Kajian Produktivitas Dan Kesejahteraan Domba Garut Dengan Pakan Limbah Tauge Dan Manajemen Waktu Pemberian Berbeda

(1)

BERBEDA

SRI RAHAYU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016


(2)

(3)

Pakan Limbah Tauge dan Manajemen Waktu Pemberian Berbeda. Dibimbing oleh MOHAMAD YAMIN, CECE SUMANTRI dan DEWI APRI ASTUTI.

Domba merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia, baik sebagai penghasil daging maupun sebagai hewan kurban. Namun produktivitasnya, terutama domba lokal masih relatif rendah. Rendahnya tingkat produktivitas domba lokal pada umumnya selain disebabkan oleh faktor genetik, juga dikarenakan faktor lingkungan, diantaranya adalah pakan dan iklim mikro.

Beberapa faktor lingkungan yang menyebabkan rendahnya tingkat produktivitas ternak domba di Indonesia adalah kualitas nutrisi pakan yang rendah dan iklim tropis yang panas yang menyebabkan ternak mengalami stres panas. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas domba lokal dapat dilakukan melalui perbaikan nutrisi pakan, diantaranya dengan memanfaatkan berbagai limbah industri pangan. Salah satu limbah industri pangan yang berpotensi menjadi bahan pakan yang baik adalah limbah tauge kacang hijau. Selain itu, peningkatan produktivitas, juga dapat dilakukan melalui perbaikan manajemen pemberian pakan dengan memanfaatkan fenomena iklim mikro di daerah tropis ( pada siang hari suhu tinggi dan pada malam hari suhu rendah)

Limbah tauge kacang hijau adalah produk buangan pengolahan kacang hijau menjadi tauge, yang mempunyai kandungan serat yang cukup tinggi disertai dengan kandungan protein yang relatif tinggi, diharapkan dapat digunakan untuk mensubstitusi pakan hijauan, terutama rumput yang pada umumnya kandungan proteinnya rendah, sehingga produktivitas domba meningkat. Peningkatan produktivitas ini diharapkan lebih optimal dengan mengatur waktu pemberian pakan yang tepat, yakni pemberian pakan pada sore hari, sehingga metabolisme pakan terjadi pada malam hari dengan suhu lingkungan yang nyaman.

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pemanfaatan limbah tauge kacang hijau sebagai pakan sumber serat dan perubahan manajemen pemberian pakan yang disesuaikan dengan fenomena iklim mikro di daerah tropis, yakni dari pemberian pakan pada pagi hari ke sore hari untuk meningkatkan produktivitas ternak domba tanpa mengabaikan aspek kesejahteraan ternak.

Penelitian bagian pertama adalah mendeskripsikan limbah tauge secara fisik dan mengidentifikasikan kandungan nutrien, antinutrisi dan kandungan zat lainnya yang diduga berpengaruh terhadap produktifitas ternak dengan pengambilan sampel limbah tauge dari beberapa pengrajin tauge secara acak di pasar, kemudian dilakukan analisis ragam terhadap data komposisi fisik dan kualitas nutriennya. Penelitian selanjutnya (bagian 2 sd 4) adalah mengevaluasi produktivitas dan kesejahteraan ternak domba Garut dengan perlakuan jenis ransum, R1 (60% konsentrat 1 + 40% rumput lapang) dan R2 (60% konsentrat 2 + 40% limbah tauge) serta waktu pemberian pakan pagi hari (pukul 6 00) dan sore hari (pukul 17 00). Peubah-peubah yang diamati adalah tingkah laku, respon fisiologis, profil hematologis, status metabolit darah, performa pertumbuhan dan pasca panen. Data yang diperoleh secara keseluruhan di analisis ragam, kecuali performa pasca panen dengan analisis deskriptif.


(4)

kering udara, komposisinya menjadi 87.60% (84.37-89.97%) kulit tauge dan 12.40% (10.03-15.63%) tauge serta potong-potongannya. Kandungan nutrien protein kasar, serat kasar dan BETN (13.76%, 30.14%, 52.87%). Kandungan NDF dan ADF, zat antinutrisi tannin, enzim protease serta kandungan vitamin E pada limbah tauge, sangat mendukung potensinya sebagai pakan yang baik untuk peningkatan produktivitas ternak.

Indikator produktivitas dan kesejahteraan ternak antara lain adalah performa pertumbuhan dan pasca panen, tingkah laku serta respon fisiologis. Berdasarkan tingkah laku yang diamati (tingkah laku makan, istirahat, agonistik dan tingkah laku lainnya), pemberian ransum limbah tauge dengan waktu pemberian pakan yang berbeda tidak menyebabkan abnormalitas pada domba Garut. Sementara itu, respon fisiologis (laju respirasi, denyut nadi dan suhu tubuh), profil hematologis dan status metabolit darah (kadar glukosa, Urea-N dan kolesterol) termasuk dalam kisaran normal.

Pemberian 40% limbah tauge dalam ransum domba Garut dengan waktu pemberian pakan yang berbeda dapat meningkatkan performa pertumbuhan dan pasca panen. Pertambahan bobot badan harian (pbbh) domba dengan ransum limbah tauge (140.94g/ek/h) lebih tinggi dari pada yang diberi ransum rumput (76.61g/ek/hr). Konversi pakan domba yang diberi ransum limbah tauge dengan waktu pemberian sore hari (6.07) lebih baik dari pada domba yang diberi ransum rumput dengan pemberian pagi hari (7.88) maupun sore hari (8.27) serta ransum limbah tauge pada pagi hari (7.84).

Secara ekonomi, pemberian ransum limbah tauge dan waktu pemberian pakan sore hari pada domba meningkatkan pendapatan sesudah biaya pakan serta meningkatkan efisiensi waktu pencapaian pertambahan bobot hidup hampir dua kali lipat dibandingkan domba yang diberi ransum rumput dengan waktu pemberian pada sore hari.

Performa pasca panen menunjukkan bahwa pemberian ransum limbah tauge memberikan pengaruh yang lebih baik pada kualitas karkas dan daging, kecuali kandungan lemak dibandingkan ransum rumput. Namun waktu pemberian pakan sore hari cenderung menurunkan kadar lemak karkas maupun daging..Kandungan asam lemak, terutama asak lemak tak jenuh (PUFA) lebih tinggi pada domba yang diberi ransum rumput, sebaliknya asam lemak jenuh SFA lebih tinggi pada domba yang diberi limbah tauge. .Kadar kolesterol daging domba yang diberi ransum limbah tauge pada sore hari cenderung lebih rendah pada daging domba yang diberi ransum limbah tauge pagi hari dan yang diberi ransum rumput pada pagi dan sore hari.

Dari rangkaian penelitian pendahuluan dan penelitian utama diperoleh bahwa limbah tauge secara fisik dan kualitas kandungan nutrien berpotensi sebagai pakan ternak yang baik, terutama untuk ternak ruminansia. Pemanfaatan limbah tauge sebesar 40% dalam ransum dengan waktu pemberian pakan sore hari, mampu meningkatkan produktivitas domba garut tanpa mengurangi tingkat kesejahteraannya.


(5)

Mung Bean Sprouts Waste at Different Times. Supervised by MOHAMAD YAMIN, CECE SUMANTRI and DEWI APRI ASTUTI.

Sheep are an important commodity in Indonesia, where they provide a source of meat and sacrificial animals for religious rituals. However productivity, especially the local sheep is still relatively low. Low productivity of the local sheep are generally caused by factors other than genetics, are also due to environmental factors, such as feed and microclimate.

Some of the environmental factors that cause low productivity of sheep in Indonesia is a low quality feed nutrients and hot tropical climate that causes animals to experience heat stress. Therefore, an increase in the productivity of local sheep can be done through improvement of feed nutrients, such as by utilizing a variety of industrial wastes food. One food industry waste that could potentially be a good feed material is mung bean sprouts waste. In addition, increased productivity, can also be done through improved management of feeding by utilizing the phenomenon of micro-climate in the tropics (at daytime temperatures rise / heat and at night the temperature decrease / cold).

Mung bean sprouts waste (MBSW) are a by product of the processing of green beans into bean sprouts, which have a fiber content is quite high along with proteins that are relatively high, expected to be used to substitute forage, especially natural grass generally protein content is low, so that the productivity of sheep increased. Increased productivity is expected to be optimized by setting the proper time feeding, ie feeding in the evening, so the metabolism of feed occurs at night with a comfortable ambient temperature

The purpose of this study was to assess the utilization of mung bean sprouts waste as a feed source of fiber and management changes feeding adapted to the phenomenon of micro-climate in the tropics, from feeding in the morning to the evening to increase the productivity of sheep without neglecting the welfare aspects of livestock.

The first part of this Research was to describe the waste bean sprouts physically and identify the nutritional content, antinutrisi and content of other substances which are supposed to influence the productivity of livestock by sampling sewage sprouts of several craftsmen bean sprouts at random in the market, then do analysis of variance of the data on body composition and quality of nutrients. Subsequent studies (parts 2 to 4) were to evaluate the productivity and welfare of Garut sheep with the type of ration treatment were ration1 (60% concentrate 1 + 40% natural grass) and ration 2 (60% concentrate 2 + 40% MBSW) and feeding time in the morning and evening. Variables observed were behavioral, physiological responses, the haematological profile, blood metabolites status, growth performance and post-harvest. Data obtained overall analysis of variance, except for the performance of post-harvest with descriptive analysis.

The results showed that the waste sprouts (fresh) is a mixture of components sprouts seedcoat around 70.90% (67.89-75.32%) and bean sprouts 29.10% (24.68-32.11%). In the form of dry air, the composition becomes 87.60% (84.37-89.97%) sprouts seedcoat and 12:40% (10.03-15.63%) bean sprouts.


(6)

livestock productivity improvement.

Indicators of productivity and welfare of livestock include growth and post-harvest performance, behavior and physiological responses. Based on the observed behavior (eating, resting, agonistic and other behaviors), rationing mung bean sprouts waste with different feeding time did not cause abnormalities behavior in Garut sheep. Meanwhile, physiological responses (respiration rate, pulse rate and body temperature), haematological profile and status of blood metabolites (glucose, urea-N and cholesterol) were included in the normal range.

Giving 40% of mung bean sprouts waste in Garut sheep rations with different feeding time can improve the performance of growth and post-harvest. Average daily body weight gain (ADG) lamb with bean sprouts waste ration (140.94g/d) was higher than that given rations of natural grass (76.61g/d). Sheep feed conversion ration by bean sprouts waste with the evening feeding time (6:07) is better than a sheep that were given rations of natural grass with morning feeding time (7.88) and evening (8:27) as well as waste ration bean sprouts in the morning (7.84).

Economically, giving ration of bean sprouts waste and time the evening feeding time of sheep was increase revenue after feed costs and improve efficiency while achieving the live weight gain is almost twice that of sheep that were given rations of grass with evening feeding time.

Post-harvest performance indicates that the ration of waste sprouts gives a better effect on carcass quality and meat, except the fat content than the ration of grass. But the evening feeding time tends to reduce levels of fat. Carcass fat and fatty acids, especially unsaturated fatty acids (PUFA) were higher in sheep given a ration of grass, otherwise saturated fatty acids (SFA) higher in sheep by waste sprouts. Cholesterol lamb were given rations of waste sprouts in the evening tends to be lower in meat sheep were given rations of bean sprouts waste the morning and were given a ration of grass on the morning and evening..

From a series of the observations in this study were obtained that the mung bean sprouts waste physically and quality content of nutrients potentially as good fodder, especially for ruminants. Bean sprouts waste utilization by 40% in the ration with the evening feeding time, increase productivity Garut sheep without reducing the level of welfare.


(7)

BERBEDA

SRI RAHAYU

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor

pada

Program Studi Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016


(8)

(9)

(10)

(11)

Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak awal bulan Juli sampai Desember 2013, adalah “Kajian Produktivitas dan Kesejahteraan Domba Garut dengan Pakan Limbah Tauge dan Manajemen Waktu Pemberian Berbeda”. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa proses penelitian dan penulisan disertasi ini tidak akan berjalan lancar tanpa dukungan dari banyak pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih.

