Profil leukosit pada ayam broiler yang diberi ekstrak tanaman obat

PROFIL LEUKOSIT PADA AYAM BROILER
YANG DIBERI EKSTRAK TANAMAN OBAT

BAGUS SETA CHANDRA WIJAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Profil Leukosit pada Ayam
Broiler yang Diberi Ekstrak Tanaman Obat” adalah karya saya dengan arahan
dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013


Bagus Seta Chandra Wijaya
NIM B04080104

ABSTRAK
BAGUS SETA CHANDRA WIJAYA. Profil Leukosit pada Ayam Broiler
yang Diberi Ekstrak Tanaman Obat. Dibimbing oleh ANITA ESFANDIARI dan
BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian formula ekstrak
tanaman obat yaitu temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.), temu ireng
(Curcuma aeruginosa Roxb.), sambiloto (Andrographis paniculata Nees.), dan
meniran (Phyllanthus niruri Linn.) terhadap profil leukosit ayam broiler. Dua
puluh lima Day Old Chick (DOC) dibagi menjadi lima kelompok dan diberi
perlakuan yang berbeda, yaitu (1) F1, diberi formula ekstrak temulawak, temu
ireng, sambiloto, dan meniran; (2) F2, diberi formula temulawak, temu ireng, dan
meniran; (3) F3, diberi formula temulawak dan temu ireng; (4) F4, diberi formula
sambiloto dan meniran; (5) kelompok kontrol (K-), tidak diberi perlakuan.
Ekstrak diberikan selama 28 hari melalui rute oral. Ayam diambil secara acak 5
ekor dari setiap kelompok perlakuan pada hari terakhir perlakuan, kemudian
sampel darah diambil dari vena brachialis untuk diperiksa terhadap diferensiasi

leukosit yang meliputi persentase limfosit, monosit, heterofil, eosinofil, dan
basofil. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persentase limfosit meningkat
pada kelompok F2, F3, dan F4, dengan peningkatan yang nyata terjadi pada
kelompok F4. Persentase monosit meningkat pada semua kelompok perlakuan,
dan persentase heterofil meningkat secara signifikan pada kelompok F1.
Berdasarkan data persentase leukosit, disimpulkan bahwa formulasi ekstrak
temulawak dan temu ireng merupakan kombinasi terbaik dalam meningkatkan
sistem imun tubuh.
Kata kunci :

ayam broiler, leukosit, tanaman obat

ABSTRACT
BAGUS SETA CHANDRA WIJAYA. Leukocyte Profiles in Broilers
Chicken Fed by Extracts of Medicinal Plants.
Supervised by ANITA
ESFANDIARI and BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.
The objective of this experiment was to study the effects of extract
administration of temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.), temu ireng (Curcuma
aeruginosa Roxb.), sambiloto (Andrographis paniculata Nees.), and meniran

(Phyllanthus niruri Linn) on leukocytes profile in broiler. Twenty five day old
chick’s were used in this experiment. The animal were divided into five groups,
there were combination of (F1) temulawak, temu ireng, sambiloto, and meniran
extracts; (F2) temulawak, temu ireng and meniran extracts; (F3) temulawak and
temu ireng extracts; (F4) sambiloto and meniran extracts; and (F5) untreated as
control. The extracts were gave for 28 days through the oral route. The chickens
were taken randomly 3 heads of each groups on the last day of treatment for blood
sampling. Blood samples were taken from brachialis veins to determine the
leukocyte profiles. Results of this study showed that percentage of lymphocytes
increased in the group F2, F3, and F4, with a marked increased in the group F4.
The percentage of monocytes increased in all treatment groups compared to the
control group. The precentage of heterophils and eosinophils increased in the F1
group compared to the control group, while percentage of basophils increased in
the F2 group compared to the control group. In conclusion, extracts of temulawak
and temu ireng administration were the best combination to increase immune
system.
Key words: broiler chicken, leukocyte, medicinal plants.

PROFIL LEUKOSIT PADA AYAM BROILER
YANG DIBERI EKSTRAK TANAMAN OBAT


BAGUS SETA CHANDRA WIJAYA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Profil Leukosit pada Ayam Broiler yang Diberi Ekstrak Tanaman
Obat
Nama
: Bagus Seta Chandra Wijaya
NIM
: B04080104


Disetujui oleh

Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi
Pembimbing I

Prof.drh. Bambang Pontjo P, MS. Ph.D. APVet
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh. Agus Setiyono, MS PhD APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2011 ini adalah

“Profil Leukosit pada Ayam Broiler yang Diberi Ekstrak Tanaman Obat”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada ibu, bapak, ketiga kakak dan keluarga
besar atas segala dukungan, doa, dan kasih sayangnya. Ungkapan terima kasih
sebesar-besarnya disampaikan kepada Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi dan Prof.
drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS.Ph.D. APVet selaku pembimbing skripsi
atas ilmu, waktu, dukungan, motivasi, dan kesabaran yang telah diberikan selama
ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang-orang yang
mendukung dan membantu penulis dalam menyusun skripsi: drh Mawar
Subangkit, Pak Djajat, Pak Suryono dan Pak Bambang. Teman satu penelitian
Adit, Andrew, Gregorio, dan Oliv. Teman Tim Mawar, Aswin, Awan, Ridwan,
Oka, Dian, Made, Rizal, Paguyuban (Riris, Susi, Cupu, Widia, Farah, Hafiz,
Babang, Jami, Mutia) dan Ana atas semangat, bantuan, nasihat, dan dukungannya,
serta seluruh Avenzoar tercinta dan nama-nama yang tidak bisa penulis
cantumkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013

Bagus Seta Chandra Wijaya


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


1

Manfaat Penelitian

1

TINJAUAN PUSTAKA

2

METODE

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

12

Hasil


12

Pembahasan

14

SIMPULAN DAN SARAN

17

Simpulan

17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA


17

RIWAYAT HIDUP

20

DAFTAR TABEL
1 Kelompok perlakuan ayam percobaan yang diberi formula ekstrak
empat tanaman obat
2 Rataan persentase diferensial leukosit (%) pada ayam broiler yang
diberi formula ekstrak temulawak, temu ireng, sambiloto, dan meniran

10
12

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

5
6
7
8
9
10
11
12

Ayam broiler
Temulawak
Temu ireng
Meniran
Sambiloto
Limfosit
Monosit
Heterofil
Eosinofil
Basofil
Jadwal perlakuan penelitian
Leukosit ayam broiler

