Daya Saing dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Cumi-cumi dan Sotong Olahan di Indonesia Periode Tahun 2002-2011

DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMENGARUHI IMPOR CUMI-CUMI DAN SOTONG
OLAHAN DI INDONESIA PERIODE TAHUN 2002-2011

NYIMAS TYAH NADHILAH

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Daya Saing dan Faktorfaktor yang Memengaruhi Impor Cumi-cumi dan SotongOlahan di Indonesia
Periode Tahun 2002-2011 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013
Nyimas Tyah Nadhilah
NIM H14090105

ABSTRAK
NYIMAS TYAH NADHILAH. Daya Saing dan Faktor-faktor yang Memengaruhi
Impor Cumi-cumi dan Sotong Olahan di Indonesia Periode Tahun 2002-2011.
Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI.
Indonesia merupakan negara yang melimpah akan sumberdaya kelautan,
namun sektor perikanan Indonesia cenderung berdaya-saing rendah. Hal ini
ditunjukkan dengan masih tingginya impor, baik ikan segar maupun produk hasil
olahan ikan. Salah satu komoditas yang memiliki impor berfluktuasi adalah cumicumi dan sotong olahan. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi kondisi
daya saing dan faktor-faktor yang memengaruhi impor cumi-cumi dan sotong
olahan di Indonesia periode tahun 2002-2011. Kondisi daya saing dilihat melalui
RCA, hasilnya selama sepuluh tahun rata-rata RCA Indonesia sebesar 1.2384,
artinya Indonesia memiliki daya saing tinggi, namun kenyataannya Indonesia
masih mengimpor untuk komoditas ini. Selanjutnya, faktor-faktor yang
memengaruhi impor dijawab dengan Gravity Model. Keempat variabel yaitu GDP

keenam negara pengekspor, GDP Indonesia, volume konsumsi domestik,dan jarak
ekonomi; menghasilkan estimasi yang sesuai dengan hipotesis, sedangkan nilai
tukar keenam negara pengekspor terhadap Rupiah tidak sesuai hipotesis namun
signifikan, serta interaksi antara tarif dan variabel dummy tidak sesuai hipotesis
dan tidak signifikan.
Kata kunci: daya saing, impor, perikanan

ABSTRACT
NYIMAS TYAH NADHILAH. Competitiveness and Factors Affecting Imports
of Squid and Cuttlefish Processed in Indonesia Within the Period of 2002-2011.
Supervised by RINA OKTAVIANI.
Indonesia is a country with abundant marine resources, but its fishery sector
seems to have low level of competitiveness. That can be portrayed by the high
level of imports in fresh fish and processed fish products. Two of the commodities
that tend to have fluctuated level of imports are squid and cuttlefish processed.
This research was conducted to identify the current competitiveness condition and
factors affecting imports of squid and cuttlefish processed in Indonesia within the
periode of 2002-2011. Competitiveness condition is viewed through RCA, the
average ten years result of RCA in Indonesia shows 1.2384 figures. The result
means Indonesia has high level of competitiveness despite the fact those two

commodities are still being imported. All factors that have impact on imports are
identified by using Gravity Model. The four variables which are GDP of six
exporting countries, Indonesia’s GDP, domestic consumption volume, the
distance of economic; produce estimation which similar to hypothesis and has
significant effect, and the interaction between tariff and dummy variable have
insignificant result and way different from the hypothesis.
Keywords: competitivenes, imports, fisheries

DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMENGARUHI IMPOR CUMI-CUMI DAN SOTONG
OLAHAN DI INDONESIA PERIODE TAHUN 2002-2011

NYIMAS TYAH NADHILAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi


DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Daya Saing dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Cumicumi dan Sotong Olahan di Indonesia Periode Tahun 2002-2011
Nama
: Nyimas Tyah Nadhilah
NIM
: H14090105

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk
menyelesaikan penelitian yang dimulai sejak November 2012 sehingga
menghasilkan karya ilmiah ini. Tema yang penulis sajikan ialah perikanan,
dengan judul Daya Saing dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Cumi-cumi
dan Sotong Olahan di Indonesia Periode Tahun 2002-2011.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan, serta
Dr. Sahara, M.Si selaku dosen penguji utama dan Widyastutik, M.Si selaku dosen
penguji komisi pendidikan yang telah memberi saran dan kritik demi perbaikan
dan kesempurnaan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Ibu (Rohimah Ahmad), Ayah (Kemas Ridwan Nur), kedua
kakak (Nyimas Lita Fadillah dan Nyimas Imania Ridwan), serta seluruh keluarga,
sahabat (Ananda Gelimang Kencana dan Sri Nurhayati), teman-teman satu

bimbingan (Marsela Dwi Tamisari, Indah Rizki Anugrah, dan Gradisny Qaliffa
Maraya), dan Ilmu Ekonomi 46 atas segala doa, semangat, dan kasih sayangnya.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dicky, Bapak Diding,
Bapak Gosen, Ibu Cici, dan Bapak Joko dari Kementerian Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia, serta Ibu Dian dan jajaran staf Departemen Ilmu Ekonomi,
yang telah membantu selama pengumpulan data.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013
Nyimas Tyah Nadhilah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

6

Tujuan Penelitian

7


Manfaat Penelitian

8

Ruang Lingkup Penelitian

8

Hipotesis Penelitian

8

TINJAUAN PUSTAKA

9

Landasan Teori

9


Penelitian Terdahulu

16

Kerangka Pemikiran

18

METODE

20

Jenis dan Sumber Data

20

Metode Analisis dan Pengolahan Data

20


HASIL DAN PEMBAHASAN

25

Gambaran Umum Perekonomian Negara

25

Kondisi Daya Saing

32

Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Cumi-Cumi dan Sotong Olahan

34

SIMPULAN DAN SARAN

36


Simpulan

36

Saran

37

DAFTAR PUSTAKA

37

LAMPIRAN

40

RIWAYAT HIDUP

50

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

PDB atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha untuk
Volume produksi perikanan tahun 2002-2011 (ton)
Kategori dan ukuran kapal/perahu tahun 2002-2011 (unit)
Volume dan nilai impor dan produksi domestik cumi-cumi dan
sotong
Volume konsumsi domestik cumi-cumi dan sotong olahan di
Indonesia
Populasi penduduk Indonesia tahun 2002-2011
Nilai ekspor dan impor Indonesia tahun 2002-2011 (1000 US$)
Volume dan nilai impor perikanan di Indonesia tahun 2002-2011
Neraca perdagangan Indonesia-Argentina (juta US$)
Nilai ekspor dan impor Argentina tahun 2002-2011 (1000 US$)
Populasi penduduk China tahun 2002-2011
Nilai ekspor dan impor China tahun 2002-2011 (1000 US$)
Nilai ekspor dan impor Korea Republic tahun 2002-2011 (1000
US$)
Nilai ekspor dan impor Malaysia tahun 2002-2011 (1000 US$)
Nilai ekspor dan impor United States tahun 2002-2011 (1000 US$)
Nilai ekspor dan impor Uruguay tahun 2002-2011 (1000 US$)
Neraca Perdagangan Indonesia-Uruguay (US$)
Hasil pengolahan RCA
Hasil estimasi parameter faktor-faktor yang memengaruhi impor
cumi-

