Perencanaan Pengembangan Lahan Sawah Berbasis Spasial Untuk Mendukung Kemandirian Pangan Di Kabupaten Kubu Raya
PERENCANAAN PENGEMBANGAN LAHAN SAWAH
BERBASIS SPASIAL UNTUK MENDUKUNG
KEMANDIRIAN PANGAN DI KABUPATEN KUBU RAYA
SANDI NURDIN
A156140104
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
(2)
(3)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perencanaan Pengembangan Lahan Sawah Berbasis Spasial untuk Mendukung Kemandirian Pangan di Kabupaten Kubu Raya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2015 Sandi Nurdin NIM A156140104
(4)
untuk Mendukung Kemandirian Pangan di Kabupaten Kubu Raya. Dibimbing oleh WIDIATMAKA dan KHURSATUL MUNIBAH.
Sebagai salah satu wilayah yang berkembang dan berbasis unggulan padi sawah, Kabupaten Kubu Raya diprioritaskan menjadi wilayah pengembangan lahan sawah di Kalimantan Barat. Namun dalam pelaksanaannya, masih menghadapi kendala belum tersedianya informasi potensi sumberdaya lahan yang akan dikembangkan menjadi lahan sawah. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis secara spasial, lahan yang berpotensi untuk pengembangan lahan sawah dalam upaya mendukung kemandirian pangan di Kabupaten Kubu Raya. Untuk mencapai hal tersebut, maka tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menganalisis: (1) penggunaan lahan dan sebaran lahan sawah tahun 2014, (2) ketersediaan lahan dan kesesuaian lahan (3) lahan yang berpotensi dan arahan prioritas untuk pengembangan lahan sawah, (4) proyeksi kebutuhan luas baku lahan sawah, dan (5) strategi pengembangan lahan sawah di Kabupaten Kubu Raya.
Bahan penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer berupa pengambilan titik sampel (ground check) untuk setiap jenis penggunaan lahan dan wawancara dengan panduan kuesioner terhadap 18 responden stakeholders yang dipilih dengan teknik sampling nonprobabilitas melalui pendekatan purposive sampling. Data sekunder terdiri dari data spasial, data tabular dan telaahan pustaka. Data spasial yang digunakan adalah citra Landsat 8, citra Google Earth, Peta Sistem Lahan (RePPProT), Peta Lahan Sawah, Peta Rupa Bumi Indonesia, Peta Sebaran Gambut, Peta Status Kawasan Hutan, Peta Penggunaan Lahan, Peta Rencana Pola Ruang, Peta Administrasi, Peta Curah Hujan dan Suhu Rata-rata Tahunan dan Peta Jenis Tanah. Data tabular berupa data hasil analisis tanah dan data statistik. Peralatan yang digunakan adalah Global Positioning System (GPS), Sistem Informasi Geografis (SIG), Google Earth Pro dan Microsoft Excel.
Analisis penggunaan lahan dan sebaran lahan sawah existing tahun 2014, dilakukan dengan menginterpretasi citra Landsat 8 dan survey lapangan. Analisis ketersediaan lahan dilakukan secara spasial dengan metode Sistem Informasi Geografis (SIG). Analisis kesesuaian lahan dilakukan dengan menggunakan sistem evaluasi lahan, yaitu dengan cara mencocokkan (matching) karakteristik lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman. Analisis potensi lahan dan arahan prioritas dilakukan secara spaial menggunakan metode Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan Proyeksi kebutuhan luas baku lahan sawah, dilakukan dengan perhitungan manual. Proyeksi bersifat statis, tidak mempertimbangkaan keterkaitan antar parameter. Strategi pengembangan lahan sawah dilakukan dengan metode wawancara melalui quesioner berdasarkan teknik sampling nonprobabilitas melalui pendekatan purposive sampling dan diolah dengan analisis SWOT.
Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan lahan di Kabupaten Kubu Raya dikelompokkan kedalam 11 jenis penggunaan lahan, yang didominasi oleh kawasan hutan sebesar 42,49% dari luas wilayah Kabupaten Kubu Raya. Penggunaan lahan yang dikategorikan tersedia untuk pengembangan lahan sawah sebesar 24,68%, terdiri dari: lahan terbuka, semak belukar, pertanian lahan kering campur semak, semak belukar rawa dan rawa. Lahan sawah teridentifikasi seluas
(5)
63.616 ha (7,66%), terdiri dari sawah irigasi sederhana, sawah pasang surut dan sawah tadah hujan yang tersebar di seluruh kecamatan dan didominasi oleh lahan sawah tadah hujan. Alokasi penggunaan lahan yang tersedia untuk pengembangan lahan sawah sebesar 120.692 ha dan kesesuaian lahan untuk pengembangan lahan sawah tergolong kedalam kelas S3 (sesuai marjinal) seluas 205.914 ha dengan faktor penghambat berupa, rendahnya hara tersedia, media perakaran dan kombinasi keduanya. Lahan yang berpotensi (tersedia dan sesuai) untuk pengembangan lahan sawah di Kabupaten Kubu Raya mencapai 62.176 ha (7,50%) dan pengembangan lahan sawah diarahkan pada prioritas pertama seluas 1.124 ha (0,14%) yang berlokasi di Kecamatan Batu Ampar (963 ha), Kecamatan Sungai Kakap (113 ha), Kecamatan Kuala Mandor B (33 ha), Kecamatan Kubu (10 ha), Kecamatan Teluk Pakedai (3 ha) dan Kecamatan Sungai Raya (3 ha).
Kebutuhan luas baku lahan sawah di Kabupaten Kubu Raya diproyeksikan meningkat dari 18.397 ha pada tahun 2008 menjadi 28.127 ha pada tahun 2033. Pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2013, Kabupaten Kubu Raya telah mencapai swasembada beras, dan diproyeksikan hingga tahun 2033 akan tetap mengalami swasembada beras, dengan syarat dapat menjaga trend rata-rata pertumbuhan neraca beras sebesar 1,21% per tahunnya. Strategi yang sebaiknya diterapkan dalam pengembangan lahan sawah adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif. Langkah konkrit yang dapat dilakukan adalah melakukan perluasan areal sawah dan intensifikasi lahan sawah dengan memanfaatkan potensi sumberdaya lahan yang tersedia dan sesuai, serta meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dalam penguasaan teknologi untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dalam jangka pendek sampai menengah (5 - 15 tahun), model pendekatan yang dapat digunakan adalah intensifikasi dan rehabilitasi. Sedangkan untuk jangka panjang (15 – 25 tahun), model pendekatan yang digunakan adalan peningkatan IP dan pembukaan lahan baru bagi persawahan. Kata kunci: ketersediaan lahan, kesesuaian lahan, potensi lahan, strategi
(6)
Self-Sufficiency of Food in Kubu Raya Regency. Supervised by WIDIATMAKA and KHURSATUL MUNIBAH.
As one of the developing regions and paddy plant-based region, Kubu Raya in West Kalimantan prioritized paddy fields development areas. However, in practice, there are many obstacles which are the unavailability of information about the potential land resource to be developed into a paddy field. The main objective of this study was to analyzed spatially the potential land for development of paddy field in support of food self-sufficiency in Kubu Raya. To achieve this main objective, the specific objectives of this study is to analyze: (1) land use and distribution of paddy field in 2014, (2) land availability and land suitability, (3) land potentially to be used for paddy field and the direction priorities for paddy filed land development, (4) the projected needs of paddy field area, and (5) the paddy field development strategy in Kubu Raya.
The research use primary and secondary data. The primary data was obtained from sampling point (ground check) for each type of land use and interviews using questionnaires to 18 respondents, choosen using purposive sampling approach. The secondary data consists of spatial data, tabular data and literature research paper. Spatial data used were Landsat 8 imagerey of 2014, Google Earth imagery, Maps of Land System (RePPProT), Map of Existing Paddy field, Topographical Map of Indonesia, Map of Peat Distribution, Map of Forest Areas Status, Map of Land Use and Land Cover, Map of Official Sopatial Land Use Plan, Map of Administration, Map of Rainfall and Temperature and Soil Map. The tabular data such as soil analysis data and statistical data were also used. The equipment used is the Global Positioning System (GPS), Geographic Information Systems (GIS), Google Earth Pro and Microsoft Excel.
Analysis of existing paddy field distribution of 2014 was conducted by Landsat 8 imagery interpretation and field surveys. Analysis of land availability is done spatially using Geographic Information Systems (GIS). Land suitability analysis is done by matching land characteristics with land requirements of crops. Analysis of the land potentially used as paddy field was done using Geographical Information Systems GIS). Projection needs of paddy field area is calculated manually. Paddy field development strategy was conducted by the SWOT analysis. The research results indicate that the land use in Kubu Raya can be grouped into 11 types of land use, which is dominated by the forest area, estimated at 42.49% of the area of Kubu Raya. The land use which are available to be developped to become paddy field is 24.68%, consisting of bare land, shrub, mix dry land agriculture, bush, shrub, swamps and bogs. The actual paddy field area is 63 616 ha (7.66%), which consists of irrigated paddy field and rainfed paddy field which are scattered throughout the regency. The available land which are allocated for development of paddy field is 120 692 ha, where its land suitability is S3 class (marginally suitable). The limiting factor are low nutrients available and poor rooting media. Potential land potential (available and suitable land) for the development of paddy fields in Kubu Raya reached 62 176 ha (7.50%). Paddy field development which is directed at the first priority area is 1,124 ha (0.14%), which
(7)
consist of land which is located in the Batu Ampar district (963 ha), Sungai Kakap district (113 ha), Kuala Mandor B district (33 ha), Kubu district (10 ha), Teluk Pakedai district (3 ha) and Sungai Raya district (3 ha).
The needs of paddy fields in Kubu Raya is projected to increase from 18,397 ha in 2008 to become 28 127 ha in 2033. In 2008 to 2013, Kubu Raya has achieved self-sufficiency in rice, and it is projected to be continued until 2033. Several strategies should be applied in the development of paddy fields. Concrete steps that can be done is extensification as well as intensification of paddy fields by utilizing the potential of land resources available, increasing the capacity of human resources in technology and increasing food production capacity. In the short to medium term (5-15 years), the model approaches that can be used is the intensification and rehabilitation. In the long-term (15-25 years), the model approach used is increasing planting frequency and opening the new land for paddy field.
