Penyebab Mahalnya Biaya Pendidikan SMA dan Birokrasinya

3. Penyebab Mahalnya Biaya Pendidikan SMA dan Birokrasinya

Pada saat seorang peserta didik hendak masuk Sekolah Menengah Atas, Ia dikenakan biaya siswa baru, besarnya berkisar lima ratus ribu rupiah hingga satu juta rupiah. Bagi anak dengan orang tua mampu, biaya seperti itu bukanlah masalah, tetapi bagi orang tua yang tidak mampu, jelas biaya sebesar itu adalah masalah besar. Jangankan uang lima ratus ribu rupiah, maka sehari-hari saja terancam.

Para orang tua berkomentar; "bukankah para guru digaji negara, untuk apa saja biaya sebanyak itu? " Sebagian besar pernyataan dibalik pertanyaan itu mengandung kebanaran. Pada umumnya untuk siswa baru, Sekolah Menengah Atas memungut biaya dengan perincian:

a. Biaya seragam sekolah

b. Biaya pembangunan

Mengkomunikasikan Hasil Studi Antropologi

d. Biaya ekstrakurikuler Setelah menjalani pendidikan di Sekolah Menengah Atas,

para peserta didik juga masih harus membayar uang buku (LKS) dan study wisata.

a. Biaya Seragam Sekolah

Pada akhir-akhir ini ada kecenderungan, bukan hanya siswa baru SMA yang diwajibkan membeli seragam sekolah, tetapi juga siswa kelas XI dan XII. Para siswa baru diwajibkan membeli bahan seragam sekolah dengan biaya antara Rp. 65.000 s.d Rp. 100.000, meliputi: 1)

1 stel bahan seragam putih abu-abu 2)

1 stel bahan seragam pramuka 3)

1 stel bahan seragam identitas sekolah. Untuk kelas XI dan XII diwajibkan membeli bahan seragam identitas sekolah, dengan harga berkisar antara Rp. 30.000 s.d Rp. 45.000.

Sepintas semua beralan wajar saja, 3 stel bahan seragam SMA dibeli dengan harga Rp. 65.000 - Rp. 100.000. Tetapi bila dibandingkan dengan kualitas bahannya dan dibandingkan dengan harga pasar maka timbul keanehan. Ternyata bila dibandingkan dengan harga pasar, harga bahan itu sangat mahal, harga bahan seragam sekolah yang dijual sekolah hanya berharga Rp. 40.000 - Rp. 60.000 tetapi anak harus membayarnya dengan harga Rp. 65.000 - Rp. 100.000. Dengan demikian terjadi mark up (penggelembungan harga).

b. Biaya Pembangunan

Setiap siswa baru pada umumnya juga dikenai biaya pembangunan untuk melaksanakan pembangunan fisik sekolah. Besarnya antara Rp. 200.000 s.d Rp. 500.000. Setiap tahun selalu ada jenis pungutan dan sekolah tidak pernah berhenti melakukan pembangunan fisik. Ada-ada saja alasan tentang materi yang akan dibangun.

Cara menentukan besarnya uang pembangunan juga sangat demokratis. Biasa berdasarkan rapat orang tua siswa yang dipimpin oleh pengurus koite sekolah dengan dihadiri pejabat SMA. Biasa para orang tua yang keberatan pada

Antropologi Kontekstual XII SMA/MA Program Bahasa Antropologi Kontekstual XII SMA/MA Program Bahasa

c. Biaya Iuran Sekolah

Sudah wajar apabila siswa baru juga dikenakan iuran sekolah. Untuk SMA di kabupaten Karanganyar yang digunakan adalah prinsip sama rata. Setiap peserta didik dikenakan biaya iuran sekolah yang sama jumlahnya tanpa memperhatikan kemampuan ekonomi orang tuanya.

