RESPONSIVITAS BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, PEMBERDAYAAN PEREMPUAN, PERLINDUNGAN ANAK DAN KELUARGA BERENCANA (BAPERMAS PP PA DAN KB) SURAKARTA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

(1)

RESPONSIVITAS BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, PEMBERDAYAAN PEREMPUAN, PERLINDUNGAN ANAK DAN KELUARGA BERENCANA (BAPERMAS PP PA DAN KB) SURAKARTA

DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

Oleh :

Vernanda Reftiyana R D0112090

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Politik

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2016


(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Anak merupakan aset, investasi dan potensi berharga bagi bangsa dan negara. Di tangan merekalah nasib bangsa Indonesia akan ditentukan. Dalam masa tumbuh kembang anak, perhatian dan kasih sayang dari lingkungan sekitar menjadi kebutuhan pokok anak sehingga kedepannya anak tersebut dapat tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, berakhlak mulia, dan tentunya berguna bagi bangsa dan negara. Oleh sebab itulah sudah sepantasnya jika anak mendapatkan perlakuan yang baik oleh semua pihak yaitu keluarga, lingkungan sekitar maupun dari pemerintah. Salah satu bentuk perlakuan tersebut adalah dengan perlindungan terhadap anak. Perlindungan ini hal mutlak yang harus dilakukan oleh semua pihak tak terkecuali pemerintah. Keharusan tersebut mengingat mendapatkan perlindungan yang baik adalah salah satu dari hak-hak anak yang wajib dipenuhi.

Perhatian pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan anak tertuang di Undang-Undang (UU) No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Menurut UU No. 23 tahun 2002 Pasal 1 Ayat 1, yang disebut dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan anak (UU No. 23 tahun 2002 Pasal 1 Ayat 2) adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal


(3)

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Jumlah populasi anak di Indonesia ini bukanlah angka yang kecil. Data dari Badan Pusat Statistik yang dikutip dari Profil Anak (2012), hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010) menunjukkan bahwa penduduk Indonesia berjumlah 237,6 juta jiwa, yang terdiri dari 119,6 juta laki-laki dan 118,0 juta perempuan. Dari jumlah tersebut, sekitar 81,4 juta orang atau sekitar 34,26 persen diantaranya anak berumur di bawah 18 tahun.

Tabel 1.1

Penduduk Indonesia Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin (dalam juta) dan Rasio Jenis Kelamin (RJK), 2011

Sumber: Profil Anak (2012)

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia adalah anak. Dengan jumlah yang sedemikian


(4)

besarnya perlindungan anak menjadi hal yang harus diperhatikan menyangkut masa depan anak tersebut maupun masa depan bangsa dan negara. Namun kejadian yang belakangan ini terjadi seperti kasus pembunuhan Angeline di Bali, kasus penelantaran anak oleh orang tuanya, kasus penganiayaan terhadap anak memperlihatkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya memenuhi hak-hak anak khususnya hak mereka untuk mendapatkan perlindungan dari kejahatan. Pemerintah seharusnya bisa segera mengatasi kasus pelanggaran hak anak semacam itu mengingat kejadian atau kasus pelanggaran hak anak ini jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahunnya.

Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (KomNas Anak) yang dikutip dari http://news.liputan6.com/, Sekretaris Jenderal Komnas PA, Samsul Ridwan mengatakan jumlah aduan pada 2010 sebanyak 2.046, di mana 42 persen di antaranya merupakan kejahatan seksual. Pada 2011 menjadi 2.467 kasus, yang 52 persennya kejahatan seksual. Sementara pada 2012, ada 2.637 aduan yang 62 persennya kekerasan seksual. Meningkat lagi di 2013 menjadi 2.676 kasus, di mana 54 persen didominasi kejahatan seksual. Kemudian pada 2014 sebanyak 2.737 kasus dengan 52 persen kekerasan seksual. Melihat 2015, terjadi peningkatan pengaduan sangat tajam, ada 2.898 kasus di mana 59,30 persen kekerasan seksual dan sisanya kekerasan lainnya. Ini berdasar data yang dihimpun Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komnas Anak, dalam kurun waktu 2010-2015 yang diperoleh melalui layanan anak, hotline service, layanan


(5)

email, dan Facebook, serta surat menyurat. Dalam laporan pengaduan tesebut, peningkatan pelanggaran terhadap hak anak tidak semata-mata pada tingkat kuantitas jumlah saja namun juga pada semakin komplek dan beragamnya modus pelanggaran hak anak itu sendiri.

Tabel 1.2

Jumlah Pengaduan Pelanggaran Hak Anak

Tahun Jumlah Kasus

2010 2046

2011 2467

2012 2637

2013 2676

2014 2737

2015 2898

Sumber: Pusdatin Komnas Anak dari http://news.liputan6.com/ Senada dengan data pengaduan laporan tersebut, data dari Susenas yang dikutip dari Profil Anak (2012) menunjukkan bahwa anak yang menjadi korban kejahatan selama tahun 2011 jumlahnya mencapai sekitar 385,5 ribu anak.

Tabel 1.3

Persentase Penduduk Yang Menjadi Korban Kejahatan Selama Tahun 2011 Menurut Provinsi dan Klasifikasi Daerah


(6)

Sumber: Profil Anak (2012)

Fenomena kejahatan terhadap anak yang harus mendapat perhatian lebih adalah kasus Kekerasan terhadap Anak. Menurut Afifi, MacMillan, dkk (2014), kekerasan terhadap anak terdiri dari tiga tipe yaitu physical abuse (kekerasan fisik), sexual abuse (kekerasan seksual) dan exposure to intimate partner violence (kekerasan dalam keluarga). Kekerasan terhadap Anak masih menjadi salah satu masalah yang sampai saat ini belum teratasi dengan baik oleh pemerintah. Hal tersebut dibuktikan dengan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dimana jumlah perlakuan kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan. Seperti yang diungkapkan oleh Direktur Kesejahteraan Sosial Anak Kementerian Sosial, Edie Suharto (dikutip dari laman online http://kabar24.bisnis.com)


(7)

mengatakan bahwa kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meningkat lebih dari 100% dari yang semula sebanyak 536 kasus di tahun 2013 menjadi 1366 kasus di tahun 2014. Di tahun 2015 sendiri Dewan Pembina Konsultatif Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI), Seto Mulyadi (dikutip dari laman online http://www.cnnindonesia.com) mengatakan bahwa dari Januari sampai Mei 2015 sudah terdapat 500 laporan kasus kekerasan terhadap anak yang diterima Komnas Perlindungan Anak bahkan lebih lanjut lagi beliau mengatakan sebenarnya jumlah kekerasan yang terjadi di lapangan jauh lebih tinggi dari data yang Komnas PA terima. Salah satu bentuk kekerasan anak adalah Kekerasan Seksual Anak (KSA). Anak menjadi objek yang rentan menjadi korban kekerasan seksual, menurut Darmawan, Satgas Perlindungan Anak yang dikutip dari www.idai.or.id kasus kekerasan seksual terbanyak terjadi pada usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%).

Kota Solo sejak tahun 2006 sudah menyandang predikat Kota Layak Anak (KLA) dan sekarang sudah mendapat predikat KLA Nindya dimana predikat KLA Nindya adalah predikat tertinggi yang diraih oleh kota atau kabupaten yang ada di Indonesia. Kabupaten/Kota Layak Anak adalah program dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan & Perlidungan Anak. Menurut Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak yang dimaksud dengan Kabupaten/Kota


(8)

Layak Anak yang selanjutnya disingkat KLA adalah kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak. Salah satu syarat sebuah Kota dikatakan sebagai Kota Layak Anak (KLA) adalah adanya peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk pemenuhan hak anak di kota tersebut oleh karena itulah Pemerintah Kota Surakarta mengeluarkan Peraturan Daerah No 4 tahun 2012 tentang Perlindungan Anak sebagai produk hukum yang sah. Lebih lanjut lagi untuk penanggulangan dan penanganan tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak, Pemerintah Kota Surakarta sudah memiliki PTPAS atau Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Surakarta.

Predikat Kota Layak Anak merupakan tantangan tersendiri yang harus diemban oleh pemerintah Kota Surakarta dimana pemerintah harus menjamin terpenuhinya hak-hak anak di Kota Solo. Dengan predikat Kota Layak Anak (KLA) Nindya ini bukan berarti Kota Solo sepenuhnya sudah menjamin terlindunginya hak-hak anak. Dikutip dari laman www.joglosemar.co, Yayasan Kakak mencatatkan sebanyak 28 kasus kekerasan seksual yang menimpa anak usia SD dan SMP terjadi antara bulan Januari hingga September 2014 di eks Karisidenan Surakarta. Dan dari jumlah tersebut didominasi oleh Kota Surakarta yaitu sekitar 15 kasus. Tahun 2015 sendiri Badan Pemberdayaan Masyarakat,


(9)

Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (yang dikutip dari Harian Solopos, 30 April 2016) mencatat ada 20 kasus kekerasan seksual terhadap anak dimana kasus kekerasan seksual terhadap anak ini adalah kasus kekerasan tertinggi nomer dua yang terjadi di Kota Solo setelah kekerasan psikis. Dan tahun 2016 menurut Harian Solopos, 14 Mei 2016 kekerasan seksual terhadap anak di Kota Solo sudah tercatat sebanyak 11 kasus. Dengan banyaknya anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut, pemerintah harus responsif untuk mengambil tindakan penanganan sehingga kedepannya anak yang menjadi korban tersebut dapat kembali secara normal ke dalam lingkungannya.

Responsivitas berkaitan erat dengan pelaksanaan Good Governance dimana salah satu karakteristik pemerintahan yang baik adalah responsif. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Landell-Mill and Seragelden, cf Simbine dalam Gyong (2014).

“Good governance has been closely linked to ‘the extent to which a government is perceived and accepted as legitimate, committed to improving the public welfare and responsive to the needs of its citizens, competent to assure law and order and deliver public services, able to create an enabling policy environment for productive activities; and equitable in its conduct.”

Yang berarti bahwa good governance berkaitan erat dengan sejauh mana pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan responsif terhadap kebutuhan warganya, mampu untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan memberikan pelayanan publik, mampu menciptakan kebijakan untuk kegiatan-kegiatan produktif; dan adil dalam tindakannya.


(10)

Dwiyanto (2012: 62) dalam bukunya Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, mengatakan Responsivitas sebagai

“Responsivitas adalah kemampuan birokrasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.”

Terkait responsivitas ini peneliti memfokuskan pada bagaimana kemampuan birokrasi mengenali kebutuhan masyarakat dalam perlindungan anak dari kekerasan seksual, bagaimana kemampuan birokrasi menyusun agenda & prioritas pelayanan perlindungan anak dari kekerasan seksual dan kemampuan untuk mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan & aspirasi masyarakat terkait dengan kekerasan seksual terhadap anak.

Mengingat urgensi dari kasus kekerasan seksual terhadap anak khususnya penanganan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual, responsivitas dari pemerintah sangatlah diperlukan. Anak ini adalah objek yang tidak memiliki kekuatan atau daya untuk melindungi dirinya sendiri, jadi daya tanggap atau responsivitas dari pemerintah sangatlah diperlukan untuk memulihkan keadaan mereka paska mendapatkan perlakuan kekerasan seksual. Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Responsivitas Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Surakarta dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual. B. RUMUSAN MASALAH


(11)

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana responsivitas Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas PP PA dan KB) Surakarta dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual?

C. TUJUAN PENELITIAN

Mengetahui dan mendeskripsikan responsivitas Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas PP PA dan KB) Surakarta dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini dibagi dalam dua tujuan: 1. Manfaat Teoritis

Mengetahui responsivitas Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas PP PA dan KB) Surakarta dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual

2. Manfaat Praktis

Sebagai syarat bagi penulis untuk memenuhi gelar Sarjana pada Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret.


(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Anak merupakan objek yang lemah yang sudah seharusnya mendapatkan perlindungan dari segala lapisan masyarakat termasuk dari pemerintah. Perlindungan terhadap anak merupakan hal yang wajib dilakukan oleh pemerintah mengingat hal tersebut adalah hak dasar anak yang harus dipernuhi. Oleh karenanya responsivitas juga dituntut untuk dimiliki oleh pemerintah. Dengan responsivitas yang baik tersebut berarti memperlihatkan bahwa kinerja dari pemerintah juga baik. Penelitian-penelitian tentang responsivitas dan perlindungan anak ini sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti lain baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional. Dalam penelitian ini, penulis juga berupaya untuk memahami penelitian yang telah dilakukan sebelumnya atau yang sering disebut dengan penelitian terdahulu. Penelitian terdahulu ini nantinya diharapkan dapat membantu penulis sebagai peneliti dalam mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan Responsivitas Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas PP PA dan KB) Surakarta dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual yang terjadi. Adapun hasil penelitian terdahulu adalah sebagai berikut:

1. Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children

Penelitian ini dilakukan oleh Paramastri, Supriyati dan Priyanto pada tahun 2010 dari Jurnal Psikologi Volume 37, No. 1, Juni 2010:


(13)

1 – 12. Penelitian ini mengambil judul mengenai langkah pencegahan yang bisa dilakukan sejak awal mengingat dampak yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual ini sangat kompleks. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan wawancara dalam pengumpulan datanya. Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk menemukan bentuk metode dan media prevensi yang tepat untuk mencegah kekerasan seksual pada anak sejak dini. Temuan program prevensi dini terhadap kekerasan seksual pada anak sangat perlu dan harus segera untuk dilakukan. Selain itu subjek penelitian mengusulkan agar program prevensi dini terhadap kekerasan seksual pada anak sebaiknya menggunakan alat bantu, seperti gambar, komik, karikatur, maupun dengan menggunakan audio visual. Penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti teliti memiliki persamaan dan juga perbedaan. Persamaan dengan penelitian peneliti adalah sama-sama fokus pada penelitian mengenai kekerasan seksual terhadap anak. Sedangkan perbedaannya yaitu dalam penelitian ini lebih difokuskan pada langkah pencegahan agar tidak terjadi kekerasan seksual.

2. Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)

Penelitian ini dilakukan oleh Niken Irmawati pada tahun 2009. Penelitian ini meneliti tentang responsivitas Pemkot Solo dalam rangka menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA). Penelitian ini


(14)

merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan wawancara dan dokumentasi. Tujuan dari adanya penelitian ini adalah untu mengetahui bagaimana responsivitas pemerintah Kota Surakarta terhadap Perlindungan Anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA) dengan temuan dari penelitian ini adalah Pemkot Surakarta terhadap perlindungan anak menuju KLA cukup responsif namun belum optimal. Hal ini dilihat dari tiga dimensi yaitu : kemampuan mengenali kebutuhan anak terbatas, kemampuan pemerintah menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak sudah sesuai dengan kebutuhan anak, pemerintah masih banyak bertumpu pada lembaga-lembaga lain yang peduli terhadap perlindungan anak. Penelitian ini dengan penelitian yang akan diteliti peneliti memiliki persamaan dan perbedaan diantara keduanya. Persamaan tersebut adalah sama-sama fokus pada bagaimana responsivitas pemerintah dalam masalah anak sedangkan perbedaannya adalah penelitian ini focus pada meneliti semua bentuk perlindungan anak.

3. Kekerasan Seksual terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya Penelitian ini dilakukan oleh Iva Noviana pada tahun 2015 dari Jurnal Sosio Informa Vol. 01, No. 1, Januari - April, Tahun 2015. Penelitian ini dilakukan ditengah maraknya pemberitaan di media massa mengenai kekerasan seksual terhadap anak cukup membuat masyarakat terkejut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menganalisis dampak dari kekerasan seksual


(15)

terhadap anak dan bagaimana cara penanganan. Temuan dari penelitian ini adalah Kekerasan seksual terhadap anak akan berdampak panjang, di samping berdampak pada masalah kesehatan juga berkaitan dengan trauma yang berkepanjangan. Dampak trauma akibat kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, antara lain: pengkhianatan atau hilangnya kepercayaan anak terhadap orang dewasa (betrayal); trauma secara seksual (traumatic sexualization); merasa tidak berdaya (powerlessness); dan stigma (stigmatization). Dalam memberikan perlindungan terhadap anak perlu adanya pendekatan sistem, yang meliputi sistem kesejahteraan sosial bagi anak-anak dan keluarga, sistem peradilan yang sesuai dengan standar internasional, dan mekanisme untuk mendorong perilaku yang tepat dalam masyarakat. Persamaan dengan penelitian ini adalah Sama-sama meneliti pada kekerasan seksual terhadap anak sedangkan perbedaaannya yaitu pada penelitian ini lebih fokus pada dampak yang timbul karena kekerasan.

4. Peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam Mengatasi Kekerasan Seksual terhadap Anak

Penelitian ini dilakukan oleh Hilman Reza pada tahun 2014. Jenis penelitian pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran serta efektivitas Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait perannya sebagai pelindung hak anak dalam hal mengatasi kasus kekerasan seksual


(16)

terhadap anak. Temuan dari penelitian ini adalah KPAI telah berperan dalam melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi dan mengawasi bentuk pelanggaran yang melibatkan anak-anak. Di antara penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan di antara keduanya adalah sama-sama meneliti tentang kekerasan seksual terhadap anak. Sedangkan perbedaannya yaitu dalam penelitian ini hanya focus meneliti peran dari lembaga KPAI.

5. Suatu Kajian Awal Terhadap Tingkat Pelecehan Seksual Di Aceh Penelitian ini dilakukan oleh Syaiful Bahri dan Fajriani pada tahun 2015 yang dimuat dalam Jurnal Pencerahan Volume 9, Nomor 1, (Maret) 2015 Halaman 50-65 ISSN: 1693 – 7775. Penelitian ini dilakukan ditengah kasus pelecehan seksual yang terjadi pada anak saat ini semakin meningkat persentasenya di Aceh. Penelitian ini merupakan penelitian survei yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil korban pelecehan seksual, keberagaman bentuk perilaku pelecehan seksual yang alami, lingkungan tempat terjadinya pelecehan dan faktor penyebab yang memicu pelecehan seksual tersebut. Secara spesifik tujuan penelitian adalah untuk menjadi dasar penelitian kebijakan berikutnya guna merumuskan berbagai strategi penanggulangan tindakan pelecehan seksual. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam menangani permasalahan pelecehan


(17)

seksual dengan menunjukkan perlakuan yang tepat terhadap orang-orang yang mengalami pelecehan seksual, serta dapat membantu meminimalisir dampak yang dialami oleh si korban. Di antara penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya yaitu sama-sama focus pada masalah pelecehan seksual, sedangkan perbedaannya yaitu dalam penelitian ini hanya mendeskripsikan profil tentang pelecehan seksual saja.


(18)

Matriks 1 Penelitian Terdahulu

No. Judul dan Penulis

Jenis Penelitian dan Metode

Isi dan Temuan Keterkaitan

1. Judul: Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children Penulis: Paramastri, Supriyati, Priyanto Jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan wawancara dalam pengumpulan datanya. Bertujuan untuk menemukan bentuk metode dan media prevensi yang tepat untuk mencegah kekerasan seksual pada anak sejak dini. Temuan program prevensi dini terhadap kekerasan seksual pada anak sangat perlu dan harus segera untuk dilakukan. Selain itu subjek penelitian mengusulkan agar program prevensi dini terhadap kekerasan seksual pada anak sebaiknya menggunakan Persamaan: sama-sama fokus pada kekerasan seksual terhadap anak. Perbedaan: Fokus pada pencegahan agar tidak terjadi kekerasan seksual.


(19)

alat bantu, seperti gambar, komik, karikatur, maupun dengan menggunakan audio visual. 2. Judul: Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA) Penulis: Niken Irmawati Penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan wawancara dan dokumentasi. Responsivitas Pemkot Surakarta terhadap perindungan anak menuju KLA cukup responsif namun belum optimal. Hal ini dilihat dari tiga dimensi yaitu : kemampuan mengenali kebutuhan anak terbatas, kemampuan pemerintah menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak sudah sesuai dengan kebutuhan anak, pemerintah masih banyak bertumpu pada lembaga-lembaga lain Persamaan: Sama-sama fokus pada bagaimana responsivitas pemerintah dalam masalah anak Perbedaan: Meneliti semua bentuk perlindungan anak.


(20)

yang peduli terhadap perlindungan anak. 3. Judul: Kekerasan Seksual terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya Penulis: Iva Noviana Penelitian kualitatif Menganalisis dampak dan penanganan dari kekerasan seksual terhadap anak. Temuan dari penelitian ini adalah Kekerasan seksual terhadap anak akan berdampak panjang, di samping berdampak pada masalah kesehatan juga berkaitan dengan trauma yang berkepanjangan. Dampak trauma akibat kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, antara lain: pengkhianatan atau hilangnya kepercayaan anak terhadap orang dewasa (betrayal); Persamaan: Sama-sama meneliti pada kekerasan seksual terhadap anak Perbedaaan: Lebih fokus pada dampak yang timbul karena kekerasan


(21)

trauma secara seksual (traumatic sexualization); merasa tidak berdaya (powerlessness); dan stigma (stigmatization). Dalam memberikan perlindungan terhadap anak perlu adanya pendekatan sistem, yang meliputi sistem kesejahteraan sosial bagi anak-anak dan keluarga, sistem peradilan yang sesuai dengan standar internasional, dan mekanisme untuk mendorong perilaku yang tepat dalam masyarakat. 4. Judul: Peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam Mengatasi Kekerasan Jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan observasi, wawancara Menganalisis peran serta efektivitas Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait perannya Persamaan: Meneliti tentang kekerasan seksual terhadap anak. Perbedaan:


(22)

Seksual terhadap Anak Penulis: Hilman Reza dan dokumentasi sebagai pelindung hak anak dalam hal mengatasi kasus kekerasan seksual terhadap anak. Temuan dari penelitian ini adalah KPAI telah berperan dalam melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi dan mengawasi bentuk pelanggaran yang melibatkan anak-anak. Lebih fokus meneliti peran dari lembaga KPAI. 5. Judul: Suatu Kajian Awal Terhadap Tingkat Pelecehan Seksual Di Aceh Penulis: Syaiful Bahri dan Fajriani Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dan kualitatif Temuan dari penelitian ini adalah sebagian besar korban pelecehan seksual adalah anak dan remaja perempuan yang berusia di bawah 18 tahun, masih berstatus sebagai pelajar, dengan status sosial ekonomi keluarga dalam kalangan menengah ke bawah. Pelaku tindakan Persamaan: sama-sama fokus pada masalah pelecehan seksual Perbedaan: hanya memberikan deskripsi profil tentang pelecehan seksual saja.


(23)

pelecehan seksual tidak mengenal perbedaan status, pangkat, jabatan dan sebagainya. Namun semuanya adalah laki-laki. Peristiwa pelecehan seksual dapat terjadi dalam berbagai setting. Biasanya dilakukan di tempat-tempat yang dirasa aman oleh pelaku. Penyebab terjadinya pelecehan seksual adalah kurangnya pengawasan orangtua terhadap anak, menurunnya moralitas pelaku dan factor ekonomi. Dampak

psikologis yang dialami korban pelecehan seksual adalah


(24)

mereka cenderung menyendiri, dikucilkan dalam pergaulan masyarakat, dikeluarkan dari sekolah,

menyalahkan diri sendiri, dan trauma


(25)

B. Perlindungan Anak

Perlindungan Anak adalah tanggung jawab dan kewajiban dari semua pihak khususnya pemerintah. Untuk mewujudkan perlindungan anak semua pihak harus terlibat di dalamnya. Menurut Gultom (2012:70)

“Perlindungan anak diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang secara wajar, baik fisik, mental maupun sosialnya.”

Adanya perlindungan anak didasarkan pada pertimbangan bahwa anak adalah golongan yang rawan serta banyaknya golongan anak-anak yang mengalami gangguan secara fisik maupun mentalnya.

Di Indonesia Perlindungan Anak diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Menurut UU No. 23 Tahun 2002 yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 13 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa:

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya.


(26)

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi :

a. non diskriminasi;

b. kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan

d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Dalam Undang-Undang No 23 tahun 2002 bisa dilihat garis besar hak-hak anak, dimana setiap anak berhak (Ernaningsih, 2012; 80):

1) Untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 4)

2) Atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (pasal 5)

3) Untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tikngkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (pasal 6)

4) Untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan da diasuh oleh orang tuanya sendiri (pasal 7 ayat 1)

5) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 7 ayat 2)

6) Memperoleh pelayanan kesehatan da jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (pasal 8)


(27)

7) Memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (pasal 9 ayat 1)

8) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat 1, khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa sedang bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus (pasal 9 ayat 2)

9) Menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasannya dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (pasal 10)

10) Untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, beriman, bereaksi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri (pasal 11)

11) Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (pasal 12)

12) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

a. Diskriminasi

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual c. Penelantaran

d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan e. Ketidakadilan

f. Perlakuan salah lainnya (pasal 13 ayat 1)

13) Untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (pasal 14)

14) Untuk memperoleh perlindungan dari: a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial

d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan

e. Pelibatan dalam peperangan

15) Memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (pasal 16 ayat 1)


(28)

16) Memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum (pasal 16 ayat 2) 17) Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (pasal 16 ayat 3)

18) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:

a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, dan

c. Membela diri dan memperoleh keadilan didepan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum (pasal 17 ayat 1)

19) Setiap anak yang menjadi korban atu pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (pasal 17 ayat 2)

20) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (pasal 18)

Pelaksanaan perlindungan anak didasari atas beberapa hal yaitu (Gultom, 2012; 70):

a) Dasar Filosofis

Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.

b) Dasar Etis

Pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

c) Dasar Yuridis

Pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.


(29)

Sedangkan prinsip-prinsip yang mendasari adanya perlindungan terhadap anak antara lain (Gultom, 2012: 71):

a. Anak tidak dapat berjuang sendiri

Salah satu prinsip yang digunakan dalam perlindungan anak adalah anak itu modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa, dan keluarga, untuk itu hak-haknya harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi sendiri hak-haknya banyak pihak yang mempengaruhi kehidupannya. Negara dan masyarakat berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.

b. Kepentingan terbaik anak (the best interest of the child) Agar perlindungan anak dapat diselenggarakan dengan baik, dianut prinsip yang menyatakan bahwa kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai paramount importence (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Tanpa prinsip ini perjuangan untuk melindungi anak akan mengalami banyak batu sandungan. Prinsip The Best Interest of the Child digunakan karena dalam banyak hal anak adalah “korban”, disebabkan ketidaktahuan anak, karena usia perkembangannya. Jika prinsip ini diabaikan, maka masyarakat menciptakan monster-monster yang lebih buruk di kemudian harinya. c. Ancangan daur kehidupan (life-circle approach)

Perlindungan anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan anak harus dimulai sejak dini dan terus-menerus. Janin yang berada dalam kandungan perlu dilindungi dengan gizi, termasuk yodium dan kalsium yang baik melaui ibunya. Jika ia telah lahir maka diperlukan ASI dan pelayanan kesehatan primer dengan memberikan pelayanan imunisasi dan lain-lain, sehingga anak terbebas dari berbagai kemungkinan cacat dan penyakit. Masa-masa prasekolah dan seolah diperlukan keluarga, lembaga pendidikan, dan lembaga sosial/keagamaan yang bermutu. d. Lintas sektoral

Nasib anak tergantung dari berbagai faktor baik yang makro maupun mikro yang langsung maupun tidak langsung.


(30)

Perlindungan terhadap anak adalah perjuangan yang membutuhkan sumbangan semua orang di semua tingkatan. Dalam rangka melakukan perlindungan terhadap anak maka pemerintah membuat suatu program yaitu program Kabupaten atau Kota Layak Anak (KLA) oleh pemerintah. KLA adalah kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak. C. Kekerasan Seksual terhadap Anak

Kekerasan adalah segala bentuk pembatasan, pembedaan, pengucilan, dan seluruh bentuk perlakuan, pelanggaran hak asasi manusia untuk tujuan tertentu yang berakibat berupa dan tidak terbatas pada penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan ekonomi (Menurut buku pegangan KLA). Richard Gelles (dalam Huraerah, 2007; 47) mengemukakan arti kekerasan terhadap anak atau child abuse sebagai perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah Child Abuse meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku mulai dari tindakan ancaman fisik sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak.

Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap anak dibagi dalam 6 (enam) kelompok, yaitu (Mulyana W. Kusumah dalam Wulandari dan Sri, 2012; 104):

1) Pencurian dengan kekerasan. 2) Pembunuhan.

3) Perkosaan. 4) Penculikan.


(31)

5) Pemerasan. 6) Penganiayaan.

Sedangkan menurut Suharto dalam Huraerah, 2007: 47 mengelompokkan Child abuse menjadi:

a. Physical abuse atau kekerasan secara fisik

adalah meliputi penyiksaan, pemukulan, penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian terhadap anak.

b. Psychological abuse atau kekerasan secara psikologis

meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar & kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak. c. Sexual abuse atau kekerasan secara seksual

dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism) maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).

d. Social abuse atau kekerasan secara social.

Dapat mencakup penelantaran dan eksploitasi anak. Penelantaran adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Sedangkan eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat.

M. Irsyad Thamrin dan M. Farid menjelaskan kekerasan seksual sebagai kontak seksual yang tidak dikehendaki oleh satu pihak (dalam


(32)

Yuwono, 2015: 1). Inti dari kekerasan seksual terletak pada ancaman (verbal) dan pemaksaan (tindakan). Selanjutnya Yuwono (2015: 2) mengatakan bahwa

“Kekerasan seksual meliputi unsur-unsur mengancam, memaksa, memperkosa. Yang dimaksud dengan mengancam adalah tindakan menakut-nakuti dengan tujuan agar pihak lain bertindak sesaui dengan keinginan pihak yang menakut-nakuti. Memaksa adalah perintah dari satu pihak agar pihak lain mengerjakan sesuatu yang diinginkannya. Pemaksaan bisa dalam bentuk verbal atau dalam bentuk tindakan. Sedangkan memerkosa adalah persetubuhan paksa antara orang dewasa dengan anak. Pemerkosaan memiliki kandungan pengertian yang sama dengan memaksa yaitu sama-sama bentuk dari tindakan, bedanya hanya tindakan memaksa belum tentu berbentuk persetubuhan sedangkan pemerkosaan sudah pasti berbentuk persetubuhan.”

Hubungan seksual antara orang dewasa dan anak walaupun tidak dilakukan dengan cara mengancam atau memaksa secara hukum tindakan tersebut masuk dalam kategori tindak pidana pemerkosaan terhadap anak. Salah satu bentuk kekerasan seksual yang terjadi adalah Kekerasan Seksual terhadap Anak (KSA).

Orange & Brodwin dalam Paramastri (2010:2) mengatakan Kekerasan Seksual terhadap Anak (KSA) sebagai tindakan pemaksaan, ancaman atau keterperdayaan seorang anak dalam aktivitas seksual. Aktivitas seksual tersebut meliputi melihat, meraba, penetrasi (tekanan), pencabulan dan pemerkosaan.

Dampak kekerasan seksual pada anak dapat berupa fisik, psikologis, maupun sosial. Dampak secara fisik bisa berupa luka atau


(33)

robek pada selaput dara. Dampak psikologisnya meliputi trauma mental, ketakutan, malu, kecemasan bahkan keinginan atau percobaan bunuh diri. Dampak sosial misalnya perlakuan sinis, cemoohan dari masyarakat disekelilingnya, ketakutan terlibat dalam pergaulan dan lain sebagainya.

Sedangkan menurut Komisioner KPAI, Pranawati (2014: 26 [Powerpoint Slide]) menjelaskan bahwa kekerasan anak secara seksual dapat berupa perlakuan pra kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual). Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual terhadap Anak (Yuwono, 2015: 7), antara lain:

a. Perkosaan b. Sodomi c. Oral Seks d. Sexual Gesture e. Sexual Remark f. Pelecehan Seksual

g. Sunat Klitoris pada anak perempuan

Sedangkan menurut Yayasan Kakak yang dikutip dari Aditya (2013; 14) ada 4 bentuk yang termasuk dalam kategori kekerasan seksual adalah:

a. pelecehan seksual b. perkosaan

c. pencabulan d. sodomi.


(34)

Dalam hal ini penulis memfokuskan penelitiannya pada 4 bentuk kekerasan tersebut dengan pertimbangan bahwa Yayasan Kakak ini merupakan Yayasan yang peduli terhadap kasus kekerasan yang menimpa anak di Kota Surakarta sehingga keempat bentuk-bentuk kekerasan seksual itulah yang paling sesuai untuk diteliti di Kota Surakarta.

D. Responsivitas

Dengan perkembangan globalisasi yang terjadi saat ini membuat tatanan dalam masyarakatpun juga berubah. Seiring perkembangan tersebut masyarakat menuntut pemerintah untuk melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik. Kepemerintahan yang baik ini disebut dengan Good Governance. Pada dasarnya tujuan dari adanya Good Governance (Hardiyansyah, 2011: 113) adalah tercapainya kondisi pemerintahan yang dapat menjamin kepentingan atau pelayanan publik secara seimbang dengan melibatkan kerja sama antar semua komponen pelaku (negara, masyarakat madani, lembaga-lembaga masyaraka, dan pihak swasta). Wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta transparan, responsif, efisien dan efektif (Rondonuwu, Welson & Jericho, 2015:2).

Responsivitas adalah salah satu faktor untuk mewujudkan Kepemerintahan yang baik atau Good Governance. Santosa (2008: 131) dalam bukunya Administrasi Publik – Teori dan Aplikasi Good Governance mengatakan bahwa


(35)

“Syarat bagi terciptanya good governance, yang merupakan prinsip dasar meliputi partisipatoris, rule of law (penegakan hukum), transparansi, responsiveness (daya tanggap), konsensus, persamaan hak, efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas.”

Penjelasan dari Santosa tentang responsivitas sebagai syarat terciptanya good governance tersebut didukung oleh Gyong dalam Jurnal Internasional Good Governance and Accountability in a Democracy yang berkata:

“Good governance has been closely linked to ‘the extent to which a government is ... committed to improving the public welfare and responsive to the needs of its citizens, competent to assure law and order and deliver public services, able to create an enabling policy environment for productive activities; and equitable in its conduct” (Landell-Mill and Seragelden, cf Simbine)

(Good Governance berkaitan erat dengan sejauh mana pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan responsif terhadap kebutuhan warganya, mampu untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan memberikan pelayanan publik, mampu menciptakan kebijakan untuk kegiatan-kegiatan produktif; dan adil dalam tindakannya)

(Jurnal Internasional Good Governance and Accountability in a Democracy, oleh Gyong, John Emmanuel. 2014. Volume 7, No 26 ISSN: 1857-7881 (Print) e- ISSN 1857 – 7431 hal 74)

Tangkilisan (2005: 177) dimana responsivitas menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas bisa dikatakan rendah apabila ada ketidakselarasan antara kegiatan pelayanan dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Jadi dalam hal ini responsivitas bisa diartikan sebagai kemampuan pemerintah dalam menanggapi dan memenuhi keluhan ataupun kebutuhan masyarakat secara cepat dan tepat. Dengan


(36)

menerapkan responsivitas dalam proses penyelenggaranan kepentingan publik maka akan dihasilkan pelayanan yang efektif dan optimal karena pelayanan yang diberikan tersebut akan berorientasi penuh terhadap apa yang menjadi kebutuhan masyarakat selaku penerima layanan tersebut dalam upaya melakukan pembangunan. Rondonuwu, Welson, Jericho (2015:6) dalam Jurnal Administrasi Publik mengatakan

“Responsivitas sebagai daya tanggap pemerintah kecamatan terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat serta permasalahan dalam masyarakat yang terkait dengan tugas dan fungsinya. Organisasi yang memiliki tingkat responsivitas rendah memperlihatkan bahwa kinerja organisasi mereka tersebut juga rendah.”

Oleh karenanya responsivitas menjadi hal yang penting dimiliki oleh Organisasi.

Senada dengan pernyataan tersebut, Ismail dalam jurnal Fikratuna (2013:380) mengatakan bahwa

“Responsiveness atau responsivitas adalah salah satu dimensi pelayanan publik yang juga merupakan indikator pelayanan berkaitan dengan daya tanggap aparatur terhadap keluhan dan kebutuhan masyarakat yang membutuhkan pelayanan sebagaimana diatur dalam aturan perundangan.”

Responsivitas organisasi tergantung pada daya tangap orang-orang yang bekerja dalam organisasi tersebut dari tingkat dan bagian-bagian yang berbeda (Waard, Henk & Joseph, 2014:382). Responsivitas menyangkut kemampuan aparatur dalam menghadapi dan mengantisipasi aspirasi baru, perkembangan baru, tuntutan baru, dan pengetahuan baru. Birokrasi harus merespon secara cepat agar tidak tertinggal dalam


(37)

menjalankan tugas dan fungsinya (Siagian dalam Ismail, 2013: 380). Rondonuwu, Welson, Jericho (2015:6) dalam Jurnal Administrasi Publik selanjutnya menjelaskan penerapan prinsip responsivitas dapat dilihat melalui indikator sebagai berikut:

a. Keselarasan antara program dan kegiatan yang dikembangkan oleh pemerintah dengan kebutuhan aspirasi masyarakat.

b. Kecepatan pemerintah dalam menanggapi aspirasi atau tuntutan masyarakat

c. Berbagai tindakan aparatur pemerintah untuk memberikan kepuasan kepada masyarakat dalam pelayanan publik.

Terkait dengan indikator yang dikemukakan oleh Rondonuwu, Welson, Jericho tersebut peneliti kurang setuju dengan indikator poin kedua yaitu tentang kecepatan pemerintah dalam menanggapi aspirasi atau tuntutan masyarakat, hal ini dikarenakan cepat saja tidak cukup apabila kemampuan dari pemerintah untuk memenuhi aspirasi dari masyarakat tersebut tidak ada.

Menurut Dwiyanto (2012: 62) dalam bukunya Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, responsivitas adalah

“Responsivitas diartikan sebagai kemampuan birokrasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.”

Yang dikatakan responsivitas bukan hanya sebatas pemerintah mengetahui apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat tetapi juga bagaimana kemampuan pemerintah dalam membuat dan mengembangkan program sesuai dengan apa yang masyarakat lakukan. Atau secara singkat dapat dikatakan bahwa responsivitas ini mengukur daya tanggap birokrasi


(38)

terhadap harapan, keinginan, dan aspirasi serta tuntutan pengguna jasa. Dari pengertian tentang responsivitas menurut Dwiyanto tersebut bisa dijabarkan bahwa indikator responsivitas itu meliputi :

1. Kemampuan birokrasi mengenali kebutuhan masyarakat 2. Kemampuan birokrasi menyusun agenda dan prioritas

pelayanan

3. Kemampuan untuk mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat

Indikator lain disampaikan oleh Ismail dalam Jurnal Fikratuna (2013: 382), dimana responsivitas pelayanan publik dalam operasionalisasinya dijabarkan menjadi beberapa indikator, yang meliputi:

(1) Terdapat tidaknya keluhan pengguna jasa selama dua tahun terakhir;

(2) Sikap aparat birokrasi dalam merespons keluhan pengguna jasa;

(3) Tindakan aparat birokrasi untuk memberikan kepuasan pelayanan kepada pengguna jasa

(4) Penempatan pengguna jasa oleh aparat birokrasi dalam sistem pelayanan yang berlaku.

Terkait dengan indikator responsivitas menurut Ismail tersebut dirasa peneliti kurang cocok jika diterapkan untuk penelitian ini mengingat layanan yang diberikan oleh Bapermas PP PA dan KB ini bukanlah layanan yang bersifat konkrit seperti pada pelaksanaan pelayananan SIM.


(39)

Responsivitas disini juga bisa digunakan untuk menilai kualitas pelayanan suatu organisasi. Ini sesuai dengan pendapat Fitzsimmons (dalam Sedarmayanti, 2004: 90) yang mengatakan bahwa

“Kualitas pelayanan merupakan sesuatu yang kompleks sehingga untuk menentukan sejauh mana kualitas dari pelayanan dapat dilihat dari aspek Reliability, Responsiveness, Assurance, Emphaty, dan Tangibles.”

Responsivitas bisa juga diartikan bahwa dalam pemberian layanan setiap organisasi harus diarahkan untuk melayani kebutuhan berbagai pihak dengan sebaik-baiknya.

Dalam mewujudkan responsivitas dibutuhkan kemampuan pemerintah untuk lebih peka merasakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, yang dimaksud merasakan disini adalah melihat, menginterpretasikan dan melakukan tindakan sesuai dengan harapan masyarakat.

“It could be argued that organizational responsiveness strongly depends on the cumulative sensing effort of all these people acting at different organizational levels and within different functional areas.” (Journal International: Decentralization and Decomposability: Determinants of Responsive Crisis Deployment, oleh Erik de Waard, Henk W. Volberda, Joseph Soeters. 2014. Vol.7 Iss 3 pp. 380 - 404) Terkait tentang responsivitas ini peneliti menggunakan aspek-aspek penelitian menurut Dwiyanto dengan alasan bahwa aspek tersebutlah yang menurut peneliti paling sesuai dengan apa yang ingin diteliti dimana yaitu berfokus pada bagaimana kemampuan birokrasi mengenali kebutuhan masyarakat dalam perlindungan anak dari kekerasan seksual, bagaimana


(40)

kemampuan birokrasi menyusun agenda & prioritas pelayanan perlindungan anak dari kekerasan seksual dan kemampuan untuk mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan & aspirasi masyarakat terkait dengan kekerasan seksual terhadap anak.

E. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir sangat penting dalam sebuah penelitian sebab merupakan gambaran tentang alur penelitian yang dipakai oleh peneliti. Dalam kerangka berpikir pada penelitian, akan dijelaskan bagaimana proses penelitian yang nantinya akan dilakukan.

Penelitian ini akan diuraikan mengenai Responsivitas Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual. Untuk mengukur tingkat responsivitas tersebut maka penulis menggunakan 3 aspek penilaian (Dwiyanto, 2012: 62) yaitu:

1. Kemampuan birokrasi mengenali kebutuhan masyarakat

2. Kemampuan birokrasi menyusun agenda dan prioritas pelayanan 3. Kemampuan untuk mengembangkan program-program pelayanan

sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat

Dari ketiga aspek tersebut nantinya akan dianalisis bagaimana responsivitas Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual. Berikut kerangka berpikir dari penelitian ini:


(41)

Bagan 1 Kerangka Berpikir

Banyaknya Kekerasan

Seksual terhadap

Anak

Responsivitas Bapermas PP PA & KB dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak

Korban Kekerasan Seksual 1. Kemampuan birokrasi

mengenali kebutuhan anak korban kekerasan seksual 2. Kemampuan menyusun

agenda dan prioritas

perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual 3. Kemampuan untuk

mengembangkan program perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual

Responsivi tas atau


(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan data bersifat kualitatif dengan tujuan untuk mengetahui responsivitas Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Surakarta dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual. Menurut Semiawan (2010:77), dalam metode kualitatif, peneliti sendiri adalah alat pengumpulan data dan tidak dapat diwakilkan atau didelegasikan.

Data kualitatif bersumber dari partisipan yang mengungkapkan ceritannya yang dipengaruhi oleh nilai, budaya dan kebiasaan setempat. Sedangkan menurut Afrizal (2014:13) metode penelitian kualitatif adalah

“Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian ilmu-ilmu sosial yang mengumpulkan dan menganalisis data berupa kata-kata (lisan maupun tulisan) dan perbuatan-perbuatan manusia serta peneliti tidak berusaha menghitung atau mengkuantifikasikan data kualitatif yang telah diperoleh dan dengan demikian tidak menganalisis angka-angka.”

Dengan demikian data yang dianalisis dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan perbuatan-perbuatan manusia. Sarwono (2010:34) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan metode deskriptif adalah

“Metode deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel yang lain.”

Wibowo, 2011:44 menjelaskan bahwa dalam penelitian deskriptif kualitatif peneliti terbebas dari variabel, populasi atau sampel. Penelitian


(43)

ini dilaksanakan untuk mengetahui tentang bagaimana responsivitas Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas PP PA dan KB) Surakarta dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual. B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih sesuai dengan judul dan permasalahan yang akan diteliti adalah di Kota Surakarta dengan pertimbangan bahwa tingkat kekerasan seksual terhadap anak di Kota Surakarta ini yang paling tinggi di antara wilayah eks karisidenan Surakarta. Penelitian ini secara khususnya dilakukan di:

a. Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan KB sebagai badan yang mengurusi tentang perlindungan anak.

b. Pos Pelayanan Terpadu (PPT) Kelurahan Jebres sebagai Kelurahan yang dijadikan pilot project untuk PPT di Solo.

c. Polresta Surakarta bagian PPA sebagai salah satu anggota jejaring Pusat Pelayanan Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS)

d. Yayasan Kepedulian untuk Anak (Yayasan KAKAK) sebagai salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam isu Perlindungan anak dari kekerasan seksual dan eksploitasi seksual Anak (ESA) di Solo.

e. SPEKHAM sebagai salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam isu perlindungan anak di Solo.

Kelima lokasi tersebut dipilih karena lokasi tersebutlah yang paling cocok dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui responsivitas Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan


(44)

Anak dan KB Surakarta dalam memberikan perlindungan terhadap Anak korban Kekerasan Seksual.

C. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan purposive sampling dan snowball Sampling. Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu, yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap serta dianggap mewakili populasi (Sarwono, 2010:36). Dalam Purposive sampling peneliti memilih informan yang dapat dipercaya untuk menjadi sumber informasi dan dianggap oleh peneliti mengetahui permasalahan kekerasan seksual anak secara mendetail. Teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling ini awalnya peneliti menetapkan atau menentukan kriteria-kriteria informan tertentu yang sesuai dengan masalah yang sedang diteliti selanjutnya barulah dicari orang-orang yang sesuai dengan kriteria tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai Kepala Bidang Perlindungan Anak Bapermas PP PA & KB yang dianggap mengetahui tentang perlindungan anak korban kekerasan seksual di Solo. Sedangkan pengambilan sampel dengan Snowball sampling adalah informan-informan penelitian diperoleh di lapangan berdasarkan informasi yang diperoleh dari para informan yang telah diwawancarai bukan berdasar pada kriteria yang sudah ditetapkan oleh peneliti (Afrizal, 2014:141). Pada awalnya peneliti melakukan wawancara dengan Kabid Pemberdayaan Masyarakat di Kelurahan Jebres kemudian direkomendasikan ke koordinator PPT kelurahan Jebres


(45)

langsung. Kemudian direkomendasikan lagi ke Kelurahan Jebres untuk melengkapi data.

D. Sumber Data

Sumber data pada penelitian kualitatif merupakan kata-kata dan tindakan sedangkan data tambahannya adalah dokumentasi dan lain-lain. Sumber data ini adalah hal-hal yang bisa memberikan data sebagai bahan penyusunan informasi oleh peneliti. Sumber data dikategorikan menjadi dua:

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan informan yang dianggap tepat dan mengetahui tentang permaslahan yang sedang peneliti teliti (Irmawati. 2009)

Penelitian ini menggunakan data yang diperoleh langsung dari sumber aslinya yaitu Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan KB Surakarta yang menjadi objek penelitian berupa kata-kata atau tindakan dari informan. Jadi data disini diperoleh dari hasil wawancara dengan Kepala Bidang Perlindungan Anak Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan KB selaku pihak yang memang mengerti dan memahami terkait dengan topik pembahasan didalam penelitian ini dan pihak pihak lain yang berhubungan dengan topik tersebut. Dalam hal ini informan dianggap benar-benar mengetahui jawaban tentang permasalahan yang ada. Berikut ini lebih jelasnya:

1) Kepala Bidang Perlindungan Anak Bapermas PP PA dan KB


(46)

2) Staf PPA Polresta Surakarta

3) Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Jebres

4) Koordinator PPT Kelurahan Jebres

5) Pengurus dan Pendamping Yayasan Kakak

6) Manajer Divisi Pencegahan Penanganan Kasus Kekerasan LSM SPEKHAM

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung melalui penelaahan kepustakaan mengenai permasalahan kekerasan seksual anak (KSA). Data sekunder diperoleh dari arsip-arsip, dokumentasi, catatan-catatan, maupun laporan hasil pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan kekerasan seksual anak (Irmawati. 2009). Data sekunder ini diperoleh dari dokumen yang ada di Bapermas BPPAKB maupun informan lainnya. Sesuai dengan permasalahan dan fokus penelitian, sasaran dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual, sehingga dokumen-dokumen, laporan-laporan maupun arsip yang relevan akan didapatkan dari lembaga/dinas/badan yang memang memiliki fokus pada permasalahan tersebut.

E. Teknik pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan untuk memungkinkan peneliti mendapatkan data dan informasi sebanyak-banyaknya yang bisa mendukung peneliti dalam mencapai tujuan-tujuan penelitian. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:


(47)

Wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti untuk bisa mendapatkan informasi-informasi mengenani permasalahan yang sedang diteliti. Menurut Kartono dalam Sarwono (2010:34), wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu. Ini merupakan proses tanya-jawab lisan, dimana dua orang atau lebih saling berhadapan secara fisik.

Dengan komunikasi secara langsung ini memudahkan peneliti untuk mendapatkan data atau informasi-informasi yang akurat yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Dalam melakukan wawancara hendaknya sudah mempersiapkan pedoman wawancara terlebih dahulu.

Aspek dalam wawancara pada penelitian kualitatif adalah (Blaikie 2000; Gillham 2000; Kahn & Cannell 1957 dalam Sarosa, 2012:45):

a) Wawancara dilaksanakanoleh peneliti berdasarkan pada apa yang diungkapkan oleh partisipan dalam wawancara

b) Wawancara bersifat lebih personal daripada kuisioner. Wawancara membutuhkan kedekatan lebih mendalam antara peneliti dan partisipan yag diwawancarai.

c) Peneliti bekerja langsung dan berhadapan dengan partisipan.

d) Peneliti memiliki kesempatan untuk menelusur lebih jauh suatu topik dengan mengajukan pertanyaan tambahan. Wawancara sering memberikan berbagai data yang mendalam dan menarik di luar perkiraan awal peneliti e) Wawancara biasanya lebih mudah bagi partisipan daripada

mengisi kuisioner survey, terutama jika yang ditanyakan adalah opini dan persepsi pribadi.

f) Wawancara mamakan banyak waktu dan sumber daya lainnya. Keterbatasan waktu dan sumber daya harus diperhitungkan dengan baik dalam perencanaan.


(48)

Wawancara tidak akan mencapai atau menyamai jangkauan kuisioner survey.

g) Peneliti sebagai pewawancara adalah instrumen penelitian. Peneliti harus mampu menyesuaikan diri dengan segala kemungkinan munculnya kondisi meyimpang atau berbeda dari rencana awal (contingency)

Dalam teknik pengumpulan data melalui wawancara ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana responsivitas Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan KB Surakarta dalam memberikan perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual melalui informan-informan yang ada.

2) Dokumentasi

Dokumen adalah segala sesuatu materi dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh manusia (Esterberg dalam Sarosa, 2012:61). Dokumen yang dimaksud adalah segala catatan baik berbentuk catatan dalam kertas (hardcopy) maupun elektronik (softcopy). Dokumen dapat berbentuk buku, jurnal, artikel media massa, undang-undang dan lain sebagainya. Pengumpulan dokumen digunakan sebagai pelengkap data yang telah dikumpulkan melalui wawancara atau studi lapangan atau dapat juga dgunakan sebagai bahan untuk mengecek ketepatan informasi yang sudah dikumpulkan. Kualitas dokumen dapat dilihat dari 4 komponen (Payne & Payne 2004; Scott 1990 dalam Sarosa, 2012:63):

i. Otentik

Keaslian danasal dokumen tersebut tidak diragukan ii. Kredibel


(49)

Dokumen yang digunakan bebas dari kesalahan dan penulisnya dapat dipercaya

iii. Representatif

Apakah dokumen yang digunakan adalah dokumen yang bisa dijumpai atau langka. Apakah banyak dokumen lain yang sejenis. Semakin banyak dokumen yang berisi hal yang sama membuat proses verifikasi menjadi lebih mudah. iv. Makna

Apakah dokumen yang didapat jelas dan dapat dipahami. Makna juga merujuk pada dokumen seharusnya dibaca dan diinterpretasikan.

Dalam dokumentasi ini peneliti mempelajai segala bentuk dokumen baik hardcopy maupun softcopy yang terkait dengan permasalahan yang sedang diteliti.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis Interactive Model. Menurut Miles dan Huberman (Pawito, 2007:104) teknik analisi Interactive Model terdiri dari tiga komponen, yaitu:

1) Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi data bukan asal membuang data yang tidak diperlukan melainkan merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti selama analisis data dilakukan dan merupakan langkah yang tak terpisahkan dari analisis data. Langkah reduksi data melibatkan beberapa tahap. Pertama, melibatkan langkah-langkah editing, pengeompokan, dan meringkas data. Tahap kedua, peneliti – menyusun kode-kode dan catatan-catatan (memo) mengenai berbagai hal, termasuk yang berkenaan dengan aktivitas serta proses-proses sehingga peneliti dapat menemukan tema-tema,


(50)

kelompok-kelompok dan pola-pla data. Tahap terakhir peneliti menyusun rancangan konsep-konsep serta penjelasan-penjelasan berkenaan dengan tema, pola, atau kelompok data yang bersangkutan.

2) Penyajian Data (Data Display)

Penyajian data melibatkan langkah-langkah mengorganisasikan data yakni menjalin (kelompok) data yang satu dengan (kelompok) data yang lain sehingga seluruh data yang dianalisis benar-benar dilibatkan dalam satu kesatuan karena dalam penelitian kualitatif data biasanya beraneka ragam perspektif dan terasa bertumpuk maka penyajian data pada umumnya diyakini sangat membantu proses analisis.

3) Penarikan serta pengujian kesimpulan (Drawing and Verifying Conclusions)

Pada Penarikan dan oengujian kesimpulan, peneliti pada dasarnya mengimplementasikan prinsip induktif dengan mempertimbangkan pola-pola data yang ada dan atau mempertimbangkan pola-pola data yang telah dibuat. Ada kalanya kesimpulan telah tergambar sejak awal namun kesimpulan final tidak pernah dapat dirumuskan secara memadai tanpa peneliti menyelesaikan analisis seluruh data yang ada. Peneliti dalam kaitan ini masih harus mengkonfirmasi, mempertajam, atau munkin merevisi kesimpulan-kesimpulan yang telah dibuat untuk sampai pada kesimpulan final berupa proposisi-proposisi ilmiah mengenai gejala atau realitas yang diteliti.


(51)

Validitas data berarti bahwa data yang telah terkumpul dapat menggambarkan realitas yang ingin diungkapkan oleh peneliti. Validitas data dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi. Teknik triangulasi prinsipnya adalah informasi itu mestinya dikumpulkan atau dicari dari sumber-sumber yang berbeda agar tidak bias sebuah kelompok. Triangulasi dilakukan untuk memperkuat data untuk membuat peneliti yakin terhadap kebenaran dan kelengkapan data (Afrizal, 2014:168). 4 Langkah-langkah triangulasi (Endraswara, 2006:110) yaitu:

1) Triangulasi sumber data, yang dilakukan dengan cara mencari data dari banyak sumber informan yaitu orang yang terlibat langsung dengan objek kajian

2) Triangulasi pengumpul data, dilakukan dengan cara mencari data dari banyak sumber informan

3) Triangulasi metode, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan bermacam-macam metode pengumpulan data (observasi, interview, studi dokumentasi, focus group)

4) Triangulasi teori, dilakukan dengan cara mengkaji berbagai teori relevan sehingga dalam hal ini tidak digunakan teori tunggal tapi dengan teori yang jamak.

Dalam penelitian ini digunakanlah teknik triangulasi metode, triangulasi metode ini menunjuk pada upaya peneliti untuk mengumpulkan data yang dikumpulkan menggunakan metode pengumpulan data wawancara dan dokumentasi. Metode wawancara dengan keenam narasumber yaitu Kepala Bidang Perlindungan Anak Bapermas PP PA dan KB, Staf PPA Polresta Surakarta, Kepala Bidang Pemberdayaan


(52)

Masyarakat Kelurahan Jebres, Koordinator PPT Kelurahan Jebres, Pengurus dan Pendamping Yayasan Kakak, Manajer Divisi Pencegahan Penanganan Kasus Kekerasan LSM SPEKHAM. Untuk dokumentasinya mengacu pada Peneliti bermaksud untuk menguji data apakah data yang diperoleh peneliti valid atau tidak.


(53)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Anak di Surakarta

Surakarta sebagai kota yang terus tumbuh berkembang tentu saja penduduknya juga mengalami pertumbuhan. Berdasarkan data BPS yang termuat dalam Profil Daerah Kota Surakarta tahun 2013 pertumbuhan penduduk dari tahun 2009-2013 adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1

Jumlah Penduduk menurut Kelompok Usia (Orang)

No Kelompok

Usia

Tahun

2009 2010 2011 2012 2013

1. 0-14 tahun 107.537 105.409 115.593 117.565 128.884

Pertumbuhan 1,98% 9,66% 1,70% 8,90%

2. 15-64 tahun 377.307 386.822 386.860 393.456 398.477

Pertumbuhan 2,52% 0,01% 1,70% 1,26%

3. Di atas 65 tahun

35.426 39.285 34.045 34.632 37.244

pertumbuhan 10,89% 13,34% 1,71% 7,01%

Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta (Data Desember 2013)

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa jumlah anak usia 0-14 tahun mengalami pertumbuhan yang cukup besar yaitu sekitar 8,90%. Jumlah anak usia 0-19 tahun di Kota Surakarta tahun 2012 sebanyak 159.020 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 79.814 jiwa dan perempuan


(54)

sebanyak 79.206 jiwa. Total jumlah anak mencapai 31,8% dari total penduduk yang ada.

Dengan angka jumlah penduduk usia 0-19 tahun tersebut berarti beban pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak juga semakin berat. Upaya pemerintah untuk melindungi dan memberikan hak anak antara lain diwujudkan dengan pembentukan forum anak, deklarasi Kota Surakarta sebagai Kota layak anak, dan pemenuhan hak-hak anak di berbagai bidang sesuai dengan amanat Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Saat ini di Indonesia kasus kekerasan seksual yang menimpa anak marak sekali terjadi, tidak terkecuali di Solo. Yayasan Kakak mencatatkan sebanyak 28 kasus kekerasan seksual yang menimpa anak usia SD dan SMP terjadi antara bulan Januari hingga September 2014 di eks Karisidenan Surakarta. Dan dari jumlah tersebut didominasi oleh Kota Surakarta yaitu sekitar 15 kasus. Sedangkan untuk kasus kekerasan pada anak yang terjadi di Kota Surakarta sendiri jika dilihat dari data yang dihimpun oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Surakarta, selama kurun waktu 2014 sampai 2016 angka kekerasan seksuallah yang mendominasi. Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 4.2

Data Laporan Polisi Kekerasan Anak


(55)

No. Perkara Tahun

2014 2015 2016 (Mei)

1. Perkosaan/Persetubuhan 11 9 2

2. Cabul 8 8 2

Jumlah 19 17 4

Sumber: Unit PPA Polresta Surakarta

Dalam tabel tersebut jumlah kekerasan seksual yang menimpa anak tidak bisa dikatakan sedikit. Dengan data tersebut pemerintah dituntut untuk reaktif baik terhadap pencegahan maupun ke penanganan kasusnya khususnya penanganan pada anak yang sudah menjadi korban.


(56)

B. Gambaran Umum Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas PP PA dan KB) Surakarta

1. Visi dan Misi a. Visi

Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas PP PA & KB) Kota Surakarta mempunyai visi yaitu Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat, Kesetaraan dan Keadilan Gender, Perlindungan Anak dan Keluarga Kecil Bahagia b. Misi

Misi Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (P3AKB) adalah sebagai berikut:

1) Menumbuhkembangkan kemandirian masyarakat melalui pemberdayaan SDM berbasis kompetensi.

2) Meningkatkan partisipasi lembaga masyarakat dalam Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Kelurga Berencana

3) Meningkatkan kualitas hidup perempuan, anak dan keluarga

4) Mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di semua bidang pembangunan

5) Mewujudkan perlindungan bagi perempuan dan anak 6) Meningkatkan partisipasi perempuan dan anak dalam

proses pengambilan keputusan

7) Mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. 2. Tugas Pokok dan Fungsi


(57)

Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas P3AKB) Kota Surakarta mempunyai tugas pokok dan melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana. Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut, Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas P3AKB) mempunyai fungsi:

a. Penyelenggaraan kesekretariatan badan;

b. Penyusunan rencana program, pengendalian, evaluasi dan pelaporan;

c. Pembinaan dan pengembangan kelembagaan masyarakat dan sarana prasarana;

d. Pembinaan dan pengembangan pengarustamaan gender dan peningkatan kualitas hidup perempuan;

e. Pembinaan dan peningkatan perlindungan anak dan kualitas hidup anak;

f. Pembinaan dan pengembangan keluarga berencana; g. Penyelenggaraan sosialisasi;

h. Pembinaan jabatan fungsional

i. Pengelolaan Unit Pelaksana Teknis Badan

Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi setiap bagian dalam Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas P3AKB) Kota Surakarta mempunyai susunan tugas masing-masing. Oleh karena penelitian ini dilakukan di Bidang Perlindungan Anak maka pembahasan akan dibatasi pada bidang tersebut saja. Untuk Bidang


(58)

Perlindungan Anak mempunyai tugas yaitu melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan teknis, pembinaan dan pelaksanaan di bidang pengembangan perlindungan anak dan peningkatan kualitas hidup anak.

C. Responsivitas Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas PP PA dan KB) Surakarta dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai hasil penelitian dan pembahasan tentang Responsivitas Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan KB Surakarta dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual yang mencakup 1) Kemampuan birokrasi mengenali kebutuhan anak korban kekerasan seksual, 2) Kemampuan birokrasi menyusun agenda dan prioritas perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual, dan 3) Kemampuan untuk mengembangkan program perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual.

1. Kemampuan birokrasi mengenali kebutuhan anak korban kekerasan seksual

Anak merupakan investasi masa depan bangsa dan negara oleh karenanya hak-hak dan kebutuhan hidup mereka haruslah kita penuhi. Mendapatkan predikat sebagai Kota Layak Anak berarti juga pemerintah kota Surakarta harus serius dalam memberikan perlindungan terhadap anak.


(59)

Dalam mengenali kebutuhan anak korban kekerasan seksual, Bapermas sudah memiliki kemampuan akan hal tersebut, dimulai dari hak hidup anak yang paling dasar. Anak sejak lahir sudah memiliki hak-hak yang harus dipenuhi, untuk hak anak sendiri terdiri dari empat aspek yaitu hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan hak partisipasi. Keempat hak tersebut Bapermas sudah mengetahuinya secara jelas, ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Ibu Prapti:

“Hak anak yang harus dipenuhi itu ada 4, pertama hak hidup yaitu hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar, kelangsungan hidup contohnya mendapat asi eksklusif, tempat tinggal layak, dan makanan bergizi. Kedua, Hak tumbuh kembang yaitu hak yang harus diperoleh anak untuk mendapatkan pendidikan termasuk pendidikan usia dini, jadi mengembangkan potensi secara penuh dari anak contohnya memberikan kasih sayang, rekreasi, dan lainnya. Jadi lebih mengarah ke psikisnya. Terus yang ketiga hak perlindungan itu adalah hak untuk mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan, penelantaran dan eksploitasi. Jadi tidak boleh diperlakukan dengan kasar, tidak boleh dihukum secara fisik, digunakan untuk kepentingan seksual. Yang keempat hak partisipasi yaitu anak bisa memberikan partisipasinya termasuk dalam hal ini dia bisa mempengaruhi, karena dia ikut berpartisipasi jadi dia bisa mempengaruhi hidupnya sendiri.” (Wawancara 8 April 2016)

Pemenuhan kebutuhan anak korban kekerasan seksual itu bukanlah hal yang mudah, hal ini dikarenakan kebutuhan antara anak korban kekerasan seksual yang satu mungkin berbeda dengan anak korban yang lain, oleh karenanya harus ada identifikasi langsung kepada si anak ataupun walinya untuk diketahui apa


(60)

sebenarnya yang menjadi kebutuhan dari si anak tersebut. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Ibu Rita selaku Pengurus Yayasan Kakak:

“Kebutuhan korban yang satu dengan yang lain itu beda. Ada yang butuh pendidikannya misalkan ancaman dikeluarkan dari sekolahnya, ada yang butuh dari segi medis untuk visumnya, ada juga yang butuh untuk traumanya.” (Wawancara 11 April 2016)

Pemenuhan akan kebutuhan dari anak korban tersebut menjadi tanggung jawab dari Bapermas selaku pihak yang ditunjuk pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual. Ibu Prapti mengatakan bahwa:

“Kalau dia jadi korban kekerasan seksual itu efeknya kan itu, satu bisa dia nggak sekolah, bisa juga dia mesti kondisinya drop, ketiga mesti dari medis. Nah sekolah ini mesti kita carikan, memulihkan psikis dia yang drop, dari medis juga kita fasilitasi. Pemulihan satu anak itu membutuhkan waktu panjang. Anak yang jadi korban itu harus dipulihkan fisik, psikis atau kejiwaannya dan dicarikan pendidikannya.” (Wawancara 8 April 2016)

Hal tersebut juga senada dengan yang dikatakan oleh Bapak Sunardi selaku Koordinator PPT Kelurahan Jebres bahwa:

“Anak yang jadi korban itu anu mbak harus disembuhkan traumanya, dipulihkan kondisi kesehatannya dan juga pendidikannya itu tidak boleh putus, kita sering juga di kasus sebelumnya membantu untuk mendapatkan sekolahan yang pas.” (Wawancara 1 Juni 2016)