Key words: land availability, land suitability, land potential, strategy of paddy field development
(8)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(9)
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
PERENCANAAN PENGEMBANGAN LAHAN SAWAH
BERBASIS SPASIAL UNTUK MENDUKUNG
KEMANDIRIAN PANGAN DI KABUPATEN KUBU RAYA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
(10)
(11)
(12)
Alhamdulillah, Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Perencanaan Pengembangan Lahan Sawah Berbasis Spasial untuk Mendukung Kemandirian Pangan di Kabupaten Kubu Raya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr Ir Widiatmaka, DAA sebagai ketua komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing dan membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
2. Ibu Dr Dra Khursatul Munibah, MSc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing dan membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku dosen penguji luar komisi sekaligus sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah atas dedikasi, masukan dan sarannya.
4. Dosen dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB atas sumbangan ilmu dan pemikiran yang telah disampaikan kepada penulis selama mengikuti studi.
5. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.
6. Bapak Bupati, Sekretaris Daerah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah, serta Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kubu Raya yang telah memberikan ijin untuk mengikuti tugas belajar pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB.
7. Ayah dan almarhumah Ibunda yang terkasih atas do’a dan pengorbanan yang tiada terhingga, Istri dan Anak tercinta yang ikhlas dan senantiasa memberikan dorongan do’a dan semangat yang besar kepada penulis untuk menyelesaikan tugas belajar.
8. Rekan-rekan PWL IPB baik kelas khusus Bappenas maupun reguler yang senantiasa memberikan dukugan moral untuk kesuksesan penulis.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan baik moril maupun materil selama studi dan penulisan tesis ini.
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan. Kritik dan saran yang bermanfaat sangat diharapkan penulis untuk lebih menyempurnakan karya tulis ini. Semoga memberikan manfaat.
Bogor, Desember 2015
(13)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 5
Kerangka Pemikiran 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 7
Tanah Sawah 7
Karakteristik dan Kualitas lahan 9
Penggunaan Lahan 10
Evaluasi Kesesuaian Lahan 11
Kemandirian Pangan 12
Analisis Spasial Dalam SIG 14
3 METODE PENELITIAN 14
Lokasi dan Waktu Penelitian 14
Bahan dan Alat 14
Prosedur Analisis Data 16
Metode Analisis Data 18
4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 24
Geografis dan Administrasi 24
Kependudukan 25
Ketenagakerjaan 26
Perekonomian Wilayah 27
Pertanian Tanaman Pangan Padi 28
Fisiografi 29
Sistem Lahan 30
Topografi dan Kemiringan Lahan 31
Iklim 32
Pola Ruang 35
Kehutanan 36
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 37
Penggunaan Lahan dan Sebaran Lahan Sawah Tahun 2014 37 Ketersediaan Lahan dan Kesesuaian Lahan
untuk Pengembangan Lahan Sawah 40
(14)
Menunjang Kecukupan Pangan di Kabupaten Kubu Raya 51
6 KESIMPULAN 66
Simpulan 66
Saran 67
DAFTAR PUSTAKA 68
LAMPIRAN 72
(15)
DAFTAR TABEL
1 Hubungan antara kualitas dan karateristik lahan 9
2 Jenis data sekunder 15
3 Matriks prosedur analisis penelitian 17
4 Matriks alokasi ketersediaan lahan untuk pengembangan lahan sawah 19 5 Matriks potensi lahan dan arahan prioritas untuk pengembangan lahan
sawah di Kabupaten Kubu Raya 21
6 Jenis dan jumlah responden penelitian 23
7 Matriks strategi SWOT 24
8 Jumlah dan kepadatan penduduk Kabupaten Kubu Raya tahun 2013 26
9 Seks rasio di Kabupaten Kubu Raya tahun 2013 26
10 Jumlah tenaga kerja menurut lapangan usaha tahun 2013 27 11 Penduduk mencari kerja menurut pendidikan tahun 2013 27 12 Produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku menurut
lapangan usaha 2010 – 2013 (juta rupiah) 28
13 Produksi padi Kabupaten Kubu Raya tahun 2013 29
14 Sistem lahan di Kabupaten Kubu Raya 31
15 Penyebaran kelas lereng di Kabupaten Kubu Raya 31
16 Data Curah Hujan Kabupaten Kubu Raya 33
17 Data suhu dan kelembaban nisbi di Kabupaten Kubu Raya 33 18 Arah dan Kecepatan Angin di Kabupaten Kubu Raya 34
19 Pola ruang di Kabupaten Kubu Raya 35
20 Status kawasan hutan di Kabupaten Kubu Raya 36
21 Penggunaan lahan tahun 2014 di Kabupaten Kubu Raya 38 22 Sebaran lahan sawah di Kabupaten Kubu Raya (ha) 39 23 Ketersediaan lahan untuk pengembangan lahan sawah 41
24 Satuan peta lahan di Kabupaten Kubu Raya 42
25 Kelas kesesuaian lahan untuk padi sawah di Kabupaten Kubu Raya 44 26 Kesesuaian lahan untuk padi sawah di Kabupaten Kubu Raya 44 27 Lahan yang berpotensi untuk pengembangan lahan sawah 45 28 Arahan prioritas pengembangan lahan sawah di Kabupaten Kubu Raya 47 29 Pertumbuhan penduduk, konsumsi beras dan kebutuhan lahan sawah
tahun 2008-2013 serta proyeksi tahun 2014-2033 48 30 Ketersediaan beras tahun 2008-2013 serta proyeksi tahun 2014-2033 49 31 Neraca beras tahun 2008-2013 serta proyeksi tahun 2014-2033 50 32 Rencana, program, kegiatan dan indikator kerja 52 33 Analisis kinerja pengembangan lahan sawah di Kabupaten Kubu Raya 62 34 Matrik SWOT strategi pengembangan lahan sawah untuk mendukung
Kecukupan Pangan di Kabupaten Kubu Raya 64
DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian 7
2 Prosedur analisis penelitian 16
3 Peta Administrasi Kab. Kubu Raya 25
(16)
8 Peta penggunaan lahan tahun 2014 di Kabupaten Kubu Raya 37
9 Peta sebaran lahan sawah existing tahun 2014 39
10 Peta ketersediaan lahan untuk pengembangan lahan sawah 40
11 Peta tanah Kabupaten Kubu Raya 41
12 Peta kesesuaian lahan untuk pengembangan lahan sawah 43 13 Peta lahan yang berpotensi untuk pengembangan lahan sawah 45 14 Peta arahan prioritas pengembangan lahan sawah 46
15 Posisi Strategi Pengembangan Lahan Sawah 63
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kunci penafsiran penggunaan lahan tahun 2014 72
2 Sistem klasifikasi untuk penafsiran citra Landsat 74 3 Kualitas dan karakteristik lahan pada satuan peta lahan 77 4 Kriteria evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah 79 5 Jenis usaha perbaikan kualitas dan karakteristik lahan aktual untuk
menjadi potensial menurut tingkat pengelolaannya 80 6 Asumsi tingkat perbaikan kualitas lahan aktual untuk menjadi
potensial menurut tingkat pengelolaannya 81
7 Proyeksi kebutuhan lahan baku sawah di Kabupaten Kubu Raya
tahun 2014 - 2034 82
(17)
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Oleh karena itu, mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, baik pada tingkat nasional maupun daerah menjadi sangat penting. Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar dan memiliki sumber daya alam dan sumber pangan yang beragam, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara berdaulat dan mandiri. Pangan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan beras. Hal ini disebabkan karena beras dikonsumsi oleh lebih dari 90% penduduk Indonesia dan tempat tersedianya kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi lebih dari 25 juta rumah tangga petani (Basith, 2012). Oleh karena itu, beras memiliki nilai strategis dan sensitivitas yang tinggi ditinjau dari aspek ekonomi, sosial maupun politik, sehingga peranan beras menjadi bagian yang sangat penting dalam mewujudkan ketahanan pangan sebagai salah satu pilar ketahanan nasional.
Walaupun secara teoritis ketahanan pangan mengandung aspek yang sangat luas, termasuk kemampuan mengadakan bahan pangan baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar negeri, namun dalam berbagai kebijakan pembangunan pertanian, usaha pencapaian ketahanan pangan sebagian besar difokuskan pada peningkatan kemandirian (self sufficiency) pangan terutama beras (Agus, 2007 dalam Wahyunto, 2009). Di antaranya adalah Gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yakni peningkatan produksi beras nasional sekitar 5% per tahun pada tahun 2007-2009, merupakan salah satu bukti usaha pemerintah dalam pembangunan pertanian Indonesia untuk peningkatan kemandirian beras. Kemandirian Pangan adalah kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup ditingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal.
Dalam upaya mewujudkan kemandirian pangan, terdapat tantangan yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia, baik dari sisi kebutuhan pangan maupun dari sisi ketersediaan pangan. Tingginya jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Indonesia serta tingginya rata-rata konsumsi beras penduduk Indonesia, menjadi tantangan dari sisi kebutuhan pangan. Menurut BPS (2013), penduduk Indonesia yang pada tahun 2010 hanya berjumlah 238 juta jiwa dan laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,52% per tahun, maka pada tahun 2020 penduduk Indonesia diproyeksikan akan mencapai 271 juta jiwa. Jika tingkat konsumsi beras rata-rata penduduk Indonesia tetap sebesar 103,18 kg/perkapita/tahun (Pusdatin, 2014), maka kebutuhan beras pada tahun 2020 akan mencapai 28 juta ton per tahun. Kebutuhan beras tersebut akan semakin bertambah, mengingat beras tidak hanya diperlukan untuk konsumsi langsung saja, tetapi diperlukan juga sebagai bahan baku agroindustri yang diperkirakan mencapai 23,5% dari kebutuhan konsumsi penduduk serta cadangan (stock) pemerintah sebesar 10% dari total kebutuhan konsumsi (Badan Litbang Pertanian, 2005).
(18)
Tantangan dari sisi ketersediaan adalah tingginya alih fungsi lahan sawah serta tingginya ketergantungan beras terhadap Pulau Jawa. Pulau Jawa dengan luas hanya 6,9% dari luas daratan Indonesia dan berkontribusi sebesar 52,60% terhadap ketersediaan beras nasional (BPS, 2014), harus menghadapi ketersediaan sumber daya lahan yang semakin langka (lack of resources), baik luas maupun kualitas serta konflik penggunaan (conflict of interest) (Pasandaran, 2006). Kelangkaan tersebut disebabkan semakin meningkatnya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang bersifat permanen (irreversible). Menurut Irawan (2004), alih fungsi lahan sawah di Pulau Jawa selama tahun 1978-1998 mencapai 1,07 juta ha, yang berarti bahwa terdapat depresiasi sebesar 8.000 hektar per tahun atau 23% lahan per tahun (Irawan, 2004).
