NALAR TEKSTUAL AHLI HADIS SINOPSIS DISER
SINOPSIS DISERTASI
Diajukan sebagai syarat melaksanakan ujian terbuka untuk meraih gelar Doktor (Dr.) Pengkajian Islam dalam Bidang Hadis dan Tradisi Kenabian
Oleh
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah
NIM: 13.3.00.1.39.01.0035
Promotor
Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawwar, MA. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA.
PROGRAM DOKTOR SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M
ABSTRAK
Disertasi ini berkesimpulan bahwa tekstualisme pemahaman hadis dapat membentuk pola keagamaan yang kultural dan moderat selama dilakukan secara holistik dan proporsional. Pemahaman tekstualisme yang holistik dapat dilakukan dengan prinsip athari>, tidak terlalu fokus pada satu kata kunci. Sedangkan proporsionalitas dapat dilakukan dengan memperlakukan masing-masing teks secara sama sesuai dengan pembawaan (struktur dan indikasi-indikasi tekstual yang menyertai)nya. Hadis Nabi yang dipahami dan digunakan secara proporsional akan membentuk paradigma keagamaan yang inklusif. Sebaliknya, teks hadis yang digunakan secara parsial justru dapat mendisfungsikan teks hadis yang lain, apalagi teks-teks budaya yang disinyalir tidak bersumber dari tradisi kenabian.
Kesimpulan ini senada dengan temuan Adis Duderija yang menyatakan bahwa Ahlussuunnah wal jamaah lahir dari sikap tekstualisme terhadap hadis dan selanjutnya menjadi sebuah gerakan mainstrim yang eksklusif. Jonathan Brown juga menegaskan bahwa tekstualisme hadis memicu gerakan puritanisme. Sedangkan Metcalf menyatakan bahwa tekstualisme hadis yang dilakukan oleh Jamaah Tabligh berhasil melawan kolonialisme. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Yasin Dutton yang menegaskan bahwa tekstualisme (teks) tradisi memicu eksklusifisme, sehingga tidak menerima tradisi luar. Bahkan, teks tradisi Madinah menjadi tolok ukur diterimanya tradisi lain. Haris juga menyatakan bahwa praktik bidah merupakan hasil ijtihad yang memadukan antara teks dengan tradisi lokal. Hanya saja, kesimpulan disertasi ini berbeda dari beberapa proporsi tersebut, terutama dalam hal penggunaan tekstualisme untuk memahami teks suci. Jika tekstualisme disebut sebagai pemicu fundamentalisme, bahkan radikalisme, maka disertasi ini juga menawarkan tekstualisme sebagai langkah taktis-praktis upaya deradikalisasi pemahaman keagamaan.
Pada saat yang sama, disertasi ini berbeda dari kesimpulan Federspiel bahwa sakralisasi teks Arab dalam kajian hadis di Indonesia cenderung mengarah kepada Arabisasi (eksklusif). Sementara kesimpulan disertasi ini menunjukkan bahwa meski kajian hadis di Indonesia lebih banyak berbahasa Arab, nuansa tradisi lokal justru tetap lebih kental dan dominan (inklusif). Ini juga berbeda dari Nasaruddin yang menyatakan radikalisme muncul dari tekstualisme, sehingga ia menawarkan pendekatan maqa>s}|id untuk program deradikalisasi. Sementera itu, disertasi ini membuktikan bahwa tekstualisme pun merupakan basis deradikalisasi.
Sumber utama penelitian ini adalah teks-teks hadis yang populer di Indonesia pasca orde baru, namun teks-teks pra orde baru, khususnya pra kemerdekaan, juga sangat penting untuk digali informasinya. Data dikumpulkan melalui kajian pustaka dan dokumentasi hasil pengamatan di lapangan. Survey kurikulum, teks-teks khutbah, modul dan diktat kajian hadis dalam lembaga formal maupun non formal juga sangat berguna dalam penelitian ini. Melalui analisis sosio-historis, penelitian ini hendak menunjukkan beberapa hal penting yang baru, yaitu: kajian hadis di Indonesia pra kemerdekaan bersifat praktis dan esensialis- substantif serta berorientasi pada dorongan berjihad. Sedangkan pasca kemerdekaan, kajian hadis diorientasikan pada pembentukan sebuah bangsa, hingga pada masa orde baru, kajian pribumisasi Islam sangat mendominasi. Pada saat yang sama, sakralisasi teks hadis juga muncul dan membentuk gerakan puritanisme. Selanjutnya, pada masa pasca orde baru, kajian hadis menjadi semakin massif, ada yang bercorak tekstualis dan tidak sedikit pula yang integratif. [AUH]
ABSTRACT
This dissertation concludes that textual understanding of the hadith can form a cultural and moderate religious pattern as long as it is done holistically and proportionately. A holistic understanding of textualism can be done with the principle of athari> manhaj, not focusing too much on a single keyword. While proportionality can be done by treating each text equally in accordance with the structure and textual indications that exist. The prophetic Hadiths that are understood and used proportionately will form an inclusive religious paradigm. Conversely, the text of hadith that is used partially can actually degrade the text of another hadith, let alone cultural texts that are allegedly not derived from the tradition of prophethood.
It supports the conclusion of Adis Duderija which states that Ahlussuunnah wal jamaah was born from textualism attitude towards hadith and then become an exclusive mainstrim movement. Jonathan A.C Brown also asserted that the textualism of hadith triggered the movement of puritanism. While Barbara D. Metcalf states that the textualism of the traditions conducted by Jamaah Tabligh succeeded against colonialism. The same is pointed out by Yasin Dutton who asserted that textualism (text) of tradition triggers exclusiveness, thus not accepting outside traditions. In fact, the texts of the Medina tradition became the benchmark for the acceptance of other traditions. Ahmad Haris also stated that the practice of heresy is the result of ijtihad that combines text with local traditions. Only, the conclusion of this dissertation differs from some of these proportions, especially in terms of the use of textualism to understand the sacred text. If textualism is touted as a trigger of fundamentalism, even radicalism, then this dissertation also offers textualism as a tactical- practical step of deradicalizing religious understanding.
At the same time, this dissertation differs from the Federspiel's conclusion that the sacralization of Arabic texts in the study of hadith in Indonesia tends to lead to Arabization (exclusively). While the conclusion of this dissertation shows that although the study of hadith in Indonesia more Arabic speaking, local traditions feel it remains more viscous and dominant (inclusive). It is also different from Nasaruddin Umar which expresses the arising of radicalism from textualism, so he offers a maqa>s}id approach for deradicalization program. In the meantime, this dissertation proves that textualism is the good basis of deradicalization.
The main source of this research is the texts of hadith that are popular in Indonesia after the new order, but the pre-New Order texts, especially pre-independence, are also very important to extract the information. Data were collected through literature review and field observation documentation. Survey curriculum, khutbah texts, modules and dictates of hadith studies in a formal and non formal institutions are also very useful in this study. Through the socio-historical analysis, this research shows some important new things, i.e.: the study of hadiths in pre-independence Indonesia is practical and essential-substantive and is oriented to the drive of jihad against colonialism. While post-independence, the study of hadith is oriented to the formation of a nation, until in the new order, the study of Islamic indigenization is dominating. At the same time, the sacralization of the hadith texts also emerged and formed a movement of puritanism. Furthermore, in the post-New Order era, the study of hadith became more massive, there is a patterned textual and not a few are integrative. [AUH]
صّخلما
يف ث يي ط نأ ه ت لي ا ني ) textualism ( يص لا ل علا أ ح رطأا ه ت سا مأ . رثأا ج ل ب ل ع م ي ثي حلا م ف يف يل لا يه ي ل ف . بس م يك لب هع اخ ل عم ص ن ل ف . عب
عب ي ي ا يغ ي ا ءا س ح ع ي ي حلا ص لا عي ج عإب كل م يف ي س لا ،كل نم اب . لم لا ي ي لا لا لي فس بس م ل ب ي لا ثي حأ ب خأ ف .ه ك ش ع
عم تسيل نأ مع ي ي لا يف لا ص لا نع كيه ن ،رخآ ثي ح ضعب ليطعت ني يئ ج ثي حل ب خأ ف . يئ ج ي ي ط ن ل يف ي لا سلا نم سم سلا لهأ قرف أ ل اري م ) Adis Duderija ( يري سي أ ه سا م مع ت ير لا ه كأ ك . ) exclusve ( يرصح ري ك كرح حا ح صأ ي ير لا ل علا لب يص لا ل علا نم لت ع لا غلا ن لا تم لا كرح ي يص لا ل علا أ) Jonathan A.C. Brown ( ارب في ك نأ ث ن ج ب ت ي لا يص لا يل لا أ) Barbara D. Metcalf ( فل يم يلا ارب ب رك نيح يف . ني لا يف Yassin ( ت نيس ي يأ هس ن كل أ ك . ع ساا ض ف ست ب غي لا عج كرح لي ا ، ي ي لا فقا لا يف ر لا ق طي ي لا ل هأ نيب رج لا ي لا يص لا ل علا أ اكم) Dutton
. رخأا يل ل عجرم يض ق ا يعم
ت لا ي لا لهأ عأ صن لب . يج خ يت أ يف ج م ه ك — عَ لا ي ي لا يل لا يف لصأا أ يأ ) Ahmad Haris ( سي ه حأ ق
ه جئ ن إف ،كل عم . ي ح لا يل لا يعر لا
ص لا نيب علبمي لا جاا ه — يسين ن ، س لا ص لا م ل يص لا ل علا ا سا ثيح نم صخ ،بس لا ه نم ضعب نع فت ح رطأا ) fundamentalism ( يل صأا كرح ل م م هن ب ع يص لا ل علا فص ا إف . سلا
لا يه اأ ي ي لا فرط لا جا ييت سم يص لا ل علا ي أ حار ق ب كأ ت ح رطأا ه إف ، يل ي ارلا لب . ي ي لا ميه لا نم ه حف م لي ي يف
كا ي ع ج سا ضعب نم م ح رطأا ه إف ،هس ن تق لا يف ي يسين ن يف
لا ثي حلا سا يف يبرعلا ص لا سي ت أ ل اري م ) Federspiel ( يف ثي حلا سا نم مغرلا ع هنأ ني ي ل سرلا ه خ يب .) exclusive / يرصح ( بيرع لا ل ي ني س لا ن ي نأ ع يه جل ر كأ ات ا ي ح لا يل لا إف ر كأ يبرعلا قا لا رع ي يسين ن Nasaruddin ( رع ني لا رصن رك ع ح رطأا ه ت خا ك .) inclusive /ض ( نييسين نإا يصنا
ت ي لا
م ق هن ح ، يعر لا ص ل ي لا م لا يص لا ل علا نم أ ن ي ي لا فرط لا أ ) Umar
ت ثأ ،كل عم .ي ي لا فرط لا جا جم نر ل يس
عب ي لا يص لا ل علا نع ب ين ي ص م ا ع . يصأا ي ي لا ميه لا نم هث جا ي ي لا فرط لا حف ل سأ يص لا ل علا أ ح رطأا ه
pasca orde ( ي لا لا عب م يف يسين نإا ي ع لا يل لا صن نم يسيئ ثح لا اه صت ع صح ل اج م ر عت ، ا ساا لق م يس ا ، ي لا لا لق م صن نل ،) baru
. ينا ي لا حا لا نم قئ ث لا يب أا عجارم اخ نم ن ي لا عج مت ق . جر س لا م ع لا ي عش يع ل عب لا يماسإا ه ع لا ضعب يف ع لا ي لا ثي حأل يسا لا جه لا ع اطاا يأ ه ي سرلا ريغ ي سرلا سس لا يف ثي حلا سا اح ،بط لا صن ، يسين ن ي ي ، م لا ي لا ء يشأا ظ سا لا ه اأ ،ي ي لا يع جاا لي ح لا اخ نف . ر ي اف اج يم
ل ج م يع ض م يره ج ي ي طت يع
ت يسين نا ا سا لق م يف ثي حلا سا : م ، ل لا مق حن جم ن ، ا ساا عب م حرم أ نيح يف . ع ساا ض يلا ساا
لا ثح . لا ل هأ ل اسإا نيط ت سا لا ف ست مث ، ي لا ل ب سي م ا سا رصع ل كل ر سا
صن سي ت ري ك ،تق لا سن يف ، يا م حن ع ط لا عسا ثي حلا سا تح صأ ،) reformasi /يحاصإا رصعلا( ي لا
م رصع يف ،كل ع اع . ين ي لا كرحلا ل ي ثي حلا
لا عب ) . .أ( .يمت ك م م يصن ك م ف
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur tersanjung hanya bagi Allah SWT, yang dengan taufîq-Nya penelitian berjudul “Nalar Tekstual Ahli Hadis: Studi Kasus Ormas Modernis dan Tradisionalis Islam di Indonesia" ini dapat diselesaikan. Demikian juga, salawat serta salam semoga selalu tercurahkan untuk Rasulullah saw, yang ajarannya tak kan pernah lekang ditelan zaman.
Sebagai karya tulis seorang hamba yang lemah, tentunya di dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau menelaahnya dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini.
Penelitian ini merupakan wujud kepedulian dan rasa keingintahuan penulis terhadap beberapa masalah yang kelihatannya sepele, namun memiliki pengaruh yang begitu besar dalam bidang hadis. Penulis juga menyadari bahwa penelitian ini tak luput dari jasa lembaga dan orang-orang tertentu yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materiil. Atas segala bantuan tersebut penulis sampaikan banyak terima kasih; khususnya kepada:
1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor dan Mantan Rektor); Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA. dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, (Direktur dan Mantan Direktur Sekolah Pascasarjana); Prof. Dr. Didin Saefuddin, MA. dan Prof. Dr. Suwito, MA (Katua dan Mantan Ketua Program Doktor); Dr. JM. Muslimin, MA. dan Dr. Yusuf Rahman, MA (Ketua dan Mantan Ketua Program Magister). Jaza>kumulla>h ah}san al-jaza>' wa- nafa‘ana> bi ‘ulu>mikum.
2. Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawwar, MA. dan Prof. Dr. Sukron Kamil, MA. selaku promotor disertasi yang dengan sabar memberikan masukan dan pencerahan kepada penulis. Fa-jaza>kumalla>h wa- matta‘ana> Allahu bi-‘ulu>mikuma>.
3. Para dosen yang telah banyak mengarahkan dan memberikan masukan, serta menjadi pembaca ahli mendiskusikan penulisan disertasi ini, khususnya kepada Dr. Suparto, M.Ed., Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, MA., Prof. Dr. Murodi, MA., Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA., Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan, MA., dan Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA. Matta‘ana> Alla>h bi ‘ulu>mikum wa nafa‘ana> biha>, fa jazakumulla>h ah}san al- jaza>’.
4. Kha>dim Ma’had Darus-Sunnah, baik yang sa>biqan: Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. (Allah yaghfir wa yarh}amuh) yang kerap kali menanyai penulis, “mata> al- muna>qashah?” dan selalu berpesan, “La> tarji‘ illa> wa qad h}as}alta ‘ala> shaha>dah al- Duktu>rah.” Maupun yang h}ali>yan: Ibu Nyai Hj. Ulfah Uswatun Hasanah, dan Mas Zia Ul Haramein, Lc. (H{afiz{akumalla>h, wa jaza>kuma> Alla>h ah}san al- jaza>’ wa waffaqakuma> fi al-qiya>m bi ama>nat al- ma‘had).
5. Rektor Institut PTIQ Jakarta (Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA.), Dekan Fakultas Ushuluddin Institut PTIQ Jakarta, baik yang baru (Andi Rahman, MA.) maupun yang lama (Dr. KH. Ahmad Husnul Hakim, MA.); Jaza>kumulla>h ah{san al- jaza>’ wawaffaqakum ‘ala> al-qiya>m bi ama>nat al-ja>mi‘ah.
6. Segenap guru dan dosen yang pernah mengajar, membimbing, dan mendidik penulis di manapun, khususnya di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. H{afiz}ahum Alla>hu wa- nafa‘ana> Alla>hu bi ‘ulu>mihim.
7. Kedua Orangtua Penulis, Bapak Hasan Bishri dan Ibu Siti Romlah (semoga hajinya lancar tahun ini) dan mertua Penulis, Abah H>. Imam Nawawi dan Ibu Hj. Istinah. Alla>humma ih}faz}hum wa- irh}amhum ‘adada ma> wasi‘at rah}matuk.
8. Istri tercinta, Rifqoh, S.Pd. beserta tiga buah hati (Muhammad Nabil Hasballah; Fauqia Hasballah; dan Kayyis Hasballah) yang semuanya lahir pada masa-masa akhir studi penulis di jenjang Master dan Doktor. Rabbana> hab lana> min azwa>jina> wa-dhurri>ya>tina> qurrata a‘yun wa-ij‘alna li al-muttaqi>na ima>man. Wa ij‘alna> li al-muttaqi>na ima>man. Wa ij‘alna> li al-muttaqi>na ima>man.
9. Segenap kakak, adik, dan saudara. Alla>humma allif baynana> wa-uh}shurna> fi zumrat al- awliya>' wa-al-s}a>lih}i>n.
10. Keluarga besar Darus-Sunnah; Ustadz Andi, Ustadz Shofin, Ustadz Razy, Ustadz Ali Hudaibi, Ustadz Hanif, Ustadz Tebe, Ustadz Acan, Ustadz Ali Wafa, Ustadz Ibnu Sina, Ustadz Munshorif, Ustadz Jauzi, Ustadz Rijal, serta segenap musyrif Ma’had, pengurus dan guru Madrasah Darus-Sunnah, Diskas Community, Rasionalika, Nabawi, El-Bukhari Institute (eBI), dan lain-lain. Terimakasih telah banyak membantu secara moral dalam penyelesaian studi ini. Jaza>kululla>h ah}san al- jaza>’ wa waffaqakum Alla>h fi khidmat al- ma‘had wa khidmat al-Isla>m wa al-muslimi>n.
11. Segenap kawan, sahabat, murid, santri, mahasiswa, mahasantri, yang selalu menemani hari-hari penulis, baik di dalam maupun di luar kelas, kampus, dan juga di masyarakat. Falawla>hum jami>‘an la-ma> ‘araftu al-h}adi>th wa-ma> ah}babtuhu>.
Meski tanpa menyebut nama satu persatu, Penulis tidak mengurangi sedikitpun rasa hormat, ta‘z}i>m, dan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada mereka semua. Teriring doa, Jaza>kumullah ah}san al-jaza>' wa- matta‘ana> Alla>h bi h}aya>tikum, wa-h}abbaba ilaina> al- i>ma>na wa-zayyanahu> fi> qulu>bina> wa-karraha ilaina> al-kufra wa-al-fusu>qa wa-al- ‘is}ya>na wa- ja‘alana> min al-ra>shidi>n, wa-waffaqana> lima> yuh}ibbuhu> wa-yard}a>hu. Mohon maaf atas segala khilaf dan terimakasih.
