frekuensi pada ekosistem di PT Sari Bumi Kusuma didominasi oleh genus Glomus. Hal ini juga dijumpai di Kebun Percobaan Gunung Putri, 10 dari 14 spora yang didapatkan ialah Glomus (Hartoyo et al. 2011).

Dominannya Glomus ini diperkirakan karena kemampuan Glomus untuk dapat tumbuh pada kisaran lingkungan yang lebih luas, mempunyai jenis yang paling banyak, dan mempunyai kemampuan adaptasi pertumbuhan terhadap lingkungan yang lebih besar dibandingkan dengan genus lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Glomus dapat tumbuh dengan baik pada tegakan Dipterocarpaceae di Areal PT Sari Bumi Kusuma. Tumbuh baiknya Glomus ini dapat disebabkan oleh faktor biotik dan abiotik yang mendukung untuk pertumbuhan Glomus.

Keanekaragaman FMA tidak mengikuti pola keanekaragaman tanaman (Allen et al. 1995). Sekitar 80% jenis tanaman bersimbiosis dengan FMA (Smith dan Read 2008). Genus spora pada lokasi satu dan dua ialah Glomus, Acaulospora, dan Gigaspora. Genus spora lokasi tiga ialah Glomus, Acaulospora,


(19)

dan Scutellospora. Terdapat perbedaan genus pada lokasi satu dan dua dengan lokasi tiga. Pada lokasi satu dan dua terdapat Gigaspora sedangkan pada lokasi tiga terdapat Scutellospora. Hal ini dapat diakibatkan pada lokasi tiga nilai permeabilitas dan kandungan C–organik lebih rendah dibandingkan dengan lokasi satu dan dua. Terlihat bahwa Glomus, Acaulospora, dan Scutellospora dapat hidup pada areal yang C–organik dan permeabilitas yang rendah. PT Sari Bumi Kusuma dapat memanfaatkan genus Glomus, Acaulospora, Gigaspora dan

Scutellospora untuk diinokulasikan pada bibit Dipterocarpaceae agar produktivitas pada areal tersebut dapat optimal. Hal ini karena berdasarkan hasil penelitian ini, tegakan Dipterocarpaceae juga dapat berasosiasi dengan FMA, walaupun secara alami Dipterocarpaceae berasosiasi dengan dengan ektomikoriza (Lee et al. 2008). Hasil penelitian Moyersoen et al. (2001) menunjukkan bahwa FMA dan ektomikoriza dapat berasosiasi pada tanaman Dipterocarpaceae.

Asosiasi mikoriza pada ekosistem Dipterocarpaceae sangat membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Smits 1994). Sifat fisik, kimia tanah, dan pH tanah di areal PT Sari Bumi Kusuma menentukan keragaman dan penyebaran FMA. Asosiasi antara tanaman dengan mikoriza merupakan simbiosis mutualistik yang dapat membantu pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik, terutama pada tanah-tanah marjinal. Hal ini karena FMA efektif dalam meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan mikro (Musfal 2010), meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan patogen (Sikes et al. 2009), meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan (Quilambo et al. 2005), dan dapat membantu petumbuhan tanaman pada daerah yang tercemar logam berat (Turnau


(20)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Terdapat empat genus spora FMA yang ditemukan di ekosistem PT Sari Bumi Kusuma. Genus yang ditemukan ialah Glomus, Acaulospora, Scutellospora, dan Gigaspora. Lokasi tiga memiliki kepadatan spora yang terbanyak dibandingkan dengan lokasi dua dan lokasi satu. Genus Glomus

memiliki nilai kelimpahan relatif dan frekuensi yang tertinggi sedangkan

Gigaspora memiliki nilai kelimpahan relatif dan frekuensi yang terendah. 2. Nilai kepadatan spora dalam ekosistem di PT Sari Bumi Kusuma tidak

dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia tanah, tetapi keragaman spora kemungkinan dipengaruhi oleh kandungan C–organik dan permeabilitas tanah.

6.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat efektifitas infeksi CMA terhadap pertumbuhan tanaman untuk setiap genus pada tegakan Dipterocarpaceae.


(21)

PT SARI BUMI KUSUMA KALIMANTAN BARAT)

HENDRA PRASETIA

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(22)

DAFTAR PUSTAKA

Allen EB, Allen MF, Helm DJ, Trappe JM, Molina R, Rincon E. 1995. Pattern and regulation of mycorrhizal plant and fungal diversity. Plant and Soil

170(1):47-62.

Appanah S, Turnbull JM, editor. 1998. A Review of Dipterocarps. Bogor: Center for International Forestry Research.

Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, and Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Canberra: BPD Graphic Associates.

Dodd JC, Boddington CL, Rodriguez A, Gonzalez-Chaves C, Mansur I. 2000. Mycelium of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) from different genera: form, function and detection. Plant Soil 226:131-151.

Fakuara Y. 1988. Mikoriza, Teori dan Kegunaannya Dalam Praktek. Bogor: PAU IPB.

Giri B, Kapor R, Agarwal L, Mukerji KG. 2004. Preinoculation with arbuscular mycorrhizae helps Acacia auriculiformis grow in degraded Indian wasteland soil. Comm in Soil Sci and Plant Anal 35:193-204.

Hartoyo B, Ghulamahdi M, Darusman LK, Aziz SA, Mansur I. 2011. Keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada rizosfer tanaman pegagan. J Littri 17(1):32-40.

INVAM [International Culture Collection of (Vesicular) Arbuscular Mycorrhizal Fungi]. 2008. International culture collection of (vesicular) arbuscular mycorrhizal fungi. [terhubung berkala]. http://invam.caf.wvu .edu/Myco-info/Taxonomy/ classification.htm. [20 Oktober 2011].

Ishak Y, Budi SW. 2007. Potensi dan status cendawan mikoriza arbuskula (CMA) pada lahan kritis di Samboja, Kalimantan Timur. J Info Hutan

2(4):139-151.

Jia Y, Gray VM, Straker CJ. 2004. The influence of rhizobium and arbuscular mycorrhizal fungi on nitrogen and phosphorus accumulation by Vicia faba. Annals of Botany 94:251-258.

Joner EJ. 2000. The effect of long-term fertilization with organic or inorganic fertilizers on mycorrhiza-mediated phosphorus uptake in subterranean clover. Biol Fertil Soils 32:435-440.

Joner EJ, van Aarle IM, Vosatka M. 2000. Posphatase activity of extra-radical arbuscular mycorrhizal hyphae: a review. Plant Soil 226:199-210.


(23)

Lee SS, Patahayah M, Chong WS, Lapeyrie F. 2008. Successful ectomycorrhizal inoculation of two Dipterocarp species with a locally isolated fungus in Peninsular Malaysia. J of Tropical Forest Science 20(4):237-247.

McGonigle TP, Miller MH, Young D. 1999. Mycorrhizae, crop growth, and crop phosphorus nutrition in maize-soybean rotation given various tillage treatments. Plant and Soil 210:33-42.

Moyersoen B, Becker P, Alexander J. 2001. Are ectomycorrhizas more abundant than arbuscular mycorrhizas in tropical heath forest? New Phytol 150:591-599.

Musfal. 2010. Potensi cendawan mikoriza arbuskula untuk meningkatkan hasil tanaman jagung. J Litbang Pertanian 29(4):154-158.

Nandakwang P, Elliot S, Youpersuk S, Lumyong S. 2008. Effects of arbuscular mycorrhizal inoculation and fertilizer on production of Castanopsis aciminatissima saplings for forest restoration in Northern Thailand.

