Penjelasan yang Bisa Menyesatkan
C. Penjelasan yang Bisa Menyesatkan
Selain tidak menduga akan terjadi, para ekonom pun masih berdebat mengenai penjelasan atas krisis. Setelah satu dekade berlalu, rangkaian peristiwa yang begitu dramatis tersebut tetap menyisakan suatu persoalan teoritis. Masih terdapat perbedaan pandangan me- ngenai penyebab utama dari krisis, terutama berkenaan dengan bobot dari masing-masing faktor yang diidentifikasi. Sebagai contoh, apakah goncangan eksternal, khususnya efek penularan dari krisis regional, yang menjadi faktor penyebab terpenting. Ataukah, soal lain yang lebih bersifat internal, yakni rapuhnya fundamental ekonomi. Jika keduanya dikedepankan secara bersama, maka per- debatan mengarah pada seberapa proporsi masing-masingnya. Kontroversi lain adalah mengenai upaya penanganan krisis yang tidak tepat. Mulai dari soal keterlambatan, kesalahan tindakan, sampai dengan biaya yang terlampau besar.
Kesepakatan umum hanya kepada hal yang telah jelas dengan sendirinya, yaitu urutan dan rangkaian peristiwa yang disebut krisis. Padahal, urutan peristiwa tidak selalu berarti kausalitas atau hubungan sebab akibat. Sementara itu, dinamika berikutnya pun berlangsung secara susul menyusul atau terjadi secara bersamaan. Depresiasi kurs rupiah terhadap dolar AS secara amat tajam, memulai krisis moneter yang terjadi tak lama kemudian. Suku bunga menjadi tinggi dan laju inflasi semakin tak terkendali, diiringi dengan defisit neraca pembayaran yang semakin besar. Krisis moneter diikuti oleh krisis perbankan, hanya dalam hitungan bulan, oleh karena industri perbankan tidak mampu menanggung kondisi moneter dan ke- uangan yang sedemikian berat. Secara simultan, dan dalam waktu yang amat singkat, krisis tersebut membuat sektor riil terpukul hebat, sehingga secara keseluruhan menciptakan krisis ekonomi. Krisis
18 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA
ekonomi membawa kepada krisis politik, yang berujung pada jatuh- nya rezim Soeharto.
Akan tetapi, secara berangsur-angsur, berbagai pandangan ter- sebut mengerucut ke dalam gugus ide tertentu yang sesuai dengan mainstreams economics. Pandangan para ekonom beraliran utama itu mendominasi cara berfikir dan arah kebijakan ekonomi Indonesia saat ini. Mereka ”berhasil” memberi penjelasan mengapa krisis 1997 bisa terjadi, serta mengapa pula upaya pemulihan berjalan dengan lambat. Uraian mereka disertai rekomendasi apa yang sebaiknya sekarang dan di masa mendatang harus dilakukan. Kebanyakan analisa yang disodorkan mengetengahkan sebab-sebab internal, yang berasal dari dalam negeri Indonesia. Faktor eksternal justeru lebih dianggap sebagai pemicu saja. Dalam bahasa sederhana, jika perekonomian Indonesia kokoh maka guncangan eksternal tidak akan berpengaruh besar.
Sebagai permulaan, sementara ini kita hanya menginventarisir beberapa diantara penjelasan atau pandangan yang mulai mendominasi wacana mengenai sebab krisis dan lambatnya proses pemulihan perekonomian Indonesia. Kita akan membahas lebih jauh sekaligus mengkritisi pandangan tersebut pada bab 5.
Pertama, dan yang terutama adalah adanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang luar biasa buruk dan dianggap telah mem- budaya. Berbagai proyek pembangunan ekonomi digerogoti KKN; penggunaan utang bocor oleh KKN, sehingga tak sepenuhnya sesuai dengan rencana; sebagian dana hasil minyak ditilap; hutan dibabat habis, dan hanya pura-pura direboisasi, hasil yang disetor kepada negara menjadi lebih kecil dari semestinya; dan KKN terjadi di semua level birokrasi, sehingga merupakan gejala umum. Pokoknya, banyak ahli yang berpendapat bahwa seandainya KKN tidak sebegitu parah, perekonomian Indonesia tak akan menjadi seterpuruk itu.
19 Rekomendasi perbaikan yang disodorkan terkesan sederhana, yakni
Tinjauan Umum
memberantas KKN. Kedua, porsi negara yang terlalu besar dalam perekonomian. Sebagian penalaran tentang hal ini masih berkaitan dengan KKN, dimana keadaan demikian dinilai memberi peluang besar untuk KKN. Selain soal KKN, para analis ekonomi menekankan bahwa negara atau birokrasi bersifat lamban dan tidak efisien dalam me- ngelola perusahaan. Ketidakefisienan ini berdampak buruk tidak hanya kepada BUMN bersangkutan, melainkan produktivitas per- ekonomian nasional. Sementara itu, terlampau banyaknya kebijakan ekonomi yang bersifat campur tangan pada dunia usaha, juga dinilai amat buruk. Dikatakan, bahwa bagaimana mungkin para birokrat lebih tahu daripada pelaku bisnis tentang keadaan dunia usaha.