Kepada yang terhormat Bapak Dr Ir Mohamad Yamin, MAgrSc, Bapak Prof Dr Ir Cece Sumantri, MSc, dan ibu Prof Dr Ir Dewi Apri Astuti MS selaku komisi pembimbing, penulis menghaturkan terima kasih atas curahan waktu, arahan, bimbingan, dan dorongan semangat, dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada bapak Prof. Dr. Ir I Komang Gede Wiryawan dan ibu Dr. Ir. Henny Nuraini MSi yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian sidang tertutup serta ibu Dr. Ir. Bess Tiesnamurti MSc dan bapak Prof. Dr. Ir I Komang Gede Wiryawan sebagai penguji pada sidang promosi doktor yang telah banyak memberikan masukan-masukan untuk perbaikan disertasi ini.

Kepada Dekan Fakultas Peternakan IPB periode 2011-2015, Bapak Prof Dr Ir Luki Abdullah, MScAgr, penulis sangat berterimakasih atas kesempatan yang diberikan untuk sekolah program doktor. Terima kasih kepada teman sejawat dan kolega lab. Rumcil (bapak Yamin dan bapak Baihaqi), Bagian Proterdekat (ibu Asnath dan seluruh warga Bagian), Departemen IPTP (ibu Irma dan seluruh warga Departemen) serta seluruh staf pengajar dan tenaga kependidikan Fakultas Peternakan IPB atas dukungannya selama ini.

Kepada bapak Dr Ir Salundik, MSi selaku Ketua Program Studi ITP beserta jajarannya (ibu Ade dan ibu Okta) di Sekretariat Pasca ITP, serta seluruh staf pelayanan sekretariat Pasca IPB, penulis menyampaikan terima kasih atas pelayanannya selama penulis menempuh studi. Kepada teman-teman seperjuangan di Program Studi ITP angkatan tahun 2011( ibu Niken, ibu Ririt, ibu Kokom, ibu Heni, ibu Zuraida, ibu Nandari, ibu Tati dan bapak Amru) terima kasih atas kebersamaannya, dan khusus kepada ibu Niken tempat saya bertanya dan berdiskusi, terima kasih atas masukan-masukannya. Kepada mahasiswa S2 dan S1(Aslimah, Fira, Iwan, Bima, Sabrun, Cahya, Vivin) dan pegawai kandang Amir dan Haer, yang telah membantu dalam penelitian serta semua pihak yang telah membantu, penulis juga mengucapkan terima kasih.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Sekolah Pasca Sarjana IPB yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa program doktor dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI atas beasiswa BPPS serta didanainya penelitian hibah pasca, sehingga penulis dapat menyelesaikan sekolah dengan lancar. Terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman PT Sapta Andalus Nusantara (bapak Ruri, bapak Cecep, bapak Rudy Eka, bapak Sudarmaji, bapak Agus dan bapak Cri Mulyo ) atas dorongan


(12)

disampaikan kepada suami (alm. Heru Yuwono) dan anak-anak (Aria Maulana + Silva Isma, Indrawan Muhammad, Annisa Sophia, dan Laila Wulanalfi), cucu tersayang (Genderang Sandya Persada dan Amaranggana Maina Pertiwi), dan seluruh keluarga besar (Kel.S. Matradji, Kel.Pahwono, Kel. dr. Isma Sp.B) atas doa, kasih sayang, kesabaran, dukungan dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2016 Sri Rahayu


(13)

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Kebaruan Penelitian 6

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Hipotesis Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 7

2 PENELITIAN PENDAHULUAN : DESKRIPSI FISIK DAN IDENTIFIKASI KUALITAS NUTRISI LIMBAH TAUGE KACANG

HIJAU SEBAGAI PAKAN TERNAK 8

Pendahuluan 8

Bahan dan Metode 10

Hasil dan Pembahasan 16

Simpulan 22

3 PENELITIAN UTAMA: EVALUASI TINGKAH LAKU, RESPON FISIOLOGIS DAN PERFORMA DOMBA GARUT DENGAN PAKAN LIMBAH TAUGE DAN WAKTU PEMBERIAN BERBEDA 24

Pendahuluan 24

Bahan dan Metode 26

Hasil dan Pembahasan 36

Simpulan 63

4 PEMBAHASAN UMUM 64

5 SIMPULAN DAN SARAN 67

DAFTAR PUSTAKA 69


(14)

1.1 Bagian-bagian penelitian dan tujuan yang ingin dicapai 7 2.1 Komposisi Fisik Limbah Tauge Segar berdasarkan sumber/pengrajin

tauge dan dalam penyimpanan dalam bentuk segar 17 2.2 Komposisi Fisik Limbah Tauge Kering Udara berdasarkan

sumber/pengrajin tauge dan lama penyimpanan dalam bentuk segar 18 2.3 Kadar bahan kering udara limbah tauge dan komponennya 19 2.4 Kandungan nutrien limbah tauge (LT) dan komponen-komponennya

dalam bentuk segar dan 100% bahan kering serta rumput lapang*). 20 2.5 Kandungan Serat (NDF & ADF), Anti Nutrisi (Tanin & Fitat), Enzim

(α amilase & Protease) dan Vitamin E pada Limbah Tauge 21 3.1 Kandungan nutrien limbah tauge, rumput dan konsentrat (100% bahan

kering) 27

3.2 Kandungan nutrien ransum penelitian dalam 100% bahan kering*) 27

3.3 Matrik rancangan percobaan 35

3.4 Suhu dan kelembaban harian di dalam kandang hasil pengukuran selama penelitian serta suhu di luar kandang (berdasarkan laporan keadaan iklim mikro di Kecamatan Darmaga Bogor, bulan

Juli-September 2013) 36

3.5 Persentase frekuensi tingkah laku domba garut selama pengamatan 24 jam 39

3.6 Durasi tingkah laku domba garut selama pengamatan 24 jam 43

3.7 Respon fisiologis harian domba 46

3.8 Jumlah eritrosit, hemoglobin dan nilai hematokrit 48 3.9 Jumlah Leukosit, Neutrofil, limposit dan rasio Neutrofil-limfosit 49 3.10 Kadar glukosa, Urea-N dan kolesterol darah (mg/dl) 50 3.11 Konsumsi bahan kering (BK) ransum berdasarkan bahan pakan 52 3.12 Konsumsi Bahan Kering dan Nutrien Ransum, pbbh dan konversi 54 3.13 Kualitas karkas domba Garut dengan jenis ransum dan waktu

pemberian pakan berbeda 56

3.14 Kualitas karkas domba Garut dengan jenis ransum dan waktu

pemberian pakan berbeda 57

3.15 Sifat fisik daging domba Garut dengan jenis ransum dan waktu

pemberian pakan berbeda 57

3.16 Sifat kimiawi daging domba Garut dengan jenis ransum dan waktu

pemberian pakan berbeda 58

3.17 Kandungan asam lemak daging domba Garut dengan jenis ransum dan


(15)

1.1 Bagan Alir kerangka pemikiran 5

2.1 Proses Pemisahan Limbah Tauge 8

2.2 Komponen limbah tauge (a) dalam keadaan segar dan (b) dalam

keadaan kering udara. 16

3.1 Alat perekam (CCTV) untuk merekam tingkah laku domba 28 3.2 (a) Bangunan kandang dan (b) ruang di dalamnya, tempat penelitian

dilakukan 36

3.3 Contoh hasil rekaman CCTV (a) pada siang hari dan (b) pada malam

hari 37

3.4 Pola frekuensi tingkah laku makan selama 24 jam 40 3.5 Pola frekuensi tingkah laku istirahat selama 24 jam 40 3.6 Pola frekuensi tingkah laku agonistik selama 24 jam 41 3.7 Pola frekuensi tingkah laku agonistik selama 24 jam 41 3.8 Pola durasi tingkah laku makan selama 24 jam 44 3.9 Pola durasi tingkah laku istirahat selama 24 jam 44 3.10 Pola durasi tingkah laku agonistik selama 24 jam 45 3.11 Pola durasi tingkah laku tingkah laku lainnya selama 24 jam 45 3.12 Kandungan asam lemak jenuh daging domba Garut dengan perlakuan

R1P, R1S, R2P dan R2S 60

3.13 Komposisi asam lemak tak jenuh rantai panjang daging domba Garut

dengan perlakuan R1P, R1S, R2P dan R2S 61

3.14 Komposisi asam lemak tak jenuh rantai sangat panjang (EPA dan DHA) daging domba Garut dengan perlakuan R1P, R1S, R2P dan R2S 62 3.15 Kadar Kolesterol Daging Domba Garut dengan perlakuan ransum

rumput dan pemberian pagi hari (R1P), ransum rumput dan pemberian pada sore hari (R1S), ransum LT dan pemberian pagi hari (R2P) serta


(16)

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di Indonesia, ternak domba merupakan salah satu komoditas penting bagi masyarakat, baik sebagai penghasil daging maupun sebagai hewan kurban untuk acara ritual keagamaan. Walaupun perananannya pada produksi daging nasional masih rendah yaitu sebesar 1,7% dari produksi daging nasional (Dirjen PKH, 2012), namun ternak domba mempunyai peran yang besar dalam penyediaan hewan kurban pada perayaan hari raya kurban bagi umat Islam. Setiap tahun permintaan hewan kurban cenderung meningkat, seiring dengan peningkatan pendapatan dan kesadaran spiritual masyarakat. Keadaan ini menunjukkan bahwa permintaan ternak domba cukup besar dan berpotensi untuk selalu meningkat dimasa mendatang.

Namun demikian dari sisi produksi, secara umum tingkat produktivitas domba di Indonesia (daerah tropis) terutama domba lokal masih relatif rendah bila dibandingkan di negara-negara di daerah “temperate”. Astuti et al. (2011) melaporkan pertumbuhan domba lokal dengan pakan rumput dan hijauan tropis lainnya rendah hanya sekitar (29-48 g/hari). Rendahnya tingkat produktivitas domba lokal maupun komoditas ternak lokal pada umumnya di daerah tropis, selain disebabkan oleh faktor genetik, juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti: pakan, manajemen dan iklim mikro (Preston dan Leng, 1987).

Secara genetis, walaupun produktivitasnya rendah, Indonesia memiliki beberapa jenis/rumpun domba lokal yaitu domba Garut atau priangan, domba ekor gemuk dan domba ekor tipis yang memiliki keunggulan-keunggulan seperti diantaranya mudah beradaptasi dengan lingkungan dan mampu beranak sepanjang tahun ( Sodiq dan Tawfik, 2004;. Sumantri et al, 2007). Melalui perbaikan lingkungan baik pakan maupun manajemen serta memanfaatkan fenomena iklim mikro diharapkan potensi genetik domba lokal ini dapat dioptimalkan sehingga pada akhirnya produktifitasnya menjadi meningkat.

Sementara itu, faktor lingkungan yang menyebabkan rendahnya produktivitas ternak domba di Indonesia, diantaranya adalah: kualitas nutrisi pakan yang rendah, sistem manajemen tradisional serta iklim tropis yang panas yang menyebabkan ternak mengalami stres panas. Peternak domba di Indonesia pada umumnya mengandalkan rumput alam dengan kualitas rendah untuk pakan ternaknya, sehingga produktivitasnya rendah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas ternak domba dapat ditingkatkan dengan penambahan atau subsitusi rumput alam dengan bahan pakan lain seperti: hijauan leguminosa, limbah pertanian, konsentrat maupun hasil ikutan agroindustri (Duldjaman, M. 2004;. Handi Wirawan et al, 2004 ; Herianti, I. dan S. Prawirodirdjo, 2010).

