Faktor yang Mempengaruhi Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis

5. Faktor yang Mempengaruhi Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis

a. Faktor Lingkungan (Rutter, dkk., 1993) Menurut Lazarus & Folkman (dalam Rutter, dkk., 1993), situasi, kejadian atau objek apapun yang menimbulkan tuntutan dalam tubuh dan penyebab reaksi psikologis disebut stressor. Memiliki anak autis merupakan stressor bagi ibu karena ibu merasa terbeban dengan rasa takut dan sedih berkepanjangan karena merasa kehilangan masa depan anak. Tidak ada seorangpun ibu yang mengharapkan anaknya terlahir dengan gangguan perkembangan. Diagnosis autis dapat sangat memberikan kekecewaan terhadap ibu dan mengakibatkan stres. Lingkungan yang mendukung akan dapat mengurangi tingkatan stres yang dialami. Sebaliknya, tekanan dari lingkungan akan dapat meningkatkan stres pada ibu yang memiliki anak autis.

1) Cara coping stres (Nevid, dkk., 2005; Wortman,dkk., 2004; Dunn,dkk., 2001)

Berpura-pura seakan masalah tidak ada atau tidak terjadi merupakan penyangkalan. Penyangkalan merupakan contoh coping yang berfokus pada emosi (Lazarus & Folkman, dalam Nevid dkk., 2005). Pada coping yang berfokus pada emosi, orang berusaha segera mengurangi dampak stresor dengan menyangkal adanya stresor atau menarik diri dari situasi. Sebaliknya, pada coping yang berfokus pada masalah (problem focused coping) orang menilai stresor yang mereka hadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah stresor atau memodifikasi reaksi mereka untuk meringankan efek dari stresor tersebut (Nevid dkk., 2005). Ibu yang memiliki anak autis yang melakukan penyangkalan atas stressor dengan menarik diri dari lingkungan sekitar karena merasa malu dengan kondisi anaknya, sedangkan ibu yang berfokus pada masalah akan mencari solusi untuk anak mereka dan diri mereka sendiri agar bisa berbaur dengan masyarakat.

2) Harapan akan self-efficacy (Nevid,dkk., 2005)

Harapan akan self efficacy berkenaan dengan harapan individu terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantangan yang hadapinya, harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat menampilkan perilaku terampil, dan harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat Harapan akan self efficacy berkenaan dengan harapan individu terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantangan yang hadapinya, harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat menampilkan perilaku terampil, dan harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat

3) Ketahanan psikologis (Nevid dkk, 2003)

Ketahanan psikologis (psychological hardiness ) atau sekumpulan trait individu yang dapat membantu dalam mengelola stres yang dialami. Williams dkk., (dalam Nevid dkk, 2003) mengemukakan bahwa secara psikologis, orang yang ketahanan psikologisnya tinggi cenderung lebih efektif dalam mengatasi stres dengan menggunakan pendekatan coping yang berfokus pada masalah secara efektif. Ibu anak autis yang memiliki ketahanan psikologis yang tinggi menganggap stressor yang mereka hadapi membuat kehidupan lebih menarik dan menantang, bukan semata-mata membebani mereka dengan tekanan-tekanan tambahan.

4) Optimisme (Wortman, dkk., 2004; Nevid, dkk., 2005; Walker, dkk., 2009)

Brissete (dalam Walker, dkk., 2009) berpendapat bahwa orang yang optimis lebih banyak menggunakan strategi coping yang efektif dan sehingga biasanya orang yang optimis kurang rentan terhadap stres. Scheier & Carver (dalam Wortman, dkk., 2004) mengemukakan lebih lanjut bahwa individu yang optimis lebih dapat beradaptasi, baik fisik maupun psikologis terhadap gejala stres. Maka dari itu, ibu yang Brissete (dalam Walker, dkk., 2009) berpendapat bahwa orang yang optimis lebih banyak menggunakan strategi coping yang efektif dan sehingga biasanya orang yang optimis kurang rentan terhadap stres. Scheier & Carver (dalam Wortman, dkk., 2004) mengemukakan lebih lanjut bahwa individu yang optimis lebih dapat beradaptasi, baik fisik maupun psikologis terhadap gejala stres. Maka dari itu, ibu yang

5) Locus of control (Dunn, dkk., 2001)

Locus of control adalah keyakinan yang dimiliki individu terhadap sumber penyebab peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, apakah berasal dari dalam atau dari luar individu. Locus of control berkaitan dengan ketahanan psikologis untuk mengubah stressor yang negatif menjadi stressor positif.

c. Faktor-Faktor Kepribadian (Hawari, 2002) Tidak semua orang yang mengalami stres psikososial yang sama akan mengalami stres. Ternyata pada seseorang yang memiliki tipe )

Type

Pattern ) lebih rentan terkena stres. Sedangkan orang dengan tipe

lebih kebal terhadap stres. Pola tingkah laku tipe A adalah sekelompok karakteristik yang menimbulkan rasa kompetitif yang berlebihan, kemauan keras, tidak sabar, mudah marah, dan tidak dapat santai. Sedangkan pola tingkah laku tipe B memiliki ambisi yang wajar saja, tidak agresif, penyabar, dan mampu mengendalikan diri. Meskipun demikian tidak berarti orang dengan tipe kepribadian di luar kategori di atas tidak akan mengalami stres, atau dengan kata lain orang dengan tipe kepribadian A memiliki resiko stres lebih besar daripada tipe kepribadian lain (Hawari, lebih kebal terhadap stres. Pola tingkah laku tipe A adalah sekelompok karakteristik yang menimbulkan rasa kompetitif yang berlebihan, kemauan keras, tidak sabar, mudah marah, dan tidak dapat santai. Sedangkan pola tingkah laku tipe B memiliki ambisi yang wajar saja, tidak agresif, penyabar, dan mampu mengendalikan diri. Meskipun demikian tidak berarti orang dengan tipe kepribadian di luar kategori di atas tidak akan mengalami stres, atau dengan kata lain orang dengan tipe kepribadian A memiliki resiko stres lebih besar daripada tipe kepribadian lain (Hawari,

d. Faktor-Faktor Kognitif (Rutter, dkk., 1993)

Lazarus (dalam Rutter, dkk., 1993), mengatakan sesuatu yang menimbulkan stres tergantung pada bagaimana individu menilai dan menginterpretasikan suatu kejadian secara kognitif. Penilaian kognitif (cognitive appraisal) adalah istilah yang digunakan Lazarus untuk menggambarkan interpretasi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam, atau menantang dan keyakinan mereka apakah mereka memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu kejadian dengan efektif. Jadi, seberapa besar tingkat ibu menginterpretasikan stressor memiliki anak autis tergantung dari bagaimana ibu menginterpretasikannya.

e. Faktor Usia (Hurlock, 2002) Hurlock (2002) menyatakan bahwa individu yang semakin tua akan memiliki emosi yang cenderung akan semakin stabil dan kestabilan emosi ini berpengaruh terhadap daya tahan terhadap stres. Usia yang semakin bertambah mengakibatkan seseorang akan semakin mudah mengalami stres. Hal ini berkaitan dengan faktor fisiologis yang mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar.

stres pada ibu yang memiliki anak autis meliputi faktor lingkungan, faktor psikologis (terkait cara coping stres, harapan akan self efficacy , ketahanan psikologis, optimisme, dan locus of control), faktor kepribadian, faktor kognitif, dan faktor usia.