2
3
3
4
5
6
6
7
8
8
11
14

PENDAHULUAN
Latar belakang
Indonesia yang memiliki iklim tropis dengan sumber daya alam melimpah
mendukung pertumbuhan serta perkembangan berbagai jenis flora dan fauna.
Tanaman obat, yang termasuk sebagai obat-obatan alam, diakui masyarakat
memiliki peranan dalam upaya pemeliharaan, peningkatan, pemulihan, dan
pengobatan penyakit. Tanaman obat dapat mempengaruhi mekanisme pertahanan
tubuh dan memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obatobat farmasetika.
Beberapa jenis tanaman obat yang sering digunakan
diantaranya adalah temulawak, meniran, sambiloto, dan temuireng (Suhirman dan
Winarti 2010).
Leukosit merupakan unit aktif dari sistem pertahanan tubuh. Leukosit
mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap
zat-zat asing. Leukosit sebagian dibentuk di sumsum tulang (granulosit, monosit
dan sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel plasma).
Leukosit yang telah terbentuk akan masuk ke dalam darah dan diangkut menuju
daerah-daerah yang mengalami peradangan (Brown 1980; Guyton 2006).
Kandungan zat aktif tanaman obat diyakini memiliki aktivitas
imunomodulasi untuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap infeksi secara
alami. Hal tersebut berhubungan dengan sistem kekebalan nonspesifik seperti
modulasi terhadap proliferasi limfosit dan respon seluler sel-sel kekebalan (sel T,
sel B, makrofag, neutrofil, natural killer cell, dan sel dendritik) (Yue et al. 2010).

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari profil leukosit ayam broiler
(limfosit, monosit, heterofil, eosinofil, dan basofil) yang diberi ekstrak tanaman
obat yaitu temulawak, temu ireng, sambiloto, dan meniran.

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efek
pemberian formula ekstrak tanaman obat terhadap profil leukosit ayam broiler,
sehingga dapat diketahui formulasi ekstrak herbal yang sesuai, yang dapat
digunakan untuk meningkatkan performa dan ketahanan ayam broiler.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Ayam broiler
Ayam ras pedaging atau broiler (Gambar 1), merupakan jenis ras unggulan
hasil persilangan bangsa-bangsa ayam yang memiliki produktivitas tinggi,
terutama dalam memproduksi daging. Pemeliharaan ayam broiler relatif singkat
berkisar antara 5–6 minggu (Anonim 2006). Ayam broiler merupakan galur ayam
hasil rekayasa teknologi yang memiliki keunggulan dalam hal pertumbuhan bobot
badan yang cepat sebagai penghasil daging, konversi ransum rendah, dapat
dipotong pada umur muda, menghasilkan kualitas daging yang berserat lunak, dan
harga yang relatif murah (Bell dan Weaver 2002). Beberapa jenis ayam broiler
antara lain Brahma Putra, Cochin China, Cornish, dan Sussex (Sudaryani dan
Santoso 2002).

Gambar 1 Ayam Broiler galur Cobb

Tanaman obat
Temulawak
Temulawak (Gambar 2) merupakan tanaman semak berbatang semu dengan
tinggi dapat mencapai 2 m atau lebih. Rimpang temulawak berukuran besar,
bercabang-cabang, dan berwarna coklat kemerahan. Temulawak atau Curcuma
xanthorriza Roxb. merupakan famili Zingiberaceae dan genus Curcuma (Afifah
2003; Supriadi 2008). Curcuma xanthorrhiza dilaporkan memiliki aktivitas anti
radang,
antitumor,
menurunkan
kandungan
trigliserida
darah
(hypotriglyceridaeamic), dan hepatoprotektor (Hwang et al. 2000).
Komposisi kimia rimpang temulawak terbesar adalah pati (48%–54%),
minyak atsiri (3%–12%), dan zat warna kuning yang disebut kurkumin. Fraksi
kurkumin mempunyai aroma yang khas, tidak toksik, terdiri dari kurkumin,
desmetoksikurkumin, dan bisdesmetoksikurkumin. Minyak atsiri merupakan
cairan warna kuning atau kuning jingga dan berbau aromatik tajam (Dalimarta
2000).

3

Gambar 2 Rimpang Temulawak
Temu ireng
Temu ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.)(Gambar 3) adalah tanaman
semak berbatang semu dengan tinggi mencapai 1,5 m. Rimpang temu ireng
berwarna agak kebiruan pada bagian dalam, kulit luar berwarna kuning
mengkilat, dan ujungnya berwarna merah muda. Tanaman ini tersebar secara
luas di seluruh Asia Tenggara (Larsen et al. 1999; Utami 2008). Berdasarkan
taksonominya, temu ireng termasuk ke dalam famili Zingiberaceae, genus
Curcuma, dan spesies Curcuma aeruginosa Roxb.
Kandungan rimpang Curcuma aeruginosa meliputi zedoalactone A,
zedoalactone B, isofuranodiene, furanodiene, furanodienone, dehydrocurdione,
curcumenone, 13-hydroxygermacrone, zedoarol, sesquiterpenes dan guaianolide
zedoarondiol (Reanmongkol et al. 2006). Syamsuhidayat dan Hutapea (1991)
menambahkan bahwa selain minyak atsiri, tanaman ini mengandung pula saponin,
flavonoid, dan polifenol.

Gambar 3 Rimpang Temu Ireng

4
Meniran
Meniran (Phyllanthus niruri Linn.)(Gambar 4) merupakan salah satu
tanaman yang berkhasiat obat yang termasuk dalam famili Euphorbiaceae
(Dalimarta 2000). Kandungan tanaman meniran meliputi flavonoid (quercetin,
quercitrin, rutin, astragalin, cathecin, nirurin), terpen (limonene, p-cymene,
lupeol), coumarin (ellagic acid dan methyl brevifolincarboxylate), lignan
(phyllanthin dan hypophyllanthin, niranthin, nirtetralin, phyltetralin dan
lintetralin, isolintetralin, 2, 3-desmethoxy seco-isolintetralin, 2, 3-des-methoxy
seco-isolintetralin diacetate, linnanthin, demethylenedi-oxyniranthin, nirphyllin
dan phyllnirurin), alkaloid, saponin, dan tanin (Bagalkotkar et al. 2006).
Flavonoid merupakan komponen yang bersifat imunomodulator yang mampu
meningkatkan sistem kekebalan tubuh sehingga mampu menangkal serangan
virus, bakteri atau jamur (Suhirman dan Winarti 2010).