Menurut Agus dan Irawan (2006), untuk mencapai swasembada nasional tahun 2010 sampai dengan tahun 2050, maka upaya yang harus dilakukan adalah dengan mempertahankan lahan sawah yang ada, yaitu dengan membatasi tingkat alih fungsi lahan sebesar lebih dari 100.000 ha per tahun menjadi kurang dari 29.000 ha per tahun. Untuk mengganti alih fungsi lahan sawah seluas 1 ha di Pulau Jawa, maka dibutuhkan penambahan lahan sawah baru di luar Pulau Jawa seluas 2,2 ha. Menurut Ritung (2010), untuk mencapai swasembada beras tersebut maka dibutuhkan peningkatan lahan baku sawah seluas 10 juta ha. Kondisi ini menuntut alternatif wilayah lain selain Pulau Jawa yang potensial untuk penambahan lahan sawah baru. Menurut Ritung dan Hidayat (2007), potensi pengembangan sawah di Indonesia yang terluas terdapat di Papua (5,19 juta ha), Kalimantan (1,39 juta ha) dan Sumatera (0,96 juta ha). Lahan potensial dan tersedia untuk perluasan areal sawah di Kalimantan terdiri atas lahan rawa 0,73 juta hektar dan non rawa 0,66 juta hektar. Lahan potensial tersebut terdapat di Kalimantan Tengah (0,65 juta ha), Kalimantan Selatan (0,33 juta ha), Kalimantan Timur (0,23 juta ha), dan Kalimantan Barat (0,18 juta ha).
Provinsi Kalimantan Barat disamping merencanakan perluasan perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia, juga terus memacu peningkatan produksi bahan pangan khususnya padi (beras) guna mewujudkan ambisi provinsi di garis khatulistiwa ini menjadi salah satu gudang pangan nasional. Langkah besar ke arah itu telah dimulai sejak tahun 2011, antara lain dengan merintis pengembangan usaha tani modern berbasis agribisnis (food estate). Pengembangan food estate dilakukan melalui dua program yakni pencetakan sawah baru seluas 150 ribu ha dan optimalisasi lahan seluas 100 ribu ha. Untuk mencapai target surplus beras 350 ribu ton pada tahun 2014, dibutuhkan tambahan areal tanam seluas 68 ribu ha dari tahun 2012 yang baru sekitar 441 ribu ha. Bahkan dalam jangka panjang, Kalimantan Barat sudah merencanakan pertumbuhan produksi yang lebih besar lagi, khususnya melalui program perluasan areal tanam, sehingga mencapai 1 juta ha dan perkiraan produksi menjadi 5 juta ton gabah kering giling (GKG) (BPS, Provinsi Kalimantan Barat, 2013). Berdasarkan hasil penelitian Yustian (2014), mengenai arahan dan strategi ekstensifikasi sawah di wilayah pengembangan pesisir Provinsi Kalimantan Barat, terdapat dua kabupaten yang termasuk sebagai wilayah basis unggulan padi sawah dan merupakan wilayah yang berkembang dan diprioritaskan untuk ekstensifikasi sawah di Kalimantan Barat, yaitu Kabupaten Sambas dan Kabupaten Kubu Raya.
Secara administratif, luas Kabupaten Kubu Raya mencapai 6.985,20 km² atau sekitar 4,75% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat (BPS Kabupaten Kubu
(19)
Raya, 2014). Secara geografis, letak Kabupaten Kubu Raya sangat strategis, selain sebagai penyangga ibu kota provinsi, yaitu Kota Pontianak, juga merupakan kabupaten yang menghubungkan antar kabupaten lainnya di Kalimantan Barat, sehingga dengan posisi ini, Kabupaten Kubu Raya mempunyai keunggulan secara kompetitif dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Dalam bidang ketahanan pangan, Kubu Raya memegang peranan penting sebagai wilayah penyangga beras. Peranan penting Kubu Raya sebagai penyangga beras, tidak terlepas dari luas panen padi pada tahun 2013 yang mencapai 63.610 hektar dengan produksi gabah sebesar 217.918 ton atau menyumbang 15,11% dari produksi padi Provinsi Kalimantan Barat (BPS Kabupaten Kubu Raya, 2014). Berdasarkan data BPS Kabupaten Kubu Raya (2014), sektor pertanian masih menjadi salah satu sektor penopang perekonomian wilayah yaitu sebesar 17,18% dari total PDRB setelah sektor industri pengolahan. Tingginya peranan ini ditopang oleh sub sektor tanaman pangan, yaitu sebesar 6,97%. Dari sisi tenaga kerja, proporsi jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha pendapatan utama di Kabupaten Kubu Raya pada tahun 2013 lebih banyak bekerja pada sektor pertanian dengan jumlah pekerja sebanyak 120.645 jiwa atau 54,25% (BPS Kabupaten Kubu Raya, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa potensi sumberdaya lahan dan sumberdaya manusia di Kabupaten Kubu Raya masih dapat dikembangkan secara optimal.
Masalah utama dalam pengembangan padi sawah di Kabupaten Kubu Raya adalah rendahnya produktivitas padi yang dihasilkan. Seperti umumnya rata-rata produktivitas padi di Pulau Kalimantan yang baru mencapai 3,67 ton/ha, produktivitas di kabupaten ini juga baru mencapai 3,43 ton/ha, nilai ini berada dibawah angka produktivitas nasional sebesar 5,13 ton/ha (BPS, 2014). Rendahnya produktivitas dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kualitas benih, tingkat kesuburan tanah, pemeliharaan tanaman, penanganan hama penyakit dan faktor lainnya. Namun hal yang paling penting adalah faktor kesesuaian lahan. Kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian dapat tercermin dari tingginya produktivitas (FAO, 1976; Nair et al., 2010 dalam Widiatmaka et al., 2015). Oleh karena itu, dalam upaya pengembangan lahan pertanian, harus didasarkan pada kesesuaian lahan sebagai faktor penting dalam pemilihan lokasi untuk mencapai produktivitas yang tinggi (Widiatmaka et al., 2015).
Pemanfaatan lahan yang kurang memperhatikan kesesuaian lahan dan agroekologi, cenderung usaha pertanian yang dihasilkan tidak maksimal, bahkan akan membawa kerugian bagi petani karena akan memberikan input yang sangat besar guna peningkatan kualitas lahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Azis (2006) yang menyatakan bahwa produktivitas tanaman pangan tergantung pada kualitas lahan yang digunakan. Oleh karena itu, untuk mendukung keberhasilan perencanaan pengembangan lahan sawah di Kabupaten Kubu Raya, dibutuhkan informasi yang tepat, terkait dengan kesesuaian lahan, ketersediaan lahan, arahan maupun strategi yang harus dilakukan.
Perumusan Masalah
Kabupaten Kubu Raya memiliki potensi sumberdaya lahan yang cukup besar untuk pengembangan lahan sawah, namun demikian masih menghadapi kendala sehubungan dengan kondisi fisiografisnya, seperti tingkat kesesuaian lahan maupun
(20)
ketersediaan lahan untuk pengembangan lahan sawah. Tidak jarang kegiatan pengembangan lahan sawah yang dilakukan, ditempatkan pada kawasan-kawasan yang secara agroekologi maupun pola ruang tidak sesuai dan tidak tersedia untuk lahan sawah. Akibatnya, pengembangan lahan sawah yang dilakukan tidak memberikan keuntungan yang maksimal, justru menyebabkan kerugian secara finansial bagi petani dalam usahanya. Dampaknya, lahan sawah yang telah dibuat dengan investasi yang besar tersebut, menjadi lahan yang tidak produktif dan kembali menjadi lahan terlantar karena ditinggalkan petani.
Belum optimalnya pengembangan lahan sawah di Kabupaten Kubu Raya, disebabkan karena kegiatan yang dilaksanakan tidak melalui perencanaan yang didasarkan pada analisis potensi sumberdaya lahan, baik dari sisi ketersediaan maupun kesesuaian lahan. Padahal informasi mengenai potensi sumberdaya lahan tersebut sangat penting, sebagai dasar dalam penyusunan arahan dan strategi kebijakan pengembangan lahan sawah. Potensi sumberdaya lahan pada dasarnya ditentukan keadaan biofisik lahan yang meliputi iklim, sifat tanah, topografi, hidrologis dan vegetasi. Penggunaan lahan yang tepat dapat tercapai apabila dilakukan berdasarkan kesesuaian lahan. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensinya akan berdampak negatif terhadap lingkungan, dimana akan terjadi degradasi lahan yang diikuti dengan menurunnya kualitas lahan dan hasil produksi. Untuk menghindari hal tersebut, maka diperlukan adanya evaluasi lahan untuk mendukung perencanaan pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Sebagai bagian dalam upaya pembangunan pertanian, maka kegiatan inventarisasi ketersediaan dan kesesuaian lahan perlu dilakukan. Hal ini akan terkait dengan upaya pengembangan pertanian ke depan untuk melihat prospek pengembangan lahan sawah.
Dalam konteks ini tercermin perlunya melakukan perencanaan yang tepat terkait dengan ketersediaan dan kesesuaian lahan sebagai dasar arahan dan strategi kebijakan yang harus dilakukan agar pengembangan lahan sawah sesuai dengan daya dukungnya guna pembangunan pertanian yang berkelanjutan, sehingga kemandirian pangan nasional dapat tercapai. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka beberapa permasalahan pokok dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana penggunaan lahan dan sebaran lahan sawah tahun 2014 di Kabupaten Kubu Raya?
