GENEALOGI MAZHAB TEKSTUALISME DALAM KAJIAN HADIS
BAB III GENEALOGI MAZHAB TEKSTUALISME DALAM KAJIAN HADIS
Pada bab dua telah diuraikan tentang landasan teoritis seputar relevansi teks dan tekstualisme dalam keberagamaan secara umum. Pada bagian ini, kajian akan difokuskan kepada telaah historis nalar tekstualisme ahli hadis dalam menyikapi perubahan sosial. Wacana tekstualisme bukanlah wacana yang monolitik. Ia juga berkembang sangat dinamis, menyikapi berbagai realitas sosial keagamaan di berbagai ruang dan waktu. Ia pun berjalan secara berkesinambungan dari masa ke masa, sehingga tidak ada jenis tekstualisme yang terputus dari sejarah sosial kemunculannya. Masing-masing memiliki relevansi tersendiri terhadap wacana yang berkembang di setiap ruang dan waktu.
Nalar Tekstualisme yang oleh T}ara>bishi> disebut dengan al- ‘aql al-nas}s}i> merupakan kekhasan yang dimiliki oleh Arab khususnya, dan Islam pada umumnya. Nalar tekstualisme adalah nalar yang lebih mengedepankan berpikir tekstual daripada berpikir “kontekstual” atau “rasional”. Ia juga disebut nalar yang lebih mengedepankan teks daripada realitas. Artinya, segala sesuatu akan direspon dan dinalar dengan paradigma teks, bukan paradigma akal, nature, maupun realitas sosial semata. Semua paradigma tersebut bahkan selalu direpon dengan paradigma teks. Oleh karena itu, pada umumnya nalar tekstual dalam konteks Islam cenderung teosentris, mengingat teks yang digunakan tentu adalah teks sakral, teks suci, yaitu teks ketuhanan dan kenabian. Sedangkan nalar non-tekstual dianggap cenderung antroposentris.
Baik teosentris, maupun antroposentris keduanya memiliki kekhasan dan dampak tersendiri dalam pembentukan pola keagamaan. Cara pandang teosentris pada umumnya cenderung positifistik, serba normatif, dan struktural. Sedangkan cara pandang antroposentris umumnya cenderung relatifis, pragmatis-empiris, dan kultural. Namun, benarkah kedua paradigma tersebut selalu diposisikan secara biner? Mungkinkah masing- masing saling mengisi satu sama lain, berdialektika sehingga menghasilkan produk pemikiran yang khas pula?
Jika T}ara>bishi> menilai bahwa nalar tekstual adalah nalar khas Arab, maka dalam hal ini Indonesia sebagai wilayah kajian budaya yang berbeda dari Arab juga memiliki kekhasan dalam berinteraksi dengan teks, termasuk teks suci. Muslim Indonesia di satu sisi tidak berani lepas dari nalar tekstual dan paradigma tosentrisnya, namun di sisi lain ternyata juga berani melakukan artikulasi Islam secara kultural, sehingga membentuk budaya yang juga baru, dan tetap diklaim orisinal secara tekstual. Jika nalar tekstual teosentris adalah khas Arab, maka nalar tekstual antroposentris dapat ditawarkan menjadi kekhasan muslim Indonesia dalam merumuskan budaya Islam yang khas pula.
Lalu bagaimana nalar tersebut sebenarnya bisa muncul? Apakah ia muncul dengan sendirinya atas inisiatif dan kreatifitas murni muslim Indonesia, atau memiliki hubungan genealogis dengan nalar-nalar tekstual yang ada di Arab maupun di belahan dunia lain? Berikut ini akan dibahas mengenai genealogi nalar tekstualisme yang ditampilkan oleh umat Islam dari masa ke masa hingga berdampak kepada model tekstualisme yang ada di Indonesia yang konon dapat membentuk budaya Islam yang moderat.
Refleksi Konklusif: Perjuangan Menuju Peradaban Tekstual
Berdasarkan uraian di atas dapat direfleksikan beberapa konklusi yang akan menjadi basis historis penelaahan fenomena tekstualisme yang ada di Indonesia modern. Dalam sejarah tekstualisme ahli hadis dapat disimpulkan bahwa pertama-tama, tekstualisme Berdasarkan uraian di atas dapat direfleksikan beberapa konklusi yang akan menjadi basis historis penelaahan fenomena tekstualisme yang ada di Indonesia modern. Dalam sejarah tekstualisme ahli hadis dapat disimpulkan bahwa pertama-tama, tekstualisme
Selanjutnya, nalar tekstualisme ahli hadis tersebut terlembagakan dalam mazhab- mazhab penalaran hukum. Perumusan yurisprudensi Islam tidak dapat lepas dari nalar tekstualisme. Berbagai macam masalah baru yang disinyalir belum pernah terjadi pada masa Nabi sekalipun, tetap dicarikan dalil-dalil tekstualnya dari Nabi. Hal ini di samping sebagai upaya otorisasi produk hukum juga sebagai bentuk upaya originalisasi ajaran Islam terkait dengan hal-hal yang baru muncul.
Diskursus orisinalisasi dan otorisasi tersebut menjadi penting karena saat itu peradaban Islam telah menyebar luas dan berinteraksi dengan peradanab yang berasal dari luar Islam. Peradaban Yunani, Romawi, Persia, Ahli Kitab dan agama lain tak mungkin dapat diabaikan begitu saja. Interaksi dua peradaban pun terjadi, dan akibatnya muncul kekhawatiran adanya percampuran antara ajaran Islam dengan ajaran non-Islam. Percampuran ini tentu akan membahayakan orisinalitas Islam itu sendiri, yang pada gilirannya juga akan menghilangkan identitas agama Islam. Oleh karena itu, gerakan ahli hadis mengusung nalar tekstualisme adalah sebenarnya gerakan puritanisasi, originalisasi dan otorisasi. Namun, perlu dicatat di sini, bahwa puritanisasi, orisinalisasi bukanlah konfrontasi dengan rasio mutlak, melainkan lebih kepada konfrontasi dengan filsafat dan peradaban luar tersebut. Nalar tekstualisme dipandang sebagai satu-satunya jalan yang dapat menjamin keamanan dan kemurnian sumber ajaran Islam, terutama dengan adanya sanad. Oleh karena itu, nalar takhri>ji> yang merupakan model baru tekstualisme pascakodifikasi menjadi identitas utama ahli hadis.
Tidak cukup sampai di situ, ternyata nalar takhri>ji>, pada praktiknya juga menemukan kendala cukup serius dalam internal umat Islam sendiri. Antara pengguna hadis murni dengan mereka yang juga memadukan teks dengan nalar dari luar teks Islam, terjadi perseteruan yang cukup sengit dan mengancam persatuan umat. Prinsip tawfi>qi> yang menjunjung tinggi nilai kompromistis melalui penakwilan dirasa terlalu berspekulasi dan berapologi. Akibatnya, formula nalar tekstualisme yang berkembang saat itu menganut prinsip ilgha>’ dan ibt}a>l yang berakibat pada pendisfungsian atau bahkan penegasian nalar- nalar tekstual lain. Oleh karena itu, nalar tekstualisme jam‘i-tawfi>qi>, tarji>h}i>, dan tana>sukhi> dalam hal ini sebaiknya tidak dijadikan sebagai urutan hirarkis, melainkan sebagai pilihan berdasarkan tujuan. Semua itu disediakan dalam bidang pemahaman hadis, meskipun dalam nalar ushul fikih, ketiganya adalah bersifat hirarkis, tidak purposif. Akhirnya, muncullah upaya-upaya dialog metodologis. Ditemukanlah formula-formula baru nalar tekstualisme yang mengedepankan prinsip toleransi, dialog, moderasi, hingga kepada prinsip pluralisme mazhab dalam Islam. Semuanya dilakukan dengan basis berupa nalar tekstualisme takhriji. Lalu, seperti apakah relevansi nalar takhriji tersebut dalam konteks diskursus orisinalisasi, otorisasi, dan legalisasi peradaban muslim Indonesia, terutama dalam diskursus tentang pola artikulasi sunnah Nabi? [***]