Gambar 4 Tanaman Meniran
Sambiloto
Sambiloto atau Andrographis paniculata Nees. (Gambar 5) merupakan
tumbuhan perdu. Umumnya dikenal sebagai "Raja Pahit" dan termasuk dalam
famili Acanthaceae (Jarukamjorn dan Nemotob 2008).
Sambiloto dapat
merangsang sistem imun tubuh, baik berupa respon imun spesifik maupun non
spesifik (Puri et al. dalam Kurniawan 2011). Respon imun spesifik yang
dihasilkan akan menyebabkan diproduksinya limfosit dalam jumlah besar,
terutama limfosit B. Limfosit B akan menghasilkan antibodi yang akan mengikat
antigen serta merangsang proses fagositosis (Decker 2000).
Sambiloto
mengandung
diterpen,
lakton,
dan
flavonoid
(neoandrographolide,
14-deoxy-11,
12-didehydroandrographolide,
14deoxyandrographolide, isoandrographolide, dan 14-deoxyandrographolide 19 βD-glucoside, homoandrographolide, andrographan, andrographosterin, dan
stigmasterol). Andrographolide merupakan bicyclic diterpenoid lactone yang
memiliki rasa sangat pahit. Senyawa tersebut dapat ditemukan pada seluruh
bagian tanaman sambiloto dan paling banyak ditemukan pada bagian daun
(Jarukamjorn dan Nemotob 2008).

5

Gambar 5 Tanaman Sambiloto

Leukosit
Leukosit atau sel darah putih merupakan komponen dasar dalam sistem
imun seluler. Leukosit adalah sel darah yang berinti dengan ukuran sel lebih
besar dan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan eritrosit. Berdasarkan
keberadaan granul di sitoplasma, leukosit dibedakan menjadi granulosit (neutrofil,
eosinofil, dan basofil) dan agranulosit (limfosit dan monosit) (Bacha dan Bacha
2000). Kandungan aktif tanaman obat dapat mempengaruhi produksi leukosit
melalui peningkatan produksi sitokin seperti granulocyte-macrophage colony
stimulating factor (GM-CSF), interleukin-5 (IL-5), interleukin-6 (IL-6) yang
merangsang produksi granulosit dan monosit, serta sitokin interleukin 2 (IL-2)
yang dapat merangsang proliferasi limfosit (Chao dan Lin 2010; Yue et al 2010;
Latimer 2011).
Limfosit
Limfosit (Gambar 6) adalah jenis leukosit dengan jumlah paling banyak
dalam darah ayam (Bacha dan Bacha 2000). Secara histologis, limfosit memiliki
inti sel heterokromatik berbentuk lonjong hingga bulat, sitoplasma yang bersifat
basofilik dan tidak bergranul (Clark et al. 2009). Limfosit dihasilkan dari stem
cell di folikel limfatik dari limfonodus, tonsil, limpa, timus, dan jaringan
limforetikuler (Peyer patches) di usus. Limfosit adalah sel motil dan secara
umum dapat bergerak seperti neutrofil. Limfosit menuju jaringan melalui
mekanisme diapedesis dan dapat kembali lagi ke dalam sirkulasi darah melalui
kelenjar limfe (Melvin dan William 1993).
Limfosit berperan dalam membentuk antibodi (kekebalan humoral) dan
kekebalan seluler. Limfosit dalam sirkulasi mampu memproduksi imunoglobulin
(IgG, IgM dan IgA) (Frandson et al. 2009). Limfosit T menghasilkan tanggap
kebal seluler berperantara sel dan menghasilkan limfokin yang mencegah
perpindahan makrofag sebagai media kekebalan (Tizard 1988). Limfosit B
berperan dalam respon imun humoral, beberapa diantaranya tumbuh menjadi sel
plasma (sel pembentuk antibodi) (Dellman dan Brown 1989).

6

Gambar 6 Sel limfosit dengan inti berbentuk bulat dan sitoplasma basofilik
(Mitchell dan Johns 2008)
Monosit
Monosit (Gambar 7) adalah leukosit pleomorfik dengan ukuran paling besar
diantara jenis leukosit lainnya. Sel ini memiliki inti berbentuk lonjong, berlekuk
seperti tapal kuda dan tersusun dari kromatin-kromatin yang halus dengan jumlah
sitoplasma yang banyak berwarna abu-abu hingga basofilik, dan memiliki vakuola
berukuran kecil yang kadang terlihat jelas pada beberapa sel (Clark et al. 2009).
Monosit memiliki kemampuan memfagosit dan berkembang menjadi
makrofag ketika keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan.
Seperti neutrofil, monosit ditarik oleh faktor-faktor kemotaktik menuju jaringan
rusak atau jaringan yang mengalami invasi mikroba. Makrofag berfungsi dalam
fagositosis serta inisiasi dan pengaturan dalam peradangan dan respon kekebalan.
Makrofag melepaskan sejumlah sinyal kimia yang mengkoordinasikan berbagai
fungsi sel-sel lainnya dalam merespon kerusakan jaringan dan invasi mikroba.
Makrofag juga berfungsi dalam memproses antigen yang merupakan tahap awal
dalam inisiasi respon kekebalan (Frandson et al. 2009).

Gambar 7 Sel Monosit dengan lobus inti berbentuk lonjong (Mitchell dan Johns
2008)

7
Heterofil
Heterofil (Gambar 8) adalah bentuk netrofil pada unggas yang merupakan
pertahanan pertama melawan agen patogen yang menyerang (Fudge 2005).
Heterofil merupakan jenis leukosit di dalam sirkulasi darah dengan jumlah
terbanyak dibandingkan dengan granulosit lainnya. Sel ini dicirikan dengan
bentuk yang cenderung bulat dengan sitoplasma berwarna lebih muda yaitu
eosinofilik. Inti kasar, tidak teratur, biasanya memiliki dua sampai tiga lobus.
Lobus pada beberapa sel terlihat tidak tersambung karena inti tertutup granul.
Granul sitoplasma pada heterofil berbentuk batang atau jarum (Clark et al. 2009).
Heterofil merupakan salah satu basis pertahanan tubuh dari serangan
penyakit yang dapat mengakibatkan infeksi atau peradangan. Sel ini bekerja
dengan cara fagositosis yaitu dengan mengurung mikroorganisme asing di dalam
sitoplasma yang mengandung enzim proteolitik. Setelah melakukan fagositosis,
heterofil menjadi tidak aktif dan mati bersama dengan mikroorganisme asing dan
akan menghasilkan nanah (Tizard 1988).

