ANALISIS HUBUNGAN BELANJA INFRASTRUKTUR TERHADAP INVESTASI SWASTA (PMA DAN PMDN) DI PROVINSI LAMPUNG

(1)

ABSTRAK

ANALISIS HUBUNGAN BELANJA INFRASTRUKTUR TERHADAP INVESTASI SWASTA (PMA DAN PMDN) DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh

DENDI WAHYUDI

Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan belanja infrastruktur (jalan, irigasi, dan jaringan) terhadap investasi swasta (PMA dan PMDN) di Provinsi Lampung pada tahun 2004 – 2011. Penelitian ini menggunakan alat analisis koefisien korelasi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa belanja infrastruktur berkorelasi positif secara erat dan signifikan terhadap investasi swasta di Provinsi Lampung. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan belanja infrastruktur diikuti juga dengan kenaikan investasi swasta. Namun selama periode tahun 2004 – 2011 investasi di Lampung mengalami fluktuasi. Hal tersebut dikarenakan oleh

beberapa faktor, yakni: Pertama, Lampung termasuk daerah yang terkena dampak krisis global. Kedua, karena kondisi infrastruktur belum sepenuhnya menunjang. Dan ketiga, kebijakan nasional yang belum optimal penerapannya di Provinsi Lampung.


(2)

ABSTRACT

ANALYSIS CORRELATION OF INFRASTRUCTURE EXPENDITURE TO PRIVATE INVESTMENT (PMA AND PMDN)

IN THE LAMPUNG PROVINCE

By

DENDI WAHYUDI

This study aims to analyze the correlation between infrastructure spending (roads, irrigation, and networking) to private investment (domestic and foreign) in

Lampung Province in the year 2004 to 2011. This study uses correlation coefficient analysis tool. The research concludes that infrastructure spending is closely correlated positive and significant impact on private investment in the province of Lampung. This means that any increase in spending on infrastructure followed by the increase in private investment. However, during the period 2004 - 2011 investment in Lampung fluctuated. This is due to several factors, namely: First, Lampung including areas affected by the global crisis. Second, because the condition is not fully supporting infrastructure. And third, the national policy is not optimal application in Lampung province.


(3)

ANALISIS HUBUNGAN BELANJA INFRASTRUKTUR TERHADAP INVESTASI SWASTA (PMA DAN PMDN) DI PROVINSI LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh

Nama : Dendi Wahyudi

NPM : 0811021024

Konsentrasi : Ekonomi Publik dan Fiskal Pembimbing I : H. Moneyzar Usman, S.E., M.Si. Pembimbing II : Asih Murwiati, S.E., M.E.

Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung

Bandar Lampung 2013


(4)

Judul Skripsi : ANALISIS HUBUNGAN BELANJA

INFRASTRUKTUR TERHADAP INVESTASI SWASTA (PMA DAN PMDN) DI PROVINSI LAMPUNG

Nama Mahasiswa : Dendi Wahyudi Nomor Pokok Mahasiswa : 0811021024

Jurusan : Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

Fakultas : Ekonomi

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Pembimbing Utama Pembimbing Pembantu

H. Moneyzar Usman, S.E., M.Si. Asih Murwiati, S.E.,M.E. NIP 196006211986031002 NIP 197404102008122001

2. Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

Muhhamad Husaini, S.E., M.E. NIP 196012201989031004


(5)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : H. Moneyzar Usman, S.E., M.Si.

Sekretaris : Asih Murwiati, S.E., M.E.

Penguji

Bukan Pembimbing : Muhiddin Sirat, S.E., M.P.

Dekan Fakultas Ekonomi

Prof. Dr. Satria Bangsawan, S.E., M.Si. NIP 196109041987031011


(6)

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISM

“Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi ini telah ditulis dengan sungguh-sungguh dan tidak merupakan penjiplakan hasil karya orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa pernyataan ini tidak benar maka saya sanggup menerima hukuman/sanksi peraturan yang berlaku.”

Bandar Lampung, 1 Februari 2013 Penulis,


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Januari 1991 di Teluk Betung, Bandar Lampung. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari Bapak Syam’un Umar dan Ibu Tarmini Triyanti.

Penulis mengenyam pendidikan dari Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar di SD Tamansiswa Teluk Betung dari tahun 1995 sampai 2002. Pada tahun 2002, penulis melanjutkan di SMP Negeri 9 Bandar Lampung. Selanjutnya penulis melanjutkan di SMA Negeri 8 Bandar Lampung pada tahun 2005. Pada tahun 2008 hingga sekarang penulis terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Ekonomi Pembangunan melalui jalur tes SNM PTN.

Penulis mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan di lingkungan Universitas Lampung. Lembaga kemahasiswaan yang pernah diikuti antara lain Himpunan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan (Himepa), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi (BEM FE), dan Unit Kegiatan Mahasiswa Radio Kampus Universitas Lampung (UKM Rakanila). Penulis pernah dipercaya menjabat sebagai Direktur (ketua) UKM Rakanila periode 2010-2011. Penulis pernah berhasil menjuarai beberapa kali kejuaraan futsal dan pernah mendapat juara II lomba debat ekonomi syariah pada tahun 2012.


(8)

HALAMAN MOTTO

Tak ada rahasia untuk menggapai sukses. Sukses itu terjadi karena persiapan, kerja keras,

dan mau belajar dari kegagalan. (Generall Collin Powell)

Yang berbahaya bukanlah orang yang memiliki impian lalu gagal, Namun yang berbahaya adalah orang yang tidak memiliki impian,

lalu berhasil. (Deddi Corbuzier)

Hiduplah seperti pohon kayu yang lebat buahnya; hidup di tepi jalan dan dilempari orang dengan batu,

tetapi dibalas dengan buah. (Abu Bakar Sibli)


(9)

Kupersembahkan kerja kerasku ini dalam rangka

meraih ridha Allah SWT.

Dan aku dedikasikan karya sederhanaku untuk:

Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah memberikan

kasih sayang dengan tulus dan ikhlas.

Kakak, adik, serta keluarga yang selalu mendukungku.

Semua sahabat dan teman-teman seperjuanganku di

Jurusan Ekonomi Pembangunan dan UKM Rakanila yang

selalu memberi dukungan dan dorongan motivasi yang

sangat luar biasa.


(10)

SANWACANA

Assalamualaikum, Wr.Wb.

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul “Analisis Hubungan Belanja Infrastruktur Terhadap

Investasi Swasta (PMA dan PMDN) di Provinsi Lampung” adalah salah satu

syarat untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi di Universitas Lampung.

Selama penelitian ini, penulis tidak akan bisa menyelesaikan penelitian ini dengan baik tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Satria Bangsawan, S.E., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.

2. Bapak M. Husaini, S.E.,M.Si. selaku ketua jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan.

3. Bapak H. Moneyzar Usman, S.E., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi atas kesediaan memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.


(11)

terselesaikan.

5. Ibu Dr. Dorothy Rouly Pandjaitan, S.E., M.Si. selaku pembimbing akademik. 6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ekonomi terutama di lingkungan jurusan

Ekonomi Pembangunan; Pak Muhiddin, Pak Yoke, Pak Sahala, Pak Toto, dan seluruh dosen FEB yang telah berjasa mencerdaskan anak bangsa.

7. Staff dan karyawan di lingkungan Fakultas Ekonomi dan Bisnis; Bu Mar, Bang Herman, Mbak Mimi, Pak De jajan, dll. yang telah membantu saya dalam proses administrasi.

8. Keluarga angkatan-8 Rakanila tercinta; Rosta, Tinus, Lindy, Iin, Ayu Karung, Listya, Grace, Aci, Jem, Iman, Daffy, Vera, Chiko. Kebersamaan membuat kita semakin kuat, jadi jangan biarkan kebersamaan ini lekang oleh waktu. 9. Teman-teman EP ’08; Ocy langsing, Denny macho, Eva kecil, Edo kurus,

Apri muda, Ajo ceking, Adit cungkring, Dioda, Dwi, Indra Cina, Iduy, Indra Ahmady, Annisa, Angga, Cnul, Tama, Icha, Faheri, Kartika, Agil, Aldi, Andi, Elza, Febry, Irva, Prima, Nanda, Em, Odi, Saut, Tina, Ve, Pupu, Dian,

Apyudi, Ratih, Selly, Indri, Komeng, Cumi, Priya, Fiqih, Finny, Novi, Wayan, Ivo, Nasir, Nurkholis, Fadli, Ferly, Melisa, Tegar, Eka, Desi, Nice, Gista, Amel. Terima kasih atas cerita manis yang telah kita torehkan bersama. Kalian tidak akan pernah menjadi mantan teman saya.

10. Teman susah, teman nakal, teman segala-galanya, Mybest partner, Ade


(12)

12. Teman begadang bola, teman main PES, dan teman futsal; Bobby, Ongki, Yanto, Odoy, dan Aldi. Salam respect untuk semuanya.

13. Stare Insieme; Edo, Jisung, Denny, Tama, Iduy, Apri, Reza, Fikri, Idiyus, Indra A, Angga, Agil, Irva, Aldi.

14. Adik-adik angkatan 9, 10, 11 Rakanila; Risma, Kris, Yunika, Wahyu, dkk (angkatan 9), Fais, Eka, Nadia, Rini, Yoan, dkk (angkatan 10), Jaya, Sakti, Sonia, Gomgom, Bayu, Dyanti, dkk. (angkatan 11). Semoga terus membawa Rakanila menjadi lebih baik lagi...

15. Senior Rakanila; Bang levi, Mba Vita, Kak Igo, Kak Mbi, Mba Farah, Bang Fajar, Kak Adi, Kak Guntur, Kak Erwin, Kak Heri, dll.

16. Kakak-kakak dan Adik-adik EP; Pandi Oka, Sena, Thomas, dkk. (EP 07), Onyeng, Bukit, Makro, dkk. (EP 09). Dimas, Dede, Echy, Ajeng, Sonia, dkk. (EP 10), dan adik-adik EP 2011 dan 2012.

17. La Beneamata, Sonia Anggun Andini.

18. Dan almamater ku tercinta, Universitas Lampung.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari

kesempurnaan. Namun penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis secara pribadi maupun bagi pembaca.