Di daerah urban/perkotaan, peningkatan produktivitas domba juga dapat dicapai dengan memberi pakan sisanya sayur pasar atau limbah sayuran. Di Indonesia, terdapat berbagai limbah sayuran dari pasar tradisional yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan untuk ternak domba dan ternak ruminansia lainnya. Limbah sayuran pasar tersebut meliputi kulit jagung, limbah kubis/sawi, limbah wortel dan limbah tauge kacang hijau dll. Kulit jagung sudah


(18)

banyak digunakan sebagai pakan untuk sapi perah, limbah kubis dan wortel yang digunakan untuk pakan kelinci dan terbukti dapat meningkatkan produktivitas komoditas ternak tersebut (Prawirodirdjo dan Andayani, 2005; Utama et al, 2011; Anindita et al, 2014). Sementara itu, limbah tauge belum banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak.

Limbah tauge kacang hijau adalah produk buangan pengolahan kacang hijau menjadi tauge yang tidak dikonsumsi manusia, sehingga apabila tidak dimanfaatkan berpotensi sebagai bahan pemcemar lingkungan. Dari segi kualitas, limbah tauge mempunyai kandungan nutrien yang cukup baik, mengingat bahan baku tauge adalah biji kacang hijau, yang merupakan bahan pangan bernutrisi tinggi. Uji kimia menunjukkan bahwa limbah tauge memiliki kandungan nutrien yang cukup baik, yakni mengandung protein kasar (PK) sebesar ± 13-14 %, serat kasar (SK) 49,44% dan TDN sebesar 64,65% (Rahayu et al., 2010). Dengan kandungan serat dan protein yang relatif tinggi, limbah tauge berpotensi dimanfaatkan sebagai bahan pakan sumber serat pengganti hijauan, namun juga menyediakan protein yang mencukupi untuk kebutuhan pertumbuhan ternak.

Ketersediaan limbah tauge diperkirakan juga cukup banyak dan kontinyuitasnya terjamin, mengingat tauge kacang hijau merupakan bahan pangan yang sehari-hari banyak dikonsumsi masyarakat di Indonesia. Selain itu, pada umumnya limbah tauge merupakan limbah pasar karena pemisahan tauge dari limbahnya dilakukan di pasar, sehingga memudahkan pengumpulannya. Hasil survey awal potensi ketersediaan limbah tauge di Kotamadya Bogor menunjukkan potensi limbah tauge berkisar sebesar 1,0 sd 1,5 ton/hari (Rahayu et al., 2010). Namun demikian informasi mengenai definisi yang menyangkut deskripsi fisik dan kandungan nutrien limbah tauge secara lengkap belum ada. Oleh karenanya perlu dilakukan penelitian mengenai deskripsi secara fisik komponen-komponen limbah tauge yang diperkirakan berpengaruh terhadap kualitas nutrisinya dan identifikasi kandungan nutrisi, anti nutrisi dan kandungan enzim (protease dan amylase) yang diduga berpengaruh terhadap produktifitas ternak.

Perbaikan produktivitas ternak domba juga dapat dilakukan melalui pendekatan lingkungan mikro. Suhu lingkungan yang panas di daerah tropis, rata-rata di Indonesia berkisar 24-34ºC (Yani dan Purwanto 2006) dengan fluktuasi suhu udara pada siang dan malam hari yang cukup besar, menyebabkan ternak mengalami stres panas (heat stress), terutama pada siang hari. Hal ini berakibat pada penurunan konsumsi pakan yang pada akhirnya berimbas pada penurunan konsumsi energi dan status kecukupan gizi (Hahn 1999; Kandemir et al. 2013). Panas tubuh ternak tidak hanya berasal dari faktor luar, tetapi juga berasal dari metabolisme tubuh, sehingga mengurangi stres panas dapat dilakukan dengan merubah susunan nutrien dan manajemen pemberian pakan (Gaughan et al. 2002). Pemberian pakan secara konvensional, yakni pagi hari, maka proses metabolisme akan terjadi pada siang hari yang cenderung panas, diduga menyebabkan produktivitas ternak tidak optimal. Pemberian pakan pada sore hari, maka proses metabolisme terjadi pada malam hari dengan suhu lingkungan yang mendekati thermoneutral zone, diharapkan dapat mengurangi stres panas yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas ternak.


(19)

Di sisi lain, dalam konsep peternakan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, peningkatan produktifitas ternak harus mempertimbangkan kepentingan ternak yakni prinsip-prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare). Kesejahteraan hewan dalam praktek beternak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (i) performa produksi normal, (ii) sehat, bebas dari kecelakaan, (iii) tingkah lakunya normal, (iv) ditangani dan dikandangkan tanpa stress, (v) ditangani berdasarkan pola tingkah lakunya, (vi) modifikasi sistem agar lebih dapat diterima ternak dan (vii) mencari alternatif sistem atau teknik bila ternak menolak sistem yang diterapkan (Moss, 1992). “The Brambell Committee” tahun 1965 ( NRC, 2010) mensyaratkan ternak harus terbebas dari 5 hal yaitu: (i) haus, lapar dan kekurangan nutrisi (ii) ketidaknyamanan terkait lingkungan (iii) sakit, luka dan penyakit (iv) takut dan stres, dan (v) ekspresi tingkah laku abnormal. Oleh karena itu, upaya peningkatan produktivitas ternak, selain dilakukan evaluasi terhadap performa produksi, selayaknya juga perlu dilakukan kajian efeknya terhadap tingkat kesejahteraan ternak.

Secara keseluruhan perlu dilakukan kajian utama yang berkaitan dengan upaya peningkatan produktivitas ternak domba lokal melalui pendekatan lingkungan (perbaikan pakan dan manajemen pakan) dengan tetap memperhatikan kesejahteraan ternak. Pemanfaatan salah satu produk sampingan industri pangan berkualitas yakni limbah tauge kacang hijau sebagai pakan dan perubahan manajemen pemberian pakan yang disesuaikan dengan fenomena iklim mikro di daerah tropis pada bangsa domba lokal unggul diharapkan mampu meningkatkan produktivitas ternak tanpa mengabaikan aspek kesejahteraan ternak. Namun sebelumnya perlu dilakukan penelitian pendahuluan mengenai deskripsi limbah tauge.

Perumusan Masalah

Adapun permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam alur kerangka pemikiran sebagai berikut:

Rendahnya produktivitas ternak domba di Indonesia, salah satunya dapat diatasi dengan pendekatan lingkungan, yakni meningkatkan performa pertumbuhan melalui perbaikan kualitas pakan dan mengatur waktu pemberian pakan disesuaikan dengan fenomena iklim mikro. Upaya ini diharapkan juga dapat dimaksimalkan dengan memanfaatkan potensi domba Garut sebagai domba lokal unggul Indonesia

Domba memerlukan pakan hijauan sebagai sumber serat. Hijauan rumput lapang atau rumput budidaya yang tersedia sebagai sumber serat pada umumnya berkualitas rendah yakni kandungan proteinnya rendah. Terdapat bahan pakan unkonvensional yaitu limbah tauge yang mempunyai kadar serat kasar tinggi, tetapi juga mempunyai kandungan protein kasar cukup tinggi, diharapkan dapat mensubstitusi hijauan rumput sehingga menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik.

Limbah tauge yang terdiri atas komponen kulit tauge dan tauge, selain mengandung serat dan protein yang tinggi, diduga juga mengandung karbohidrat, mineral, vitamin yang tinggi serta zat antinutrisi dan beberapa enzim. Proses perkecambahan mengaktifkan berbagai enzim diantaranya: amylase dan protease, yang diduga juga dapat meningkatkan proses metabolisme karbohidrat


(20)

dan protein di dalam tubuh ternak. Selain itu, percampuran kulit dan tauge tersebut, diduga membuat limbah tauge tidak cepat membusuk pada penyimpanan dalam bentuk segar selama beberapa hari, karena tauge tetap tumbuh dengan media kulit taugenya, sehingga kualitas tidak menurun dalam penyimpanan beberapa hari dalam bentuk segar. Komponen kulit tauge yang berwarna hijau segar bercampur dengan tauge (tumbuhan muda), kemungkinan juga menyebabkan limbah tauge lebih disukai domba dari pada rumput.

Sementara itu, fenomena iklim mikro di daerah tropis yang panas pada siang hari dan relatif dingin di malam hari dapat dimanfaatkan dalam manajemen waktu pemberian pakan. Pemberian pakan pada sore hari dengan metabolisme pakan di dalam tubuh ternak terjadi pada malam hari, diduga akan lebih efisien untuk menghasilkan pertumbuhan dibandingkan pemberian pakan pada pagi hari dengan metabolisme di dalam tubuh ternak terjadi pada siang hari yang panas.

Pemberian pakan unkonvensional limbah tauge dalam ransum domba serta waktu pemberian pakan sore hari diduga, pertama akan berpengaruh terhadap tingkah laku (TL), respon fisiologis, profil hematologis dan status metabolit darah. Frekuensi dan durasi TL makan menurun, TL istirahat meningkat, TL agosnistik meningkat dan TL lainnya menurun. Respon Fisiologis berupa suhu tubuh dan laju respirasi normal dan denyut jantung sedikit meningkat. Sementara itu untuk profil hematologis dan status metabolit darah, kemungkinan dalam keadaan normal. Selanjutnya perubahan tingkah laku dan respon fisiologis domba akibat pemberian ransum limbah tauge dan waktu pemberian sore hari, diduga berpengaruh terhadap performa pertumbuhan dan performa pasca panen, yakni meningkatkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, dan rasio konversi pakan serta kuantitas dan kualitas karkas dan daging, sehingga secara keseluruhan produktivitas domba meningkat. Kondisi tingkah laku dan respon fisiologis yang normal serta diikuti dengan performa pertumbuhan dan pasca panen yang baik menunjukan bahwa kesejahteraan domba juga baik.

Untuk lebih jelasnya alur kerangka pemikiran ini secara keseluruhan ditampilkan pada gambar 1.1.


(21)

(22)

Kebaruan Penelitian

1. Deskripsi secara lengkap mengenai limbah tauge yang meliputi komposisi fisik, kandungan nutrisi, antinutrisi, enzim dan vitamin E serta pemanfaatannya pada domba guna mendukung kesejahteraan ternak dan pelestarian lingkungan.

2. Formulasi ransum domba yang ramah lingkungan, yakni pemanfaatan limbah tauge sebagai pakan ternak untuk meningkatkan produksi daging dan mengurangi pencemaran lingkungan.

3. Produksi domba, karkas dan daging domba dengan ransum limbah tauge yang ramah lingkungan.

Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk:

1. Mendeskripsikan limbah tauge secara fisik dan mengidentifikasikan kandungan nutrisi, antinutrisi dan kandungan enzim (protease dan amilase) yang diduga berpengaruh terhadap produktifitas ternak.

2. Mengevaluasi tingkah laku domba garut dengan pakan limbah tauge dan waktu pemberian berbeda.

3. Mengevaluasi respon fisiologis dan profil hematologis dan status metabolit darah pada domba garut dengan pakan limbah tauge dan waktu pemberian berbeda.

4. Mengevaluasi performa pertumbuhan dan pasca panen domba Garut dengan pakan limbah tauge dan waktu pemberian berbeda

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, antara lain:

1. Menginformasikan potensi limbah tauge sebagai bahan pakan sumber serat untuk ternak, khususnya ternak ruminansia.

2. Menginformasikan produktivitas domba Garut dengan pakan limbah tauge dan manajemen pemberian pakan sore hari.

3. Menginformasikan kesejahteraan domba Garut dengan pakan limbah tauge dan manajemen pemberian pakan sore hari.

Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Limbah tauge kacang hijau memiliki kualitas nutrisi yang baik, sehingga berpotensi untuk meningkatkan produktivitas ternak domba.

2. Pemberian pakan dengan ransum mengandung limbah tauge pada sore hari pada domba Garut tidak menyebabkan abnormalitas pada tingkah laku dibandingkan pemberian pakan hijauan rumput lapang pada pagi hari.


