EFEK ANTIHELMINTIK INFUSAHERBA SAMBILOTO (Andrographis paniculata, Nees)TERHADAP Ascaris suum SECARA in vitro

(1)

EFEK ANTIHELMINTIK INFUSA HERBA SAMBILOTO

(Andrographis paniculata, Nees) TERHADAP Ascaris suum

SECARA in vitro

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

RANI TIYAS BUDIYANTI G 0006020

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 21 Juli 2010

Rani Tiyas Budiyanti NIM. G0006020


(3)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan nikmat, rahmat, hidayah, serta ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efek Antihelmintik Infusa Herba Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) terhadap Ascaris suum secara in vitro”.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis menyampaikan pengahargaan dan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr., MS, selaku Dekan Fakultas Kedokteran UNS.

2. Tim skripsi yang telah membantu kelancaran pembuatan skripsi ini.

3. Murkati, dr.M.Kes, Sp.ParK sebagai pembimbing utama yang telah berkenan memberikan waktu, bimbingan, saran, dan motivasi bagi penulis.

4. Isna Qadrijati,dr. M.Kes sebagai pembimbing pendamping yang telah sudi memberikan waktu, bimbingan, saran, dan motivasi bagi penulis.

5. Darukutni, dr.Sp.ParKsebagai penguji utama yang telah memberikan nasehat, koreksi, kritik, dan saran untuk menyempurnakan penyusunan skripsi.

6. Margono dr.,M.KK sebagai anggota penguji yang telah memberikan nasehat, koreksi, kritik, dan saran untuk menyempurnakan penyusunan skripsi.

7. Ari Natalia Probandari,dr. MPH selaku tim skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan pelayanan dan kemudahan dalam pelaksanaan skripsi.

8. Mas Nardi dan Keluarga besar Lab. Parasitologi FK UNS untuk segala bantuan & kemudahan.

9. Pak Kino dan semua staf Laboratorium Farmakologi Universitas Setia Budi yang telah membantu kelancaran pelaksanaan penelitian.

10. Kedua orang tua tercinta atas segala do’a restu yang tiada habis dan dukungan baik moril dan materiil, Mas Ardhi untuk semua motivasinya, Mbak Woro dan Dek Irvan atas semua keceriaannya.Mas Tono atas pinjaman printernya. 11. Irfan Prasetya Yoga, teman seperjuangan untuk semua support, motivasi, doa

dan semangat yang selalu diberikan. Thanks for everythings.

12. Ilmida Husniana atas pinjaman SPSSnya,Ustavian Hasanah atas motivasinya. 13. Teman-teman FK UNS 2006 dan kelompok PBL A3 sebagai teman

seperjuangan selalu dan selamanya. Terimakasih atas kenangan yang indah. 14. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung hingga selesainya

penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, dibutuhkan saran dan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Surakarta, Juli 2010 Rani Tiyas Budiyanti


(4)

ABSTRAK

Rani Tiyas Budiyanti, G0006020, 2010. EFEK ANTIHELMINTIK INFUSA HERBA SAMBILOTO ( Andrographis paniculata, Nees) TERHADAP Ascaris

suum SECARA in vitro. FAKULTAS KEDOKTERAN, UNIVERSITAS

SEBELAS MARET, SURAKARTA

Tujuan Penelitian : Sambiloto mengandung saponin, tannin, dan andografolid yang memiliki aktivitas antihelmintik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya efek antihelmintik infusa herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) terhadap Ascaris suum secara in vitro.

Metode Penelitian : Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan metode the post test only control group design, yang dilakukan di Laboratorium Parasitologi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Hewan uji yang digunakan adalah cacing Ascaris suum. Penentuan jumlah sampel tiap-tiap kelompok menggunakan teknik quota sampling. Penelitian dilakukan dalam 3 tahap menggunakan infusa herba sambiloto konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, 100%, aquades (kontrol negatif), dan pirantel pamoate 0,236%. Efek antihelmintik ditentukan dengan menghitung LC50 infusa herba sambiloto, sedangkan

keefektivitasan infusa herba sambiloto ditentukan berdasarkan perbandingan LT50

nya dengan LT50 pirantel pamoate sebagai “drug of choice” penyakit askariasis.

Data yang diperoleh diuji statistik dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui normalitas distribusinya, Uji Korelasi Pearson untuk mengetahui korelasi antara konsentrasi infusa herba sambiloto dengan jumlah kematian cacing, dan Analisis Probit untuk mencari LC50 dan LT50.

Hasil Penelitian : Hasil uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa sebaran data normal (p=0.2 atau p>0.05), hasil Uji Korelasi Pearson menunjukkan hasil yang signifikan (p=0.00 atau p<0.05) dan menunjukkan korelasi yang kuat (r = 0,999). Hasil Analisis Probit menunjukkan bahwa LC50 infusa herba sambiloto

adalah 61.13% dan LT50 nya adalah 6 jam 34 menit. Sedangkan LT50 pirantel

pamoate adalah 4 jam 16 menit.

Simpulan Penelitian : Simpulan dari penelitian ini adalah infusa herba sambiloto memiliki efek antihelmintik dengan LC50 61,13 % walaupun efektifitasnya

sebagai antihelmintik lebih rendah daripada pirantel pamoate.

Kata kunci : antihelmintik, sambiloto, saponin, tannin, andrografolid, Ascaris suum


(5)

ABSTRACT

Rani Tiyas Budiyanti, G0006020, 2010. ANTIHELMINTIC EFFECT OF SAMBILOTO HERB INFUSA (Andrographis paniculata , Nees) TO Ascaris suum in vitro. Faculty Of Mediciness, Sebelas Maret University, Surakarta

Objective : Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees.) contains of saponin, tannin, and andrographolide that has antihelmintic activities. The aim of this research is knowing the existence of antihelmintic effect from infusa of sambiloto herb (Andrographis paniculata, Nees.) at Ascaris suum in vitro.

Methods : The type of this research is experimental research with “ the post test only group control design” method, was done in Parasitology Laboratory of Sebelas Maret University Surakarta. Animal trial that was used is Ascaris suum. To get the number of each group, it used quote sampling technique. This research was done in three step that used infusa of sambiloto herb concentracy 20%, 40%, 60%, 80%, 100%, aquadest (negative control), and pyrantel pamoate 0,236%. The antihelmintic effect was determined based on LC50, while the effectiveness of

antihelmintic was determined based on LT50 that was compared with LT50

pyrantel pamoate, the drug of choice ascariasis disease. Obtained data was tested statistically byKolmogorov-Smirnov to show the normality of data. Then, Pearson Test was used to show the correlation between sambiloto herb and the mortality of Ascaris suum. Probit Analysis was used to get LC50 and LT50.

Results : Result of Kolmogorov-Smirnov test shows the normality data (p=0,2 or p>0,05). Pearson Test shows that there are significant result (p=0,00 or p<0,05) and has the strong relation (r= 0,999). Probit Analysis shows that the LC50 infusa

of sambiloto herb is 61,13% and its LT50 is 6 hours 34 minutes. While the LT50 of

pyrantel pamoate is 4 hours 16 minutes.

Conclusion: Infusa of Sambiloto herb (Andrographis paniculata, Nees.) has antihelmintic effect with the LC50 is 61,13% although that effectiveness less than

pyrantel pamoate.

Key words :antihelmintic , sambiloto , saponin, tannin, andrographolide, Ascaris suum


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian... 5

D. Manfaat Penelitian... 6

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Ascaris lumbricoides, Linn... 7

2. Ascaris suum, Goeze... 10

3. Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees)... 13

4. Pirantel pamoate... 16

B. Kerangka Pemikiran... 17


(7)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian... 18

B. Lokasi Penelitian... 18

C.Subyek Penelitian... 18

D. Metode Pengambilan Sampel... 18

E. Identifikasi Variabel ... 19

F. Definisi Operasional Variabel... 19

G. Rancangan Penelitian... 22

H. Instrumentasi Penelitian... 25

I. Cara Kerja... 25

J. Teknik Analisis Data... 29

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian... 31

B. Analisis Data... 33

BAB V PEMBAHASAN... 37

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan... 42

B. Saran... 42

DAFTAR PUSTAKA... 43 LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jumlah Kematian Cacing Ascaris suum dalam Infusa Herba

Sambiloto Setelah 7 Jam Perendaman pada Uji Tahap I ... 31

Tabel 2. Jumlah Kematian Cacing Ascaris suum dalam Infusa Herba

Sambiloto Setelah 7 Jam Perendaman pada Uji Tahap I... 32

Tabel 3. Jumlah Kematian Cacing Ascaris suum dalam Infusa Herba Sambiloto 61, 13% dan Pirantel Pamoate 0, 236% Setelah

7 Jam Perendaman……….. 33

Tabel 4. Hasil Analisis Probit untuk Menentukan LC50 Infusa Herba

Sambiloto……….. 35

Tabel 5. Hasil Analisis Probit untuk Menentukan LT50 Infusa Herba


(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Grafik Perbandingan Efektivitas Infusa Herba Sambiloto 61,13% dan Pirantel Pamoate 0, 236%……… 39


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Uji Normalitas Pada Uji Tahap II

Lampiran 2 Uji Korelasi Pearson

Lampiran 3 Analisis Probit Uji Tahap II

Lampiran 4 Uji Normalitas pada Uji Tahap III

Lampiran 5 Analisis Probit untuk Mencari LT50 Infusa Herba Sambiloto

61,13%

Lampiran 6 Analisis Probit untuk Mencari LT50 Pirantel Pamoate

0,236%

Lampiran 7 Surat Ijin Penelitian

Lampiran 8 Surat Keterangan Pemesanan Bahan

Lampiran 9 Determinasi Tanaman


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Askariasis merupakan penyakit cacing yang sering terjadi di negara tropis dan berkembang. Prevalensi penyakit yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides) ini mencapai 25 % atau 0,8 – 1,22 milyar orang dari total populasi dunia (David, 2008 ; Kazura, 2007). Di Indonesia, askariasis merupakan penyakit yang kosmopolit. Delapan puluh empat persen anak usia 1-9 tahun ditemukan terinfeksi oleh A.lumbricoides di Provinsi Kalimantan Barat (Waris, 2008). Sedangkan di Jakarta Pusat, terdapat 66,67% murid sekolah dasar yang terinfeksi (Mardiana & Djarismawati, 2008). Faktor higienitas yang buruk, keadaan sosial ekonomi yang rendah, dan usia merupakan faktor predisposisi berkembangnya penyakit ini. Walaupun dapat menginfeksi semua level umur, askariasis lebih sering terjadi pada balita dan anak-anak usia sekolah dasar karena kesadaran akan kebersihan diri yang masih rendah (Carneiro dkk, 2002). Penyakit ini merupakan salah satu Soil Transmitted Disease karena memerlukan tanah sebagai media perkembangan telur menjadi bentuk infektif (Sudoyo dkk, 2006).