Gambar 8 Sel Heterofil dengan granul sitoplasma berbentuk batang (Mitchell
dan Johns 2008)
Eosinofil
Eosinofil (Gambar 9) merupakan salah satu granulosit asidofilik yang dapat
ditemukan dalam darah unggas. Sel ini berbentuk bulat dengan inti berlobus yang
berisi kromatin berwarna basofilik, lebih gelap dibandingkan dengan kromatin
pada heterofil. Inti pada umumya memiliki dua lobus dengan sitoplasma
berwarna pucat hingga basofilik dan berisi granul eosinofilik. Granul sitoplasma
pada eosinofil terlihat berwarna jingga atau merah yang lebih cerah dan mencolok
dibandingkan dengan granul sitoplasma pada heterofil (Clark et al. 2009).
Sel ini sangat penting dalam respon terhadap penyakit parasitik dan alergi
(Hoffbrand 2006). Eosinofil juga berperan dalam perbaikan jaringan, kekebalan
bawaan, dapatan dan adaptif (Schalm 2010). Fungsi utama eosinofil adalah
detoksifikasi, baik terhadap protein asing yang masuk ke dalam tubuh melalui
paru-paru ataupun saluran cerna, maupun racun yang dihasilkan oleh bakteri dan
parasit (Frandson et al. 2009). Eosinofil sangat motil dan sedikit memiliki
kemampuan untuk memfagosit kompleks antigen-antibodi (Melvin dan William
1993). Eosinofil tidak dapat memfagosit agen infeksi yang berukuran besar
seperti cacing. Sel ini menempel pada tubuh larva cacing, melepaskan toksin dan

8
enzim hidrolitik yang merusak kulit kemudian masuk ke dalam kulit larva cacing
(Schalm 2010).

Gambar 9 Sel Eosinofil dengan granul sitoplasma eosinofilik terang (Mitchell
dan Johns 2008)
Basofil
Basofil (Gambar 10) merupakan granulosit yang paling jarang dijumpai
dalam sirkulasi darah mamalia, namun kemungkinan lebih sering dijumpai pada
darah unggas (Schalm 2010; Latimer 2011). Basofil memiliki inti yang kecil dan
bulat, terletak di tengah atau di tepi (Fudge 2005). Inti terdiri dari satu lobus atau
tidak berlobus dengan granul sitoplasma yang berwarna basofilik gelap dengan
densitas tinggi sehingga tampak menyatu. Inti berwarna lebih pucat dan sebagian
terlihat gelap karena tertutup oleh granul sitoplasma (Clark et al. 2009).
Basofil diproduksi di dalam sumsum tulang (Tizard 1988). Basofil
mempunyai fungsi membangkitkan proses peradangan akut pada tempat deposisi
antigen (Tizard 1988). Granul basofil berisi beberapa senyawa seperti heparin
untuk mencegah pembekuan darah serta histamin yang berfungsi dalam
meregangkan otot polos pembuluh darah dan konstriksi otot polos saluran
pernafasan (Frandson et al. 2009).

Gambar 10 Sel basofil dengan granul basofilik padat (Mitchell dan Johns 2008)

9

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2011. Kegiatan
pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di fasilitas kandang hewan
percobaan Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi
Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor. Penghitungan diferensial
leukosit dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam,
Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.

Bahan dan Peralatan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari ayam pedaging day
old chicken (DOC) strain cobb sebanyak 25 ekor, vaksin Newcastle disease (ND)
live vaccineLassota™, infectious bursal disease (IBD) live vaccine (CAPRIVAC
IBD-Inter®), avian influenza (AI) killed vaccine (Medivac®), metanol, giemsa
10%, minyak imersi, kebutuhan harian ayam meliputi air minum, pakan (Sinta®),
sekam sebagai alas kandang, formulasi empat ekstrak tanaman obat terdiri dari :
F1: temulawak, temuireng, sambiloto dan meniran; F2: temulawak, temu ireng
dan meniran; F3: temulawak dan temuireng; F4: sambiloto dan meniran.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah alat pemeliharaan dan
perlakuan ayam meliputi 5 petak kandang, timbangan untuk mengukur bobot
badan, tempat pakan dan air minum, lampu, syringe untuk vaksinasi, spoit untuk
mencekok ekstrak, alat untuk pembuatan sediaan ulas darah yaitu gelas obyek,
syringe, label, alat untuk pengamatan sediaan ulas darah yaitu mikroskop dan
counter.

Metode Penelitian
Persiapan Kandang Penelitian
Kandang ayam dibuat menurut sistem lantai (floor) dengan panjang 110 cm,
lebar 40 cm, dan tinggi 45 cm. Seluruh dinding dan lantai kandang dikapur
dengan kapur tembok berwarna putih, didesinfeksi dengan desinfektan kelompok
fenol sintetik, dan difumigasi dengan gas formalin 10% v/v sehari sebelum ayam
percobaan dimasukkan.
Penyediaan Ekstrak
Ekstraksi tanaman obat berasal dari empat jenis tanaman, yaitu temulawak,
sambiloto, dan temu ireng dengan pelarut etanol dan tanaman meniran
menggunakan pelarut air. Pembuatan ekstrak dan formula dari kombinasi
tanaman obat dilakukan di Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor.

10
Vaksinasi
Setelah masa adaptasi, semua kelompok ayam divaksin dengan ND live
vaccine Lassota™ pada hari ke-4, IBD live vaccine (CAPRIVAC IBD-Inter®)
live vaccine pada hari ke-11, AI killed vaccine Medivac® pada hari ke-15.
Vaksin ND diberikan secara tetes hidung dan tetes mata, sedangkan vaksin IBD
diberikan secara oral. Vaksin AI diberikan melalui injeksi di bawah kulit di
daerah leher bagian belakang dengan dosis 0.2 ml.
Perlakuan penelitian
Penelitian ini menggunakan ayam pedaging strain Cobb berumur 1 hari
dengan bobot badan seragam. Sebelum perlakuan dimulai, diadakan masa
adaptasi selama 4 hari untuk mengembalikan kondisi ayam dari stres karena
pemindahan dan transportasi. Sebelum dibagi ke dalam beberapa kelompok
perlakuan, bobot ayam tiap kelompok perlakuan ditimbang dan dirata-ratakan
untuk menghitung dosis pemberian formula tanaman obat. Sebanyak 25 ekor
ayam dibagi ke dalam lima kelompok perlakuan seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kelompok perlakuan ayam percobaan yang diberi formula ekstrak empat
tanaman obat
Perlakuan
Kontrol (-)
F1

F2

F3

F4

Keterangan
5 ekor ayam divaksin ND live vaccine, IBD live vaccine,
dan AI killed vaccine, dan diberi aquades sebanyak 1 ml.
5 ekor ayam divaksin ND live vaccine, IBD live vaccine,
dan AI killed vaccine, dan diberi formula temulawak,
temu ireng, sambiloto, dan meniran sebanyak 1 ml.
5 ekor ayam divaksin ND live vaccine, IBD live vaccine,
dan AI killed vaccine, dan diberi formula temulawak,
temu ireng, dan meniran sebanyak 1 ml
5 ekor ayam divaksin ND live vaccine, IBD live vaccine,
dan AI killed vaccine,dan diberi formula temulawak dan
temuireng sebanyak 1 ml
5 ekor ayam divaksin ND live vaccine, IBD live vaccine,
dan AI killed vaccine, dan diberi formula sambiloto dan
meniran sebanyak 1 ml

Pemberian Ekstrak
Penyajian ekstrak tanaman obat untuk tiap kelompok perlakuan dilakukan
dengan cara melarutkan ekstrak tersebut dengan aquades. Dosis yang ditentukan
dibagi dengan bobot badan ayam masing-masing kelompok, lalu dirata-ratakan
sehingga untuk ayam pada tiap kelompok perlakuan dipakai dosis yang seragam.
Pencekokan mulai dilakukan setelah masa adaptasi, yaitu pada hari ke-5
masa perlakuan. Setiap hari tiap kelompok ayam dicekok dengan masing-masing
formula tanaman obat menggunakan spoit 1 ml. Pencekokan dilakukan selama 28
hari sampai hari ke-32 sebanyak 1 kali sehari. Jadwal perlakuan dijelaskan pada
Gambar 11.

