Kelemahan Penggunaan Indikator Makroekonomi
G. Kelemahan Penggunaan Indikator Makroekonomi
Pemerintah bersikeras bahwa kondisi makroekonomi amat baik dan cenderung terus membaik. Sementara itu, kondisi mikroekonomi
NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA
justeru tampak mengkhawatirkan. Dalam kehidupan ekonomi sehari- hari yang nyata, kebanyakan orang merasakan nuansa berbeda dari persepsi pemerintah. Banyak dari mereka atau keluarga mereka yang menganggur, serta selalu kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Penghasilan riil, yang diukur dari kapasitas pendapatan untuk mem- beli barang dan jasa kebutuhan sehari-hari, telah menurun cukup drastis. Mereka harus mengkonsumsi makanan yang lebih sedikit atau dengan kualitas yang lebih rendah. Mereka harus “betul-betul sakit” untuk pergi ke RS/dokter, karena pertimbangan akan biayanya. Keputusan untuk meneruskan ke sekolah menengah, apalagi ke per- guruan tinggi, harus diperhitungkan secara matang oleh seluruh anggota keluarga. Rekreasi atau hiburan yang sifatnya memerlukan biaya ekstra, mulai menjadi barang mewah bagi banyak keluarga. Di daerah Jawa Tengah dan DIY, jika ada tetangga atau kerabat yang punya hajatan, mulai disikapi sebagai beban tambahan. Dan yang sangat mengejutkan adalah sudah mulai ada beberapa anak SD yang bunuh diri karena kemiskinan, menyusul fenomena bunuh diri para orang dewasa. Kriminalitas dan kerawanan sosial, dengan alasan ekonomi, mulai menjadi gejala di masyarakat yang sebetulnya sangat ramah dan santun.
Berita media dan berbagai survei mikroekonomi memperlihat- kan bahwa dunia usaha harus berjuang keras agar survive. Usaha berskala besar mengeluhkan berbagai pajak, pungutan yang resmi dan yang liar, serta perizinan yang dianggap menghambat. UMKM harus berjuang dari hari ke hari agar pemasukan melebihi pe- ngeluaran usahanya. Banyak UMKM yang membutuhkan dana segar, namun kesulitan memperolehnya, sekalipun opini yang di- kembangkan dalam arah kebijakan perbankan adalah mem- prioritaskan mereka. Sementara UMKM kekurangan dana, dana ditimbun atau “menganggur” di dunia perbankan dan pasar modal.
Realita Perekonomian Indonesia (1): Makroekonomi
1. Bias Data Statistik Ada beberapa hal mendasar yang membuat kebanyakan ekonom
dan pemerintah seolah “tidak memahami” kenyataan dari kehidupan rakyat kebanyakan. Mereka lebih meyakini persepsinya sendiri, dan terkesan kurang peduli pada pandangan lain. Salah satu diantara penyebabnya adalah penggunaan statistik, khususnya indikator ekonomi, yang “semena-mena”. Sebagai contoh, kita bisa mengkritisi angka pertumbuhan ekonomi, yang diukur dari pertumbuhan PDB riil, yang sudah mulai mencapai rata-rata lebih dari 5 % selama be- berapa tahun terakhir. Hal ini dibanggakan sebagai peningkatan yang luar biasa setelah sebelumnya sempat terpuruk, minus lebih dari 13 % pada tahun 1998, dan hampir stagnan dalam satu tahun berikutnya. Padahal, PDB adalah angka total keseluruhan, per- tumbuhan ekonomi adalah perbandingan dari data tahun sebelum- nya (secara teknis, yang dibandingkan adalah PDB atas dasar harga konstan). Akal sehat pun bisa menangkap bahwa PDB adalah angka agregat, yang bersifat keseluruhan. Angka agregat sama sekali tidak mencerminkan distribusinya. PDB misalnya, hanya akan meng- hasilkan angka rata-rata jika dibagi dengan jumlah penduduk. PDB atas dasar harga yang berlaku pada tahun 2007 adalah sekitar Rp 3.957 trilyun, dengan penduduk sekitar 225 juta, maka PDB per kapita hampir mencapai Rp 17,58 juta. Seandainya satu keluarga terdiri dari
4 jiwa, maka penghasilan rata-rata per keluarga adalah lebih dari Rp 70 juta per tahun, atau hampir 6 juta rupiah per bulan. Berapa banyak keluarga di Indonesia yang memiliki penghasilan sebesar itu? Statistiknya barangkali tidak keliru dan tak dimanipulasi, namun memang bersifat pukul rata. Jika ada yang berpenghasilan milyaran rupiah, maka akan “menambahi” rata-rata bagi yang berpenghasilan ratusan ribu rupiah, bahkan bagi yang tak memiliki penghasilan sama sekali.
NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA
Statistik ekonomi juga rawan dengan penyalahgunaan metodologis, sekalipun sepertinya masih bisa diterima secara ilmiah. Sebagai contoh adalah statistik tentang pengangguran. Pencacahan yang dilakukan pada bulan-bulan tertentu, seperti pada saat musim tanam atau saat panen raya, akan sangat berbeda jauh dibandingkan jika dilakukan pada waktu lainnya. Bisa diduga akan banyak orang sedang bekerja pada saat itu. Contoh lain adalah statistik kemiskinan yang menggunakan garis batas dengan basis pengeluaran, dimana jumlah pengeluaran di bawah garis dikategorikan miskin. Cara ini kurang memberi info memadai mengenai penduduk yang sekalipun berada di atas garis, namun menumpuk di sekitar garis batas ke- miskinan. Basis data berupa jumlah pengeluaran juga terlampau peka dengan pendapatan temporer yang bisa memperbaiki status miskin hanya dalam waktu sekejap (misalnya dengan kebijakan instan), namun rawan akan kejatuhannya kembali.
2. Berperspektif Jangka Pendek Analisa makroekonomi dalam laporan resmi pemerintah dan
Bank Indonesia pada umumnya memiliki horison waktu jangka pendek. Sebagiannya disebabkan periodisasi laporan yang bersifat relatif jangka pendek (triwulanan, semester, atau tahunan), sehingga fokusnya adalah perubahan selama kurun waktu tersebut. Variabel yang diamati atau dilaporkan sering dideskripsikan dengan me- nganalisa faktor-faktor yang tampak berpengaruh signifikan dalam perspektif waktu bersangkutan. Akibatnya, faktor-faktor yang se- benarnya berpengaruh signifikan, namun dalam kurun waktu yang lebih panjang, kerap kurang diperhatikan. Bahkan, beberapa variabel penting dalam makroekonomi jarang sekali dibahas karena fakta jangka pendeknya tidak mengalami perubahan berarti.
Textbook macroeconomics yang mutakhir kebanyakan mem-
121 bedakan analisa berdasar horison waktu menjadi jangka pendek dan
Realita Perekonomian Indonesia (1): Makroekonomi
jangka panjang. Mankiw (2003) bahkan menambahkan satu horison waktu lagi, yaitu jangka sangat panjang. Sebagian besar ahli makro- ekonom percaya bahwa perbedaan penting antara jangka pendek dengan jangka panjang adalah perilaku harga. Sebagaimana yang dikatakan Mankiw, dalam jangka panjang, harga bersifat fleksibel dan bisa menanggapi perubahan dalam penawaran dan permintaan. Dalam jangka pendek, banyak harga bersifat ”kaku” pada tingkat yang ditentukan sebelumnya. Karena harga berperilaku secara berbeda, maka kebijakan ekonomi memiliki dampak yang berbeda pada selang waktu berlainan.
Di awal tulisan sudah diingatkan bahwa analisa makroekonomi, termasuk laporan resmi pemerintah dan Bank Indonesia, mesti di- fahami dalam kerangka bekerjanya mekanisme pasar. Mekanisme pasar dalam soal makroekonomi bekerja melalui empat pasar utama, yaitu: pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja, dan pasar luar negeri. Yang dibayangkan adalah interaksi atau pertemuan antara permintaan dan penawaran, yang memiliki aspek harga dan aspek kuantitas.