2. Bagaimana ketersediaan lahan dan kesesuaian lahan untuk pengembangan lahan sawah di Kabupaten Kubu Raya?
3. Berapa lahan yang berpotensi dan diprioritaskan untuk pengembangan lahan sawah.
4. Berapa proyeksi kebutuhan luas baku lahan sawah yang diperlukan untuk kecukupan pangan di Kabupaten Kubu Raya?
5. Bagaimana strategi pengembangan lahan sawah di Kabupaten Kubu Raya?
Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis potensi sumberdaya lahan, arahan dan strategi pengembangan lahan sawah dalam
(21)
mendukung kemandirian pangan di Kabupaten Kubu Raya. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka dilakukan tujuan khusus penelitian, yaitu :
1. Mengetahui penggunaan lahan dan sebaran lahan sawah tahun 2014.
2. Mengetahui ketersediaan lahan dan kesesuaian lahan untuk pengembangan lahan sawah.
3. Mengetahui lahan yang berpotensi dan arahan prioritas untuk pengembangan lahan sawah.
4. Menghitung proyeksi kebutuhan luas baku lahan sawah untuk kecukupan pangan di Kabupaten Kubu Raya.
5. Menyusun strategi pengembangan lahan sawah untuk mendukung kemandirian pangan di Kabupaten Kubu Raya.
Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan tersebut, maka hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan rujukan, arahan dan rekomendasi bagi para pemangku kebijakan dalam pengembangan lahan pertanian khususnya tanaman pangan padi sawah dalam mendukung kemandirian pangan sekaligus sebagai masukan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah. Sedangkan bagi masyarakat atau petani dapat menjadi informasi sekaligus rujukan lokasi mana yang layak untuk untuk usaha tani padi.
Kerangka Pemikiran
Kemandirian pangan merupakan pilar pembangunan sektor-sektor lainnya. Hal ini dipandang strategis karena tidak satupun negara dapat membangun perekonomiannya tanpa terlebih dahulu menyelesaikan pangannya. Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor penentu dalam stabilitas nasional suatu negara, baik dibidang ekonomi, keamanan, politik dan sosial. Oleh sebab itu, ketahanan pangan melalui kemandirian pangan menjadi program utama dalam pembangunan pertanian nasional saat ini dan masa mendatang. Khusus bagi Indonesia, pangan sangat erat kaitannya dengan beras. Hal ini disebabkan karena beras dikonsumsi oleh lebih dari 90% penduduk Indonesia dan tempat tersedianya kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi lebih dari 25 juta rumah tangga petani. Beras menjadi salah satu faktor penentu tingkat kesejahteraan, bagi sebagian besar penduduk yang bekerja di off-farm yang terdapat diperdesaan.
Kemandirian pangan mensyaratkan dipenuhinya dua sisi secara simultan, yaitu sisi ketersediaan pangan dan sisi kebutuhan pangan. Sisi ketersediaan pangan mengandung arti ketersediaan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk, dalam jumlah, mutu, keamanan dan keterjangkauannya dan diutamakan dari produksi dalam negeri. Sisi kebutuhan pangan mengandung arti adanya kemampuan setiap rumah tangga mengakses pangan yang cukup bagi masing-masing anggotanya untuk tumbuh, sehat dan produktif dari waktu ke waktu. Kedua sisi tersebut memerlukan sistem distribusi yang efisien, yang dapat menjangkau ke seluruh golongan masyarakat.
(22)
Peningkatan pertumbuhan penduduk dan konsumi beras menyebabkan permintaan terhadap pangan (beras) semakin tinggi, sehingga penyediaan pangan yang cukup diperlukan setiap tahunnya. Di sisi lain tingginya ketergantungan terhadap Pulau Jawa sebagai penyedia bahan pangan menjadi faktor utama yang dapat memicu terjadinya kerawanan pangan. Hal ini disebabkan antara lain oleh tingginya tingkat konversi lahan sawah di Pulau Jawa yang menyebabkan semakin berkurangnya ketersediaan bahan pangan secara nasional. Jika kecenderungan terjadinya ketimpangan antara sisi kebutuhan dan sisi ketersediaan bahan pangan ini terus berlanjut, maka dapat mengancam ketahanan pangan secara nasional.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar dan memiliki sumberdaya alam dan sumber pangan yang beragam, maka Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri. Masih cukup luasnya potensi lahan yang terdapat di luar Pulau Jawa, terutama pada Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua menyebabkan sangat prospektifnya kegiatan perluasan sawah. Perluasan sawah di luar Pulau Jawa ini, selain mengurangi ketergantungan terhadap Pulau Jawa, juga dapat menciptakan sistem distribusi yang efisien, yang dapat menjangkau ke seluruh golongan masyarakat sehingga secara langsung dapat menumbuhkan kemandirian pangan daerah di luar Pulau Jawa.
Walaupun daerah-daerah diluar Pulau Jawa memiliki potensi lahan yang memadai untuk pengembangan lahan sawah, namun informasi mengenai ketersediaan dan kesesuaian lahan yang dapat digunakan untuk mendukung pengembangan lahan sawah sangat sedikit. Jarang sekali pemerintah daerah yang menyusun informasi sumberdaya lahan yang dilengkapi kajian kesesuaian dan arahan komoditas. Akibat minimnya informasi tersebut tidak jarang kegiatan perluasan sawah ditempatkan pada kawasan-kawasan yang secara agroekologi kurang sesuai untuk tanaman padi, sehingga tidak memberikan kontribusi peningkatan produksi, dan pada akhirnya sawah-sawah tersebut kembali menjadi lahan terlantar dan tidak digarap.
Hal utama dari kegiatan perluasan sawah adalah informasi ketersediaan dan kesesuaian lahan. Identifikasi ketersediaan lahan penting dilakukan untuk mengetahui apakah pemanfaatan penggunaan lahan yang dilakukan oleh aktifitas manusia sesuai dengan potensi ataupun daya dukungnya. Kepastian lahan merupakan prasyarat kegiatan ini dapat berjalan baik. Lahan yang dapat dikembangkan untuk program perluasan sawah, selain sesuai secara agroekologi, juga harus bebas dari masalah status dan sengketa kepemilikan atau pengelolaan. Informasi tersebut menjadi arahan bagi pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan tentang arahan fungsi pemanfaatan lahan yang tepat dan sesuai dengan kemampuan lahannya. Strategi kebijakan dilakukan, agar kegiatan perluasan sawah yang dilakukan, sesuai dengan daya dukungnya guna pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Secara keseluruhan, kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan dalam diagram alir pada Gambar 1.
(23)
Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Sawah
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah umum seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian dan sebagainya (Hardjowigeno et al., 2004). Segala macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia. Disamping itu, padi sawah juga ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam dibandingkan dengan jenis tanaman lain, dengan demikian sifat tanah sawah sangat beragam sesuai dengan sifat tanah asalnya (Wahyunto, 2009).
Jumlah penduduk dan tingkat konsumsi beras
tinggi
Potensi Sumberdaya lahan
Tingginya ketergantungan terhadap lahan di P.
Jawa dan konversi lahan sawah di P. Jawa Ketimpangan
Kebutuhan dan ketersediaan beras
Kemandirian Pangan
Pengembangan Lahan Sawah
Minimnya informasi potensi sumberdaya
lahan
Penggunaan dan penutupan lahan
Kesesuaian lahan Karakteristik dan
kualitas lahan
Ketersediaan lahan
Strategi pengembangan lahan sawah Arahan kegiatan perluasan lahan sawah
Beras sebagai bahan pangan pokok di
(24)
Tanah sawah mempunyai beberapa nama dalam sistem klasifikasi tanah, yaitu : rice soils, paddy soil, lowland paddy soil, artificial hydromorphic soil, dan aquorizem. Dudal (1964) dalam Wahyunto (2009) menyebutkan bahwa lahan sawah terdapat pada tanah-tanah : Alluvial, Gley humus rendah, Grumusol, Latosol, Andosol, Regosol, Podsolik merah kuning, dan Planosol. Dalam sistem klasifikasi tanah FAO (World Reference Base for Soil Resources) tanah sawah termasuk grup tanah Anthrosols (FAO, 1998 dalam Wahyunto, 2009). Tanah sawah dicirikan oleh horizon Antra-aquic yaitu adanya lapisan olah dan lapisan tapak bajak. Eswaran et al. dalam Hardjowigeno et al. (2004) menyebutkan sebagian besar lahan sawah di Indonesia dan Asia Tenggara umumnya terdapat pada tanah-tanah Inceptisol, Ultisol, Oxisols dan sebagian kecil pada tanah-tanah Vertisols, Mollisol dan Histosols.
Hardjowigeno et al. (2004), mengemukakan bahwa tanah sawah dataran rendah, didominasi (55%) oleh subordo Aquepts dan Aquents (Aluvial dan tanah Glei), sedangkan tanah sawah di daerah lahan kering (upland) didominasi (17%) oleh subordo Udepts (Latosol dan Regosol). Tanah sawah yang termasuk dalam ordo Aquepts dan Aquents, umumnya berasal dari tanah dengan air tanah yang sangat dangkal atau selalu tergenang air, khususnya di daerah pelembahan atau lahan rawa. Sedangkan yang termasuk Udepts, umumnya berasal dari lahan kering yang disawahkan.
Ordo tanah sawah lainnya, adalah Vertisol (Grumusols), terutama mencakup sub ordo Aquert, Udert, dan Ustert (sekitar 7%). Tanah sawah yang termasuk ordo tanah Ultisol dan Oxisol (Podsolik merah kuning), dengan subordo utama Aquults dan Udults, serta Aquox dan Udox (sekitar 6%). Tanah sawah yang termasuk dalam ordo tanah Alfisol dan Andisol (Mediteran Merah kuning dan Andosol) sebagian besar termasuk dalam sub ordo Udalfs, Ustalfs dan Aquands (sekitar 4%). Beberapa tanah sawah bukaan baru pada daerah lahan kering di luar Pulau Jawa, umumnya termasuk dalam ordo Ultisol dan Oxisol (Podsolik merah kuning, Lateritik, Latosol). Tanah sawah yang termasuk ordo Oxisol jumlahnya masih sangat sedikit, diperkirakan <1% dari seluruh tanah sawah yang ada (Prasetyo, 2007 dalam Wahyunto, 2009).
Berdasarkan pada proses pembentukan tanah, wilayah datar dengan lereng kecil (0-3%) cenderung akan membentuk tanah-tanah dengan muka air tanah dangkal atau bahkan selalu tergenang. Tanah yang terbentuk, sifat-sifatnya banyak ditentukan oleh pengaruh air tanah dengan drainase yang jelek atau terhambat (aquic condition). Jika terdapat sumber air untuk pengairan, wilayah datar dapat dikembangkan untuk perluasan areal sawah. Semakin besar lereng, muka air tanah cenderung makin dalam, dan umumnya terbentuk tanah-tanah berpenampang dalam dengan drainase baik (Subagjo et al., 2000).
Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan, atau dari tanah rawa yang dikeringkan dengan membuat saluran drainase. Bila relief atau topografi tanah asal berombak bergelombang atau berlereng, maka lebih dulu harus dibuat teras bangku. Sawah yang airnya berasal dari air irigasi disebut sawah irigasi, sedang yang menerima langsung dari air hujan disebut sawah tadah hujan. Di daerah pasang surut ditemukan sawah pasang surut, sedangkan yang dikembangkan di daerah rawa-rawa disebut sawah rawa atau sawah lebak. Berkaitan dengan proses pembuatan lahan sawah, sifat tanah asal (virgin soil) dimungkinkan dapat berubah. Pada lahan rawa/ pasang surut terjadi
(25)
proses pengeringan tanah, mulai dari lapisan atas ke lapisan bawah. Sebaliknya pada tanah kering yang disawahkan, akan terjadi proses pembasahan dari lapisan atas ke bawah (Wahyunto, 2009).
Karakteristik dan Kualitas lahan
Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) menyatakan bahwa, karakteristik lahan (land characteristics) mencakup faktor-faktor lahan yang dapat diukur atau ditaksir besarannya seperti lereng, curah hujan, tekstur tanah, air tersedia dan sebagainya. Satu jenis karakteristik lahan dapat berpengaruh terhadap lebih dari satu jenis kualitas lahan. Kualitas lahan adalah sifat-sifat lahan yang tidak dapat diukur langsung karena merupakan interaksi dari beberapa karakteristik lahan (complex of land attribute) yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk beberapa karakteristik lahan.
Baja (2012) menyatakan bahwa, untuk kepentingan evaluasi lahan dalam perencanaan tata guna lahan, kualitas lahan dibedakan dari karakteristik lahan/tanah. Kesesuian lahan terhadap penggunaan tertentu berhubungan erat dengan kualitas lahan, tempat dimana jenis penggunaan tersebut akan diusahakan. Kebanyakan kualitas lahan tidak dapat diukur secara langsung, sehingga diperlukan data tentang karakteristik lahan yang berhubungan. Dengan demikian, untuk mengevaluasi potensi lahan terhadap jenis penggunaan tertentu diperlukan: a) karakteristik yang dapat diobservasi secara langsung di lapangan atau dianalisis di laboratorium; dan b) kualitas lahan yang dapat diinterpretasi dari karakteristik yang diobservasi atau dianalisis. Karakteristik lahan yang erat kaitannya untuk keperluan evaluasi lahan dapat dikelompokkan ke dalam 3 faktor utama, yaitu topografi, tanah dan iklim. Karakteristik lahan tersebut (terutama topografi dan tanah) merupakan unsur pembentuk satuan peta tanah. Hubungan antara kualitas dan karakteristik lahan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Hubungan antara kualitas dan karateristik lahan
Kualitas Lahan Karakteristik Lahan
Temperatur (tc) Temperatur rata-rata (0C)
Ketersediaan Air (wa) Curah hujan (mm), Kelembaban (%), Lamanya bulan
kering (bulan)
Ketersediaan oksigen Drainase
Keadaan media perkaran (rc) Tekstur, Bahan kasar (%), Kedalaman tanah (cm)
Gambut Ketebalan (cm), Ketebalan (cm) jika ada sisipan bahan
mineral/ pengkayaan, kematangan
Retensi hara (nr) KTK liat(cmol/kg), kejenuhan basa (%), pH C-organik
(%)
Toksisitas (xc) Salinitas (ds/m)
Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%)
Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm)
Bahaya erosi (eh) Lereng (%), Bahaya erosi
Bahaya banjir (fh) Genangan
Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%), Singkapan batuan (%)
(26)
Penggunaan Lahan
Aspek yang sangat penting yang perlu difahami secara baik dan mendalam dalam evaluasi sumberdaya lahan dan zonasi ruang untuk tujuan penatagunaan lahan adalah penggunaan lahan (land use) dan jenis pemanfaatan lahan (land utilization type). Penggunaan lahan berkaitan dengan jenis pengelolaan lahan yang diterapkan pada suatu satuan lahan. Ini dapat berupa grup utama (major kinds of land use) seperti, pertanian irigasi, tanaman tahunan, lahan pengembalaan, hutan rekreasi, hutan produksi, budidaya lahan pesisir, dan lain-lain. Penggunaan lahan dapat juga berupa grup yang lebih khusus, misalnya sawah tadah hujan, perkebunan kelapa sawit, plot pembibitan, plot percobaan erosi, blok perumahan, tambak udang, dan lain-lain (Baja, 2012). Penggunaan lahan secara umum biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam survei tinjau (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
Penggunaan lahan secara terperinci adalah tipe penggunaan lahan yang diperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu. Penggunaan secara terperinci, dapat terdiri dari: 1) satu jenis tanaman dan 2) lebih dari satu jenis tanaman. Tipe penggunaan lahan yang kedua ini dibedakan lagi menjadi: a) tipe penggunaan ganda (multiple land utilization type), dan b) tipe penggunaan lahan majemuk (compound land utilization type). Tipe penggunaan lahan ganda adalah penggunaan lahan dengan lebih dari satu jenis sekaligus, dimana masing-masing jenis memerlukan input, syarat-syarat dan memberikan hasil yang berbeda. Sebagai contoh, daerah hutan produksi yang sekaligus digunakan untuk daerah rekreasi. Tipe penggunaan lahan majemuk adalah penggunaan lahan dengan lebih dari satu jenis, tetapi untuk tujuan evaluasi dianggap sebagai satu satuan. Penggunaan lahan yang berbeda mungkin dilakukan dalam waktu yang berbeda (misalnya dalam rotasi tanaman) atau dalam waktu yang sama tetapi di tempat yang berbeda dalam satuan lahan yang sama (misalnya pertanian tumpang sari – mixed farming) (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Baja (2012) menyatakan bahwa, terdapat perbedaan mendasar antara penggunaan lahan (land use) dan penutupan lahan (land cover). Penggunaan lahan berkaitan dengan aktivitas manusia yang secara langsung berhubungan dengan lahan, dimana terjadi penggunaan dan pemanfaatan lahan dan sumberdaya yang ada serta menyebabkan dampak pada lahan. Produksi tanaman, tanaman kehutanan, pemukiman perumahan adalah bentuk dari penggunaan lahan. Sementara, penutupan lahan berhubungan dengan vegetasi atau konstruksi oleh manusia yang menutupi permukaan tanah. Namun, bagaimana membedakan antara penggunaan lahan dengan penutupan lahan pada kasus tertentu sulit dilakukan. Misalnya: pada penutupan lahan karena vegetasi dan ada kegiatan manusia yang telah diterapkan pada areal tersebut, seperti pembukaan/pembersihan vegetasi pengolahan, penanaman atau pembangunan gedung. Karena adanya kesulitan untuk memisahkan kedua istilah tersebut, maka umumnya untuk studi skala semidetail atau skalanya lebih kecil, terutama pada pemanfaatan data penginderaan jauh, istilah penggunaan lahan dan penutupan lahan biasanya dipadukan dengan
(27)
Evaluasi Kesesuaian Lahan
Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna lahan yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses tataguna lahan. Inti evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan demikian akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Beberapa sistem evaluasi lahan yang telah banyak dikembangkan dengan menggunakan berbagai pendekatan, yaitu ada yang dengan sistem perkalian parameter, penjumlahan, dan sistem matching atau mencocokkan antara kualitas dan sifat-sifat lahan (land qualities/ land characteristics) dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan persyaratan tumbuh komoditas pertanian yang berbasis lahan. Sitorus (2004) menyatakan bahwa, fungsi evaluasi sumberdaya lahan adalah memberikan pengertian tentang hubungan-hubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan kepada perencana berbagai perbandingan dan alternatif pilihan penggunaan yang dapat diharapkan berhasil. Dengan demikian manfaat mendasar dari evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan.
Sitorus (2004) menyatakan bahwa, secara teoritis, terdapat dua pendekatan dalam evaluasi lahan, yaitu evaluasi lahan secara langsung dan evaluasi lahan tidak langsung. Pada evaluasi lahan secara langsung, penilaian dilakukan secara langsung terhadap pertumbuhan atau produksi tanaman, dimana tanaman yang menghasilkan produksi yang tinggi dideskripsikan sebagai sesuai untuk tanaman dan ketika lahan dimana tanaman tersebut menghasilkan produksi yang rendah, maka dideskripsikan sebagai lahan kurang sesuai. Dalam pendekatan evaluasi lahan tidak langsung, kesesuaian lahan spesifik untuk penggunaan tanaman tertentu, dideskripsikan menurut pada kualitas lahan (land quality) yang berdasarkan pada pengalaman dan data empiris yang telah diketahui sebelumnya. Dalam kasus ini, penilaian kesesuaian lahan memerlukan kriteria kebutuhan lahan untuk tanaman tertentu, dimana kriteria tersebut ditetapkan berdasarkan pada pengalaman diberbagai tempat lain. Penilaian kemudian dilakukan dengan menggunakan metode pembatasan maksimum, dengan mencocokkan (matching) karakteristik lahan pada lokasi yang sedang dinilai dengan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman (De la Rossa dan van Diepen, 2002 dalam Widiatmaka et al., 2015). Metode ini banyak digunakan secara luas di Indonesia. Hal ini disebabkan karena dapat dilakukan secara cepat (Ritung et al., 2007).
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial). Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh
(28)
tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai. Pada prinsipnya penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara mencocokan (matching) data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan mencakup persyaratan tumbuh/hidup komoditas pertanian yang bersangkutan, pengelolaan dan konservasi. Pada proses matching hukum minimal dipakai untuk menentukan faktor pembatas yang akan menentukan kelas dan sub kelas kesesuaian lahannya (Djaenudin et al., 2003).
Kemandirian Pangan
Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, kemandirian pangan adalah kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup ditingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal. Di tingkat nasional, kemandirian pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa atau negara dalam menjamin ketersediaan dan perolehan pangan yang cukup, mutu yang layak dan sehat (higienis), serta aman. Keterjaminan tersebut berbasis optimalisasi pemanfaatan dan keragaman sumber daya lokal. Terwujudnya kemandirian pangan antara lain dicerminkan oleh indikator mikro dan makro. Indikator mikro adalah keterjangkauan pangan secara langsung oleh masyarakat dan rumah tangga, sedangkan indikator makro adalah kontiniutas ketersediaan pangan, terdistribusi dan terkonsumsi dengan kualitas gizi yang berimbang, baik di tingkat wilayah maupun nasional.
Elizabeth (2011) menyatakan bahwa, terwujudnya kemandirian pangan secara mikro dicirikan oleh beberapa indikator dasar, seperti: (i) ketersediaan energi minimal 2200kkal/kapita/hari, dan ketersediaan protein minimal 57 g/kapita/hari; (ii) peningkatan kemampuan pemanfaatan dan konsumsi pangan untuk memenuhi energi minimal 2200 kkal/kapita/hari dan protein sebesar 57 g/kapita/hari; (iii) peningkatan kualitas konsumsi pangan masyarakat dengan skor minimal 80 pola pangan harapan (PPH); (iv) peningkatan keamanan, mutu, dan higienis pangan yang dikonsumsi masyarakat; (v) berkurangnya jumlah penduduk yang rawan pangan kronis (yang mengkonsumsi kurang dari 80% AKG) dan penduduk miskin minimal 1% per tahun; (vi) tertanganinya secara cepat dan tepat penduduk yang mengalami rawan pangan transien di suatu daerah (karena bencana alam dan bencana sosial); dan (vii) peningkatan rata-rata penguasaan lahan oleh petani.
Terwujudnya kemandirian pangan secara makro (nasional) dicirikan oleh beberapa indikator, seperti: (i) meningkatnya produksi pangan domestik yang berbasis sumber daya lokal, guna mempertahankan penyediaan energi minimal 2200kkal/kapita/hari, dan penyediaan protein minimal 57 gr/kapita/hari, yang diwujudkan melalui pemantapan swasembada beras berkelanjutan, swasembada
(29)
jagung (2007), swasembada gula (2009), swasembada daging sapi (2010), dan membatasi impor pangan di bawah 10 persen dari kebutuhan pangan nasional; (ii) meningkatnya land-man ratio melalui penetapan lahan abadi beririgasi dan lahan kering masing-masing minimal 15 juta ha; (iii) meningkatnya kemampuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah daerah dan pemerintah pusat; (iv) meningkatnya jangkauan jaringan distribusi dan pangan yang berkeadilan ke seluruh daerah bagi produsen dan konsumen; serta (v) meningkatnya kemampuan pemerintah dalam mengenali, mengantisipasi, dan menangani secara dini tanggap darurat terhadap masalah kerawanan pangan dan gizi. (Dewan Ketahanan Pangan 2006).
Kemandirian pangan rakyat dapat dicapai melalui keberpihakan pemerintah, kebijakan yang kondusif, dan optimalisasi peran pihak terkait dalam menangani fungsi operasi pasar, penyanggaan stok, distribusi, impor dan ekspor. Menurut Sumardjo (2009), kebijakan pangan perlu mengarah pada: (1) terjaminnya pangan secara nasional (food availability), baik dari perspektif produksi, ketersediaan, dan distribusi, maupun diversifikasi konsumsi pangan, (2) terjaminnya ketahanan pangan (food security) yang mampu mengatasi gejolak ketidakpastian faktor alam maupun pengaruh dari luar negeri, sehingga perlu upaya tertentu yang dapat menjamin kestabilan harga, (3) terjaminnya akses rumah tangga terhadap kebutuhan pangan (food assesibility) sesuai daya beli sehingga menjamin ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, (4) terjaminnya mutu makanan masyarakat dengan konsumsi gizi yang seimbang (food quality) melalui diversifikasi tingkat produksi, pengolahan maupun distribusi dan (5) tercapainya penyediaan pangan yang aman (food safety) agar terhindar dari bahan-bahan yang merugikan lingkungan maupun kesehatan masyarakat. Menurut Basith (2012), beberapa sub sistem yang mempengaruhi ketahanan pangan, adalah (1) sub sistem penunjang (sarana dan prasarana), (2) sub sistem ketersediaan pangan (produksi), (3) sub sistem konsumsi dan (4) subsistem distribusi.
Konsep kemandirian dalam ketahanan pangan bukanlah kemandirian dalam keterisolasian. Dengan demikian, masalah kemandirian tidak didasarkan pada paradigma ketergantungan. Kemandirian dalam konteks kini (global) menuntut adanya kondisi saling ketergantungan (interdependency) antara lokal-global, traditional-modern, desa-kota, rakyat-pemerintah, pertumbuhan-pemerataan, serta antar lembaga sesuai fungsinya. Kemandirian dengan demikian adalah paham pro-aktif dan bukan repro-aktif atau defensif. Kemandirian pembangunan perdesaan sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan nasional hanya dapat terwujud bila kondisi saling ketergantungan tersebut dibangun atas dasar kekuatan modal sosial yang tinggi. Kemandirian ketahanan pangan dalam era globalisasi hanya dapat diwujudkan tatkala paradigma pembangunan yang dikembangkan baik di pusat maupun di daerah mampu memadukan antara tuntutan global dengan pemberdayaan masyarakat. Di sinilah fungsi dan peran demokratisasi ekonomi-politik dan social pada semua tingkatan pemerintahan dan lembaga masyarakat menjadi sangat penting apakah arus globalisasi ini merupakan peluang untuk menjadi suatu kekuatan atau ancaman.
(30)
Analisis Spasial Dalam SIG
Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi berbasis komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografis yang mencakup pemasukan, manajemen data (penyimpanan data dan pemanggilan lagi), manipulasi dan analisis, dan pengembangan produk dan pencetakan (Aronof dalam Barus, 2000). Dalam pengertian yang lebih luas SIG tidak hanya menyangkut komponen perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware) tetapi juga pengguna (user) dan organisasinya serta data yang dipakai, sebab tanpa komponen-komponen ini SIG tidak dapat operasional (Durana dalam Barus, 2000). Jadi berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa SIG mencakup empat komponen utama yaitu: perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen) dan pengguna (Barus, 2000).
Terdapat beberapa pengertian tentang analisis spasial (Sullivan et al., 2003) diantaranya adalah: 1) Spatial data manipulation, yang biasanya disebut analisis spasial dalam terminologi yang digunakan oleh perangkat lunak SIG, 2) Spatial statistical Analysis, menggunakan metode statistik untuk memeriksa data spasial dalam menentukan apakah data spasial tersebut sesuai atau tidak sesuai secara relatif terhadap model statistik dan 3) Spatial Modelling, membuat konstruksi model untuk memprediksi hasil secara spasial. Misalnya model spasial yang digunakan untuk memprediksi arus penduduk dan barang antar beberapa lokasi atau untuk membuat optimasi lokasi-lokasi penempatan fasilitas.
Dalam prakteknya seringkali ketiga makna analisis spasial tersebut di atas dimanfaatkan dalam suatu aktifitas tertentu yang bagian-bagian di dalamya memerlukan analisis spasial dalam pengertian tersebut di atas. Dalam bentuk yang lebih integratif pada setiap tahapan proses analisis yang memanfaatkan data spasial sebagai input, ketiga bentuk analisis spasial tersebut sangat diperlukan. Fungsi analisis dalam SIG (Aronof dalam Barus, 2000) secara umum dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu: 1) fungsi pemanggilan/ klasifikasi/ pengukuran data, 2) fungsi tumpang tindih/overlay, 3) fungsi tetangga, dan 4) fungsi jaringan/ keterkaitan.
3
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat, mencakup 9 kecamatan. Posisi geografi wilayah penelitian berada di 108°35' - 109°58'BT dan 0°44'LU - 1°01'LS. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2015 sampai dengan bulan September 2015.
Bahan dan Alat
Bahan penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer pertama terdiri dari data survei lapangan (ground check) dan pengambilan titik sampel untuk analisis jenis penggunaan lahan dan wawancara dengan masyarakat untuk
(31)
mengetahui informasi jenis pengunaan lahan. Data primer kedua, berupa wawancara dengan panduan kuesioner terhadap 18 responden stakeholders yang dipilih dengan teknik sampling nonprobabilitas melalui pendekatan purposive sampling untuk analisis strategi pengembangan lahan sawah.
Data sekunder terdiri dari data spasial, data tabular dan telaahan pustaka. Data spasial yang digunakan adalah citra Landsat 8, terdiri dari 3 (tiga) scene, yaitu: path 121 row 61, path 121 row 60 dan path 122 row 61 (resolusi spasial 30 meter), citra Google Earth, Peta Sistem Lahan (RePPProT), Peta Lahan Sawah, Peta Rupa Bumi Indonesia, Peta Sebaran Gambut, Peta Status Kawasan Hutan, Peta Penggunaan Lahan, Peta Rencana Pola Ruang, Peta Administrasi, Peta curah hujan dan suhu rata-rata tahunan dan Peta Jenis Tanah. Data tabular berupa data hasil analisis tanah dan data-data statistik, terdiri dari data kependudukan, data produksi tanaman padi sawah. Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah Global Positioning System (GPS), software ArcGIS, Google Earth Pro dan Microsoft Excel.
Data sekunder dikumpulkan dari instansi-instansi terkait sebagaimana disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Jenis data sekunder
Data Skala Tahun Bentuk Sumber Data
Citra Landsat 8 Citra Google Earth
- 2014
2014
Digital Digital
USGS Google Peta Sistem Lahan
Peta Lahan Sawah Peta RBI
Peta Sebaran Gambut Peta Status Kawasan Hutan Peta Penggunaan Lahan Peta Rencana Pola Ruang Peta Administrasi
1 : 250.000 1 : 30.000 1 : 50.000 1 : 250.000 1 : 250.000 1 : 250.000 1 : 250.000 1 : 50.000
1991 2012 2010 2010 2014 2013 2014 2013 Digital Digital Digital Digital Digital Digital Digital Digital RePPProT Ditjen. PSP (Kementan) BIG Ditjen Planologi (Kemenhut) Ditjen Planologi (Kemenhut) Ditjen Planologi (Kemenhut) BAPPEDA KKR BAPPEDA KKR Peta Curah Hujan Rata2
tahunan
Peta Suhu Rata-rata tahunan
1 : 250.000 1 : 250.000
2012 2012 Digital Digital BAPPEDA KKR BAPPEDA KKR Peta Jenis Tanah
Data analisis tanah
1 : 250.000 - 2009 2009 Cetak Cetak Distannak KKR Fak. Pertanian Untan Jumlah penduduk, produksi
dan produktivitas padi.
-
2008-2013
Cetak BPS
Badan ketahanan pangan
Kriteria Kesesuaian Lahan Sawah
- 2007,
2011
Cetak Hardjowigeno dan
Widiatmaka, BBSDLP
(32)
Prosedur Analisis Data
Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan analisis, sebagaimana tergambar dalam prosedur analisis penelitian yang disajikan pada Gambar 2. Analisis data disajikan dalam bentuk matriks analisis penelitian, yang disajikan pada Tabel 3.
Gambar 2 Prosedur analisis penelitian
Peta jenis tanah, peta sebaran gambut, peta sistem lahan Peta status kawasan hutan Peta pola ruang Kab. Kubu Raya Peta penggunaan/ penutupan lahan th 2103 Peta lahan sawah th 2012 Peta curah hujan dan suhu rata2 tahunan Google Earth Survey lapangan Citra Landsat 8 tahun 2014 Peta penggunaan/ penutupan lahan dan lahan
sawah exisiting th. 2014
ketersediaan lahan untuk padi
sawah Kesesuaian
lahan sawah
Arahan prioritas dan strategi pengembangan lahan sawah Karakteristik/ kualitas lahan Kriteria kesesuaian lahan untuk padi sawah Status kawasan hutan pola ruang Kubu Raya
Lahan tersedia dan sesuai untuk lahan padi
sawah Satuan peta
lahan
Kecukupan pangan di Kabupaten Kubu
Raya
Analisis SWOT Survei Responden Data analisis
(33)
Ta
be
l
3 Ma
triks prose
du
r a
na
li
sis
pe
ne
li
ti
(34)
Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis: (1) penggunaan lahan dan sebaran lahan sawah tahun 2014, (2) ketersediaan lahan (3) kesesuaian lahan, (4) lahan yang berpotensi dan arahan prioritas, (5) proyeksi kebutuhan luas baku lahan sawah, dan (6) strategi pengembangan lahan sawah.
Analisis Penggunaan Lahan dan Sebaran Lahan Sawah Tahun 2014
Peta Penggunaan lahan dan sebaran lahan sawah pada tahun 2014 di Kabupaten Kubu Raya, merupakan hasil pembaharuan (updating) data dari Peta Penggunaan Lahan tahun 2013 dari Kementerian Kehutanan RI skala 1:250.000 yang dikombinasikan dengan Peta Lahan Sawah tahun 2012 di Kabupaten Kubu Raya yang bersumber dari Kementerian Pertanian Indonesia skala 1:30.000 (diperoleh dari hasil interpretasi citra SPOT 5, Quickbird, Worldview-2, GeoEye dan Ikonos akuisisi tahun 2008 – 2011 skala 1:10.000 melalui proses orthorektifikasi dengan titik kontrol GPS serta data survei geodetic dan survei lapangan tahun 2012).
Analisis dilakukan secara bersamaan, melalui interpretasi penggunaan lahan dan sebaran lahan sawah pada citra Landsat 8 tahun 2014 dan dicocokkan dengan citra di Google Earth untuk setiap jenis penggunaan lahan dan lahan sawah pada tahun yang sama. Informasi yang tidak dapat teridentifikasi di citra Landsat 8 dan di Google Earth, dilakukan teknik pengecekan lapangan (field checking) meliputi observasi dan pengambilan titik sampel sebanyak 32 titik sampel, menggunakan Global Positioning System (GPS) pada setiap jenis penggunaan lahan yang tidak teridentifikasi di citra, disertai wawancara dengan masyarakat untuk mengetahui informasi mengenai jenis penggunaan lahan dan riwayat penggunaan lahan. Pengecekan lapangan dan wawancara di lapangan digunakan sebagai tambahan informasi dalam menginterpretasi citra.
Analisis dilanjutkan dengan menginterpretasi citra Landsat 8 menggunakan kunci penafsiran penggunaan lahan dan disesuaikan dengan sistem klasifikasi untuk penafsiran citra Landsat. Kombinasi Peta Penggunaan Lahan tahun 2013 dan Peta Lahan Sawah tahun 2012, selanjutnya dideliniasi (metode on-screen digitation) sesuai dengan batas-batas kenampakan objek pada citra Landsat 8, sehingga menghasilkan Peta Penggunaan Lahan serta Peta Sebaran Lahan Sawah tahun 2014 di Kabupaten Kubu Raya. Kunci Penafsiran Penggunaan Lahan tahun 2014 dan Sistem Klasifikasi untuk Penafsiran Citra Landsat, ditunjukkan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.
Analisis Ketersediaan Lahan dan Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Lahan Sawah
Analisis ketersediaan lahan untuk pengembangan lahan sawah dilakukan untuk mengetahui lokasi lahan yang tersedia untuk pengembangan lahan sawah tanpa mempertimbangkan kesesuaian lahan. Data-data yang digunakan adalah: Peta Status Kawasan Hutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: SK.733/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat, Peta Rencana Pola Ruang rancangan RTRW Kabupaten Kubu Raya dan Peta Penggunaan Lahan tahun 2014 di Kabupaten Kubu Raya. Lahan
(35)
yang dikategorikan tersedia pada Peta Penggunaan Lahan, berupa: pertanian lahan kering campur semak, transmigrasi, lahan terbuka, rawa, semak belukar dan semak belukar rawa. Pada Peta Rencana Pola Ruang, lahan yang dikategorikan tersedia berupa: lahan yang diperuntukkan untuk budidaya dan hutan produksi yang dapat dikonversi. Sedangkan pada Peta Status Kawasan Hutan, lahan yang dikategorikan tersedia, berupa : areal penggunaan lain (APL) dan hutan produksi konversi (HPK). Selanjutnya, ketiga peta tersebut dioverlay dan dilakukan proses pencocokkan (matching) dengan matriks alokasi ketersediaan lahan untuk pengembangan lahan sawah, sehingga dihasilkan Peta Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Lahan Sawah di Kabupaten Kubu Raya. Matriks alokasi ketersediaan lahan untuk pengembangan lahan sawah disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Matriks alokasi ketersediaan lahan untuk pengembangan lahan sawah
Alokasi ketersediaan
lahan
Penggunaan lahan Pola ruang kabupaten Status kawasan
hutan Lahan
tersedia
Pertanian lahan kering campur semak, transmigrasi, lahan terbuka, rawa, semak belukar dan semak belukar rawa.
Budidaya, hutan produksi konversi
areal penggunaan lain (APL) dan
hutan produksi
konversi (HPK). Lahan tidak
tersedia
Hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan tanaman, permukiman, bandara,
pertambangan, pertanian lahan
kering, perkebunan sawah dan tambak.
hutan lindung, hutan
mangrove, hutan lindung gambut, hutan produksi, hutan produksi terbatas, perkebunan, pemukiman.
hutan lindung
(HL), hutan
produksi (HP)
dan hutan
produksi terbatas (HPT)
Untuk memperoleh informasi kesesuaian lahan, maka analisis diawali dengan mengidentifikasi karakteristik lahan. Karakterisitik lahan diperoleh dari Peta Curah Hujan Rata-rata Tahunan, Peta Suhu Rata-rata Tahunan, Peta Jenis Tanah, Peta Sebaran Gambut dan Peta Sistem Lahan (RePPProT), dilengkapi dengan data hasil analisis tanah. Peta tersebut diatas selanjutnya diovelay untuk memperoleh informasi kualitas lahan sehingga dapat digunakan untuk menilai kesesuaian lahan. Kualitas lahan dan karakteristik lahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaiu; temperatur, ketersediaan air (bulan kering, curah hujan), media perakaran (drainase, tekstur, kematangan dan ketebalan gambut), retensi hara (KTK tanah, pH tanah), toksisitas (salinitas dan kedalaman sulfidik), hara tersedia (P2O5 dan K2O),
penyiapan lahan (batuan permukaan), tingkat bahaya erosi (lereng) serta bahaya banjir (tinggi dan lama banjir). Untuk menggambarkan karakteristik lahan dalam kaitannya dengan kondisi fisiografis dan geologisnya, maka peta hasil overlay dibuat kedalam Satuan Peta Lahan (SPL). Kualitas lahan dan karakteristik lahan pada satuan peta lahan disajikan pada Lampiran 3.
Analisis kesesuaian lahan untuk padi sawah dilakukan dengan menggunakan sistem evaluasi lahan, yaitu dengan cara mencocokkan (matching) karakteristik lahan dengan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman. Pada proses matching digunakan hukum Leibeg (Leibe low) untuk menentukan faktor pembatas minimum yang akan mempengaruhi kelas dan subkelas kesesuaian lahan. Hukum Leibeg menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman tidak dibatasi oleh
(36)
hara yang tersedia, melainkan oleh hara minimum. (Ritung et al., 2011). Penilaian evaluasi lahan dilakukan melalui pendekatan secara tidak langsung dengan kriteria kesesuaian lahan untuk padi sawah menurut sistem FAO (1976) yang dimodifikasi oleh Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), dan Ritung et al. (2011) dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Penilaian kemudian dilakukan dengan menggunakan metode pembatasan maksimum, dengan mencocokkan (matching) karakteristik lahan pada lokasi yang sedang dinilai dengan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman (De la Rossa dan van Diepen, 2002 dalam Widiatmaka et al., 2015). Hasil pencocokkan diklasifikasikan sebagai kelas sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marjinal (S3), tidak sesuai saat ini (N1), tidak sesuai untuk selamanya (N2) dan informasi faktor pembatasnya minimumnya. Hasil analisis berupa Peta Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Lahan Sawah di Kabupaten Kubu Raya. Kriteria Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Kubu Raya ditunjukkan pada Lampiran 4.
Analisis Potensi Lahan dan Arahan Prioritas untuk Pengembangan Lahan Sawah
Analisis potensi lahan dan arahan prioritas dilakukan untuk mengetahui lahan yang berpotensi sekaligus menentukan arahan lokasi yang diprioritaskan untuk pengembangan lahan sawah di Kabuaten Kubu Raya. Data yang digunakan adalah Peta Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Lahan Sawah, Peta Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Lahan Sawah dan matriks potensi lahan dan arahan prioritas untuk pengembangan lahan sawah di Kabupaten Kubu Raya. Kedua peta dioverlay dan dilakukan pencocokan (matching) sesuai dengan kriteria pada matriks potensi lahan dan arahan prioritas untuk pengembangan lahan sawah di Kabupaten Kubu Raya.
Analisis arahan prioritas pengembangan lahan sawah dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat pengelolaan dan jenis usaha perbaikan yang dapat dilakukan dalam mengatasi faktor penghambat pada kelas kesesuaian lahan dan jenis penggunaan lahan. Arahan prioritas pengembangan lahan sawah dikategorikan dalam 3 kelompok arahan prioritas, dimana tingkat pengelolaan dan jenis usaha perbaikan yang rendah dikategorikan sebagai prioritas pertama dan sebaliknya, tingkat pengelolaan dan jenis usaha perbaikan yang tinggi dikategorikan sebagai prioritas terakhir. Jenis usaha perbaikan kualitas dan karakteristik lahan aktual untuk menjadi potensial menurut tingkat pengelolaannya serta Asumsi tingkat perbaikan kualitas lahan aktual untuk menjadi potensial menurut tingkat pengelolaannya disajikan pada Lampiran 5 dan Lampiran 6.
Prioritas pertama, menempati kesesuaian lahan sesuai marjinal dengan faktor penghambat berupa ketersediaan unsur hara (S3n) dan berada pada jenis penggunaan lahan berupa lahan terbuka dan semak belukar. Arahan didasarkan pada jenis usaha perbaikan faktor penghambat dengan tingkat pengelolaan yang tergolong rendah, dimana pengelolaan dan pengembangan lahan sawah dapat dilaksanakan oleh petani sendiri dengan pengeluaran biaya pengelolaan yang relatif lebih rendah dan masih terjangkau oleh petani. Usaha perbaikan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian pupuk P dan K pada jenis penggunaan lahan yang digunakan untuk pengembangan lahan sawah.
(1)
KUESIONER PENELITIAN PENENTUAN FAKTOR PENGENDALI
Judul penelitian
PERENCANAAN SPASIAL PENGEMBANGAN LAHAN SAWAH
UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
DI KABUPATEN KUBU RAYA
IDENTITAS RESPONDEN
Nama : ……….
Pekerjaan/Jabatan : ……….
Alamat : ……….
Kami mohon Bapak/Ibu dapat mengisi kuesioner ini secara objektif dan benar. Penelitian ini dilakukan dalam kerangka akademik dan tujuan ilmiah.
SANDI NURDIN A154140104
SEKOLAH PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
PENENTUAN FAKTOR PENGENDALI INTERNAL
Faktor internal dalam kuesioner ini adalah faktor-faktor strategis yang berasal dari dalam organisasi, yang mempengaruhi pengembangan lahan sawah untuk mendukung kemandirian pangan di Kabupaten Kubu Raya.
Petunjuk pengisian :
1. Pemberian nilai positif (+) didasarkan apakah faktor-faktor tersebut dapat menjadi
kekuatan dalam pengembangan lahan sawah untuk mendukung kemandirian pangan
di Kabupaten Kubu Raya. Berikan tanda centang (√) di bawah tanda positif (+) pada tabel berikut, apabila faktor-faktor tersebut menjadi kekuatan dalam pengembangan lahan sawah untuk mendukung kemandirian pangan.
2. Pemberian nilai negatif (-) didasarkan apakah faktor-faktor tersebut dapat menjadi
kelemahan dalam pengembangan lahan sawah untuk mendukung kemandirian
pangan di Kabupaten Kubu Raya. Berikan tanda centang (√) di bawah tanda negatif (-) pada tabel berikut, apabila faktor-faktor tersebut menjadi kelemahan dalam pengembangan lahan sawah untuk mendukung kemandirian pangan.
3. Selain faktor-faktor yang disebutkan di bawah ini, masih memungkinkan untuk menambah faktor-faktor internal lain yang menurut Bapak/Ibu mempengaruhi pengembangan lahan sawah untuk mendukung kemandirian pangan, kemudian berikan centang (√) di bawah tanda positif (+) apabila faktor tersebut menjadi kekuatan atau di bawah tanda (-) apabila faktor tersebut menjadi kelemahan.
No Faktor Strategis Internal + - Keterangan/ Alasan
1 Sumberdaya lahan (luasan areal) ...
2 Sumberdaya manusia ...
3 Kelembagaan Petani ...
4 Dukungan/kebijakan pemerintah daerah ...
5 Ketersediaan sarana dan prasarana pertanian ...
6 Kondisi fisik sawah (fluktuasi ketersediaan air) ...
7 Kegiatan pasca panen (kualitas gabah) ...
8 Output berupa Padi Organik ...
9 Biaya input untuk produksi (ex : Pupuk, bibit, dll) ...
10 Akses permodalan ...
11 Tingkat keuntungan usaha ...
12 Kerjasama lintas sektor ...
13 Budaya/kebiasaan masyarakat lokal ...
14 Produktivitas dan mutu padi yang dihasilkan ...
15 Posisi strategis ...
(3)
PENENTUAN FAKTOR PENGENDALI EKSTERNAL
Faktor eksternal dalam kuesioner ini adalah faktor-faktor strategis yang berasal dari luar organisasi, yang mempengaruhi pengembangan lahan sawah untuk mendukung kemandirian pangan di Kabupaten Kubu Raya.
Petunjuk pengisian :
1. Pemberian nilai positif (+) didasarkan apakah faktor-faktor tersebut dapat menjadi
peluang dalam pengembangan lahan sawah untuk mendukung kemandirian pangan.
Berikan tanda centang (√) di bawah tanda (+) pada tabel berikut, apabila faktor-faktor tersebut menjadi peluang dalam pengembangan lahan sawah untuk pengembangan wilayah.
2. Pemberian nilai negatif (-) didasarkan apakah faktor-faktor tersebut dapat menjadi
ancaman dalam pengembangan lahan sawah untuk mendukung kemandirian pangan
di Kabupaten Kubu Raya. Berikan tanda centang (√) di bawah tanda (-) pada tabel berikut, apabila faktor-faktor tersebut menjadi ancaman dalam pengembangan lahan sawah untuk mendukung kemandirian pangan.
3. Selain faktor-faktor yang disebutkan di bawah ini, masih memungkinkan untuk menambah faktor-faktor eksternal lain yang menurut Bapak/Ibu mempengaruhi p pengembangan lahan sawah untuk mendukung kemandirian pangan di Kabupaten Kubu Raya, kemudian berikan tanda centang (√) di bawah tanda (+) apabila faktor tersebut menjadi peluang atau di bawah tanda (-) apabila faktor tersebut menjadi ancaman.
No Faktor Strategis Eksternal + - Keterangan/ Alasan
1 Permintaan gabah/beras ...
2 Berkembangnya Teknologi Informasi ...
3 Potensi Pasar ...
4 Potensi Pasar Beras Organik ...
5 Adanya Kebijakan Otonomi daerah ...
6 Tingkat inflasi ...
7 Fluktuasi harga ...
8 Kebijakan pemerintah pusat dalam
pengembangan lahan pangan ...
9 Pembiayaan pertanian oleh pemerintah ...
10 Ketersediaan teknologi ...
11 Alih fungsi lahan pertanian ...
12 Globalisasi dan pasar bebas ...
13 Tingkat kesejahteraan petani ...
14 Perubahan iklim ...
15 Tenaga kerja pertanian ...
(4)
PENENTUAN BOBOT FAKTOR PENGENDALI INTERNAL
Tujuan :
Mendapatkan penilaian responden terhadap tingkat kepentingan suatu faktor strategis internal dalam penentuan strategi pengembangan lahan sawah untuk mendukung kemandirian pangan di Kabupaten Kubu Raya. Tingkat kepentingan yang di maksud adalah berupa pemberian bobot terhadap seberapa besar faktor strategis tersebut menentukan keberhasilan pengembangan lahan sawah untuk mendukung kemandirian pangan.
Petunjuk khusus :
Alternatif pemberian bobot terhadap faktor-faktor strategis internal yang tersedia untuk kuesioner adalah :
1 = kurang penting/kurang menentukan 2 = agak penting/agak menentukan 3 = penting/menentukan
4 = sangat penting/sangat menentukan
Pemberian bobot masing-masing faktor strategis dilakukan dengan memberikan tanda centang (√) pada tingkat kepentingan (1 s/d 4) yang paling sesuai menurut responden. Penentuan bobot merupakan pandangan masing-masing responden terhadap faktor-faktor strategis internal yang telah ditinjau dari keseluruhan elemen yang ada.
No Faktor Strategis Internal Bobot
1 2 3 4
1 Sumberdaya lahan (luasan areal)
2 Sumberdaya manusia
3 Kelembagaan Petani
4 Dukungan/kebijakan pemerintah daerah
5 Ketersediaan sarana dan prasarana pertanian
6 Kondisi fisik sawah (fluktuasi ketersediaan air)
7 Kegiatan pasca panen (kualitas gabah)
8 Output berupa Padi Organik
9 Biaya input untuk produksi (ex : Pupuk, bibit, dll)
10 Akses permodalan
11 Tingkat keuntungan usaha
12 Kerjasama lintas sektor
13 Budaya/kebiasaan masyarakat lokal
14 Produktivitas dan mutu padi yang dihasilkan
15 Posisi strategis
(5)
PENENTUAN BOBOT FAKTOR PENGENDALI EKSTERNAL Tujuan :
Mendapatkan penilaian responden terhadap tingkat kepentingan suatu faktor strategis eksternal dalam penentuan strategi pengembangan lahan sawah untuk mendukung kemandirian pangan di Kabupaten Kubu Raya. Tingkat kepentingan yang dimaksud adalah berupa pemberian bobot terhadap seberapa besar faktor strategis tersebut menentukan keberhasilan pengembangan lahan sawah untuk mendukung kemandirian pangan.
Petunjuk khusus :
Alternatif pemberian bobot terhadap faktor-faktor strategis eksternal yang tersedia untuk kuesioner ini adalah :
1 = kurang penting/kurang menentukan 2 = agak penting/agak menentukan 3 = penting/menentukan
4 = sangat penting/sangat menentukan
Pemberian bobot masing-masing faktor strategis dilakukan dengan memberikan tanda centang (√) pada tingkat kepentingan (1 s/d 4) yang paling sesuai menurut responden. Penentuan bobot merupakan pandangan masing-masing responden terhadap faktor- faktor strategis eksternal yang telah ditinjau dari keseluruhan elemen yang ada.
No Faktor Strategis Eksternal Bobot
1 2 3 4
1 Permintaan gabah/beras
2 Berkembangnya Teknologi Informasi
3 Potensi Pasar
4 Potensi Pasar Beras Organik
5 Adanya Kebijakan Otonomi daerah
6 Tingkat inflasi
7 Fluktuasi harga
8 Kebijakan pemerintah pusat dalam
pengembangan lahan pangan
9 Pembiayaan pertanian oleh pemerintah
10 Ketersediaan teknologi
11 Alih fungsi lahan pertanian
12 Globalisasi dan pasar bebas
13 Tingkat kesejahteraan petani
14 Perubahan iklim
(6)