Bandar Lampung, 19 Desember 2012 Penulis,


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ...i

DAFTAR TABEL ...iv

DAFTAR GAMBAR ...v

I. PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang ...1

B. Permasalahan ...15

C. Tujuan Penelitian ...15

D. Kerangka Pemikiran ...16

E. Hipotesis ...18

F. Sistematika Penulisan ...18

II. TINJAUAN PUSTAKA ...20

A. Tinjauan Teoritik ...20

1. Teori Investasi ...20

2. Kebijakan Fiskal ...22

3. Pengeluaran Pemerintah ...25

a. Teori Makro ...26

1. Model Pembangunan Tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ...26


(14)

3. Teori Peacock dan Wiseman ...29

b. Teori Mikro ...31

4. Fungsi Pemerintah ...32

a. Fungsi Alokasi ...33

b. Fungsi Distribusi ...35

c. Fungsi Stabilisasi ...36

5. Teori Barang Publik ...36

a. Teori Pigou ...37

b. Teori Bowen ...39

c. Teori Erick Lindahl ...39

d. Teori Anggaran ...40

6. Pembangunan Jalan Raya Dalam Otonomi Daerah ...41

B. Tinjauan Empirik ...43

III. METODE PENELITIAN ...47

A. Jenis dan Sumber Data ...47

B. Definisi Variabel Operasional ...48

1. Investasi Swasta (PMA dan PMDN) ...48

2. Belanja Infrastruktur ...48

C. Gambaran Umum Provinsi Lampung ...49

1. Letak dan Kondisi Alam ...49

2. Potensi Daerah ...50

3. Perekonomian ...50

D. Alat Analisis ...51


(15)

1. Analisis Koefisien Korelasi ...51

2. Uji t Statistik Koefisien Korelasi ...52

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...54

A. Hasil Penelitian dan Analisis ...54

1. Koefisien Korelasi (r) ...54

2. Uji t Statistik Koefisien Korelasi ...54

B. Pembahasan ...56

1. Implikasi Hasil Penelitian ...56

2. Implikasi Teoritis dan Empiris ...57

3. Faktor Penghambat Investasi Swasta di Provinsi Lampung ...59

4. Potensi Investasi di Provinsi Lampung ...62

5. Rencana atau Masterplan Untuk Mendukung Investasi di Lampung .66 V. SIMPULAN DAN SARAN ...68

A. Simpulan ...68

B. Saran ...69 DAFTAR PUSTAKA


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1 Peringkat Daya Saing Infrastruktur Tahun 2008 dan 2009 ...4

1.2. Akses dan Stok Infrastruktur ...5

1.3. Indikator dan Capaian Kinerja Misi I ...8

1.4. Faktor-Faktor Penghambat Investasi ...9

1.5. Perkembangan Investasi di Provinsi Lampung Tahun 2004-2011 ...10

1.6. Proyeksi Kebutuhan Investasi Tahun 2009-2014 Dengan Ekspektasi Perkembangan Moderat (dalam juta rupiah) ...11

1.7. Kondisi Ruas Jalan, Status Jalan Provinsi, Desember 2010 ...12

1.8. Kondisi Ruas Jalan, Status Jalan Provinsi, September 2011 ...12

1.9. Perkembangan Belanja Infrastruktur Tahun 2004-2011 ...13

2.1. Ringkasan Empirik ...46

4.1. Hasil Koefisien korelasi (r) ...54

4.2. Hasil Uji t statistik ...55

4.3. Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2008 di Beberapa Negara Dunia ...60


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1. Bagan Prioritas Nasional Kabinet Indonesia Bersatu II RPJMN

2010-2014 ...2

1.2. Aspirasi Pencapaian PDB Indonesia ...6

1.3. Bagan Kerangka Pemikiran ...18

2.1. Kurva Pengeluaran Investasi ...22

2.2. Kurva Kebijakan Fiskal Ekspansioner ...23

2.3. Kurva Kebijakan Fiskal Kontraksioner ...24

2.4. Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner ...29

2.5. Kurva Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ...30

2.6. Penyediaan Dan Pembiayaan Barang Publik Yang Optimal Menurut Pigou ...38

4.1. Uji t statistik ...55

4.2. Grafik Perkembangan Belanja Infrastruktur Dengan Investasi ...56


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Visi Indonesia 2014 menurut SBY-B (Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono) dalam buku yang berjudul Membangun Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan

Berkeadilan (2009), adalah terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan

berkeadilan. Misinya adalah melanjutkan pembangunan menuju Indonesia yang sejahtera, memperkuat pilar-pilar demokrasi, dan memperkuat dimensi keadilan di semua bidang.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program presiden yang perumusannya didasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025. Arah pembangunan pemerintah pusat sejak 2004 lalu yakni tertuang dalam triple track strategy, yaitu pro-growth, pro-job, dan pro-poor. Track pertama adalah

meningkatkan pertumbuhan dengan mengutamakan ekspor dan investasi. Track

kedua adalah menggerakkan sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja. Track

ketiga adalah merevitalisasi pertanian, kehutanan, dan ekonomi perdesaan untuk mengurangi kemiskinan. Berikut merupakan prioritas nasional kabinet Indonesia Bersatu II RPJMN 2010-2014:


(19)

Gambar 1.1. Bagan Prioritas Nasional Kabinet Indonesia Bersatu II RPJMN 2010-2014.

1 Reformasi birokrasi dan administrasi 2 Pendidikan

3 Kesehatan

4 Pengurangan Kemiskinan 5 Swasembada Pangan 6 Infrastruktur

7 Investasi dan Iklim Bisnis 8 Energi

9 Lingkungan dan Bencana Alam

10 Daerah tertinggal, daerah perbatasan, daerah terluar, dan daerah pascakonflik

11 Budaya, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi

12 Politik, Hukum, dan Keamanan 13 Ekonomi

14 Kesejahteraan Masyarakat Sumber: Inpres No. 1/2010 dalam Mudrajad Kuncoro, 2008

Dalam sasaran program ekonomi nasional (2005-2009), salah satu sasaran yang ingin dicapai adalah peningkatan investasi, khususnya investasi sektor riil. Investasi atau penanaman modal yang dicapai haruslah memiliki daya saing penanaman modal. Salah satu ukuran daya saing nasional dalam kancah internasional adalah kemudahan berusaha –ease of doing business versi Bank Dunia. Bank dunia menggunakan

sepuluh kriteria untuk menentukan peringkat daya saing setiap negara. Kesepuluh kriteria tersebut adalah: 1) starting a business, 2) dealing with licenses, 3) employing

11 Prioritas Nasional 2010-2014


(20)

workers, 4) registering property, 5) getting credit, 6) properting investors, 7) paying taxes, 8) trading across borders 9) enforcing contracts 10) closing a business.

Berdasarkan standar kriteria Bank Dunia tersebut daya saing Indonesia tergolong masih rendah. Pada 2009, Indonesia berada di peringkat 122 dari 183 negara yang disurvey. Posisi ini jauh lebih rendah dibanding negara-negara lain sekawasan seperti: Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. (Renstra Badan Penanaman Modal Provinsi Lampung, 2009)

Pemerintah juga melakukan pembangunan infrastruktur guna mendukung investasi yang berdaya saing. Pemerintah berupaya membangun sarana dan prasarana transportasi, meningkatkan keselamatan transportasi nasional secara terpadu, meningkatkan mobilitas dan distribusi nasional, membangun transportasi yang berkelanjutan, membangun transportasi terpadu yang berbasis pengembangan wilayah, dan sebagainya. Hasil yang dicapai adalah kondisi mantap jalan pada akhir tahun 2007 mencapai 28.417, 68 km atau sekitar 82%. Kondisi ini telah melampaui target awal sebesar 81 %. Walaupun demikian, berdasarkan kajian World Economic Forum (2009), tingkat daya saing (competiveness) infrastruktur Indonesia pada tahun

2008 berada pada peringkat ke-96 dari 134 negara. Posisi Indonesia jauh di bawah negara-negara Asia lainnya, seperti Korea Selatan (peringkat ke-18), Malaysia (19), Thailand (35), China (58). Peringkat daya saing infrastruktur Indonesia tidak jauh berbeda dengan Vietnam (97). Peringkat Indonesia sedikit membaik pada tahun 2009 dengan menduduki peringkat ke-84. Peringkat daya saing infrastruktur dapat dilihat pada tabel berikut.


(21)

Tabel 1.1. Peringkat Daya Saing Infrastruktur Tahun 2008 dan 2009.

Negara Peringkat 2008 Peringkat 2009

Korea Selatan 18 20

Malaysia 19 27

Thailand 35 41

China 58 66

Brasil 89 81

Indonesia 96 84

Vietnam 97 111

Argentina 84 94

Sumber: WorldEconomic Forum (2008), World Competitiveness Report (2009 – 2010) dalam Mudrajad Kuncoro

Dari perspektif ekonomi, infrastruktur mencakup berikut. Pertama, infrastruktur

transportasi seperti jalan, rel, pelabuhan, bandara. Kedua, infrastruktur ekonomi

seperti bank, pasar, mal, pertokoan. Ketiga, infrastruktur pertanian seperti irigasi,

bendungan, pintu-pintu pengambilan dan distribusi air irigasi. Keempat, infrastruktur

sosial seperti bangunan ibadah, balai pertemuan, dan pelayanan masyarakat. Kelima,

infrastruktur kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, balai pengobatan. Keenam,

infrastruktur energi seperti pembangkit listrik, jaringan listrik, POM bensin. Ketujuh,

infrastruktur telekomunikasi, termasuk BTS, STO, jaringan telepon.

Tabel-tabel berikut ini menunjukkan kondisi akses dan stok infrastruktur Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain dalam ASEAN+1.


(22)

Tabel 1.2. Akses dan Stok Infrastruktur. Negara Akses Suplai

Air Bersih

Akses Sanitasi

Akses Listrik

Akses Telepon

Akses Internet

Malaysia 93 97 62 34,4

Thailand 93 98 84 50 11.1

Filipina 86 83 79 31 4,4

Cina 76 39 99 42 6,3

Indonesia 78 55 55 13 3,8

Vietnam 49 25 81 9 4,3

Kamboja 44 22 17 4 0,2

Laos 58 30 41 3 0,3

Mongola 60 30 90 19 5,8

Sumber: Kompas (2009) dalam Mudrajad Kuncoro, 2008

Salah satu indikator dalam pembangunan ekonomi adalah PDB. Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang

dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011, salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan nasional tahun 2045 adalah tingkat PDB sebesar USD15,0 – 17,5 triliun. Hal tersebut mustahil dicapai apabila iklim investasi tidak terjadi kestabilan dan pertumbuhan yang positif tidak tercapai dengan baik. Maka sebelum sasaran PDB tersebut dicapai, maka hal yang paling utama harus dilakukan adalah menggairahkan kegiatan ekonomi serta iklim investasi yang sehat. Berikut disajikan gambar aspirasi pancapaian PDB di Indonesia hingga tahun 2045 mendatang.


(23)

Gambar 1.2. Aspirasi Pencapaian PDB Indonesia.