11

Gambar 11 Jadwal Perlakuan Penelitian
Pengambilan Sampel Darah
Sampel darah diambil pada hari ke-33 sebanyak 1 ml dari vena brachialis
menggunakan syringe. Darah kemudian diteteskan pada gelas obyek, diulas, dan
dikeringkan. Ulasan darah diberi tanda sesuai kode ayam, untuk selanjutnya
difiksasi menggunakan metanol selama 5 menit. Setelah 5 menit, gelas obyek
direndam dalam zat warna giemsa 10% selama 45 menit dan dikeringkan dengan
cara diangin-anginkan.
Penghitungan Diferensial Leukosit
Pengamatan terhadap diferensial leukosit dilakukan di bawah mikroskop
dengan pembesaran 100 x 10 menggunakan minyak imersi. Jenis leukosit yang
dihitung meliputi heterofil, basofil, eosinofil, monosit, dan limfosit. Penghitungan
diferensial leukosit dilakukan hingga jumlah leukosit yang diperoleh berjumlah
100 dan hasilnya dinyatakan dalam persentase (%). Counter digunakan sebagai
alat bantu menghitung jenis leukosit yang ditemukan.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan teracak lengkap. Penelitian ini terdiri atas empat kelompok perlakuan
(F1, F2, F3, dan F4) yang dibandingkan dengan kelompok kontrol (K-).
Kelompok F1, pesentase leukosit yang diberi ekstrak temulawak, temu ireng,
sambiloto, dan meniran. Kelompok F2, persentase leukosit yang diberi ekstrak
temulawak, temu ireng, dan meniran. Kelompok F3, persentase leukosit yang
diberi ekstrak tanaman temulawak dan temu ireng. Kemudian kelompok F4,
persentase leukosit yang diberi ekstrak sambiloto dan meniran.
Parameter yang diamati adalah persentase masing-masing jenis leukosit
(limfosit, heterofil, monosit, eosinofil, dan basofil) pada setiap kelompok
perlakuan. Penghitungan diferensial leukosit dilakukan hingga jumlah leukosit

12
yang diperoleh berjumlah 100 dan hasilnya dinyatakan dalam persentase (%).
Setiap kelompok perlakuan dilakukan ulangan sebanyak lima kali.

Analisis Data
Analisis data hasil penelitian dilakukan menggunakan Analysis of Variance
(ANOVA) untuk melihat pengaruh perlakuan, kemudian dilanjutkan dengan uji
Duncan untuk melihat perbandingan antar kelompok.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil penghitungan diferensial leukosit ayam broiler strain Cobb setelah
pemberian formula ekstrak temulawak, temu ireng, sambiloto, dan meniran
selama 28 hari disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Rataan persentase diferensial leukosit (%) pada ayam broiler yang diberi
formula ekstrak temulawak, temu ireng, sambiloto, dan meniran
Kelompok
F1

Limfosit

Heterofil

42,00±3,0a

46,00±4,7c

Monosit

Eosinofil

Basofil

7,80±1,9a 3,60±1,2a 0,00±0,0a

F2

48,80±11,1ab 41,20±10,5bc 7,40±3,8a 2,40±2,5a 0,20±0,4a

F3

53,00±4,3bc

36,80±6,4ab

7,60±2,5a 2,60±1,5a 0,00±0,0a

F4

58,40±3,2c

31,80±4,3a

7,40±1,1a 2,40±0,9a 0,00±0,0a

K(-)

48,40±3,8ab

42,00±5,9bc

7,00±3,6a 2,60±1,3a 0,00±0,0a

Keterangan :

Huruf superskript adalah hasil dari uji wilayah berganda Duncan, dimana huruf
yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata

F1

:

F2

:

F3
F4
K(-)

:
:
:

kelompok yang diberi ekstrak tanaman temulawak, temu ireng,
sambiloto dan meniran,
kelompok yang diberi ekstrak tanaman temulawak, temu ireng, dan
meniran,
kelompok yang diberi ekstrak tanaman temulawak dan temu ireng,
kelompok yang diberi ekstrak tanaman sambiloto dan meniran,
kelompok yang tidak diberi ekstrak tanaman.

13
Limfosit
Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase limfosit pada kelompok F4
(kombinasi ekstrak sambiloto dan meniran) berbeda nyata dibandingkan dengan
kelompok kontrol (K-), sedangkan kelompok F1, F2, dan F3 tidak berbeda nyata.
Kelompok F4 berbeda nyata apabila dibandingkan dengan kelompok F1, F2 dan
kontrol, namun demikian tidak berbeda nyata apabila dibandingkan dengan
kelompok F3 (kombinasi ekstrak temulawak dan temu ireng).
Kelompok perlakuan F4 (58,40±3,2 %), F3(53,00±4,3 %), dan F2
(48,80±11,1 %) memperlihatkan persentase limfosit lebih tinggi, sedangkan
kelompok perlakuan F1 (42,00±3,0 %) menunjukkan persentase limfosit lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol (K-) (48,40±3,8 %). Tabel 2
memperlihatkan bahwa persentase limfosit tertinggi terdapat pada kelompok
perlakuan F4, dan terendah pada kelompok perlakuan F1.
Heterofil
Hasil pengujian menunjukkan bahwa rataan persentase heterofil pada
kelompok F4 berbeda nyata dibandingkan dengan kelompok kontrol, sedangkan
kelompok F1, F2, dan F3 tidak berbeda nyata. Kelompok F4 berbeda nyata
terhadap kelompok perlakuan F1, F2, dan K(-), tetapi tidak berbeda nyata
terhadap kelompok F3.
Kelompok perlakuan F1 (46,00±4,7%) mempunyai rataan persentase
heterofil lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (42,00±5,9 %),
sedangkan kelompok perlakuan F2 (41,20±10,5 %), F3 (36,80±6,4 %), dan F4
(31,80±4,3 %) memiliki persentase heterofil cenderung lebih rendah. Kelompok
F1 memiliki persentase heterofil tertinggi, sedangkan rataan persentase terendah
terdapat pada kelompok F4. Kelompok F4 berbeda nyata terhadap kelompok
perlakuan F1, F2, dan K(-), tetapi tidak berbeda nyata terhadap kelompok F3.

Monosit
Persentase monosit pada semua kelompok perlakuan tidak berbeda nyata
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Rataan persentase monosit kelompok
perlakuan F1, F2, F3, dan F4 cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Rataan persentase monosit tertinggi terdapat pada kelompok
F1 (7,80±1,9 %). Kelompok perlakuan F2 (7,40±3,8 %) memiliki persentase
monosit yang cenderung sama dengan kelompok F4 (7,40±1,1 %).

Eosinofil
Hasil pengujian menunjukkan bahwa persentase eosinofil pada semua
kelompok perlakuan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Rataan persentase eosinofil pada kelompok perlakuan F1 (3,60±1,2 %) cenderung
lebih tinggi, sedangkan kelompok F2 (2,40±2,5 %) dan F4 (2,40±0,9 %)
cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kelompok
perlakuan tertinggi terdapat pada kelompok F1, sedangkan rataan presentase
eosinofil pada kelompok F3 (2,60±1,5 %) cenderung sama dengan kelompok
kontrol.

14
Basofil
Hasil penghitungan diferensial leukosit menunjukkan bahwa basofil hanya
ditemukan pada kelompok perlakuan F2 (0,20±0,4 %), yang merupakan kelompok
dengan pemberian kombinasi ekstrak temulawak, temu ireng, dan meniran.
Hasil pengamatan diferensial leukosit pada ayam broiler menggunakan
mikroskop dengan pembesaran 100 x 10 menggunakan minyak imersi dapat
dilihat pada Gambar 12.

b

a

d

c

e

Gambar 12 Leukosit ayam broiler, (a) Limfosit; (b) Heterofil; (c) Monosit; (d)
eosinofil; (e) Basofil

Pembahasan
Tanaman obat temulawak, temu ireng, sambiloto, dan meniran memiliki
kandungan zat aktif yang dapat bersifat sebagai imunomodulator terhadap sistem
kekebalan tubuh hewan. Imunomodulasi dapat diartikan sebagai perubahan dalam
merangsang atau menekan indikator seluler, humoral, dan mekanisme pertahanan
spesifik. Kandungan zat aktif tanaman obat, yang kebanyakan berasal dari hasil
metabolit sekunder tanaman, mempunyai efek menguntungkan sistem kekebalan
tubuh hewan (Suhirman dan Winarti 2010; Hasehemi dan Davoodi 2012).
Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase limfosit pada kelompok F4
(kombinasi ekstrak sambiloto dan meniran) memiliki nilai rataan tertinggi dan
berbeda nyata dibandingkan dengan kelompok kontrol (K-).
Meniran
mengandung flavonoid (astragalin) dan alkaloid (securinine dan norsecurinine).
Astragalin dilaporkan memiliki kemampuan meningkatkan kekebalan pada
manusia dan hewan dengan meningkatkan fagositosis, meningkatkan jumlah
makrofag dan merangsang pembentukan antibodi (Bagalkotkar et al 2006).
Ajibadeva dan Egbebi (2011) melaporkan bahwa pemberian ekstrak alkaloid
meniran kepada kelinci yang diinfeksi dengan Escherichia coli selama tiga hari
meningkatkan nilai packed cell volume (PCV), konsentrasi hemoglobin, jumlah
limfosit, dan menurunkan jumlah leukosit total serta neutrofil. Sambiloto
mengandung senyawa andrographolide yang mampu meningkatkan sekresi

15
interleukin-2 (IL-β) dan interferon gamma (IFN ) oleh sel T dan merangsang
produksi limfosit T sitotoksik (Chao dan Lin 2010).
Persentase limfosit pada kelompok F2 dan F3 cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Tingginya persentase limfosit pada
kelompok F2 diduga karena kandungan kurkumin dan turmeron pada tanaman
temulawak dan temu ireng serta kandungan alkaloid (securinine dan
norsecurinine) pada meniran. Peningkatan persentase limfosit pada kelompok F3
diduga akibat kandungan kurkumin dan turmeron pada temulawak dan temu ireng.
Kandungan alkaloid pada tanaman meniran dapat meningkatkan proliferasi
limfosit T dan limfosit B. Meniran dapat meningkatkan interleukin-4 (IL-4) yang
akan mempengaruhi peningkatan limfosit B (Nworu et al 2010). Temulawak dan
temu ireng mengandung kurkumin yang dapat meningkatan proliferasi limfosit
dan turmeron yang dapat meningkatkan sekresi IL-2 sehingga terjadi peningkatan
limfosit (Dalimartha 2000; Jagetia dan Aggarwal 2006; Yue et al. 2010; Latimer
2011; Choudhury et al. 2013).
Persentase heterofil, monosit, dan eosinofil tertinggi terdapat pada
kelompok F1 (kombinasi ekstrak temulawak, temu ireng, sambiloto dan meniran).
Kandungan kurkumin pada temulawak dan temu ireng dapat meningkatkan
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan GM-CSF. Interleukin-1 dan IL-6
akan merangsang produksi monosit, sedangkan GM-CSF merangsang produksi
monosit dan granulosit (Dalimartha 2000; Schalm 2010; Yue et al. 2010;
Choudhury 2013). Pemberian ekstrak sambiloto dapat meningkatkan persentase
monosit. Peningkatan persentase monosit pada penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilaporkan Bukoye dan Musbau (2011) bahwa pemberian ekstrak
daun sambiloto dapat meningkatkan monosit pada tikus wistar jantan. Ekstrak
daun sambiloto mampu meningkatkan sistem kekebalan yang ditandai dengan
peningkatan tumor necrosis factoralpha (TNF-α) dan IL-6.
Jenis leukosit basofil hanya ditemukan pada kelompok perlakuan F2.
Basofil merupakan leukosit granulosit yang paling jarang ditemukan dalam
sirkulasi darah. Basofil tidak selalu ditemukan dalam preparat ulas darah (Bacha
dan Bacha 2000).
Kelompok F2 (kombinasi ekstrak temulawak, temu ireng, dan meniran)
memiliki persentase limfosit dan monosit yang cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok kontrol, sedangkan persentase heterofil dan
eosinofil lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penurunan
persentase heterofil dan eosinofil diduga akibat kandungan alkaloid (securinine
dan norsecurinine) dan flavonoid pada tanaman meniran. Kandungan alkaloid
dan flavonoid pada meniran dapat meningkatkan IL-4 dan IFN (Nwanjo β007;
Nworu et al 2010). Interleukin-4 (IL-4) merangsang aktivitas T-helper-2 (Th2)
dan menekan aktivitas T-helper-1 (Th1) yang mensekresikan Interleukin-3 (IL-3)
dan GM-CSF.
Interleukin-3 dan GM-CSF berperan dalam pembentukan
granulosit termasuk heterofil dan eosinofil (Kumar et al. 2008; Latimer 2011).
Kelompok F3 (kombinasi ekstrak temulawak dan temu ireng) memiliki
persentase limfosit dan monosit yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol.
Persentase eosinofil cenderung sama dengan kontrol
sedangkan heterofil cenderung lebih rendah dibandingkan kontrol. Rendahnya
persentase heterofil diduga akibat tingginya persentase limfosit. Tingginya