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kebutuhan anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut adalah:


(1)

persoalan perempuan dan anak di tingkat wilayah Kelurahan. Ibu Prapti dari Bapermas mengatakan :

“PPT itu tangan panjangnya dari PTPAS yg ada ditingkat kota, karena apa kita tidak mungkin akan bisa menjangkau ...Pos pelayanan terpadu di tiap kelurahan sudah ada, di 51 kelurahan.” (Wawancara 9 Mei 2016) Sejak adanya PPT, untuk penanganan kepada anak korban kekerasan seksual tersebut Bapermas PP PA dan KB memberikan kewenangan kepada PPT untuk penyelesaian masalahnya. Hal ini senada dengan yang dikatakan Bapak Sunardi selaku koordinator PPT Kelurahan Jebres:

“Jadi harusnya kalau ada kasus kekerasan itu yang pertama langsung ke PPT lapornya jangan ke Polsek, karena tujuannya ada PPT kan menyelesaikan masalah di kelurahan jadi jangan sampai ke ranah hukum dulu.” (Wawancara 1 Juni 2016)

Jika dari PPT yang ada di Kelurahan tidak sanggup untuk menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual tersebut baru ditangani oleh Bapermas PP PA dan KB. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Bu Utami, Kabid Pemberdayaan Masyarakat Kel. Jebres

“Kalau disitu selama ada pengaduan di kelurahan pasti yang menangani kelurahan kecuali kalau ada kendala istilahnya kalau kelurahan tidak bisa menangani itu baru ke Bapermas.” (Wawancara 1 Juni 2016)

Adapun Program dari Pos Pelayanan Terpadu (PPT) berdasarkan pada dokumen Hasil Kesepakatan Tentang Ketentuan


(2)

Umum Tim Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Kelurahan Jebres Kota Surakarta adalah sebagai berikut:

1) Melindungi Korban: a. Mendatangi korban b. Memberikan penguatan c. Motivasi kepada korban

d. Memberikan penanganan awal sesuai dengan kebutuhan

Dalam rangka untuk melindungi korban ini skema penanganannya adalah yang pertama mendatangi korban, seperti yang dikatakan oleh Bapak Sunardi selaku koordinator PPT Kelurahan Jebres:

“Jadi harusnya kalau ada kasus kekerasan itu yang pertama langsung ke PPT lapornya jangan ke Polsek, karena tujuannya ada PPT kan menyelesaikan masalah di kelurahan jadi jangan sampai ke ranah hukum dulu. Setelah melapor ke PPT, saya kumpulkan tim PPT sekaligus dengan pelaku, korban, dan saksinya setelah itu Tim PPT melakukan wawancara dengan yang terlibat, baru selanjutnya Tim PPT sebagai mediator memutuskan bagaimana solusi penanganan kasusnya. Kalau kasusnya perlu dilaporkan akan kita dampingi juga lapor ke Kepolisian.” (Wawancara 1 Juni 2016)

2) Mengakses layanan yang ada di PTPAS

Setelah dilakukan proses pertama, selanjutnya jika dari PPT membutuhkan layanan seperti layanan medis, psikolog dan sebagainya bisa langsung mengakses. Bapak Sunardi dari PPT Kelurahan Jebres mengungkapkan bahwa:


(3)

“Kalau PPT tidak bisa menangani itu biasanya kalau ke ranah hukum ya dibawa ke Polres atau kalau tidak ke Bapermas mbak, nanti bapermas yang menyelesaikan, dipanggil untuk diwawancarai... Iya mbak, ini juga ada untuk anggarannya dari Bapermas itu 2.5 juta tiap tahun per PPT, sudah termasuk untuk dana operasional, pendampingan, untuk Linmas juga kalau kita mengajak Linmas.” (Wawancara 1 Juni 2016)

3) Memberikan Sosialisasi tentang pencegahan

Selain melakukan penanganan terhadap mereka yang sudah menjadi korban, PPT juga bertugas untuk melakukan pencegahan-pencegahan agar kedepannya tindakan kekerasan tersebut dapat diminimalisir. Tindakan pencegahan ini tidak kalah sulitnya dengan tindakan penanganan, hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ibu Prapti dari Bapermas:

“Tapi kita untuk menanggulangi itu ada di pencegahan. Kita kan punya pos pelayanan terpadu juga di kelurahan-kelurahan.” (Wawancara 8 April 2016)

“Kalau kita sendiri sekarang kita fokus ke pencegahan ya karena mencegah itu sama sulitnya lho dengan menangani, kalau program-program lain pasti ada ya kan masalah-masalah baru itu selalu datang jadi ya harus ada program lain untuk menanganinya. Tapi sekarang ini kita lebih fokus ke pencegahannya.” (Wawancara 23 Mei 2016)

4) Pendataan kasus kekerasan

PPT juga bertugas untuk mendata setiap kasus kasus kekerasan baik fisik maupun seksual yang terjadi yang


(4)

menimpa anak dan perempuan. Nantinya data tentang kasus kekerasan tersebut akan dilaporkan kepada Bapermas PP PA dan KB selaku koordinatornya. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Bapak Sunardi Koordinator PPT Jebres:

“Iya, setiap bulan ada, PPT melapor ke Bapermas.” (Wawancara 1 Juni 2016)

5) Pengembangan Kepengurusan PPT sampai tingkat RT/RW 6) Melakukan lobi untuk memperlancar layanan terhadap

korban

7) Fokus pelayanan pada kasus perempuan dan anak

8) Melakukan rehabilitasi terhadap korban dan keluarganya a. Bidang ekonomi

b. Sosial

c. Agama dan moral

Rehabilitasi ini salah satu cara untuk memulihkan kondisi si korban terutama kondisi psikisnya. Rehabilitasi yang baik bukan hanya rehabilitasi kepada anak yang menjadi korban saja tetapi seharusnya juga menyangkut pada keluarga dan lingkungan sosialnya, dengan alasan bahwa mereka adalah pihak yang paling dekat dengan si korban. Dengan adanya rehabilitasi terhadap keluarga dan lingkungan sosialnya ini diharapkan pemulihan psikis dari si anak korban tersebut bisa dipercepat. Hal ini sesuai dengan perkataan Ibu Fitri dari LSM SPEKHAM bahwa:

“Lebih pada untuk kebutuhan rehabilitasinya ya jadi artinya kalau terkait persoalan hukum kan sudah ada


(5)

aturannya baik pelaksanaannya buruk atau baik tapi sudah ada aturannya. Tapi terkait masalah rehabilitasi itu bagaimana memulihkan anak ini karena mau tidak mau nih anak yang namanya sudah pernah kontak seksual baik disadari maupun tidak disadari ada kemauan untuk mengulang artinya bukan soal ini perbuatan baik atau tidak baik ya tapi ya secara nalar sudah ada proses untuk itu, artinya perlu nih untuk rehabilitasi bukan hanya rehabilitasi untuk pemulihan nama baik saja tapi juga pada pemulihan psikisnya baik secara individual maupun social, artinya social ini itu keluarga ataupun masyarakat, mereka inilah kan yang sebetlunya yang lebih bisa membantu mereka.” (Wawancara 6 Juni 2016)

Dengan adanya PPT ini pemberian layanan perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual mulai dari pemenuhan kebutuhan pemulihan psikis, fisik, pendidikannya dapat dikatakan ada perkembangan, dimana dengan adanya Pos Pelayanan Terpadu di tiap tiap kelurahan ini dapat menjangkau korban dengan lebih mudah dan juga sekaligus meringankan tugas dari Bapermas PP PA dan KB sendiri.

Sedangkan untuk program rumah aman sendiri sampai saat ini belum terlihat adanya perkembangan-perkembangan dimana rumah aman sekarang masih sebatas berkonsep pada tempat untuk memberikan perlindungan terhadap anak agar dia aman, maksud aman disini yaitu aman dari lingkungan sekitar dan aman dari penglihatan si pelaku. Namun dari LSM Spekham sendiri memberikan catatan bahwa yang disebut rumah aman itu bukan hanya sekedar memberi tempat berlindung si korban tetapi juga di


(6)

dalamnya harus dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas rehabilitasi. Hal tersebut merujuk pada yang dikatakan oleh Ibu Fitri yaitu sebagai berikut

“Cuma mungkin kan yang menjadi catatan bagaimana segi pengelolaannya bukan hanya sebatas seseorang akan datang kesitu, aman dalam arti harafiah ya, aman tidak diliat org lain, tidak diliat si pelaku, tapi bagaimana dia juga bisa sebagai tempat pemulihan, artinya ada program yang juga dilakukan disitu, bagaimana konselingnya, bagaimana dengan penguatan-penguatan yang lain, bagaimana pendidikan-pendidikan formal bisa dilakukan disitu sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan korban begitu…. ya sebenernya kalau disebut konsep rumah aman itu sebenernya bukan rumah aman ya, karena yang namanya kalaupun ingin disebut shelter itu fasilitasnya harus betul betul ada ya, pusat untuk pemenuhan misal rehabilitasinya apa segala macem.” (Wawancara 6 Juni 2016)

Dari pembicaraan dengan Ibu Fitri di atas bisa dikatakan bahwa untuk rumah aman sendiri belum ada perkembangan yang signifikan terutama terutama dalam hal pengelolaan rumah aman secara optimal.

Berdasarkan pada penjelasan di atas bisa dikatakan bahwa Bapermas PP PA dan KB dalam hal mengembangkan program sudah sesuai dengan kebutuhan dari anak korban kekerasan seksual, hanya saja untuk hal rumah aman masih perlu diperbaiki kedepannya.