(23)

3. Ransum mengandung limbah tauge pada pemberian sore hari pada domba Garut mempunyai respon fisiologis dan profil hematologis dan status metabolit darah yang normal dan lebih baik dibandingkan pemberian pakan hijauan rumput lapang pada pagi hari.

4. Pemberian pakan dengan ransum mengandung limbah tauge pada sore hari pada domba Garut menghasilkan performa pertumbuhan dan pasca panen yang lebih baik dibandingkan pemberian pakan hijauan rumput lapang pada pagi hari.

5. Pemberian pakan dengan ransum mengandung limbah tauge pada sore hari pada domba Garut memberikan dampak yang lebih baik terhadap produktivitas dan kesejahteraan ternak dibandingkan pemberian pakan hijauan rumput lapang pada pagi hari.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terdiri atas dua bagian. Penelitian bagian pertama adalah penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk mendeskripsikan limbah tauge secara fisik dan mengidentifikasikan kandungan nutrisi, antinutrisi dan kandungan enzim (protease dan amilase) yang diduga berpengaruh terhadap produktifitas ternak. Penelitian bagian kedua adalah penelitian utama yang mengevaluasi produktivitas dan kesejahteraan ternak melalui variable-vaiabel berupa respon tingkah laku, respon fisiologis, profil hematologis dan status metabolit darah serta performa pertumbuhan dan performa pasca panen pada domba lokal unggul (domba Garut) dengan perlakuan jenis ransum yaitu rumput dan limbah tauge serta waktu pemberian pakan yaitu pagi hari dan sore hari (ransum rumput dan pemberian pagi hari dimaksudkan sebagai perlakuan kontrol). Adapun tujuan dari setiap bagian penelitian disajikan pada tabel 1.1.

Tabel 1.1 Bagian-bagian penelitian dan tujuan yang ingin dicapai Tahapan penelitian Tujuan

Penelitian Pendahuluan Mendeskripsikan limbah tauge secara fisik dan mengidentifikasikan kandungan nutrisi, antinutrisi dan kandungan enzym (protease dan amylase) yang diduga berpengaruh terhadap produktifitas ternak.

Penelitian Utama Mengevaluasi tingkah laku, respon fisiologis, profil hematologis dan status metabolit darah serta performa pertumbuhan dan pasca panen domba garut dengan pakan limbah tauge dan waktu pemberian pagi dan sore hari.


(24)

2

PENELITIAN PENDAHULUAN : DESKRIPSI FISIK DAN

IDENTIFIKASI KUALITAS NUTRISI LIMBAH TAUGE

KACANG HIJAU SEBAGAI PAKAN TERNAK

Pendahuluan

Limbah tauge (LT) kacang hijau adalah produk sampingan dari pembuatan tauge terdiri atas kulit kacang hijau, tauge utuh beserta potongan-potongan kepala, batang dan ekor tauge serta sedikit biji kacang hijau yang tidak berkecambah (Rahayu et al. 2010). Tauge adalah bahan pangan yang sudah umum dikonsumsi oleh masyarakat, terutama di negara-negara Asia (Yinlin and Meilai 2006). Khusus tauge kacang hijau dibuat dari biji kacang hijau (Vigna radiata (L.) atau Phaseolus radiatus (L.) atau Phaseolus aureus) yang dikecambahkan selama 72-96 jam. Di Indonesia terdapat dua jenis tauge kacang hijau, yaitu tauge panjang dengan ukuran panjang rata-rata sekitar 3-5 cm dan tauge pendek dengan ukuran sekitar 1-2 cm, namun yang banyak dikonsumsi masyarakat adalah tauge panjang, sehingga jenis tauge ini yang banyak diproduksi (Rahayu et al. 2010).

Pada umumnya, prosesing pascapanen tauge kacang hijau dilakukan di pasar. Para pengrajin tauge membawa taugenya yang baru dipanen ke pasar grosir (pagi hari) masih dalam keadaan bercampur dengan kulitnya dalam keranjang-keranjang besar. Proses pemisahan tauge dari kulit/limbahnya dilakukan di pasar dengan cara mengayak dengan tampah khusus, sehingga tauge terpisah dari kulit/limbahnya dan siap untuk dijual ke konsumen (gambar 2.1)

Sementara itu limbah taugenya dibuang dan diangkut ke tempat pembuangan sampah bersama limbah pasar lainya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa limbah tauge kacang hijau adalah bagian dari limbah pasar (Rahayu et al. 2010). Namun berdasarkan pengamatan di dua kota lainnya di Indonesia, ternyata prosesing pemisahan limbah tauge juga dilakukan di tempat pengrajin, dengan cara melimbang dengan air pada ember-ember besar yang diberi lubang di dasarnya. Kemudian tauge yang sudah bersih dibawa ke pasar dan limbahnya diberikan kepada ternak sapi peliharaannya.


(25)

Secara umum di Indonesia, pemanfaatan limbah tauge belum populer di masyarakat, walaupun ada sebagian masyarakat yang sudah memanfaatkan sebagai pakan ikan, bebek, sapi dan domba. Di Tiongkok, pada umumnya limbah tauge dimanfaatkan untuk bahan isi bantal atau pupuk. Di negeri ini, kulit/limbah tauge maupun taugenya juga biasa digunakan dalam pengobatan tradisional beberapa jenis penyakit, terutama untuk menurunkan demam dan menghilangkan racun di dalam tubuh. Hasil penelitian Yao et al. (2008) pada tikus percobaan menunjukkan bahwa tauge maupun limbahnya juga dapat digunakan sebagai antidiabetes tipe-2, karena dapat meningkatkan glukosa toleransi dan respon insulin untuk metabolisme glukosa, sehingga disimpulkan tauge maupun limbahnya berpotensi untuk digunakan sebagai sumber pangan fungsional bagi manusia yakni sebagai terapi baru untuk diabetes tipe-2.

Namun demikian, informasi mengenai limbah tauge ini, baik dari segi kuantitas maupun kualitas masih sangat terbatas. Sebagai informasi awal mengenai kualitas atau komposisi nutrisi limbah tauge dapat ditelusuri dari hasil penelitian kandungan nutrisi tauge maupun biji kacang hijau yang merupakan bahan baku limbah tauge. Berbagai penelitian terhadap biji kacang hijau maupun tauge kacang hijau menunjukkan bahwa baik kacang hijau maupun tauge kacang hijau merupakan bahan pangan bernutrisi tinggi. Perkecambahan menyebabkan perubahan nutrisi termasuk zat fungsional, melalui respirasi aerobik dan metabolisme biokimia. Selain itu, perkecambahan juga mereduksi zat anti nutrisi seperti inhibitor enzim dalam biji, sehingga tauge aman untuk diet (Yinlin and Mailai 2006).

Hasil penelitian Mubarak (2005) menunjukkan biji kacang hijau kering mengandung protein kasar (PK), lemak kasar (LK), serat kasar (SK) dan karbohidrat (KH), masing-masing berturut-turut sebesar 27.5; 1.85; 4.63; dan 62.3 g/100 g bahan kering (BK). Pengolahan biji kacang hijau menjadi tauge secara signifikan meningkatkan kandungan PK menjadi 30.0 g/100 g BK dan menurunkan LK, SK, dan KH berturut-turut menjadi 1.45; 4.40 dan 61.7 g/100 BK. Selain itu hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa biji kacang hijau juga mengandung zat antinutrisi antara lain: Trypsin inhibitor (15.8 TIU/mg protein), Haemagglutinin aktif (2670 HU/g), Tanin (3.30 mg/g) dan asam fitat (5.80 mg/g). Pengolahan menjadi tauge secara signifikan mampu mereduksi kandungan zat-zat antinutrisi tersebut berturut-turut masing-masing menjadi 12.3 TIU; 560 HU; 1.90 mg; dan 4.03 mg atau turun masing-masing sebesar 22.4%, 79.0%, 66.7% dan 30.5%. Penelitian Tajoddin et al. (2011) pada berbagai varietas kacang hijau menunjukkan pengolahan biji kacang hijau menjadi tauge mampu menurunkan kandungan asam fitat sebesar 60-73% dan meningkatkan aktivitas enzyme phytase sebesar 0.0939-1.1044 mol/menit yang pada saat dalam bentuk biji tidak aktif.

Kandungan zat antinutrisi pada biji kacang hijau ternyata lebih banyak pada daging biji dibandingkan pada kulit biji. Diolah dari Penelitian Aburuoga dan Anyiko (2012) diperoleh bahwa kandungan asam fitat, Tanin dan Oksalat pada kulit biji kacang hijau berturut-turut masing-masing sebesar 124.07 mg/100g biji kering; 100.83 mg/100 g BK dan 7.93 mg/100 gBK, masing-masing hanya sekitar 11.5%, 30% dan 6.2% dari total asam fitat, tannin dan oksalat biji kacang hijau kering. Maka dapat diperkirakan bahwa kandungan zat-zat antinutrisi pada


(26)

LT yang sebagian besar berupa kulit kacang hijau diperkirakan juga lebih rendah dibandingkan pada tauge.

Kandungan zat antinutrisi tanin dan oksalat yang berlebihan dalam pakan domba dapat mengganggu pertumbuhan, bahkan dalam waktu lama menyebabkan kematian. Konsentrasi tanin terkondensasi sebesar 40-80 g/kgBK ransum, menyebabkan pertumbuhan domba terganggu, karena gugus hidroksil pada tanin terkondensasi berikatan secara komplek dengan tanaman, mikroba dan protein tubuh menurunkan efisiensi pencernaan oleh mikroba di dalam rumen serta menurunkan absorpsi asam amino di dalam usus halus (Waghorn et al. 2002).

Namun demikian beberapa penelitian menunjukkan kandungan tanin terkondensasi yang rendah pada ransum domba memberikan keuntungan. Tanin menurunkan ekses kehilangan protein oleh degradasi mikroba rumen, sehingga proporsi protein tanaman/pakan yang by pass menjadi lebih tinggi dan meningkatkan absorbs asam amino bila dibandingkan dengan ransum yang tidak mengandung tanin (Waghorn et al. 2002).

Berdasarkan informasi diatas, bahwa terdapat perbedaan kandungan nutrisi dan antinutrisi antara tauge dan kulit tauge, sementara limbah tauge terdiri dari kedua komponen tersebut dengan porsi yang belum diketahui maka perlu dilakukan penelitian deskripsi fisik (komposisi komponen-komponen kulit, tauge dan potongan-potongan tauge) secara detail dan kandungan nutrisi dan antinutrisi LT secara lebih lengkap , sehingga pemanfaatannya untuk pakan ternak maupun keperluan lainnya dapat dioptimalkan.

Bahan dan Metode

Penelitian pendahuluan ini, yaitu deskripsi dan uji kualitas nutrisi Limbah Tauge dilakukan di Laboratotium Ternak Ruminansia Kecil Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan serta Laboratorium ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Biokimia, Fisiologi, dan Teknologi Pakan dan Laboratorium nutrisi ternak perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Tehnologi Pakan Fakultas Peternakan IPB. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan.

Bahan/Sampel percobaan

Materi penelitian berupa Limbah tauge yang diperoleh dari empat pedagang grosir tauge di Pasar Bogor yang ditentukan secara acak yang merepresentasikan pengrajin yang berbeda, di kota Bogor.