Cacing Ascaris lumbricoides dapat membahayakan tubuh manusia. Dalam jumlah yang besar, cacing ini dapat menyebabkan obstruksi usus, berkurangnya nafsu makan, diare, konstipasi, gangguan penyerapan nutrisi, dan gangguan perkembangan anak, sedangkan dalam jumlah kecil cacing ini


(12)

jarang menunjukkan gejala dan baru diketahui setelah cacing keluar dari tubuh penderita atau ditemukannya telur dalam tinja (Kazura, 2007). Pada stadium larva, cacing ini juga dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh. Melalui migrasinya ke berbagai jaringan, larva tersebut dapat menyebabkan peradangan ringan di hati (Yoshihara, 2008) dan sindroma Loeffler pada paru (Sakai et al., 2006).

Beberapa antihelmintik seperti pirantel pamoate dan mebendazol digunakan sebagai drug of choice penyakit askariasis, bahkan telah dijual bebas di pasaran tanpa harus menggunakan resep dokter (Syarif & Elysabeth, 2007). Namun, antihelmintik sintetis ini kadang menimbulkan efek samping yang mengganggu penderita. Pirantel pamoate yang bekerja dengan mengakibatkan depolarisasi pada cacing dapat menyebabkan mual, muntah, dan diare (Urbani & Albnico, 2003). Sedangkan mebendazole dapat menyebabkan efek samping yang lebih berat seperti erratic migration

(Albonico et al., 2008). Penggunaan obat ini juga terbatas. Penderita askariasis yang memiliki kelainan hati ataupun ginjal tidak dapat menggunakannya karena antihelmintik ini dimetabolisme dalam hati dan diekskresikan melalui ginjal (Katzung, 2004). Masyarakat pedesaan yang menjadi sasaran utama penyakit askariasis pun enggan menggunakan obat ini dikarenakan faktor ekonomi dan kesulitan untuk mendapatkan obat tersebut, sebagian besar dari mereka lebih suka menggunakan obat-obat tradisional yang diresepkan secara turun temurun walaupun manfaatnya belum dapat dibuktikan secara ilmiah (Manoj et al., 2008).


(13)

Salah satu jenis tanaman yang biasa digunakan untuk obat tradisional adalah sambiloto (Andrographis paniculata, Nees). Tanaman yang dijuluki “King of Bitter “ ini mempunyai berbagai khasiat seperti antiinflamasi, antiseptik, antidiabetik, dan hepatoprotektor. Selain itu, sambiloto diyakini mempunyai potensi sebagai antihelmintik. Pada beberapa penelitian, sambiloto dapat membunuh Brugia malayi (Sari,& Astari, 2008), cacing tanah Pheretima posthuma (Siddhartha et al, 2010), dan nematoda

Pratylenchus vulnus (Ferris & Zheng, 1999)

Sambiloto berpotensi sebagai antihelmintik karena mengandung saponin, tannin, dan andrografolid. (Raj, 1975). Saponin merupakan zat toksik alamiah yang banyak terdapat di tumbuhan. Zat ini bersifat toksik terhadap Ascaris sp. karena dapat menurunkan tegangan permukaan membran dinding sel serta menghambat enzim asetilkolinesterase sehingga dapat menimbulkan paralisis pada cacing (Satriawan, 2009). Walaupun demikian, saponin tidak berbahaya bagi manusia dikarenakan berat molekulnya terlalu besar untuk diabsorpsi usus manusia.

Tannin yang merupakan zat utama dalam teh, juga dapat ditemukan dalam sambiloto dalam jumlah yang kecil. Zat ini akan menggumpalkan protein pada dinding Ascaris sp. sehingga menyebabkan gangguan metabolisme dan homeostasis cacing (Harvey &John, 2004).

Zat yang paling banyak terdapat dalam sambiloto adalah andrografolid (Duke, 2009). Walaupun mekanisme pengaruhnya terhadap cacing belum diketahui secara jelas, zat pahit ini merupakan antioksidan


(14)

handal yang dapat menangkal berbagai macam antigen dan radikal bebas (Kumoro & Hasan, 2006). Zat ini juga menciptakan suasana yang basa, sehingga kurang menguntungkan bagi kehidupan cacing di dalam usus.

Dibandingkan dengan obat sintetis, sambiloto mempunyai berbagai kelebihan. Herba liar ini tumbuh secara kosmopolit pada berbagai ketinggian sehingga mudah dan murah untuk didapat serta dibudayakan. Herba ini juga mengandung andrografolid yang merupakan hepatoprotektif dan renoprotektif dalam jumlah yang berlimpah sehingga herba ini aman dikonsumsi oleh pasien yang mempunyai kelainan hati serta ginjal (Singh et al., 2009).

Oleh karena latar belakang di atas, perlu dilakukan penelitian secara

in vitro mengenai efek antihelmintik infusa herba sambiloto terhadap

Ascaris sp. Penggunaan infusa dalam penelitian ini bertujuan agar lebih aplikatif dalam masyarakat dan lebih ekonomis dibandingkan dengan ekstrak serta lebih efektif jika dibandingkan dengan bentuk rebusan.

Penelitian ini menggunakan cacing gelang pada babi ( Ascaris suum) sebagai pengganti Ascaris lumbricoides. Hal ini dikarenakan Ascaris lumbricoides sukar ditemukan dalam kenyataan klinis karena jarang keluar secara spontan dari tubuh penderita askariasis. Para peneliti juga belum menemukan cara untuk membiakkan telur Ascaris lumbricoides secara in vitro.

Ascaris suum merupakan kerabat terdekat Ascaris lumbricoides. Ascaris suum memiliki kemiripan morfologi dan kesamaan cara infeksi


(15)

dengan Ascaris lumbricoides sehingga cacing ini sering disebut dengan

Ascaris lumbricoides suum (Laskey, 2007).

B. Rumusan Masalah

Apakah infusa herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) mempunyai efek antihelmintik terhadap Ascaris suum secara in vitro?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui efek antihelmintik infusa herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) terhadap Ascaris suum secara in vitro.

D. Manfaat Penelitian

1. Aspek teoritis

a. Menambah pengetahuan lebih mendalam mengenai obat herbal yang dapat dipakai sebagai antihelmintik.

b. Sebagai dasar teori penelitian selanjutnya terutama penelitian secara in vivo dengan menggunakan infusa herba sambiloto sebagai antihelmintik.

2. Aspek Aplikatif

Infusa herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) diharapkan dapat digunakan sebagai antihelmintik penyakit Askariasis dengan dosis yang sesuai.


(16)

BAB II

LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Ascaris lumbricoides,Linn

a. Taksonomi

Subkingdom : Metazoa

Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda

Sub Kelas : Scernentea (Phasmidia) Bangsa : Ascaridia

Superfamili : Ascaridoidea Famili : Ascarididae Marga : Ascaris

Spesies : Ascaris lumbricoides, Linn (Utari, 2002)

b. Morfologi

Ascaris lumbricoides merupakan salah satu nematoda usus yang berukuran besar. Cacing jantan mempunyai panjang 10-31 cm, memiliki ujung posterior tubuh yang melengkung ke ventral dan papil dengan dua buah spikulum . Cacing betina mempunyai panjang 22-35 cm dan memiliki sepasang alat kelamin pada dua pertiga bagian posterior (Padmasutra, 2007).


(17)

Cacing dewasa biasanya hidup di dalam rongga usus halus. Cacing ini memperoleh makanan dari makanan hospes yang setengah dicernakan atau dari sel mukosa usus (Utari, 2002).