Jakarta, 05 Agustus 2017 Penulis,
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
A. Gambar
No. Judul Gambar Hal
1. Pola Pemahaman Teks Hadis 183
2. Eksposisi dan Transformasi hadis tentang al-firqah al-na>jiyah Menjadi ideologi dan identitas Ahl al-sunnah dan Ahl al-h}adi>th
3 Transformasi hadis al-firqah al-na>jiyah menjadi identitas Ahlussunnah wal Jamaah 76
4. Skema eksposisi dan transformasi hadis khayr al-quru>n
5. Eksposisi dan transformasi hadis khayr al-quru>n menjadi identitas sebuah generasi 86
6. Nalar Tekstualisme Abu> H{ani>fah 145
7. Nalar Tekstualisme Ma>lik bin Anas 151
8. Nalar Tekstualisme al- Sha>fi‘i> 159
9. Nalar Tekstualisme Ah}mad bin H{anbal 164
10. Nalar Tekstualisme Ibn H{azm 172
11. Nalar Tekstualisme Ibn Qutaybah 183
12. Nalar Tekstualisme ‘Abd al-Wahha>b al-Sha‘ra>ni> 206
13. Riwayat doa saat turun hujan 242
14. Hadis dua nikmat yang terlupakan 242
15. Sepuluh sunnah Nabi untuk Kehidupan sehari-hari 242
16. Poster hadis tentang hukum menggunakan nama suami 242
17. Kalender puasa sunnah setahun 243
18. Poster hadis tentang anjuran kurban 243
19. Hirarki jaringan pemikiran gerakan keagamaan di Indonesia 292
20. Skema penyesatan umat Islam oleh kolonial Belanda di Indonesia 316
21. Sanad Hadis (Manqu>l) milik Nur Hasan al-‘Ubaydah Lubis yang tersambung hingga kepada al-Tirmidhi>
22 Skema Mada>r al-Thabt/Common Link Guru-guru Hadis di Indonesia 380
23 Skema pusat edar seluruh kitab hadis dunia 382
24 Skema sanad kitab hadis yang ditransmisikan oleh Hasyim Asy’ari 417
25. Skema sanad hadis JT Dari jalur Zakariya al-Kandahlawi 437
A. Tabel No. Judul Tabel
Hal
1. Moderasi berbasis literalisme pemahaman hadis dalam diskursus egaliterianisme berbasis gender yang berkembang di Indonesia
2. Daftar hadis-hadis utama yang dihidupkan oleh Muhammadiyah 363
3. Praktik Ihya Sunnah dalam tradisi LDII 385
4. Syarat-syarat Pengangkatan Majelis Tawjih wal Irsha>d 389
5. Daftar kitab hadis primer yang dikaji di beberapa pesantren NU 415
6. Praktik Ihya Sunnah dalam tradisi Ormas NU 426
7. Praktik Ihya Sunnah dalam tradisi JT 451
8. Hadis-hadis utama yang dihidupkan secara massif dalam kelompok Salafi 468
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kajian sosial keagamaan, Ahli Hadis (AH) seringkali disebut-sebut sebagai kelompok yang puritan, fundamentalis, radikalis, sehingga keberadaannya sering dinilai meresahkan sebagian warga. Umat Islam sendiri pun bahkan seringkali mengalami "fobia" dengan sebutan tersebut. Nama Darul Hadis misalnya, merupakan nama yang identik dengan salah satu ormas yang dinilai sangat eksklusif dan fundamentalis. Darul Hadis yang kini disebut dengan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) bahkan sempat dilarang dan
dibubarkan oleh pemerintah Indonesia karena dinilai sesat dan menyesatkan. 1 Sebuah temuan di lapangan cukup mengejutkan ketika salah seorang narasumber yang merupakan santri salah satu Pesantren besar di Kediri dan Jombang Jawa Timur menyatakan bahwa merujuk langsung kepada al-Quran dan hadis adalah salah satu bentuk tindakan yang terlalu berani. Sakralitas al-Quran dan hadis membuat para santri senior sekalipun, tidak berani untuk mengutip dan menafsirkan langsung ayat al-Quran dan hadis, tanpa penjelasan para ulama. Hal yang sama juga persis pernah dialami oleh salah seorang tokoh hadis di Indonesia. Di sela-sela aktifitasnya sebagai Imam Besar (direktur) Masjid Istiqlal Jakarta (2005-2015), Ali Mustafa Yaqub (1952-2016 M) juga mendapatkan laporan yang sama. Salah seorang petugas azan Masjid Istiqlal menuturkan kepadanya bahwa banyak orang yang menganggapnya sebagai penganut Wahabi. Alasannya sederhana, karena ia setiap kali berceramah, selalu menggunakan ayat-ayat al-Quran dan hadis. Perlu diketahui bahwa dalam persepsi sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia, Wahabi adalah paham yang
ekstrem, sektarian dan bahkan dianggap "meresahkan". 2
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa puritanisme, fundamentalisme, dan radikalisme yang sering ditunjukkan oleh orang-orang yang disebut sebagai Ahli Hadis adalah karena pemahamannya yang tekstual terhadap al-Quran dan hadis Nabi. Bahkan, asumsi tersebut hanya mengerucut kepada ahli hadis saja. Seorang yang menekuni al-Quran betapapun tekstualnya, seringkali tidak dianggap berdampak pada radikalisme, melainkan bisa menjadi liberal. Sementara itu, orang yang tekstual dalam memahami hadis Nabi seringkali dianggap sebagai sumber radikalisme. Hal ini karena betapapun tekstual pemahaman seseorang terhadap teks al-Quran, seringkali teks tersebut masih bersifat umum dan universal, sehingga tetap saja masih multi tafsir dan memerlukan penjelasan lebih jauh. Dalam penjelasan ayat-ayat yang umum (al- ‘a>mm) itulah biasanya liberalisasi terjadi,
1 Lihat sejarah pembubaran LDII dan stigma masyarakat hingga kini terhadap LDII yang masih tetap dan belum berubah dari ajaran sebelumnya, Islam Jamaah atau Darul Hadis yang pernah dibubarkan itu. Lihat Wakhid Sugiyarto,
"Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Semarang Paska Rakernas Jakarta 2007," dalam Wakhid Sgiyarto (Ed.), Direktori Kasus-kasus Aliran, Pemikiran, Paham, dan Gerakan Keagamaan di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2010), 144-145.
2 Wawancara dengan Ali Mustafa Yaqub, 24 Februari 2015, di Ciputat. Kisah ini juga ia tulis dalam bukunya tentang upaya mendamaikan Wahabi dan NU. Istilah hadis yang bagi banyak orang berkonotasi "negatif" pada gilirannya nanti akan
menjadi istilah yang positif, sebuah istilah terhormat. Ia mencontohkan hal ini dengan istilah Kitab Kuning. Istilah tersebut pada zaman dulu menjadi bahan ejekan untuk kaum pesantren. Dulu, ketika ada orang pesantren atau ahli agama berbicara masalah politik, ekonomi, sosial, dan budaya dianggap tidak kompeten karena hanya bisa kitab kuning saja. Namun kini, menurutnya, sudah terbalik. Saat ini banyak orang berbicara tentang agama, mudah berfatwa padahal tidak memiliki wawasan yang memadai tentang agama. Karena itu, sering muncul pernyataan bernada meledek, "tidak bisa membaca kitab kuning, koq ngomong agama!" Dengan demikian, istilah kitab kuning menjadi istilah kehormatan (i‘tiza>z). Lihat Ali Mustafa Yaqub, al-Nuq>at} al-Muwah}h}idah Bayn al-Wahha>bi>yah wa Nahd{at al- ‘Ulama>' (Jakarta: Maktabah Darus-Sunnah, 2015), 17-21.
sekaligus juga radikalisme. 3 Sedangkan dalam teks hadis yang seringkali menyebutkan secara detil perilaku dan ucapan Nabi, seolah-olah tidak memberikan ruang sedikitpun untuk melakukan penafsiran ulang. Di sinilah, tekstualitas pemahaman hadis seringkali dinilai
berbeda dari tekstualitas pemahaman al-Quran. 4
Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian sederhana yang pernah penulis lakukan pada tahun 2014 di beberapa masjid di Jakarta, terdapat temuan menarik tentang tekstualisme hadis. Para imam salat Jumat di masjid dan daerah yang berbeda-beda di Jakarta seringkali membaca Qs. al- A‘la> dan Qs. al-Gha>shiyah. Berdasarkan hasil wawancara dengan mereka, semuanya menjawab bahwa membaca surah tersebut adalah sunnah Nabi dan baik untuk diikuti. Mereka juga mengaku mengetahui hadis tersebut dan beberapa di antaranya dapat menyebutkan matan hadis dalam bahasa Arab lengkap dengan sumbernya. Sedangkan sebagian lainnya hanya dapat menyampaikan terjemahnya dalam bahasa
Indonesia. Ini menunjukkan bahwa mereka memang benar-benar mengetahui hadis tersebut. 5 Temuan lain menunjukkan hal yang berbeda. Dari pengamatan yang sama, ditemukan bahwa beberapa imam salat Jumat ada yang tidak membaca kedua surah tersebut. Ada yang memilih surah pendek sepeti Qs. al-D}uh{a>, Qs. al-Sharh}, Qs. al-Nas}r, Qs. al- Ma>‘u>n, dan Qs. al-Ikhla>s}. Ada pula yang membaca potongan surah-surah yang panjang. Biasanya model terakhir ini karena sang imam memang memiliki wirid bacaan tersebut yang diijazahkan oleh gurunya. Alasan lain adalah bahwa potongan surah tersebut adalah surah favorit yang menjadi pilihannya sendiri karena kandungannya dirasa menyenangkan untuk dicermati saat diperdengarkan. Ada pula yang memberi alasan agar sesuai dengan materi khutbah. Beberapa orang di antara mereka juga berdalih kemudahan karena ada ayat al-Quran memerintahkan
demikian. 6
3 Di sinilah menariknya, kaidah ushul fiqh "al-‘ibrah bi ‘umu>m al-lafz} la bi khus}u>s} al-sabab" dikaitkan dengan radikalisme. Kaidah ini melahirkan radikalisme misalnya ketika digunakan untuk membaca tekstualisme Khawarij dalam
menafsirkan Qs. al-Ma>'idah [5]: 44 tentang pengafiran orang-orang yang tidak berhukum dengan al-Quran. Bahkan untuk hadis yang sering dijelaskan kronologinya sekalipun, melalui kaidah tersebut dapat diperluas maknanya dari konteks awal munculnya hadis tersebut. Hadis tentang hancurnya kepemimpinan yang diserahkan kepada perempuan sering disebut sebagai contoh sempitnya cara memahami teks yang general. Dengan kaidah ini, hadis tersebut menjadi berlaku untuk semua pemimpin wanita, tanpa terkecuali. Lihat Husein Muhammad dan Faqihuddin Abdul Kodir, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKIS, 2001), 201-202. Dalam polemik soal hukum mengucapkan selamat Natal misalnya, dalil yang diusung oleh Jaringan Islam Liberal, justru menggunakan keumuman redaksi ayat-ayat al-Quran, yaitu Qs. Maryam [19]: 19 dan 33. Lihat Abdul Moqsith Ghazali, "Mengucapkan Selamat Natal," dalam [http://www.islamlib.com/?site=1&aid=1591&cat=content&title=editorial]; Lihat juga Novriantoni, "Sala>mun ‘Alaika ya> al-Masi>h!" dalam [http://www.islamlib.com/?site=1&aid=959&cat=content&cid=13&title=salamun- alaika-ya-al-masih];
Pluralisme Agama," dalam [http://islamlib.com/?site=1&aid=486&cat=content&cid=11&title=al-quran-natal-dan-pluralisme-agama].
Bandingkan dengan respon dari Fron Pembela Islam yang dengan keras menolak pemikiran tersebut dan mendorong gerakan amar makruf-nahi munkar dalam hal perayaan Natal. Dalam fatwanya, Habib Riziq justru melarang Natal dengan dalil Qiyas, tidak secara tekstual menggunakan dalil al-Quran dan Hadis. Lihat Habib Muhammad Rizieq Syihab, "Hukum Natal," dalam [http://fpi.or.id/165-Hukum-Natal-.html]. Masing-masing diakses pada 13 Maret 2015.
4 Lihat George T{ara>bishi>, Min Isla>m al-Qur'a>n Ila> Isla>m al-H{adi>th: al-Nash'ah al-Musta'nifah. Beiru>t-London: Da>r al- Sa>qi> dan Ra>bit}ah al- ‘Aqla>ni>yi>n al-‘Arab, cet.1, 2010. Buku ini secara umum ingin menunjukkan bahwa ada pergeseran pola
keagamaan yang dimapilkan oleh muslim tekstualis al-Quran dan muslim tekstualis hadis. Meskipun keduanya tidak dapat dipisahkan, namun dalam kecenderungan kajian hal ini dapat dibedakan satu sama lain. Lihat juga buku-buku Abduh yang dianggap sebagai pengingkar sunnah modern, namun sangat konsisten terhadap penafsiran al-Quran. Abduh kemudian dianggap sebagai pembaru dalam peradaban Islam modern. Ia dianggap sebagai kelompok yang modernis-progresif.
5 Pengamatan ini biasa penulis lakukan usai salat Jumat dengan cara berdialog santai dengan imam salat. Tidak sedikit pula penulis lakukan wawancara dengan para imam salat Jumat dalam kesempatan-kesempatan lain di luar masjid dan
bukan usai salat Jumat. Hal ini sangatlah mudah dilakukan karena di Jakarta, untuk mencari khatib dan imam salat Jumat bukanlah hal sulit. Pengamatan ini dilakukan secara non-struktural dan dalam waktu yang tidak ditentukan dan tidak dibatasi sebelumnya. Pengamatan ini dilakukan selama tahun 2014, sejak awal mula disertasi ini ditulis.
6 Ayat yang dimaksud adalah "Fa-qra'u> ma> tayassara min-al-Qur'a>n" (Qs. al-Muzzammil [73]: 20). Penggunaan ayat ini sebagai dasar pemilihan bacaan salat Jumat tersebut justru menunjukkan pemahaman yang sangat tekstual, bukan
kontekstual. Secara tekstual, potongan ayat tersebut berlaku umum dan memang memerintahkan untuk membaca bagian al- Quran manapun yang dianggap mudah. Sedangkan secara kontekstual, konteks ayat tersebut adalah bukan pada salat Jumat,
Lebih menarik lagi adalah fenomena penolakan pemerintah Kerajaan Saudi Arabia yang menolak DUHAM juga dilandasi oleh tekstualisme pemahaman hadis. Beberapa gerakan keagamaan seperti pemberantasan kemaksiatan yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) juga dimotori oleh semangat tekstualisme pemahaman dan pengamalan hadis. Ditambah lagi dengan FPIS yang menggrebek sebuah rumah warga yang sedang menyelenggarakan tradisi tahlilan di Solo Jawa Tengah juga dilandasi oleh semangat tekstualisme terhadap hadis. Bahkan, bom bunuh diri yang belakangan ini marak di Indonesia dan beberapa negara di dunia juga dilandasi oleh semangat tekstualisme pemahaman dan pengamalan salah satu hadis Nabi.
Dari beberapa temuan di atas, terdapat sebuah kesimpulan menarik bahwa semua praktik tersebut didasarkan pada pemahaman yang sangat tekstual terhadap hadis Nabi. Pemilihan surah-surah pendek ternyata biasa didasarkan pada perintah Nabi untuk memperhatikan kondisi makmum yang sibuk, karena jamaah di Jakarta mayoritas adalah
pegawai dan karyawan. 7 Ketika ditanya mengenai adanya hadis tentang kesunnahan memperpanjang bacaan salat Jumat dan mempersingkat khutbah, para imam tersebut juga mengaku kadang-kadang mengamalkannya jika kondisi umum jamaah bukan orang
perkantoran. 8 Singkatnya, dasar pengamalan para imam salat Jumat tersebut adalah pemahaman hadis yang sangat tekstual dan disesuaikan dengan kondisi jamaah. Pengamalan secara tekstual dengan mempertimbangkan kondisi seperti ini lebih tepat disebut sebagai
bentuk pemahaman tekstual-kondisional, bukan pemahaman kontekstual. 9 Ada temuan menarik lain yang penulis dapatkan di lapangan. Para anggota jamaah pengajian hadis dalam beberapa majelis taklim yang ada di Jakarta, menunjukkan sikap yang sama. Secara pribadi, para jamaah tersebut seringkali mengajak diskusi masalah-masalah sosial keagamaan dan menuntut adanya dalil yang jelas dan tegas (literal) dari al-Quran maupun hadis. Kasus berdoa misalnya, salah seorang jamaah dari PMA al-Azhar Jakarta mempermasalahkan redaksi beberapa doa seperti doa ‘Aka>syah, dan beberapa macam salawat Nabi, karena tidak ada contohnya dalam hadis Nabi. Seorang jamaah tersebut terus berargumen hingga sampai pada sebuah kesimpulan bahwa berdoa harus sesuai dengan hadis, dalam arti, isi doa yang dimohonkan kepada Allah, harus ada contohnya dari Nabi. Tentu, cara pandang tekstual tersebut sangat sulit dibenarkan dalam konteks sosial yang terus berubah dan berkembang. Bagaimana mungkin, seseorang harus selalu berdoa persis seperti
melainkan salat malam. Meski demikian, tidak ada yang keliru dari kedua cara pandang tersebut. Hanya saja, pemahaman tekstual ternyata lebih sering dilakukan oleh banyak orang, namun tidak disadari.
7 Nabi pernah menegur Mu‘a>dh bin Jabal yang menjadi imam salat Isya dengan memilih bacaan yang sangat panjang, sehingga salah seorang makmum merasa tidak nyaman. Setelah menerima laporan tersebut, keesokan harinya, Nabi
memanggil Mu‘a>dh dan memarahinya seraya memerintahkan agar melihat kondisi makmumnya. Jika ia sedang salat berjamaah hendaklah memperingan salat, dengan memilih bacaan yang pendek, namun jika sedang salat sendirian, maka
silakan salat selama mungkin. Hadis ini dapat dilihat dalam Muh}ammad bin Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r Ibn Kathi>r al-Yama>mah, 1987), v, 2264, hadis no. 5755. Lihat juga Muslim bin H{ajja>j, S}ah}i>h} Muslim (Beirut: Da>r al- Jayl, t.th.), ii, 41, hadis no. 1068; dan Abu> Da>wu>d al-Sijista>ni>, Sunan Abi> Da>wu>d (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.th.), i, 290, hadis no. 790. Kebanyakan narasumber hanya mampu menyebutkan terjemahan hadisnya, namun sangat meyakini
kesahihannya. Ini menunjukkan bahwa amaliah mereka juga didasarkan pada pemahaman tekstual terhadap hadis. 8 Semua narasumber juga mengaku mengetahui ada hadis yang memerintahkan untuk mempersingkat khutbah dan
memperpanjang bacaan salat Jumat. Lihat al-H{a>kim al-Naysa>bu>ri>, al- Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}ayn (Beirut: Da>r al-Kutub al- ‘Ilmi>yah, 1990), iii, 444, hadis no. 5683. Dalam hal ini mereka juga hanya mampu menyebutkan terjemahannya, bukan matannya asli. Mereka juga meyakini kesahihan hadis tersebut. Namun yang menarik adalah tidak satupun di antara para khatib tersebut yang mengetahui hadis Jabir bin Samurah yang menyatakan bahwa baik khutbah maupun salat Jumat, Nabi selalu proporsional, tidak panjang dan tidak pendek (kuntu us}alli> ma‘a al-nabi> fa ka>nat s}ala>tuh qas}dan wa khut}batuhu> qas}dan). Lihat Muslim, S}ah}i>h} Muslim, iii, 11, hadis no. 2040. Hal terpenting dari catatan ini adalah bahwa mereka mengetahui hadis tersebut dan menjadikannya sebagai pedoman pengamalan secara tekstual.
9 Kondisional tentu sangat berbeda dari kontekstual. Namun, banyak orang menyebut bahwa pengamalan yang mempertimbangkan kondisi terkini saat hadis tersebut diamalkan (kondisional) sebagai hal yang sama dengan pemahaman
kontekstual, atau kontekstualisme. Padahal keduanya adalah dua hal yang berbeda. Selanjutnya mengenai makna kontekstual, kontekstualis, dan kontekstualisme dalam bab II.
yang diminta oleh Nabi, sementara kebutuhan dan permintaan keduanya pun pasti tidak sama.
Jahroni (2006) menyatakan bahwa tekstualisme merupakan pemicu utama lahirnya islamisme dan kekerasan agama. Menurutnya, tekstualisme dan islamismelah yang menjadi variabel paling signifikan dalam mendorong timbulnya kekerasan atas nama agama. Jahroni mencontohkan jenis kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akibat tekstualisme menunjukkan data yang sangat tinggi. Sekitar 76,4% responden mengaku pernah melakukan KDRT. Ditemukan sebanyak 46,6% responden menyatakan pernah mencubit anaknya agar patuh, 22% pernah memukul anaknya agar mau melakukan salat, dan sisanya 7,8% suami pernah memukul istri yang tidak melakukan kewajibannya. Lebih tegas lagi, Jahroni menyimpulkan bahwa kecenderungan seorang tekstualis adalah bertindak main hakim
sendiri. 10 Pada tahun 1980, sebuah organisasi sosial di America, Gallup mengadakan survey terhadap pandangan pemeluk Kristen terhadap penafsiran Bible. Hasilnya, 40% responden menyatakan bahwa Bibel adalah benar firman Tuhan dan karena itu harus dipahami secara literal. Demikianlah sikap para ekstrimis Kristen Amerika. Tidak berbeda dengan Kristen, tradisi Muslim menurutnya juga sama, kalangan literalis lebih mendominasi kelompok fundamentalis. Karena itulah, dalam kesimpulan Ruthven (2007) salah satu faktor terbesar bagi gerakan fundamentalisme adalah literalisme. Umat beragama banyak yang terjebak
dalam perangkap literalisme. 11
Kesimpulan tersebut senada dengan temuan Hendropriyono (2009) yang menegaskan bahwa terorisme lahir dan tumbuh subur dari lingkungan fundamentalisme. Hendropriyono menyebutkan bahwa hal itu tidak hanya terjadi dalam Islam saja, melainkan juga dalam
agama lain, seperti Yahudi dan Kristen. 12 Hendropriyono memang tidak menyebutkan secara langsung bahwa tekstualisme menjadi lahan subur bagi tumbuhnya terorisme. Namun, dengan menyebut fundamentalisme sebagai akar terorisme, maka secara tidak langsung Hendropriyono menyetujui bahwa tekstualisme memiliki andil yang sangat besar bagi terorisme. Ia menyebut kelompok-kelompok Neo-Khawarij seperti Wahabi-Salafi adalah
representasi dari gerakan fundamentalisme dalam Islam. 13 Sementara itu, kelompok- kelompok inilah yang dalam masyarakat luas dikenal sebagai tekstualis. Melalui penelitiannya tentang penggunaan kata-kata serapan dan kata ambilan Arab, Kamil (2013) juga menunjukkan kesimpulan yang sama dengan Jahroni dan Hendropriyono. Menurutnya, semakin tekstualis seorang muslim maka semakin fundamentalis dalam beragama. Ukuran tekstualisme yang ditunjukkan oleh Kamil adalah banyaknya kata-kata serapan dan ambilan dari Arab ke Indonesia. Dalam konsideran, buku, dan surat-surat resmi beberapa ormas fundamentalis yang menjadi sampelnya, Kamil menemukan bahwa mereka cenderung menggunakan kata-kata serapan dan ambilan lebih banyak daripada kelompok yang moderat. Ketundukan terhadap penggunaan kata-kata ambilan dan serapan Arab
tersebut merupakan gejala tekstualisme. 14
Tekstualisme memang menjadi ciri khas kelompok garis keras. Hanya saja pertanyaannya kemudian adalah apakah setiap tekstualisme meniscayakan kekerasan, atau
10 Lihat Jajang Jahroni (2006), "Tekstualisme, Islamisme, dan Kekerasan Agama," dalam Islamlib.com, [http://www.islamlib.com/?site=1&aid=523&cat=content&cid=11&title=tekstualisme-islamisme-dan-kekerasan-agama],
diakses pada 22 Oktober 2014. 11 Lihat dalam Malise Ruthven, Fundamentalism; A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2007),
40-58. 12 Lihat A.M. Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam (Jakarta: Kompas, 2009), 432-433.
13 Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis, 90-102. 14 Lihat Sukron Kamil, Sri Hidayati, Umi Kulsum, dan Rizqi Handayani, "Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-teks Keislaman Kontemporer," dalam Laporan Penelitian Kolektif (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2013), 171-174.
setidaknya mengakibatkan sektarianisme? Tentu hal ini tidak dapat dijawab begitu saja. Memang temuan Jahroni tersebut menunjukkan tingginya kekerasan domestik adalah karena faktor tekstualisme pemahaman teks al-Quran dan hadis. Hal ini bisa benar jika yang dijadikan objek penelitian adalah latar belakang kekerasan domestik. Fokus penelitian Jahroni memang pada faktor penyebab kekerasan domestik. Namun jika dilakukan pembuktian terbalik, yaitu meneliti dampak-dampak tekstualisme berikut ekses-eksesnya dalam kehidupan sosial keagamaan, maka hasilnya belum tentu demikian.
Beberapa gerakan keagamaan garis keras memang seringkali tampil dengan pemahamannya yang tekstual terhadap teks-teks suci agama. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti bahwa pemahaman tekstual selalu mengakibatkan gerakan fundamentalisme yang radikal. Tekstualisme memang dapat disebut sebagai salah satu variabel munculnya gerakan fundamentalisme dan radikalisme agama, khususnya Islam. Namun, tentu hal itu bukanlah satu-satunya faktor dan bahkan boleh jadi bukan sebagai variabel utamanya. Faktor sejarah, politik, ekonomi, budaya, dan lingkungan bahkan dapat menjadi pemicu utama fundamentalisme. Hal ini didukung dengan munculnya fenomena fundamentalisme dan
radikalisme akibat pemahaman yang non-tekstual. 15
Dalam bentuk lain, fundamentalisme juga sering disebut-sebut dalam diskursus sosial terkait dengan wacana kesetaraan gender. Isu-isu seputar budaya patriarkal, kepemimpinan perempuan, hijab, waris, dan kemerdekaan perempuan menjadi arus utama. Salah satu basis utama fundamentalisme sebagaimana diklaim oleh sebagian kelompok adalah Hadis Nabi. Tekstualitas pemahaman menyebabkan umat Islam terjebak dalam budaya patriarkal dan
cenderung diskriminatif terhadap perempuan. 16 Tentu, tidak dapat dipungkiri juga bahwa
hadis bukanlah satu-satunya penyebab menguatnya budaya ini. 17
Dari gambaran sekilas tentang fenomena tekstualisme tersebut, tidak benar anggapan yang menyatakan bahwa tekstualisme selalu identik dengan fundamentalisme dan radikalisme. Baik tekstualisme pemahaman al-Quran maupun hadis, keduanya tidak serta merta meniscayakan gerakan radikalisme agama. Bahkan tekstualisme dapat menjadi sarana yang paling efektif dan efisien untuk misi moderasi Islam. Hal ini karena umat Islam adalah umat yang menjunjung tinggi dua teks suci tersebut. Bahkan pemaknaan yang non-tekstual juga tidak jarang membuat seseorang bersikap radikal dan menjadi fundamentalis.
Terdapat beberapa istilah yang populer sebagai nama lain dari tekstualisme. Istilah tersebut di antaranya adalah lughawi>, us}u>li>, athari>, z}a>hiri>, lafz}i>, h}aqi>qi>, h}arfi>, literalisme, dan skripturalisme. Istilah-istilah yang berdekatan —atau yang bahkan seringkali disamakan—
15 Jika melihat pengakuan Ali Imron, sang pengebom Bali jilid II, maka akan didapati kesan bahwa teks-teks ayat dan hadis bukanlah sebagai pemicu utama tindakan terorisme tersebut. Teks-teks tersebut memang ia pahami secara tekstual,
namun hanya untuk melegitimasi dan memperteguh tekadnya untuk melakukan aksi terorisme tersebut. Sebelumnya, Ali Imron telah memiliki tekad untuk melawan Amerika yang telah dianggap menjadi penyebab hancurnya peradaban Bangsa. Faktor sejarah sosial dan politik umat Islam di berbagai belahan dunialah yang mula-mula memunculkan tekadnya untuk menjadi teroris. Selanjutnya, doktrin-doktrin tentang keutamaan jihad digunakan oleh para seniornya untuk menguatkan tekadnya tersebut. Karena itu, ia menempuh jalur pintas dengan konsep jihad yang mereka pahami dan mereka dapatkan secara lisan dari para senior, yaitu dengan cara mengebom. Belakangan, ia menyadari bahwa pemahamannya tentang dakwah jihadi yang ofensif dan bahkan cenderung teroris adalah keliru, maka ia menulis buku untuk meluruskan pemahamannya tersebut. Dalam buku itu, justru ia berhujah secara tekstual dengan cara menunjukkan hadis-hadis jihad yang sebenarnya, ia juga tidak memaknainya secara non-tekstual. Selengkapnya, lihat Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom (Jakarta: Republika, 2007), 41-52, dan 179-232.
16 Lihat Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi, cet. 1, 2004), 301-425.
17 Pernyataan penulis ini merupakan bentuk ketidaksetujuan terhadap statement Hamilton A.R. Gibb yang dengan nada menyesal mengatakan bahwa bagian fiqh tentang ketidak-adilan gender tidak didasarkan atas uraian al-Quran, melainkan atas
hadis-hadis yang mencerminkan adat suku-suku Arab. Ini karena adanya keniscayaan bahwa apapun yang dilakukan oleh Nabi pada dasarnya tidak ada yang berbeda apalagi menyalahi al-Quran. Pernyataan Gibb tersebut mengindikasikan bahwa tekstualitas dan tekstualisme hadis meniscayakan subordinasi atau diskriminasi terhadap perempuan oleh kaum laki-laki. Lihat Sir Hamilton A.R. Gibb, "Women and the Law", dalam Correspondance d'Orient No 5 [Colloque sur la Sociologie Musulmane, Actes, 11-14 Septembre 1961], Bruxelles, hlm. 233-248.
dengan tekstualisme tersebut sebagian besar dari bahasa Arab. Hanya ada dua kata yang muncul dari bahasa Inggris, sebagaimana asal kata tekstualisme itu sendiri. Istilah-istilah tersebut juga seringkali digunakan secara serampangan dan tumpang tindih. Akibatnya, tidak jarang terjadi kesalahpahaman dalam bersikap dan berdialog untuk merespon isu-isu keagamaan berbasis al-Quran dan hadis. Istilah-istilah tersebut bahkan tak jarang berubah menjadi label khusus bermakna peyoratif yang menunjukkan bahwa seorang tekstualis pasti berpikiran dangkal. Lalu apa sebenarnya makna tekstualis? Apa makna distingtif tekstualisme di antara istilah-istilah lain yang dianggap sebagai sinonimnya itu? Jika memang berbeda, kapan istilah-istilah tersebut dapat digunakan untuk menunjuk tekstualisme?
Pemahaman secara tekstual memang sering mengemuka dalam gerakan keagamaan fundamentalis, seperti Ikhawanul Muslimin, Salafi-Wahabi, Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah (JI), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Front Pembela Islam (FPI), Persatuan Islam (Persis), Negara Islam Indonesia (NII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Tabligh (JT), dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Jika diamati, kesamanaan gerakan- gerakan tersebut adalah pada visi tegaknya syariat Islam secara formal berikut atribut dan simbol-simbolnya dalam sebuah lembaga atau negara, khususnya Indonesia. Hanya saja, intensitas dan caranya tentu berbeda antara satu ormas dengan ormas lain. Bahkan tak jarang pula, konsep formaslisme yang mereka usung pun tidak sama, meskipun berangkat dari teks suci dan metode pemahaman yang sama. Biasanya, misi utama yang mereka usung adalah menyerukan pentingnya "kembali kepada al-Quran dan Hadis Nabi," khususnya dalam bidang politik. Hal ini biasanya ditunjukkan dalam semangat mengusung formalisasi syariat
Islam sebagaimana yang terdokumentasikan dalam teks al-Quran dan hadis Nabi. 18 Salafi-Wahabi disebut sebagai tekstualis di antaranya adalah karena penolakannya terhadap takwil dalam memahami teks al-Quran dan hadis, khususnya yang mutasha>biha>t. Keyakinan bahwa Allah ada di langit adalah konsekuensi dari pemaknaan harfiah terhadap hadis Nabi tentang pembenaran keimanan seorang budak wanita yang mengatakan "fi> al-
sama>' [letterlek: di langit]" ketika ditanya oleh Nabi, "Ayna Allah? [Di manakah Allah?]." 19 Dari keyakinan "Allah di langit" ini ternyata tidak hanya terhenti pada tataran teologis saja, melainkan merambah ke ranah sosial keagamaan. Tidak jarang terjadi perdebatan sengit bahkan berujung pada pengkafiran, hingga pertumpahan darah hanya berawal dari perdebatan
tentang "di manakah Allah?" 20
Laskar Jihad, pimpinan Ja'far Umar Thalib juga disebut sebagai tekstualis karena pemaknaannya yang harfiah misalnya terhadap ayat al-Quran , "In al-hukm illa> li Alla>h" 21 dan ayat "wa man lam yah}kum bi ma> anzala Alla>h fa ula>'ika hum al-ka>firu>n." 22 Potongan- potongan ayat tersebut memang secara zahir-parsial menunjukkan otoritas tunggal hukum Allah, tidak mengenal dualisme ketaatan pada hukum. Hal yang sama juga terjadi pada Jamaah Islamiyah (JI), pimpinan Abu Bakar Baasyir. Sementara itu, tekstualisme DI terlihat misalnya, ketika mereka menafsirkan hadis-hadis tentang kewajiban berjihad dan menrapkan hukum Allah.
18 Lihatmisalnya dalam Noorhaidi Hasan, "Faith and Politics: The Rise of the Laskar Jihad in the Era of Transition in Indonesia," dalam Southeast Asia Program Publications at Cornell University, Indonesia, No. 73 (April 2002, pp: 145-169),
145-151. 19 Hadis yang mengisahkan hal ini sangat populer dalam kajian hadis dan akidah. Dalam tema-tema seputar takwil
(pengalihan makna bahasa) juga selalu menjadi contoh utama penakwilan. Para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menakwil kata-kata tersebut. Selengkapnya mengenai hadis ini, lihat Muslim, S}ah}i>h} Muslim, ii, 70, hadis no. 1227. Sedangkan untuk pemahaman terhadap hadis tersebut secara non-takwil, lihat Ibn Taymiyah, Majmu>‘ al-Fata>wa> (t.tp.: Da>r al-Wafa>, Cet.3, 2005), iii, 139; v, 165. Lihat juga dalam Ibn Qayyim al-Jawziyah, I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n ‘an Rabb al- ‘A<lami>n (Beiru>t: Da>r al-Jayl, 1973), ii, 302.
20 Lihat dalam Ibn Abi> al-‘Izz al-H{anafi>, Sharh} al-‘Aqi>dah al-T{ah}a>wi>yah (Kairo: Da>r al-H{adi>th, 2005), 211-223. 21 Qs. al-An‘a>m [6]: 57 dan Qs. Yu>suf [12]: 40 dan 67. 22 Qs. al-Ma>'idah [5]: 44, 45, dan 47.
Sedangkan FPI dianggap tekstualis karena dalam amaliahnya, mereka menafsirkan hadis-hadis tentang perintah beramar makruf-nahi munkar secara tekstual. Hadis yang berbunyi, "fa-lyughayyir-hu bi yadih [letterlek: hendaklah mengubahnya dengan tangan],"
mereka tafsirkan secara harfiah. 23 Akibatnya, gerakan-gerakan menyerang Ahmadiyah, lokalisasi, dan tempat-tempat kemunkaran lainnya juga mereka lakukan secara langsung dengan tangan mereka sendiri, bukan dengan menyerahkannya kepada pihak yang berwajib, atau melalui jalur hukum, kekuasaan, atau dengan cara lain sebagaimana penafsiran kelompok lain.