Ketiga, adanya kesalahan strategi pembangunan ekonomi Orde Baru. Kesalahan terutama dituduhkan atas kurangnya orientasi bagi pertumbuhan ekspor. Orde Baru dianggap tidak mau, dan ketika mencoba mulai, tidak berhasil menjalankan kebijakan yang ber- orientasi “keluar”. Pembangunan ekonomi Orde Baru dianggap ber- lebihan dalam fokus kepada pemenuhan kebutuhan domestik, industrinya dikembangkan hanya untuk menggantikan kebutuhan akan barang (konsumsi) impor saja. Segala upaya dan bantuan diberikan sebagai kemudahan, termasuk “proteksi” terhadap pesaing dari luar. Akibatnya, setelah kebutuhan domestik terpenuhi, dan ingin diekspor, sebagian besar industri manufaktur kita tidak mampu bersaing. Tatkala kebutuhan devisa sudah sedemikian besar, untuk pembayaran utang luar negeri (ULN) dan membiayai impor, hasil ekspornya tidak mencukupi. Rupiah pun terpuruk, karena ke- butuhan akan dolar tidak diimbangi oleh persediaannya.
Keempat, pandangan lama ketika memulai pembangunan, khususnya ketika membenarkan ULN dan penanaman modal asing
20 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA
(PMA) agar masuk secara besar-besaran, diutarakan kembali. Diantaranya adalah: kurangnya sumber daya manusia yang terdidik dan terlatih; perkembangan teknologi produksi yang lamban; serta modal yang masih kurang, akibat kecilnya tabungan domestik. Bahkan ada yang tetap tega “menuding” bahwa rakyat kita masih banyak yang malas, kurang motivasi, dan semacamnya.
Pendapat buku ini tentang berbagai pandangan di atas amat jelas, bahwa semua hal yang disebutkan adalah tidak benar sebagai pe- nyebab krisis, apalagi penyebab utama. Sebagai contoh, sebagian besar dari isi pandangan keempat di atas bersifat mitos dan stereotype atas kondisi bangsa Indonesia. Sejak puluhan tahun lampau, opini semacam ini dihembuskan dengan gaya ilmiah oleh teori modernisasi, suatu konsep induk dari kapitalisme bagi Negara-negara miskin. Kenyataannya, bangsa Indonesia tidak terdiri dari orang- orang bodoh, malas, dan tak punya motivasi untuk maju. Terbukti sebagian besar rakyat sungguh cepat belajar, rajin, berhasrat ingin maju, dan bersedia menabung. Lebih dari segalanya, mereka ke- banyakan penyabar, masih peduli satu dengan lainnya, dan sangat berorientasi pada perdamaian. Jika masalahnya kemudian adalah mereka dibodohi, dibuat tak berdaya, dibuat menjadi konsumeris, maka adalah sesuatu yang perlu dibahas secara berbeda.
Begitu pula dengan isyu bahwa kita selalu kekurangan modal, jelas bisa menyesatkan. Kekayaan SDA kita merupakan modal yang amat besar. Indonesia bukan negara yang tidak memiliki apa-apa. Mitos akan perlunya modal (uang dan teknologi) untuk pengurasan- nya telah terbukti selama lebih dari tiga puluh tahun makin “memiskinkan” Indonesia. Lebih dari 10 milyar barel minyak mentah sudah diambil; 70% hutan alam kita dijarah; beberapa milyar ton batu bara dikuras; ribuan ton emas dan perak diangkut ke luar negeri; hasil perikanan laut kita tak terhitung yang sudah ditangkap; dan
21 sebagainya. Hasil akhirnya bagi bangsa Indonesia adalah kondisi
Tinjauan Umum
perekonomian saat ini, dan penderitaan hidup yang dirasakan oleh rakyat kebanyakan.
Kita juga melihat fakta yang ironis, yakni dinamika perbankan nasional yang sedang kelebihan dana (bisa dibaca sebagai modal yang tersedia di dalam negeri). Ada ratusan triliun dana “menganggur” di sektor keuangan, tetapi pemerintah justeru mengemis kepada pihak asing agar mau menanamkan modalnya di Indonesia. Sekalipun APBN biasanya mengalami defisit, justeru selalu ada sisa anggaran lebih setiap tahunnya karena ada belanja yang tidak berhasil direalisasikan. Ini bisa terjadi karena upaya pem- biayaan untuk defisit anggaran dicari terlebih dahulu, antara lain lewat penerbitan SUN), padahal belanja nantinya tidak seratus persen terealisasi.
K Koottaak k 1.4
Ada beberapa pandangan ekonom arus utama mengenai sebab-sebab krisis 1997 dan lambatnya upaya pemulihan. Pada umumnya yang di- ketengahkan adalah sebab-sebab internal Indonesia, sedangkan faktor eksternal lebih dianggap sebagai pemicu saja. Uraian mereka disertai rekomendasi apa yang sebaiknya dilakukan.
Sebagian dari faktor yang disebutkan sebenarnya bukan penyebab utama krisis, paling jauh hanya sekadar memperparah. Keadaan. Sebagian faktor lainnya bersifat mitos yang dihembuskan oleh teori modernisasi sejak puluhan tahun lampau.