Cara menentukan besarnya biaya iuran sekolah juga sangat demokratis. Biasa berdasarkan rapat orang tua siswa yang dipimpin oleh pengurus komite sekolah dengan dihadiri pejabat SMA. Biasanya lagi, para orang tua yang keberatan dengan biaya pada akhirnya harus menerima keputusan rapat. Terjadi Diktator mayoritas.

d. Biaya Ekstrakurikuler

Dengan alasan muatan lokal, sekolah mengadakan pendidikan ekstrakurikuler, seperti pendidikan komputer, musik dan keterapilan lainnya. Tentu saja biayanya dibebankan kepada peserta didik. Biasanya berkisar antara Rp. 5.000 s.d Rp.15.000 perbulannya. Cara penetuan pilihan jenis pendidikan muatan lokal yang diberikan uga sangat demokratis demikian juga dalam penentuan biayanya. Tetapi anehnya, para peserta didik mengikutinya dengan setengah hati, sehingga pendidikan muatan lokal ini juga tidak efektif.

e. Tinjauan Dari Prinsip-Prinsip Mewirausahakan Birokrasi

Ditinjau dari birokrasinya, keputusan untuk mewajibkan anak membeli bahan seragam sekolah sangat demokratis, karena keputusan itu diambil dengan persetujuan Komite Sekolah dan Rapat Orang Tua Siswa. Lalu apa yang salah? Yang salah adalah birokrasi pengadaan bahan seragam sekolah menengah atas, setidaknya tidak menerapkan prinsip:

Mengkomunikasikan Hasil Studi Antropologi

1) Pemerintahan milik masyarakat; memberi wewenang ketimbang melayani. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, (2000 : 29-35) sekolah semestinya lebih berperan sebagai katalisator dan fasilitator. Semestinya sekolah cukup menguraikan berbagai kebutuhan peserta didik, setelah itu sekolah harus lebih memberikan wewenang kepada para orang tua dan peserta didik dalam memenuhi kebutuhannya menurut kemampuannya. Bukan seperti sekarang, sekolah mendikte peserta didik dan orang tuanya dan kurang merespon apa kata orang tua peserta didik.

2) Pemerintahan yang kompetitif, menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, 2000 : 94) keuntungan paling nyata dari persaingan adalah efesiensi yang lebih besar. Pengadaan bahan seragam sekolah diadakan secara monopoli, harga ditentukan sekolah dan toko bahan seragam yang ditunjuk sekolah. Begitu juga halnya dalam pemberian jenis pelanan lainnya seperti; study wisata dan kegiatan ekstrakurikuler. Akibatnya tidak ada persaingan dan efesiensi tidak dapat diwujudkan.

3) Pemerintahan yang digerakkan oleh misi; mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, 2000 : 133), organisasi yang digerakkan oleh misi lebih efesien, efektif dan inovatif ketimbang organisasi yang digerakkan oleh peraturan. Sekolah sebaiknya hanya menyampaikan apa misi sekolah, sedang tentang bagimana cara mewujudkan misi sekolah, diserahkan kepada masing- asing peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menurut kekuatannya sendiri. Hal ini belum berlangsung di Sekolah Menengah Atas sampai saat ini pada berbagai jenis pelayanan.

4) Pemerintahan berorientasi pelanggan, memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, 2000 : 210), sistem yang berorientasi pelanggan memberi kesempatan kepada

Antropologi Kontekstual XII SMA/MA Program Bahasa Antropologi Kontekstual XII SMA/MA Program Bahasa

5) Pemerintahan antisipatif, mencegah daripada mengobati. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, 2000 : 253), pencegahan lebih memecahkan masalah ketimbang memberikan jasa. Para pejabat pendidikan, khususnya Sekolah Menengah Atas, tidak pernah mengadakan analisis mengapa biaya pendidikan sangat mahal. Mungkin perlu diadakan langkah-langkah pencegahan, seperti, pemberian jasa pengadaan bahan seragam, pelaksanaan pembangunan fisik sekolah dan study wisata sudah saatnya dihentikan. Tetapi apa mungkin hal ini terwujud, karena akan hilang keuntungan ekonomi birokrat pendidikan yang selama ini diperoleh.

6) Pemerintahan berorientasi pasar; mendongkrak perubahan melalui pasar. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, 2000 : 323), pemerintahan berorientasi pasar dapat berjalan apabila ada penawaran, permintaan, aksebilitas, informasi, peraturan dan penjagaan. Prinsip ini tidak berjalan dengan baik di SMA karena hampir dalam semua pemberian pelayanan, tidak ada penawaran yang memadai, yang ada penawaran monopoli, permintaan tidak didasarkan atas kemampuan peserta didik tetapi berdasarkan penyamarataan, tidak ada aksebilitas dimana peserta didik tidak mudah dalam mengakses penjual secara langsung, peserta didik juga tidak memiliki informasi yang cukup mengenai pelayanan jasa yang

Mengkomunikasikan Hasil Studi Antropologi