1
2
3
4
5
26
26
27
28
28
29
29
30
30
31
32
32
33
34

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

Kurva perdagangan internasional
Analisis efek-efek tarif bea masuk
Kerangka Pemikiran

10
13
19

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Revealed Comparative Advantage (RCA)
Variabel faktor-faktor yang memengaruhi impor
Pooled Least Square (PLS)
Least Square Dummy Variable (LSDV)
Uji Chow
Uji kenormalan
Uji homoskedastisitas
Uji multikolinearitas

40
42
44
45
46
47
48
49

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan yang melimpah akan
sumberdaya kelautan serta keanekaragaman hayati dan non hayati. Semuanya ini
dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan seperti wisata bahari, industri
maritim, jasa angkutan, dan sebagainya. Selain itu, dapat pula dikembangkan
potensi untuk perikanan tangkap, budidaya laut, budidaya air payau, budidaya air
tawar, dan bioteknologi kelautan. Pada sisi lain, terdapat beberapa peluang
pengembangan meliputi pengembangan pulau-pulau kecil, pemanfaatan benda
berharga asal muatan kapal tenggelam, pemanfaatan air laut dalam, industri garam
rakyat, pengelolaan pasir laut, serta industri penunjang dan keanekaragaman
hayati. Saat ini pengembangan tersebut telah disinergikan dengan kelembagaan
yang ada serta didukung oleh sarana dan prasarana seperti Pelabuhan Perikanan,
Balai Budidaya, Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan, Balai
Litbang, Balai Karantina Ikan, dan Sekolah Ikan. Kelembagaan yang dimaksud
dintaranya Komisi Tuna Indonesia, Komisi Udang, Masyarakat Perikanan
Nusantara (MPN), Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo), dan
Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI).
Potensi yang melimpah dari kelautan dan perikanan Indonesia dengan
kelembagaan dan sarana serta prasarana yang telah disediakan menjadi salah satu
penopang perekonomian Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi sub sektor
perikanan pada Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2002 hingga tahun 2011
yang terus meningkat. Tabel PDB atas dasar harga konstan menurut lapangan
usaha untuk sektor pertanian tahun 2002-2011 disajikan.
Tabel 1 PDB atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha untuk
sektor pertanian tahun 2002-2011 (milyar rupiah)
Tahun
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011

Tanaman
bahan
makanan
114 981
119 165
122 612
125 802
129 549
133 888
142 000
149 058
151 500
154 154

Tanaman
perkebunan
37 073
38 634
38 849
39 812
41 318
43 199
44 784
45 558
47 110
49 260

Sektor usaha
Peternakan
dan hasilKehutanan
hasilnya
29 430
17 125
30 647
17 214
31 672
17 434
32 346
17 177
33 430
16 687
34 221
16 548
35 425
16 543
36 649
16 844
38 214
17 250
40 040
17 395

Perikanan
33 002
34 668
36 596
38 746
41 419
43 653
45 866
47 775
50 662
54 187

Jumlah
231 611
240 328
247 663
253 883
262 403
271 509
285 618
295 884
304 736
315 036

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah) (2012).

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat pada tahun 2002, kontribusi sub sektor
perikanan hanya sebesar 14.25%, tertinggal dari sub sektor tanaman bahan
makanan yang menyumbang sebesar 49.61% dan sub sektor tanaman perkebunan
yang lebih unggul sedikit dari perikanan yaitu sebesar 16.01% dari total

2
keseluruhan sektor pertanian. Pada tahun-tahun selanjutnya sub sektor perikanan
menyalip tanaman perkebunan dalam menyumbang PDB. Pada tahun 2011, sub
sektor perikanan menyumbang 17.20% dari total keseluruhan sektor pertanian,
sedangkan sub sektor tanaman perkebunan hanya menyumbang sebesar 15.64%.
Tercermin dari PDB sub sektor perikanan yang setiap tahunnya meningkat,
seharusnya potensi produksi perikanan tangkap tinggi, namun pada kenyataannya
masih rendahnya produktivitas dan daya saing usaha kelautan dan perikanan
menjadi kendala bagi perikanan tangkap. Indonesia yang memiliki luas daratan 1
910 931.32 km2 (Kemendagri 2010) dan luas laut 284 210.90 km2 dapat dikatakan
unggul dalam produksi perikanan, berikut ini data volume produksi perikanan.
Tabel 2 Volume produksi perikanan tahun 2002-2011 (ton)
Tahun
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011

Perikanan tangkap
4 378495
4691796
4651121
4705869
4806112
5044737
5003115
5107971
5384418
5409100

Rincian
Perikanan budidaya
1137153
1224192
1468610
2163674
2682596
3193563
3855200
4708563
6277924
6976750

Volume produksi
5515648
5915988
6119731
6869543
7488708
8238300
8858315
9816534
11662342
12385850

Sumber: Kelautan dan Perikanan Dalam Angka, Kementerian Kelautan dan Perikanan (diolah) (2012).

Sub jumlah produksi perikanan tangkap memang lebih tinggi, tetapi
persentase kenaikan rata-rata perikanan tangkap per tahunnya sangat sedikit, tidak
seperti perikanan budidaya yang perkembangannya cukup pesat. Hal ini
disebabkan oleh struktur armada yang masih didominasi oleh kapal berukuran
kecil, belum terintegrasinya sistem produksi hulu dan hilir, dan masih terbatasnya
sarana serta prasarana yang dibangun. Selain itu, maraknya kegiatan penangkapan
ikan secara ilegal oleh kapal-kapal ikan asing yang berdampak merugikan negara
dan mengancam kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan juga menjadi
salah satu kendala untuk majunya perikanan tangkap Indonesia.
Belum terintegrasinya sistem produksi hulu dan hilir dianggap menjadi
permasalahan yang cukup rumit. Tidak adanya kemampuan dalam
mengkoordinasikan tenaga kerja dan teknologi yang tidak memadai dinilai
sebagai faktor utamanya, sehingga perikanan tangkap kesulitan dalam
mendistribusikan hasil produksinya. Permasalahan ini menimbulkan masalahmasalah lainnya yaitu mahalnya harga ikan di pasar dalam negeri dan rendahnya
daya saing hasil perikanan tangkap Indonesia di pasar luar negeri. Harga ikan baik
ikan segar maupun produk olahan ikan di pasar dalam negeri akan melambung
karena nelayan mau tidak mau harus melakukan penangkapan ikan secara
tradisional dengan sarana dan prasarana seadanya. Selain itu, rata-rata para
nelayan lokal tidak memiliki peralatan yang mendukung, hal ini menyebabkan
nelayan kesulitan membawa hasil tangkapannya dan mempertahankan agar hasil
tangkapan tersebut tetap segar tanpa adanya bantuan teknologi. Tabel 3
menunjukkan minimnya peralatan yang mendukung tercermin dari data kategori
dan ukuran kapal/perahu pada tahun 2002-2011.