Peubah yang diamati

1. Komposisi Fisik limbah tauge (%), terdiri dari :

a) Komposisi fisik limbah tauge segar, yaitu proporsi komponen- komponen limbah tauge segar (belum mengalami proses pengeringan matahari) yang telah dipisah-pisahkan, berupa : kulit tauge, tauge , kepala tauge, dan batang- ekor tauge segar. (catatan, yang dimaksud : kulit tauge atau testa adalah kulit biji kacang hijau yang sudah terlepas dalam proses pembuatan tauge (perkecambahan); Tauge adalah tauge utuh yang terdiri kepala tauge atau kotiledon, batang tauge atau hipokotil dan ekor


(27)

tauge atau radikula atau tauge tanpa ekor; Kepala tauge adalah potongan tauge bagian kotiledon yang didalamnya terdapat calon daun (plumula); batang-ekor tauge adalah potongan tauge bagian hipokotil dan radikula atau radikula saja, gambar 2.2).

b) Komposisi fisik limbah tauge kering (LTK), yaitu proporsi komponen-komponen limbah tauge, setelah masing-masing komponen-komponen mengalami pengeringan matahari. Komponen-komponen tersebut berupa : kulit tauge, tauge utuh, kepala tauge dan batang-ekor tauge kering.

c) Kadar bahan kering udara limbah tauge (LT) dan komponen-komponennya (%), yaitu presentase bobot kering udara LT dan komponen-konponennya terhadap bobot segar limbah tauge dan masing-masing komponenennya.

2. Kandungan nutrien LT (%), adalah kandungan nutrien pada limbah tauge berdasarkan analisa proksimat terdiri atas air, abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar dan beta-N.

3. Kandungan Serat (NDF dan ADF), zat antinutrisi (tanin dan fitat), enzim (α -amilase dan protease) dan vitamin E.

a) NDF adalah kadar total serat yang tidak larut dalam detergen netral (%). b) ADF adalah kadar selulosa dan lignin serta beberapa komponen yang

terikat dengan keduanya (%).

c) Tanin adalah senyawa polifenol yang berasal dari tumbuhan yang bereaksi /menggumpalkan protein dan senyawa organik lain.

d) Fitat adalah asam lemak jenuh yang terdapat pada kotiledon biji-bijian atau kacang-kacangan.

e) Enzim : Amilase (enzim yang berfungsi sebagai katalisator pada reaksi hidrolisis pati menjadi gula; Protease (semua jenis enzim yang berperan dalam proteolysis/pemecahan ikatan peptida.

f) Vitamin E adalah senyawa tokoferol atau tokotrienol yang larut lemak dengan aktivitas aktioksidan dll.

Prosedur Penelitian

Komposisi fisik limbah tauge (%)

Pengukuran Komposisi fisik limbah tauge segar dan kering udara serta kadar bahan kering udara limbah tauge dan komponen-komponennya dilakukan sebagai berikut :

Pemisahan komponen-komponen LT dilakukan secara manual pada saat masih dalam bentuk segar pada lama penyimpanan 0, 1 dan 2 hari. Lama penyimpanan (LP) 0 hari adalah hari saat pengambilan LT di pasar, LP 1 hari adalah 1 hari sesudahnya dan LP 2 hari adalah 2 hari sesudahnya.

Sampel LT sebanyak satu karung (sekitar 10 kg) diambil dari masing-masing sampel acak sumber/pedagang (P1,P2,P3,P4) yang merepresentasikan pengrajin yang berbeda di Pasar Bogor (pasar tradisional) pada pagi hari (sekitar pukul 05 00) pada setiap hari pengambilan. Pengambilan sampel di pasar dilakukan sebanyak 3 kali satu hari (triplo), dengan selang masing-masing 1 minggu.

Pada hari saat pengambilan LT, dari setiap karung (dari masing-masing sumber/pedagang), diambil dan ditimbang sebanyak 6 x 250 gram (catatan :


(28)

pengambilan sampel sebanyak 250 g didasarkan pada pertimbangan teknis, yakni pemisahan komponen-komponen limbah tauge membutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar 6 jam untuk 4 sampel) dan masing-masing dimasukkan kedalam kantong plastik dan dikelompokkan menjadi 3 kelompok, masing-masing untuk perlakuan LP 0 hari/hari ke 1, LP1 hari/hari ke 2 dan LP 2 hari/hari ke 3. Masing-masing kelompok perlakuan lama penyimpanan terdiri dari 2 kantong, kantong 1(k1) untuk pemisahan komponen-komponen LT dan kantong 2 (k2) untuk pengeringan LT secara langsung tanpa pemisahan komponen-komponennya. Setelah pemisahan komponen-komponen limbah tauge segar pada k1 pada setiap hari sesuai LP (0,1,2 hari), masing-masing ditimbang, diperoleh bobot (Kulit,Tauge utuh, Kepala, Batang-ekor) dilanjutkan penjemuran/ pengeringan dengan sinar matahari hingga kering udara, kemudian masing-masing komponen ditimbang diperoleh bobot kering udara . Untuk limbah tauge (campuran) pada k2 sebanyak 250 g langsung dikeringkan hingga diperoleh bobot LT campuran kering udara

Setelah diperoleh data bobotnya, baik limbah tauge segar maupun kering dihitung persentasenya untuk mendapatkan data komposisi fisik LT dan kadar bahan kering udara masing-masing komponennya.

Kandungan nutrien limbah tauge

Pengukuran kandungan nutrien limbah tauge dilakukan dengan metode analisa proksimat menurut AOAC (2005).

Kandungan Serat (NDF & ADF), Anti Nutrisi (Tanin & Fitat), Enzim (α-amilase & Protease) dan Vitamin E pada Limbah Tauge

Kadar NDF

Sampel sebanyak A gram dimasukkan ke dalam gelas piala berukuran 500 ml serta ditambahkan 50 ml larutan NDS, dipanaskan selama 1 jam. Ditimbang kaca masir kosong berukuran G-3 sebagai B gram. Dilakukan penyaringan dengan bantuan pompa vakum dibilas dengan air panas dan aceton. Hasil pengeringan tersebut dikeringkan dalam oven 105°C, setelah itu dimasukkan lagi ke dalam eksikator selama 1 jam kemudian dilakukan penimbangan terakhir sebagai C gram.

Rumus : % NDF = x 100% Kadar Lignoselulosa (ADF)

Sampel sebanyak A gram dimasukkan ke dalam gelas piala berukuran 500 ml serta ditambahkan 50 ml larutan ADS, lalu dipanaskan selama 1 jam di atas penangas listrik. Penyaringan dilakukan dengan pompa vakum dengan menggunakan kaca masir G-3 yang telah ditimbang sebelumnya (B) gram. Pencucian dilakukan dengan aceton dan air panas. Dilakukan pengeringan dengan memasukkan hasil penyaringan ke dalam oven, didinginkan ke dalam eksikator dan ditimbang sebagai C gram.


(29)

Kadar Tanin

Kadar tanin diukur dengan Metode Presipitasi Protein.

Sebanyak 200 mg contoh yang telah disaring dengan saringan 0,4 mm ditimbang dan dimasukkan kedalam tabung reaksi, lalu diekstraksi dengan metanol 50 % sebanyak 10 ml selama 1 menit (dengan shaker atau vortex). Ekstraksi dilakukan pada hari yang sama dengan penggilingan untuk menghindari oksidasi tanin. Kemudian disentrifuge dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 – 10 menit atau 3000 rpm selama 15 menit.

Sebanyak 1 ml supernatant sampel ditambahkan 1 ml larutan standar BSA (2mg/ml) setelah itu dibiarkan selama 20 menit di ruang pendingin ( 5°C ), kemudian disentrifuge selama 15 menit pada 3000 rpm. Cairannya dibuang dan endapannya dicuci menggunakan larutan buffer asetat pH 5 (1 ml) sebanyak 3 kali dengan meneteskan secara perlahan melalui dinding tabung reaksi. Endapan dilarutkan dengan 4 ml SDS-TEA dan ditambah 1 ml larutan FeCl3 dalam HCl 0,01 M. Campuran dikocok dengan vortex lalu didiamkan selama 20 menit pada temperatur kamar. Serapannya diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 510nm.

Larutan standar dibuat dengan melarutkan 50 mg asam tanat dengan metanol absolute (konsentrasi 1 mg/ml). Dibuat deret standar dengan cara memipet larutan induk diatas sebanyak : 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 ml kemudian dijadikan 10 ml. Larutan standar ini mempunyai konsentrasi 0, 0,1, 0,2, 0,3, 0,4 dan 0,5 mg/ml. Kemudian masing-masing dipipet sebanyak 1 ml ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 ml larutan standar BSA (2 mg/ml) selanjutnya dilakukan cara kerja seperti terhadap sampel. Warna larutan yang diperoleh adalah ungu kehitaman.

Perhitungan % Tanin = x 100%

Kadar Fitat

Analisa asam fitat dilakukan dengan metoda Devies & Ried (1979) 1. Pembuatan kurva standar

a. Dibuat 3 deret standar, sebagai berikut : Standar (ppm) Volume Phytic Acid

1.1mM (ml)

Volume Aquadest (ml)

0.02904 0.04 0.46

0.06525 0.09 0.41

0.09425 0.13 0.37

b. Ditambahkan 0.9 ml larutan HNO3 0.5 M serta 1 ml larutan FeCl3 (FeCl3 0.024 gr dilarutkan sampai 100 ml).

c. Tabung reaksi ditutup dengan alumunium foil dan direndam dalam air mendidih selama 20 menit (air yang digunakan untuk merebus adalah aquadest).

d. Dinginkan sample sampai suhu ruang,lalu tambahkan 5 ml amyl alcohol dan 0.1 ml larutan ammonium thiosianat 10%.


(30)

e. Isi tabung diaduk dengan cara menggoyangkan tabung tersebut. f. Tepat 15 menit setelah penambahan larutan ammonium thiosianat,

larutan bagian atas dalam tabung tersebut diukur absorbansinya pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 465 nm dengan blanko amylalkohol.

g. Kemudian dibuat kurva hubungan antara konsentrasi asam fitat dengan absorbansinya dengan persamaan umum regresi linier Y= a + bx

2. Preparasi sampel

1 gram bahan/sample disuspensikan dalam 50 ml HNO3 0.5M dan diaduk selama 3 jam diatas penggoyang elektrik pada suhu ruang, kemudian disaring. Penentuan kadar asam fitat dilakukan terhadap filtrat. 3. Pengukuran absorbansi filtrat

0.05 ml filtrat ditambah 0.45 ml aquadest didalam tabung reaksi, lalu dilakukan prosedur sesuai no 1 b sampai 1f.

Dan pengukuran sample ini bersamaan dengan standar asam fitat. Kadar asam fitat dalam bahan (mg/g bahan) dihitung dengan cara membandingkan hasil yang diperoleh dengan kurva standar asam fitat. 4. Perhitungan hasil

A = absorbans contoh/bahan/sample

B = ppm contoh/bahan/sample yang didapat dari regresi linier standar (Y=a+bx)

C = 20x(B/1000)x660x0.05

Kadar fitat dalam bahan (ppm)=C/(bk bahanxgr bahan) Enzim Amilase

Analisa enzim α - amilase dengan metoda Worthington (1993) dalam Natalia et al (2004).

Limbah tauge ditimbang,kemudian ditambahkan larutan buffer Tris (20 mM Tris HCl, 1 mM EDTA, 10 mM CaCl2, pH 7.5) dengan perbandingan 10%.Lalu dimasukkan kedalam tabung effendorf dan disentrifuge selama 10 menit 12.000 rpm suhu 4˚C.

Diambil supernatantnya,dan dilakukan berbagai analisis enzim terhadap supernatant tersebut.

1. Larutan Pati 1% (dalam 20 mM sodium fosfat pH 6.9) yang terkandung 6.0 mM NaCl sebagai substrat.

2. Kemudian dipipet larutan pati diatas sebanyak 0.5 mL, dimasukkan kedalam tabung reaksi.

3. Lalu ditambahkan 0.5 mL sampel/contoh dan diinkubasi selama 3 menit pada suhu 95ºC (waterbath).

4. Ditambahkan larutan DNS sebanyak 0.5 mL, kemudian diinkubasikan kembali pada suhu 95ºC selama 5 menit.

5. Lalu dibaca absorbansnya pada spektrofotometer dengan panjang gelombang π 540 nm.

Perhitungan : µmol maltosa yang dihasilkan


(31)

Enzim Protease

Analisis enzim protease dilakukan dengan metode bergmeyer and grassi (1983).