Telur infektif yang dikeluarkan oleh cacing betina bila ditelan manusia akan menetas di bagian atas usus muda dan mengeluarkan larva rabditiform (Seltzer et al., 2006). Larva ini akan menembus dinding usus yang masuk vena kecil atau pembuluh limfe, selanjutnya melalui sirkulasi portal larva masuk ke hepar, kemudian jantung, dan paru-paru. Di dalam paru, larva akan mengalami perubahan kedua dan ketiga. Selanjutnya, larva akan bermigrasi ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju faring, yang akan menyebabkan faring terangsang dan timbul reflek batuk. Ketika penderita batuk, larva akan tertelan dan menuju oesophagus. Selanjutnya larva akan menuju usus muda. Di usus, larva mengalami pembesaran kelima (Utari, 2002).

d. Patogenesis dan Gejala Klinis

Sebagian besar kasus askariasis tidak menujukkan gejala. Infeksi biasa yang mengandung 10 sampai 20 ekor cacing sering berlalu tanpa diketahui hospes dan baru diketahui setelah ditemukan telur pada pemeriksaan tinja rutin atau cacing keluar sendiri tanpa tinja (Widoyono, 2008). Pada kasus yang menunjukkan gejala klinis, keluhan yang sering dirasakan adalah sakit perut yang tidak jelas. Selama migrasi larva ke paru, larva dapat menimbulkan manifestasi


(18)

alergi seperti infiltrasi paru, asma, dan sembam pada bibir. Pada pemeriksaan darah tepi sering menunjukkan peningkatan eosinofil. Selain itu, migrasi larva ke paru juga dapat menyebabkan sindroma Loeffler yang pada foto rontgen thorak akan nampak sebagai infiltrat yang tidak hilang selama 3 minggu (Sakai et al., 2006).

e. Pengobatan

Obat askariasis lini pertama adalah pirantel pamoate dan mebendazol (Katzung, 2004). Mebendazol dapat menyebabkan kerusakan struktur subseluler dan menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing. Selain itu, obat ini juga menghambat ambilan glukosa secara ireversibel sehingga terjadi deplesi glikogen pada cacing. Cacing akan mati secara perlahan dan hasil terapi yang memuaskan baru nampak setelah 3 hari pemberian obat (Syarif & Elysabeth, 2007) . Mebendazol tersedia dalam bentuk sirup berisi 10 mg/ml serta tablet 100 mg. Obat ini diberikan dengan dosis 100 mg 2 kali sehari selama 3 hari (Ganiswara 2007). Penggunaanya kadang menimbulkan efek samping seperti mual, muntah, diare, sakit perut ringan, dan erratic migratin (Albnico et al., 2008). Obat ini tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama dan penggunaanya harus diperhatikan pada pendertia sirosis (Katzung, 2004).

Obat askariasis lini kedua diantaranya adalah piperazin sitrat. Obat ini merupakan agonis GABA dan bekerja dengan cara menganggu permeabilitas membran sel terhadap ion-ion yang


(19)

berperan dalam mempertahankan potensial istirahat. Hal ini akan menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan disertai paralisis otot cacing (Katzung, 2004).

f. Ascaris lumbricoides dalam kenyataan klinis

Dalam kenyataan klinis, Ascaris lumbricoides sukar didapat dikarenakan cacing tersebut jarang keluar secara spontan dari dalam tubuh penderita. Selain itu, para peneliti juga belum menemukan metode yang sesuai untuk dapat membiakkan telur Ascaris lumbricoides secara in vitro. Mengingat prevalensi askariasis yang cukup besar dan akibat yang ditimbulkan cukup berbahaya, maka para peneiliti menggunakan sampel pengganti yang mempunyai kesamaan morfologi dan cara infeksi dengan Ascaris lumbricoides yaitu cacing

Ascaris suum. Ascaris suum merupakan kerabat terdekat Ascaris lumbricoides, bahkan cacing ini sering disebut dengan Ascaris lumbricoides suum (Laskey, 2007).

2. Ascaris suum, Goeze

a. Taksonomi

Kingdom : Animalia Filum : Nematoda Kelas : Secernentea Order : Ascaridida Famili : Ascarididae Genus : Ascaris


(20)

Spesies : Ascaris suum (Roberts et al., 2005 ) b. Morfologi

Ascaris suum merupakan nematoda yang menyebabkan askariasis pada babi. Secara morfologi, tidak banyak perbedaan antara

Ascaris suum dan Ascaris lumbricoides. Letak perbedaan keduanya adalah pada deretan gigi dan bentuk bibirnya ( Gregers, 2006). Cacing jantan mempunyai panjang 15-31 cm dengan lebar 2- 4 mm. Ujung posteriornya melengkung ke ventral. Cacing ini mempunyai spikula sebagai alat kelamin yang berukuran 2-3,5 mm. Cacing betina berukuran lebih besar. Panjangnya mencapai 20-49cm dan lebar 3-6 mm. Alat kelaminnya terdapat pada sepertiga bagian anterior tubuh. Cacing betina dapat menghasilkan 200.000 telur per hari dan uterusnya dapat menampung 27 juta telur dalam satu waktu (Roberts

et al., 2005).

c. Habitat dan Siklus Hidup

Siklus hidup Ascaris suum berbeda dengan Ascaris lumbricoides. Pada Ascaris suum siklus hidup dapat terjadi secara langsung ( dirrect ) maupun tidak langsung (indirrect). Pada siklus

dirrect, babi akan menelan telur infertil yang mengandung larva II. Larva tersebut akan bermigrasi ke hati dan menjadi larva III. Selanjutnya larva tersebut akan bermigrasi ke paru dan alveolus. Ketika host batuk larva akan tertelan dan masuk ke saluran gastrointestinal. Proses ini sering disebut dengan hepato-tracheal


(21)

migrration. Di dalam traktus gastrointestinal, larva akan berkembang menjadi bentuk dewasa. Cacing dewasa akan hidup dan berkembang biak dalam usus halus babi (Moejer & Roepstroff, 2006).

Pada siklus tidak langsung, perkembangan akan melalui host perantara atau host paratenik seperti cacing tanah. Host paratenik akan menelan telur infertil yang berisi larva II dan larva tersebut akan berada di jaringan sampai babi memangasa host paratenik tersebut. Selanjutnya, larva akan berkembang dalam tubuh babi menjadi larva III seperti proses yang berlangsung dalam siklus direct (Moejer & Roepstroff, 2006).

d. Patogenensis dan Gejala Klinis

Infeksi Ascaris suum dapat terjadi ketika babi menelan telur yang mengandung larva stadium III melalui makanan atau minumannya. Gejala klinis mulai terlihat pada waktu larva III bermigrasi dan menimbulkan kerusakan pada mukosa intestinal babi. Walaupun demikian, simptom yang timbul sulit dibedakan dengan penyakit infeksi lainnya (Roberts et al., 2005).

Larva dapat menyebabkan hemoragi ketika bermigrasi ke kapiler paru. Infeksi yang berat dapat menyebabkan akumulasi perdarahan dan kematian epitel sehingga menyebabkan kongesti jalan nafas yang disebut dengan Ascaris pneumonitis. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada babi (Roberts et al., 2005).


(22)

a. Taksonomi

Divisi : Spermathophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dycotyledone Sub kelas : Gamopetalae Ordo : Personales Famili : Acanthaceae Sub family : Acanthoidae Genus : Andrographis

Spesies : Andrographis paniculata (Yusron dkk,2005) b. Morfologi

Tumbuhan sambiloto memiliki akar tunggang. Batang berkayu dan pangkal batang bulat. Daun tunggal, berbentuk bulat telur, bersilang berhadapan, pangkal dan ujung daun runcing, tepi rata, panjang kira-kira 8 cm dan lebar 1,7 cm. Bunga majemuk berbentuk tandan terletak di ketiak daun dan ujung batang. Buah muda berwarna hijau setelah tua menjadi hitam, terdiri dari 11-12 biji (Pujiasmanto dkk, 2007).

c. Habitat

Andrographis paniculata merupakan tanaman kosmopolit yang berasal dari India dan telah menyebar di banyak tempat di Asia.


(23)

Tanaman tersebar merata dan dapat ditemukan di berbagai ketinggian. Mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 1600 meter di atas permukaan laut. Sambiloto dapat tumbuh pada daerah pedesaan, tepi jalan, tempat pembuangan sampah, ladang, ataupun daerah berpasir yang kaya akan sinar matahari. Namun, tanaman ini juga dapat tumbuh pada hutan lebat dengan hanya memperoleh 10-20 % cahaya matahari ( Alianita dkk, 2005).

d. Efek farmakologis herba sambiloto

Sambiloto merupakan obat tradisional yang sering digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Tanaman ini mempunyai sifat khas, yaitu pahit, mendinginkan dan membersihkan darah. Bagian tanaman yang digunakan untuk obat adalah keseluruhan tanaman atau biasa disebut sebagai herba.

Sambiloto mengandung zat pahit bernama andrografolid yang berlimpah. Menurut beberapa penelitian, zat ini dapat berfungsi sebagai hepatoprotektor, anti kanker, antiviral (Kadar, 2009), antiinflamasi (Hidalgo et al., 2005), obat infeksi traktus respiratorius bagian atas (Caceres et al.,1997), antimalaria, antidiare, antiarterosklerosis (Wang et al., 1997), anti diabetika (Borhanuddin et al., 1994), bakteriostatik, anti jamur (Susilo dkk, 1995), dan renoprotektor (Singh et al., 2009)


(24)

Daun sambiloto mengandung andrografolid, tannin, dan saponin yang berpotensi sebagai antihelmintik (Raj, 1975). Andrografolid merupakan zat yang berlimpah dalam daun sambiloto (Duke, 2009). Walaupun mekansimenya belum jelas, zat pahit ini diduga membunuh cacing melalui perannya sebagai imunostimulan dan menyebabkan kondisi basa dalam usus (Puri et al., 1993). Kondisi tersebut tentu tidak menguntungkan bagi cacing sehingga cacing akan mati.

Alkaloid tannin merupakan suatu polifenol tanaman yang larut air dan dapat mendenaturasi protein. Berdasarkan struktur kimianya, tannin dibedakan menjadi tannin terkondensasi dan tannin yang larut air (Westerdarp, 2006). Alkaloid ini mempunyai efek antihelmintik dengan cara menggumpalkan protein tubuh cacing. Aktivitas ini dapat mengganggu metabolisme dan homeostasis pada tubuh cacing, sehingga cacing akan mati (Harvey & John, 2004).

Daun sambiloto juga mengandung saponin. Saponin merupakan suatu jenis glikosida yang mempunyai rasa pahit. Cara kerjanya adalah dengan menurunkan tegangan permukaan (surface tension) pada dinding membran. Walaupun bersifat toksik, zat ini tidak berbahaya bagi manusia. Hal ini dikarenakan berat jenis molekulnya yang tinggi sehingga tidak diabsorbsi oleh tubuh (Nio, 1989). Saponin dapat berpotensi sebagai antihelmintik karena bekerja dengan cara menghambat enzim asetilkolinesterase, sehingga cacing


(25)

akan mengalami paralisis otot dan berujung pada kematian (Kuntari, 2008).

4. Pirantel pamoate

Pirantel pamoate merupakan “drug of choice “ penyakit askariasis. Obat ini banyak digunakan dalam masyarakat karena efek samping yang ditimbulkan cukup rendah. Pirantel pamoate bekerja dengan menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan ferkuensi impuls, sehingga cacing mati dalam keadaan spastis. Selain itu, pirantel juga menghambat enzim asetilkolinesterase sehingga akan meningkatkan kontraksi otot cacing (Syarif & Elysabeth, 2007). Pirantel pamoate tersedia dalam bentuk sirup berisi 50 mg pirantel basa/ml serta tablet 125 mg dan 250 mg. Pirantel diberikan dengan dosis tunggal 10 mg/kgBB basa (Ganiswara, 2007). Penggunaanya mempunyai efek samping yang jarang, ringan, dan sementara seperti keluhan saluran cerna, demam, atau sakit kepala. Penggunaanya tidak dianjurkan pada ibu hamil dan anak-anak di bawah usia 2 tahun, serta tidak dianjurkan pada pasien dengan riwayat penyakit hati karena dapat meningkatkan SGOT pada beberapa pasien (Katzung, 2004).

B. KERANGKA PEMIKIRAN

Infusa Herba Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees)


(26)

C. HIPOTESIS

Infusa herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) mempunyai efek antihelmintik terhadap Ascaris suum secara in vitro.

andrografolid

Kematian cacing Ascaris suum Goeze Variabel luar

terkendali Variabel luar tidak terkendali

Suhu ruang Ukuran Cacing

Konsentrasi Larutan Uji Jenis Cacing

Perbedaan Kepekaan cacing Umur tanaman Umur cacing tannin

Mendenaturasi protein cacing

saponin

Menghambat enzim asetilkolinesterase

e

Imunomodulator dan menciptakan

suasana basa

Paralisis otot cacing


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan menggunakan rancangan penelitian the post test only controlled group design (Hajar, 1996).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

C. Subjek Penelitian

Subyek penelitian adalah Ascaris suum yang masih hidup ditandai dengan gerak aktif. Cacing ini diperoleh dari usus babi di tempat penyembelihan ”Radjakaja” Kotamadya Surakarta dan penyembelihan ”Baben” Kartasura.

D. Metode Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik quota sampling yaitu mengambil sampel berasarkan jumlah minimal yang ditetapkan dengan menggunakan rumus Federer yaitu (n-1) (t-1) ≥15dimana n adalah jumlah sampel minimal yang dibutuhkan dan t adalah jumlah kelompok perlakuan (Federer, 1955).


(28)

1. Variabel bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah infusa herba sambiloto 2. Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah Ascaris suum. 3. Variabel luar

a. Variabel luar yang dapat dikendalikan meliputi: 1) Jenis cacing

2) Ukuran cacing 3) Suhu percobaan

b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan yaitu: 1) Umur cacing

2) Perbedaan kepekaan cacing terhadap infusa yang diujikan 3) Umur tanaman sambiloto

F. Definisi Operasional Variabel

1. Infusa herba sambiloto

Infusa herba sambiloto yang digunakan adalah infusa dengan konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%. Herba sambiloto didapat dari BBPPTO Tawangmangu. Skala variabel dari infusa herba sambiloto adalah skala rasio.

2. Jumlah kematian cacing Ascaris suum

Jumlah kematian cacing Ascaris suum adalah jumlah cacing yang mati dalam tiap rendaman atau kelompok perlakuan. Parameter kematian


(29)

cacing adalah tidak adanya respon gerakan ketika disentuh dengan pinset anatomis. Skala variabel dari jumlah kematian cacing adalah skala rasio. 3. Letal Concentracy 50 (LC50)

Dosis infusa herba sambiloto yang efektif ditentukan dengan penghitungan Letal Concentracy 50 (LC50). LC50 adalah konsentrasi

yang diperlukan untuk dapat membunuh 50% jumlah cacing pada waktu tertentu.

4. Letal Time 50 (LT50)

LT50 adalah waktu yang dibutuhkan untuk menimbulkan

kematian pada 50% jumlah cacing pada konsentrasi tertentu. Pada penelitian ini, LT50 digunakan untuk membandingkan efektivitas infusa

herba sambiloto dengan pirantel pamoate. 5. Formula Abbott

Apabila terdapat kematian cacing pada kelompok kontrol sebesar 5-20%, maka jumlah cacing yang mati pada kelompok perlakuan dan kelompok pembanding akan dikoreksi dengan formula Abbott (Abbott, 1925).

Rumus formula Abbott :

A = (B-C / 100-C) X 100 Keterangan :

A : Persentase mortalitas yang dikoreksi. B : Persentase mortalitas kelompok uji


(30)

C : Persentase mortalitas kelompok kontrol

G. Rancangan Penelitian


(31)

2. Uji Tahap II

10 ekor cacing Ascaris suum

direndam dalam 100ml aquades Kelompok kontrol

10 ekor cacing Ascaris suum direndam dalam 100ml larutan infusa herba sambiloto konsentrasi 20, 40, 60, 80, dan

100%

Inkubasi pada suhu 370C Inkubasi pada suhu 370C

Dihitung jumlah kematian cacing pada tiap kelompok perlakuan Pengamatan dilakukan tiap jam dan dihentikan jika salah satu konsentrasi

telah dapat membunuh 100% cacing

Kelompok perlakuan


(32)

3. Uji Tahap III 5 ekor cacing Ascaris suum direndam dalam 50

ml Larutan aquades

Uji Probit untuk menentukan LC50 infusa herba sambiloto

5 ekor cacing Ascaris suum

direndam dalam 50 ml larutan infusa herba sambiloto konsentrasi 40%, 60%, 80%,

dan 100%

Inkubasi pada suhu 370C

Dihitung presentase kematian cacing Pengamatan dilakukan

setelah 7 jam

Koreksi dengan formula Abbott jika kematian cacing pada kontrol 5-20%

Replikasi 3 kali (Astuti, 1996) Kelompok kontrol

Kelompok pembanding Kelompok kontrol Kelompok perlakuan


(33)

H. Instrumentasi Penelitian

1. Cawan Petri diameter 15 cm 2. Panci infusa

3. Kompor

10 ekor cacing Ascaris suum

direndam dalam 100 ml Larutan pirantel pamoate

0, 236% 10 ekor cacing Ascaris

suum direndam dalam 100 ml Larutan aquades

10 ekor cacing Ascaris suum

direndam dalam 100 ml larutan infusa herba sambiloto

konsentrasi 61,13%

Inkubasi pada suhu 370C

Pengamatan dilakukan tiap jam selama 7 jam

Dihitung presentase kematian cacing

Koreksi dengan formula Abbot jika kematian cacing pada kontrol 5-20%

Uji Probit untuk menentukan LT50 infusa herba sambiloto 61,13%

dan LT50 Larutan pirantel pamoate 0, 236%


(34)

4. Termometer 5. Kain flanel

6. Batang pengaduk kaca 7. Gelas ukur

8. Pinset Anatomis 9. Labu takar

10. Toples untuk menyimpan cacing 11. Inkubator

12. Larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) 13. Aquades

14. Larutan uji dengan konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% 15. Larutan pyrantel pamoate konsentrasi 0,236%

I. Cara Kerja

1. Determinasi tanaman dan pembuatan infusa herba sambiloto

Tanaman Sambiloto didapat dari BBPPTO, Tawangmangu. Infusa herba sambiloto merupakan sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan air pada suhu 900C selama 15 menit. Simplisia yang digunakan merupakan simplisia herba yaitu menggunakan semua bagian tanaman mulai dari akar, batang, daun, dan bunga. Pada awalnya, herba dikeringkan menjadi bentuk simplisia. Kemudian simpilisia dihaluskan menjadi bentuk serbuk dan ditimbang sampai 100 gram. Serbuk tersebut ditambah 100 ml air dan dipanaskan selama 15 menit pada suhu 900C sambil sesekali diaduk. Infusa diserkai sewaktu masih panas dengan kain


(35)

flanel. Jika volume akhir belum mencapai 100 ml, maka ditambahkan air mendidih melalui ampasnya. 100 gram serbuk yang dilarutkan dalam 100 ml air akan menghasilkan infusa dengan konsentrasi 100%. Selanjutnya, infusa 100% diencerkan dengan menggunakan aquades untuk mendapatkan konsentrasi yang diinginkan (Hargono dkk, 1986).

Konsentrasi yang digunakan dalam penelitian adalah 20%, 40%. 60%, 80%, dan 100%. Konsentrasi minimal adalah 20% yang didapat dari penelitian terdahulu. Ferris & Zheng (1999) menggunakan infusa herba sambiloto sebagai antihelmintik nematode Pratylenchus vulnus. Konsentrasi efektif yang digunakan adalah 10%. Luas permukaan cacing

Ascaris suum lebih luas dibanding Pratylenchus vulnus. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan konsentrasi minimal yang lebih besar dari 10% yaitu 20%. Untuk mendapatkan konsentrasi yang akan digunakan yaitu konsentrasi 20%, 40%. 60%, dan 80% infusa konsentrasi 100% diencerkan dengan aquades :

a. Konsentrasi I : 20 ml infusa herba sambiloto 100% + 80 ml aquades → Larutan infusa herba sambiloto 20%.

b. Konsentrasi II : 40 ml infusa herba sambiloto 100%+ 60 ml aquades → Larutan infusa herba sambiloto 40%.


(36)

c. Konsentrasi III : 60 ml infusa herba sambiloto 100% + 40 ml aquades→ Larutan infusa herba sambiloto 60%.

d. Konsentrasi IV : 80 ml infusa herba sambiloto 100%+ 20 ml aquades → Larutan infusa herba sambiloto 80%.

e. Konsentrasi V : 100 ml infusa herba sambiloto 100% → Larutan infusa herba sambiloto 100%.

2. Cara Pengambilan Sampel

Sampel yang dipakai adalah Ascaris suum yang berasal dari usus halus babi. Untuk mengambil cacing, usus babi yang baru disembelih dipotong membujur. Kemudian isinya ditampung dalam ember. Mukosa usus dikerok untuk melepas cacing yang mungkin melekat pada mukosa. Isi usus kemudian disaring dan satu persatu cacing mulai diambil kemudian dimasukkan ke dalam toples. Untuk menjaga ketahanan hidup cacing secara in vitro, cacing direndam dalam larutan isotonis NaCl 0,9%. Berdasarkan pengalaman penulis, cacing tersebut mampu bertahan hingga 1 minggu jika NaCl 0,9% yang digunakan sering diganti sehingga rendaman tetap jernih dan tidak berbau busuk.

3. Uji Tahap I

Uji tahap I merupakan penelitian pendahuluan untuk mengetahui serial konsentrasi yang akan digunakan pada Uji tahap II.


(37)

a. 6 buah cawan petri disiapkan, dan masing-masing diisi dengan 100 ml infusa herba sambiloto dengan konsentrasi 20%, 40% ,60%, 80%, 100% dan aquades. Kemudian dihangatkan pada suhu 370C dalam inkubator selama kurang lebih 15 menit.

b. 10 ekor cacing Ascaris suum dimasukkan ke dalam masing-masing cawan petri kemudian inkubasi pada suhu 370C.

c. Pengamatan pada kelompok perlakuan dan pembanding dilakukan tiap jam dan dihentikan sampai terdapat kelompok yang mengalami kematian 100%.

d. Jumlah cacing yang mati dihitung. Waktu kematian cacing dihitung untuk menentukan rentang waktu pengamatan pada penelitian selanjutnya.

4. Uji Tahap II

Uji Tahap II dilakukan untuk mencari LC50 infusa herba sambiloto.

a. Pada uji tahap II, digunakan infusa herba sambiloto konsentrasi 40%, 60%, 80%, dan 100%. Hal ini dikarenakan pada uji tahap I, serial konsentrasi yang dapat membunuh cacing adalah 40 sampai 100 persen.

b. 5 buah cawan petri disiapkan, dan masing-masing diisi dengan 50 ml infusa herba sambiloto dengan konsentrasi 40% ,60%, 80%, 100% dan aquades. Kemudian dihangatkan pada suhu 370C dalam inkubator selama kurang lebih 15 menit.


(38)

c. 5 ekor cacing Ascaris suum dimasukkan ke dalam masing-masing cawan petri kemudian inkubasi pada suhu 370C. Jumlah sampel yang

digunakan dihitung berdasarkan dari rumus Federer (Federer,1955 ). d. Pengamatan pada kelompok perlakuan dan pembanding dilakukan tiap

jam selama 7 jam. Waktu 7 jam didapat dari hasil uji tahap I. Dalam uji tahap I, kelompok infusa 100% dapat membunuh 100% cacing dalam waktu 7 jam.

e. Penelitian direplikasi sebanyak 3 kali (Astuti, 1996). f. Jumlah cacing yang mati dihitung.

g. Analisis menggunakan analisis probit untuk mencari LC50 infusa

herba sambiloto. 5. Uji Tahap III

a. Uji Tahap III bertujuan untuk membandingkan efektifitas infusa herba sambiloto dengan pirantel pamoate dengan mencari LT50 keduanya.

Pada tahap ini akan dibandingkan LC50 infusa herba sambiloto dan

LC50 pirantel pamoate. Berdasarkan uji tahap I dan II, LC50 infusa

herba sambiloto adalah 61,13 persen. Sedangkan LC50 pirantel

pamoate adalah 0,236% (Astuti, 1996; Kuntari, 2008).

b. 3 buah cawan petri disiapkan, dan masing-masing diisi dengan 10 ml infusa herba sambiloto dengan konsentrasi 61,13 %, aquades, dan pirantel pamoate 0,236%. Kemudian dihangatkan pada suhu 370C dalam inkubator selama kurang lebih 15 menit.


(39)

d. Pengamataan dilakukan tiap jam selama 7 jam. e. Penelitian direplikasi sebanyak 3 kali (Astuti, 1996).

f. Jumlah kematian cacing pada tiap-tiap kelompok dihitung dan dicari LT50 untuk membandingkan efektifitas keduanya.

J. Teknik Analisis Data

Rancangan penelitian ini termasuk dalam experimental murni dengan rancangan penelitian the post-test only control group design. Pada penelitian ini digunakan analisis probit untuk mencari LC50 dan LT50 dari

infusa herba sambiloto. Syarat dari uji probit adalah distribusinya normal (Dahlan, 2008). Untuk mengetahui distribusi data normal atau tidak dapat digunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Uji ini lebih akurat dibandingkan dengan uji Shapiro-Wilk jika jumlah sampel lebih dari 50.

Kemudian untuk mengetahui hubungan antara peningkatan konsentrasi dengan banyaknya cacing yang mati dilakukan Uji Korelasi Pearson (untuk sebaran data normal) dan uji korelasi Spearman (untuk sebaran data tidak normal atau nonparametrik). Selanjutnya data dianalisis dengan analisis probit untuk mencari LC50 dan LT50.. Analisis statistik

diolah dengan menggunakan program SPSS 16.0 for Windows Evaluation Version.


(40)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

1. Uji Tahap I

Uji tahap I dilakukan dengan mengamati jumlah cacing Ascaris suum yang mati pada perendaman dengan konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% dalam infusa herba sambiloto . Hasil uji tahap 1 disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Jumlah kematian cacing Ascaris suum dalam Infusa Herba Sambiloto setelah 7 jam perendaman*)

*) Jumlah sampel tiap-tiap kelompok adalah 10 ekor 2. Uji Tahap II

Uji Tahap II dilakukan untuk mencari LC50 infusa herba sambiloto.

Pada uji Ascaris suum direndam dalam infusa herba sambiloto konsentrasi Waktu (jam)

Konsentrasi sambiloto

1 2 3 4 5 6 7

Jumlah Cacing yang mati

Persentase cacing yang

mati (%)

20% 0 0 0 0 0 0 0 0 0

40% 0 0 1 1 1 2 2 2 20`

60% 0 1 2 2 3 3 4 4 40

80% 0 1 2 3 5 6 7 7 70

100% 0 2 5 7 8 9 10 10 100


(41)

40%, 60%, 80%, dan 100%. Hasil uji tahap II disajikan lengkap pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Jumlah Kematian Cacing Ascaris suum dalam Berbagai Konsentrasi Infusa Herba Sambiloto Selama 7 jam perendaman*)

*) Jumlah sampel tiap-tiap kelompok adalah 5 ekor 3. Uji Tahap III

Pada uji ini diperbandingkan efektivitas LC50 infusa herba sambiloto

dengan LC50 pirantel pamoate dengan cara mencari LT50 nya. Ascaris suum

direndam dalam infusa herba sambiloto konsentrasi 61,13% dan pirantel pamoate konsentrasi 0,236 % (Kuntari, 2008). Hasil Uji III disajikan lengkap pada tabel 3 berikut ini.

Replikasi Konsentrasi

(%) 1 2 3

Jumlah cacing yang mati

Persentase (%)

40% 1 1 1 3 20

60% 3 2 2 7 46,67

80% 4 4 3 11 73,33

100% 5 5 5 15 100


(42)

Tabel 3. Jumlah Kematian Cacing Ascaris suum Infusa Herba Sambiloto 61,13 % dan pirantel pamoat 0,236 % Selama 7 jam perendaman*)

Waktu (jam) Kelompok

Replikasi 1 2 3 4 5 6 7

1 0 1 2 3 4 5 5

2 0 1 1 2 3 4 5

3 0 1 2 3 3 4 5

Sambiloto 61,13 %

Rata-rata 0 1 1,67 2,67 3,33 4,33 5

1 1 3 4 5 6 6 7

2 2 3 5 5 6 7 8

3 1 2 4 5 6 6 7

Pirantel Pamoate 0,236%

Rata-rata 1,67 2,67 4,33 5 6 6,33 7,33

1 0 0 0 0 0 0 0

2 0 0 0 0 0 0 0

3 0 0 0 0 0 0 0

Kontrol (aquades)

Rata-rata 0 0 0 0 0 0 0 *) Jumlah cacing tiap kelompok adalah 10 ekor

B. ANALISIS DATA

Penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Pada uji tahap I hasil dapat dilihat pada tabel 1. Dari uji tahap I didapatkan serial konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian cacing kira-kira 40 persen sampai 100 persen, sehingga pada penelitian tahap II ditentukan serial konsentrasi dengan


(43)

konsentrasi terendah 40 persen dan konsentrasi tertinggi 100 persen. Pada tahap ini diketahui bahwa dalam waktu 7 jam konsentrasi infusa herba sambiloto 100% sudah dapat membunuh 100% cacing. Waktu ini menjadi patokan lamanya penelitian pada uji tahap II dan tahap III.

Uji Tahap II dilakukan untuk mencari LC50 infusa herba sambiloto.

Hasil uji tahap II disajikan lengkap pada tabel 2. Kematian pada kelompok kontrol adalah 0 persen sehingga tidak perlu dikoreksi dengan formula Abbot (Astuti, 1996). Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov pada program SPSS 16.0 for Windows Evaluation Version untuk mengetahui normalitas datanya. Dari hasil analisis diketahui bahwa sebaran data normal (p=0,2 atau p>0,05). Kemudian data dianalisis dengan menggunakan Uji Korelasi Pearson untuk mengetahui hubungan peningkatan konsentrasi dengan jumlah cacing yang mati. Hasil analisis menunjukkan hasil yang signifikan (p=0.000 atau p<0.05) dan mempunyai korelasi yang kuat (r= 0,999) (Dahlan, 2008). Karena distribusi data normal, maka dapat dilanjutkan dengan analisis probit untuk mengetahui LC50

infusa herba sambiloto. Dari hasil analisis probit didapatkan LC50 infusa


(44)

Tabel 4. Hasil Analisis Probit untuk Menentukan LC50 Infusa Herba

Sambiloto Persentase kematian

(%)

Konsentrasi Infusa Herba Sambiloto (%)

10 32.79

30 49.54

50 61.13

70 72.73

90 89.47

Pada uji tahap III diperbandingkan efektivitas LC50 infusa herba

sambiloto dengan LC50 pirantel pamoate dengan cara mencari LT50 nya.

Ascaris suum direndam dalam infusa herba sambiloto konsentrasi 61,13% dan pirantel pamoate konsentrasi 0, 236 % (Kuntari, 2008). Hasil Uji tahap III dapat dilihat pada tabel 3.

Kematian pada kelompok kontrol adalah 0 persen sehingga tidak perlu dikoreksi dengan formula Abbot (Astuti, 1996). Data dianalisis dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui sebaran datanya. Didapat data yang normal pada kelompok infusa herba sambiloto (p=0.2 atau p> 0.05) maupun pada kelompok pirantel pamoate (p=0.2 atau p>0.05). Kemudian data dianalisis dengan menggunakan analisis probit untuk mengetahui LT50 infusa herba sambiloto dan LT50 pirantel pamoate. Hasil


(45)

Tabel 5. Hasil Analisis Probit untuk Menentukan LT50 Infusa Herba

Sambiloto 61,13 % dan LT50 Pirantel Pamoate 0,236%

Persentase kematian (%)

Letal Time Infusa Herba Sambiloto 61,13%

Letal Time Piantel Pamoate 0,236%

10 2 jam 17 menit 49 menit

30 4 jam 49 menit 2 jam 10 menit 50 6 jam 34 menit 4 jam 16 menit 70 8 jam 18 menit 6 jam 22 menit 90 10 jam 48 menit 9 jam 23 menit

Dari analisis probit, didapatkan bahwa LT50 infusa herba sambiloto

61,13% adalah 6,58 jam atau 6 jam 34 menit sedangkan LT50 pirantel


(46)

BAB V PEMBAHASAN

Untuk mengetahui efek antihelmintik infusa herba sambiloto terhadap cacing Ascaris suum secara in vitro, penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama bertujuan untuk mengetahui apakah infusa herba sambiloto dapat membunuh Ascaris suum secara in vitro dan untuk mengetahui konsentrasi bunuh minimal. Tahap kedua bertujuan untuk mencari LC50 atau toksisitas akut. LC50

merupakan konsentrasi yang diperlukan untuk membunuh 50% jumlah cacing pada waktu tertentu. Sedangkan tahap ketiga bertujuan untuk membandingkan infusa herba sambiloto dengan pirantel pamoate yang merupakan drug of choice

penyakit askariasis.

Pada tahap pertama, dilakukan perendaman cacing Ascaris suum dalam infusa herba sambiloto konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% untuk mengetahui serial konsentrasi yang dapat membunuh cacing. Sebagai kontrol, digunakan aquades untuk membuktikan bahwa cacing mati bukan karena aquadesnya melainkan karena herba sambilotonya. Hasil pada uji tahap I yang dapat dilihat pada tabel 1 menunjukkan bahwa infusa herba sambiloto mempunyai efek antihelmintik dan dapat membunuh cacing Ascaris suum secara in vitro

mulai konsentrasi 40%.

Pada uji tahap kedua, cacing Ascaris suum direndam pada serial infusa herba sambiloto yang diperoleh pada uji tahap I. Hasil uji tahap II ini digunakan untuk mengetahui LC50 infusa herba sambiloto. Dengan analisis Probit diperoleh

hasil bahwa LC50 infusa herba sambiloto adalah 61,13%. Hal ini menunjukkan


(47)

persen cacing uji dalam waktu yang telah ditentukan. Dalam penelitian ini, waktu yang digunakan adalah 7 jam. Karena dalam waktu 7 jam infusa herba sambiloto 100% dapat membunuh 100% cacing yang diujikan.

Pada uji tahap III, infusa herba sambiloto 61,13% dibandingkan dengan pirantel pamoate 0,236 % (Kuntari, 2008) dengan cara mencari LT50. Dari hasil

analisis ditemukan bahwa LT50 infusa herba sambiloto pada konsentrasi 61,13%

adalah 6 jam 34 menit sedangkan LT50 pirantel pamoate 0,236 % adalah 4 jam 16

menit. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas infusa herba sambiloto sebagai antihelmintik lebih rendah daripada efektivitas pirantel pamoate yang memang obat pilihan untuk infeksi cacing Ascaris sp. Dalam waktu yang sama pirantel pamoate akan membunuh lebih banyak cacing dibandingkan infusa herba sambiloto. Untuk lebih jelas, perbedaan antara keduanya dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Grafik Perbandingan Efektivitas Infusa Herba Sambiloto 61,13% dengan Pirantel Pamoate 0, 236%


(48)

Meskipun efek antihelmintik infusa herba sambiloto lebih rendah dibandingkan pirantel pamoate, bukan berarti infusa herba sambiloto tidak efektif untuk digunakan sebagai obat cacing. Hal ini dikarenakan bahan uji yang digunakan disini adalah infusa dan bukan ekstrak. Bahan ini masih mengandung bahan lain di samping bahan aktif antihelmintik dan kadar antihelmintiknya tentu lebih rendah jika dibandingkan dalam bentuk ekstrak. Jika bahan aktif antihelmintik bisa dipisahkan, kemungkinan daya antihelmintiknya akan lebih besar.

Kemampuan infusa herba sambiloto untuk membunuh cacing Ascaris suum disebabkan karena adanya senyawa aktif tertentu yang terkandung di dalamnya. Herba sambiloto diketahui mengandung saponin, tannin, dan andrografolid. Saponin dapat berpotensi sebagai antihelmintik karena bekerja dengan cara menghambat enzim asetilkolinesterase, sehingga cacing akan mengalami paralisis otot dan berujung pada kematian (Kuntari, 2008). Alkaloid tannin mempunyai efek antihelmintik dengan cara menggumpalkan protein tubuh


(49)

cacing. Aktivitas ini dapat mengganggu metabolisme dan homeostasis pada tubuh cacing, sehingga cacing akan mati (Harvey &John, 2004). Sedangkan andrografolid yang merupakan zat pahit pada herba sambiloto dapat membunuh cacing dengan menimbulkan suasana basa pada usus sehingga menimbulkan kondisi yang tidak nyaman bagi kehidupan cacing (Duke, 2009). Selain itu, andrografolid juga berperan sebagai imunomodulator dan antioksidan.

Potensi sambiloto sebagai antihelmintik terhadap Ascaris suum lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Astuti (1996) dengan menggunakan infusa akar melati (Tabernaemontana divaricata). Waktu yang diperlukan infusa akar melati untuk membunuh 50% jumlah cacing uji (LT50)

lebih cepat dibandingkan dengan sambiloto yaitu 4 jam 49 menit. Akan tetapi, masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai perbandingan efektivitas kedua infusa tersebut dikarenakan dalam hal ini sampel yang digunakan berasal dari tempat yang berbeda.

Selain dapat digunakan sebagai antihelmintik pada Ascaris sp., herba sambiloto juga dapat digunakan sebagai antihelmintik pada cacing yang lain. Infusa herba sambiloto 10% dapat membunuh cacing akar kelapa (Pratylenchus vulnus) dalam beberapa menit (Ferris & Zheng, 1999). Efek antihelmintiknya sangat kuat dan lebih poten jika dibandingkan dengan infusa bawang putih 10% (Allium sativum) serta lidah buaya (Aloe vera).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Sari& Astari (2008) didapatkan data bahwa ekstrak sambiloto dapat membunuh cacing Brugia malayi pada konsentrasi 35% . Efek antihelmintik herba sambiloto ini lebih kuat dibandingkan


(50)

dengan Dietil Carbamin (DEC) yang merupakan “drug of choice” filariasis. Cacing yang mempunyai panjang 55-100 mm ini akan mati tanpa mengalami

recovery.

Herba sambiloto juga mampu membunuh cacing tanah Pheretima posthuma. Dengan dosis 20 mg/ml, ekstrak alkohol sambiloto mampu membunuh

Pheretima posthuma dalam waktu 5,33 menit, sedangkan ekstrak alkohol sambiloto 40 mg/ml mampu membunuh cacing tersebut dalam waktu 3,33 menit. Efek antihelmintik ini lebih tinggi dibandingkan dengan piperazine (Siddhartha, 2010).


(51)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa infusa herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) mempunyai efek antihelmintik terhadap

Ascaris suum secara in vitro dengan LC50 61, 13 persen walaupun

efektifitasnya sebagai antihelmintik lebih rendah daripada pirantel pamoate.

B. SARAN

1. Perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek antihelmintik infusa herba sambiloto (Andrographis paniculata , Nees) secara in vivo.

2. Perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai zat aktif yang berperan sebagai antihelmintik pada sambiloto (Andrographis paniculata, Nees).


(52)

Abbott, W.S. 1925. A method of computing the effectiveness of an insecticide. J. Econ. Entomol.; 18 : 265-267

Albonico M, Allen H, Chitsulo L, Engels D, Gabrielli A-F, et al. 2008. Controlling Soil-Transmitted Helminthiasis in Pre-School-Age Children through Preventive Chemotherapy. PLoS Negl Trop Dis 2(3): e126. doi:10.1371/journal.pntd.0000126

Alianita M, Sukrasno, Komar Ruslan. 2005. Andrografolida pada Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.F.) Nees.) dari Beberapa Lokasi Tumbuh. Bandung : Sekolah Farmasi ITB. Skripsi

Astuti. 1996. Daya Antihelmintika Infusa Akar Tabernaemontana divaricata terhadap Ascaris sp secara in vitro. Yogyakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Skripsi

Borhanuddin M, Shamsuzzoha M, and Hussain AH. 1994. Hypoglycaemic effects of Andrographis paniculata Nees on non-diabetic rabbits. Bangladesh Med. Res.Counc.Bull 20:24-26

Caceres DD, Hancke JL, Burgos RA, and Wikman GK. 1997. Prevention of common colds with Andrographis paniculata dried extract: A pilot double-blind trial. Phytomedicine 4:101-104

Carneiro FF, Cifuentes E, Tellez RMM, Romeiu I. 2002. The risk of Ascaris lumbricoides infection in children as an environmental health indicator to guide preventive activitiesin Caparao´ and Alto Caparao´ , Brazil.

Bulletin of the World Health Organization 80:40-46.

Dahlan MS. 2008. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika

David R. H. 2008. Ascariasis

http://emedicine.medscape.com/article/212510-overview (24 Februari 2010)

Duke J. 2009. Phytochemical and Ethnobotanical Database-ANDROGRAPHLIDE

http://sun.ars-gri.gov:8080/npgspub/xsql/duke/chemdisp.xsql?chemical= ANDROGRAPHOLIDE

Federer, W. T.1955. Experimental Design. MacMillan, New York.

Ferris H and Zheng L. 1999. Plant Sources of Chinese Herbal Remedies: Effects on Pratylenchus vulnus and Meloidogyne javanica. Journal of Nematology 31(3):241–263


(53)

Ganiswara S.G. (eds). 2007. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Gaya Baru : Jakarta. Hal :523-536

Gregers J. 2006. Immunity and Immune Responses to Ascaris Suum in Pigs.

World Class Parasites; 2 : 105-124

Hajar, I. 1996. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif dalam Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada . hal :327

Hargono D, Farouq, Sutarno S, Pramono S, Rahayu TR, Tanuatmadja US, Sumarsono. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Harvey W.F. dan John U.L. 2005. Kamala

http://www.ibiblio.org/herdmeb/eclectic/kings/mallotus_phil.html

(3 Februari 2010)

Hidalgo, MA. Romero A, Figueroa J, Cortes P, Concha II, Hancke JL, Burgos RA. 2005. Andrographolide interferes with binding of nuclear factor-κB to DNA in HL-60-derived neutrophilic cells. Br.J.Pharmacol 144:680-686

Kadar VR. 2009. Peningkatan Kadar Andrografolid dari Kultur Sel Andrographis paniculata (Burm.f.) Wallich ex Ness Melalui Teknik Amobilisasi Sel Dalam Bioreaktor. Bandung : Program Studi Magister Bioteknologi SITH. Tesis

Katzung B.G. 2004. Farmakologi dasar dan Klinik. Salemba Empat . Jakarta. Hal : 259, 286-287

Kazura JW. 2007. Nematode infections. In: Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil Medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007: chap 378 Kumoro AC and Hasan M. 2006. Modelling of Andrographolide Extraction from

Andrographis Paniculata Leaves in a Soxhlet Extractor. Proceedings of the 1st International Conference on Natural Resources Engineering & Technology 2006 24-25th July 2006; Putrajaya, Malaysia, 664-670

Kuntari T. 2008. Daya Antihelmintik Air Rebusan Daun Ketepeng (Cassia alata L) Terhadap Cacing Tambang Anjing in vitro. Jurnal Logika ed 5.Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia. Skripsi

Laskey A. 2007. Ascaris Lumbricoides

http://dokterfoto.com/2008/04/06/ascaris-lumbricoides/ (2 Maret 2010) Manoj A,Urmila A, Bhagyashri W, Meenakshi V, Akshaya W, Gujar N. Kishore.

2008. Anthelmintic activity of Ficus benghalensis. Indian journal of Green pharmacy,2(3),170-172


(54)

Mardiana & Djarismawati. 2008. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid Sekolah Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Bandung : Puslitbang Ekologi dan Status Kesehatan

Moejer H and Roepstroff A. 2006. Ascaris suum infections in pigs born and raised oncontaminated paddocks. Parasitology. Cambridge University Press: 1-8

Nio KO. 1989. Zat-zat Toksik Yang Secara Alamiah Ada Pada Bahan Makanan Nabati. Cermin Dunia Kedokteran no.58

Padmasutra, Leshmana. 2007. Catatan Kuliah: Ascaris lumbricoides. Jakarta: Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Jakarta

Pujiasmanto B, Moenandir J, Syamsulbahri, Kuswanto. 2007. Kajian Agroekologi dan Morfologi Sambiloto (Andrographis paniculata) Pada Berbagai Habitat. Biodiversitas; 8 (4) :326-329

Puri A, Saxena R, Saxena RP, Saxena KC, Srivastava V, Tandon JS. 1993. Immunostimulant agents from Andrographis paniculata. J Nat Prod. Jul;56(7):995-9

Raj RK. 1975. Screening of indigenous plants for anthelmintic action against human Ascaris lumbricoides: Part--II. Indian J Physiol Pharmacol;19(1) Roberts, Larry S.; Janovy, John Jr. 2005. Foundations of Parasitology, Seventh

Edition. United States: McGraw-Hill

Sakai S, Shida Y, Takahashi N, Yabuuchi H, Soeda H, Okafuji T, Hatakenaka M, Honda H. 2006. Pulmonary Lesions Associated With Visceral Larva Migrans Due to Ascaris suum or Toxocara canis: Imaging of Six Cases.

AJR ; 186:1697–1702

Sari, Astari P. 2008. Uji Makrofilariasidal Ekstrak Daun Sambiloto (Andrographis paniculata) Terhadap Cacing Dewasa Brugia malayi Secara in vitro. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM. Skripsi

Satriawan Angky H. 2009.. Pengaruh Ekstrak Daun Dewa (Gynura Pseudochina) Terhadap Kematian Cacing Ascaris suum Secara in vitro. Universitas Islam Sultan Agung. Skripsi

Seltzer E, Barry M, Crompton DWT. 2006. Ascariasis. In: Guerrant RL, Walker DH, Weller PF, editors. Tropical infectious diseases. Principles, pathogens & practice. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier; p :1257-1264


(55)

Siddhartha S, Archana M, Jinu J, Pradeep M. 2010. Anthelmintic Potential of

Andrographis paniculata, Cajanus cajan and Silybum marianum. Pharm Journal ;2:6

Singh P, Srivastava MM, Khemani LD. 2009. Renoprotective effects of

Andrographis paniculata Nees in rats. Upsala Journal of Medical Sciences 114:136-139

Susilo J, Hanani E, Soemiati A, dan Hamzah L. 1995. Bagian Parasitologi FKUI dan Jurusan Farmasi FMIPA UI Warta Perhipba Warta Perhipba No.Flll, Jan-Maret

Syarif, A & Elysabeth. 2007.Antelmintik. Dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5.

Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Indonesia. hlm: 541-550

Sudoyo WA, Setyohadi B, Alwi I, Setiati S (eds). 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Urbani C and Albonico M. 2003. Anthelminthic drug safety and drug administration in the control of soil-transmitted helminthiasis in community campaigns. Acta Trop 86: 215–222.

Utari Cr. S. ,2002. Infeksi Nematoda Usus. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Hal : 3 – 11

Villaverde M C., Beltran, MM. , DAVID, LC. 2005. In: Chapter 4: Reducing the Burden of Disease, National Objectives for Health 2005-2010. Department of Health, Manila,Philippines, pp. 130-180.

Wang HW, Zhao HZ, and Xiang SQ. 1997. Effects of Andrographis paniculata

component on nitrit oxide, endhotelin, and lipid peroxidation in experimental artherosclerotic rabbits. Zhong-guo Zhong Xi Yi Jie He Za Zhi 17: 547-549 (in Chinese)

Waris L. 2008. Laporan Akhir Penelitian Distribusi Parasit Pencernaan Pada Masyarakat Beberapa Daerah dengan Ekosistem yang Berbeda di Propinsi Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan : Depkes RI

Westendarp H. 2006. Effects of tannins in animal nutrition. Dtsch Tierarztl

Wochenschr.113(7):264-268

WHO. 2006. Schistosomiasis and soil-transmitted helminth infections– preliminary estimates of the number of children treated with albendazole or mebendazole. Wkly Epidemiol Rec 16: 145–164


(56)

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis. Erlangga :Surabaya. Hal : 130-132

Yoshihara S. 2008. Hepatic lesions caused by migrating larvae of Ascaris suum in chickens. J Vet Med Sci.70 (10):1129-1131

Yusron M., Januwati M., Pribadi E.R. 2005. Budidaya Tanaman Sambiloto. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika.


(1)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa infusa herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) mempunyai efek antihelmintik terhadap Ascaris suum secara in vitro dengan LC50 61, 13 persen walaupun efektifitasnya sebagai antihelmintik lebih rendah daripada pirantel pamoate.

