Penelitian Terdahulu yang Relevan
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Untuk memperkuat alasan pemilihan masalah ini, penting kiranya dilakukan survey literatur terhadap penelitian terdahulu yang relevan. Hal ini dilakukan untuk menguji seberapa pentingkah penelitian ini dilakukan dan seberapa ramai permasalahan ini dibicarakan dalam dunia akademik global. Sedikitnya ada dua aspek kajian yang dapat digunakan sebagai standar pemosisian sebuah penelitian dalam peta kajian global, yaitu aspek metodologi dan tema. Secara praktis, aspek metodologi mengacu pada struktur
prosedur dalam melakukan penelitian, 46 sedangkan tema merupakan ranah kajian yang diteliti melalui metodologi tersebut. Konsekuensi dari pemisahan tersebut adalah menimbulkan asumsi-asumsi hipotetis. Sebuah metodologi dapat digunakan untuk berbagai objek penelitian yang berbeda. Demikian pula objek ataupun tema penelitian yang sama juga dapat menggunakan metodologi yang berbeda.
Pertama, dari sisi tema, penelitian ini fokus pada kajian seputar relasi tekstualisme dalam kajian hadis atau teks-teks keislaman secara umum, oralitas dan framing pola keagamaan. Beberapa penelitian seputar hadis Nabi yang telah lebih dulu mengkaji masalah ini adalah Amr Osman (2014). Osman dalam disertasinya yang berjudul The Z}a>hiri> Madhhab (3 rd /9 th -10 th /16 th Century): A Textualist Theory of Islamic Law menegaskan bahwa Mazhab Zahiri yang dipelopori oleh Da>wu>d al-Z}ahiri> bukanlah mazhab yang fundamentalis dan tidak
46 Pertti J. Pelto and Gretel H. Pelto, Anthropological Research : The Structure of Inquiry (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), p. 2.
progresif. Ia berkesimpulan bahwa Da>wu>d dengan tekstualismenya merupakan sosok tokoh yang rasionalis (ahl al-ra'y), bukan ahl al-h}adi>th.
Fokus kajian Osman adalah pada sisi tekstualisme dalam hukum Islam. Melalui fenomena tekstualisme Z}a>hiriah, ia merekonstruksi konsep tekstualisme yang populer dalam bidang hukum Islam. Menurutnya, tekstualisme bukanlah pemahaman berdasarkan pemaknaan literal atau leksikal. Menurutnya, tekstualisme justru lebih dekat dengan rasionalis dan kontekstualis daripada dengan "tekstualisme/literalisme" yang dipersepsikan oleh banyak orang selama ini. Untuk memperkuat tesisnya, Osman mengkaji tekstualisme dari perspektif ilmu antropologi agama, semantik dan pragmatik, serta ilmu hukum konvensional. Dari kesimpulan Osman inilah, penelitian ini akan mengembangkan kembali fenomena tekstualisme yang ada dalam ruang sosial umat Islam di Indonesia. Penelitian Osman adalah penelitian kepustakaan dan berfokus pada kajian Islam, bidang ilmu hukum normatif. Karena itu, ia tidak dapat memastikan apakah "eksklusifisme" mazhab Z}ahiriah juga lahir dari tekstualisme tersebut atau tidak. Disinilah letak perbedaan penelitian hadis dalam disertasi ini dengan kajian Osman. Meski demikian, penelitian ini tampak sejalan dengan kesimpulan Osman yang menyatakan bahwa tekstualisme tidaklah anti rasionalisme
dan kontekstualisme, bahkan ia adalah identik dengan rasionalisme dan kontekstualisme. 47 Tampaknya, Osman juga sependapat dengan Robert Gleave (2012) yang juga menyatakan bahwa dalam Islam, tradisi penafsiran teks keagamaan sangat kental nuansa tekstualismenya. Melalui pendekatan usul fikih, para ulama mencoba untuk menafsirkan teks-teks agama secara sangat literal. Hasilnya, muncul berbagai macam mazhab fikih yang berbeda-beda, padahal masing-masing sangat berpegang pada prinsip literalisme ushuli tersebut. Beberapa mazhab dijadikan sebagai objek penelitian Gleave, yaitu Empat mazhab dalam Sunni, Zahiri, dan Syiah. Semuanya bagi Gleave, adalah mazhab yang tidak dapat lepas dari tekstualisme. Gleave memberi contoh ketika menafsirkan ayat dengan menggunakan pendekatan makna mafhum, itupun pada dasarnya sangat literal.
Hal ini bagi Gleave, adalah karena para ulama dari berbagai mazhab tersebut adalah ulama yang sehari-harinya berbahasa Arab. Bahkan mazhab yang sangat rasionalis, Hanafi- Muktazili pun sangat konsisten dengan pemaknaan literal, khususnya bagi orang-orang yang sehari-harinya menggunakan bahasa Arab (Abu Bakr al-Jassas, a Hanafi-Muktazili scholar, placed the capacty for understanding the literal meaning on everyday people who spoke the
language of the Arabs.) 48
Hanya saja, Osman tidak setuju penggunaan istilah literalisme untuk menunjuk kepada praktik tekstualisme. Usul Fiqh yang diteorikan oleh para ulama pada dasarnya adalah rumusan konsep tekstualisme dalam hukum Islam, bukan literalisme. Sementara itu, Gleave justru menggunakan literalisme sebagai judul besarnya, meskipun ia memiliki semangat dan kesimpulan yang sama dengan Osman.
Selanjutnya, Adis Duderija (2010) menyatakan bahwa salafi (textualism) muncul karena minimnya porsi rasio dalam penafsiran teks al-Quran dan Hadis, sebagaimana yang berkembang pada masa pra-modern. Hal ini ditandai dengan beberapa fenomena metodologis penafsiran al-Quran dan Hadis, yaitu: Philological interpretational orientation, asba>b al- wuru>d, konsep wahyu, marginalisasi konteks bahasa dan isi wahyu, authorship oriented yang didasarkan pada praktik masa lalu.
Dalam penelitiannya itu, Duderija mengelompokkan muslim menjadi dua model yaitu, muslim progressif dan neo tradisionalis-salafi. Baginya, seorang muslim menjadi progresif adalah karena memperlakukan teks-teks al-Quran sebagaimana teks sastra. Mereka tidak
47 Amr Osman, The Z}a>hiri> Madhhab (3 rd /9 th -10 th /16 th Century): A Textualist Theory of Islamic Law (Leiden: Brill, 2014)
48 Robert Gleave, Islam and Literalism: literal Meaning and Interpretation in Islamic Legal Theory (Edinburgh, UK: Edinburgh University Press, 2012) 48 Robert Gleave, Islam and Literalism: literal Meaning and Interpretation in Islamic Legal Theory (Edinburgh, UK: Edinburgh University Press, 2012)
Dapat disimpulkan bahwa Duderija menilai manhaj penafsiran muslim progresif terhadap al-Quran dan hadis lebih menekankan pada sisi interpreter daripada aspek teks itu sendiri. Dengan demikian, hermeneutika muslim progresif didasarkan pada beberapa premis, yaitu; [1] Makna hakiki suatu teks terletak pada maqs}ad/qas}d nya; [2] Makna objektif (maqs}ad/purposful nature) al-Quran sudah tersedia dan menyatu (embedded) dalam kandungan teks al-Quran dan telah sesuai dengan pesan al-Quran sebagaimana dipahami oleh tiga generasi muslim pertama; [3] Mengutamakan prinsip-prinsip etika agama (ethocoreligious) seperti justice (al-adl), dignity of all human beings (karamah), equity (karamah), mercy (rahmah), dan righteous conduct (amal shalih). Prinsip-prisip yang dari sudut sosio-kultural sangat relatif dan dinamis harus selalu dipatuhi dalam penafsiran al- Quran, karena prinsip-prinsip tersbeut pada dasarnya menjadi inti dari ajaran Islam. Prinsip- prinsip tersebut bertujuan untuk menapaki jejak tauhid yang menjadi inti utama ajaran Islam; [4] Terkait khusus dengan pemahaman terhadap sunnah nabi, muslim progresif tidak menyamakan antara hadis dan sunnah. Hadis, bagi muslim progresif bukanlah satu-satunya alat untuk mengekspresikan dan mendokumentasikan sunnah Nabi. Malah sebaliknya, manhaj muslim progresif dalam hal sunnah adalah didasarkan pada konsep asal dan sekup sunnah yang secara metodologis dan epistemologis berbeda dari hadis dan berujung pada model pemaknaan ushul fiqh. Dengan kata lain, metode pemahaman hadis versi muslim progresif adalah di luar kaidah ulumul hadis dan ilmu ushul fiqh konvensional. Karena itu, Duderija menyebut bahwa manhaj muslim progresif dalam interpretasi al-Quran dan sunnah adalah comprehensive contextualism.
Dari analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa tekstualisme menghambat progresifitas muslim. Pemahaman tekstual terhadap al-Quran dan sunnah lebih banyak membentuk pola keagamaan baru yang masih diwarnai dengan tradisionalisme-salafis. Dalam hal ini, kelompok tekststualis lebih banyak ditampilkan oleh ahl al-h}adi>th, atau dalam
istilah Duderija yang lebih global lagi, Neo Traditional-Salafis (NTS). 49
Daniel W. Brown (1996) juga menegaskan bahwa pada dasarnya setiap corak dan pola keagamaan Muslim modern yang sangat beragam (dalam hal ini yang dijadikan sebagai sample adalah Muslim Mesir dan India) memiliki akar yang sangat kuat terhadap masa lalu (each response is linked to the past). Masa lalu yang dimaksudkan oleh Brown adalah hadis Nabi (tradition). Spektrum keberagamaan Muslim modern yang sangat beragam itu tidak dapat lepas dari hadis Nabi (rooted in tradition). Hanya saja ia menjadi beraneka ragam warna argumen keagamaan akibat dari modernitas. Pergulatan tradisi (hadis) dalam mempertahankan eksistensinya di era modern dapat dibilang cukup berhasil. Demikian pula
modernisasi, sebesar apapun kekuatan pengaruhnya, ia tidak dapat menghilangkan tradisi. 50
49 Adis Duderija, "Neo-Traditional Salafi Qur’an-Sunnah Hermeneutic and the Construction of A Normative Muslimah Image," dalam Hawwa 5, no. 2 & 3, 2007: 289–323. Lihat juga Duderija, "Constructing the Religious Self and
the Other: Progressive Muslim manhaj," dalam Studies in Contemporary Islam 10, no. 1–2, 2008: 91–122. Keduanya dapat juga dibaca dari Duderija, Constructing A Religiously Ideal Believer and Woman in Islam: Neo-Traditional Salafi and Progressive Muslims' Method of Interpretation (New York: Palgrave Macmillan, 2011).
50 Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge dan New York: Cambridge University Press, 1996)
Kesimpulan Brown ini senada dengan McDonough (1970) yang meneliti tradisionalisme dalam pemikiran keagamaan tiga ulama modernis. 51 Di sinilah, pada dasarnya tekstualisme tidak dapat hilang sepenuhnya dari tradisi agama. Dalam kesempatan lain, Duderija juga berbicara mengenai penggunaan hadis dalam dunia politik pada era muslim pertama. Menurutnya, hadis-hadis Nabi memiliki peran yang sangat penting dalam konsolidasi politik yang kemudian dinamakan dengan Ahlussunnah wal Jamaah. Menurutnya, nama itu pada dasarnya sarat dengan muatan politik. Melalui kajian terhadap konteks sosio-historis karya-karya hadis Duderija mengungkap bahwa banyak literatur hadis yang mencerminkan pandangan politik dan ideologi sektarian yang sering bertentangan dengan tradisi masyarakat Muslim pertama. Dengan demikian literatur hadis itu dapat digunakan untuk mendirikan sebuah komunitas yang secara politik membela salah satu kelompok dalam hal teologi dan hukum. Bahwa hadis-hadis itu kemudian diserap ke dalam materi aturan resmi sebuah komunitas, hal itu adalah hasil dari prinsip metodologis dan epistemologis yang mengatur pemahaman kelompok Ahlussunnah wal Jamaah terhadap
hadis Nabi. 52 Pada saat yang sama, Adis, sebagaimana diungkapkan oleh Yusuf Rahman, menyatakan bahwa Salafi (textualism) muncul karena minimnya porsi rasio dalam penafsiran teks al-Quran dan Hadis, sebagaimana yang berkembang pada masa pra-modern. Hal ini ditandai dengan beberapa fenomena metodologis penafsiran al-Quran dan Hadis, yaitu: Philological interpretational orientation, asba>b al-wuru>d, konsep wahyu, marginalisasi
konteks bahasa dan isi wahyu, authorship oriented yang didasarkan pada praktik masa lalu. 53 Kesimpulan Adis tersebut senada dengan temuan Jahroni (2006) dan Ruthven (2004). 54 Jonathan AC Brown dalam jurnal yang berjudul "Even If It’s Not True It’s True: Using Unreliable H}adi>ths in Sunni Islam" mengungkapkan bahwa pada dasarnya Sunni memiliki prinsip yang menjunjung tinggi keaslian teks. Dengan ilmu kritik hadis yang berfungsi untuk membedakan antara atribusi otentik kepada Nabi dan pemalsuan. Namun, sungguh mengejutkan ketika muncul fenomena pengamalan hadis-hadis yang tidak otentik dalam tubuh Sunni sendiri. Para ulama hadis telah melakukan kerja kerasnya dalam menyaring hadis-hadis lemah agar tidak masuk ke dalam kitab-kitab hadis, namun mainstrim Sunni justru mengizinkan penggunaan Hadis lemah sebagai dalil beramal. Meski demikian, sikap mayoritas ini tidak menggantikan mazhab minoritas yang cenderung menolak keras penggunaan Hadis-hadis lemah. Menurut kelompok minioritas, penggunaan hadis-hadis lemah sebagai dalil beramal merupakan bahaya yang mengancam moralitas sosial dan bertentangan dengan ajaran Islam. Maka, gerakan penolakan hadis-hadis lemah dalam masyarakat muslim pun muncul pada awal periode modern. Gerakan pemberantasan hadis- hadis lemah ini secara massif dilakukan oleh dua kelompok revivalis, Salafi dan muslim modernis.
Melalui penelusuran terhadap sejarah berbagai mazhab dalam tradisi Sunni terkait cara menyikapi penggunaan hadis lemah dan palsu dari abad ketiga/9 M sampai dengan abad 21 ini, Brown menyatakan bahwa kebenaran dalam teks suci dan sejarah mucul dari penggunaan
51 Lihat Sheila McDonough, The Authority of The Past; A Study of Three Muslim Modernists (Chambersburg, Pennsylvania: American Academy of Religion, 1970).
Community," dalam http://www.newageislam.com/islamic-history/adis-duderija,-new-age-islam/ahadith-and-politics-in-early-muslim- community/d/7118, diakses pada 27 desember 2013, 06.59 WIB.
52 Lihat Adis Duderija,
53 Lihat Yusuf Rahman, "Penafsiran Tekstual dan Kontekstual terhadap al-Qur'a>n dan Hadi>th (Kajian terhadap Muslim Salafi dan Muslim Progresif" dalam Journal of Qur'a>n and Hadi>th Studies, vol. 1. No.2 (Januari-Juni 2012), 193,
298. 54 Keduanya berteori bahwa tekstualisme dan literalisme memiliki kaitan yang sangat erat dengan fundamentalisme
dan ekstremisme. Lihat Jahroni (2006), "Tekstualisme, Islamisme, dan Kekerasan Agama," dalam Islamlib.com. Lihat juga Ruthven, Fundamentalism; A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2007).
teks suci yang dipadukan dengan realitas sosial. “The truth in scripture and history is defined by a correspondence to rea lity nor by serving some utility.” Fenomena penggunaan hadis lemah dalam tradisi Muslim Sunni dari masa ke masa menunjukkan bahwa kebenaran tidak hanya muncul dari teks yang otentik, melainkan dari realitas yang diakui oleh khalayak. Persepsi masyarakat, khususnya mainstrim, sangat mempengaruhi penggunaan teks-teks yang tidak otentik sekalipun. Tradisi seperti ini tidak hanya terdapat dalam masyarakat muslim saja, melainkan juga dalam umat agama lain. Tradisi-tradisi Yahudi dan Kristen juga
telah bergelut dengan ketegangan antara tuntutan utilitas dan keunggulan keaslian tekstual. 55
Dalam disertasinya yang berjudul The Canonization of al-Bukha>ri> and Muslim, Brown
(2007) juga mengungkapkan bahwa tekstualisme yang termanifestasikan dalam tradisi kanonisasi hadis-hadis Nabi, juga meniscayakan eksklusifisme. Kedudukan kitab-kitab hadis kanonik dalam sebuah komunitas atau organisasasi massa sangatlah penting, terutama dalam menyikapi isu-isu keagamaan. Diam-diam, di balik urgensi dan berbagai manfaat serta keutamaannya, kanonisasi hadis-hadis Nabi jutsru membentuk sebuah komunitas sosial yang puritan dan eksklusif. Kajian hadis berbasis ilmu sosial yang dilakukan oleh Brown itu berfokus pada dua kitab kanonik terbesar dalam tradisi Sunni, yaitu S}ah}i>h} al-Bukha>ri> dan S}ah}i>h{ Muslim. Menurutnya, muslim Sunni menggunakan dua kitab tersahih ini adalah karena kebutuhan akan legalitas pemikirannya. Karena itu bagi Brown, mengapa mereka melakukan kanonisasi terhadap hadis-hadis al-Bukha>ri dan Muslim, adalah pertanyaan yang paling penting untuk dijawab. Brown juga membenarkan klaim kitab tersahih setelah al-Quran dalam tradisi Sunni, namun Brown lebih tertarik untuk menyorot isu-isu besar dalam bidang
sosial-politik di balik klaim itu. 56
Kesimpulan Brown ini penting digunakan dalam penelitian ini untuk mengungkap praktik re-kanonisasi dalam beberapa ormas Islam di Indonesia dalam kaitannya dengan eksklusifitas pergerakannya. Bagaimana ormas Islam tersebut merespon isu-isu sosial keagamaan di Indonesia dengan kitab-kitab hadis kanonik yang mereka susun dan bagaimana pula respon masyarakat muslim umumnya terhadap hal tersebut?
Selanjutnya, Barbara D. Metcalf 57 dalam jurnal yang berjudul "Living Hadith in The Tablighi Jama'at" berbicara tentang bagaimana suatu komunitas membentuk sebuah tradisi dan identitas sosial menuju postkolonialisme. Metcalf menjadikan fenomena "Living Hadith" dalam tradisi Jama'ah Tabligh (JT) sebagai kasus untuk mengungkap narasi besar tentang prinsip-prinsip universal keagamaan yang diterjemahkan dalam ruang dan waktu tertentu melawan kolonialisme. Jamaah Tabligh di India menarik untuk dikaji mengingat gerakan JT yang cukup unik dalam merespon kolonialisme Inggris di tengah modernisme. JT justru memahami modernisme sebagai gerakan "menghidupkan kembali" hadis dan tradisi masa lalu. Cara Pandang JT yang seperti menginisiasi Metcalf untuk menyatakan bahwa sejarah bukanlah sekedar cerita masa lalu, melainkan praktik yang hidup saat ini. Islam yang
55 Jonathan A.C. Brown, "Even If It's Not True It's True: Using Unreliable H}adi>ths in Sunni Islam," dalam Journal of Islamic Law and Society, 18 (2011), koninklijke Brill NV, Leiden, pp. 1-52.
56 Selengkapnya, lihat Jonathan A.C. Brown, The Canonization of al-Bukha>ri> and Muslim: The Formation and Function of the Sunni> H{adi>th Canon (Leiden-Boston: BRILL, 2007)
57 Barbara D. Metcalf adalah seorang Guru Besar Ilmu Sejarah di University of California, Davis. Dalam penelitiannya ini, dia ingin menunjukkan sejarah munculnya gerakan Tabligh di India. Selama sekitar dua tahun, dia mengadakan
penelitian ini dengan mengadakan kegiatan wawancara terlibat (interview in-depth) dengan para anggota Jama'ah Tabli>gh (JT) di India, dan Pakistan, pada 1990 dan kemudian dilanjutkan hingga ke Inggris pada tahun berikutnya. Dalam penulisan artikel ini, Metcalf juga banyak terbantu oleh tiga workshop yang dia gunakan sebagai media pengujian analisis berbasis Focus Group Discussion (FGD), yaitu: [1] Workshop tentang Tablighi> Jama'a>t yang diselenggarakan oleh the Joint Committee on the Comparative Study of Muslim Societies of the Social Science Research Council/American Council of Learned Societies (bertindak ketua sidang: James Piscatori) di the Royal Commonwealth Society, London, pada Juni 1990; [2] Making Space for Islam yang juga diselenggarakan oleh panitia yang sama, di the Center for Middle East Studies, Harvard University, November 1990; dan [3] Local Interpretations of Islamic Scripture in the Twentieth Century (bertindak sebagai ketua sidang: John Bowen), di Washington University, St. Louis, pada 31 Mei-1 Juni 1991.
ditampilkan oleh JT di India pada periode kolonialisme itulah sebenarnya "Islam masa lalu" yang oleh banyak orang telah disebut-sebut sebagai sejarah.
Untuk dapat sampai pada pandangan itu, JT menggunakan hadis sebagai media untuk menghidupkan Islam. Islam bukanlah sejarah, melainkan agama yang hidup. Islam bukanlah sekadar tradisi yang terdokumentasikan dalam bingkai teks hadis, melainkan praktik yang selalu hidup sepanjang masa dan tanpa batas area, apalagi usia.
Dalam penelitiannya ini, Metcalf mengeksplorasi isu-isu tersebut dalam kaitanya dengan kumpulan pamflet atau selebaran (risa>lah) khususnya yang penting dalam kegiatan tabligh. Seluruh teks tersebut ditulis oleh Maulana Muhammad Zakariya Kandahlawi (1898- 1982) pada rentang waktu antara 1928-1940.
Kesimpulan Metcalf ini senada dengan kesimpulan Howard M. Federspiel dalam jurnal yang berjudul "The Usage of Tradition of The Prophet in Contemporary Indonesia" 58 juga menegaskan bahwa penggunaan literatur hadis di Indonesia kontemporer adalah untuk beberapa misi, mulai dari misi keagamaan hingga politik. Federspiel membagi periodisasi kajian hadis di Indonesia menjadi dua, pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Literatur hadis yang muncul pada pra kemerdekaan, atau lebih tepatnya pada awal paruh pertama abad
20, masih sepenuhnya berbahasa Arab. Literatur yang digunakan juga masih cenderung mengimpor dari luar, karya-karya yang ditulis oleh para ulama Islam jauh sebelum abad 20an. Semua liteatur yang digunakan sebagai handbook adalah berbahasa Arab. Hal ini menunjukkan bahwa belajar Islam adalah belajar bahasa Arab, dan karena itu islamisasi pada saat itu pada dasarnya mirip dengan Arabisasi.
Menjelang kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1920-30an muncul kesadaran para tokoh bahwa penggunaan bahasa daerah adalah media yang paling efektif untuk dakwah Islam. Penerjemahan teks-teks keislaman pun dimulai pada tahun ini, dan semua ditulis dengan aksara latin (Roman) dan dalam bahasa lokal. Hanya saja, pada tahun ini terjemahan hadis masih sangat minim, karena para tokoh tampak lebih disibukkan dengan urusan dakwah Islam (islamic propagation). Inilah masa-masa Islam Indonesia mulai menemukan identitasnya. Selanjutnya, pascakemerdekaan kajian hadis menjadi lebih banyak dilakukan, khususnya di dalam lembaga-lembaga pendidikan, formal maupun non formal. Upaya-upaya intelektual pun mulai dilakukan dan tentunya sangat berpengaruh terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, hadis pun mulai digunakan untuk propaganda politik.
Melalui penelitiannya ini, Federspiel menyangsikan penyebutan bahwa kajian hadis di Indonesia selama abad ke-20 pernah menikmati renaisans sederhana, mempertahankan posisi sakralnya di mata muslim Indonesia sendiri, bahkan juga digunakan untuk oleh para intelektual-reformis muslim untuk melandasi karya-karya mereka dalam rangka memperkuat identitas masing-masing. Pada saat yang sama, akhir abad ke-20 juga tampak adanya asumsi bahwa hadis masih dianggap kurang penting di kalangan intelektual sebagai sumber konstruksi konseptual yang sebagian besar hanya merujuk pada al-Quran. Sementara hadis, masih dianggap sebagai sebatas bahan rujukan perilaku dan pembangunan masyarakat sipil
yang mempertahankan nilai-nilai luhur. 59
Asma Asfaruddin, dalam jurnal yang berjudul "The Excellences of the Qur' ān: Textual Sacrality and the Organization of Early Islamic Society" menyatakan bahwa Hadis Nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam yang utama dijadikan sebagai alat propagasi sebuah gerakan sosial keagamaan. Hadis-hadis yang berkenaan dengan keutamaan (fad}a>'il atau mana>qib) suatu generasi, sesosok orang, maupun keutamaan al-Quran membuat para ahli
58 Howard Federspiel, The Usage of Traditions of the Prophet in Contemporary Indonesia (Arizona: Program for Southeast Asian Studies, Arizona State University, 1993).
59 Howard Federspiel, "Hadith Literature in Twentieth Century Indonesia," dalam Oriente Moderno, Nuova Serie, Anno 21 (82), Nr. 1, Hadith in Modern Islam (2002), diterbitkan oleh Instituto per l'Oriente C.A. Nallino, pp. 115-124.
hadis harus bergerak secara massif untuk menghadapi para qurra>', warra>q, dan dan para praktisi profesional keilmuan islam lain, seperti ahli nah}w.
Kajiannya tentang penggunaan riwayat-riwayat fad}a>'il al- a‘ma>l menegaskan suatu konsep sakralitas yang lahir dari sebuah otoritas keagamaan yang suci, dalam hal ini adalah Hadis Nabi. 60 Asfaruddin melakukan penelusuran terhadap enam kitab Fad{a>’il al-Qur’an, 61 yang lima di antaranya merupakan representasi dari karya Sunni dan satu lagi merepresentasikan tr adisi Shi>‘ah. Selanjutnya Asfaruddin mengaikan literatur fad}a>'il al- Qur'a>n tersebut kepada gerakan keagamaan dengan cara memosisikannya dalam tiga paradigma sosiologi; fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial.
Melalui paradigma fakta sosial, Asfaruddin mengungkap suatu tindakan reaktif yang dilakukan oleh orang-orang salih (pious) melalui riwayat-riwayat fad}a>'il al-Qur'a>n terhadap para pratisi profesional keilmuan Islam, seperti ahli Nah}wu dan Qurra>'). Sedangkan melalui paradigma definisi sosial, ia mengungkap suatu definisi atau perilaku sosial tersebut sehingga dapat menjadi sebuah pergerakan yang massif. Sementara itu dari perspektif paradigma perilaku sosial, ia mengungkap bahwa otoritas transfer al-Qur ’an secara oral berhadapan dengan otoritas transfer al- Qur’an secara tulisan. Hasilnya, generasi muslim pertama telah banyak menggunakan literatur-literatur keutamaan dan sakralitas al-Quran untuk melancarkan suatu pergerakan yang bahkan juga untuk menghadapi komunitas yang sama-sama menggunakan al-Quran sebagai pijakannya.
Yassin Dutton, dalam bukunya, The Origins of Islamic Law: The Qur'an, The Muwat}t}a' and Madinan Amal, menawarkan sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum dan yurisprudensi Islam sudah muncul dalam al-Muwat}t}a', salah satu karya tertua tentang hukum Islam dan masih lestari hingga kini. Penelitian Dutton ini fokus pada analisis metode Imam Malik bin Anas (179 H/795 M) dalam menggali hukum Islam dari al-Quran dan faktor-faktor yang mempengaruhi aplikasi metode tersebut. Melalui basis metodologi Imam Malik ini, Dutton berhasil merekonstruksi awal mula kesejarahan hukum Islam di Madinah.
Langkah teknis kajian Dutton ini terbagi dalam tiga alur, yaitu pertama tentang background Madinah. Kedua mengenai penggunaan al-Quran dalam al-Muwat}t}a' , dan ketiga adalah mengenai implikasi metode Imam Malik dalam memahami al-Quran. Pada bagian pertama Dutton ingin menunjukkan betapa al-Muwat}t}a' menjadi kitab pedoman dan rujukan utama hukum Islam bagi penduduk Madinah. Pada bagian kedua, Dutton membantah pendapat Norman Calder yang menyatakan bahwa al-Muwat}t}a' dikompilasikan di Cordova setelah Imam Malik wafat. Menurutnya, al-Muwat}t}a' disusun dan ditulis sendiri oleh Imam Malik pada tahun 150 H, dan hanya mengalami sedikit perubahan setelah beliau meninggal. Di sini, Dutton juga mengeksplorasi alasan penyusunan al-Muwat}t}a'. Sementara itu, bagian terakhir, ia gunakan untuk mengeksplorasi konsep ‘amal (praktik) Madinah yang memiliki peran sangat penting dalam kesarjanaan Malik.
Berdasarkan kajiannya ini, Dutton menegaskan sebuah statemen yang menjadi kesimpulannya bahwa hukum Islam sudah ada jauh sebelum tahun 150 H, yang digali dari al- Quran dan tradisi turun temurun di Madinah, dengan beberapa revisi yang dilakukan melalui proses ijtihad. Kesimpulan Dutton ini membantah pendapat Joseph Schacht, Patricia Crone, dan John Wansbrough yang menyatakan bahwa al-Quran hanya memiliki peran yang sangat kecil bagi berlangsungnya hukum Islam. Bagi Dutton, justru al-Quran memiliki peran yang
60 Asma Afsaruddin , “The Excellences of the Qur ʾān: Textual Sacrality and the Organization of Early Islamic Society ” Journal of the American Oriental Society, Vol. 122, No. 1 (Jan.-Mar., 2002): 8-10.
http://www.jstor.org/stable/3087649. 61 Enam kitab tersebut adalah:1.) Fad{a>’il al-Qur’an karyaAbu> ‘Ubayd al-Qa>sim bin Sala>m al-Harawi> (awal abad ke 3
H); 2.) Fad{a>’il al-Qur’a>n karya Ibn al-D{urays (akhir abad ke 3 H); 3.) Fad{a>’il al-Qur’an karya al-Nasa>’i (akhir abad ke 3 H); 4.) Kita>b Fad{a>’il al-Qur’an wa tila>watih karya al-Ra>zi ; 5.) Fad{a>’il al-Qur’an karya Ibn Kathi>r (abad ke 8 H); 6.)Kita>b Fadl al- Qur’a>n bagian dari kumpulan kitab hadith al-Ka>fi> karya al-Kulayni. Lihat: Asma Afsaruddin, “The Excellences of the Qur' ān: Textual Sacrality and the Organization of Early Islamic Society”, 5-6.
sangat besar. Demikian juga dnegan sunnah Nabi yang tak lain adalah perwujudan hidup dari al-Quran. Selanjutnya sunnah Nabi itu diwarisi secara turun-temurun dalam tradisi Madinah. Dengan demikian, sunnah di Madinah saat itu lebih banyak ditransmisikan dalam bentuk praktik.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, Dutton telah menunjukkan bahwa hadis memiliki peran penting bagi pembentukan dan perkembangan hukum dan yurisprudensi Islam. Hadis memiliki peran penting dalam kehidupan sosial, dan melahirkan sebuah tradisi Madinah. Dalam hal ini, fungsi hadis adalah memediasi antara ajaran al-Quran dengan berlangsungnya tradisi yang hidup di Madinah. Dengan demikian, tradisi Madinah adalah tradisi al-Quran yang lahir melalui sunnah Nabi. Bahkan ia juga menyatakan bahwa kebenaran (agama) diambil secara langsung dari praktik hidup di masyarakat yang menjadi
basis hukum Islam. 62
Sementara itu, Ahmad Haris dalam disertasinya yang berjudul "Innovation and Tradition in Islam: A Study on Bid’ah as an Interpretation of Religion in Indonesia" 63 juga menegaskan bahwa Praktik yang seringkali diklaim Bidah di pada dasarnya adalah hasil ijtihad, dan karena itu pasti berlandaskan pada al-Quran dan Sunnah. Dengan demikian, tidak ada yang dinamakan bidah dalam tradisi keagamaan di Indonesia. Praktik yang sering disebut bidah itu telah berlangsung lama di Indonesia. Bahkan, praktik ini seajalan dengan proses islamisasi yang damai di Indonesia.
Disertasi Haris ini menunjukkan bahwa hadis memiliki peran penting dalam pembentukan tradisi muslim di manapun. Di Indonesia yang menjadi objek penelitiannya, praktik-praktik yang seringkali dinilai tidak bersumber dari Nabi, ternyata memiliki akar yang kuat dalam tradisi kenabian. Hanya saja, memang tidak sama persis dengan praktik yang terekam dalam teks-teks hadis. Hal ini karena masyarakat muslim Indonesia melakukan penafsiran sedemikian rupa terhadap al-Quran dan hadis, lalu memadukannya dengan praktik
yang sudah berlangsung di Indonesia. 64
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, pendapat Haris menguatkan asumsi penulis bahwa ahli hadis tidak selamanya tekstualis, radikal, fundamentalis, dan intoleran terhadap tradisi-tradisi lokal yang disinyalir bukan berasal dari hadis Nabi. Justru ahli hadis di Indonesia memiliki karakter yang sangat mengindonesia, dan bukan mengarabisasi.
Kajian Haris ini mendukung penelitian Mark R. Woodward tentang pengetahuan tekstual dan bentuk ritual di Jawa Tengah. Woodward menegaskan bahwa peanfsiran mistis terhadap teks-teks keagamaan dapat digunakan sebagai paradigma devosionalisme, tatanan dan kehidupan sosial. Dia menyatakan bahwa Islam Jawa kontemporer harus dipahami sebagai Islam yang orisinal berdasarkan teori univeraslisme dan esensialisme agama. Tradisi slametan yang ada di Jawa misalnya, pada dasarnya adalah praktik Sunnah Nabi yang
dipahami secara kultural. 65 Dengan kesimpulannya ini, Woodward bahkan dengan tegas menolak tesis Geertz yang menyangsikan orisinalitas Islam Jawa. Woodward dengan berpedoman pada tesis Hodgson, menyatakan bahwa Islam Jawa adalah Islam yang orisinal,
62 The di>n was took directly from people's action, on trust, i.e. "living tradition' which formed the basis of Islamic law. Lihat dalam Yasin Dutton, The Origins of Islamic Law: The Qur’a>n, The Muwat}t}a’, and The Medinan ‘Amal (Richmond,
Surrey: Curzon Press, 1999). Lihat juga dalam literatur review yang dibuat oleh Harald Motzki dalam Journal of Law and Religion, vol. 15, No.1/2 (2000-2001), pp. 369-373. Lihat juga review yang disusun oleh Andrew Rippin dalam Bulletin of School of Oriental and African Studies, University of London, vol. 63, No. 2 (2000), pp. 291-293.
63 Disertasi ini telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam Inovatif: Eksposisi Bid'ah dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007)
64 Lihat Ahmad Haris, Islam Inovatif: Eksposisi Bid'ah dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007). 65 Lihat Mark R. Woodward, "The 'Slametan': Textual Knowledge and Ritual Performance in Central Javanese Islam, dalam History of Religions, Vol. 28, No. 1 (Aug., 1988), The University of Chicago Press, pp. 54-89. Baca juga karya Woodward, "Textual Exegesis as Social Commentary: Religious, Social, and Political Meanings of Indonesian Translations of Arabic Hadith Texts," dalam The Journal of Asian Studies, Vol. 52, No. 3 (Aug., 1993), Association for Asian Studies, pp. 565-583.
bukan hanya Islamnya kaum santri, melainkan juga Islamnya orang kejawen (kebatinan Jawa) juga orisinal. Keislaman mereka merupakan hasil penafsiran mereka secara
substansialis terhadap teks-teks keagamaan. 66
Muhammad al-Ghaza>li> dalam buku al-Sunnah al-Nabawi>yah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-H{adi>th, menegaskan bahwa literalisme ahli hadis terjadi karena ahli hadis tidak terdidik sebagai ahli hukum. Karena itu, mereka menjadi sangat fundamentalis. 67 Berbeda dengan Ali Mustafa Yaqub yang menegaskan bahwa ahli hadis justru sangat mengerti tentang hukum dan karena itu semestinya ahli hadis tidak bersikap fundamentaslis-sektarian. 68 Jika kedua karya ini dibaca begitu saja, tentu akan menuai kontradiksi yang mencolok. Istilah ahli hadis yang digunakan oleh al-Ghaza>li> bukanlah ahli hadis konvensional sebagaimana yang dimaksud oleh Yaqub. Al-Ghaza>li> menggunakan istilah tersebut semata-mata diarahkan
kepada kelompok salafi-wahabi yang juga dikenal dengan neo-ahli hadis. 69 Khaled Abou El-Fadl juga mengafirmasi pendapat al-Ghaza>li> mengenai fenomena ini. Menurutnya, Ahli hadis kurang adaptif terhadap hal-hal yang bersifat kultural. Menurut mereka, kebenaran adalah sangat tekstual dan bukan kultural. Seandainya ahli hadis sangat menekuni bidang hukum Islam, tentu mereka akan memegang kaidah "al- ‘a>dah muh{akkamah," sehingga dapat lebih toleran dan adaptif terhadap tradisi lokal serta tidak fundamentalis. Namun, kenyataannya mereka tidak terlalu tertarik dengan kaidah tersebut
dan bersikeras dengan prinsip, "man ah}datha fi> amrina> ma> lays minhu fa huwa raddun." 70 Kedua, dari sisi metodologi, penelitian seputar tekstualisme dalam kajian ilmu-ilmu sosial pernah dilakukan oleh Walter J. Ong dalam Orality and Literacy (2002). Dalam bukunya itu, Ong mengungkap beberapa fenomena perubahan yang sangat besar dalam proses pembentukan ide-ide dan gagasan, perosnalitas, dan juga struktur sosial. Ia menyorot tahap demi tahap sejarah perkembangan tradisi lisan (speech), tulisan (writing), dan cetak (print). Semua itu sangat besar pengaruhnya dalam perubahan pola pikir, karakter kepribadian, dan juga struktur sosial. Lebih jauh, Ong juga memproyeksikan analisisnya kepada sejarah media komunikasi massa berbasis elektorik. Dari analisis tersebut, Ong kemudian mengeksplorasi perbedaan yang paling prinsip antara tradisi oral (oral culture) dan tulisan (literate cultures). Kajian tersebut menghasilkan sebuah tawaran terkait dengan rekam jejak intelektual, literasi dan juga dampak sosial tradisi tulis dan digital. Ia juga menawarkan sebuah telaah yang sangat mendalam terhadap jenis tradisi oral dalam berbagai lintasan ruang dan waktu. Kajian seperti itu juga ia gunakan untuk menguji kebangkitan dan perkembangan pemikiran filosofis-saintifik. Dari kajiannya itu, Ong meyakini bahwa dampak dari studi terhadap oralitas dan literasi (orality-literacy studies) tidak hanya tampak dalam kritisisme sastra yang sangat teoritis, melainkan juga dalam pemahaman yang sangat
mendalam terkait tujuan hidup sebagai manusia, serta kesadaran diri dan bersama. 71 Di sinilah studi Ong sangat berguna bagi penelitian ini, terutama dalam hal pembentukan pola keagamaan yang dilahirkan dari sebuah teks. Signifikansi studi Ong adalah sebagai pijakan teoritis bahwa hadis yang diajarkan di Indonesia, sebagaimana di berbagai negara lain, tidak lepas dari perubahan tradisi dan budaya. Teknologi pengajaran hadis dari yang paling sederhana, yaitu secara lisan hingga tulisan dan digital, memiliki
66 Selengkapnya mengenai hal ini, baca Mark R. Woodward, Islam Jawa; Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (Yogyakarta: LkiS, cet. 5, 2012).
67 Selengkapnya, lihat Muhammad al-Ghaza>li>, al-Sunnah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-H{adi>th (Beirut: Da>r al-Shuru>q, 1989)
68 Selengkapnya, baca Ali Mustafa Yaqub, Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999)
69 Mengenai hal ini, lihat Khaled Abou el-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi, 2006), 111. 70 Lihat Abou El-Fadl, Selamatkan Islam, 112. 71 Walter J. Ong, Orality and Literacy: The Technologizing of the Word (London-New York: Reutledge, 2002).
dampak yang besar dalam hal formulasi kebudayaan, personalitas, dan juga struktur sosial muslim Indonesia.
Ketiga, dari sisi kasus yang dijadikan sebagai objek penelitian. Penelitian ini fokus pada ormas Islam di Indonesia yang memiliki semangat menggunakan hadis Nabi. Perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa penelitian ini hendak menyorot sisi tekstualisme yang ada pada setiap gerakan keagamaan, bukan mengkaji tentang gerakan keagamaannya. Dengan demikian kajian etnografis yang dilakukan adalah fokus pada sisi tekstualismenya. Sedangkan mengenai pola keagamaannya, telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Deliar Noer dan Azyumardi Azra.
Noer (1982) melakukan kajian tentang perkembangan gerakan keagamaan di Indonesia, khususnya gerakan modernis muslim yang muncul pada kisaran tahun 1900-1942. Menurutnya, gerakan keagamaan di Indonesia sangat beragama visi dan misinya. Ada yang lahir karena kecemasannya terhadap fenomena sosio-religi umat Islam di Indonesia. Ada pula yang muncul karena adanya tekanan dari kolonial Belanda, hingga lahir sebagai respon dari perpolitikan di Indonesia. Pada dasarnya, semua adalah lahir dalam rangka modernisasi,
meski dalam bentuk yang berbeda-beda. 72 Sementara itu, Azyumardi Azra menegaskan bahwa pembaruan Islam di Indonesia dipelopori oleh para ahli hadis dan sufi yang memiliki jaringan sangat kuat dengan otoritas keilmuan Islam di Timur-Tengah. Kesimpulan tersebut menjadi dasar pijakan bahwa gerakan ahli hadis turut berperan penting dalam formulasi
kebudayaan muslim Indonesia. 73
Sebagai seorang pengamat sosial keagamaan, Noer tampak tidak secara spesifik melihat peran hadis dalam gerakan tersebut. Ia juga tidak memfokuskan kajiannya pada bagaimana masing-masing ormas memahami dan menggunakan hadis Nabi. Penelitian ini akan melengkapi kajian Noer dengan mengangkat tema seputar sakralitas hadis Nabi dalam kaitannya dengan karakter sebuah pergerakan.
Sementara itu, dengan mengangkat kasus penggunaan hadis-hadis Nabi dalam konteks sosial Indonesia pasca orde baru, penelitian ini hendak menegaskan bahwa tekstualitas dan pengkultusan terhadap teks suci dalam batas-batas tertentu memang dapat menggiring seseorang menjadi toleran, baik terhadap sesama muslim, sesama manusia, maupun terhadap tradisi-tradisi baru. Dengan ketentuan bahwa tekstualitas yang dimaksud harus didukung oleh inklusifisme. Seorang ahli hadis dapat saja fanatik terhadap hadisnya, namun ia akan tetap menghargai nilai-nilai tradisi dan budaya lokalnya jika memiliki paradigma inklusifisme. Dengan demikian, seorang ahli hadis tidak selamanya berwajah kaku, keras, sektarian, transnasional, radikal, dan tekstualis-eksklusif.