3
Tabel 3 Kategori dan ukuran kapal/perahu tahun 2002-2011 (unit)
Kategori dan ukuran kapal
Perahu tanpa motor
Perahu motor tempel
Kapal motor
2002
219079
130185
111034
2003
250469
158411
119837
2004
256830
165337
126933
2005
244471
165314
145796
2006
249955
185983
154379
2007
241889
185509
162916
2008
212003
229335
154846
2009
193798
236632
159922
2010
172907
231333
166587
2011
162510
232390
162240
Sumber: Kelautan dan Perikanan Dalam Angka (Kementerian Kelautan dan Perikanan) (2012).
Tahun

Pada tahun 2002 sampai 2007, jumlah perahu tanpa motor lebih banyak
dibanding dengan perahu motor tempel dan kapal motor. Pada tahun 2008 sampai
2011 jumlah perahu motor tempel meningkat dan menjadi lebih banyak daripada
perahu tanpa motor dan kapal motor. Jumlah kapal motor paling sedikit dan tidak
selalu meningkat setiap tahunnya. Padahal kapal motor merupakan salah satu
sarana yang paling berperan dalam efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan
oleh nelayan lokal. Selain lebih cepat dibandingkan perahu tanpa motor dan
perahu motor tempel, kapal motor juga memiliki kapasitas yang cukup besar
untuk menampung hasil tangkapan nelayan. Sayangnya, biaya yang mahal untuk
pengadaan kapal motor menjadi hambatan para nelayan lokal sehingga perahu
tanpa motor dan perahu motor tempel masih menjadi transportasi andalan mereka.
Pangsa pasar dapat diukur melalui penjualannya dalam bentuk persentase
dari seluruh penjualan pasar (Jaya, 2009). Penjualan ikan produk hasil kelautan
Indonesia di pasar dalam negeri yang dinilai sangat rendah karena harga yang
tinggi dari tengkulak menimbulkan penurunan stok dari nelayan lokal. Penurunan
stok ini dilirik oleh pasar perikanan luar negeri untuk mencoba memasuki pasar
perikanan lokal. Impor sedikit demi sedikit mulai menarik perhatian para
konsumen lokal karena harganya yang jauh lebih murah dibanding produk
perikanan dalam negeri. Kurangnya pengawasan dari pihak terkait pada akhirnya
menyediakan jalan yang lebar untuk para importir menguasai pasar perikanan
lokal. Tidak hanya ikan segar yang menjadi sasaran importir, produk olahan ikan
pun masuk target pelaku impor karena kurangnya kemampuan para ahli perikanan
lokal untuk menghasilkan produk olahan ikan yang berkualitas dan terjangkau.
Daya saing merupakan salah satu kriteria yang menentukan keberhasilan
suatu negara di dalam perdagangan internasional (Oktaviani dan Novianti 2009)
dan yang memengaruhi daya saing ialah teknologi. Teknologi yang ada di
Indonesia pada bidang kelautan dan perikanan kurang memadai, sehingga nelayan
lokal yang ingin masuk ke dunia perdagangan internasional terhambat jalannya
karena produk yang dimiliki harganya ditekan oleh pedagang lain sesuai dengan
ide pokok persaingan. Ide pokok persaingan adalah konsumen hanya mempunyai
satu pilihan yang terbaik di antara para pemasok yang bersaing, saat para pemasok
bersaing untuk melakukan pemasaran atau penjualan, mereka menekan harga
pemasok lain turun sampai garis biayanya (Jaya 2009). Tekanan dari pemasok lain
ini berimplikasi pada ketidakstabilan volume impor. Seharusnya, volume dan nilai

4
impor setiap tahunnya menurun, namun pada kenyataannya volume dan nilai
impor perikanan masih saja berfluktuasi, kadang meningkat dan kadang menurun.
Ketidakstabilan volume dan nilai impor cumi-cumi dan sotong olahan
menjadi salah satu fokus perhatian dari sekian banyak jenis komoditas perikanan
tangkap lainnya. Cumi-cumi dan sotong merupakan jenis moluska yang hidup di
laut yang tergolong ke dalam kelompok hewan Cephalopoda besar. Kedua spesies
ini secara kasat mata terlihat mirip sehingga banyak yang menganggap sotong
hanyalah nama lain dari cumi-cumi, namun jika dipahami lebih lanjut cumi-cumi
dan sotong merupakan jenis hewan yang berbeda tapi memiliki kesamaan. Cumicumi memiliki panjang tubuh maksimal 17 cm sedangkan sotong panjang tubuh
maksimalnya hingga 20 cm, keduanya memiliki bagian belakang meruncing.
Cumi-cumi berbentuk silinder dengan sepuluh tangan serta dua tentakel
panjang. Pada bagian perut terdapat cairan tinta berwarna hitam yang
mengandung pigmen melamin, tinta ini dapat mencegah penyakit kanker pada
manusia. Tekstur yang dimiliki oleh tubuh cumi-cumi lunak dan transparan, sirip
sisinya hanya ada di sekitar bagian ujung ekor. Berbeda dengan cumi-cumi, badan
sotong berbentuk pipih dengan delapan tangan serta dua tentakel panjang.
Cangkang dalam sotong tersusun dari kapur yang keras dengan sirip di setiap
sisinya sampai ke bagian pangkal.
Nilai komersial yang dimiliki oleh cumi-cumi dan sotong tergolong sedang
dan manfaat yang ada sangat besar. Cumi-cumi dan sotong mengandung gizi yang
luar biasa. Kandungan gizi pada cumi-cumi terdiri dari selenium, ribotflavin, dan
vitamin B12. Dalam 100 gram cumi-cumi mengandung 92 kalori, 1.38 gram
lemak, 3.08 gram karbohidrat, serta 15.58 gram protein, sedangkan sotong kaya
akan kalsium dan protein namun rendah energi.
Keistimewaan cumi-cumi dan sotong membuat masyarakat Indonesia
tertarik untuk menjadikannya sebagai hidangan sehari-hari walaupun jika
dikonsumsi terlalu banyak menyebabkan kolestrol naik. Kemudahan dalam
pengolahan untuk dijadikan makanan lezat mengakibatkan tingginya permintaan
cumi-cumi dan sotong khususnya cumi-cumi dan sotong olahan di pasar agar
pemenuhan produksi dan konsumsi tercapai, namun pemerintah Indonesia
memenuhi permintaan tersebut melalui jalur impor. Tabel 4 menunjukkan volume
dan nilai impor dan produksi domestik cumi-cumi dan sotong olahan.
Tabel 4 Volume dan nilai impor dan produksi domestik cumi-cumi dan sotong
olahan tahun 2002-2011
Tahun
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011

Volume impor
(kg)
4727042
5070776
2794534
2050849
3725552
4803400
8011144
9297433
7227005
4576880

Nilai impor
(US$)
2736091
2931374
1912467
1373517
2100358
2905448
5692304
7652215
7671985
4751034

Rincian
Volume produksi
(kg)
78020000
74723000
88608000
74827000
75918000
85082000
87391000
109932000
119700000
167275000

Nilai produksi
(US$)
70941693
66 351 369
89 133 159
90 856 869
88 899 550
118 815 040
125 155 798
163 799 233
218 238 481
312 773 510

Sumber: Statistik Impor Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (diolah) (2012).

5
Volume dan nilai impor cumi-cumi dan sotong olahan menunjukkan
fluktuasi yang begitu beragam. Pada tahun 2002, volume impor mencapai 4 727
042 kg dan menurun pada tahun 2011 yaitu 4 576 880 kg. Penurunan ini menjadi
sebuah perhatian karena di tengah perjalanan sepuluh tahun terakhir
ketidakstabilan terjadi. Volume impor cumi-cumi dan sotong olahan sempat
mencapai angka 9 297 433 kg pada tahun 2009. Tingginya volume dan nilai impor
cumi-cumi dan sotong olahan di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir salah
satunya dipengaruhi oleh volume dan nilai produksi cumi-cumi dan sotong di
Indonesia.
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa pada tahun 2002 sampai
tahun 2005 volume produksi tidak stabil, tahun 2003 mengalami penurunan, tahun
2004 mengalami peningkatan yang cukup banyak, dan tahun 2005 mengalami
penurunan kembali. Selanjutnya pada tahun 2006 volume produksi cumi-cumi dan
sotong kembali meningkat hingga tahun 2011 mencapai angka 167 275 000 kg,
naik dua kali lipat dibanding tahun 2002. Jika dihitung, komoditas cumi-cumi dan
sotong memiliki nilai rata-rata produksi per kilogram tahun 2002-2011 sebesar Rp
12.306,00/kg, jauh lebih mahal dibanding dengan nilai impor rata-rata per
kilogram komoditas cumi-cumi dan sotong olahan tahun 2002-2011 yaitu hanya
sebesar Rp 6.780,00/kg. Fakta inilah yang memperkuat masyarakat Indonesia
untuk lebih memilih cumi-cumi dan sotong impor daripada produk lokal.
Setelah dijelaskan sebelumnya mengenai volume dan nilai impor cumi-cumi
dan sotong olahan serta volume produksi domestik cumi-cumi dan sotong
Indonesia, dapat dihitung berapa jumlah konsumsi masyarakat Indonesia terhadap
cumi-cumi dan sotong olahan. Tabel 5 tentang volume konsumsi domestik cumicumi dan sotong olahan di Indonesia disajikan.
Tabel 5 Volume konsumsi domestik cumi-cumi dan sotong olahan di Indonesia
tahun 2002-2011 (kg)
Tahun
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011

Volume konsumsi domestik
80 150 780
70 652 680
78 458 467
63 759 864
60 523 803
62 867 344
73 389 257
91 594 379
92 924 018
123 487 318

Sumber: Statistik Impor Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (diolah) (2012).

Volume konsumsi cumi-cumi dan sotong olahan di Indonesia begitu
beragam setiap tahunnya. Pada tahun 2002 ke tahun 2003 volume konsumsi
mengalami penurunan yang cukup signifikan, namun meningkat kembali pada
tahun 2004. Begitu pula pada tahun-tahun selanjutnya dan pada tahun 2011
mencapai 123 487 318 kg. Kondisi fluktuatif seperti ini yang menyebabkan
volume impor juga menjadi tidak stabil.

6
Begitu banyak negara yang menjadi pengimpor cumi-cumi dan sotong
olahan di Indonesia. Setelah diidentifikasi lebih lanjut melalui United Nation
Commodity Trade (UNComtrade), ada enam negara yang menjadi negara
pengekspor terbesar cumi-cumi dan sotong olahan ke Indonesia selama tahun
2002-2011, yaitu Argentina, China, Korea Republic, Malaysia, United States, dan
Uruguay.

Perumusan Masalah
Kementerian Kelautan dan Perikanan menyusun Rencana Strategis Tahun
2010-2014 untuk mengurangi volume dan nilai impor yang setiap tahunnya
semakin tinggi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Rencana Strategis Tahun
2010-2014 memiliki visi, misi, dan sasaran pembangunan yang telah ditetapkan.
Visi pembangunan kelautan dan perikanan adalah “Pembangunan Kelautan dan
Perikanan yang Berdaya-saing dan Berkelanjutan untuk Kesejahteraan
Masyarakat”. Demi mewujudkan visi, maka misi yang diemban diantaranya
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, meningkatkan
nilai tambah dan daya saing produk kelautan dan perikanan, serta memelihara
daya dukung dan kualitas lingkungan sumberdaya. Sasaran strategis pembangunan
kelautan dan perikanan berdasarkan visi misi yang ada ialah:
1. Meningkatnya peranan sektor kelautan dan perikanan terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional,
2. Meningkatnya kapasitas sentra-sentra produksi kelautan dan perikanan yang
memiliki komoditas unggulan,
3. Meningkatnya pendapatan,
4. Meningkatnya ketersediaan hasil kelautan dan perikanan,
5. Meningkatnya branding produk perikanan dan market share di pasar luar
negeri,
6. Meningkatnya mutu dan keamanan produk perikanan sesuai standar,
7. Terwujudnya pengelolaan konservasi kawasan secara berkelanjutan,
8. Meningkatnya nilai ekonomi pulau-pulau kecil, serta
9. Meningkatnya luas wilayah perairan Indonesia yang diawasi oleh aparatur
pengawas Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010-2014
(RENSTRA KKP Tahun 2010-2014) yang dijelaskan di atas pada intinya ingin
mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang salah satu misinya menyatakan :
Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan
berbasiskan kepentingan nasional. Oleh karena itu, perlu pelaksanaan konsep Blue
Economy berupa pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan serta penciptaan inovasi yang berorientasi pada pelestarian sumberdaya
kelautan dan perikanan. Permasalahan utama yang dapat diselesaikan melalui
konsep Blue Economy yaitu penekanan volume dan nilai impor seminimal
mungkin atau bahkan penutupan jalur impor untuk bidang kelautan dan perikanan.
Banyak kasus mengenai impor perikanan yang terjadi di Indonesia secara
tidak langsung dapat menjelaskan mengapa impor perikanan masih sangat tinggi.
Impor timbul karena Indonesia memiliki kesalahan yaitu membangun industri