B. SARAN

1. Perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek antihelmintik infusa herba sambiloto (Andrographis paniculata , Nees) secara in vivo.

2. Perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai zat aktif yang berperan sebagai antihelmintik pada sambiloto (Andrographis paniculata, Nees).


(2)

Abbott, W.S. 1925. A method of computing the effectiveness of an insecticide. J. Econ. Entomol.; 18 : 265-267

Albonico M, Allen H, Chitsulo L, Engels D, Gabrielli A-F, et al. 2008. Controlling Soil-Transmitted Helminthiasis in Pre-School-Age Children through Preventive Chemotherapy. PLoS Negl Trop Dis 2(3): e126. doi:10.1371/journal.pntd.0000126

Alianita M, Sukrasno, Komar Ruslan. 2005. Andrografolida pada Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.F.) Nees.) dari Beberapa Lokasi Tumbuh. Bandung : Sekolah Farmasi ITB. Skripsi

Astuti. 1996. Daya Antihelmintika Infusa Akar Tabernaemontana divaricata terhadap Ascaris sp secara in vitro. Yogyakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Skripsi

Borhanuddin M, Shamsuzzoha M, and Hussain AH. 1994. Hypoglycaemic effects of Andrographis paniculata Nees on non-diabetic rabbits. Bangladesh Med. Res.Counc.Bull 20:24-26

Caceres DD, Hancke JL, Burgos RA, and Wikman GK. 1997. Prevention of common colds with Andrographis paniculata dried extract: A pilot double-blind trial. Phytomedicine 4:101-104

Carneiro FF, Cifuentes E, Tellez RMM, Romeiu I. 2002. The risk of Ascaris lumbricoides infection in children as an environmental health indicator to guide preventive activitiesin Caparao´ and Alto Caparao´ , Brazil. Bulletin of the World Health Organization 80:40-46.

Dahlan MS. 2008. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika

David R. H. 2008. Ascariasis

http://emedicine.medscape.com/article/212510-overview (24 Februari 2010)

Duke J. 2009. Phytochemical and Ethnobotanical Database-ANDROGRAPHLIDE

http://sun.ars-gri.gov:8080/npgspub/xsql/duke/chemdisp.xsql?chemical= ANDROGRAPHOLIDE

Federer, W. T.1955. Experimental Design. MacMillan, New York.

Ferris H and Zheng L. 1999. Plant Sources of Chinese Herbal Remedies: Effects on Pratylenchus vulnus and Meloidogyne javanica. Journal of Nematology 31(3):241–263


(3)

Ganiswara S.G. (eds). 2007. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Gaya Baru : Jakarta. Hal :523-536

Gregers J. 2006. Immunity and Immune Responses to Ascaris Suum in Pigs. World Class Parasites; 2 : 105-124

Hajar, I. 1996. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif dalam Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada . hal :327

Hargono D, Farouq, Sutarno S, Pramono S, Rahayu TR, Tanuatmadja US, Sumarsono. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Harvey W.F. dan John U.L. 2005. Kamala

http://www.ibiblio.org/herdmeb/eclectic/kings/mallotus_phil.html

(3 Februari 2010)

Hidalgo, MA. Romero A, Figueroa J, Cortes P, Concha II, Hancke JL, Burgos RA. 2005. Andrographolide interferes with binding of nuclear factor-κB to DNA in HL-60-derived neutrophilic cells. Br.J.Pharmacol 144:680-686

Kadar VR. 2009. Peningkatan Kadar Andrografolid dari Kultur Sel Andrographis paniculata (Burm.f.) Wallich ex Ness Melalui Teknik Amobilisasi Sel Dalam Bioreaktor. Bandung : Program Studi Magister Bioteknologi SITH. Tesis

Katzung B.G. 2004. Farmakologi dasar dan Klinik. Salemba Empat . Jakarta. Hal : 259, 286-287

Kazura JW. 2007. Nematode infections. In: Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil Medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007: chap 378 Kumoro AC and Hasan M. 2006. Modelling of Andrographolide Extraction from

Andrographis Paniculata Leaves in a Soxhlet Extractor. Proceedings of the 1st International Conference on Natural Resources Engineering & Technology 2006 24-25th July 2006; Putrajaya, Malaysia, 664-670 Kuntari T. 2008. Daya Antihelmintik Air Rebusan Daun Ketepeng (Cassia alata

L) Terhadap Cacing Tambang Anjing in vitro. Jurnal Logika ed 5.Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia. Skripsi

Laskey A. 2007. Ascaris Lumbricoides

http://dokterfoto.com/2008/04/06/ascaris-lumbricoides/ (2 Maret 2010) Manoj A,Urmila A, Bhagyashri W, Meenakshi V, Akshaya W, Gujar N. Kishore.

2008. Anthelmintic activity of Ficus benghalensis. Indian journal of Green pharmacy,2(3),170-172


(4)

Mardiana & Djarismawati. 2008. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid Sekolah Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Bandung : Puslitbang Ekologi dan Status Kesehatan

Moejer H and Roepstroff A. 2006. Ascaris suum infections in pigs born and raised oncontaminated paddocks. Parasitology. Cambridge University Press: 1-8

Nio KO. 1989. Zat-zat Toksik Yang Secara Alamiah Ada Pada Bahan Makanan Nabati. Cermin Dunia Kedokteran no.58

Padmasutra, Leshmana. 2007. Catatan Kuliah: Ascaris lumbricoides. Jakarta: Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Jakarta

Pujiasmanto B, Moenandir J, Syamsulbahri, Kuswanto. 2007. Kajian Agroekologi dan Morfologi Sambiloto (Andrographis paniculata) Pada Berbagai Habitat. Biodiversitas; 8 (4) :326-329

Puri A, Saxena R, Saxena RP, Saxena KC, Srivastava V, Tandon JS. 1993. Immunostimulant agents from Andrographis paniculata. J Nat Prod. Jul;56(7):995-9

Raj RK. 1975. Screening of indigenous plants for anthelmintic action against human Ascaris lumbricoides: Part--II. Indian J Physiol Pharmacol;19(1) Roberts, Larry S.; Janovy, John Jr. 2005. Foundations of Parasitology, Seventh

Edition. United States: McGraw-Hill

Sakai S, Shida Y, Takahashi N, Yabuuchi H, Soeda H, Okafuji T, Hatakenaka M, Honda H. 2006. Pulmonary Lesions Associated With Visceral Larva Migrans Due to Ascaris suum or Toxocara canis: Imaging of Six Cases. AJR ; 186:1697–1702

Sari, Astari P. 2008. Uji Makrofilariasidal Ekstrak Daun Sambiloto (Andrographis paniculata) Terhadap Cacing Dewasa Brugia malayi Secara in vitro. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM. Skripsi

Satriawan Angky H. 2009.. Pengaruh Ekstrak Daun Dewa (Gynura Pseudochina) Terhadap Kematian Cacing Ascaris suum Secara in vitro. Universitas Islam Sultan Agung. Skripsi

Seltzer E, Barry M, Crompton DWT. 2006. Ascariasis. In: Guerrant RL, Walker DH, Weller PF, editors. Tropical infectious diseases. Principles, pathogens & practice. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier; p :1257-1264


(5)

Siddhartha S, Archana M, Jinu J, Pradeep M. 2010. Anthelmintic Potential of Andrographis paniculata, Cajanus cajan and Silybum marianum. Pharm Journal ;2:6

Singh P, Srivastava MM, Khemani LD. 2009. Renoprotective effects of Andrographis paniculata Nees in rats. Upsala Journal of Medical Sciences 114:136-139

Susilo J, Hanani E, Soemiati A, dan Hamzah L. 1995. Bagian Parasitologi FKUI dan Jurusan Farmasi FMIPA UI Warta Perhipba Warta Perhipba No.Flll, Jan-Maret

Syarif, A & Elysabeth. 2007.Antelmintik. Dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Indonesia. hlm: 541-550

Sudoyo WA, Setyohadi B, Alwi I, Setiati S (eds). 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Urbani C and Albonico M. 2003. Anthelminthic drug safety and drug administration in the control of soil-transmitted helminthiasis in community campaigns. Acta Trop 86: 215–222.

Utari Cr. S. ,2002. Infeksi Nematoda Usus. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Hal : 3 – 11

Villaverde M C., Beltran, MM. , DAVID, LC. 2005. In: Chapter 4: Reducing the Burden of Disease, National Objectives for Health 2005-2010. Department of Health, Manila,Philippines, pp. 130-180.

Wang HW, Zhao HZ, and Xiang SQ. 1997. Effects of Andrographis paniculata component on nitrit oxide, endhotelin, and lipid peroxidation in experimental artherosclerotic rabbits. Zhong-guo Zhong Xi Yi Jie He Za Zhi 17: 547-549 (in Chinese)

Waris L. 2008. Laporan Akhir Penelitian Distribusi Parasit Pencernaan Pada Masyarakat Beberapa Daerah dengan Ekosistem yang Berbeda di Propinsi Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan : Depkes RI

Westendarp H. 2006. Effects of tannins in animal nutrition. Dtsch Tierarztl Wochenschr.113(7):264-268

WHO. 2006. Schistosomiasis and soil-transmitted helminth infections– preliminary estimates of the number of children treated with albendazole or mebendazole. Wkly Epidemiol Rec 16: 145–164


(6)

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis. Erlangga :Surabaya. Hal : 130-132

Yoshihara S. 2008. Hepatic lesions caused by migrating larvae of Ascaris suum in chickens. J Vet Med Sci.70 (10):1129-1131

Yusron M., Januwati M., Pribadi E.R. 2005. Budidaya Tanaman Sambiloto. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika.