Implikasi dan Rekomendasi
B. Implikasi dan Rekomendasi
Secara akademis, penelitian ini berimplikasi kepada pengembangan kajian hadis ke ranah sosiologi agama. Sosiologi hadis adalah produk yang dapat dikembangkan dalam bidang kajian hadis agar transformasi teks hadis ke dalam realitas sosial dapat berjalan dengan baik. Keilmuan ini dapat menjembatani disparitas teks kenabian yang idealistis- normatif dengan ralitas sosial yang sangat dinamis-empiris. Secara praktis, sosiologi hadis yang tentunya tidak dapat mengabaikan tekstualismenya itu juga menjadi modal sosial Secara akademis, penelitian ini berimplikasi kepada pengembangan kajian hadis ke ranah sosiologi agama. Sosiologi hadis adalah produk yang dapat dikembangkan dalam bidang kajian hadis agar transformasi teks hadis ke dalam realitas sosial dapat berjalan dengan baik. Keilmuan ini dapat menjembatani disparitas teks kenabian yang idealistis- normatif dengan ralitas sosial yang sangat dinamis-empiris. Secara praktis, sosiologi hadis yang tentunya tidak dapat mengabaikan tekstualismenya itu juga menjadi modal sosial
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi tersebut, penelitian ini merekomendasikan sebuah proporsi konseptual yang telah diaplikasikan oleh para ulama hadis abad pertengahan dalam menyikapi perbedaan secara arif. Deradikalisasi yang selama ini masih belum menemukan titik terang dapat dilakukan dengan pendekatan-pendekatan tekstualis-humanis- holistis. Artinya, selama ini kelompok yang dicap sebagai fundamental-radikal dan hendak dinetralisir itu terbukti hanya mengakui metode tekstual dalam pemahaman keagamaannya. Begitu pula dengan kelompok liberal yang selama ini juga turut berkontribusi meningkatkan radikalisme juga masih mengakui metode tekstual, selama dapat dirasionalisasi. Sedangkan rasionalisasi berbasis tekstualisme adalah hal yang sangat mungkin dan mudah dilakukan. Oleh karena itu, pendekatan tekstualisme (athari>) yang hingga kini masih diyakini oleh umat Islam sebagai metode yang paling akurat dan original dalam pemahaman teks suci tidak boleh dipersepsikan secara peyoratif, melainkan harus diberdayakan secara aktif dan arif.
Pemahaman hadis secara tekstual, bahkan literal sekalipun, masih dapat dilakukan untuk mengembalikan citra dasar Islam, yaitu moderat (‘udu>l), tidak ekstrim kanan (al- gha>li>n), juga tidak ekstrim kiri (al-mubt}ili>n), sebagaimana pesan tekstual hadis Nabi dalam riwayat al-Da>ruqut}ni>. Agama ini dibawa oleh orang-orang moderat dan harus selalu menjadi moderat (yah{mil ha>dha> di>na min kull khalafin ‘udu>luh). Pendekatan-pendekatan susbtansialis, betapapun bagusnya, ternyata juga ditolak oleh kelompok fundamentalis hanya karena tidak tekstualis (athari>). Sebaliknya, produk-produk pemikiran keagamaan yang tekstual-literal juga terbukti masih dapat diterima dengan sangat baik oleh kelompok liberalis hanya karena sesuai dengan prinsip humanisme, rasionalisme, progresifisme, dan egaliterianisme. Ini artinya, tekstualisme dapat digunakan sebagai basis rasionalisasi sekaligus deradikalisasi jika dilakukan secara komprehensif dan proporsional.
Selanjutnya, dalam kajian hadis secara khusus, hendaknya juga mulai dikembangkan kajian takhri>j sha>mil, agar kajian takhrij yang merupakan gerbang utama kajian hadis dan ilmu-ilmu keislaman dapat menemukan relevansinya di setiap ruang dan waktu. Takhrij hadis bukanlah pekerjaan untuk menemukan sumber hadis, penelusuran referensi hadis, pengisnadan hadis, atau ‘azw al-h}adi>th semata, melainkan sebuah metode terpenting dalam pembentukan masyarakat muslim yang moderat. Dialog-dialog ilmiah juga hanya dapat berlangsung dengan baik dan arif jika argumentasi keagamaan yang digunakan diperoleh secara holistik-komprehensif dan digunakan secara proporsional. Dengan demikian, kajian takhrij hadis tidak lagi laik dianggap sebagai kajian yang monoton, kering, dan cenderung repetitif, sehingga tidak relevan untuk beragam massa pada masa yang progresif seperti saat ini.
Terakhir, perlu dibuatkan buku takhrij hadis sha>mil untuk fikih keindonesiaan sebagaimana yang pernah digagas oleh Ibn Qutaybah, al-Zayl a‘i> dan al-Sha‘ra>ni>. Hanya saja, untuk menghindari subjektifitas yang berlebihan, hal itu harus dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang netral. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dapat menjadi garda terdepan untuk taqri>b (mendialogkan dan mendekatkan) berbagai ormas Islam tersebut dnegan mengedepankan landasan keislaman muslim Indonesia. Hal seperti ini pulalah yang dilakukan oleh Ibn Rushd dalam upayanya menemukan titik temu serta mendialogkan berbagai mazhab fikih, sebagaimana dalam karyanya, Bida>yat al-Mujtahid wa Niha>yat al- Muqtas}id. Walla>hu a‘lam bi-al-s}awa>b.[]