7
pengolahan tanpa dengan cermat memperhitungkan ketersediaan bahan baku.
Sebenarnya, bahan baku perikanan cukup memadai, namun faktor alam dan faktor
sarana prasarana membuat distribusi bahan baku dari nelayan lokal terhambat.
Contohnya di Batam, pemerintah dengan mudah membuka jalur impor dengan
alasan sedang tidak adanya pasokan ikan di Batam akibat cuaca yang buruk.
Padahal, jika sarana dan prasarana pendistribusian ikan layak, Batam tidak perlu
membuka jalur impor, cukup menunggu pendistribusian dari daerah lain di
Indonesia. Seringnya pembukaan jalur impor oleh pemerintah ini membuat
banyaknya pengolah ikan lokal lebih memilih untuk memasok bahan baku dari
luar (mengimpor), alasannya ialah biaya transportasi dari sumber bahan baku
lokal ke perusahaan mereka lebih mahal dibanding mereka impor. Jalur impor
yang tidak jarang dibuka oleh pemerintah ini menimbulkan banyaknya ikan impor
ilegal yang memakai formalin sehingga harga ikan impor tersebut bisa mencapai
50% lebih murah dari harga lokal. Selain itu, dikutip dari Harian Orbit 2012,
bahwa di Sumatera Utara pemerintah menetapkan pemberian kuota impor untuk
16 importir ikan. Ikan yang dimaksud diantaranya cumi-cumi, sotong, gurita,
kepah, kepiting, mackerel, kembung, dan tongkol. Importir yang diberikan izin
memasok ikan ke Sumatera Utara ini banyak yang mencoba untuk melakukan
kecurangan seperti tidak memperpanjang masa izin impornya namun tetap
memasok ikan impor.
Setelah dijabarkan contoh kasus maraknya impor hasil perikanan di
Indonesia, dan data statistik tentang kelautan dan perikanan Indonesia periode
tahun 2002-2011 khususnya komoditas cumi-cumi dan sotong olahan, sampai
kemudian Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat RENSTRA KKP Tahun
2010-2014, maka dapat dirumuskan bahwa penelitian ini akan mengidentifikasi
masalah tentang:
1. Bagaimana kondisi daya saing cumi-cumi dan sotong olahan Indonesia dan
keenam negara pengekspor terbesar cumi-cumi dan sotong olahan ke
Indonesia?
2. Faktor-faktor apakah yang memengaruhi impor cumi-cumi dan sotong
olahan di Indonesia?
Revealed Comparative Advantage (RCA) digunakan untuk menjawab
permasalahan daya saing dan Gravity Model digunakan untuk menjawab
permasalahan faktor-faktor yang memengaruhi impor. Harmonized System (HS)
cumi-cumi dan sotong olahan yang menjadi acuan data ialah HS 030749 untuk
cumi-cumi dan sotong lainnya, yaitu cumi-cumi dan sotong beku, kering, asin,
dan dalam air garam.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan,
maka tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Menganalisis kondisi daya saing cumi-cumi dan sotong olahan Indonesia
dan keenam negara pengekspor terbesar cumi-cumi dan sotong olahan ke
Indonesia.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi impor cumi-cumi dan
sotong olahan di Indonesia.

8
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi bagi
penulis dan pembaca untuk mendalami kondisi perikanan Indonesia. Selain itu,
dapat dijadikan rekomendasi bagi instansi regulator yang berperan sebagai pihak
yang berkepentingan dalam sektor perikanan Indonesia yang secara langsung
tertuju pada Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Hasil
penelitian ini juga diharapkan menjadi pertimbangan bagi para pelaku pasar dalam
proses pengambilan keputusan, dan sebagai bahan referensi dan informasi untuk
penelitian lebih lanjut.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada perdagangan cumi-cumi dan
sotong olahan, baik yang berasal dari dalam negeri (domestik) maupun luar negeri
(impor). Penelitian dilakukan dengan menganalisis daya saing cumi-cumi dan
sotong olahan Indonesia menggunakan metode Revealed Comparative Advantage
(RCA), serta faktor-faktor yang memengaruhi impor cumi-cumi dan sotong
olahan di Indonesia menggunakan metode Gravity Model. Kurun waktu yang
digunakan selama sepuluh tahun yakni dari tahun 2002 sampai tahun 2011.
Variabel-variabel yang digunakan untuk faktor-faktor yang memengaruhi impor
hanya yang diperkirakan dapat memengaruhi hasil output, diantaranya GDP
Indonesia, GDP keenam negara pengekspor, volume konsumsi domestik, jarak
ekonomi, nilai tukar riil keenam negara pengekspor terhadap Rupiah, dan
interaksi antara tarif dan variabel dummy keenam negara pengekspor.

Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi impor cumicumi dan sotong olahan di Indonesia antara lain:
1. Pendapatan riil per kapita keenam negara pengekspor terbesar cumi-cumi
dan sotong olahan ke Indonesia berbanding negatif dengan nilai impor
cumi-cumi dan sotong olahan di Indonesia.
2. Pendapatan riil per kapita masyarakat Indonesia berbanding positif dengan
nilai impor cumi-cumi dan sotong olahan di Indonesia.
3. Volume konsumsi domestik cumi-cumi dan sotong olahan di Indonesia
berbanding positif dengan nilai impor cumi-cumi dan sotong olahan di
Indonesia.
4. Jarak ekonomi antar Indonesia dengan keenam negara pengekspor cumicumi dan sotong olahan terbesar ke Indonesia berbanding negatif dengan
nilai impor cumi-cumi dan sotong olahan.
5. Nilai tukar riil keenam negara pengekspor terbesar cumi-cumi dan sotong
olahan ke Indonesia terhadap rupiah memiliki hubungan yang positif dengan
nilai impor cumi-cumi dan sotong olahan di Indonesia.
6. Interaksi antara tarif dengan variabel dummy keenam negara pengekspor
terbesar cumi-cumi dan sotong olahan ke Indonesia, bernilai 1 jika ada tarif
dan bernilai 0 jika tidak ada tarif. Jika ada tarif maka tarif berpengaruh nyata

9
terhadap nilai impor cumi-cumi dan sotong olahan di Indonesia, yaitu
berbanding negatif dengan volume impor cumi-cumi dan sotong olahan di
Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teori
Teori Perdagangan Internasional
Ekonomi internasional diartikan sebagai bagian dari ilmu ekonomi yang
mempelajari dan menganalisis tentang transaksi dan permasalahan ekonomi
internasional yang meliputi perdagangan dan keuangan serta organisasi dan
kerjasama ekonomi antar negara. Pada saat ini studi tentang ekonomi internasional
semakin penting karena pengaruh dari globalisasi ekonomi dunia yang ditandai
dengan ciri atau karakteristik sebagai berikut :
1. Keterbukaan ekonomi terutama dengan adanya liberalisasi pasar dan arus
uang serta transfer teknologi secara internasional.
2. Keterkaitan dan ketergantungan ekonomi, keuangan, perdagangan, dan
industri antar negara atau perusahaan yang ditunjukkan oleh adanya
pembentukan perusahaan multinasional dan kecenderungan integrasi
ekonomi regional.
3. Persaingan yang semakin ketat antar negara ataupun perusahaan untuk
meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas yang optimal.
Dari karakteristik globalisasi ekonomi dunia di atas dapat dikemukakan bahwa
ruang lingkup studi ekonomi internasional adalah sebagai beikut :
1. Teori dan kebijakan perdagangan internasional,
2. Teori dan kebijakan keuangan internasional,
3. Organisasi dan kerjasama ekonomi internasional, dan
4. Perusahaan multinasional dan bisnis internasional.
Teori perdagangan internasional merupakan teori-teori yang menganalisis
dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional dan keuntungan yang didapat
dari adanya perdagangan tersebut. Pendorong terjadinya hubungan perdagangan
diantara dua negara adalah karena adanya perbedaan harga relatif komoditas yang
berlaku di masing-masing negara (keunggulan komparatif). Pada dasarnya ada
beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional. Pertama,
keinginan suatu negara memperluas pasaran komoditasnya. Kedua, ingin
memperoleh devisa untuk membiayai pembangunan dalam negeri. Ketiga, adanya
perbedaan penawaran dan permintaan antar negara atas produk tertentu. Keempat,
adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan produk tertentu (Salvatore
1997). Pada umumnya, model perdagangan internasional didasarkan pada empat
hubungan inti, antara lain :
1. Hubungan antara batas-batas kemungkinan produksi dengan kurva
penawaran relatif.
2. Hubungan antara harga-harga relatif dengan tingkat permintaan.
3. Penentuan keseimbangan dunia dengan penawaran relatif dunia dan
permintaan relatif dunia.

10
4. Dampak-dampak atau pengaruh nilai tukar perdagangan, yaitu harga ekspor
dari suatu negara dibagi dengan harga impornya, terhadap kesejahteraan
suatu negara.
Pada gambar di bawah ini terlihat sebuah proses terciptanya harga komoditas
relatif ekuilibrium dengan adanya perdagangan antar negara yang ditinjau dari
analisis keseimbangan parsial.
Da

Sa

Db

Es

Sb

Pb
X
P*
M
Pa
Ed
O

Qa
Negara A

O

Q*

O

Perdagangan

Qb
Negara B

Sumber: Salvatore 1997.

Gambar 1 Kurva perdagangan internasional

Keterangan :
Pa
OQa

:
:

X
Pb
OQb

:
:
:

M
P*
OQ*

:
:
:

Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional
Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara A (pengekspor) tanpa
perdagangan internasional
Jumlah komoditas yang diekspor oleh negara A
Harga domestik di negara B (pengimpor) tanpa perdagangan internasional
Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara B (pengimpor) tanpa
perdagangan internasional
Jumlah komoditas yang diimpor oleh negara B
Harga keseimbangan antara kedua negara setelah perdagangan internasional
Keseimbangan penawaran dan permintaan antar kedua negara dimana jumlah
yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M)

Masalah perdagangan internasional yang dihadapi dunia saat ini adalah
meningkatnya proteksionisme di negara-negara maju dan kecenderungan negaranegara di dunia untuk membentuk blok perdagangan.
Kebijakan Perdagangan Internasional
Kebijakan perdagangan internasional diartikan sebagai berbagai tindakan
dan peraturan yang dijalankan suatu negara, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang akan memengaruhi struktur, komposisi, dan arah perdagangan
internasional dari/ke negara tersebut. Tujuan kebijakan perdagangan internasional
yang dijalankan oleh suatu negara dapat dirumuskan sebagai berikut :

11
1. Melindungi kepentingan ekonomi nasional dari pengaruh buruk atau negatif
dan dari situasi/kondisi ekonomi/perdagangan internasional yang tidak baik
atau tidak menguntungkan.
2. Melindungi kepentingan industri di dalam negeri.
3. Melindungi lapangan kerja.
4. Menjaga keseimbangan dan stabilitas balance of payment (BOP) atau neraca
pembayaran internasional.
5. Menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil.
6. Menjaga stabilitas nilai tukar/kurs valas.
Kebijakan perdagangan internasional terdiri dari kebijakan ekspor,
kebijakan impor, dan kebijakan lainnya. Kebijakan perdagangan internasional di
bidang ekspor dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu :
1. Kebijakan ekspor di dalam negeri
a. Kebijakan perpajakan dalam bentuk pembebasan, keringanan,
pengembalian pajak ataupun pengenaan pajak ekspor/PET untuk barangbarang ekspor tertentu.
b. Fasilitas kredit perbankan yang murah untuk mendorong peningkatan
ekspor barang-barang tertentu.
c. Penetapan prosedur/tata laksana ekspor yang relatif mudah.
d. Pemberian subsidi ekspor, seperti pemberian sertifikat ekspor.
e. Pembentukan asosiasi eksportir.
f. Pembentukan kelembagaan seperti bonded warehouse (Kawasan Berikat
Nusantara), bounded island Batam, export processing zone, dan lain-lain.
g. Larangan/pembatasan ekspor.
2. Kebijakan ekspor di luar negeri
a. Pembentukan International Trade Promotion Centre (ITPC) di berbagai
negara.
b. Pemanfaatan General System of Preferency atau GSP, yaitu fasilitas
keringanan bea masuk yang diberikan negara-negara industri untuk
barang manufaktur yang berasal dari negara yang sedang berkembang.
c. Menjadi anggota Commodity Assocation of Producer.
d. Menjadi anggota Commodity Agreement between Producer and
Consumer.
Kebijakan perdagangan internasional dibidang impor dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu kebijakan tariff barrier dan kebijakan nontariff barrier.
Kebijakan tariff barrier dalam bentuk bea masuk adalah :
1. Pembebasan bea masuk/tarif rendah adalah antara 0% s.d. 5%; dikenakan
untuk bahan kebutuhan pokok dan vital.
2. Tarif sedang antara > 5% s.d. 20%; dikenakan untuk barang setengah jadi
dan barang-barang lain yang belum cukup produksi di dalam negeri.
3. Tarif tinggi di atas 20%; dikenakan untuk barang-barang mewah dan
barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri dan bukan
barang kebutuhan pokok.
Kebijakan tariff barrier terdiri dari kebijakan tarif dan efek-efek tarif, tarif
nominal dan tarif proteksi efektif, dan infant industry argument.
Kebijakan nontariff barrier adalah berbagai kebijakan perdagangan selain
bea masuk yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi potensi
manfaat perdagangan internasional. Kebijakan ini terdiri dari dua macam, yaitu

12
sistem kuota dan subsidi. Sedangkan kebijakan perdagangan lainnya berupa
dumping dan international cartel.
Dumping adalah suatu kebijakan diskriminasi harga secara internasional
yang dilakukan dengan menjual suatu komoditas di luar negeri dengan harga yang
lebih murah dibandingkan yang dibayar konsumen di dalam negeri. Ada tiga tipe
dumping, yaitu persistant dumping, predatory dumping, dan sporadic dumping.
Disamping itu, international cartel adalah suatu bentuk organisasi dari beberapa
negara/perusahaan pemasok produk tertentu yang sepakat membatasi produksi
dan ekspor mereka dengan tujuan memonopoli sehingga dapat memaksimalkan
keuntungannya. Kartel dapat mengalami kegagalan bila penetapan harga mereka
sedemikian tingginya, sehingga mendorong munculnya produk pengganti,
ataupun proses produksi alternatif yang sebelumnya tidak/belum menguntungkan.
Konsep Keunggulan Komparatif
Teori David Ricardo didasarkan pada nilai tenaga kerja atau theory of labor
value yang menyatakan bahwa nilai atau harga suatu produk ditentukan oleh
jumlah waktu atau jam kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Menurut
teori cost comparative (labor efficency), suatu negara akan memperoleh manfaat
dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan
mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih efisien
serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang/tidak
efisien. Berdasarkan analisis production comparative advantage, suatu negara
akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan
spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat
berproduksi relatif lebih produktif serta mengimpor barang dimana negara
tersebut berproduksi relatif kurang/tidak produktif.
Menurut teori klasik comparative advantage dari David Ricardo,
perdagangan internasional antara dua negara tetap dapat terjadi, walaupun hanya
satu negara yang memiliki keunggulan absolut, asalkan masing-masing negara
memiliki perbedaan dalam labor efficiency dan atau labor productivity. Teori ini
memiliki kelemahan sebagai berikut :
1. Teori klasik comparative advantage menjelaskan bahwa perdagangan
internasional dapat terjadi karena adanya perbedaan fungsi faktor produksi
(tenaga kerja). Perbedaan fungsi ini menimbulkan terjadinya perbedaan
produktivitas ataupun perbedaan efisiensi. Akibatnya, terjadilah perbedaan
harga barang yang sejenis di antara dua negara.
2. Jika fungsi faktor produksi (tenaga kerja) sama atau produktivitas dan
efisiensi di dua negara sama, maka tentu tidak akan terjadi perdagangan
internasional karena harga barang yang sejenis akan menjadi sama di kedua
negara.
3. Pada kenyataannya, walaupun fungsi faktor produksi sama di antara dua
negara, ternyata harga barang yang sejenis dapat berbeda, sehingga dapat
terjadi perdagangan internasional. Dalam hal ini teori klasik tidak dapat
menjelaskan mengapa terjadi perbedaan harga untuk barang atau produk
sejenis walaupun fungsi faktor produksi sama di kedua negara.

13
Kebijakan Tarif dan Efek-efek Tarif
Tarif adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor yang
masuk untuk dipakai/dikonsumsi habis di dalam negeri. Dalam pelaksanaannya,
sistem/cara pemungutan tarif bea masuk dapat dibedakan menjadi :
1. Bea harga (Ad Valorem Tariff)
Besarnya pungutan bea masuk atas barang impor ditentukan oleh tingkat
persentase tarif dikalikan harga CIF dari barang tersebut (BM = % tarif x
harga CIF). Keuntungan dari sistem tarif ini ialah dapat mengikuti
perkembangan tingkat harga/inflasi, dan terdapat diferensiasi harga produk
sesuai kualitasnya. Kerugiannya yakni :
a. Memberikan beban yang cukup berat bagi administrasi pemerintahan,
khususnya beacukai karena memerlukan data dan perincian harga barang
yang lengkap.
b. Sering menimbulkan perselisihan dalam penetapan harga untuk
perhitungan bea masuk antara importir dan beacukai, sehingga dapat
menimbulkan stagnasi/kemacetan atus barang di pelabuhan.
2. Bea spesifik (Spesific Tariff)
Pungutan bea masuk ini didasarkan pada ukuran atau satuan tertentu dari
barang impor. Di Indonesia sistem tarif ini digunakan sebelum tahun 1991.
Keuntungan dari sistem tarif bea spesifik ini diantaranya mudah
dilaksanakan karena tidak memerlukan perincian harga barang sesuai
kualitasnya, dan dapat digunakan sebagai alat kontrol proteksi industri
dalam negeri. Kerugian yang dapat dialami adalah pengenaan tarif dirasakan
kurang/tidak adil karena tidak membedakan harga/kualitas barang, dan
hanya dapat digunakan sebagai alat kontrol proteksi yang bersifat statis.
3. Bea campuran (Compound Tariff)
Pungutan bea masuk ini merupakan kombinasi antara sistem bea harga dan
bea spesifik.
Berikut ini merupakan analisis parsial efek-efek tarif untuk negara kecil.
Price
D0

S0

EO = Autarki

P0
a
P2
P1

O

b

E1 = Proteksi tarif
S1

f

E2 = Free trade
e

Q1

d

Q3

Q0

Q4

c

Q2

Sumber: Hady 2004.

Gambar 2 Analisis efek-efek tarif bea masuk

Quantity

14
Keterangan :
1. Pada harga P0 dan titik keseimbangan E0, perekonomian berada dalam
keadaan autarki dengan kondisi sebagai berikut :
a. Tidak adanya ekspor dan impor
b. Produksi DN = konsumsi DN = OQ0
2. Pada harga P1 dan titik keseimbangan E2, perekonomian berada dalam
keadaan free trade dengan kondisi sebagai berikut :
a. Produksi DN = OQ1
b. Konsumsi DN = OQ2
c. Impor = Q1Q2
3. Dengan pengenaan tarif bea masuk sebesar P1P2 maka akan menimbulkan
efek-efek tarif sebagai berikut :
a. Harga akan naik dari P1 ke P2
b. Konsumsi DN akan turun dari Q2 ke Q4
c. Produksi DN akan naik dari Q1 ke Q3
d. Pemerintah akan mendapat penerimaan dalam bentuk bea masuk sebesar
a-b-e-d
e. Redistribusi income atau subsidi dari konsumen kepada produsen sebesar
P2-a-f-P1
f. Cost of protection sebesar ruang a-e-f dan b-c-d
g. Impor turun dari Q1Q2 menjadi Q3Q4
Teori Permintaan
Permintaan adalah keinginan konsumen membeli suatu barang pada
berbagai tingkat harga selama periode waktu tertentu. Terdapat beberapa faktor
yang dapat memengaruhi permintaan suatu barang, yaitu :
1. Harga barang itu sendiri,
2. Harga barang lain yang terkait,
3. Tingkat pendapatan per kapita,
4. Selera atau kebiasaan,
5. Jumlah penduduk,
6. Perkiraan harga di masa mendatang,
7. Distribusi pendapatan, dan
8. Usaha-usaha produsen meningkatkan penjualan.
Fungsi permintaan adalah permintaan yang dinyatakan dalam hubungan
matematis dengan faktor-faktor yang memengaruhinya. Dengan fungsi
permintaan, maka kita dapat mengetahui hubungan antara variabel tidak bebas dan
variabel-variabel bebas.
Dx = f (Px, Py, Y/cap, sel, pen, Pp, Tdist, prom)
Dimana : Dx
= permintaan akan barang X
Px
= harga X
Py
= harga Y (barang substitusi atau komplemen)
Y/cap
= pendapatan per kapita
Sel
= selera atau kebiasaan
Pen
= jumlah penduduk
Pp
= perkiraan harga X periode mendatang
Prom
= upaya produsen meningkatkan penjualan (promosi)

15
Dx adalah variabel tidak bebas, karena besar nilainya ditentukan oleh
variabel-variabel lain, yaitu yang berada di sisi kanan. Dalam analisis ekonomi
tidak semua variabel diperhitungkan. Biasanya yang diperhitungkan adalah yang
pengaruhnya besar dan langsung. Dalam hal ini variabel yang dianggap
memengaruhi permintaan akan suatu barang adalah harga barang itu sendiri, harga
barang lain, dan pendapatan. Persamaan di atas menjelaskan hubungan-hubungan
antar variabel dengan asumsi barang normal. Di luar asumsi itu akan terjadi
penyimpangan pola hubungan. Dalam kasus barang inferior, jika pendapatan naik
maka permintaan terhadap barang tersebut menurun.
Perubahan permintaan terjadi karena dua sebab utama, yaitu perubahan
harga dan perubahan faktor cateris paribus, misalnya pendapatan, selera dan
sebagainya (faktor non harga). Perubahan harga menyebabkan perubahan jumlah
barang yang diminta, tetapi perubahan itu hanya terjadi dalam satu kurva yang
sama. Jadi, jumlah barang yang diminta akan mengalami perubahan apabila
terjadi perubahan harga (barang itu sendiri). Kenaikan harga akan menyebabkan
jumlah barang yang diminta berkurang dan bila harganya turun akan menambah
jumlah yang diminta. Sedangkan apabila faktor-faktor non harga yang berubah,
maka akan menyebabkan perubahan dalam permintaan. Perubahan dalam
permintaan ini ditunjukkan oleh bergesernya kurva permintaan ke kanan atau ke
kiri, yang memberikan makna bahwa perubahan faktor non harga akan
menyebabkan perubahan permintaan, yaitu pada tingkat harga yang tetap jumlah
barang yang diminta bertambah.
Setelah dijelaskan tentang hukum permintaan, adakalanya hukum
permintaan tidak berlaku, yaitu kalau harga suatu barang naik, justru permintaan
terhadap barang tersebut meningkat. Paling tidak ada tiga kelompok barang
dimana hukum permintaan tidak berlaku, diantaranya barang yang memiliki unsur
spekulasi, barang prestise, dan barang giffen.
Teori Barang Ekonomi
Sebelumnya telah dijelaskan tentang teori permintaan yang menggambarkan
fungsi permintaan suatu barang yang dianggap barang normal. Barang ekonomi
terdiri dari tiga jenis, yaitu barang normal, barang inferior, dan barang giffen.
Barang giffen sudah pasti merupakan barang inferior, sedangkan barang inferior
belum tentu dapat dikatakan sebagai barang giffen. Model maksimisasi utilitas
dapat digunakan untuk mempelajari jumlah sebuah barang ekonomi yang dipilih
seorang individu menanggapi perubahan dalam pendapatan atau perubahan dalam
harga barang itu.
Perubahan proporsional dalam semua harga dan pendapatan tidak
menggeser batasan anggaran dan karena itu tidak mengubah jumlah yang dipilih.
Dalam istilah formal, fungsi permintaan bersifat homogen dengan tingkat nol
dalam semua harga dan pendapatan. Ketika daya beli berubah (yaitu, ketika
pendapatan meningkat sementara harga tidak berubah), batasan anggaran bergeser
dan para individu akan memilih gabungan komoditas yang baru. Untuk barang
normal kenaikan dalam daya beli menyebabkan jumlah barang yang dipilih
meningkat. Tetapi, dalam kasus barang inferior, kenaikan dalam daya beli
menyebabkan jumlah barang yang dibeli menjadi sedikit.
Penurunan harga sebuah barang menyebabkan efek substitusi dan efek
pendapatan, yaitu untuk barang normal; penurunan harga barang mengarah pada

16
peningkatan jumlah yang dibeli karena efek substitusi menyebabkan semakin
banyak jumlah yang dibeli sementara individu bergerak di sepanjang kurva
kepuasan yang sama, dan efek pendapatan menyebabkan semakin banyak jumlah
yang dibeli karena penurunan harga telah meningkatkan daya beli individu
tersebut sehingga memungkinkan pergerakan ke kurva kepuasan sama yang lebih
tinggi ketika harga sebuah barang normal meningkat, dasar pemikiran yang serupa
memprediksi penurunan jumlah barang yang dibeli. Untuk barang inferior, efek
substitusi dan efek pendapatan bekerja dalam arah yang berlawanan dan prediksi
yang jelas tidak dimungkinkan. Demikian pula, kenaikan dalam harga
menghasilkan baik efek substitusi maupun efek pendapatan, yang untuk kasus
barang normal menyebabkan penurunan jumlah barang yang diminta. Untuk
barang inferior, sekali lagi hasil bersih kedua efek ini tidak pasti.

Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai daya saing pernah dilakukan oleh Subhechanis
Saptanto (2011) yang berjudul “Daya Saing Ekspor Produk Perikanan Indonesia
di Lingkup ASEAN dan ASEAN – China”. Penelitian ini menggunakan
keunggulan komparatif sebagai indikator besarnya daya saing suatu negara dalam
perdagangan internasional dengan metode Revealed Comparative Advantage
(RCA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat ASEAN maupun ASEAN –
China, produk perikanan Indonesia yang memiliki daya saing adalah produk
dengan kode HS 03 (ikan, udang-udangan, hewan lunak, invertebrata perairan),
HS 710110 (mutiara dari alam yang belum diolah), HS 710121 (mutiara budidaya
yang belum diolah), dan HS 121220 (rumput laut dan alga lainnya). Hal ini
menunjukkan bahwa Indonesia masih lemah dalam hal ekspor produk yang
memiliki nilai tambah.
Pen