Sumber: Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 2011 Penggairahan iklim investasi di Indonesia dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang No. 6/Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Pemberlakuan kedua Undang-Undang ini menyusul tampilnya rezim orde baru memegang tampuk pemerintahan. Sebelumnya, dalam pemerintahan orde lama, Indonesia sempat menentang kehadiran investasi dari luar negeri. Ketika itu tertanam keyakinan bahwa modal asing hanya akan menggerogoti kedaulatan negara. Undang-Undang tapi kemudian dilengkapi dan disempurnakan pada tahun 1970. UU

No.6/Tahun 1968 tentang PMDN disempurnakan dengan UU No.12/Tahun 1970. Perbaikan iklim penanaman modal tak henti-hentinya dilakukan pemerintah, terutama sejak awal pelita IV atau tepatnya tahun 1984. Melalui berbagai paket kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi dilakukan penyederhanaan mekanisme perizinan, penyederhanaan tata cara impor barang modal, pelunakan syarat-syarat investasi,


(24)

serta perangsangan investasi untuk sektor-sektor dan di daerah-daerah tertentu. Dewasa ini kesempatan berinvestasi di Indonesia semakin terbuka, terutama bagi penanam modal asing. Di samping dalam rangka menarik investasi langsung,

keterbukaan ini sejalan pula dengan era perdagangan bebas yang akan dihadapi mulai tahun 2020 kelak. (Dadang Firmansyah, 2008)

Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah, peran daerah cukup menentukan dalam pembangunan nasional. Tujuan suatu daerah tertuang dalam suatu visi dan misi. Adapun visi Provinsi Lampung hingga tahun 2014 mendatang (RPJM D II) adalah “Lampung Unggul dan Berdaya Saing Berbasis Ekonomi Kerakyatan.” Sedangkan Misinya yakni:

1. Mengembangkan dan memperkuat ekonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan.

2. Meningkatkan daya dukung infrastruktur dalam skala tinggi untuk mendukung pengembangan ekonomi dan pelayanan sosial.

3. Meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. 4. Mengembangkan masyarakat berbasis IPTEKS.

5. Mengembangkan masyarakat agamis, berbudaya, dan mengembangkan budaya daerah.

6. Meningkatkan pelestarian SDA dan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan.

7. Menegakkan supremasi hukum untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan demokratis.


(25)

8. Mewujudkan pemerintah yang bersih, berorientasi kemitraan dengan masyarakat dan dunia usaha, serta bertatakelola baik.

(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, 2007)

Provinsi Lampung yang merupakan salah satu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan salah satu Provinsi yang memiliki potensi yang cukup baik, terutama potensi pada sumber daya alam. Dilihat dari segi potensi ekonomi, saat ini Lampung merupakan salah satu Provinsi sebagai lumbung pangan di Indonesia. (capaian kinerja pembangunan Provinsi Lampung, 2011). Selain itu secara letak geografis, Provinsi Lampung merupakan wikayah hinterland atau kawasan sekitar ibu

kota Indonesia yaitu Jakarta dan provinsi paling selatan Pulau Sumatera. Dilihat dari potensi dan letak geografis, maka Provinsi Lampung seharusnya merupakan provinsi yang banyak diminati oleh penanam modal atau investor untuk melakukan investasi, terutama investasi sektor riil baik yang berasal dari dalam negeri maupun asing. Berikut disajikan tabel indikator dan capaian kinerja Provinsi Lampung hingga 2014 mendatang.

Tabel 1.3. Indikator dan Capaian Kinerja Misi 1.

No Indikator Kinerja Satuan Capaian Kinerja

2010 2011 2012 2013 2014 1 Makro daerah

-Pertumbuhan ekonomi % 5,75 6,3 5,7-6,7 5,8-6,8 5,9-6,9 -Pertumbuhan investasi

sektor riil

% 6 11,9 12,5 13 14,5

2 Inflasi % 9,95 4,24 8 7 6


(26)

Investasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, berikut merupakan faktor-faktor yang memengaruhi investasi berdasarkan hasil survey bank dunia:

Tabel 1.4. Faktor-faktor Penghambat Investasi.

No Faktor-Faktor Penghambat Persentase Kendali

Kewenangan 1 Ketidakpastian Pengaturan dan Kebijakan

Ekonomi

23 Persen Pusat

2 Ketidakstabilan Makro Ekonomi 18 Persen Pusat

3 Perpajakan 17 Persen Pusat

4 Keuangan 10 Persen Pusat

5 Korupsi 10 Persen Pusat dan Daerah

6 Infrastruktur 9 Persen Pusat dan Daerah

7 Praktek Anti Persaingan 5 Persen Pusat dan Daerah 8 Keahlian dan Pendidikan Tenaga Kerja 5 Persen Pusat dan Daerah

9 Kriminalitas 3 Persen Pusat dan Daerah

Sumber: Bank Dunia dalam http://riaubisnis.com

Jika diperhatikan faktor-faktor penghambat investasi di atas, maka salah satu penghambat terjadinya investasi adalah pada faktor infrastruktur dimana kendali kewenangan ada di pusat dan daerah dengan tingkat persentase sebesar 9%. Variabel infrastruktur memang bukanlah faktor utama sebagai penghambat investasi swasta. Namun penulis akan mengangkat variabel infrastruktur dalam penelitian ini karena seperti yang tertera pada tabel di atas dimana infrastruktur merupakan kendali kewenangan yang diatur olah pusat dan daerah sehingga daerah juga memiliki peran dalam hal ini. Selain itu alasan penulis mengambil variabel infrastruktur dikarenakan


(27)

pada penelitian sebelumnya sudah ada yang melakukan penelitian dengan variabel infrastruktur. Maka dari hasil penelitian ini bisa membandingkan bagaimana kondisi dan peran infrastruktur terhadap investasi di Lampung dengan kondisi infrastruktur terhadap investasi swasta di daerah lain.

Berikut disajikan data investasi swasta di Provinsi Lampung dalam beberapa tahun terakhir:

Tabel 1.5. Perkembangan Investasi di Provinsi Lampung Tahun 2004-2011. Tahun Jumlah Proyek Nilai Investasi Jumlah (Rp)

PMA+PMDN PMA PMDN PMA (US$) PMDN (Rp)

2004 8 2 280.406.939 618.000.000 2.524.280.451.000 2005 14 8 63.498.091 1.440.039.566.000 2.011.522.475.000 2006 10 13 178.282.567 3.763.050.000.000 5.367.593.103.000 2007 13 7 248.283.336 951.356.400.000 3.185.888.424.000 2008 2 7 19.557.747 622.635.916.800 798.655.640.000 2009 17 10 470.530.463 471.430.641.606 5.246.735.268.464 2010 36 53 624.724.659 7.583.944.825.370 13.206.466.756.370 2011 58 92 827.889.065 10.268.952.530.000 17.719.954.115.000 Sumber: Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Daerah

Provinsi Lampung

Dari tabel di atas diketahui bahwa jumlah investasi di Provinsi Lampung yang berasal dari PMA dan PMDN di Provinsi Lampung dari tahun 2004 sampai 2011 mengalami fluktuasi. Perkembangan investasi yang fluktuasi ini membuat penulis ingin

menganalisis lebih lanjut tentang keterkaitan antara belanja infrastruktur dengan investasi swasta (PMA dan PMDN) di Provinsi Lampung.


(28)

Adapun proyeksi kebutuhan investasi Provinsi Lampung tahun 2009-2014 dengan ekspektasi perkembangan moderat adalah sebagai berikut:

Tabel 1.6. Proyeksi Kebutuhan Investasi Tahun 2009-2014 Dengan Ekspektasi Perkembangan Moderat (dalam juta rupiah).

Tahun *PDRB Pertumbuhan PDRB

Kebutuhan Investasi

ICOR = 3 ICOR = 4 2009 35.567.010 1.497.371 4.492.113 5.989.484 2010 37.002.935 1.494.919 4.484.756 5.979.674 2011 38.438.860 1.491.428 4.474.283 5.965.711 2012 39.874.785 1.491.317 4.473.951 5.965.268 2013 41.310.711 1.487.186 4.461.557 5.948.742 2014 42.746.636 1.487.583 4.462.749 5.950.332 Sumber: Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Daerah Provinsi

Lampung

Dari tabel tersebut dapat kita lihat bahwa dengan ICOR = 3, kebutuhan investasi hingga 2014 mendatang adalah sebesar Rp.4,4 Triliun. Sedangkan dengan ICOR = 4, kebutuhan investasi adalah sebesar Rp.5,9 Triliun. Dengan kebutuhan investasi demikian, maka akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah setempat untuk menciptakan iklim investasi yang sehat agar kebutuhan investasi tersebut dapat tercapai dengan baik.

Untuk menciptakan kondisi perekonomian dan suatu kondisi iklim usaha yang sehat perlu didukung dengan beberapa faktor. Seperti yang telah disajikan pada tabel 1.4. dimana faktor utama penghambat investasi adalah kebijakan ekonomi dan kondisi


(29)

makro ekonomi yang pengaturannya ada di pusat. Selain itu faktor lainnya adalah infrastruktur dimana kewenangan ada di pusat dan daerah. Oleh karena itu,

pemerintah pusat dan daerah memiliki peran penting terhadap kondisi infrastruktur dalam menunjang investasi swasta.

Jika dilihat pada realitanya, saat ini infrastruktur di Provinsi Lampung dapat dikatakan cukup memprihatinkan. Salah satu kondisi infrastruktur yang menjadi perhatian adalah kondisi infrastruktur transportasi. Berikut merupakan kondisi infrastrukur transportasi jalan sampai Desember 2010 dan September tahun 2011 di Provinsi Lampung.

Tabel 1.7. Kondisi Ruas Jalan, Status Jalan Provinsi, Desember 2010. Kondisi

Jalan

% Baik Sedang Rusak

Ringan

Rusak Berat Mantap 48,618 33,178 15,440

Tidak Mantap

51,281 14,326 36,955

Total (%) 100,00 33,178 15,440 14,326 36,955 Sumber: Dinas Bina Marga Provinsi Lampung

Tabel 1.8. Kondisi Ruas Jalan, Status Jalan Provinsi, September 2011. Kondisi

Jalan

% Baik Sedang Rusak

Ringan

Rusak Berat Mantap 53,58 37,09 16,49

Tidak Mantap

47,84 13,60 34,24

Total (%) 101,42 37,09 16,49 13,60 34,24 Sumber: Dinas Bina Marga Provinsi Lampung


(30)

Data tersebut menggambarkan bagaimana kondisi infrastruktur jalan di Provinsi Lampung. Dapat dilihat pada tabel 1.8, sampai dengan Desember 2010 kondisi jalan mantap hanya mencapai 48,618%. Walaupun pada September 2011 kondisi jalan mantap terjadi perbaikan menjadi 53,58%, namun kondisi yang demikian belum mampu untuk menunjang suatu kondisi infrastruktur jalan yang ideal. Kondisi infrastruktur tentu tidak lepas dari belanja pemerintah daerah. Berikut merupakan belanja daerah yang dialokasikan untuk pembangunan dan pemeliharaan

infrastruktur:

Tabel 1.9. Perkembangan belanja infrastruktur tahun 2004 – 2011.

No Tahun Anggaran Realisasi %

1 2004 102.290.933.482 99.146.460.733 96,92 2 2005 154.736.960.474 143.308.139.119 92,61 3 2006 314.327.404.982 281.522.942.568 89,56 4 2007 254.889.019.712 243.775.221.672 95,63 5 2008 221.479.255.005 219.446.571.836 99,08 6 2009 229.538.579.631 227.378.291.794 99,05 7 2010 378.375.812.655 373.874.490.740 98,81 8 2011 445.648.755.500 436.755.916.585 98,01 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) dan Biro Keuangan Provinsi Lampung Dalam penelitian ini, data yang digunakan untuk dilakukan pengolahan adalah data realisasi belanja infrastruktur. Belanja infrastruktur yang dimaksud dalam penelitian


(31)

ini adalah belanja untuk pengadaan dan pemeliharaan infrastruktur berupa jalan, irigasi, dan jaringan.

Dari penjelasan diatas maka penulis akan melakukan penelitian dengan judul

“Analisis Hubungan Belanja Infrastruktur Terhadap Investasi Swasta (PMA dan

PMDN) di Provinsi Lampung.” Alasan penulis melakukan penelitian ini adalah

penulis ingin menganalisis secara fokus hubungan antara belanja infrastruktur terhadap investasi swasta di Provinsi Lampung. Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis melihat bagaimana hubungan belanja infrastruktur terhadap investasi. Setelah diketahui hasil, penulis juga akan menganalisis faktor-faktor apa saja yang menghambat investasi di provinsi Lampung.

Berdasarkan hasil survey Bank Dunia, infrastruktur memang bukanlah faktor utama dalam memengaruhi investasi. Namun penulis ingin menganalisis secara mendalam keterkaitan antara belanja infrastruktur terhadap investasi swasta di Lampung karena seperti yang dijelaskan pada tabel 1.4. bahwa kendali kewenangan infrastruktur ada di pusat dan daerah. Selain itu, variabel belanja sektor infrastruktur juga pernah

dijadikan sebagai variabel yang dimasukkan pada penelitian terdahulu sebagai

variabel yang memengaruhi investasi swasta. Maka hasil dari penelitian ini dapat kita bandingkan dengan penelitian terdahulu dengan objek lokasi penelitian yang berbeda.


(32)

B. Permasalahan

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan bank dunia, dikatakan bahwa salah satu penghambat masuknya investasi swasta di suatu daerah adalah infrastruktur. Mudrajad Kuncoro menjelaskan bahwa infrastruktur mencakup infrastruktur transportasi, infrastruktur ekonomi, infrastruktur pertanian, infrastruktur sosial,

infrastruktur kesehatan, infrastruktur energi, dan infrastruktur telekomunikasi. Supaya penelitian ini dapat lebih fokus, maka penelitian ini tidak menjawab bagaimana hubungan semua cakupan infrastruktur tersebut terhadap investasi di Lampung. Penulis lebih memfokuskan pada belanja infrastruktur yang mencakup jalan, irigasi, dan jaringan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana hubungan belanja sektor infrastruktur (jalan, irigasi, dan jaringan) terhadap investasi swasta di Provinsi Lampung?

C. Tujuan Penelitian

Dari latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis hubungan belanja infrastruktur (jalan, irigasi, dan jaringan) dengan investasi swasta di Provinsi Lampung.

2. Mengukur keeratan dan signifikansi korelasi antara belanja infrastruktur dengan investasi swasta di Provinsi Lampung.


(33)

D. Kerangka Pemikiran

Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak)

pemerintah. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pendapatan berupa pajak. Kebijakan fiskal yang diterapkan di Indonesia adalah kebijakan fiskal

ekspansioner (defisit anggaran). Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan produk domestik bruto dan menurunkan angka pengangguran.

Seperti dijelaskan di awal, belanja atau pengeluaran merupakan instrumen dalam kebijakan fiskal. Pengeluaran tersebut digunakan untuk membiayai penyelenggaraan negara dan daerah serta menyediakan belanja dan pelayanan publik. Penyediaan barang dan jasa publik disediakan oleh pemerintah yang berasal dari APBN dan/atau APBD pada pos belanja. Dalam penelitian ini, variabel utama yang digunakan adalah pengeluaran/belanja pemerintah yang merupakan pilar dalam kebijakan fiskal. Peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi salah satunya adalah pada

penyediaan barang dan jasa. Barang yang disediakan oleh pemerintah disebut barang publik (public goods), sedangkan jasa yang disediakan oleh pemerintah disebut

pelayanan publik. Keduanya disediakan pemerintah agar dapat dikonsumsi oleh publik tanpa dipungut biaya secara langsung dan siapa saja boleh menggunakannya. Biaya yang diperoleh untuk menyediakan barang dan jasa publik diperoleh dari pajak yang dipungut dari masyarakat atau wajib pajak.

Salah satu barang publik yang dapat dinikmati oleh setiap masyarakat adalah infrastruktur transportasi seperti jalan dan jembatan. Pembangunan infrastruktur


(34)

merupakan salah satu aspek penting dan vital untuk mempercepat proses pembangunan nasional. Infrastruktur juga memegang peranan penting dalam memperlancar kegiatan ekonomi supaya biaya finansial tidak membengkak. Dampak atas kondisi infrastruktur adalah terciptanya kelancaran dalam mobilitas masyarakat, mempermudah komunikasi jarak jauh, dan tercipta kondisi keadilan sosial bagi masyarakat banyak. Peran infrastruktur sebagai pendorong perkembangan ekonomi adalah pada saat suatu wilayah belum berkembang atau terisolasi.

Sementara peran pendukung dimiliki pada saat suatu wilayah telah terdapat kegiatan ekonomi, sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lebih kanjut.

Sedangkan bila ekonomi pada suatu wilayah telah berkembang baik, maka

pembangunan infrastruktur akan berperan untuk memacu pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.

Salah satu pilar pendukung untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang baik adalah investasi swasta, baik investasi dalam negeri maupun investasi asing. Investasi yang baik dalam suatu daerah akan menciptakan lapangan pekerjaan sehingga dapat menyerap tenaga kerja dan menekan laju pengangguran. Selain itu dengan tingkat investasi yang tumbuh positif, maka pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dapat tercapai.

Dalam kerangka ini maka infrastruktur mempunyai peranan penting dalam

mewujudkan sasaran pembangunan seperti pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang sehat, serta dalam jangka


(35)

panjang terciptanya landasan yang kuat untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri menuju kondisi masyarakat yang sejahtera dan merata. Berikut merupakan bagan kerangka pemikiran penelitian.

Gambar 1.3. Bagan Kerangka Pemikiran.

E. Hipotesis

Berdasarkan penjelasan tersebut maka diduga terdapat hubungan yang positif dan erat antara belanja infrastruktur dengan tingkat investasi swasta (PMA dan PMDN) di Provinsi Lampung.

F. Sistematika Penulisan

Rencana penulisan ini akan dibagi dalam lima bab, yaitu :

BAB I : Pendahuluan, yang berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, kerangka pemikiran dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka dan Studi Empiris yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti.

BAB III : Metode Penelitian terdiri atas jenis dan sumber data, alat analisis, gambaran umum Provinsi Lampung, batasan variabel, dan metode analisis.

Kebijakan Fiskal

Pengeluaran Pemerintah

Barang Publik

Infrastruktur

Jalan

Irigasi

Jaringan

Investasi Swasta


(36)

BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan. BAB V : Simpulan dan Saran.


(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritik 1. Teori Investasi

Teori ekonomi mengartikan atau mendefinisikan investasi sebagai: pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang modal dan peralatan-peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa di masa yang akan datang. Dengan perkataan lain, investasi berarti kegiatan

perbelanjaan untuk meningkatkan kapasitas produksi suatu perekonomian. (Sadono Sukirno dalam Hadi Sasana, 2008)

Secara statistik, investasi atau pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan produksi, dibedakan menjadi 4 komponen, yaitu: investasi

perusahaan-perusahaan swasta, pengeluaran untuk mendirikan tempat tinggal, perubahan dalam inventaris (inventory) perusahaan dan investasi yang dilakukan

oleh pemerintah. Tujuan pengusaha untuk mewujudkan alat-alat produksi tersebut adalah untuk memperoleh keuntungan dari kegiatan produksi yang dilakukannya di masa depan. Hal ini berarti investasi yang dilakukan di masa kini sangat erat hubungannya dengan prospek memperoleh untung di masa depan. Semakin cerah prospek untuk memperoleh keuntungan yang lumayan di masa depan, semakin


(38)

tinggi investasi yang dilakukannya pada masa kini (Gunawan dalam Hadi Sasana, 2008).

Dari segi nilai dan proporsinya terhadap pendapatan nasional, investasi perusahaan tidaklah sebesar pengeluaran konsumsi rumah tangga. Namun

demikian investasi perusahaan peranannya sangatlah penting dibanding konsumsi rumah tangga. Di berbagai negara, terutama di negara-negara industri yang perekonomiannya sudah sangat berkembang, investasi perusahaan adalah adalah sangat “volatile” yaitu selalu mengalami kenaikan dan penurunan yang sangat besar, dan sebagai sumber penting dari berlakunya fluktuasi dalam kegiatan perekonomian. Di samping itu, kegiatan investasi memungkinkan suatu

masyarakat terus menerus meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan nasional, dan meningkatkan taraf kemakmuran

masyarakat. Peranan ini bersumber dari tiga fungsi penting kegiatan investasi dalam perekonomian. Pertama, investasi merupakan salah satu komponen dari

pengeluaran agregat, sehingga kenaikan investasi akan meningkatkan permintaan agregat dan pendapatan nasional. Kedua, pertambahan barang modal sebagai

akibat investasi akan menambahkan kapasitas memproduksi di masa depan dan perkembangan ini akan menstimulasi pertambahan produksi nasional serta kesempatan kerja. Ketiga, investasi selalu diikuti oleh perkembangan teknologi,

perkembangan ini akan memberi sumbangan penting terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan per kapita masyarakat. (Hadi Sasana, 2008)

Adam Smith (dalam Dadang Firmansyah) menyatakan bahwa investasi dilakukan karena para pemilik modal mengharapkan untung dan harapan masa depan keuntungan bergantung pada iklim investasi hari ini dan pada keuntungan nyata.


(39)

Smith yakin keuntungan cenderung menurun dengan adanya kemajuan ekonomi. Pada waktu laju pemupukan modal meningkat, persaingan yang meningkat antar pemilik modal akan menaikkan upah dan sebaliknya menurunkan keuntungan. Menurut Harrod-Domar pengeluaran investasi (I) tidak hanya mempunyai

pengaruh terhadap permintaan agregat (Z), tetapi juga terhadap penawaran agregat (S) melalui pengaruhnya terhadap kapasitas produksi. Dalam perspektif waktu yang lebih panjang ini, I menambah stok kapital (misalnya, pabrik-pabrik, jalan-jalan, dan sebagainya). Jadi I = ΔK, dimana K adalah stok kapital dalam

masyarakat. Ini berarti pula peningkatan kapasitas produksi masyarakat dan selanjutnya berarti bergesernya kurva S ke kanan.

Gambar 2.1. Kurva Pengeluaran Investasi. P

S0 a b S1

Z1 Z0

0 Q

Keterangan:

a : ΔI menggeser Z lewat proses multiplier (jangka pendek)

b : ΔI menggeser S lewat pertambahan kapasitas produksi (jangka panjang) (Dadang Firmansyah, 2008)

2. Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk


(40)

pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pendapatan berupa pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat memengaruhi variabel-variabel berikut:  Permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi

 Pola persebaran sumber daya  Distribusi pendapatan

Konsep-konsep Dasar Kebijakan Fiskal:

a. Kebijakan Fiskal: perubahan-perubahan pada belanja atau penerimaan pajak pemerintahan pusat yang dimaksudkan untuk mencapai penggunaan tenaga kerja penuh, stabilitas harga, dan laju pertumbuhan ekonomi yang pantas. b. Kebijakan Fiskal Ekspansioner: peningkatan belanja pemerintah dan/atau penurunan pajak yang dirancang untuk meningkatkan permintaan agregat dalam perekonomian. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan produk domestik bruto dan menurunkan angka pengangguran.

Gambar 2.2. Kurva Kebijakan Fiskal Ekspansioner.

Spending AS

P

AD2 Increase aggregate

AD1

GDP1 GDP2 GDP real (sumber: http://id.wikipedia.org)


(41)

c. Kebijakan Fiskal Kontraksioner: pengurangan belanja pemerintah dan/atau peningkatan pajak yang dirancang untuk menurunkan permintaan agregat dalam perekonomian. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengontrol inflasi.

Gambar 2.3. Kurva Kebijakan Fiskal Kontraksioner. Decrease in

Spending AS

P1

AD1

P2

Decrease aggregate AD2

GDP2 GDP1 GDP Real (sumber: http://id.wikipedia.org)

d. Efek Pengganda: dalam ilmu ekonomi, peningkatan belanja oleh

konsumen,perusahaan atau pemerintah akan menjadi pendapatan bagi pihak-pihak lain.Ketika orang ini membelanjakan pendapatannya, belanja

tersebut menjadi pendapatan bagi orang lain dan seterusnya, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan produksi dalam suatu

perekonomian. Efek pengganda dapat juga berdampak sebaliknya ketika belanja mengalami penurunan.

e. Kebijakan Fiskal Sisi-Penawaran: kebijakan fiskal dapat secara langsung memengaruhi bukan saja permintaan agregat, namun juga penawaran agregat. Sebagai contoh, pemotongan tarif pajak akan memberikan insentif bagi perusahaan untuk melakukan ekspansi atau investasi barang modal, karena


(42)

mereka memperoleh pendapatan setelah pajak yang lebih besar yang kemudian dapat dibelanjakan.

3. Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu komponen kebijakan fiskal yang bertujuan untuk laju investasi, meningkatkan kesempatan kerja, memelihara kestabilan ekonomi dan menciptakan distribusi pendapatan yang merata melalui belanja negara baik itu belanja rutin maupun belanja pembangunan Menurut Basri dan Subri (2003), pengeluaran pemerintah itu sangat bervariasi, namun secara garis besarnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Pertama, pengeluaran yang merupakan investasi yang menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi dimasa yang akan datang. Kedua, pengeluaran yang langsung memberikan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Ketiga, Pengeluaran yang merupakan penghematan terhadap masa yang akan datang. Pengeluaran untuk menyediakan kesempatan kerja yang lebih luas dan menyebarkan daya beli yang luas.

Sementara oleh Suparmoko (1987) membedakan pengeluaran negara dalam beberapa macam yakni :

1. Pengeluaran yang self liquiditing sebagian untuk seluruhnya, artinya

pengeluaran pemerintah akan mendapatkan pembayaran kembali dari masyarakat yang menerima jasa-jasa/barang-barang yang bersangkutan. 2. Pengeluaran yang produktif, artinya mewujudkan keuntungan-keuntungan

yang ekonomis bagi masyarakat dimana dengan naiknya tingkat penghasilan dari sasaran pajak maka pada akhirnya akan menaikkan penerimaan


(43)

3. Pengeluaran yang tidak self liquiditing maupun tidak produktif, yaitu

pengeluaran yang langsung menambah kegembiraan dan kesejahteraan. 4. Pengeluaran yang secara langsung tidak produktif dan merupakan

pemborosan, misalnya untuk pembiayaan pertahanan atau perang meskipun pada saat pengeluaran, pada satu sisi terjadi pemborosan namun pada sisi lain yang menerima mengalami kenaikan pendapatan.

5. Pengeluaran yang merupakan penghematan dimasa yang akan datang misalnya pengeluaran untuk anak-anak yatim piatu. Kalau hal ini tidak dijalankan sekarang, kebutuhan pemeliharaan bagi mereka dimasa yang akan datang pada saat usia lanjut akan jauh lebih besar.

Teori- teori pengeluaran pemerintah menurut Mangkoesoebroto (2000) dibedakan atas dua yaitu: teori makro dan teori mikro.

a. Teori Makro

Teori makro perkembangan pengeluaran pemerintah dikemukakan oleh para ahli ekonomi dan dapat digolongkan ke dalam tiga golongan:

1. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah

terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah


(44)

tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta yang semakin besar ini banyak menimbulkan kegagalan pasar, dan juga

menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik. Selain itu, pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang semakin rumit (complicated). Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses

pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap GNP semakin besar dan investasi pemerintah dalam persentase terhadap GNP akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti halnya, program kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan masyarakat dan sebagainya.

2. Teori Wagner

Teori mengenai perkembangan persentase pengeluaran pemerintah yang semakin besar terhadap GNP. Wagner mengatakan dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintahpun akan meningkat. Terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan, dan sebagainya (Mangkoesoebroto, 2000). Hukum tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut:

>

>

> …… >


(45)

Keterangan:

PkPP = Pengeluaran pemerintah per kapita PPk = Pendapatan Nasional per Kapita 1,2,...n = Indeks waktu (tahun)

Wagner mendasarkan pandangannya pada suatu teori yang disebut organic theory of state yaitu teori yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas

bertindak, terlepas dari masyarakat lain. Menurut Wagner ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat yaitu: tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan masyarakat, urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, perkembangan demografi dan ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintah (Dumairy, dalam Mangkoesoebroto, 2000).

Pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan hubungan antara industri-industri dan hubungan industri dengan masyarakat akan rumit dan kompleks sehingga potensi terjadinya kegagalan eksternalitas negatif semakin besar. Namun hukum Wagner terdapat kelemahan yaitu tidak didasarkan pada suatu teori pemilihan barang-barang publik. Hukum Wagner ini ditunjukkan dalam gambar 2.4 dimana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk eksponensial yang ditunjukkan oleh kurva 1 dibawah ini:


(46)

Gambar 2.4. Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner. Pengeluaran Pemerintah

(Sumber: Mangkoesoebroto, 2000)

3. Teori Peacock dan Wiseman

Teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah selalu berusaha memperbesar pengeluarannya dengan mengandalkan penerimaan pajak, padahal masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar. Peacock dan

Wiseman menyatakan masyarakat sebagai berikut: masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah dan

meningkatnya penerimaan pajak yang menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Jadi dalam keadaan normal kenaikan pendapatan nasional meningkatkan penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Apabila keadaan normal terganggu misalnya disebabkan oleh perang atau eksternalitas lain, maka

pemerintah terpaksa harus memperbesar pengeluarannya untuk mengatasi itu. Karena itu, penerimaan pemerintah dari pajak juga mengalami peningkatan, dan pemerintah meningkatkan penerimaannya dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi semakin berkurang. Keadaan

Kurva 2 Kurva 1


(47)

ini disebut efek penglihatan (displacement efect) yaitu adanya suatu gangguan

sosial yang menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Selain itu, banyak aktivitas pemerintah yang baru kelihatan setelah terjadinya perang yang disebut dengan efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan

sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah sebagian kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh swasta. Ini dinamakan efek konsentrasi (concentration effect).

Gambar 2.5. Kurva Perkembangan Pengeluaran Pemerintah. Pengeluaran pemerintah/GDP Wagner, Solow

Musgrave

Peacock dan Wiseman

Tahun (Sumber: Mangkoesoebroto, 2000)

Satu hal dalam teori Peacock dan Wiseman adalah bahwa mereka mengemukakan bahwa adanya toleransi pajak, yaitu suatu limit perpajakan, akan tetapi mereka tidak menyatakan pada tingkat berapakah toleransi pajak tersebut.


(48)

b. Teori Mikro

Tujuan dari ekonomi mikro mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tersedianya barang publik. Interaksi antara permintaan dan penawaran untuk barang publik yang akan disediakan tersebut selanjutnya akan menimbulkan permintaan akan barang lain. Sebagai contoh, misalnya pemerintah menetapkan akan membuat sebuah

pelabuhan udara baru. Pelaksanaan pembuatan pelabuhan udara tersebut menimbulkan permintaan akan barang lain yang dihasilkan oleh sektor swasta, seperti semen, baja, alat-alat pengangkutan lain, dan sebagainya. Teori mikro mengenai pengeluaran pemerintah dapat dirumuskan sebagai berikut:

Penentuan permintaan; Ui = f(G,X)

G = vektor dari barang publik X = vektor barang swasta i = individu: i = 1,..., m U = fungsi utilitas

Seorang individu mempunyai permintaan akan barang publik dan barang-barang swasta, akan tetapi permintaan efektif akan barang-barang-barang-barang tersebut (pemerintah dan swasta) tergantung pada kendala anggaran (budget constraint).

Kita anggap bahwa seorang individu (i) membutuhkan barang publik (K) sebanyak Gik.


(49)

Untuk menghasilkan barang K sebanyak Gk pemerintah harus mengatur sejumlah kegiatan-kegiatan. Misalnya pemerintah berusaha untuk meningkatkan penjagaan keamanan. Dalam pelaksanaan usaha meningkatkan keamanan tersebut tidak mungkin bagi pemerintah untuk menghapuskan sama sekali angka kejahatan. Karena itu, pemerintah dan masyarakat harus menetapkan suatu tingkat keamanan yang dapat ditolerir oleh masyarakat. Tingkat keamanan yang telah disetujui itu dapat dilaksanakan dengan beberapa kegiatan, misalnya dengan cara

memperbanyak jumlah polisi, menambah jalan yang dipatroli, peningkatan frekuensi patro, dsb. Jadi, suatu tingkat keamanan tertentu dapat dicapai dengan berbagai kombinasi aktivitas, atau dengan kata lain tingkat keamanan tertentu dapat dicapai dengan menggunakan berbagai fungsi produksi. Perkembangan pengeluaran pemerintah dapat dijelaskan dengan beberapa faktor dibawah ini: 1. Perubahan permintaan akan barang publik.

2. Perubahan dari aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi.

3. Perubahan kualitas barang publik 4. perubahan harga-harga faktor produksi

4. Fungsi Pemerintah

Menurut pandangan teori ekonomi publik, fungsi ekonomi pemerintah terdiri dari tiga yaitu fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Ketiga fungsi tersebut menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat, namun untuk menuju kepada sistem pemerintahan yang efektif dan efisien sebagian besar wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat didesentralisasikan kepada pemerintah daerah


(50)

dan tetap menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat. Desentralisasi di bidang ekonomi pemerintah, adalah penyerahan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi, yang ditujukan untuk mengatur dan mengurus perekonomian daerah dalam rangka menciptakan stabilitas

perekonomian secara nasional. Tinjauan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilitas masing-masing fungsi memiliki keterkaitan yang berbeda dalam perlakuannya, seperti berikut: fungsi alokasi memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan penyediaan dan pelayanan barang-barang publik yang peruntukannya secara komunal dan tidak dapat dimiliki secara perorangan. Fungsi distribusi memiliki keterkaitan erat dengan pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam arti

proporsial tetap menjadi perhatian dalam rangka mendorong tercapainya pertumbuhan yang optimal.

Fungsi stabilisasi memiliki keterkaitan erat dengan fungsi mengatur variabel ekonomi makro dengan sasaran untuk mencapai stabilitas ekonomi secara nasional fungsi alokasi.

a. Fungsi Alokasi

Terdapat beberapa alasan yang melandasi adanya intervensi pemerintah dalam pengalokasian sumber daya sebagai dikemukakan berikut ini :

1. Ekonomi kompetitif yang sempurna dengan asumsi-asumsi tertentu bahwa akan menjamin alokasi sumberdaya secara optimal. Disini bila kejadiannya berbeda dengan asumsi, misalnya pasar jauh dari persaingan sempurna


(51)

maka pemerintah akan turut campur tangan dalam pengalokasian sumberdaya.

2. Dalam hal produksi atau konsumsi sesuatu barang dan jasa menimbulkan biaya atau memberikan keuntungan eksternal terhadap produsen atau

konsumen lain maka pemerintah akan turut campur tangan dengan mengatur pajak dan subsidi terhadap barang-barang tersebut, dan mengatur tingkat produksi eksternal dengan cara lain.

3. Ada kecenderungan bahwa pemerintah mendorong konsumsi barang-barang yang dikonsumsi dalam jumlah banyak (merit) melalui penyediaan dengan subsidi, harga nol atau dengan memberikan perangsang kepada pihak swasta untuk penyediaannya. Sebaliknya pemerintah juga cenderung menghambat konsumsi barang-barang yang dikonsumsi dalam jumlah sedikit (demirit) melalui kebijaksanaan pajak.

Alasan-alasan yang mendukung peran alokasi oleh pemerintah daerah adalah: Pertama, Kemungkinan besar akan terjadi perpindahan penduduk ke daerah lain, manakala mereka merasa tidak puas dengan pelayanan yang diperoleh

didaerahnya, hal ini akan menimbulkan masalah yang terkait dengan penyediaan lokal. Kedua, Penyediaan yang dilakukan oleh daerah akan lebih sesuai dengan kebutuhan dan selera penduduk setempat, namun berbeda halnya bila penyediaan oleh pemerintah pusat ada kemungkinan penyediaannya secara seragam dengan daerah lainnya yang hal ini dapat terjadi kurang sesuai dengan selera penduduk setempat.


(52)

b. Fungsi Distribusi

Fungsi distribusi dalam fungsi ekonomi pemerintah adalah sangat terkait erat dengan pemerataan kesejahteraan bagi penduduk di daerah yang bersangkutan dan terdistribusi secara proposial dengan pengertian bahwa daerah yang satu

dimungkinkan tidak sama tingkat kesejahteraannya dengan daerah yang lainnya karena akan sangat dipengaruhi oleh keberadaandan kemampuan daerahnya masing-masing.

Kewenangan dan dukungan terhadap peran pemerintah daerah dalam fungsi distribusi ini tidak sebesar kewenangan dan dukungan dalam fungsi alokasi (King dalam Mangkoesoebroto). Kecilnya kewenangan dan dukungan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat dalam fungsi distribusi ini adalah didasarkan pada asumsi bahwa bila pelimpahan kewenangan dan dukungan pemerintah pusat cukup besar maka dikhawatirkan akan menimbulkan masalah yang berkaitan dengan distribusi pendapatan yang seragam dibeberapa daerah karena akan kurang memberikan inovasi dan rangsangan untuk mengembangkan potensi sumber daya yang dimiliki atau yang tersedia di daerahnya.

Di sisi lain bahwa kebijaksanaan retribusi tunggal yang seragam didasarkan pada rasa kekhawatiran bahwa bila diberlakukan kebijaksanaan yang tak seragam dan desentralisasi akan menyebabkan berpindahnya sebagian penduduk daerah tersebut ke daerah lain yang menjanjikan penghasilan yang lebih besar

dibandingkan didaerah asal, hal ini dianggap akan membuka peluang timbulnya masalah baru yang berkaitan dengan migrasi penduduk.


(53)

c. Fungsi Stabilisasi

Fungsi stabilisasi ini dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas ekonomi suatu negara.Fungsi stabilisasi ini berkaitan erat dengan fungsi mengatur variabel ekonomi makro denganinstrumen kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.

Diantara ketiga fungsi ekonomi pemerintah, fungsi stabilisasi ini merupakan yang paling kecil kewenangan dan dukungannya terhadap peran pemerintah daerah dan bahkan hampir tak mendapatkan bagian untuk berperan dalam fungsi stabilisasi ini. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa fungsi stabilisasi berbeda antar satu daerah dengan daerah lain dalam suatu negara. Disamping itu kecilnya

kewenangan dan dukungan peran pemerintah daerah dalam fungsi stabilisasi, disebabkan akan adanya efek sampingan yang timbul akibat penggunaan instrument yaitu kebijakan moneter dan kebijakan fiskal untuk mengontrol variabel ekonomi makro dan efek langsung dari penggunaan instrumen tersebut.

5. Teori Barang Publik

Dalam hal barang swasta, barang-barang tersebut dapat dihasilkan oleh

perusahaan swasta, tetapi dapat juga dihasilkan oleh perusahaan negara. Misalnya: kereta api, jasa penerbangan. Barang publik juga dapat dihasilkan oleh perusahaan swasta atau oleh perusahaan negara. Jadi yang dimaksud dengan suatu barang publik yang disediakan oleh pemerintah merupakan barang milik pemerintah yang dibiayai melalui anggaran belanja negara tanpa melihat siapa yang melaksanakan pekerjaannya.

Dalam sistem perekonomian sosialis, sebagian besar barang-barang swasta yang ada dihasilkan oleh pemerintah sedangkan dalam sistem perekonomian kapitalis sebagian besar barang-barang publik dihasilkan oleh sektor swasta.


(54)

Dalam sistem perekonomian yang demokratis masyarakat melalui wakil-wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus menetapkan alokasi sumber-sumber ekonomi yang ada harus dialokasikan untuk menghasilkan barang publik dan barang swasta.

a. Teori Pigou

Pigou berpendapat bahwa barang publik harus disediakan sampai suatu tingkat dimana kepuasan marjinal akan barang publik sama dengan ketidakpuasan marjinal (marjinal disutility) akan pajak yang dipungut untuk membiayai

program-program pemerintah atau untuk menyediakan barang publik.

Pada gambar 6. kurva kepuasan marjinal akan barang publik ditunjukkan oleh kurva UU. Kurva UU tersebut mempunyai bentuk menurun yang menunjukkan bahwa semakin banyak barang publik yang dihasilkan maka akan semakin rendah kepuasan marjinal yang dirasakan oleh masyarakat. Di lain pihak, pajak

merupakan pungutan yang dipaksa oleh pemerintah sehingga pembayaran pajak menimbulkan rasa tidak puas bagi masyarakat yang membayar pajak. Oleh karena itu kurva ketidakpuasan marjinal akan pembayaran pajak mempunyai bentuk yang meninggi yang menunjukkan bahwa semakin banyak pajak yang dipungut

semakin besar rasa ketidakpuasan marjinal masyarakat. Ketidakpuasan marjinal ditunjukkan dengan sumbu tegak dari titik O ke bawah dan kurva ketidakpuasan marjinal ditunjukkan oleh kurva PP. Pada titik F kepuasan marjinal barang publik (jarak CF) lebih besar daripada ketidakpuasan masyarakat akan pembayaran pajak (jarak FI), sehingga pemerintah diharapkan untuk memperkecil anggaran untuk menghasilkan barang-barang publik yang lebih sedikit. Sebaliknya, pada titik D kepuasan marjinal masyarakat akan barang pemerintah lebih besar (jarak AD) dari


(55)

pada ketidakpuasan marjinal masyarakat dalam membayar pajak (jarak DG). Ini menunjukkan bahwa barang publik dihasilkan dalam jumlah yang terlalu sedikit sehingga kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi akan dapat dicapai dengan cara menambah anggaran pemerintah untuk menghasilkan barang/jasa publik. Titik E adalah keadaan yang optimum dimana bagi masyarakat kepuasan marjinal untuk barang publik sama dengan ketidakpuasan marjinal dalam hal pembayaran pajak.

Gambar 2.6. Penyediaan dan pembiayaan barang publik yang optimal menurut Pigou.

U

a

b c

U

budget pemerintah

P

P Sumber: Guritno Mangkoesoebroto (1993; 66)

Kelemahan analisis di atas karena didasarkan pada rasa ketidakpuasan marjinal masyarakat dalam membayar pajak dan rasa kepuasan marjinal akan barang publik, sedangkan kepuasan dan ketidakpuasan adalah sesuatu yang tidak dapat diukur secara kuantitatif karena sifatnya ordinal. Karena itu, timbul berbagai pandangan lainnya yang berusaha menjelaskan penyediaan barang publik.


(56)

b. Teori Bowen

Teori Bowen didasarkan pada teori harga seperti penentuan harga pada barang swasta. Barang swasta adalah barang yang mempunyai prinsip pengecualian, yaitu pemilik suatu barang dapat mengecualikan orang lain dari manfaat barang

tersebut. Jadi pada barang swasta setiap individu menghadapi harga barang yang sama. Menurut Bowen barang publik adalah barang yang tidak ada prinsip pengecualian, dimana jika barang publik telah disediakan, maka semua orang dapat menikmati manfaat akan barang tersebut. Jadi menurut Bowen perbedaan barang publik dan barang swasta adalah (i) pada barang swasta, harga yang dihadapi oleh setiap individu akan suatu barang adalah sama dan jumlah barang yang diminta merupakan penjumlahan dari permintaan setiap individu.

Pada barang publik, harga dari barang publik merupakan penjumlahan dari sejumlah harga yang rela dikorbankan oleh setiap individu untuk mendapatkan barang publik tersebut sedangkan pada barang publik jumlah barang yang dikonsumsi antar individu adalah sama. Adapun kelemahan dari teori ini adalah mendasarkan pada permintaan dan penawaran, padahal untuk barang publik para konsumen tidak dapat mengemukakan preferensi akan barang yang dinginkan sehingga kurva permintaan menjadi tidak ada.

c. Teori Erick Lindahl

Teori Erick Lindahl ini di dasarkan pada analisis kurva indiferens dengan

anggaran tetap yang terbatas. Kurva indiferens mempunyai bentuk melengkung ke atas yang didasarkan pada asumsi bahwa semua individu suka pada barang publik, tetapi kurang suka untuk membayar penyediaan barang publik. Guna


(57)

dengan menentukan kepuasan maksimum setiap individu pada setiap proporsi biaya. Menurut Lindahl, titik keseimbangan yang optimal dalam penyediaan barang publik adalah dimana ketika biaya yang dikeluarkan sama dengan pembayaran yang diterima dari setiap masing – masing individu. Teori Erik Lindahl merupakan teori yang sangat berguna untuk membahas penyediaan barang publik yang optimum dan secara bersamaan juga membahas mengenai alokasi pembiayaan barang publik antar anggota masyarakat.

Kelemahan dari teori Lindahl adalah teori ini hanya membahas mengenai penyediaan barang publik tanpa membahas mengenai penyediaan barang swasta yang dihasilkan oleh sektor swasta. Sehingga pada teori ini hanya dilihat

penyediaan barang publik tanpa memperhitungkan jumlah barang swasta yang seharusnya diproduksi agar masyarakat mencapai kesejahteraan yang optimal.

d. Teori Anggaran

Pada teori ini, diterangkan bahwa penyediaan barang – barang publik melalui anggaran. Teori anggaran didasarkan pada suatu analisa di mana setiap orang membayar penggunaan barang publik dengan jumlah yang sama, yaitu sesuai dengan sistem harga untuk barang – barang swasta. Teori ini merupakan teori yang analisa penyediaan barang publik sesuai dengan kenyataan, hal ini dikarenakan bertitik tolak pada distribusi pendapatan awal di antara individu – individu dalam masyarakat dan teori ini juga dapat digunakan untuk menentukan beban pajak diantara para konsumen untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Adapun kelemahan teori ini adalah digunakannya kurva indiferens sebagai alat analisis, dimana alat ini kurang bermanfaat untuk diaplikasikan penggunaannya dalam kenyataan sehari-hari.


(58)

Pada dasarnya semua analisis dalam teori yang telah dijelaskan diatas

menggunakan kurva permintaan atau kurva indiferens yang dalam pelaksanaannya tidak dapat dilakukan pengukuran secara empiris. Oleh karena itu teori ekonomi dianggap tidak mampu dalam memecahkan masalah alokasi sumber – sumber ekonomi untuk menghasilkan barang publik dan swasta secara empiris, sehingga dalam pemecahannya dapat dilakukan dengan proses politik yaitu melalui voting, namun voting juga tidak dapat memberikan pemecahan masalah dengan tepat kecuali masyarakat memiliki suatu preferensi yang identik sehingga dapat dicapai suatu hasil secara aklamasi. Aklamasi merupakan suatu pemungutan suara dimana 100 persen orang setuju diadakannya suatu proyek merupakan cara yang paling baik. Aklamasi ini dapat melindungi golongan minoritas dalam suatu masyarakat. Dengan aklamasi kepentingan suatu minoritas juga akan terjamin, namun cara aklamasi ini sangat sulit untuk dapat mencapai suatu keputusan, terutama jika jumlah pemungut suara dalam jumlah yang besar sekali.

6. Pembangunan Jalan Raya Dalam Otonomi Daerah

Berbeda dengan sistem sentralisasi pemerintahan dimana pemerintah pusat sangat dominan dalam menyediakan fasilitas publik, seperti jalan raya, maka sistem desentralisasi pembangunan dan pembiayaan jalan raya menjadi sangat krusial dan harus mendapat perhatian khusus.

Pada masa otonomi daerah, kiranya daerah tidak dapat menggantungkan sebagian besar dari pembiayaan rutin dan pembangunannya pada transfer dari pemerintah pusat, karena kehidupan keuangan pemerintah daerah sudah diatur dengan UU No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sumber keuangan Pemerintah Daerah terdiri dari pendapatan


(59)

asli daerah (PAD), dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah. Selanjutnya dana perimbangan yang berupa pembagian pendapatan antara pusat dan daerah terdiri dari: a) bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam, ditambah dengan b) dana alokasi umum, dan c) dana alokasi khusus. Di pihak lain dengan otonomi daerah akan ada daerah-daerah yang kaya dan daerah-daerah yang miskin. Daerah-daerah-daerah seperti inilah yang masih akan mengharapkan transfer atau subsidi dari pusat; dan demi pemerataan pembangunan dan mengurangi kesenjangan antara daerah yang satu dengan dan daerah yang lain, maka pemerintah pusat mempunyai peranan yang sangat besar. Oleh karena itu dalam hal pembangunan jalan raya yang melintasi berbagai kota sebagai jalan negara, maka pemerintah pusat harus bertanggung jawab untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaannya; sedangkan pemerintah daerah berkewajiban menyediakan tanah-tanah (lahan) yang akan dilalui oleh jalan tersebut. Yang menjadi pertanyaan apakah pemerintah daerah mampu menyediakan tanah untuk proyek tersebut; dan lebih-lebih lagi kalau harus membiayai pengeluaran untuk pemeliharaan jalan di daerah yang bersangkutan mengingat bahwa keuangan pemerintah pusat khususnya yang berasal dari sumber saya alam sebagian besar sudah diserahkan ke pemerintah daerah. Jadi sebenarnya adalah logis kalau masing-masing daerah menyediakan tanah/lahan dan bahkan juga memelihara jalan-jalan yang melewati wilayahnya, asalkan manfaatnya benar-benar dinikmati secara langsung ataupun tidak langsung oleh penduduk di kota yang bersangkutan. Mengenai berbagai kemungkinan manfaat tersebut sudah disebutkan di bagian sebelumnya baik untuk jalan yang dibangun melewati tengah


(60)

kota ataupun jalan yang dibangun melingkari atau lewat pinggiran kota. (Suparmoko; 165)

B. Tinjauan Empirik

Beberapa penelitian sudah dilakukan terkait peranan infrastruktur dan faktor-faktor yang memengaruhi investasi, diantaranya yakni Robby Permana (2010) melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Pengeluaran Infrastruktur Jalan dan Jembatan serta Pengairan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Lampung. Hasil regresi dengan menggunakan computer program eviews

didapatkan R2 = 0.708, artinya bahwa garis regresi menjelaskan sebesar 70,8 % fakta, sedangkan sisanya sebesar 29,2 % dijelaskan oleh variabel residual yaitu variabel diluar model yang tidak dimasukkan dalam model. Dengan demikian maka dapat diartikan bahwa pengeluaran pemerintah sektor infrastruktur jalan dan jembatan meupun infrastruktur pengairan berpengaruh positif terhadap

pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung.

Dadang Firmansyah (2008) melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Investasi Di Indonesia Periode Tahun 1985-2004”. Variabel

yang digunakan dalam penelitian ini yakni, PDB riil, tenaga kerja, infrastruktur, dan krisis ekonomi (Variabel Dummy) sebagai variabel independen, serta penanaman modal dalam negeri sebagai variabel dependen. Dari hasil

penghitungan, maka diketahui hasil untuk Koefisien Determinasi (R2) adalah sebesar 0,826622, yang artinya variabel PMDN dapat dijelaskan oleh PDB, Tenaga Kerja, Infrastruktur,dan variabel dummy krisis ekonomi sebesar 82,66 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Sedangkan pada Uji T diketahui bahwa variabel PDB riil berpengaruh positif dan tidak signifikan,


(61)

variabel tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan, variabel infrastruktur berpengaruh positif dan tidak signifikan, serta variabel dummy krisis ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Pananam Modal Dalam Negeri. Sedangkan pada pengujian F statistik diketahui hasil bahwa variabel independen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

Eko Fajar Cahyono (Universitas Brawijaya, 2010), melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Infrastruktur Publik Terhadap Produk Domestik Brutto Per Kapita di Indonesia.” Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan menggunakan alat ekonometrika melalui pengestimasian Engle-Granger Cointegration dan Error Correction Model (ECM). Berdasarkan hasil penelitian

yang dilakukan, kesimpulan yang dapat diambil untuk menjawab permasalahan yang diteliti, yaitu: (1) Ketersediaan infrastruktur publik (jalan, listrik, dan telepon) yang dikaji dalam penelitian ini semuanya memengaruhi Produk Domestik Brutto per kapita di Indonesia untuk jangka panjang; (2) Ketersediaan infrastruktur publik (jalan, listrik, dan telepon) yang dikaji dalam penelitian ini semuanya tidak memengaruhi Produk Domestik Brutto per kapita di Indonesia untuk jangka pendek.

Hadi Sasana (2008) melakukan penelitian dengan judul Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Investasi Swasta Di Jawa Tengah. Hasil penelitian ini yaitu

ada banyak faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan yaitu tingkat bunga, laju inflasi dan pengeluaran pemerintah. Dari hasil penelitian didapatkan

kesimpulan, tingkat suku bunga memiliki hubungan negatif dan berpengaruh signifikan terhadap perkembangan investasi swasta di Jawa Tengah. Tingkat inflasi memiliki hubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap investasi


(62)

swasta di Jawa Tengah. Pengeluaran pemerintah memiliki hubungan yang positif dan berpengaruh signifikan terhadap perkembangan investasi swasta di Jawa Tengah. Pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh positif sebesar 0,19. Hal ini bermakna bahwa pengeluaran pemerintah sebesar satu satuan akan meningkatkan investasi swasta sebesar 0,19 satuan. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan terus melakukan kontribusinya melalui pengeluaran pemerintah, khususnya

pengeluaran pembangunan agar pembangunan di daerah dapat meningkat ke taraf yang lebih maju dan modern sehingga dapat menarik minat investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Marta Pascual dan Santiago Álvarez-García (2006), melakukan penelitian dengan judul Government Spending and economic growth in the European union

Countries :An empirical Approach. Penelitian tersebut menggunakan data panel

pada 15 negara-negara Eropa tahun 1994-2000 dengan menggunakan model regresi. Dari hasil penelitian yang dilakukan tersebut maka dapat diperoleh hasilnya yaitu terdapat hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan

pertumbuhan ekonomi dan terdapat hubungan positif atau negatif tergantung dari Negara yang menjadi sampel penelitian. Untuk Negara-negara maju seperti di Eropa terdapat hubungan yang positif.


(63)

Tabel 2.1. Ringkasan Empirik

No Nama Tahun Judul Variabel

Penelitian

Hasil Penelitian

1 Robby

Permana 2010 Pengaruh Pengeluaran

Infrastruktur Jalan dan Jembatan serta Pengairan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Lampung

Pengeluaran jalan

dan jembatan

Pengeluaran

pengairan

Pengeluaran pemerintah sektor infrastruktur jalan dan

jembatan meupun infrastruktur pengairan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung

2 Dadang

Firmansyah 2008 Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Investasi Di Indonesia Periode Tahun 1985-2004

PDB Riil

Tenaga Kerja

Infrastruktur

Krisis Ekonomi

(Dummy Variabel)

Variabel PDB riil berpengaruh positif dan tidak signifikan, variabel tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan, variabel infrastruktur berpengaruh positif dan tidak signifikan, serta variabel dummy krisis ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Investasi

3 Eko Fajar

Cahyono (Universitas Brawijaya)

2010 Analisis Pengaruh

Infrastruktur Publik Terhadap Produk Domestik Brutto Per Kapita di Indonesia

Panjang jalan per

luas wilayah

(road density)

Konsumsi listrik

per kapita

Jumlah pemakai

telepon dan pemakai telepon sellular per 100 orang

1) Ketersediaan infrastruktur publik memengaruhi PDB per kapita dalam jangka panjang 2) Ketersediaan infrastruktur publik tidak memengaruhi PDB per kapita dalam jangka pendek

4 Hadi Sasana 2008 Analisis

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Investasi Swasta Di Jawa Tengah

Tingkat suku

bunga

Inflasi

Pengeluaran

pemerintah

Tingkat suku bunga memiliki hubungan negatif dan

berpengaruh signifikan. Inflasi memiliki hubungan positif dan berpengaruh signifikan. Pengeluaran pemerintah memiliki hubungan yang positif dan berpengaruh signifikan terhadap investasi swasta di Jawa Tengah.

5 Marta Pascual

dan Santiago Álvarez-García

2006 Government

Spending and economic growth in the European union Countries :An empirical Approach

Terdapat hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi dan terdapat hubungan positif atau negatif tergantung dari Negara yang menjadi sampel penelitian. Untuk Negara-negara maju seperti di Eropa terdapat hubungan yang positif


(64)

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder tahunan (time series)

dari tahun 2004 sampai 2011. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah

data realisasi belanja modal sektor infrastruktur (jalan, irigasi, dan jaringan), dan investasi swasta (PMA dan PMDN). Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung, Badan Penanaman Modal dan Pusat Pelayanan Terpadu Daerah (BPM PPTD) Provinsi Lampung, dan Biro Keuangan Provinsi Lampung. Sedangkan untuk data penunjang dalam penelitian ini adalah data kondisi jalan berdasarkan status dan ruas jalan, proyeksi kebutuhan investasi di Provinsi Lampung, dan perkembangan investasi di Indonesia. Data tersebut diperoleh dari Dinas Bina Marga Provinsi Lampung, Badan Penanaman Modal dan Pusat Pelayanan Terpadu Daerah (BPM PPTD) Provinsi Lampung, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia yang diakses melalui situs web

http://www.bkpm.go.id/contents/p16/statistik/17. Dalam penelitian ini lokasi yang menjadi objek penelitian yaitu Provinsi Lampung.


(65)

B. Definisi Variabel Operasional

Definisi variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Investasi swasta (PMA dan PMDN)

Investasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah investasi sektor riil yang berdasrkan kepemilikannya yakni dimiliki oleh swasta yang berasal dari asing dan domestik. Data investasi swasta (PMA dan PMDN) yang digunakan adalah data tahunan dari tahun 2004 – 2011. Investasi swasta berasal dari dalam negeri (PMDN) dan asing (PMA). Data investasi swasta diperoleh dari Badan Penanaman Modal dan Pusat Pelayanan Terpadu Daerah (BPM PPTD) Provinsi Lampung.

2. Belanja infrastruktur

Data belanja infrastruktur yang digunakan adalah data tahunan dari tahun 2004 –

2011. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data realisasi belanja. Belanja yang dialokasikan untuk pengadaan dan pemeliharaan infrastruktur tidak secara eksplisit tertera dalam pos APBD. Maka penulis menggunakan data yang

dialokasikan langsung ke dinas terkait. Dalam hal ini data yang digunakan adalah data yang dialokasikan ke dinas Bina Marga dan dinas Pekerjaan Umum (PU). Data yang dicantumkan adalah dana yang digunakan hanya untuk yang dialokasikan pada pelayanan publik dan tidak mencantumkan dana aparatur pemerintah atau belanja pegawai. Data tersebut penulis anggap dapat mewakili jumlah belanja yang


(66)

dan jaringan). Data belanja sektor infrastruktur ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Biro Keuangan Provinsi Lampung.

C. Gambaran Umum Provinsi Lampung

Lampung adalah sebuah provinsi paling selatan di Pulau Sumatera, Indonesia. Di sebelah utara berbatasan dengan Bengkulu dan Sumatera Selatan.

Provinsi Lampung seluas 35.376,50 km2 terletak pada garis peta bumi: timur-barat di antara 105' 45' serta 103' 48' bujur timur; utara selatan di antara 30 dan 45' dengan 60 dan 45' lintang selatan. Daerah ini di sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda dan di sebelah timur dengan Laut Jawa.

Provinsi Lampung dengan ibukota Bandar Lampung, yang merupakan gabungan dari kota kembar Tanjung karang dan Teluk betung memiliki wilayah yang relatif luas, dan menyimpan potensi kelautan. Pelabuhan utamanya bernama Pelabuhan Panjang dan Pelabuhan Bakauheni serta pelabuhan nelayan seperti Pasar Ikan (Telukbetung), Tarahan, dan Kalianda di Teluk Lampung.

1. Letak dan kondisi alam

Provinsi Lampung memiliki luas 35.376,50 km² dan terletak di antara 105°45'-103°48' BT dan 3°45'-6°45' LS. Daerah ini di sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda dan di sebelah timur dengan Laut Jawa. Beberapa pulau termasuk dalam wilayah Provinsi Lampung, yang sebagian besar terletak di Teluk Lampung, di antaranya: Pulau Darot, Pulau Legundi, Pulau Tegal, Pulau Sebuku, Pulau Ketagian, Pulau Sebesi, Pulau Poahawang, Pulau Krakatau, Pulau Putus dan Pulau Tabuan. Ada


(1)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari hasil analisis penghitungan dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut, yaitu:

1. Selama periode tahun 2004 sampai 2011, terjadi korelasi positif antara belanja infrastruktur terhadap investasi swasta (PMA dan PMDN) di Provinsi Lampung.

2. Berdasarkan penghitungan koefisien korelasi, belanja infrastruktur memiliki korelasi yang erat dan signifikan terhadap investasi swasta (PMA dan PMDN) di Provinsi Lampung.


(2)

B. Saran

1. Diharapkan pemerintah untuk terus meningkatkan belanja pemerintah khususnya belanja yang dialokasikan untuk pemeliharaan dan pengadaan infrastruktur agar kondisi infrastruktur semakin membaik dan investasi di Lampung semakin tumbuh positif.

2. Melakukan pembenahan dan pemerataan infrastruktur hingga ke pelosok daerah guna memperlancar kegiatan ekonomi seperti distribusi barang, dll. 3. Pemerintah daerah berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk dapat

memperkuat struktur perekonomian agar tidak rentan terhadap goncangan arus investasi yang masuk dan keluar secara besar-besaran.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Analisa Fiskal. Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2002. Bunga Rampai Kebijakan fiskal

Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2012.

http://www.bkpm.go.id/contents/p16/statistik/17, diakses pada 14 Desember 2012.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Lampung. 2007. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.

Badan Penanaman Modal (BPM) dan Pelayanan Perizinan Terpadu Daerah (PPTD) Provinsi Lampung. 2009. Rencana Strategi Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu.

Badan Pusat Statistik 2004. Lampung Dalam Angka 2003-2004. Lampung: Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik 2005. Lampung Dalam Angka 2005. Lampung: Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik 2006. Lampung Dalam Angka 2006. Lampung: Badan Pusat Statistik


(4)

Badan Pusat Statistik 2007. Lampung Dalam Angka 2007. Lampung: Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik 2008. Lampung Dalam Angka 2008. Lampung: Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik 2009. Lampung Dalam Angka 2009. Lampung: Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik 2010. Lampung Dalam Angka 2010. Lampung: Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik 2011. Lampung Dalam Angka 2011. Lampung: Badan Pusat Statistik

Basri, Zainal. Yuswan Subri Mulyadi. 2003. Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Cahyono, Eko Fajar. 2010. Analisis Pengaruh Infrastruktur Publik Terhadap

Produk Domestik Brutto Per Kapita di Indonesia. Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang.

Capaian kinerja pembangunan Provinsi Lampung Tahun 2011, http://lampungprov.go.id diakses pada 28 Agustus 2012

Dinas Bina Marga Provinsi Lampung, Desember 2011. Kondisi Ruas Jalan dan Status Jalan Provisnsi Lampung

Djayasinga, Marselina. 2005. Bedah Anggaran Daerah. Penerbit: Universitas Lampung, Bandar Lampung.


(5)

Faktor Penghambat Investasi. http://riaubisnis.com/index.php/world-mainmenu- 26/regulasi-mainmenu-34/17-regulasi/319-68-persen-lebih-faktor-penghambat-investasi-ada-di-pusat diakses pada 29 Mei 2012

Firmansyah, Dadang. 2008. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Investasi Di Indonesia Periode Tahun 1985-2004. Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.

Kuncoro, Mudrajad. 2008. Perencanaan Daerah. Penerbit Salemba Empat. Jakarta

Mangkoesoebroto, Guritno. 2000. Ekonomi Publik. Edisi III. BPFE Yogyakarta. Yogyakarta

Nanga, Muana. 2005. Makro Ekonomi Teori, Masalah,dan Kebijakan. Edisi Kedua. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Permana, Robby. 2010. Pengaruh Pengeluaran Infrastruktur Jalan dan Jembatan serta Pengairan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Lampung. Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Lampung.

Pratama, Indra. 2012. Analisis Penerapan Friedman Rule, Mccallum Rule, Dan

Taylor Rule Pada Kebijakan Moneter Indonesia Periode 2000:01–

2005:06 Dan 2005:07–2011:12. Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Lampung

Sasana, Hadi. 2008. Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Investasi Swasta Di Jawa Tengah. Jurnal Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.


(6)

Sukirno, Sadono. 2000, Makro Ekonomi Modern. Penerbit: Rajawali Pers. Jakarta.

Suparmoko, M. 1996. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek, Edisi Ke-3. Yogyakarta. BPFE.

Supranto, J. 2000. Statistik Teori dan Aplikasi, Edisi keenam. Jilid I. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Supranto, J. 2000. Statistik Teori dan Aplikasi, Edisi ketujuh. Jilid II. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Unila. 2010. Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. Penerbit Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Wikipedia. 2012. Kebijakan Fiskal. http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan-Fiskal, diakses pada 6 September 2012