Research J of Microbiol 3(4):225-236.

Osorio NW, Habte M. 2001. Synergistic influence of an arbuscular mycorrhizal fungus and a P solublizing fungus on growth and P uptake of Leucaena leucocephala in an oxisol. Arid land Research and Management 15:263-274.

Palmiotto PA, Davies SJ, Vogt KA, Ashton AS, Vogt DJ, Ashton PS. 2004. Soil-related habitat specialization in dipterocarpaceae rain forest tree species in Borneo. J of Ecol 92:609-623.

Peterson LR, Massicotte HB, Melville LH. 2004. Mycorrhizas: Anatomy and Cell Biology. Ottawa: NRC Research Press.

Quilambo OA, Weissenhorn I, Doddema H, Kuiper PJC, Stulen I. 2005. Arbuscular mycorrhizal inoculation of peanut in low-fertile tropical soil.II.alleviation of drought stress. J of Plant Nut 28:1645-1662.

Read DJ, Duckett JG, Francis R, Ligrone R, Russell A. 2000. Symbiotic fungal association in „lower‟ land plants. Phil Trans of the Roy Soc of Lnd Ser B Bio Sci 355:815-830.

Rillig MC. 2004. Arbuscular mycorrhizae, glomalin, and soil aggregation. Can J Soil Sci 84:355-363.

Rydlova J, Vosatka M. 2001. Associations of dominant plant species with arbuscular mycorrhizal fungi during vegetation development on coal mine spoil banks. Folia Geobot 36:85-97.


(24)

Sikes BA, Cottenie K, Klironomost JN. 2009. Plant and fungal identify determines pathogen protection of plant roots by arbuscular mycorrhizas.

J of Ecol 97:1274-1280.

Six J, Elliot ET, Paustian K. 2000. Soil macroaggregate turnover and microaggregate formation: a mechanism for C sequestration under no tillage agriculture. Soil Biol and Biochem 32:2099-2103.

Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis, 3rd Ed. London: Academic. Smits WTM. 1994. Dipterocarpaceae: Mycorrhizae and Regeneration.

University of Michigan: Tropenbos Foundation.

Springer, Heidelberg VB. 2008. Mycorrhiza: State of The Art, Genetics and Molecular Biology, Eco-Fucntion, Biotechnology, Eco-Physiology, Structure and Systematics, 3rd Ed. Varma A, editor. Germany: Acid-free paper.

Tata MHL. 2008. Mycorrhizae on Dipterocarpaceae in Rubber Agroforest (RAF) in Sumatra. University of Utrecht: Wohrmann Print Service, Zupthen.

Turnau K, Anelska T, Ryszka P, Gawronski, Ostachowicz B, Jurkiewicz A. 2008. Establishment of arbuscular mycorrhizal plants originating from xerothermic grassland on heavy metal rich industrial wastes-new solution for waste revegetation. Plant Soil 305:267-280.

Vilarno A, Arines J. 1990. An instrumental modification of Gerdemann and Nicholson‟s method for extracting VAM fungal spores from soil samples. Plant and Soil 121:211-215.

Wang F, Lin X, Yin R. 2005. Heavy metal uptake by arbuscular mycorrhizas of

Elsholtzia splendens and the potential for phytoremediation of contaminated soil. Plant and Soil 269:225-232.

Wulfsohn D, Nyengaard JR. 1999. Simple stereological procedure to estimate the number and dimensions of root hairs. Plant Soil 209:129-136.


(25)

PT SARI BUMI KUSUMA KALIMANTAN BARAT)

HENDRA PRASETIA

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(26)

KERAGAMAN SPORA FMA HASIL ISOLASI DARI BAWAH

TEGAKAN DIPTEROCARPACEAE

(DI AREAL IUPHHK-HA

PT SARI BUMI KUSUMA KALIMANTAN BARAT)

HENDRA PRASETIA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(27)

RINGKASAN

HENDRA PRASETIA. Keragaman Spora FMA Hasil Isolasi dari Bawah Tegakan Dipterocarpaceae (di Areal IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat). Dibimbing olehARUM SEKAR WULANDARI.

FMA (Fungi Mikoriza Arbuskular) dapat bersimbiosis dengan tanaman dari berbagai tipe lokasi, salah satunya dengan lokasi yang ada di PT Sari Bumi Kusuma yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae. Tujuan dari penelitian ini ialah menganalisis keanekaragaman FMA di ekosistem hutan Dipterocarpaceae di areal PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat.

Sampel tanah diambil dari tiga lokasi yang ada di PT Sari Bumi Kusuma. Isolasi spora dari sampel tanah dilakukan dengan menggunakan metode tuang basah. Spora diidentifikasi dengan melihat reaksi spora setelah ditetesi dengan larutan Melzer.

Data sifat fisik dan kimia tanah diperoleh dari PT Sari Bumi Kusuma. Nilai bobot isi, porositas, dan permeabilitas tidak berbeda jauh pada setiap lokasi. Tekstur tanah pada ketiga lokasi ialah lempung liat berpasir pada kedalaman 0–20 cm. Sifat kimia tanah pada ketiga lokasi tidak berbeda jauh. Nilai C-organik, N-total, dan P di lokasi dua memiliki nilai yang lebih tinggi di antara lokasi satu dan tiga. Nilai pH pada ketiga lokasi bersifat masam yaitu berkisar antara 4,76–4,93. Nilai Al pada lokasi dua memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi satu dan tiga.

Kepadatan spora di lokasi tiga lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi satu dan dua. Nilai kepadatan spora FMA tidak dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia tanah. Nilai keragaman spora FMA pada setiap lokasi sama yaitu tiga genus, tetapi macam genus di lokasi satu dan dua berbeda dengan lokasi tiga. Genus Glomus dan Acaulospora ditemukan pada semua lokasi. Genus Gigaspora

ditemukan pada lokasi satu dan dua, sedangkan genus Scutellospora hanya ditemukan pada lokasi tiga.

Glomus memiliki nilai kelimpahan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tiga genus lainnya, yaitu sebesar 48,43%, sedangkan Gigaspora memiliki nilai terendah, yaitu sebesar 3,13%. Genus Glomus memiliki frekuensi paling besar dengan nilai 79,17%. Hal ini menunjukan bahwa genus Glomus

penyebarannya 79,17% dari tiga lokasi yang ada di areal PT Sari Bumi Kusuma. Genus Gigaspora memiliki nilai frekuensi spora yang terendah yaitu sebesar 8,33%, berarti keberadaan penyebarannya hanya 8,33% dari tiga lokasi yang ada di areal PT Sari Bumi Kusuma.

Kata kunci: fungi mikoriza arbuskular, kepadatan spora, dipterocarpaceae, Kalimantan Barat


(28)

SUMMARY

HENDRA PRASETIA. Diversity of AMF Spores Isolation from Dipterocarpaceae Stand (in Area IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma West Kalimantan). Under Supervision of ARUM SEKAR WULANDARI.

AMF (Arbuscular Mycorrhizal Fungi) could be symbiosis with plants of various types of ecosystems, one of them the ecosystem in PT Sari Bumi Kusuma that dominated by Dipterocarpaceae family. The purpose of this study is to analyze the diversity of AMF in Dipterocarpaceae forest ecosystems in the area of PT Sari Bumi Kusuma West Kalimantan. Soil samples taken from three locations that exist in PT Sari Bumi Kusuma. Isolation of spores from soil samples is done by using the wet sieving and decanting method. Spores were identified by looking at the spores reaction after etched with a Melzer solution.

Spore density in the location three is higher than the location one and two. AMF spore density values are not influenced by physical and chemical properties of soil. The diversity value of AMF spores in each locations are three genera but the kinds of the genus in location one and two different with location three.

Glomus and Acaulospora genus are found in all locations. Genus Gigaspora was found in location one and two, while the genus Scutellospora was found only in location three.

Glomus has a relative abundance value higher than the three other genera, that is equal to 48,43%, while Gigaspora has the lowest value, amounting to 3,13%. Glomus genus has the greatest frequency with a value of 79,17%. This indecated that the Glomus genus 79,17% spread of the three locations that exist in the area of PT Sari Bumi Kusuma. Spores of genus Gigaspora have the lowest frequency value that is equal to 8,33%, it is mean that the existence of the spread is only 8,33% of the three locations that exist in the area of PT Sari Bumi Kusuma.

Keywords: arbuscular mycorrhizal fungi, spore density, dipterocarpaceae, West Kalimantan


(29)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Keragaman Spora FMA Hasil Isolasi dari Bawah Tegakan Dipterocarpaceae (di Areal IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2011

Hendra Prasetia NIM. E44070027


(30)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Keragaman Spora FMA Hasil Isolasi dari Bawah Tegakan Dipterocarpaceae (di Areal IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat)

Nama Mahasiswa : Hendra Prasetia

NIM : E44070027

Menyetujui Pembimbing,

Dr.Ir. Arum Sekar Wulandari, MS NIP. 19660316 200604 2 003

Mengetahui:

Ketua Departemen Silvikuktur

Prof.Dr.Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP. 19601024 198403 1 009


(31)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dapat diselesaikan dengan baik, penulis selama menyelesaikan skripsi ini memperoleh banyak manfaat dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga. Judul yang dipilih dalam skripsi ini adalah “Keragaman Spora FMA Hasil Isolasi dari Bawah Tegakan Dipterocarpaceae di Areal IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Program Mayor Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis akan selalu bersikap terbuka dalam menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak yang bersifat membangun ke arah yang lebih baik. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan bagi semua pihak yang membutuhkan literatur pada umumnya.

Bogor, Desember 2011 Penulis


(32)

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu proses menyelesaikan skripsi ini dan juga pihak yang selama ini membimbing penulis, antara lain :

1. Ibu Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari, MS dan Bapak Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS yang telah mencurahkan segala kesabaran, perhatian, waktu, tenaga, serta pikiran beliau dalam memberikan arahan dan bimbingan.

2. Papa, mama, dan keluarga besar tercinta atas dukungannya, doa, dan kasih sayang yang telah diberikan.

3. Teman-teman : Rahmat Hidayat, Achmad Chaerus S, Rinenngo Siwi, Descarlo, Nunang, Laswi Irmayanti, dan Lilis Purnawati yang membantu selama proses penelitian, memberikan masukan, dan diskusi-diskusi yang membangun.

4. Teman-teman Silvikultur 44 atas semua dukungannya, semua kenangan yang telah kita lalui, dan kebersamaan ini semoga bisa tetap terjalin.

5. Keluarga Laboratorium Silvikultur : Teteh Puja dan Bu Ita atas bantuan dan keramahannya selama penulis melakukan penelitian.

6. Keluarga besar Departemen Silvikultur atas ilmu yang telah penulis peroleh serta suasana kekeluargaannya.

7. Bapak-bapak dan Ibu-ibu staf Tata Usaha : Pak Ismail, Pak Dedi, Mas Saiful, dan Ibu Aliyah atas semua bantuannya dan keramahannya.

8. Teman-teman se-Fakultas Kehutanan.

9. Semua pihak yang belum disebutkan, tanpa mengurangi rasa hormat. Semoga semua kebaikan dibalas Allah SWT.


(33)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Dili pada tanggal 13 April 1989, lahir dari pasangan Hendri Yarman dan Nirwani Uno sebagai anak tunggal. Penulis memulai pendidikan formalnya pada tahun 1994 di Taman Kanak-Kanak (TK) Seroja Dili hingga tahun 1995. Pada tahun 1995 hingga 2001 penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 08 Petang Pondok Labu Jakarta Selatan. Kemudian pada tahun 2001 penulis mengenyam pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Al-Kautsar Raja Basa Bandar Lampung, dan pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 9 Bandar Lampung hingga tahun 2007.

Tahun 2007 penulis melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan diterima menjadi mahasiswa IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan. Selama menjadi mahasiswa di Fakultas Kehutanan penulis telah mengikuti kegiatan P2EH (Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan) jalur Sancang Timur–Gunung Papandayan dan mengikuti kegiatan P2H (Praktik Pengelolaan Hutan) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi.

Penulis pada bulan April–Juni 2011 melakukan Praktik Kerja Lapang (PKL) di PT. Riau Andalan Pulp and Paper, Riau. Penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah Dendrologi (2011). Selama melaksakan pendidikan di Fakultas Kehutanan, penulis mendapatkan beasiswa BKM tahun 2009 dari IPB dan Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) tahun 2010. Guna memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Keragaman Spora FMA Hasil Isolasi dari Bawah Tegakan Dipterocarpaceae (di Areal IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat) dibimbing oleh Dr.Ir. Arum Sekar Wulandari, MS.

Bogor, Desember 2011 Penulis


(34)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xi DAFTAR GAMBAR ... xii I. PENDAHULUAN ... 1 II. TINJAUAN PUSTAKA ... 2

2.1. Fungi Mikoriza Arbuskul ... 2

2.2. Ekologi Fungi Mikoriza Arbuskula ... 5

2.3. Manfaat Mikoriza ... 5

2.4. Famili Dipterocarpaceae ... 7 III. BAHAN DAN METODE ... 9

3.1. Tempat dan Waktu ... 9

3.2. Bahan dan Alat ... 9

3.3.Metode Penelitian ... 9 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 11

4.1. Letak dan Luas ... 11

4.2. Keadaan Lapangan ... 11

4.3. Iklim ... 11

4.4. Vegetasi ... 12 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

5.1. Hasil ... 13

5.2. Pembahasan ... 17 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 20

6.1. Kesimpulan ... 20

6.2. Saran ... 20 DAFTAR PUSTAKA ... 21


(35)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Karakteristik fisik tanah di PT Sari Bumi Kusuma ... 13 2 Karakteristik kimia tanah di PT Sari Bumi Kusuma ... 13 3 pH tanah dan kandungan Al di PT Sari Bumi Kusuma ... 14 4 Hasil analisis regresi antara sifat fisik dan kimia tanah dengan nilai

kepadatan spora ... 15 5 Keragaman spora di PT Sari Bumi Kusuma ... 16


(36)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Klasifikasi mikoriza (INVAM 2008) ... 3 2 Kepadatan spora tiap ekosistem ... 14 3 Spora FMA (a) Glomus; (b) Acaulospora; (c) Gigaspora; (d) Scutellospora .. 15 4 Kelimpahan spora FMA dalam ekosistem PT Sari Bumi Kusuma ... 16 5 Frekuensi sebaran genus spora FMA di areal PT Sari Bumi Kusuma ... 17


(37)

I. PENDAHULUAN

Mikoriza adalah mikroorganisme tanah yang berasosiasi dengan akar tanaman. Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) merupakan salah satu jenis mikoriza yang bersifat obligat dan paling banyak berasosiasi dengan tanaman inang. FMA menerima hasil fotosintesis tanaman, yaitu karbon sebesar 15-25% dan paling banyak menyediakan nitrogen dan posfor untuk tanaman inang (Springer dan Heidelberg 2008).

Keberadaan FMA sangat penting dalam kaitannya dengan kesuburan tanah dari suatu ekosistem, terutama dalam ekosistem hutan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara keberadaan mikoriza di suatu tempat dengan kondisi lahan dan pertumbuhan suatu jenis pohon (Giri et al. 2004, Rydlova dan Vosatka 2001, Wang et al. 2005, Nandakwang et al. 2008, Osorio dan Habte 2001). Sebagai organisme yang bersifat simbiotik, keberadaan inang sangat menguntungkan bagi mikoriza dan keberadaan mikoriza sangat menguntungkan bagi inang.

Keberadaan mikoriza sangat bergantung pada vegetasi yang ada di sekitarnya. Potensi dari simbiosis FMA dengan tumbuhan sangat penting untuk dimanfaatkan bagi kepentingan budidaya tumbuhan tersebut terutama pada lahan marginal. Hal tersebut mengingat besarnya manfaat FMA bagi tanaman di antaranya: meningkatkan penyerapan unsur hara untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman (Jia et al. 2004), meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen akar (Sikes 2009), mengurangi logam berat di areal bekas tambang (Turnau 2008), dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan (Quilambo 2005).

Penggalian potensi keragaman mikoriza dalam suatu tipe ekosistem sangat diperlukan karena peranan mikoriza dalam kestabilan ekosistem. Sebagai contoh ialah penggalian potensi keragaman FMA di bawah tegakan Dipterocarpaceae yang ada di areal IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma. Tujuan dari penelitian ini ialah menganalisis keanekaragaman FMA di ekosistem hutan Dipterocarpaceae di PT Sari Bumi Kusuma.


(38)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fungi Mikoriza Arbuskula

Mikoriza pada hakikatnya adalah struktur yang terbentuk oleh akar dan fungi secara simbiotik. Kedua simbion mendapat manfaat. Umumnya tumbuhan yang memiliki akar yang bersangkutan dapat dibantu dalam penyerapan air dan hara mineral dalam tanah. Hifa fungi bertindak sebagai akar-akar rambut dan berfungsi menyerap air serta hara dalam tanah, kemudian memberikannya kepada tanaman (Fakuara 1988), dan fungi memperoleh bahan-bahan organik dari tumbuhan.

Smith dan Read (2008) membagi mikoriza ke dalam dua subdivisi besar yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Ektomikoriza dicirikan dengan mantel dan jaring Hartig hifa interselular di akar pohon, sedangkan endomikoriza memiliki ciri hifa intraselular. Endomikoriza terdiri atas fungi mikoriza arbuskula, ericoid mikoriza, arbutoid mikoriza, monotropoid mikoriza, ektendomikoriza dan orchid mikoriza.

FMA termasuk ke dalam kelas Zygomycetes, dengan ordo Glomales yang mempunyai 2 sub-ordo, yaitu Gigasporineae dan Glomineae. Gigasporineae dengan famili Gigasporaceae mempunyai dua genus, yaitu Gigaspora dan

Scutellospora. Glomaceae mempunyai empat famili, yaitu famili Glomaceae dengan genus Glomus dan Sclerocystis, famili Acaulosporaceae dengan genus

Acaulospora dan Entrophospora, Paraglomaceae dengan genus Paraglomus, dan Archaeosporaceae dengan genus Archaeospora (INVAM 2008) seperti tampak pada Gambar 1.

FMA adalah fungi obligat yang paling banyak bersimbiosis dengan jenis tanaman inang. Tanaman yang bersimbiosis dengan FMA antara lain angiospermae, gimnospermae, pterodopita, dan semua tanaman yang memiliki akar (Read et al. 2000). FMA dicirikan dengan adanya intraradikal hifa, arbuskula, ekstraradikal miselium (hifa yang menghubungkan akar dengan tanah), dan spora yang terbentuk di ekstraradikal miselium. Beberapa jenis fungi membentuk intraradikal struktur yang disebut sebagai vesikel (hifa yang membesar yang berisikan lemak).


(39)

Gambar 1 Klasifikasi mikoriza (INVAM 2008)

Arbuskula adalah struktur yang berfungsi sebagai tempat pertukaran metabolit antara fungi dan tanaman. Adanya arbuskula sangat penting untuk mengidentifikasi bahwa telah terjadi infeksi pada akar tanaman. Vesikula berbentuk globose dan berasal dari menggelembungnya hifa internal FMA. Vesikula berfungsi sebagai organ reproduktif atau organ yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan makanan yang kemudian diangkut ke dalam sel, tempat pencernaan oleh sel berlangsung.

Sampai saat ini ada 6 genus fungi yang termasuk ke dalam FMA. Karakteristik yang khas untuk masing-masing genus ialah sebagai berikut:

1. Glomus

Spora berbentuk bulat dan jumlahnya banyak. Jumlah dinding spora berlapis-lapis terdiri dari empat lapisan, tidak bereaksi dengan larutan Melzer, tidak memiliki ornamen. Ada dudukan hifa (subtending hyphae) lurus berbentuk silinder. Warna sporanya bening, hialin (transparan), putih, kuning, atau coklat. Ukuran spora rata-rata 259 μm (INVAM 2008).


(40)

2. Paraglomus

Spora berbentuk bulat dengan warna kuning, semi transparan, dan bening. Jumlah dinding spora terdiri dari tiga lapisan transparan. Dudukan hifa berbentuk silinder. Ukuran spora rata-rata 85μm (INVAM 2008).

3. Gigaspora

Sporanya bereaksi dengan larutan Melzer secara menyeluruh, tidak memiliki ornamen. Hifa membentuk suspensor bulbous atau dudukan hifa yang membulat. Memiliki sel auksilari yang merupakan perwujudan vesikula eksternal. Warna sporanya kuning cerah. Spora berbentuk bulat dengan ukuran rata-rata 321μm. Spora dinding terdiri dari tiga lapisan (INVAM 2008).

4. Scutellospora

Proses perkembangan Scutellospora sama dengan Gigaspora, untuk membedakan dengan genus Gigaspora, pada Scutellospora terdapat lapisan kecambah. Bila berkecambah, hifa ke luar dari lapisan kecambah tadi. Spora bereaksi dengan larutan Melzer secara menyeluruh. Warna sporanya merah coklat ketika bereaksi dengan larutan Melzer. Ukuran sporanya rata-rata 165 μm (INVAM 2008).

5. Acaulospora

Proses perkembangan spora Acaulospora seolah-olah dari hifa tapi sebenarnya tidak. Pertama-tama ada hifa yang ujungnya membesar seperti spora yang dibuat hifa terminal. Di antara hifa terminal dan dudukan hifa akan timbul bulatan kecil yang semakin lama semakin besar. Lapisan luar tidak bereaksi dengan larutan Melzer, tetapi lapisan dalam bereaksi dengan larutan Melzer (warna lebih gelap–merah keunguan). Sporanya memiliki beraneka bagian, bergantung kepada jenisnya, misalnya bentuk duri pada A. spinosa dan berbentuk tabung pada A. tuberculata. Warna sporanya dominan merah. Dinding spora terdiri dari tiga lapisan. Ukuran sporanya rata-rata 279 μm (INVAM 2008).

6. Entrophospora

Proses perkembangan spora Entrophospora hampir sama dengan proses perkembangan spora Acaulospora, yaitu di antara hifa terminal dengan dudukan hifa. Warna sporanya kuning coklat. Jika spora belum matang, warnaya tampak


(41)

jauh lebih buram. Spora berbentuk bulat dengan ukuran rata-rata 121 μm. Dinding spora terdiri dari dua lapisan (INVAM 2008).

2.2. Ekologi Fungi Mikoriza Arbuskula

Lebih dari 80% tanaman dapat bersimbiosis dengan FMA. FMA telah diidentifikasi di berbagai jenis tanaman, termasuk beberapa jenis tanaman gimnospermae dan mayoritas angiospermae (Peterson et al. 2004). Beberapa angiospermae yang tidak bersimbiosis dengan FMA, di antaranya yaitu Brassicaceae (kanola, sawi, kubis, dan lain-lain) dan Chenopodiaceae (bayam dan genus Chenopodium) (Peterson et al. 2004). Beberapa famili tanaman air mungkin memiliki tingkat kolonisasi yang rendah dengan FMA. FMA telah dipelajari dengan sangat intensif di banyak ekosistem di dunia dan ditemukan di banyak jenis tegakan yang penting antara lain: gandum, kedelai, padi, jagung, anggur, pohon buah-buahan, dan kapas (Peterson et al. 2004).

FMA yang banyak ditemukan berasal dari genus Acaulospora dan

Glomus. Hutan alami dengan beragam umur tanaman dan jenisnya sangat mendukung pertumbuhan FMA. Konservasi hutan untuk pertanian akan mengurangi keragaman jenis dan jumlah FMA karena jenis tanaman, unsur hara yang tersedia, dan kandungan bahan organik tanah telah berubah. Praktik pertanian seperti pengolahan tanah, perbaikan bahan organik, pemupukan, dan penggunaan pestisida sangat berpengaruh terhadap keberadaan FMA (Joner 2000). Pengolahan tanah yang intensif akan merusak jaringan hifa eksternal, sebaliknya pengolahan tanah minimal akan meningkatkan populasi FMA. Sistem tumpang sari atau pengiliran tanaman juga dapat meningkatkan populasi FMA (McGonigle et al. 1999).

2.3. Manfaat Mikoriza

Manfaat asosiasi FMA dengan tanaman antara lain: meningkatkan pengangkutan nutrisi, meningkatkan penyerapan mikronutrisi, meningkatkan aktivitas mikroorganisme, meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan, dan memperbaiki struktur tanah. Kontribusi FMA terhadap pengangkutan nutrisi untuk tanaman terutama ialah penyerapan nutrisi (khususnya P) dari dalam tanah melalui hifa ekstraradikal (Peterson et al. 2004). Mayoritas mikoriza mendapatkan


(42)

karbohidrat dari tanaman inang yang merupakan hasil fotosintesis dari tanaman inang. Mekanisme translokasi nutrisi oleh fungi ke tanaman inang memberikan pengaruh yang signifikan dalam pertumbuhan tanaman (Springer dan Heidelberg 2008). Hifa fungi memiliki fungsi yang sama seperti rambut akar yaitu sebagai organ penyerapan nutrisi. Ukuran diameter rambut akar yaitu 5–20 μm (Wulfshon dan Nyengaard 1999), sedangkan diameter hifa FMA yaitu 3–7 μm (Dodd et al.

2000), sehingga jangkauan hifa FMA lebih jauh dibandingkan dengan rambut akar (Dodd et al. 2000). Selain itu, FMA memiliki enzim posfatase yang dapat merubah P yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Joner et al. 2000).

Mikronutrisi sangat diperlukan oleh tanaman walaupun dalam jumlah yang sedikit. Mikronutrisi sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Elemen mikronutrisi antara lain yaitu besi, zink, magnesium, mangan, dan kobalt. FMA membantu tanaman melalui dua cara, yang pertama FMA membantu dalam penyerapan elemen mikronutrisi yang relatif immobile, dan yang kedua FMA menyerap elemen mikronutrisi dan menyimpannya untuk mencegah elemen tersebut mencapai tingkat beracun (Springer dan Heidelberg 2008).

Asosiasi mikoriza dapat meningkatkan penyerapan nutrisi dan produksi biomasa total (Jia et al. 2004). Kolonisasi FMA terbanyak dijumpai pada tanah dengan kandungan N yang rendah (Jia et al. 2004), oleh karena itu keberadaan FMA akan meningkatkan mikroorganisme lain yang dapat memfiksasi N dari udara, seperti Rhizobium. Adanya Rhizobium pada tanah ditandai dengan adanya nodul pada akar yang akan meningkatkan penyerapan N tanaman.

Banyak penelitian melaporkan bahwa tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan dengan tanaman yang tidak bermikoriza (Musfal 2010). Mekanisme translokasi dan penyerapan langsung air melalui jaringan hifa sama dengan cara penyerapan nutrisi. Kemungkinan pengaruh kolonisasi mikoriza pada tanaman tahan kekeringan, terkait dengan penyerapan nutrisi (Smith dan Read 2008). Pada tanah kering, ketersedian nutrisi menjadi berkurang karena adanya peningkatan proses difusi (Peterson et al. 2004).

Struktur tanah menentukan karakteristik laju penyerapan, siklus biogeokimia, ketahanan erosi, dan penyimpanan C (Rilig 2004). Bahan organik


(43)

tanah memiliki peranan utama dalam agregasi tanah. Akumulasi bahan organik berfungsi untuk aktivitas biotik (Six et al. 2000). Hifa FMA melibatkan partikel tanah untuk membentuk tanah menjadi agregat, dengan agregat yang lebih kecil dan kuat dibandingkan dengan agregat yang lebih besar (Musfal 2010).

2.4. Famili Dipterocarpaceae

Menurut Appanah dan Turnbull (1998), famili Dipterocarpaceae memiliki tiga sub famili, yaitu Dipterocarpoidae, Pakaraimoideae, dan Monotoideae. Di antara ketiga sub famili tersebut, Dipterocarpoidae merupakan sub famili yang terpenting karena memiliki jumlah jenis yang banyak dan bernilai komersil. Sub famili Dipterocarpaceae ini memiliki 13 genus dan 470 jenis. Famili Dipterocarpaceae yang terdapat di Indonesia adalah Anisoptera (Mersawa),

Cotylelobium, Dipterocarpus (Keruing), Dryobalanops (Kapur), Hopea (Giam),

Parashorea, Shorea (Meranti), Vatica (Resak) dan Upuna.

Menurut Appanah dan Turnbull (1998), sifat umum dari famili Dipterocarpaceae antara lain pohon berukuran besar atau kecil, berdamar dan selalu menghijau. Pada umumnya batang berbanir, dan biasanya kulit luar bersisik atau beralur dan seringkali mengelupas. Daun tunggal dengan kedudukan berselang-seling (alternate), bertepi rata atau beringgit, bertulang sirip, seringkali berdaging, daun penumpu (stipula) besar atau kecil dan seringkali mudah rontok.

Lebih lanjut Appanah dan Turnbull (1998) mengemukakan bahwa bunga berkelamin dua, terletak di ujung ranting atau di ketiak daun dalam bentuk malai atau tandan. Daun kelopak berjumlah 5 helai, seringkali menyerupai sayap. Daun mahkota berjumlah 5 helai, berpilin dalam kuncup dan dasar lepas atau berlekatan. Benang sari berjumlah 5–110 dan melebar dalam satu atau beberapa baris. Tangkai sari umumnya bebas, pendek, seringkali pangkalnya melebar dan beberapa di antaranya sukar rontok. Bakal buah beruang 3 (jarang 2) atau beruang 1 tidak sempurna. Bakal biji berjumlah 2–3 pada setiap ruang, menempel pada dinding. Buah kebanyakan tidak memecah, berbiji satu, kulit buah mengeras (mengayu).

Kebanyakan dari jenis-jenis Dipterocarpaceae bersifat toleran terhadap intensitas cahaya pada saat semai dan intoleran setelah mencapai tahap pancang dan tiang (Appanah dan Turnbull 1998). Sebagian dari jenis Dipterocarpaceae


(44)

yang toleran terutama yang memiliki kayu dengan berat jenis yang tinggi (tenggelam) contohnya Dipterocarpus spp. dan sebagian lagi tergolong semi toleran, yaitu jenis-jenis yang memiliki kayu dengan berat jenis rendah (terapung) contohnya Shorea spp., Hopea spp. Kebutuhan cahaya untuk keperluan pertumbuhan waktu muda (tingkat anakan) berkisar antara 50–75 % dari cahaya total. Untuk jenis semi toleran, anakan membutuhkan naungan 3–4 tahun atau sampai tanaman mencapai tinggi 1–3 meter. Sedangkan jenis yang toleran lebih lama lagi, yaitu sampai 5–8 tahun. Menurut Appanah dan Turnbull (1998), sebagian besar jenis-jenis Dipterocarpaceae terdapat pada daerah beriklim basah dan kelembaban yang tinggi di bawah ketinggian 1.000 m dpl, dengan rata-rata curah hujan tahunan mencapai 2.000 mm dan musim kemarau yang pendek.

Jenis-jenis Dipterocarpaceae sebagian besar menghendaki tanah kering yang bereaksi sedikit masam, bersolum dalam, dan banyak mengandung liat. Pada tanah berkapur ditemukan H. aptera, S. guiso dan S. harilandii. Pada hutan kerangas biasanya ditemukan C. burckii, D. fusca, H. karanganensis, S. coriacea, S. ratusa, V. coriacea, dan D. bornensis. Pada tanah berpasir biasanya ditemukan

S. falcifera, H. beccariana, dan U. borneensis. Pada tanah bergambut banyak ditemukan D. rappa, A. marginata, S. albida dan D. coriaceus.

Famili Dipterocarpaceae menyebar mulai dari Afrika, Seychelles, Ceylon hingga Semenanjung India, selanjutnya di India Timur, Bangladesh, Burma, Tahiland, Indocina, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Philipina (Appanah dan Turnbull 1998). Secara alami jenis-jenis Dipterocarpaceae merupakan hutan alam campuran yang tersebar luas pada berbagai topografi dan jarang ditemukan hutan-hutan Dipterocarpaceae murni atau berkelompok.


(45)

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung selama 4 bulan yaitu dari bulan Pebruari–April 2011, dan dilanjutkan bulan Juni–Agustus 2011.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah sampel tanah, larutan glukosa 60%, larutan Melzer, dan aquades. Alat-alat yang digunakan ialah mikroskop stereo, cawan Petri, timbangan, pipet tetes, tusuk gigi, pinset, tabung film, tabung gelas, kuteks, gelas objek dan penutup, sentrifus, saringan spora (saringan bertingkat dengan diameter lubang berukuran 500 μm, 250 μm, 125 μm, dan 63 μm), dan software minitab16.

3.3. Metode Penelitian Sampel Tanah

Sampel tanah diambil dari PT Sari Bumi Kusuma. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada tiga lokasi yang berbeda yaitu lokasi 1, 2, dan 3. Dari tiap lokasi diambil delapan sampel tanah. Dari tiap sampel tanah diambil contoh sebanyak 50 gram. Data mengenai sifat fisik dan kimia tanah di setiap lokasi diperoleh dari PT Sari Bumi Kusuma.

Isolasi Spora

Isolasi spora FMA dilakukan dengan menggunakan metoda tuang basah (Vilarino dan Arines 1990). Tanah diletakkan di atas saringan spora empat tingkat dengan diameter lubang 500 μm, 250 μm, 125 μm, dan 63 μm, lalu dialirkan air untuk menghancurkan tanah tersebut. Tanah yang menempel pada saringan yang berukuran 63 μm dikumpulkan dalam tabung gelas.

Tanah-tanah tersebut dituangkan ke dalam tabung sentrifus, dan ke dalamnya dituangkan larutan glukosa 60% sampai terisi 2/3 isi tabung. Lalu dikocok sebelum dimasukkan ke dalam mesin sentrifus. Sentrifugasi dilakukan selama lima menit dengan kecepatan 3000 rpm. Supernatan disedot lalu disaring pada saringan yang berukuran 63 μm. Lalu dicuci dengan air mengalir yang deras


(46)

untuk menghilangkan larutan gula yang masih tertinggal. Spora yang menempel pada saringan dipindahkan ke dalam cawan Petri untuk diidentifikasi.

Identifikasi Spora FMA

Identifikasi spora berupa penentuan genus spora dilakukan berdasarkan ciri morfologi. Spora diletakkan di preparat, lalu ditetesi dengan larutan Melzer. Spora dipecahkan untuk melihat reaksi antara lipid yang ada di dalam spora dengan larutan Melzer.

Pengamatan

Peubah yang diamati dalam penelitian ini ialah (1) kepadatan spora, (2) keragaman spora, (3) kelimpahan relatif, dan (4) frekuensi spora. Masing-masing peubah dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kepadatan spora = Jumlah spora/50 gram tanah Kekayaan spora = Jumlah genus pada 50 gram tanah Kelimpahan Relatif = Jumlah genus x 100%

total spora

Frekuensi = Jumlah sampel ditemukan spora x 100%


(47)

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Luas

Areal PT Sari Bumi Kusuma terletak pada 112033‟–113014‟ Bujur Timur dan 00001‟–00033‟ Lintang Selatan. Areal tersebut termasuk ke dalam dua kelompok hutan, yaitu kelompok hutan Sungai Ambalau dan Kelompok hutan Sungai Jengunui. Administrasi pemerintahannya termasuk ke dalam Kecamatan Nangah Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, dan menurut administrasi kehutanan kelompok hutan ini termasuk wilayah Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Barat.

Berdasarkan SK Menhut No. 201/Kpts-II/1998 tanggal 27 Pebruari 1998, Luas areal kerja total PT Sari Bumi Kusuma Blok S. Seruyan dan Katingan adalah 146.700 ha. Tutupan lahan berdasarkan penafsiran citra landsat tahun 2007 terdiri atas areal berhutan primer 4.507 ha, berhutan bekas tebangan 110.002 ha, belukar tua 25.389 ha, belukar muda 5.674 ha, dan areal tertutup awan 2.028 ha.

4.2. Keadaan Lapangan

Keadaan lapangan seluruhnya merupakan tanah kering dengan ketinggian tempat antara 100–500 m dpl. Keadaan topografi areal kerja terdiri dari 5% datar, 20% berombak, 40% bergelombang, dan 35% berbukit. Jenis tanahnya ialah podsolik merah kuning.

4.3. Iklim

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, areal PT Sari Bumi Kusuma tergolong tipe A dengan curah hujan rata 282,33 mm/bulan dan rata-rata hari hujan 12,08 hari. Suhu rata-rata-rata-rata berkisar antara 22–28 0C pada malam hari dan 30–33 0C pada siang hari. Bulan kering adalah bulan Juni sampai September. Kelembaban nisbi di areal kerja IUPHHK berkisar antara 85–95%. Kelembaban nisbi terkecil terjadi pada bulan September dan terbesar pada bulan Juli dan Desember. Kecepatan dan arah angin di wilayah kerja PT Sari Bumi Kusuma berkisar antara 7–9 knot dengan kecepatan angin terbesar terjadi pada bulan Agustus dan Desember.


(48)

4.4. Vegetasi

Berdasarkan tipe hutannya areal hutan IUPHHK PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat termasuk ke dalam tipe Hutan Tropika Basah dengan komposisi jenis didominasi oleh Dipterocarpaceae seperti S. stenopten, S. leprosula, S. johorensis, S. parvifolia, S. platyclados, S. macrophylla, Dyera costulata, dan


(1)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Terdapat empat genus spora FMA yang ditemukan di ekosistem PT Sari Bumi Kusuma. Genus yang ditemukan ialah Glomus, Acaulospora, Scutellospora, dan Gigaspora. Lokasi tiga memiliki kepadatan spora yang terbanyak dibandingkan dengan lokasi dua dan lokasi satu. Genus Glomus

memiliki nilai kelimpahan relatif dan frekuensi yang tertinggi sedangkan

Gigaspora memiliki nilai kelimpahan relatif dan frekuensi yang terendah. 2. Nilai kepadatan spora dalam ekosistem di PT Sari Bumi Kusuma tidak

dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia tanah, tetapi keragaman spora kemungkinan dipengaruhi oleh kandungan C–organik dan permeabilitas tanah.

6.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat efektifitas infeksi CMA terhadap pertumbuhan tanaman untuk setiap genus pada tegakan Dipterocarpaceae.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Allen EB, Allen MF, Helm DJ, Trappe JM, Molina R, Rincon E. 1995. Pattern and regulation of mycorrhizal plant and fungal diversity. Plant and Soil

170(1):47-62.

Appanah S, Turnbull JM, editor. 1998. A Review of Dipterocarps. Bogor: Center for International Forestry Research.

Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, and Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Canberra: BPD Graphic Associates.

Dodd JC, Boddington CL, Rodriguez A, Gonzalez-Chaves C, Mansur I. 2000. Mycelium of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) from different genera: form, function and detection. Plant Soil 226:131-151.

Fakuara Y. 1988. Mikoriza, Teori dan Kegunaannya Dalam Praktek. Bogor: PAU IPB.

Giri B, Kapor R, Agarwal L, Mukerji KG. 2004. Preinoculation with arbuscular mycorrhizae helps Acacia auriculiformis grow in degraded Indian wasteland soil. Comm in Soil Sci and Plant Anal 35:193-204.

Hartoyo B, Ghulamahdi M, Darusman LK, Aziz SA, Mansur I. 2011. Keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada rizosfer tanaman pegagan. J Littri 17(1):32-40.

INVAM [International Culture Collection of (Vesicular) Arbuscular Mycorrhizal Fungi]. 2008. International culture collection of (vesicular) arbuscular mycorrhizal fungi. [terhubung berkala]. http://invam.caf.wvu.edu/Myco-info/Taxonomy/ classification.htm. [20 Oktober 2011].

Ishak Y, Budi SW. 2007. Potensi dan status cendawan mikoriza arbuskula (CMA) pada lahan kritis di Samboja, Kalimantan Timur. J Info Hutan

2(4):139-151.

Jia Y, Gray VM, Straker CJ. 2004. The influence of rhizobium and arbuscular mycorrhizal fungi on nitrogen and phosphorus accumulation by Vicia faba. Annals of Botany 94:251-258.

Joner EJ. 2000. The effect of long-term fertilization with organic or inorganic fertilizers on mycorrhiza-mediated phosphorus uptake in subterranean clover. Biol Fertil Soils 32:435-440.

Joner EJ, van Aarle IM, Vosatka M. 2000. Posphatase activity of extra-radical arbuscular mycorrhizal hyphae: a review. Plant Soil 226:199-210.


(3)

Lee SS, Patahayah M, Chong WS, Lapeyrie F. 2008. Successful ectomycorrhizal inoculation of two Dipterocarp species with a locally isolated fungus in Peninsular Malaysia. J of Tropical Forest Science 20(4):237-247.

McGonigle TP, Miller MH, Young D. 1999. Mycorrhizae, crop growth, and crop phosphorus nutrition in maize-soybean rotation given various tillage treatments. Plant and Soil 210:33-42.

Moyersoen B, Becker P, Alexander J. 2001. Are ectomycorrhizas more abundant than arbuscular mycorrhizas in tropical heath forest? New Phytol 150:591-599.

Musfal. 2010. Potensi cendawan mikoriza arbuskula untuk meningkatkan hasil tanaman jagung. J Litbang Pertanian 29(4):154-158.

Nandakwang P, Elliot S, Youpersuk S, Lumyong S. 2008. Effects of arbuscular mycorrhizal inoculation and fertilizer on production of Castanopsis aciminatissima saplings for forest restoration in Northern Thailand.

Research J of Microbiol 3(4):225-236.

Osorio NW, Habte M. 2001. Synergistic influence of an arbuscular mycorrhizal fungus and a P solublizing fungus on growth and P uptake of Leucaena leucocephala in an oxisol. Arid land Research and Management 15:263-274.

Palmiotto PA, Davies SJ, Vogt KA, Ashton AS, Vogt DJ, Ashton PS. 2004. Soil-related habitat specialization in dipterocarpaceae rain forest tree species in Borneo. J of Ecol 92:609-623.

Peterson LR, Massicotte HB, Melville LH. 2004. Mycorrhizas: Anatomy and Cell Biology. Ottawa: NRC Research Press.

Quilambo OA, Weissenhorn I, Doddema H, Kuiper PJC, Stulen I. 2005. Arbuscular mycorrhizal inoculation of peanut in low-fertile tropical soil.II.alleviation of drought stress. J of Plant Nut 28:1645-1662.

Read DJ, Duckett JG, Francis R, Ligrone R, Russell A. 2000. Symbiotic fungal association in „lower‟ land plants. Phil Trans of the Roy Soc of Lnd Ser B Bio Sci 355:815-830.

Rillig MC. 2004. Arbuscular mycorrhizae, glomalin, and soil aggregation. Can J Soil Sci 84:355-363.

Rydlova J, Vosatka M. 2001. Associations of dominant plant species with arbuscular mycorrhizal fungi during vegetation development on coal mine spoil banks. Folia Geobot 36:85-97.


(4)

Sikes BA, Cottenie K, Klironomost JN. 2009. Plant and fungal identify determines pathogen protection of plant roots by arbuscular mycorrhizas.

J of Ecol 97:1274-1280.

Six J, Elliot ET, Paustian K. 2000. Soil macroaggregate turnover and microaggregate formation: a mechanism for C sequestration under no tillage agriculture. Soil Biol and Biochem 32:2099-2103.

Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis, 3rd Ed. London: Academic. Smits WTM. 1994. Dipterocarpaceae: Mycorrhizae and Regeneration.

University of Michigan: Tropenbos Foundation.

Springer, Heidelberg VB. 2008. Mycorrhiza: State of The Art, Genetics and Molecular Biology, Eco-Fucntion, Biotechnology, Eco-Physiology, Structure and Systematics, 3rd Ed. Varma A, editor. Germany: Acid-free paper.

Tata MHL. 2008. Mycorrhizae on Dipterocarpaceae in Rubber Agroforest (RAF) in Sumatra. University of Utrecht: Wohrmann Print Service, Zupthen.

Turnau K, Anelska T, Ryszka P, Gawronski, Ostachowicz B, Jurkiewicz A. 2008. Establishment of arbuscular mycorrhizal plants originating from xerothermic grassland on heavy metal rich industrial wastes-new solution for waste revegetation. Plant Soil 305:267-280.

Vilarno A, Arines J. 1990. An instrumental modification of Gerdemann and Nicholson‟s method for extracting VAM fungal spores from soil samples. Plant and Soil 121:211-215.

Wang F, Lin X, Yin R. 2005. Heavy metal uptake by arbuscular mycorrhizas of

Elsholtzia splendens and the potential for phytoremediation of contaminated soil. Plant and Soil 269:225-232.

Wulfsohn D, Nyengaard JR. 1999. Simple stereological procedure to estimate the number and dimensions of root hairs. Plant Soil 209:129-136.


(5)

RINGKASAN

HENDRA PRASETIA. Keragaman Spora FMA Hasil Isolasi dari Bawah Tegakan Dipterocarpaceae (di Areal IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat). Dibimbing oleh ARUM SEKAR WULANDARI.

FMA (Fungi Mikoriza Arbuskular) dapat bersimbiosis dengan tanaman dari berbagai tipe lokasi, salah satunya dengan lokasi yang ada di PT Sari Bumi Kusuma yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae. Tujuan dari penelitian ini ialah menganalisis keanekaragaman FMA di ekosistem hutan Dipterocarpaceae di areal PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat.

Sampel tanah diambil dari tiga lokasi yang ada di PT Sari Bumi Kusuma. Isolasi spora dari sampel tanah dilakukan dengan menggunakan metode tuang basah. Spora diidentifikasi dengan melihat reaksi spora setelah ditetesi dengan larutan Melzer.

Data sifat fisik dan kimia tanah diperoleh dari PT Sari Bumi Kusuma. Nilai bobot isi, porositas, dan permeabilitas tidak berbeda jauh pada setiap lokasi. Tekstur tanah pada ketiga lokasi ialah lempung liat berpasir pada kedalaman 0–20 cm. Sifat kimia tanah pada ketiga lokasi tidak berbeda jauh. Nilai C-organik, N-total, dan P di lokasi dua memiliki nilai yang lebih tinggi di antara lokasi satu dan tiga. Nilai pH pada ketiga lokasi bersifat masam yaitu berkisar antara 4,76–4,93. Nilai Al pada lokasi dua memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi satu dan tiga.

Kepadatan spora di lokasi tiga lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi satu dan dua. Nilai kepadatan spora FMA tidak dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia tanah. Nilai keragaman spora FMA pada setiap lokasi sama yaitu tiga genus, tetapi macam genus di lokasi satu dan dua berbeda dengan lokasi tiga. Genus Glomus dan Acaulospora ditemukan pada semua lokasi. Genus Gigaspora

ditemukan pada lokasi satu dan dua, sedangkan genus Scutellospora hanya ditemukan pada lokasi tiga.

Glomus memiliki nilai kelimpahan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tiga genus lainnya, yaitu sebesar 48,43%, sedangkan Gigaspora memiliki nilai terendah, yaitu sebesar 3,13%. Genus Glomus memiliki frekuensi paling besar dengan nilai 79,17%. Hal ini menunjukan bahwa genus Glomus

penyebarannya 79,17% dari tiga lokasi yang ada di areal PT Sari Bumi Kusuma. Genus Gigaspora memiliki nilai frekuensi spora yang terendah yaitu sebesar 8,33%, berarti keberadaan penyebarannya hanya 8,33% dari tiga lokasi yang ada di areal PT Sari Bumi Kusuma.

Kata kunci: fungi mikoriza arbuskular, kepadatan spora, dipterocarpaceae, Kalimantan Barat


(6)

SUMMARY

HENDRA PRASETIA. Diversity of AMF Spores Isolation from Dipterocarpaceae Stand (in Area IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma West Kalimantan). Under Supervision of ARUM SEKAR WULANDARI.

AMF (Arbuscular Mycorrhizal Fungi) could be symbiosis with plants of various types of ecosystems, one of them the ecosystem in PT Sari Bumi Kusuma that dominated by Dipterocarpaceae family. The purpose of this study is to analyze the diversity of AMF in Dipterocarpaceae forest ecosystems in the area of PT Sari Bumi Kusuma West Kalimantan. Soil samples taken from three locations that exist in PT Sari Bumi Kusuma. Isolation of spores from soil samples is done by using the wet sieving and decanting method. Spores were identified by looking at the spores reaction after etched with a Melzer solution.

Spore density in the location three is higher than the location one and two. AMF spore density values are not influenced by physical and chemical properties of soil. The diversity value of AMF spores in each locations are three genera but the kinds of the genus in location one and two different with location three.

Glomus and Acaulospora genus are found in all locations. Genus Gigaspora was found in location one and two, while the genus Scutellospora was found only in location three.

Glomus has a relative abundance value higher than the three other genera, that is equal to 48,43%, while Gigaspora has the lowest value, amounting to 3,13%. Glomus genus has the greatest frequency with a value of 79,17%. This indecated that the Glomus genus 79,17% spread of the three locations that exist in the area of PT Sari Bumi Kusuma. Spores of genus Gigaspora have the lowest frequency value that is equal to 8,33%, it is mean that the existence of the spread is only 8,33% of the three locations that exist in the area of PT Sari Bumi Kusuma.

Keywords: arbuscular mycorrhizal fungi, spore density, dipterocarpaceae, West Kalimantan


Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskular di Bawah Tegakan Sengon (Paraserienthes falcataria) Studi Kasus di Areal PT Raja Garuda Mas Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat

4 57 54

Analisis Kerapatan Pohon dengan Menggunakan Citra Landsat ETM+ pada Areal Dekas Tebangan di Areal IUPHHK PT. Sari Dumi Kusuma Kalimantan Tengah

0 11 200

Pertumbuhan Meranti Merah (Shorea leprosula Miq) Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah)

1 15 5

Kualitas Tanah pada Areal Tebang Pilih Tanam Jalur di IUPHHK/HA PT. Sari Bumi Kusuma Provinsi Kalimantan Tengah

0 6 5

Kualitas tanah pada sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur(TPTJ) di areal kerja IUPHHK/HA PT. Sari Bumi Kusuma provinsi Kalimantan Tengah

1 14 77

Kerusakan Tingkat Tiang dan Pohon akibat Penebangan Intensitas Rendah di IUPHHK-HA PT. Sari Bumi Kusuma Kalimantan Tengah

0 2 23

Model Penduga Volume Sortimen Kayu Perdagangan pada Pohon Berdiri dengan Inventarisasi Kualitas. Studi Kasus Jenis Shorea leprosula Miq. di Areal IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Tengah

0 3 53

Model Dinamika Karbon TPTI dan TPTJ di IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Tengah

0 5 32

Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan dan Penyaradan Kayu di Areal IUPHHK-HA PT. Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah

0 3 42

Analisis Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Pekerja Penebangan dan Penyaradan di IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Tengah.

0 10 46