Sebagai contoh, dampak perubahan kebijakan moneter seperti penambahan atau pengurangan jumlah uang beredar akan berbeda antar horison waktu. Menurut model klasik, dalam jangka panjang, kebijakan itu hanya akan mempengaruhi variabel-variabel nominal, namun tidak berpengaruh pada variabel-variabel riil. Artinya, ke- bijakan itu tidak menyebabkan fluktuasi dalam output atau ke- sempatan kerja.
Akan tetapi, dalam jangka pendek, banyak harga yang tidak menanggapi perubahan tersebut. Penambahan atau pengurangan jumlah uang beredar tidak langsung mengubah harga banyak jenis barang dan jasa. Akibatnya, ada penyesuaian dalam hal output dan
NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA
kesempatan kerja. Dengan demikian, variabel nominal bisa mem- pengaruhi variabel riil, sehingga perekonomian bisa saja me- nyimpang dari equilibrium yang diprediksi oleh model klasik.
Contoh mengenai bias karena memiliki perspektif yang ber- jangka pendek adalah dalam soal pertumbuhan ekonomi dan pilihan atas kebijakan makroekonomi yang dijalankan. Ada kesan bahwa soal pertumbuhan ekonomi, perubahan tingkat output nasional secara keseluruhan, disikapi secara kurang proporsional yakni dalam perspektif jangka pendek belaka. Indikasi serupa terlihat pada tulisan kolom media oleh para ekonom atau pengamat. Bahkan harus diakui, cara pembahasan kita di atas tadi juga menggunakan horison waktu jangka pendek. Bukannya hal itu tidak benar, namun kita sangat perlu melihat persoalannya dengan perspektif waktu yang lebih panjang.
Di bagian pembahasan tentang pertumbuhan ekonomi di atas, kita telah menyinggung beberapa definisi pertumbuhan ekonomi yang lebih luas cakupannya dan berperspektif jangka panjang. Bahkan textbook yang ditulis oleh Boediono (sekarang gubernur BI, dan berulangkali menjadi menteri di bidang ekonomi) lebih dari dua dekade lalu (namun dicetak berulangkali sebagai buku ajar yang banyak dipakai di Indonesia) telah menjelaskan masalah semacam ini. Sebagian ekonom dunia bahkan mengartikan pertumbuhan ekonomi secara lebih ketat. Misalnya dengan menekankan bahwa per- tumbuhan yang terjadi harus bersumber dari proses internal perekonomian tersebut, bukan dari luar yang bersifat sementara. Juga dengan penekanan terhadap perubahan kelembagaan, termasuk yang bukan ekonomi, yang mendukung kelanggengan peningkatan kapasitas produksi yang berlangsung. Singkatnya, suatu ekonomi dikatakan tumbuh jika berkaitan dengan perubahan sosial yang lebih luas yang menjamin kesinambungan pertumbuhan output.
123 Di atas kita pun telah mengingatkan bahwa akibat berperspektif
Realita Perekonomian Indonesia (1): Makroekonomi
jangka pendek, maka kebijakan makroekonomi hanya mengutak- atik permintaan agregat dari tahun ke tahun. Celakanya, itu pun tidak bisa optimal. Upaya menyeimbangkan kontribusi konsumsi (swasta dan pemerintah) dengan investasi saja belum berhasil hingga kini. Apalagi jika investasi dimaksud harus secara nyata meningkatkan kapasitas produksi dalam jangka panjang (tidak sekadar asal meningkatkan permintaan agregat dalam jangka pendek). Berhubungan dengan itu, bahkan ada pengeluaran (dalam APBN) yang per definisi adalah belanja modal, namun tidak signifikan se- bagai penambahan kapasitas produksi.
Soal lain yang terkait adalah kurang mampunya para pengambil kebijakan melihat tenaga kerja sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Pertambahan angkatan kerja lebih disikapi sebagai beban masalah yang harus dipecahkan lewat pertumbuhan ekonomi de- ngan mengandaikan adanya investasi besar-besaran secara terus menerus. Padahal, tenaga kerja itu sendiri merupakan sumber per- tumbuhan ekonomi, terutama dalam jangka panjang.
Jika dibicarakan lebih lanjut, kebijakan makroekonomi yang di- pilih mestinya juga memperhitungkan ketersediaan teknologi atau berdimensi teknologis. Maksudnya, penambahan modal secara agregat an sich akan kurang efektif jika tidak disertai perencanaan pengembangan teknologi yang tepat. Yang terjadi dalam per- ekonomian bisa saja dinamika produksi yang bersifat saling meniadakan atau substitutif, bukannya komplementer untuk me- nambah kapasitas produksi. Suatu investasi mungkin segera me- nambah kapasitas produksi, namun karena berdampak pada matinya kelompok usaha produktif yang lain, maka hasil akhirnya tidak bisa dihitung sebesar tambahan investasi itu saja. Masih beruntung jika hasil bersihnya adalah positif. Perhitungannya menjadi sulit, ketika
NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA
sektor usaha modern yang lebih tercatat secara tata keuangan modern menggusur banyak usaha yang kurang terbukukan.
Daripada kebijakan ekonomi kita hanya berjalan menghitung hari (biasanya berdasar prakiraan setahun ke depan), lebih baik horison waktunya diperpanjang. Dalam kasus angka pertumbuhan ekonomi, sebaiknya dilihat dalam kerangka yang lebih luas dan waktu yang panjang. Istilah fundamental makroekonomi yang kuat mestinya merujuk kepada ukuran ini, bukannya indikator tertentu yang dipilih, sehingga menyamarkan kerentanan. Sebagai contoh, antara lain: per- tumbuhan ekonomi dengan sumber utama konsumsi, penambahan modal domestik bruto (investasi) yang bersifat amat padat modal, per- tumbuhan pesat lebih bertumpu kepada sektor usaha yang kurang memiliki kaitan ke belakang dan ke depan, ekspor dengan komponen impor yang tinggi, NPI yang ditopang oleh transaki modal jangka pendek, defisit anggaran pemerintah yang dibiayai utang secara terus menerus, dan kebijakan anti inflasi yang berbiaya mahal.
Memang ada pandangan bahwa permasalahan itu akan ”selesai dengan sendirinya” dalam jangka panjang melalui mekanisme pasar. Teknologi semacam apa, tenaga kerja seberapa dan sekualitas bagaimana, modal sebanyak apa, seluruhnya akan menyesuaikan diri dengan fleksibilitas harga jangka panjang. Penalaran serupa berlaku untuk berbagai aspek penting dari perekonomian. Itulah yang kami sebut sebagai bias penalaran ekonom, yang akan dibahas secara singkat pada bagian berikut.
3. Bias Penalaran Ekonom Selain soal penggunaan statistik yang semena-mena dan
perspektif berjangka pendek dalam kebijakan, memang ada jalan berfikir yang diyakini oleh para ahli ekonomi pemerintah, yang ter- sirat dari uraian tadi. Bukan hal yang kebetulan pula jika para ahli
125 ekonomi akademis nonpemerintah kebanyakan berpikiran serupa.
Realita Perekonomian Indonesia (1): Makroekonomi
Dalam kerangka analisis, mereka menyederhanakan perekonomian ke dalam model, abstraksi, dengan mengidentifikasi beberapa hal yang dianggap penting dan mendasar. Mereka juga memiliki pandangan tentang apa yang merupakan sebab dan soal mana se- bagai akibat. Mereka memiliki pandangan tentang mekanisme atau bekerjanya faktor-faktor yang dianggap penting tadi. Sebagai contoh, kemiskinan dan pengangguran bukanlah variabel yang termasuk dalam model atau “cara berfikir”, keduanya lebih bersifat akibat. Akibat pun dikemas sebagai akibat tidak langsung. IHSG yang jatuh beberapa poin secara terus menerus dalam sepekan akan lebih “me- ngerikan” bagi mereka, daripada 17 % atau 39 juta jiwa penduduk miskin. Angka kemiskinan itu menurut ukuran BPS, sedangkan jika yang dipakai adalah standar lain, 2 dolar per hari sesuai standar Bank Dunia misalnya, maka angkanya akan menjadi tiga kali lipat, men- capai separoh jumlah penduduk.
Penalaran ekonom mainstreams bisa difahami dari pembicaraan mengenai pelaku ekonomi. Teori makroekonomi biasa membagi pelaku ekonomi sebagai rumah tangga, perusahaan, pemerintah dan pihak luar negeri. Belakangan, pengertian pihak luar negeri pun menjadi samar, mengingat bebasnya modal asing menjadi penduduk secara hukum dan ekonomi. Fokus pembicaraan hanya berkisar pada optimalisasi kepuasan konsumen, keuntungan produsen dan peran stabilitas serta ”cuci piring” dari pemerintah.
Contoh lain adalah upaya pengecilan peran negara, sekaligus meningkatkan peran mekanisme pasar dalam perekonomian. Negara lebih terfokus sebagai penjamin keamanan, memberlakukan hukum untuk ketertiban, dan hanya dalam keadaan terpaksa memberi bantuan “darurat”. Pasar lah yang dianggap paling berkompeten me- mutuskan tentang: apa saja yang akan diproduksi dan seberapa
NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA
banyak jumlahnya; seberapa banyak orang yang bisa bekerja (berarti seberapa yang menganggur), berapa upahnya; siapa saja yang akan lebih menikmati pertumbuhan ekonomi; dan sebagainya. Selalu dijanjikan, jika mekanisme tersebut dilaksanakan dengan konsisten maka akhirnya semua orang akan sejahtera, meskipun dengan tingkatan yang berbeda. Bukankah sejak awal telah dikatakan bahwa: “jika setiap individu mengejar kepentingan ekonominya sendiri dengan sungguh-sungguh, maka hasil keseluruhannya bagi kesejahteraan orang banyak akan lebih baik daripada jika mereka bersama-sama merencanakan dan berusaha untuk itu.”
Pada kenyataannya, perusahaan terdiri aneka ragam bentuk dan skala produksi. Perilaku dasarnya untuk mengoptimalkan profit mungkin masih serupa. Namun, detil perilaku dan dampaknya bagi perekonomian secara keseluruhan berbeda. Akan lebih berbeda lagi jika memperhitungkan faktor kesejarahan (sosial dan budaya) serta ”level” perekonomian yang ada pada saat perusahaan itu eksis.
Pada akhirnya memang mesti ditegaskan kembali (dan di- laksanakan) soal sistem ekonomi yang telah diamanatkan konsititusi. Sebenarnya, pembicaraan dalam wacana ekonomi politik (dan pem- bangunan) bisa segera dilakukan sebagai upaya menempatkan mekanisme pasar pada level yang seharusnya dalam konteks Indonesia. Bukti empiris dari keberhasilan mekanisme pasar untuk membuat perekonomian dalam artian umum menjadi efisien adalah nyata pada banyak kasus. Akan tetapi mempercayakan segala se- suatunya kepada mekanisme pasar adalah membahayakan nasib bangsa dan rakyat kebanyakan. Bahkan, sikap tersebut ahistoris jika melihat contoh pengalaman dari negara yang paling liberal sekalipun. Wajar jika sebagian pihak kritis menyebut Indonesia pada saat ini sebagai negara paling liberal dalam pengelolaan per- ekonomiannya.
127 K Koottaak k 2.9
Realita Perekonomian Indonesia (1): Makroekonomi
Sementara pemerintah menklaim kondisi makroekonomi amat baik dan cenderung terus membaik, rakyat kebanyakan merasakan hal yang berbeda. Penyebabnya antara lain: bias penalaran statistik agregat, bias perspektif jangka pendek, dan bias pengagungan mekanisme pasar.