Disiapkan tabung reaksi untuk blanko, standar dan contoh (banyaknya tabung tergantung pada jumlah contoh). Dimasukkan buffer phosphat 0.05 M pH 7 sebanyak 1 mL ke dalam semua tabung reaksi. Lalu dimasukkan larutan substrat casein 20 mg/mL pH 7 sebanyak 1 mL juga kedalam semua tabung reaksi. Kemudian dimasukkan contoh sebanyak 0.2 ml, kedalam tabung reaksi contoh saja. Dimasukkan 0.2 mL larutan standar Tirosin 5 mmol/L kedalam tabung reaksi untuk standar. Dan dimasukkan 0.2 mL aquadest kedalam tabung reaksi untuk blanko.Diinkubasi pada suhu 37ºC selama 10 menit.Ditambahkan larutan TCA 0.1 M sebanyak 2 ml kedalam semua tabung. Ditambahkan larutan CaCl2 2 mmol/L sebanyak 0.2 mL kedalam tabung blanko dan standar, sedangkan ke dalam tabung sampel/contoh ditambahkan 0.2 mL aquadest. Diamkan pada suhu 37ºC selama 10 menit. Disentrifuge selama 10 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Filtrat dari masing-masing tabung diambil 1.5 mL, ditambahkan 5 mL Na2CO3 0.4 M kedalam setiap tabung, lalu larutan Folin Ciaucalteau sebanyak 1 ml. Didiamkan selama 20 menit pada suhu 37ºC.

Vitamin E

Pengukuran kandungan vitamin E dilakukan dengan metode AOAC 2001-13 (2001)

Rancangan Percobaan dan analisa data

Penelitian tahap I, menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial 4x3 dengan perlakuan pertama sumber/pengrajin limbah tauge sebanyak 4 sampel acak sumber/pengrajin tauge (P1,P2,P3,P4) dan perlakuan kedua adalah lama penyimpan dalam bentuk segar sebanyak 3 waktu (0,1,2 hari) dengan 3 ulangan hari pengambilan LT.

Analisis data didasarkan pada persamaan sebagai berikut Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ρk + εijk.

Keterangan :

Yijk = Respon perlakuan sumber limbah tauge dan lama penyimpanan µ = Rataan umum

αi = Pengaruh perlakuan sumber/pengrajin tauge ( P1,P2,P3,P4) βj = Pengaruh perlakuan lama penyimpanan limbah tauge dalam

bentuk segar ( 0 hari, 1 hari dan 2 hari)

ρk = Pengaruh aditif kelompok ke-k (hari pengambilan sampel tauge ke pasar 1,2,3)

(αβ)ij = Interaksi antara perlakuan sumber limbah tauge dan lama penyimpanan dalam bentuk segar.

Eijk = Galat percobaan

Data yang diperoleh dianalisis ragam (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati. Hasil yang berbeda nyata


(32)

dilanjutkan dengan uji Duncan.

Hasil dan Pembahasan 1.Komposisi Fisik Limbah Tauge

a) Limbah Tauge Segar

Komposisi limbah tauge segar terdiri atas komponen-komponen : Kulit /tudung tauge, Tauge utuh, Kepala tauge dan Batang - ekor tauge segar (gambar 2.2.a).

Ratan Komposisi Fisik Limbah Tauge Segar berdasarkan sumber/pengrajin tauge dan lama penyimpanan (LP) dalam bentuk segar, dihitung berdasarkan berat sampel limbah tauge segar campuran sebesar 250 gram hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 2.1.

(a) (b)

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara sumber limbah tauge dan lama penyimpanan sampai dengan 3 hari dalam bentuk segar terhadap semua komponen komposisi fisik limbah tauge segar. Namun sumber/pengrajin limbah tauge berpengaruh sangat nyata (P<0.001) terhadap komponen kulit dan batang-ekor, dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap tauge dan sangat nyata (P<0,01) terhadap batang-ekor. Persentase batang-ekor pada lama penyimpanan 0 hari tertinggi dibandingkan pada lama penyimpanan 1 dan 2 hari. Hasil ini menunjukkan bahwa komposisi fisik limbah tauge segar tidak berbeda dari pengrajin yang satu ke pengrajin lainnya, kecuali dari komponen potongan kepala tauge dan potongan batang-ekor tauge maupun tauge utuhnya. Keadaan ini disebabkan belum adanya standard baku operasional pemisahan tauge dari limbahnya, sehingga faktor subyektifitas individu pekerja pengayak sangat menentukan banyak sedikitnya tauge maupun potongan-potongannya yang terikut di dalam limbahnya. Tauge merupakan tumbuhan muda yang sangat rapuh, sehingga penanganan pada saat pengayakan akan menentukan porsi potongan kepala dan batang ekot tauge serta tauge utuh dalam limbahnya. Sementara itu, tingginya porsi komponen

batang-Gambar 2.2 Komponen limbah tauge (a) dalam keadaan segar dan (b) dalam keadaan kering udara.


(33)

ekor tauge pada lama penyimpanan 0 hari dibandingkan 1 dan 2 hari, dikarenakan terjadi penguapan air selama masa simpan. Kadar air komponen batang-ekor adalah yang tertinggi, yaitu sekitar 92.5% atau kadar bahan kering (BK) sebesar 7.5%, dibandingkan kadar air ketiga komponen lainnya, yaitu kulit, tauge dan Kepala tauge, masing-masing berturut-turut sebesar 59.5, 87.2 dan 73.9% atau kadar BK masing-masing berturut-turut sebesar 40.5, 12.8 dan 26.1% (Tabel 2.3).

Komposisi limbah tauge segar hasil penelitian ini ternyata didominasi oleh komponen kulit tauge, yakni sebesar 70.90%, sisanya adalah ketiga komponen lainnya, yaitu tauge utuh, kepala tauge dan batang ekor masing-masing berturut-turut sebesar 15.16%, 5.40% dan 8.55%. Kandungan komponen kulit tauge yang besar ini, selain berpengaruh terhadap kandungan nutriennya, juga akan berpengaruh terhadap kecernaan limbah tauge. Kulit tauge yang berasal dari kulit biji kacang hijau yang keras yang strukturnya sebagian besar terdiri dari selulosa, hemuselulosa dan lignin.

Tabel 2.1 Komposisi Fisik Limbah Tauge Segar berdasarkan sumber/pengrajin tauge dan dalam penyimpanan dalam bentuk segar

Kompo-nen

Lama Simpan

(hari)

Sumber/Pengrajin tauge Limbah Tauge

P1 P2 P3 P4 Rataan

---%--- Kulit

Tauge

0 75.32±5.99 69.84±10.98 71.05±3.36 68.07±5.55 71.07±6.62

1 74.18±11.14 70.78±11.86 71.72±2.25 69.74±5.36 71.61±7.57

2 70.83±7.82 70.14±11.97 67.89±2.85 71.21±5.54 70.02±6.79

Rataan 73.44±7.70 70.25±10.06 70.22±3.04 69.67±4.94 70.90±6.83

Tauge

0 11.18±4.55 14.66±6.62 13.77±2.68 11.08±0.94 12.67±3.99a

1 14.01±7.24 16.12±7.32 15.79±2.93 13.68±2.36 14.90±4.81ab

2 18.37±3.53 18.39±10.00 21.54±2.53 13.30±4.27 17.90±5.87b

Rataan 14.52±5.59 16.39±7.21 17.03±4.21 12.69±2.77 15.16±5.27

Kepala Tauge

0 4.68±1.79 9.30±4.03 4.78±0.62 5.27±1.39 6.01±2.82

1 5.03±1.73 8.76±4.02 4.99±1.75 4.61±1.29 5.85±2.73

2 3.74±1.33 6.44±1.55 3.58±0.91 3.62±0.52 4.34±1.60

Rataan 4.48±1.53A 8.17±3.23B 4.45±1.23A 4.50±1.22A 5.40±2.50

Batang Ekor Tauge

0 8.83±0.31 6.20±1.27 10.40±0.55 15.57±5.49 10.25±4.31B

1 6.78±2.86 4.33±1.41 7.51±2.48 11.97±2.23 7.65±3.49A

2 7.06±3.09 5.03±1.60 6.99±0.79 11.86±1.76 7.73 ±3.13A

Rataan 7.56±2.32B 5.19±1.49A 8.23±2.07B 13.14±3.59C 8.55±3.78

Keterangan : P1, P2, P3 dan P4 adalah sampel acak penjual tauge di pasar Bogor yang merepresentasikan pengrajin tauge yang berbeda. Lama penyimpanan (LP) 0 hari adalah hari saat pengambilan LT di pasar, LP 1 hari adalah 1 hari sesudahnya dan LP 2 hari adalah 2 hari sesudahnya. Superskrip yang berbeda pada baris atau kolom yang sama, (a,b) menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) dan (A,B) sangat nyata (P<0.01)


(34)

Komponen tauge dan potongan-potongannya sekitar 29.90% ini, diperkirakan akan berpengaruh terhadap palatabilitas limbah tauge secara keseluruhan.

b) Limbah Tauge Kering

Komposisi limbah tauge kering terdiri dari komponen-komponen : Kulit /tudung tauge, Tauge utuh , Kepala tauge dan Batang - ekor tauge kering (gambar 3.b). Rataan komposisi fisik limbah tauge kering berdasarkan sumber/pengrajin tauge dan lama penyimpanan (LP) dalam bentuk segar, dihitung berdasarkan berat sampel limbah tauge kering campuran hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 2.2.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara sumber limbah tauge dan lama penyimpanan sampai dengan 3 hari dalam bentuk segar terhadap semua komponen komposisi fisik limbah tauge kering. Namun sumber/asal l imbah tauge berpengaruh sangat nyata (P<0.001) terhadap komponen kepala dan batang-ekor tauge kering, dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kepala tauge kering. Persentase kepala tauge kering pada lama penyimpanan 2 hari lebih rendah dibandingkan pada lama penyimpanan 0 dan 1 hari.

Tabel 2.2 Komposisi Fisik Limbah Tauge Kering Udara berdasarkan sumber/pengrajin tauge dan lama penyimpanan dalam bentuk segar

Kompo-nen

Lama Simpan

(hari)

Sumber/pengrajin Limbah Tauge

Rataan

P1 P2 P3 P4

---%--- Kulit

tauge

0 89.97±2.99 85.23±8.58 88.85±1.42 86.38±2.95 87.61±4.60

1 89.01±5.73 84.37±8.55 89.58±1.05 86.15±4.70 87.28±5.33

2 89.68±3.33 86.79±6.76 88.31±1.84 88.46±3.35 88.31±3.76

Rataan 89.56±3.66 85.65±7.02 88.97±1.55 86.23±3.43 87.60±4.06

Tauge 0 4.47±1.90 5.58±4.69 5.80±1.42 4.70±0.27 5.14±2.40

1 5.98±3.52 7.02±4.45 5.62±1.87 6.68±2.42 6.33±2.81

2 5.81±2.28 7.84±6.48 7.20±1.52 6.04±2.76 6.72±3.34

Rataan 5.42±2.41 6.67±4.68 6.18±1.74 5.97±2.04 6.06±3.08

Kepala Tauge

0 3.98±1.77 7.96±3.78 3.12±0.68 5.30±2.72 5.09±2.88b

1 3.30±1.85 7.41±4.01 3.49±0.81 4.62±1.57 4.70±2.65b

2 2.91±1.14 4.13±0.71 2.70±0.10 3.00±0.13 3.19±0.82a

Rataan 3.40±1.48A 6.46±3.31B 3.11±0.65A 4.84±1.87AB 4.45±1.95

Batang-ekor tauge

0 1.58±0.64 1.23±0.12 2.23±0.68 3.63±0.75 2.17±1.10

1 1.71±0.99 1.20±0.11 1.31±0.04 2.56±0.86 1.69±0.79

2 1.60±0.60 1.24±0.13 1.79±070 2.49±0.83 1.78±0.71

Rataan 1.63±0.67ab 1.22±0.11a 1.74±0.66ab 2.96±0.90ab 1.89±0.75

Keterangan : P1, P2, P3 dan P4 adalah sampel acak penjual tauge di pasar Bogor yang merepresentasikan pengrajin tauge yang berbeda. Lama penyimpanan (LP) 0 hari adalah hari saat pengambilan LT di pasar, LP 1 hari adalah 1 hari sesudahnya dan LP 2 hari adalah 2 hari sesudahnya. Superskrip yang berbeda pada baris atau kolom yang sama, (a,b) menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) dan (A,B) sangat nyata (P<0.01)

Secara umum komposisi fisik limbah tauge kering tidak dipengaruhi oleh sumber asal/pengrajin dan lama/ umur penyimpanan dalam keadaan segar hingga tiga hari, hanya kepala dan batang ekor yang dipengaruhi sumber/asal tauge, serta lama simpan nyata mempengaruhi persentase kepala tauge kering.