16
limfosit akan diikuti dengan penurunan jumlah heterofil pada sirkulasi darah
(Schalm 2010).
Kelompok F4 memiliki persentase limfosit dan monosit cenderung lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol, persentase heterofil dan eosinofil lebih
rendah dibandingkan dengan kontrol. Penurunan persentase heterofil diduga
akibat kandungan flavonoid dan alkaloid (securine dan norsecurine) tanaman
meniran.
Kelompok F3 yang diberi kombinasi tanaman temulawak dan temu ireng
dianggap memiliki pengaruh yang paling baik diantara kelompok perlakuan
lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari tingginya persentase limfosit dan monosit.
Persentase eosinofil relatif tidak berbeda dengan kelompok kontrol, sedangkan
persentase heterofil sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Temulawak dan temu ireng diketahui mampu memodulasi pertumbuhan dan
respon seluler dari berbagai tipe sel sistem kekebalan. Jagetia dan Aggarwal
(2006) melaporkan bahwa kurkumin dengan dosis rendah dapat meningkatkan
proliferasi limfosit pada limpa tikus. Kurkumin juga memiliki kemampuan untuk
memodulasi fungsi kekebalan pada sel T. Kurkumin memiliki kemampuan
memodulasi, mengaktivasi makrofag, dan mengatur fagositosis makrofag
peritoneal serta mengatur diferensiasi splenosit. Senyawa kurkuminoid dan
sesquiterpenoid memiliki aktivitas imunomodulasi terhadap sel mononuklear pada
darah perifer manusia. Senyawa polisakarida secara signifikan meningkatkan
produksi sitokin transforming growth factor- (TGF- ), tumor necrosis factor-α
(TNF-α), granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF),
interleukin-1α (IL-1α), interleukin-5 (IL-5), IL-6, interleukin-8 (IL-8), interleukin10 (IL-10), dan interleukin-13 (IL-13) dan proliferasi sel mononuklear pada darah
perifer manusia (Yue et al. 2010).
Dhenge et al.(2009) melaporkan bahwa hasil penelitian pemberian tepung
dari daun tanaman sambiloto (Andrographis paniculata) pada ayam broiler
menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan terhadap konsentrasi
hemoglobin, jumlah eritrosit, jumlah leukosit total, dan jumlah limfosit.
Kandungan andrographolide, 14-deoxyandrographolide, dan 14-deoxy-11, 12didehydroandrographolide pada tanaman sambiloto signifikan meningkatkan
proliferasi limfosit dalam darah perifer manusia (human peripheral blood
limphocyte/hPBL) pada konsentrasi rendah. Senyawa diterpen tiga termasuk
andrographolide, meningkatkan proliferasi dan sekresi IL-2 di hPBL.
Peningkatan sekresi IL-2 dan interferon gamma (IFN ) oleh sel T dan merangsang
produksi limfosit T sitotoksik (Chao dan Lin 2010).
Tanaman meniran (Phyllanthus niruri Linn.) dapat digunakan untuk
meningkatkan kekebalan non-spesifik dan kekebalan spesifik. Sebuah studi invitro pada tikus membuktikan bahwa pemberian oral ekstrak meniran
meningkatkan produktivitas antibodi spesifik dan peningkatan aktivitas makrofag
atau proliferasi limfosit T. Sebagian limfosit T akan berdiferensiasi menjadi Th1
yang memiliki peran penting dalam respon imun seluler. Ekstrak meniran juga
menginduksi sekresi TNF dari makrofag teraktivasi (Sarisetyaningtyas et al.
2006).
Ekstrak meniran merupakan mitogen limfosit pada tikus, menginduksi
peningkatan proliferasi limfosit B dan T serta peningkatan produksi IFN dan IL-

17
4. Aktivasi dan fungsi makrofag tikus meningkat yang terlihat dari peningkatan
fagositosis, aktivitas enzim lisosom, dan pelepasan TNF-α (Nworu et al. 2010).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Persentase limfosit tertinggi terdapat pada kelompok ayam broiler yang
diberi kombinasi ekstrak sambiloto dan meniran, dan persentase heterofil terendah
pada kelompok yang diberi kombinasi ekstrak tanaman temulawak, temu ireng,
sambiloto dan meniran. Persentase heterofil tertinggi terdapat pada kelompok
ayam broiler yang diberi kombinasi ekstrak tanaman temulawak, temu ireng,
sambiloto dan meniran, dan persentase heterofil terendah pada kelompok yang
diberi kombinasi ekstrak tanaman sambiloto dan meniran. Berdasarkan data
persentase leukosit, disimpulkan bahwa formulasi ekstrak temulawak dan temu
ireng merupakan kombinasi terbaik dalam meningkatkan sistem imun tubuh.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap pengaruh bahan aktif dari
tanaman obat (temulawak, temu ireng, sambiloto, dan meniran) terhadap sistem
kekebalan dan dilakukan uji tantang untuk mengetahui pengaruhnya langsung
pada ayam.

DAFTAR PUSTAKA
Afifah E. 2003. Khasiat dan ManfaatTemulawak. Jakarta (ID): Agromedia.
Ajibadeva, Egbebi. 2011. Effect of alkaloid extract of Phyllanthus niruri on
rabbits infected with enteropathogenic Escherichia coli. International Journal
of Tropical Medicine and Public Health. 1:33–39.
[Anonim].
2006.
Budidaya ayam ras pedaging [terhubung berkala].
http://www.warintek.ristek.go.id/peternakan/budidaya/ayam_pedaging.pdf [17
Maret 2012].
Bacha LM, Bacha WJ. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology. Ed ke-2.
New York (US): Lippincott Williams & Wilkins.
Bagalkotkar G, Sagineedu SR, Saad MS, Stanslas J. 2006. Phytochemicals from
Phyllanthus niruri Linn and their pharmacological properties: a review.
Journal of Pharmacy and Pharmacology. 58:1559–1570.
Bell DD, Weaver WD. 2002. Comercial Chicken Meat and Egg Production. 5 th
Edition. New York (US): Springer Science and Business Media.

18
Brown BA. 1980. Hematology: principles and procedures.
Philadelphia: Lea and Febringer.

Ed ke-3.

Bukoye O, Musbau A. 2011. Immune modulation potentials of aqueos extract of
Andrographis paniculata leaves in male rat. Researcher. 3: 48–57.
Choudhury D, Ghosal M, Abhaya P, Palash M. 2013. Development of single
node cutting propagation techniques and evaluation of antioxidant activity of
curcuma aeruginosa roxburgh rhizome. International Journal Of Pharmacy
And Pharmaceutical Sciences. 5: 227–234.
Chao WW, Lin BF. 2010. Isolation and identification of bioactive compounds in
Andrographis paniculata (Chuanxinlian): a review. Chinese Medicine. 5:17.
Clark P, Boardman W, Raidal S. 2009. Atlas of Clinical Avian Hematology.
West Sussex (UK): John Wiley & Sons Ltd.
Dalimartha S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Bogor (ID): Trobus
Agriwidya.
Decker JM. 2000. Introduction to Immunology 11th Edition. Oxford (UK).
Blackwell Science.
Dellman HD, Brown EM. 1989. Buku teks Histologi Veteriner I 3rd Edition.
Penerjemah Jan Tambayong. Jakarta (ID): EGC
Dhenge SA, Shirbhate RN, Bahiram KB, Wankar AK, Khandait VN, Patankar
RB. 2009. Haematobiochemical profile of broilers supplemented with
Withania somnifera (Ashwagandha) and Andrographis paniculata (Bhuineem).
Indian Journal of Field Veterinarians. 5:5–8
Frandson RD, Wilke WL, Fails AD. 2009. Anatomy and Physiology of Farm
Animal 7th Edition. Iowa (US): Willey-Blackwell.
Fudge AM. 2005. Avian Hematology. El Dorado Hills (US): California Avian
Laboratory.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology. Philadelpia (US):
Elsevier Saunders.
Hasehemi SR, Davoodi H. 2012. Herbal plants as immuno-stimulator in poultry
industry: a review. Asian Journal of Animal and Veterinary Advances. 7:105–
116.
Hoffbrand V. 2006. At a Glance Hematology. Jakarta (ID): EMS.
Hwang JK, Shim JS, dan Pyun YR. 2000. Antibacterial activity of xanthorrizol
from Curcuma xanthorriza againts oral pathogens. Fitotherapia. 71:321–323.
Jagetia GC, Aggarwal BB. 2007. Spicing up of the immune system by curcumin.
Journal of Clinical Immunology. 27:19–35.
Jarukamjorn K, Nemotob N. 2008. Pharmacological aspects of andrographis
paniculataon health and its major diterpenoid constituent andrographolide.
Journal of Health Science. 54:370–381.

19
Kumar A, Arun K. 2008. Immunomodulatory properties of Phyllanthus amarus
on human peripheral blood mononuclear cells [skripsi]. Tamil Nadu (IN).
Fakultas Bioteknologi, Sri Ramaswamy Memorial University.
Kurniawan A. 2011. Aktivitas antioksidan dan potensi hayati dari kombinasi
ekstrak empat jenis tanaman obat Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Larsen K, Ibrahim H, Khaw SH, Saw LG. 1999. Gingers of Peninsular Malaysia
and Singapore. Kota Kinabalu (MY): Natural History Publications.
Latimer KS. 2011. Duncan & Prasse's Veterinary laboratory Medicine: Clinical
Pathology 5th Edition. West Sussex (UK): John Wiley & Son Inc.
Melvin JS, William OR. 1993. Duke’s Physiology of Domestic Animals 11st
Edition. London (UK) : Cornell University Pr.
Mitchell EB, Johns J. 2008. Avian hematology and related disorders. Veterinary
Clinics of North America: Exotic Animal Practice. 11: 501–522.
Nwanjo HU. 2007. Studies on the effect of aqueous extract of Phyllanthus niruri
on plasma glucose level and some hepatospecific markers in diabetic Wistar
rats. International Journal of Laboratory Medicine. 2: 1–18.
Nworu CS, Akah PA, Okoye FB, Proksh P, Esimone CO. 2010. The effects of
Phyllanthus niruri aqueous extract on the activation of murine lymphocytes
and bone marrow-derived macrophages.
Immunological Investigations.
39:245–67.
Reanmongkol W, Subhadhirasakul S, Khaisombat N, Fuengnawakit P, Jantasila S,
Khamjun A. 2006. Investigation the antinociceptive, antipyretic and antiinflammatory activities of Curcuma aeruginosa Roxb extracts in experimental
animals. Songklanakarin Journal Science Technology. 28:999–1008.
Sarisetyaningtyas PV, Hadinegoro SR, Munasir Z. 2006. Randomized controlled
trial of Phyllanthus niruri Linn extract. Paediatrica Indonesiana. 46:3–4.
Schalm OW. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth Edition. Editor :
Douglas J. Weiss, K. Jane Wardrop. New Jersey (US): Blackwell Pub.
Sudaryani T, Santoso H. 2002. Pembibitan Ayam Ras. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Suhirman S, Winarti C. 2010. Prospek dan Fungsi Tanaman Obat Sebagai
Imunomodulator. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Supriadi D. 2008. Optimalisasi ekstraksi kurkuminoid Temulawak (Curcuma
Xanthorriza Roxb [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Syamsuhidayat SS, Hutapea JR. 1991. Invetaris Tanaman Obat Indonesia. Jilid
I. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan RI.
Tizard IR. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Partodiredjo M, penerjemah.
Surabaya (ID): Airlangga University Pr. Terjemahan dari: An Introduction to
Veterinary Imunology.

20
Utami P. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.
Yue GGL, Chan BCL, Hon PM, Fung KP, Leung PC, Lau CBS. 2010.
Immunostimulatory activities of polysaccharide extract isolated from Curcuma
longa. International Journal of Biological Macromolecule. 47: 342–347.

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Madiun pada 11 Juni 1990. Penulis adalah putra
bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Rakidin dan Ismojowati. Penulis
mengenyam pendidikan formal di SD Negeri 2 Bangunsari (2002), SMP Negeri 1
Balerejo (2005), dan SMA Negeri 1 Mejayan (2008). Seluruh jenjang pendidikan
tersebut ditempuh di kota kelahiran.
Tahun 2008 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan di Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menjadi
mahasiswa, penulis aktif di Himpunan Minat dan Profesi (HIMPRO) Satwa Liar
(SATLI) divisi eksternal.