(35)

Secara keseluruhan, persentase komposisi limbah tauge kering terdiri atas : kulit tauge kering, tauge kering, kepala tauge kering dan batang ekor kering dengan rataan berturut-turut sebesar 87.60%, 6.06%, 4.45% dan 1,89% (1,22-2.96%). Apabila dibandingkan dengan komposisi limbah tauge dalam keadaan segar, komponen kulit tauge mengalami peningkatan, sedangkan komponen tauge beserta potongan-potongannya menurun. Hal ini disebabkan kulit tauge mempunyai kadar air terendah atau bahan kering tertinggi (40,5%), sementara tauge beserta potongan-potongannya mengandung kadar air yang tinggi atau kadar bahan kering yang rendah (7.52-26.15%) (Tabel 2.3).

c) Kadar bahan kering Udara limbah tauge (LT) dan komponennya

Kadar bahan kering udara limbah tauge dan masing-masing komponennya disajikan pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Kadar bahan kering udara limbah tauge dan komponennya

Keterangan : P1, P2, P3 dan P4 adalah sampel acak penjual tauge di pasar Bogor yang merepresentasikan pengrajin tauge yang berbeda. Lama penyimpanan (LP) 0 hari adalah hari saat pengambilan LT di pasar, LP 1 hari adalah 1 hari sesudahnya dan LP 2 hari adalah 2 hari sesudahnya. Superskrip yang berbeda pada baris atau kolom yang sama, (a,b) menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) dan (A,B) sangat nyata (P<0.01)

Kisaran kadar bahan kering pada umur simpan 0-2 hari dalam keadaan segar adalah antara 30.78%. Sementara itu, rataan kadar bahan kering masing-masing komponennya, kulit tauge, tauge , Kepala dan batang-ekor berturut-turut sebesar 40.46%, 12.76%, 26.15% dan 7.52%.

Kompo-nen

Lama Simpan

(hari)

Sumber Limbah Tauge

P1 P2 P3 P4 Rataan

---%--- Limbah

Tauge

0 33.88±2.31 32.80±3.49 30.52±0.23 26.10±1.22 30.84±12.37

1 32.92±3.26 33.72±2.57 30.52±1.22 26.12±1.40 30.80±12.23

2 33.72±3.93 33.32±1.51 29.88±1.89 25.72±0.23 30.64±12.20

Rataan 33.51±2.83C 33.29±2.33C 30.31±1.18B 26±0.96A 30.78±3.61

Kulit tauge

0 43.20±3.12 43.70±4.41 39.40±0.85 34.60±3.58 40.30±16.04

1 43.40±0.90 43.21±4.97 40.89±1.29 34.72±2.17 40.58±16.19

2 45.19 ±1.80 43.29±2.37 41.25±1.45 35.98±2.35 41.43±16.73

Rataan 43.52±2.19C 43.38±3.53C 40.53±3.53B 35.21±2.48A 40.46±4.17

Tauge utuh

0 14.10±2.72 12.60±3.67 13.10±1.95 11.5±1.25 12.8±4.70

1 13.20±2.34 15.28±1.33 11.62±2.40 13.56±2.34 13.28±5.23

2 10.93±1.42 13.95±2.23 10.54±1.13 13.03±1.60 11.99±4.57

Rataan 13.38±2.68 13.35±2.57 11.70±1.97 12.62±1.74 12.76±2.25

Kepala Tauge

0 30.00±6.72 29.00±4.73 18.60±2.47 26.8±5.70 26.20±10.74

1 23.10±7.14 29.57±0.91 23.08±4.12 28.04±2.56 26.47±10.08

2 26.74±2.06 22.00±5.58 24.10±7.14 24.1±3.67 24,00±9.29

Rataan 26.51±6.46 27.66±5.10 23.14±4.80 27.30±3.49 26.15±5.10

Batang Ekor tauge

0 6.28±3.03 6.99±1.67 6.88±2.47 6.34±1.81 6.7±2.55

1 8.30±0.21 10.00±3.35 5.65±2.52 6.14±1.17 6.74±3.46

2 7.96±5.06 8.85±3.00 7.98±2.73 6.23±1.78 7.3±3.40


(36)

2. Kandungan nutrien limbah tauge (LT)

Kualitas bahan pakan pada umumnya dilihat dari tinggi rendahnya kandungan zat-zat nutriennya, yang ditentukan berdasarkan analisa proksimat.

Hasil analisis proksimat kandungan nutrien limbah tauge beserta komponen-komponennya disajikan pada tabel 2.4.

Dari tabel 2.4 dapat dilihat bahwa berdasarkan kadar bahan kering, kandungan nutrien protein kasar, serat kasar dan BETN cukup tinggi, masing-masing berturut sebesar 13.76%, 30.14% dan 52.87%. Hal ini menunjukkan bahwa limbah tauge cukup baik untuk dimanfaatkan sebagai pakan sumber serat namun dengan kandungan protein dan BETN yang juga mencukupi kebutuhan ternak, terutama ternak ruminansia, dibandingkan dengan rumput yang kandungan proteinnya hanya 9.56%. Tingginya kadar serat pada limbah tauge ternyata berasal dari komponen kulit tauge yang merupakan bagian terbesar limbah tauge yakni sebesar (70.90%) dalam keadaan segar atau sekitar (87.60%) dalam keadaan kering udara

Tabel 2.4 Kandungan nutrien limbah tauge (LT) dan komponen-komponennya dalam bentuk segar dan 100% bahan kering serta rumput lapang*).

Komponen BK Abu PK SK LK BETN Ca P

Limbah tauge (LT) 27.36 0.77 3.76 8.25 0.12 14.46 0.25 0.07 100 2.81 13.76 30.14 0.43 52.87 0.91 0.27 Kulit tauge 35.20 1.20 3.36 16.81 0.30 13.51 0.60 0.10 100 3.41 9.56 47.77 0.86 38.39 1.70 0.28 Tauge utuh 10.54 0.56 4.59 1.51 0.12 3.75 0.09 0.13 100 5.35 43.54 14.33 1.16 35.62 0.83 1.28 Kepala tauge 22.14 1.21 8.11 1.59 0.13 11.09 0.24 0.16 100 5.47 36.62 7.20 0.60 50.11 1.07 0.72 Batang ekot tauge 6.40 0.57 2.45 1.47 0.03 1.86 0.08 0.06 100 8.99 38.34 23.06 0.47 29.14 1.20 0.99 Rumput lapang 30.55 100 7.58 2.32 2.92 9.56 23.61 7.21 0.25 0.82 17.85 58.43 - -

- - Keterangan: Diolah dari hasil analisa Laboratorium ilmu dan Teknologi Pakan, 2013. PK = Protein

kasar; SK = Serat kasar; LK = Lemak kasar; BETN = Bahan ekstrak tanpa Nitrogen; Ca = Kalsium; P = Pospor; *) sebagai pembanding.

Sementara itu, kandungan protein yang tinggi berasal dari komponen tauge dan potonga-potongannya (36.62-43.54%). Dengan demikian banyak sedikitnya komponen tauge dan potongan-potongannya menentukan tinggi rendah protein limbag tauge.

3. Kandungan Serat (NDF & ADF), Anti Nutrisi (Tanin & Fitat), Enzim (α-amilase & Protease) dan Vitamin E pada Limbah Tauge

Analisa serat dengan metode detergen (Van Soest) diperlukan untuk mengetahui komposisi kandungan fraksi-fraksi lignin, selulosa dan hemiselulosa yang berhubungan erat dengan kecernaan suatu bahan pakan, terutama hijauan. Kandungan komposisi tersebut tidak dapat diketahui dengan kandungan serat


(1)

ransum dengan waktu pemberian pakan sore hari, mampu meningkatkan produktivitas domba garut tanpa mengurangi tingkat kesejahteraannya.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai komposisi fisik dan kandungan nutrien limbah tauge dengan pengambilan sampel dari berbagai kota di Indonesia, baik limbah tauge yang diperoleh melalui proses pengayakan (pemisahan kering) maupun melalui proses pelimbangan dengan air (pemisahan basah), guna mengetahui keragaman kualitas limbah tauge dan potensinya yang ada di Indonesia.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan perlakuan yang sama, tetapi pemberian pakan dilakukan dua kali dengan pagi diberi konsentrat dan sore diberi limbah tauge serta perlu diberikan ransum rumput pada sekitar sebelum ternak dipotong untuk menghasilkan kandungan asam lemak tak jenuh (PUFA) yang tinggi di dalam daging.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Altmann J. 1974. Observational study of behaviour : sampling methods. Behavior 48:227-267.

Aprilliza MN, Purnomoadi A, Rianto E. 2014. Dietary energy utilization in rams being fed during the day and/or at night. J. Indonesian Trop. Anim. Agric. 39(2): 104-110.ISSN 2087-8273.

Astuti DA, Ekastuti DR, Sugiarti Y, Marwah. 2008. Profil Darah dan Nilai Hematologi Domba Lokal yang Dipelihara di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi. Agripet : Vol (8) No. 2: 1-8

Astuti DA, Baba AS, Wibawan IWT. 2011. Rumen Fermentation, Blood Metabolites, and Performance of Sheep Fed Tropical Browse Plant. Media Peternakan, pp. 201-206. DOI: 10.5398/medpet.2011.34.3.201.

Beauchemin KA, Holtshausen L. 2010. Developments in Enzyme Usage in Ruminants. In : Enzymes in Farm Animal Nutrition. 2nd . Edited by Bedford MR and Partridge GG. www.cabi.org. pp : 206-230.

Blaxter K. 1989. Energy Metebolism in Animals and man. Cambridge University Press. Cambridge (UK).

BMKG. 2013. Data Iklim Harian Tahun 2013. Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor. Bogor.

Broom, DM. 1991. Animal welfare: concepts and measurement.J. Anim. Sci. 69:4167-4175 http://jas.fass.org/content/69/10/4167. [diakses 28 Maret 2012]

Ching LS, Mohamed S. 2001. Alpha-Tocopherol Content in 6 Edible Tropical Plants. J. Agric. Food Chem., 49, 3101-3105.

Dı´az MT, lvarez IA, De la Fuente J, San˜udo C, Campo MM, Oliver MA, Font i Furnols M, Montossi MF, San Julia´n R, Nute GR, Can˜eque, V. 2005. Fatty acid composition of meat from typical lamb Production systems of Spain, United Kingdom, Germany and Uruguay. Meat Science 71 (2005) 256–263. www.sciencedirect.com.

Direktorat Jenderal PKH. 2012. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian. Jakarta

Duke NH. 1995. The Physiology of Domestic Animal. New York (US): Comstock Pub.

Duldjaman M. 2004. Penggunaan ampas tahu untuk meningkatkan gizi pakan domba lokal. Med.Pet 27: 107-110.

Dwyer C. 2009. The Behaviour of Sheep and Goats. In : The Ethology of Domestic Animals. 2nd Edition : An Introductory Text, Edited by P. Jensen. CAB International. Florida. (US).

Ewing SA, Lay Jr. DC, Von Borell E. 1999. Farm Animal Well-Being : Sress Physiology, animal Behavior, and Environmental Design. Prentice Hall Upper Saddle River, New Jersey.

Falola OO, Alasa MC, Amuda AJ, Babayemi OJ. 2013. Nutritional and anti Nutritional components of vetiver grass (Chrysopogon zizanioides L. Roberty) at different stages of growth. Pakistan Jounal of Nutrition 12(11): 957-959.


(3)

Forbes JM and Mayes RW. 2002. Food Choice. In : Sheep Nutrition, edited by M. Freer and H. Dove. CABI and CSIRO publishing. (AUS).

Forrest JC, Aberle ED, Hedrick HB, Judge MD, Merkel RA. 2001. Principle of Meat Science. W.H. Freeman and Company, San Fransisco.

Frans JM, Smulders, Algers B. 2009. Welfare of Production Animals : Assessment and Manajement of Risks. Food Safety Assurance and Veterinary Public Health Vol 5. Wageningen Academic Publihers. Netherlands.

Gaughan JB, Mader TL, Holt SM, Hahn GL, Young BA. 2002. Review of current assessment of cattle and microclimate during periods of high heat load. Animal Production of Australia, vol. 24, pp. 77-80.

Gonyou HW. 1994. Why the study of animal behavior is associated with the animal welfare issue. J. Anim. Sci. 72 : 2170-2177. http://jas.fass.org/content/72/8/2171. [diakses 28 Maret 2012]

Greger M. 2010. Trait selection and welfare of genetically engineered animals in agriculture. J. Anim. Sci. 88:811-814. doi: 10.2527/jas.2009-2043

Grier JW. 1984. Biology of Animal Behavior. Times Mirror/Mosby College Publishing. St. Louis, Missouri.

Hahn GL. 1999. Dynamic responses of cattle to thermal heat loads. J.of Anim. Sci., vol. 77, suppl. 2/J, pp. 10-20.

Handiwirawan E, Hasinah H, Mahendri IGAP, Priyanti A, Inounu I, 2004. Produktifitas domba garut muda pada dua agroekosistem yang berbeda. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004. Pp. 335-340.

Herianti I, Prawirodigdo S, 2010. Introduksi formula ransum untuk peningkatan kualitas pakan pada penggemukan domba di Desa Pringsurat kabupaten Temanggung. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010. Pp.593–598.

Ifafah WW, Rahayu S, Diapari D, Baihaqi M. 2011. The utilization of bean sprout waste as a sheep feed in order to reduce waste pollution in Indonesian traditional market. Proceedings of the 18th Tri-University International Joint Seminar and Symposium 2011 Jiangsu University, China, October 26–31, 2011

Johnson AK. 2009. ASAS Centennial Paper: Farm animal welfare science in the United States. J. Anim. Sci. 2009. 87:2175–2179. doi: 10.2527/jas.2008-1519

Kandeepan G, Anjaneyulu ASR, Rao VK, Pal UK, Mondal PK, C. K. Das CK. 2009. Feeding regimens affecting meat quality and characteristics. Meso.11(4):240-249.

Kandemir C, Kosum N, Taskin T. 2013. Effects of heat stress on physiological traits in sheep. Macedonian J.of Anim Sci. Vol 3 (1) : 25-29.

Kronberg SL, Malechek JC. 1997. Relationships between nutrition and foraging behavior of free-ranging sheep and goats. J. Anim. Sci, 75 : 1756–1763. http://jas.fass.org/content/75/7/1756. [diakses. 28 Maret 2012]

Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan: A. Parakkasi. UI-Press, Jakarta. Marai IFM, El-Darawany AA, Fadiel A, Abdel-Hafez MAM. 2007. Physiological

traits as affected by heat stress in sheep. Small Ruminant Research. 71:112.


(4)

Marquadt RR, McKirdy JA, Ward T, Campbell LD. 1975. Amino acid, hemaglutinin, and trypsin inhibitor levels and proximate analysis of faba beans, faba beans fractions. J Anim Sci. 55: 421-429.

McSweeney CS, Palmer B, McNeill DM, Krause DO. Microbial interactions with tannins : nutritional consequences to ruminants. Animal Feed Science and Technology 91 : 83-93.

Morohashi Y, Katoh H, Kaneko Y, Matsushima H. 1989. Control of a-Amylase Development in Cotyledons during and following Germination of Mung Bean Seeds. Plant Physiol. 91, 253-258

00320889/89/91/0253/06/$01.00/0

Moss R. 1992. Livestock Health and Welfare. Longman Scientific and Technical. London (US).

Mubarak AE. 2005. Nutritional composition and nutritional factors of mung bean seeds (Phaseolus aureus) as affected by some home traditional precesses. Food Chem. 89: 489-495.

NRC. 1985. Nutrient Requirements of Sheep. National Academic Press. Washington DC. (US).

National Research Council (NRC). 2010. Toward sustainable Agricultural Systems in The 21st Century. The National Academies Press. Washington DC.

Nurwantoro VP. Bintoro, Legowo AM, Purnomoadi A. 2012. Pengaruh metode pemberian pakan terhadap kualitas spesifik daging. Review. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan Vol. 1 No. 3, 54-58

Pambu-Gollah R, Cronjé PB, Casey NH. 2000. An evaluation of the use of blood metabolite concentrations as indicators of nutritional status in free-ranging indigenous goats. Afrika Selatan Journal of Animal Sains 2000, 30 (2) : Park WY, Matsui T, Konishi C, Kim SW, Yano F, Yano H. 1999. Formaldehyde

treatment suppresses ruminal degradation of phytate in soyabean meal and rapeseed meal. Br.J.Nutr. 81(6) : 467-471

Paul SS, Mandal AB, Mandal GP, Kannan A, Pathak NN. 2003. Deriving nutrient requirements of growing Indian sheep under tropical condition using performance and intake emanated from feeding trials conducted in different research institutes. Small Ruminant Research 50 : 97–107. doi:10.1016/S0921-4488(03)00119-6.

Pearson AM, Duston TR. 1985. Advance in Meat Research. Volume 1: Electrical Stimulation. Westport (US): Avi Publishing Company Inc.

Purbowati E, Sutrisno CI, Baliarti, E, Budhi SPS, Lestariana W. 2006. Karakteristik fisik otot Longisimus dorsi dan Biceps femoris domba local jantan yang dipelihara di pedesaan pada bobot potong yang berbeda. Bul Petern. Vol. 13(3) : 147-153.

Raes K, De Smet S, Demeyer D. 2004.

Effect of dietary fatty acids on

incorporation of long chain polyunsaturated fatty acids and conjugated linoleic acid in lamb, beef and pork meat: a review.Animal Feed Science and Technology 113 : 199–221.

Rahayu S, Wadito DS, Ifafah WW. 2010. Survey Potensi Limbah Tauge di Kotamadya Bogor. Laporan Penelitian Fakultas Peternakan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor


(5)

Rahayu S, Yamin M, Astuti DA, Priyanto R Baihaqi M. 2013. Growth Performance of Local Sheep Fed with Mung Bean Sprouts Waste. Proc. Seminar of SAADC in China 2013. Pp. 248-249.

Rahayu S, M. Baihaqi M, Wandito DS. 2011. Pemanfaatan limbah tauge sebagai pakan pada peternakan penggemukan domba di wilayah urban. Laporan Penelitian. Dept.IPTP. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.

Senanayake, SGJN. 1995. The effect of different light levels on the nutritive quality of four natural tropical grasses. Tripocal Grasslands, vol.29, 111-114.

Silanikove N. 2000. Effects of heat stress on the welfare of extensively managed domestic ruminants. J Livestock Production Sci. 67 (1–2), 1–18.

Sorensen AN, Tribe DE. 1983. Dinamic Biochemistry of Animal Production. Elsevier Science Pubhlising Company Inc, New York

Tajoddin MD, Shinde M, Laletha J. 2011. In vivo reduction the phytic acid content of mung bean (Phaseolus aureus L.) cultivars during germination. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci., 10 (1) : 127-132.

Tomaszweska MW, Mastika IM, Djajanegara A, Gardiner S, T.R Wiradarya TR. 1993. Produksi Kambing dan Domba Di Indonesia. Sebelas Maret University Press. Surakarta.

Yamin M, Rahayu S, Ma’ani A. 2013. Kesejahteraan domba akibat pencukuran : tingkah laku domba sebelum, saat dan setelah pencukuran bulu. Journal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan vol. 1 no.1 : 15-18.

Yani A, Purwanto BP. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respon fisiologissapi peranakan fries Holland dan modifikasi untuk meningkatkan produktivitasnya. Med. Pet 29(1) : 35-46.

Yao Y, Fengchen, Wang M, Wang J, Ren G. 2008. Antidiabetic Activity of mung bean Extracts in diabetic KK-AY Mice. J. Agric. Food chem. 56. 8869-8873. DOI. 10.102.1021/jf 8009238.

Yinlin F, Meilai H. 2006. Bioactive compounds in legumes and their germinated products. J. Agric. Food chem. 54. 3807-3814. DOI. 10.1021/jf0600020. Yousef MK. 1985. Stress Physiology in Livestock. Volume I. CRC Press Inc.

Boca Raton. Florida (US).

Waghorn GC, Adams NR, Woodfield DR. 2002. Deleterious Substances in Grazed Pastures. In : Sheep Nutrition. Freer, M and H. Dove (Eds). CABI Publishing.Canberra.

Widiawati Y, Winugroho M, Mahyuddin P. 2010. Estimasi produksi gas metana dari rumput dan tanaman leguminosa yang diukur secara in vitro.Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010. Hal 131-136. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/.../pro10-20.pdf.[diakses 5 Februari 2013]

Wood JD and enser M 1997.Factors influencing fatty acids in meat and the role of antioxidants in improving meat quality. British Journal of Nutrition, 78, Suppl. 1, S49-S60.

Woods VB, Fearon AM. 2009. Dietary sources of unsaturated fatty acids for animals and their transfer into meat, milk and eggs: A review. Livestock Science 126 (2009) 1–20. ScieceDirect.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Bojonegoro Jawa Timur pada tanggal 11 Juni 1957 sebagai anak kedelapan dari enam belas bersaudara dari pasangan bapak Matradji (alm) dengan ibu Kaspiah (almh). Pendidikan sarjana (S1) ditempuh di program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada tahun 1981. Pada tahun 1994, penulis diterima di Program Studi Ilmu ternak Sekolah Pascasarjana IPB untuk menempuh S2 dan lulus pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan studi S3 (program Doktor) pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan IPB diperoleh pada tahun 2011, melalui beasiswa BPPS Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional RI. Penulis bekerja sebagai staf pengajar Fakultas Politeknik Pertanian IPB dari tahun 1987 hingga 1993 dan selanjutnya sebagai staf pengajar Fakultas peternakan IPB sejak 1994 hingga sekarang.

Karya ilmiah berjudul “Growth performance and Physiological Responses of Garut Lambs Fed Diets Mung Bean Sprout Waste at Different Times” telah dipublikasikan pada Pakistan Journal of Nutrition (volume 15, nomor 1 tahun 2016, halaman 80-84). Sementara itu karya ilmiah yang lain dengan judul

Behavior of Garut Sheep Fed with Mung Bean Sprouts Waste and Grass Diets and Night Feeding Management” telah dipublikasikan dalam proceeding seminar internasional The 16th AAAP Congress, tanggal 10 14 November 2014,di Yogyakarta, Indonesia. Sedangkan karya ilmiah berjudul “Profil Hematologi dan Status Metabolit Darah Domba Garut dengan Pakan Limbah Tauge dan Waktu Pemberian Berbeda” telah submit ke Jurnal Veteriner. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi.