DESA IN PENELITIA N

DESAIN PENELITIAN DALAM PENGKONSTRUKSIAN NORMA PENGATURAN PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI BALI

7. DESA IN PENELITIA N

8. 9. 10. 11. 12. 13. 1 PENDEFI NI SIAN OBYEK PENELI TI AN Defining object 2 PEMETAAN MASALAH DAN KEBUTUHAN PEMECAHAN MASALAH Problem mapping and needs mapping 3 PENGKONSTRUKSIAN DAN PERUMUSAN MASALAH PENELI TI AN Problem construction and problem statement 4 PERUMUSAN TUJUAN DAN EKSPEKTASI TEMUAN PENELI TIAN Defining targets and research inventions 5 P E R U M U S A N M E T O D E P E N E L I T I A N Defining methode 6 P E L A K S A N A A N P E N E L I T I A N Research performance 8 PERUMUSAN REKOMENDASI PEMECAHAN MASALAH 9 PENYUSUNAN LAPORAN PENELI TI AN 10 LAPORAN PENELI TI AN PEMBAHASAN I NPUT PROSES LEGI SLASI 7 ANALI SIS HASIL PENELITI AN REALI TAS DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTI KA BA B II KA JIA N TEORITIS DA N PRA KTIK EM PIRIS Standar materi bab ini ditentukan dalam Lampiran I angka 2 UUP3. Bagian ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam suatu Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten Kota. Bagian ini mencakup: a Kajian teoretis. Kajian terhadap asas prinsip yang terkait dengan penyusunan norma. Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek dan bidang kehidupan terkait dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian. b Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang- Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara. A. KAJIAN TEORITIS PENGATURAN PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA 1. Kajian Teoritis Alinea ke - 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 UUD NRI 1945, menyatakan: “ Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum , mencerdaskan kehidupan bangsa …………….” . Frasa y ang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seterusnya sebagaimana termaktub di dalam alinea ke – 4 Pembukaan UUD NRI 1945, merupakan tujuan dan fungsi negara ini dibentuk. Berkaitan dengan hal itu, Pasal 28 I ayat 4 UUD NRI 1945, menentukan : “ Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jaw ab negara, terutama pemerintah.” Kata “ perlindungan” secara gramatikal diartikan sebagai upaya menjaga atau menyelamatkan. 19 Hal ini menunjukkan upaya negara dalam melindungi w arga negaranya dari bentuk-bentuk ancaman intimidasi tindakan kejahatan dari pihak ketiga yang merugikan HAM setiap w arga negaranya, adalah suatu keharusan. Upaya perlindungan terhadap HAM w arga negara harus juga dilihat dari perkembangan dimasyarakat secara kontekstual. Bentuk-bentuk kejahatan yang terjadi saat ini tidak lagi secara langsung menghentikan HAM Hidup seseorang, melainkan melalui sarana- sarana yang dapat menghancurkan kehidupan seseorang. Perkembangan kejahatan 19 Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 830 demikian dapat diamati melalui kejahatan penyalahgunaan Narkotika Narkotika, Psikotropika, dan Obat terlarang. Indonesia yang merupakan negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar NRI 1945, mengedepankan hak asasi manusia sebagai salah satu elemen penting, selain eksistensi peraturan perundang-undangan. Dalam sistem hukum Eropa Kontinental Civil Law dan Anglo Saxon Common Law , memiliki unsur yang sama, yakni perlindungan hak asasi manusia HAM. Oleh sebab itu, pengakuan akan “ negara hukum” dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945 perlu dikaitkan dengan Pasal 28 I ayat 5 Undang-Undang Dasar NRI 1945, yang menentukan : Untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan . Secara teori, pemikiran “ negara hukum” Eropa Kontinental dimulai oleh pemikiran Imanuel Kant, kemudian dikembangkan oleh J.F Stahl. Pemikiran negara hukum tersebut, dipengaruhi oleh pemikiran Ekonom Adam Smith saat itu. Julius Friedrich Stahl, mengemukakan 4 unsur sebagai ciri negara hukum, yakni: 1 Tindakan pemerintah berdasarkan Undang-undang Legalitas 2 Perlindungan HAM, 3 Pemisahan Kekuasaan, 4 Adanya peradilan administrasi 20 . 20 Moh. Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta, h.28 Ciri-ciri negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl dalam menguraikan “ Konsep Negara Hukum” Rechtstaat , berbeda dengan konsep negara hukum Anglo Saxon yakni The Rule of Law . Secara konseptual “ the rule of law” dalam Dictionary of Law , diartikan sebagai “principle of government that all persons and bodies and the government itself are equal before and answerable to the law and that no person shall be punished without trial” . 21 Kemudian A.V Dicey mengemukakan unsur-unsur konsep The Rule of law , yakni; 1 supremacy of law , 2 equality before the law , 3 the constitution based on individual rights . 22 Terlepas dari perkembangan pemikiran negara hukum yang sudah berkembang dengan sangat pesat, dengan berbagai gagasan-gagasannya, terdapat kesamaan pada kedua sistem hukum itu berkenaan dengan perlindungan HAM. Bagi negara Indonesia yang menganut pola kodifikasi maka jaminan pemenuhan, penegakan, perlindungan HAM harus dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan Pasal 28 I ayat 5 Undang-Undang Dasar NRI 1945. Pemikiran negara hukum ini menjadi jastifikasi teoritis dalam pembentukan Peraturan Daerah dalam mengatur tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika . Eksistensi peraturan daerah ini akan menjamin dan melindungi hak asasi manusia w arga negara Indonesia, khususnya di Bali. Berkenaan dengan asas legalitas 21 PH. Collin, 2004, Dictionary of Law, Fourth Edition, Bloomsbury Publishing Plc, London. P.266 22 A .V Dicey, 1987, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Fifth edition, London, Macmillan A nd Co., Limited New York: The Macmillan Company, p. 179-187 dalam negara hukum “ rechtstaat ” , maka bentuk perlindungan itu harus diatur dalam instrumen hukum, yaitu undang-undang, dan untuk di daerah berupa Peraturan Daerah. Peraturan daerah itu merupakan legitimasi hukum bagi pemerintah daerah dalam melakukan upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika. A. Hamid S. Attamimi 23 menyatakan bahw a teori perundang-undangan berorientasi pada tujuan untuk menjelaskan dan menjernihkan pemahaman pembentuk, pelaksana, penegak, serta masyarakat terhadap materi undang-undang dalam sifat kognitif. Pemikiran ini menekankan pada pemahaman terhadap hal-hal yang mendasar. Oleh sebab itu dalam membuat peraturan daerah, perlu dipahami kharakter norma dan fungsi peraturan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Peraturan daerah merupakan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan menentukan bahw a Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berw enang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Peraturan daerah merupakan penjabaran Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Dasar NRI 1945, yang menggunakan frasa “ dibagi atas” , lebih lanjut diatur sebagai berikut : 23 A . Hamid S. Attamimi dalam H. Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang- Undangan Indonesia , Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, h. 14-15. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan aerah, yang diatur dengan undang-undang . Frasa “ dibagi atas” ini menunjukkan bahw a kekuasaan negara terdistribusi ke daerah-daerah, sehingga memberikan kekuasaan kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya. Karenanya hal ini menunjukkan pemerintah daerah memiliki fungsi regeling mengatur. Dengan fungsi tersebut, dilihat dari sudut pandang “ asas legalitas ” tindak tanduk pemerintah berdasarkan hukum memperlihatkan adanya kew enangan pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah. Pasal 1 angka 7 Undang- Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengartikan Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dew an Perw akilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Jimly Asshidiqqie mengatakan peraturan tertulis dalam bentuk ” statutory laws ” atau ” statutory legislations ” dapat dibedakan antara yang utama primary legislations dan yang sekunder secondary legislations . Menurutnya primary legislations juga disebut sebagai legislative acts , sedangkan secondary dikenal dengan istilah ” executive acts ” , delegated legislations atau subordinate legislations . 24 Peraturan daerah merupakan karakter dari legislative acts , sama halnya dengan undang-undang. Oleh sebab itu hanya peraturan daerah dan undang-undang saja yang dapat memuat sanksi. 24 Jimly A sshidiqqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Cetakan Ke II, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 10 Teori penjenjangan norma Stufenbau des rechts , menurut Hans Kelsen 25 bahw a norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar Grundnorm . Selain Hans Kelsen, Hans Nawiasky juga mengklasifikasikan norma hukum negara dalam 4 empat kategori pokok, yaitu Staatsfundamentalnorms Norma fundamental negara, Staatsgrundgesetz aturan dasar pokok negara, Formell Gesetz undang-undang formal dan Verordnung Autonoe Satzung Aturan pelaksana dan Aturan otonom. 26 Sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia dipengaruhi oleh pemikiran Hans Kelsen, sebagaimana tercermin dalam Pasal 7 ayat 1 UUP3, yang menentukan bahw a jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyaw aratan Rakyat; c. Undang-Undang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; 25 Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius, Jogjakarta, h.25 26 Hamid A ttamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Suatu Studi Analis: Keputusan Presiden Yang Berfungsi Peraturan Dalam Kurun W aktu Pelita I – Pelita V , Disertasi PPS Universitas Indonesia, h. 287 e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten Kota. Pengaturan demikian menunjukkan peraturan dibaw ah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi atau dengan kata lain peraturan dibaw ah bersumber pada aturan yang lebih tinggi. Melihat ketentuan diatas Peraturan Daerah Provinsi pada huruf f, sehingga pembentukannya harus mengacu pada peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum pada huruf a sampai dengan e. 2. Kajian Asas Secara yuridis Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dituangkan dalam Pasal 5 UUP3, meliputi asas: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan. Asas “ kejelasan tujuan” sebagaimana dimaksud pada huruf adalah bahw a setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, bahw a setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berw enang. Peraturan Perundang-Undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berw enang. Kemudian “ asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahw a dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. “ Asas dapat dilaksanakan” adalah bahw a setiap Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-Undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Selanjutnya yang dimaksud dengan “ asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahw a setiap Peraturan Perundang-Undangan dibuat karena memang benar- benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Yang dimaksud dengan “ asas kejelasan rumusan” adalah bahw a setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. “ Asas keterbukaan” adalah bahw a dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dari asas-asas dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut jika digunakan untuk mengkaji Rancangan Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika maka dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 1 A sas Kejelasan Tujuan, bahw a tujuan dari Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika berupa terciptanya Provinsi Bali yang tertib, aman dan sejahtera. 2 Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang tepat , bahw a Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika dibentuk oleh Gubernur dan DPRD Provinsi Bali. 3 Kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan, bahw a pembentukan Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika , memperhatikan jenis, hirarki dan materi muatan. 4 Dapat dilaksanakan , alasan filosofis perlunya Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan melindungi masyarakat dari bahaya narkotika. Alasan sosiologis perlunya Peraturan Daerah tersebut bahw a masalah narkotika merupakan masalah yang urgen untuk diselesaikan. 5 Kedayagunaan dan kehasilgunaan , bahw a Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika berdayaguna dan berhasilguna untuk memberdayakan masyarakat Bali dalam peningkatan kesejahteraan secara merata. 6 Kejelasan rumusan , bahw a pembentukan Peraturan Daerah ini memperhatikan sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. 7 Keterbukaan , Pembentukan Peraturan daerah ini mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan partisipatif. Sedangkan dalam Pasal 6 UUP3, menentukan bahw a materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Beberapa asas tersebut menjadi pedoman bagi pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika . Penjabaran asas-asas Pasal 6 UUP3 adalah: a. “ asas pengayoman” adalah bahw a setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. b. “ asas kemanusiaan” adalah bahw a setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap w arga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. c. “ asas kebangsaan” adalah bahw a setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan w atak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. d. “ asas kekeluargaan” adalah bahw a setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan musyaw arah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. e. “ asas kenusantaraan” adalah bahw a setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh w ilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. f. “ asas Bhineka Tunggal Ika” adalah bahw a Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. g. “ asas keadilan” adalah bahw a setiap Materi Muatan Peraturan Perundang- undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap w arga Negara. h. “ asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahw a setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. i. “ asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahw a setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mew ujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. j. “ asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahw a setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara. Dengan demikian dalam penyusunan Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika , asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut dijadikan pedoman dalam perumusannya. B. KAJIAN EMPIRIS TERHADAP KARAKTERISTIK NARKOTIKA, PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, DAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA 1. Karaktersitik dan Cara Kerja Narkotika Istilah narkotika juga sering dipresentasikan dengan istilah narkoba. Narkoba merupakan akronim yang berakar pada kata “ narkotika” dan obatan-obatan terlarang” , kata yang digunakan untuk mew akili jenis zat yang digunakan dalam pelayanan medik untuk memberikan perlakuan medik yang merupakan jenis obat yang tidak dapat diedarkan, digunakan, dan dikonsumsi secara bebas, atau harus diedarkan, dikonsumsi, dan digunakan berdasarkan ketentuan hukum. Kata “ terlarang” dalam akronim itu berarti terlarang untuk diedarkan dan disalahgunakan kecuali sesuai dengan hukum. Karena itu, narkotika merupakan jenis obat yang harus digunakan, dikonsumsi, dan diedarkan sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatur jenis obat itu. Narkotika saat ini juga dikenal dengan akronim lain, yaitu NAPZA, yang berasal dari Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adikitf. Narkotika merupakan merupakan zat yang digunakan untuk pengobatan, baik dalam fungsi perlakuan medik, seperti penahan rasa sakit dalam melakukan operasi, maupun sebagai obat untuk tujuan mempengaruhi fungsi kelenjar, sirkulasi hormon, dan metabolism tubuh, seperti misalnya opium poppy . 27 Narkotika merupakan istilah yang digunakan untuk menunjuk pada suatu jenis zat, baik yang bersumber dari bahan-bahan alami heroin, morphine and opium maupun sistetis Percodan, Demerol and Darvon , atau semi sintetis Oxycodone and Hydrocodone , yang bersifat menghilangkan rasa sakit analgesic karena dapat menumpulkan kepekaan syaraf perasa atau sebaliknya meningkatkan kepekaan syaraf perasa manusia. 28 Narkotika juga merupakan zat yang bekerja pada tataran syaraf yang mengendalikan fungsi kelenjar, hormon, fungsi organ, dan metabolisme tubuh manusia yang menghasilkan sensasi tertentu pada diri dan pikiran manusia. Sensasi yang dihasilkan oleh narkotik dapat membuat orang terbebas dari rasa sakit, merasa senang, tenang, dan terbebas dari tekanan pikiran dan mental atau terbebas dari cara kerja dan dampak cara kerja pikiran terhadap mental dan metabolisme tubuh. Sensasi yang dihasilkan narkotika sesungguhnya merupakan sensasi semu atau sifatnya sementara, sehingga dalam mempertahankan kondisi yang setara dengan kondisi sementara itu seorang pengguna harus menggunakan kembali obat yang dikonsumsi sehingga ia tetap dapat menikmati sensasi yang dirasakan sebelumnya. Sifat senasi dan pola penggunaan itu melahirkan sifat baru dari 27 http: www.narcotics.com history , diakses terakhir 29 10 2015. 28 Ibid. narkotika yaitu sifat ketergantungan addiction , yang membuat orang mengkonsumsi secara terus menerus zat yang dikonsumsinya itu. Konsumsi secara terus-menerus ini apabila dilakukan dalam jangka w aktu lama dan dalam dosis berlebihan, akan menimbulkan keadaan tidak terkendali yang akibat yang sangat buruk terhadap fungsi komponen dan organ tubuh manusia, terutama kerja syaraf, kelenjar, sirkulasi dan keseimbangan hormon, daya kerja pikiran, dan akhirnya kesehatan dan daya tahan fisik secara meneyeluruh. Sifat narkotika sebagai sumber sensasi fisik dan mental pada manusia mengakibatkan narkotik cenderung disalahgunakan, mulai dari sekadar sebagai media iseng dan bersenang-senang, sampai pada ketergantungan yang merusak cara kerja fisik dan mental manusia. 29 Kandungan adiktif di dalam narkotik yang megakibatkan ketergantungan bagi pemakainya, merupakan sebab yang mengakibatkan penyalahgunaan narkotika menjadi problem besar bukan saja bagi si pemakai, tetapi juga keluarga, masyarakat, bangsa, dan masyarakat manusia secara keseluruhan. Konsumsi dan ketergantungan terhadap narkotika mengakibatkan kekacauan pikiran dan cara kerja metabolisme tubuh manusia dan akhirnya kekacauan kehidupan pemakainya, keluarga, dan masyarakat tempatnya hidup. Narkotika bekerja pada tatanan syaraf. Sebab yang mengakibatkan ketergantungan pada konsumsi narkotika sesungguhnya adalah SENSASI yang ditimbulkan oleh konsumsi itu. Sensasi bekerja pada tataran mental, mulai dari 29 Ibid. penciptaan rasa senang, bebas, dan kenikmatan atas rasa senang dan bebas itu sampai pada perubahan dari rasa senang dan rasa bebas itu menjadi ketagihan atau ketergantungan dan menjadi sebab siksaan badan yang hanya dapat diatasi dengan terus mengkonsumsi zat tersebut. Sifat konsumsi dan ketergantungan yang semula menghasilkan rasa senang dan rasa bebas, pada putaran berikutnya berubah menjadi konsumsi dan ketergantungan untuk mengatasi rasa sakit dan siksaaan sebagai akibat dari kekurangan dosis. Pada putaran ketiga, rasa sakit itu hanya dapat diatasi dengan dosis yang semakin meningkat, sehingga konsumsi dan ketergantungan pada putaran ketiga merupakan konsumsi dan ketergantungan untuk mengatasi ketersiksaan yang hanya dapat diatasi dengan dosis yang yang lebih tinggi lagi. Pola konsumsi dan ketergantungan itu mendekatkan pengguna yang ingin berhenti berhadapan dengan keputusasaan dan menggiring mereka semakin dengan jurang kematian. Pola rehabilitasi terhadap pengguna ditentukan oleh level dari orientasi konsumsi dan sebab ketergantungan. Pola rehabilitasi juga dapat diklasifikasikan atas tiga model sesuai dengan pola penggunaan dan tingkat ketergantungan. 2. Karakteristik Peredaran dan Penyalahgunaan Narkotika Peredaran, penyalahgunaan, dan konsumsi narkotika oleh seseorang, disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: individu, lingkungan dan ketersediaan narkotika. Faktor individu, mencakup: a. Ketidak tahuan akan bahaya narkotika Banyaknya orang yang tidak mengetahui bahaya narkotika bagi tubuh dan masa depan. Sehingga ketika ditaw arkan oleh orang lain akan narkotika maka orang tersebut tidak menolaknya. b. Coba-coba Rasa ingin tahu Banyaknya pengguna narkotika diaw ali dengan rasa ingin tahu, sehingga mereka cenderung untuk coba-coba menggunakan. Keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar atau berpikir panjang mengenai akibatnya. c. Stress lari dari kebosanan, masalah atau kesusahan hidup Ketika seseorang stress, maka akan melakukan tindakan-tindakan yang menghilangkan beban pikirannya. Oleh sebab itu Narkotika bisa menjadi pilihan untuk dikonsumsi. Orang yang dirudung banyak masalah dan ingin lari dari masalah dapat terjerumus dalam penggunaan narkotika agar dapat tidur nyenyak, mabok, atau jadi gembira ria. d. Keinginan untuk bersenang-senang Keinginan bersenang-bersenang bagi penyalahguna narkotika, biasanya dimulai karena taw aran-taw aran teman dan kemudian diikuti rasa ingin taunya, akhirnya menggunakannya lagi untuk bersenang- senang. e. Keinginan untuk mengikuti trend atau gaya Beberapa jenis Narkotika dapat membuat pemakainya menjadi lebih berani, keren, percaya diri, kreatif, santai, dan lain sebagainya. Efek keren yang terlihat oleh orang lain tersebut dapat menjadi trend pada kalangan tertentu sehingga orang yang memakai narkotika itu akan disebut trendy, gaul, modis, dan sebagainya. f. Keinginan untuk diterima oleh lingkungan atau kelompok Suatu kelompok orang yang mempunyai tingkat kekerabatan yang tinggi antar anggota biasanya memiliki nilai solidaritas yang tinggi. Jika ketua atau beberapa anggota kelompok yang berpengaruh pada kelompok itu menggunakan narkotika, maka biasanya anggota yang lain baik secara terpaksa atau tidak terpaksa akan ikut menggunakan narkotika itu agar merasa seperti keluarga senasib sepenanggungan. g. Pengertian yang salah bahw a penggunaan sekali-sekali tidak menimbulkan ketagihan Banyaknya anggapan demikian, yang kemudian membuat seseorang untuk berani coba-coba mengkonsumsi Narkotika. h. Tidak mampu atau tidak berani menghadapi tekanan dari lingkungan atau kelompok pergaulan untuk menggunakan Narkotika Acapkali perilaku mengkonsumsi narkotika dikarenakan ancaman dari kelompok untuk mengkonsumsi agar dianggap adanya solidaritas. Tekanan demikian yang membuat seseorang tidak bisa mengelak, karena ancaman tersebut bisa berbuntut tindakan kejahatan. Faktor lingkungan, mencakup: a. Keluarga bermasalah atau broken home . Kondisi keluarga khususnya orang tua yang bercerai, membuat anak tidak mendapatkan kasih sayang yang besar dari sang ayah maupun ibu. Keadaan seperti itu yang kemudian di bandingkan dengan keluarga lain yang harmonis, maka membuat seseorang semakin stress, dan mencari upaya untuk menghilangkan kepenatan tersebut melalui narkotika. b. Ayah, ibu atau keduanya atau saudara menjadi pengguna atau penyalahguna atau bahkan pengedar gelap narkotika. Orang tua merupakan teladan bagi sang anak, ketika orang tua bertindak sebagai pengguna narkotika, maka sang anak akan terpengaruh mengikuti jejak orang tua tersebut. c. Lingkungan pergaulan atau komunitas yang salah satu atau beberapa atau bahkan semua anggotanya menjadi penyalahguna atau pengedar gelap narkotika. Tren kehidupan saat ini, menunjukkan banyaknya komunitas-komunitas yang dibentuk cenderung dengan tindakan kekerasan. Komunitas semacam ini, biasanya identik dengan kehidupan malam di diskotik-diskotik atau cafe-cafe. Sehingga tidak menutup kemungkinan, komunitas tersebut akan terpengaruh dengan penyalahgunaan Narkotika. Sehingga seseorang yang bergabung sulit untuk melepaskan diri dari komunitas atau kelompok tersebut. d. Sering berkunjung ke tempat hiburan cafe, diskotik, karaoke, dll.. Tempat-tempat hiburan yang menyuguhkan minuman-minuman alkohol dan suasana pesta, menghendaki tubuh selalu fit untuk menikmati suasana. Oleh sebab itu Narkotika sering dikonsumsi untuk menjaga kebugaran tubuh. e. Mempunyai banyak w aktu luang, putus sekolah atau menganggur. Kondisi demikian sering membuat seseorang menghabiskan w aktunya untuk hiburan yang tidak sehat termasuk menggunakan narkotika. f. Lingkungan keluarga yang kurang tidak harmonis. Ketidak harmonisan dalam rumah tangga, membuat seseorang menjadi stress dan depresi, hal ini yang membuat seseorang dapat menggunakan narkotika demi lari dari keterpurukan itu. g. Orang tua keluarga yang permisif, acuh, serba boleh, kurang tanpa pengaw asan. Tindakan orang tua yang acuh tak acuh terhadap perkembangan anak, membuat anak mudah terjebak dalam tindakan penyalahgunaan narkotika. h. Orang tua keluarga yang super sibuk mencari uang di luar rumah. Kesibukan orang tua yang lebih dalam pekerjaan, membuat kurangnya pengaw asan terhadap anak. Sehingga anak dapat terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika. i. Banyaknya diskotik-diskotik dan café-cafe Menjamurnya diskotik-diskotik dan cafe-cafe akan menaw arkan kondisi hidup yang trend pada seseorang. Sehingga lingkungan demikian akan membuat seseorang mudah terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika. j. Banyaknya w isataw an asing sehingga membaw a pengaruh negatif Gaya hidup dari w isataw an asing yang menghabiskan w aktunya di Bar, diskotik- diskotik dengan mengkonsumsi minuman alkohol termasuk menyalahgunakan narkotika, akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat. k. Pengaruh film-film di Televisi Acapkali tayangan-tayangan televisi yang menampilkan film-film kekerasan dan penggunanaan narkotika, memiliki dampak negatif yang mempengaruhi pola pikir anak muda untuk coba-coba. Faktor ketersediaan narkotika, mencakup: a. Narkotika semakin mudah didapat dan dibeli. Banyaknya masyarakat pengguna narkotika maka menyuburkan peredarannya, sehingga narkotika mudah sekali untuk didapatkan. b. Harga narkotika semakin murah dan dijangkau oleh daya beli masyarakat. Dengan terjangkaunya harga narkotika, mengakibatkan banyak orang yang mampu untuk membelinya. c. Modus Operandi Tindak pidana narkotika makin sulit diungkap aparat hukum. Modus operandi para pelaku pengedar narkotika yang bervariatif dengan mengedepankan inovasi pergerakan dalam melakukan upaya kejahatan. d. Semakin mudahnya akses internet yang memberikan informasi pembuatan narkotika. e. Bisnis narkotika menjanjikan keuntungan yang besar. f. Perdagangan narkotika dikendalikan oleh sindikat yang kuat dan professional. Bahan dasar narkotika prekursor beredar bebas di masyarakat. Peredaran narkotika mengikuti hukum pasar, yakni semakin tingginya permintaan maka akan semakin tinggi pula penaw aran. Oleh sebab itu upaya pemberantasan peredaran narkotika tidak hanya menekankan pada upaya represif, melainkan upaya preventif harus menjadi prioritas, agar dapat mengurangi peredarannya melalui penekanan pada jumlah tingkat konsumsi narkotika. Salah satu upaya represif adalah mengubah perilaku masyarakat agar tidak mengkonsumsi narkotika. Tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Kondisi ini sangat merugikan dan membahayakan kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia. Wujud penyalahgunaan berupa tindakan menggunakan Narkotika tanpa hak atau melaw an hukum. Bentuk-bentuk penyalahgunaan narkotika saat ini tidak hanya pada pola mengkonsumsi, melainkan juga telah menjadi komoditi “ bisnis negatif” . Atas dasar itu kejahatan penyalahgunaan narkotika telah membuka ruang gerak melalui jalur impor, ekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengaw asan yang ketat dan seksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Benny Mamoto, Deputi Pemberantasan BNN, mengatakan sedikitnya 50 w arga negara Indonesia meninggal dunia per hari akibat mengkonsumsi narkotika. Ia menambahkan jumlah korban tew as teror bom di Bali sebanyak 220 jiw a atau setara dengan korban tew as akibat konsumsi narkotika selama 5 hari. 30 Pada tahun 2008, diperkirakan jumlah penyalahguna narkotika setahun terakhir di Indonesia sekitar 3,1 juta sampai 3,6 juta orang atau setara dengan 1,9 dari populasi penduduk berusia 10- 59 tahun. 31 Menurut Badan Narkotika Nasional BNN Hasil proyeksi angka penyalahguna narkotika akan meningkat, dengan adanya kecenderungan peningkatan angka sitaan dan pengungkapan kasus narkotika. Seperti dalam data pengungkapan kasus di tahun 2006 sekitar 17.326 kasus, lalu meningkat menjadi 26.461 kasus di tahun 2010, termasuk data sitaan narkotika untuk jenis utama yaitu ganja, shabu, ekstasi, dan heroin. 32 Di tahun 2014, jumlah penyalahguna narkotika diperkirakan ada sebanyak 3,8 juta sampai 4,1 juta orang yang pernah pakai narkotika dalam setahun terakhir current users pada kelompok usia 10-59 tahun di tahun 2014 di Indonesia. 33 Jurnal Data P4GN Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika 2013 Edisi 2014, menunjukkan beberapa jumlah kasus 30 Metrotvnews.com, 28 September 2013, BNN: 50 orang Tewas Tiap Hari A kibat Narkotika, http: news.metrotvnews.com read 2013 09 28 184807 bnn-50-orang-tewas-tiap-hari-di-indonesia- akibat-narkotika 31 Badan Narkotika Nasional, 2015, Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkotika Tahun A nggaran 2014, Jakarta, h. 1 32 ibid 33 Ibid, h. 16 Narkotika berdasarkan Golongan di tahun 2013. Golongan Narkotika, memiliki 21.119 kasus, Psikotropika sebanyak 1.612 kasus sedangkan bahan adiktif lainnya sebanyak 12.705. Lebih lanjut diidentifikasi dalam tabel dibaw ah ini, yaitu 34 : NO. PENGGOLONGA N NA RKOTIKA JUM LA H KASUS TA HUN 2013 1 2 3 1. Narkotika 21.119 2. Psikotropika 1.612 3. Bahan Adiktif Lainnya 12.705 JUM LA H 35.436 Sedangkan jumlah Tersangka Kasus Narkotika Berdasarkan Kew arganegaraan Tahun 2013, dari ketiga jenis Narkotika, rupanya narkotika merupakan jenis yang paling banyak penggunaan dan peredarannya, dapat diidentifikasi sebagai berikut : 35 NO. KEW A RGA NEGA RA AN JUM LA H TERSA NGKA TA HUN 2013 1 2 3 1. WNI 43.640 2. WNA 127 JUM LA H 43.767 Jumlah di atas menunjukkan bahw a banyak Warga Negara Indonesia menyalahgunakan narkotika, yakni sebesar 43.640 orang, sedangkan WNA sebanyak 127. Hal ini menunjukkan bahw a penyalahgunaan Narkotika sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Kemudian berkaitan dengan jumlah Narapidana 34 Jurnal Data Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika P4GN 2013 Edisi 2014, h. 4 35 Ibid, h. 4 dan Tahanan Kasus Narkotika di Seluruh Indonesia per Provinsi Berdasarkan Bandar Pengedar dan Pengguna Tahun 2013, diantaranya: 36 NO. NA M A KANW IL KA SUS NA RKOTIKA JUM LA H BA NDA R PENGEDA R PENGGUNA 1 2 3 4 5 1. Aceh 1.255 451 1.706 2. Sumatera Utara 3.250 2.302 5.552 3. Sumatera Barat 520 629 1.149 4. Kepulauan Riau 631 578 1.209 5. Riau 2.084 605 2.689 6. Jambi 635 271 906 7. Sumatera Selatan 961 1.314 2.275 8. Bangka Belitung 396 87 483 9. Lampung 1.237 478 1.715 10. Bengkulu 324 114 438 11. Banten 1.475 2.027 3.502 12. DKI Jakarta 4.940 5.086 10.026 13. Jaw a Barat 635 271 906 14. DI Yogyakarta 205 114 319 15. Jaw a Tengah 2.281 956 3.237 16. Jaw a Timur 853 3.202 4.055 17. Kalimantan Barat 251 560 811 18. Kalimantan Tengah 221 467 688 19. Kalimantan Selatan 1.784 1.465 3.249 20. Kalimantan Timur 1.179 413 1.592 21. Sulaw esi Utara 35 29 64 22. Gorontalo 56 56 23. Sulaw esi Tengah 97 245 342 24. Sulaw esi Selatan 298 827 1.125 25. Sulaw esi Barat 35 43 78 26. Sulaw esi Tenggara 100 113 213 27. Bali 211 248 459 28. Nusa Tenggara Barat 302 73 375 29. Nusa Tenggara Timur 1 24 25 30. Maluku 25 62 87 36 Ibid, h. 24 31. Maluku Utara 57 13 70 32. Papua Barat 15 22 37 33. Papua 1 24 25 J U M L A H 30.132 25.539 55.671 Data dari ke-33 Provinsi di Indonesia itu menunjukkan angka yang sangat memperihatinkan dalam penyalahgunaan narkotika, dari kasus-kasus di seluruh Indonesia para tersangka yang berperan sebagai Bandar atau pengedar sejumlah 30.132 orang, sedangkan pengguna sebesar 25.539 orang. angka itu menunjukkan bahw a narkotika sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, karena itu diperlukan cara untuk mencegah perluasan peredaran dan penyelahgunaan narkotika serta dampaknya, serta cara untuk menangani peredaran dan penyalahgunaan narkotika serta dampaknya, termasuk cara untuk mengubah maindset masyarakat, agar sadar bahaya narkotika serta perilaku bermasalah tersebut. Bali merupakan salah satu dari 33 Provinsi yang tidak luput dari jaringan peredaran narkotika. Posisi Bali sebagai destinasi utama pariw isata Indonesia, bahkan dunia, menghadirkan berkah bagi Bali dan Indonesia, sekaligus bencana dari segi peredaran dan penyalahgunaan narkotika serta dampaknya. Tabel diatas menunjukkan bahw a dari jumlah kasus yang ada di tahun 2013, tersangka yang berperan sebagai bandar pengedar sejumlah 211 orang, sedangkan pengguna sebanyak 248 orang. Bali sebagai destinasi pariw isata, khususnya w isataw an mancanegara w isman, merupakan detinasi ternama di dunia. Hal ini terlihat dari jumlah w isataw an asing yang berkunjung periode Januari-November 2014 mencapai 3,41 juta orang, naik 14,78 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya tercatat 2,97 juta orang. 37 Jumlah kunjungan w isataw an mancanegara ke Bali yang senantiasa meningkat menghadirkan dampak positif di sektor pariw isata dan juga dampak negative dalam bentuk, antara lain, merebaknya peredaran Narkotika di pulau ini. Pariwisata memperkenalkan narkotika sebagai bagian dari kata “ leisure ” yang merupakan kata inti dalam makna “ tourism ” . Kata “ leisure ” atau kesenangan dan santai itu meningkatkan citra narkotika sebagai salah satu komponen yang berfungsi menyempunakan kesenangan dan kesantaian itu. Kata itu menjadikan narkotika sebagai gara hidup life style dan kecenderungan dalam pariw isata. Implikasi kata “ leisure ” itu, yang menyetarakan kesenangan dan kesantaian dengan kebebasan badan dan pikiran dari beban keseharian membuat narkotika menjadi alternatif penunjang dari kebebasan badan dan pikiran itu. Korelasi filosofi pariw isata dengan narkotika membuat narkotika berubah menjadi gaya hidup dalam pariw isata, yang menjadi pariwisata sebagai ancaman bagi kehidupan masyarakat. Katakter pariw isata ini menjadikan Bali menjadi target pasar peredaran narkotika yang kemudian berdampak terhadap kehidupan masyarakat. Selama tahun 2014, Polda Bali menyelesaikan 629 Kasus Narkotika dari 664 Laporan. 38 Maraknya penyalahgunaan narkotika di Bali, tidak hanya di dominasi orang dew asa, akan tetapi meluas ke anak-anak usia sekolah. Tahun 2014, 7 sisw a SMP di Denpasar ditangkap, setelah menghirup Shisha, rokok dari Arab. Menurut Kepala 37 Kompas.com, 4 Januari 2015, Kunjungan Wisman Ke Bali Meningkat 14,78 Persen, http: travel.kompas.com read 2015 01 04 094531627 Kunjungan.Wisman.ke.Bali.Meningkat.14.78 38 A ntarabali.com, 30 Desember 2014, Polda Bali Tuntaskan 947 persen Kasus Narkotika, http: www.antarabali.com berita 65317 polda-bali-tuntaskan-947-persen-kasus-narkotika BNN Bali I Gusti Ketut Budiartha, efek Shisha ini 26 kali lipat dari rokok, sehingga termasuk produk berbahaya, selain Shisha, ada kemasan baru lainnya disebut Jape- jape, mirip ganja namun efeknya lebih kuat. 39 Pada tahun 2013 terdapat beberapa upaya penyelundupan Narkotika ke Bali, melalui Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai. Jenis-jenis Narkotika yang coba diselundupkan namun digagalkan oleh aparat di Bali adalah Ganja sebanyak 7,59 gram, heroin sebesar 372 gram, dan bukti Shabu Sitaan Tahun 2013 di Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai sebanyak 6827 gram. 40 Jurnal Data P4GN 2013 Edisi 2014 41 mengungkapkan dari survey, diketahui Sekolah kampus, kost kontrakan, tempat kerja, di jalan, diskotik pub karaoke, rumah, sendiri, rumah teman, di terminal stasiun dan di hotel penginapan adalah tempat yang banyak disebut responden pada saat ditaw ari narkotika. Situasi seperti ini juga terjadi di Bali. Untuk itu diperlukan pengaw asan di sekolah dan kampus, serta edukasi kepada pelajar dan mahasisw a. Serta perlunya kerjasama dengan institusi pengelola sekolah dan kampus tersebut. Pengaw asan juga perlu ditingkatkan di diskotik pub karaoke, terminal stasiun, hotel penginapan dan kost-kost an. Selain itu upaya pengaw asan memerlukan upaya penertiban terhadap penghuni kost-kost an kontrakan serta hotel penginapan. 39 Balipost.com, 15 Juli 2014, Di Denpasar Siswa SMP Berani Pesta Narkotika Jenis Baru, http: balipost.com read headline 2014 07 15 16924 di-denpasar-siswa-smp-berani-pesta-narkotika- jenis-baru.html 40 Jurnal P4GN, op.cit, h. 18-20 41 Ibid, h. 51 Pada tanggal 25 Februari 2015 Polresta Denpasar menangkap 7 orang pengedar sekaligus pemakai salah satu diantaranya w arga negara asing dari Amerika Serikat, di salah satu hotel di jalan Mahendradatta, dengan barang bukti 1 paket ganja berat 2.77 gram. 42 Jajaran Satuan Narkotika Polresta Denpasar di Hotel The Grey di Jalan Dewi Sartika, sebagaimana diberitakan oleh rri.co.id 17 Juli 2014 43 , Kuta menangkap empat pelaku penyalahgunaan narkotika, yang merupakan mahasisw a. Petugas mengamankan sabu seberat 0,08 gram dari tangan Adam dan 0,72 gram dari tangan Dimas berikut 4 butir esktasi. Dari tersangka Donny disita ganja seberat 7,80 gram dan dari tersangka Dian yang juga mahasisw i di Denpasar ini diamankan sabu seberat 0,02 gram, ganja dan LSD. Peredaran narkotika mengikuti hukum pasar, yakni semakin tingginya permintaan maka akan semakin tinggi pula penaw aran. Oleh sebab itu upaya pemberantasan peredaran narkotika tidak hanya menekankan pada upaya represif, melainkan upaya preventif perlu diprioritaskan, agar dapat mengurangi peredarannya melalui penekanan pada jumlah tingkat konsumsi narkotika. Salah satu upaya represif adalah mengubah perilaku masyarakat agar tidak mengkonsumsi narkotika. Provinsi Bali yang merupakan daerah pariw isata, yang mengalami kemajuan di bidang pembangunan, berimplikasi pada juga pada peningkatan peredaran narkotika. 42 Beritadewata.com, 25 Februari 2015, Polresta Denpasar Meringkus Tujuh Pengedar dan Pengguna Narkotika, http: beritadewata.com Hukum-dan-Kriminal Hukum Polresta-Denpasar- Meringkus-Tujuh-Pengedar-dan-Pengguna-Narkotika.html 43 rri.co.id, 17 Juli 2014, Polisi Gerebek Pesta Narkotika di Hotel The Grey Kuta Bali http: rri.co.id post berita 92083 daerah polisi_gerebek_pesta_narkotika_di_hotel_the_grey_kuta_bal i.html Posisi Bali yang semula hanya sebagai lokasi peredaran atau lokasi transit narkotika, kemudian berkembang menjadi pasar yang potensial bagi peredaran narkotika. Dikarenakan banyaknya permintaan dan peredaran narkotika, maka kondisi Bali saat ini sudah menjadi tempat memproduksi narkotika. Hal ini terbukti dari beberapa kasus yang berhasil diungkap oleh kepolisian di Bali, salah satunya pada tanggal 16 September 2014 silam. Dari kasus tersebut Petugas Polrestabes Denpasar, Bali menggerebek industri narkoba rumahan yang memproduksi amphetamine sabu-sabu dan ekstasi. Petugas mendapati 1.130 tablet putih, dua plastik berisi serbuk seberat 101,13 gram, serta satu botol kodein 10 miligram, pelaku berinisial N Sud 36 dan Don SR 27 dengan nilai jual keseluruhan sabu dan ekstasi yang diproduksi di rumah tersebut mencapai Rp11,25 miliar. 44 Berbagai bentuk tindak pidana dan kasus sebagaimana dideskripsikan di atas menunjukkan bahw a peredaran narkotika dikendalikan oleh hukum alam dan hukum pasar . Bentuk pengendalian oleh hukum alam adalah bahw a peredaran dan penyalahgunaan narkotika bersumber pada kebutuhan manusia terhadap kebebasan dan kenyamanan yang lahir dari tekanan sosial yang semakin hari semakin meningkat dan multi-sebab dan multi-bentuk. Bentuk pengendalian oleh hukum pasar adalah bahw a kebutuhan itu berubah menjadi permintaan dan permintaan itu melahirkan pasokan, termasuk seluruh rangkaian proses yang melatarbelakangi pasokan itu, 44 Okezone.com, Jumat, 19 September 2014, Pabrik Sabu Ekstasi Beromzet Rp11,25 M di Bali Digerebek, http: news.okezone.com read 2014 09 19 340 1041506 pabrik-sabu-ekstasi-beromzet- rp11-25-m-di-bali-digerebek seperti: pengembangan atau pembiakan bahan baku, produksi, distribusi, dan penjualan kepada pengguna. Kedua jenis hukum ini terintegrasi kedalam suatu bentuk sinergi yang melahirkan kekuatan proses dan pengendalian yang sulit diatasi dengan pendekatan-pendekatan biasa, seperti: pendekatan hukum dan keamanan, serta pendekatan kesehatan. Masalah ini membutuhkan suatu bentuk aksi yang berakar pada suatu program yang terstruktur dan sistematis, yang berangkat dari dan menyentuh akar-akar fundamental dari sebab yang melahirkan kebutuhan manusia terhadap narkotika. 3. Karakteristik Dampak Kesehatan, Sosial, Politik, dan Ekonomi Peredaran dan Penyalahgunaan Narkotika Dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika mencakup: dampak langsung dan tidak langsung. Dampak tersebut mencakup, antara lain: 45 a Banyak uang yang dibutuhkan untuk penyembuhan dan peraw atan kesehatan pecandu jika tubuhnya rusak digerogoti zat beracun. b Dikucilkan dalam masyarakat dan pergaulan orang baik-baik. Selain itu biasanya tukang candu narkotika akan bersikap anti sosial. c Keluarga akan malu besar karena punya anggota keluarga yang memakai zat terlarang. 45 www.dedihumas.bnn.go.id , Dampak Langsung dan Tidak Langsung Penyalahgunaan Narkotika, http: dedihumas.bnn.go.id read section artikel 2014 03 20 957 dampak-langsung-dan- tidak-langsung-penyalahgunaan-narkotika d Kesempatan belajar hilang dan mungkin dapat dikeluarkan dari sekolah atau perguruan tinggi alias DO drop out. e Tidak dipercaya lagi oleh orang lain karena umumnya pecandu narkotika akan gemar berbohong dan melakukan tindak kriminal. f Dosa akan terus bertambah karena lupa akan kew ajiban Tuhan serta menjalani kehidupan yang dilarang oleh ajaran agamanya. g Bisa dijebloskan ke dalam tembok derita penjara yang sangat menyiksa lahir batin. h Biasanya setelah seorang pecandu sembuh dan sudah sadar dari mimpi- mimpinya maka ia baru akan menyesali semua perbuatannya yang bodoh dan banyak w aktu serta kesempatan yang hilang tanpa disadarinya. Terlebih jika sadarnya ketika berada di penjara. Segala caci-maki dan kutukan akan dilontarkan kepada benda haram tersebut, namun semua telah terlambat dan berakhir tanpa bisa berbuat apa-apa. Kemudian berkaitan dengan dampak Langsung Narkotika bagi tubuh manusia, diantaranya 46 : a Gangguan pada jantung; b Gangguan pada hemoprosik; c Gangguan pada traktur urinarius; d Gangguan pada otak; 46 ibid e Gangguan pada tulang; f Gangguan pada pembuluh darah; g Gangguan pada endorin; h Gangguan pada kulit; i Gangguan pada sistem syaraf; j Gangguan pada paru-paru; k Gangguan pada sistem pencernaan; l Dapat terinfeksi penyakit menular berbahaya seperti HIV AIDS, Hepatitis, Herpes, TBC, dll. Hal ini dikarenakan para pecandu menggunakan jarum suntik secara bergantian Injecting Drug Use IDUs, akibat penularan penyakit HIV AIDS, Hepatitis B dan Hepatitis C. Berkaitan dengan dampak Langsung Narkotika Bagi Kejiw aan Mental Manusia, adalah 47 : a Menyebabkan depresi mental; b Menyebabkan gangguan jiw a berat psikotik. c Menyebabkan bunuh diri d Menyebabkan melakukan tindak kejahatan, kekerasan dan pengrusakan. Dampak penggunaan narkotika di atas lebih kepada individu. Di lain pihak tingginya penyalahgunaan narkotika, berdampak negatif bagi masyarakat Bali, diantaranya: 47 ibid a Penyalahgunaan narkotika cenderung menyerupai gaya hidup sehingga dapat dengan mudah menular; b Masyarakat terpengaruh terhadap gaya penggunaan narkotika; c Masa depan generasi muda di Bali terancam; d Meningkatnya kejahatan; e Meningkatkatnya jumlah kematian. Ragam dampak tersebut menunjukkan bahw a penyalahgunaan narkotika mengandung potensi besar untuk merusak kesehatan seseorang, bahkan menghancurkannya, merusak keluarga, dan masyarakat tempatnya hidup atau bahkan sebuah bangsa. Cara kerja narkotika dalam tubuh manusia sebagaimana diuraikan diatas, dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Level 1 sebagai pengguna seseorang merasa bahagia, senang ketika mengkonsumsi narkotika tersebut. b. level 2, pengguna mulai merasa adanya ketergantungan kecanduan sehingga ingin menambah kebutuhan dari narkotika tersebut. Kemudian mulai merasakan rasa sakit, apabila tidak mengkonsumsi narkotika tersebut. c. level 3, pengguna merasakan penderitaan yang hebat apabila tidak mengkonsumsi narkotika tersebut, dan merasakan ketergantungan yang sangat berat terhadap barang tersebut. 4. Karakteristik Kebutuhan Pemecahan Masalah Dampak Peredaran dan Penyalahgunaan Narkotika Gambaran peredaran dan dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika menunjukkan bahw a masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika membutuhkan model pemecahan masalah yang sesuai dengan karakteristik peredaran dan penyalahgunaan narkotika, serta dampaknya. Model itu harus dapat menyentuh dan mengendalikan seluruh unsur penyebab penyalahgunaan, seperti: a Setiap orang yang potensial menjadi pengguna; b Setiap orang yang telah menjadi pengguna; c Keluarga pengguna; d Lingkungan sosial pengguna; e Setiap orang yang potensial menjadi pengedar; f Pengedar; g Jaringan dan media pengedar; h Proses transaksi yang menjadi aliran peredaran. Pemecahan masalah tersebut harus didasarkan pada pendekatan integral yang mengintegrasi seluruh komponen pemangku kepentingan yang dapat menghambat peredaran dan penyalahgunaan. Penggunaan pendekatan hukum perlu diintegrasikan dengan pendekatan kultural, moral, ekonomi, politik, dan edukasi yang mengendalikan seluruh pemangku kepentingan kedalam satu gerakan sosial yang terstruktur, terpogram, sistematis, dan konsisten berkelanjutan yang dapat meniadakan kebutuhan penggunaan yang masuk kedalam kategori penyalahgunaan. C. KARAKTERISTIK OBYEK PENGATURAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA Karakteristik narkotika, peredaran dan penyalahgunaannya, dan dampak peredaran serta penyalahgunaannya melahirkan kebutuhan terhadap konsep pengaturan yang konsisten dengan karakteristik narkotika, peredaran dan penyalahgunaan, dampak dan penyalaghunaannya sebagai obyek pengaturan. Berdasarkan karekteristik obyek itu, maka obyek pengaturan pencegahan dan penanganan dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika dapat diklasifikasi atas dua jenis, yaitu: 1 Obyek yang berada pada sistem internal; dan 2 Obyek yang berada pada sistem eksternal. Sistem internal adalah sistem yang mencakup, komponen: 1 Obyek: yaitu narkotika sebagai obyek konsumsi dan pasokan; 2 Subyek, yaitu: pemasok dan pengguna narkotika; dan 3 Proses pasokan atau transaksi narkotika antara pemasok dengan pengguna. Sistem eksternal adalah sistem yang berpengaruh terhadap sistem internal, seperti: keluarga dan lingkungan sosial pengguna; institusi pemerintah dan non- pemerintah yang berw enang dan bertugas atau diberi kew enangan dan diberi tugas untuk melakukan pengaw asan dan tindakan terhadap produsen dan pengedar, yang berw enang atau bertugas melakukan edukasi, pembinaan dan fasilitasi terhadap subyek yang potensian menjadi pengguna dan subyek pengguna, serta lingkungan sosial calon dan pengguna. D. KARAKTERISTIK KONSEP PENGATURAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA Berdasarkan konsep pengaturan itu, maka norma pengaturan pencegahan dan penanganan dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika hendaknya mencakup: 1 Norma yang mengatur sistem internal; 2 Norma yang mengatur sistem eksternal; dan 3 Norma yang mengatur korelasi antara sistem internal dan sistem eksternal. Termasuk kedalam kategori aturan yang mengatur sistem internal adalah: a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika; b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika; dan c Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional. Termasuk kedalam kategori aturan yang mengatur sistem eksternal adalah: a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah; dan b Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib lapor Pecandu Narkotika c Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional. d Instruksi Presiden Inpres No. 12 Tahun 2011 tentang pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba. e Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika. BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN TERKAIT Standar materi bab ini ditentukan di dalam Lampiran I angka 3 UUP3. Bab ini memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan Perundang- undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang- undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Undang- Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Kajian terhadap Peraturan Perundang- undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang ada serta posisi dari Undang-Undang dan Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten Kota yang akan dibentuk. A. KARAKTERISTIK DASAR, RUANG LINGKUP, DAN MATERI KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM MENGATUR PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA Rezim pengaturan tentang pencegahan dan penanganan Narkotika di Indonesia telah ada diatur pada masa sebelum kemerdekaan dan masa sesudah kemerdekaan. Masa-masa sebelum kemerdekaan, diatur dalam beberapa peraturan perundang- undangan yang berlaku, yaitu : 1. masa berlakunya berbagai Ordonantie Regie 2. masa berlakunya Ordonansi Obat Bius Verdovende Midellen Ordonantie , S. 1927 Nomor: 278 jo No. 536 Perlu dideskripsikan lebih lanjut mengenai kebijakan pemerintah Belanda pada masa sebelum proklamasi, terkait dengan upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika, zat adiktif dan obat-obat terlarang lainnya, tertuang dalam beberapa dokumen, yaitu: 1. Morphine Regie O rdonantie Stbl 1911 Nomor 373, Stbl 1911 Nomor 484 dan Stbl 1911 Nomor 485 2. Ooskust Regie Ordonantie Stbl 1911 Nomor 494 dan 644, Stbl 1912 Nomor 255 3. W estkust Regie Ordonantie Stbl 1914 Nomor 562, Stbl 1915 Nomor 245 4. Bepalingen Opium Premien StbI 1916 Nomor 630. 5. ” Verdovende Midellen O rdonantie” StbI 1927 Nomor 278 jo Nomor 536. Verdovende Midellen Ordonantie dibuat pada tanggal 12 Mei 1927 dan mulai berlaku 1 Januari 1928, dalam Lampiran angka 1 telah ditarik 44 perundang- undangan sebelumnya. Tujuan ditariknya perundang-undangan tersebut adalah adanya unifikasi pengaturan narkotika di Hindia Belanda 6. Staatsblad 1949 Nomor 419 tanggal 22 Desember 1949 tentang Sterkwerkendegenees Middelen Ordonantie atau Ordonansi Obat Keras Pada masa berlakunya ordonantie regie , pengaturan narkotika tidak seragam, karena di setiap w ilayah mempunyai ordonantie regie sendiri-sendiri. Beberapa w ilayah yang memiliki Regie Ordonantie, adalah sebagai berikut: 1. Bali Regie Ordonantie 2. Jaw a Regie Ordonantie 3. Riau Regie Ordonantie 4. Aceh Regie Ordonantie 5. Borneo Regie Ordonantie 6. Celebes Regie Ordonantie 7. Tapanuli Regie Ordonantie 8. Timor Regie Ordonantie. Dari beberapa macam regie ordonantie tersebut yang paling tua adalah Bali Regie Ordonantie yang dimuat dalam Stbl 1872 Nomor 76. Dengan demikian menunjukkan bahw a upaya kew aspadaan terdapat narkotika di Bali sudah digalakkan sejak lama. Kemudian pada masa kemerdekaan terdapat beberapa peraturan perundang- undangan, diantaranya: a. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika Diundangkannya Undang-undang No. 9 tahun 1976, tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan lalu lintas dan alat-alat perhubungan serta pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya penyebaran pemasukan narkotika ke Indonesia. Dalam bagian penjelasan umum Undang-Undang ini menentukan bahwa, p eraturan perundang-undangan yang mengatur tentang narkotika sebelum Undang-undang ini berlaku, ialah Verdoovende Middelen Ordonnantie Staatsblad 1927 No. 278 jo No. 536 yang telah diubah dan ditambah, beserta peraturan pelaksanaannya yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan. Ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, berhubung dengan perkembangan lalu-lintas dan adanya alat-alat perhubungan dan pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya penyebaran pemasukan narkotika ke Indonesia, ditambah pula dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang pembuatan obat-obatan, ternyata tidak cukup memadai untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan. Peraturan perundang-undangan tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman karena yang diatur didalamnya hanyalah mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, yang di dalam peraturan itu dikenal dengan istilah Verdoovende Middelen atau obat bius, sedangkan tentang pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak diatur. Di dalam Undang-undang ini diatur pelbagai masalah yang berhubungan dengan narkotika, meliputi pengaturan mengenai : 1 Ketentuan tentang pengertian dan jenis narkotika. 2 Ketentuan tentang kegiatan yang menyangkut narkotika seperti: penanaman, peracikan, produksi, perdagangan, lalu-lintas, pengangkutan serta penggunaan narkotika. 3 Ketentuan tentang w ajib lapor bagi orang atau badan yang melakukan kegiatan-kegiatan sebagai tersebut dalam angka 2. 4 Ketentuan yang mengatur mengenai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan dari perkara yang berhubungan dengan narkotika yang karena kekhususannya dan untuk mempercepat prosedur dan mempermudah penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan, memerlukan penyimpangan dari ketentuan hukum yang berlaku. Meskipun diadakan penyimpangan dan pengaturan khusus, tidak berarti bahw a hak azasi tersangka terdakw a tidak dijamin atau dilindungi, bahkan diusahakan sedemikian rupa, sehingga penyimpangan dan pengaturan khusus itu tidak merupakan penghapusan seluruh hak azasi tersangka terdakw a, melainkan hanya pengurangan yang terpaksa dilakukan demi menyelamatkan bangsa dan negara dari bahaya yang ditimbulkan karena penyalahgunaan narkotika. Ketentuan tersebut antara lain ialah, bahw a dalam pemeriksaan di depan Pengadilan, saksi atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan dilarang dengan sengaja menyebut nama, alamat atau hal lain yang memberi kemungkinan dapat diketahui identitas pelapor Pasal 28. 5 Ketentuan yang mengatur tentang pemberian ganjaran premi. 6 Ketentuan tentang pengobatan dan rehabilitasi pecandu narkotika. 7 Ketentuan lain yang berhubungan dengan kerjasama internasional dalam penanggulangan masalah yang ditimbulkan oleh narkotika. Guna memberikan efek preventif yang lebih tinggi terhadap dilakukannya tindak pidana tersebut, demikian pula untuk memberikan keleluasaan kepada alat penegak hukum dalam menangani perkara tindak pidana tersebut secara efektif, maka ditentukan ancaman hukuman yang diperberat bagi pelaku tindak pidana, lebih-lebih dalam hal perbuatan tersebut dilakukan terhadap atau ditujukan kepada anak-anak dibaw ah umur. Karena Indonesia merupakan negara peserta dari Konvensi Tunggal Narkotika 1961, beserta Protokol yang Mengubahnya, maka ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini telah pula disesuaikan dengan hal-hal yang diatur di dalam Konvensi tersebut. b. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Undang-Undang ini berlaku pada tanggal 1 September 1997 dan dimuat dalam Lembaran negara RI Tahun 1997 No. 3698. adapun yang menjadi latar belakang diundangkannya UU No. 22 Tahun 1997 ini yaitu peningkatan pengendalian dan pengaw asan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Tindak pidana narkotika pada umumnya tidak dilakukan secara perorangan dan berdiri sendiri melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisir secara mantap, rapi dan rahasia. Disamping itu tindak pidana narkoba yang bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil tindak pidana narkoba. Perkembangan kualitas tindak pidana narkoba tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia. Selain itu mengingat bahw a Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 dan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 dengan mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan Undang- undang No. 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika. c. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ini mempunyai cakupan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan peraturan yang pernah ada sebelumnya baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun ancaman pidanan yang diperberat. Dibentuknya Undang-Undang ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan pengendalian danpengaw asan serta meningkatkan upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Disamping itu menyesuaikan dengan ketentuan baru dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran GelapNarkotika dan Psikotropika Tahun 1988 yang telah diratifikasi denganUndang-undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Pembentukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 mempunyai cakupan yang lebih luasbaik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yangdiperberat. Cakupan yang lebih luas tersebut, selain didasarkan padafaktor- faktor di atas juga karena perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahw anilai dan norma dalam ketentuan yang berlaku tidak memadai lagi sebagai saranaefektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelapnarkotika. Beberapa materi baru antara lain mencakup pengaturan mengenai penggolongan narkotika, pengadaan narkotika, label dan publikasi, peran serta masyarakat, pemusnahan narkotika sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, perpanjangan jangka w aktu penangkapan, penyadapan telepon, teknik penyidikan penyerahan yangdiaw asi dan pembelian terselubung, dan permufakatan jahat untuk melakukantindak pidana narkotika. Dalam rangka memberi efek psikologis kepada masyarakatagar tidak melakukan tindak pidana narkotika, perlu ditetapkan ancaman pidanayang lebih berat, minimum dan maksimum, mengingat tingkat bahaya yangditimbulkan akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangatmengancam ketahanan keamanan nasional. d. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika selanjutnya: UU Narkotika dibentuk berdasarkan lima pertimbangan, yaitu: 1 untuk mew ujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya; 2 untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mew ujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; 3 Narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengaw asan yang ketat dan saksama; 4 bahw a mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengaw asan yang ketat dan saksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia; 5 tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut. UU Narkotika merupakan perw ujudan komitmen Pemerintah Indonesia terhadap masyarakat internasional dalam mengambil bagian dalam pemberantasan peredaran dan penyalahgunaan narkotika serta pencegahan dan penanganan dampak peredaran narkotika sebagaimana tindakan politik dalam meratifikasi dua instrumen hukum internasional yang sangat penting dalam soal itu, yaitu: Konvensi Tunggal Narkotika 1961 sebagaimana diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya dan Konvensi PBB tentang Pemerantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika sebagaimana diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988. UU Narkotika mengatur tentang narkotika, pengadaan narkotika untuk pelayanan kesehatan rencana, produksi, penggunaan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyimpanan dan pelaporan, impor dan ekspor izin khusus dan surat persetujuan impor, izin khusus dan surat persetujuan ekspor, pengangkutan, transito, pemeriksaan, peredaran w ajib izin edar, penyaluran, penyerahan, label dan publikasi, prekursor narkotika rencana, pengadaan, pengobatan dan rehabilitasi, pembinaan dan pengaw asan, pencegahan dan pemberantasan kedudukan, tugas, dan w ewenang BNN, proses peradilan, peran serta masyarakat, penghargaan, dan ketentuan pidana. UU Narkotika merupakan undang-undang yang mengatur sanksi pidana dengan pasal-pasal yang paling banyak 38 pasal. UU Narkotika tidak hanya menyediakan sanksi bagi pengedar atau pemakai yang mengedarkan melainkan setiap orang yang terkait dengan peredaran dan penyalahgunaan narkotika secara melaw an hukum, termasuk setiap orang yang secara melaw an hukum memproduksi, mengimpor dan mengekspor, penjual dan perantara, pengedar dan penyalahguna, setiap orang yang secara melaw an hukum mengirim atau mengangkut dan menyediakan transito, setiap orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika, percobaan permufakatan jahat, setiap orang yang menghasut anak dibaw ah umur untuk melakukan perbuatan pidana narkotika, pecandu yang sudah cukup umur, nakhoda dan kapten kapal, setiap orang yang menghalang-halangi penyidikan, setiap orang yang menikmati manfaat dari hasil peredaran atau penyalahgunaan narkotika, pengurus industri farmasi, paramedik, petugas laboratorium, saksi yang member keterangan tidak benar, penyidik kepolisian maupun PPNS, kepala kejaksaan negeri yang tidak menjalankan tugas sesuai hukum, orang asing, dan orang tua w ali pengguna yang sengaja tidak melaporkan pengguna yang menyalahgunakan atau narkotika. Penetapan seluruh ketentuan sanksi itu bertujuan untuk memberantas tindak pidana narkotika. UU Narkotika tidak menetapkan kew enangan tertentu bagi Pemerintah Provinsi untuk mengatur pencegahan, penanganan, dan pemberantasan peredaran dan penlahgunaan narkotika. Namun demikian, UU Narkotika mengalokasikan posisi hukum bagi masyarakat untuk berperanserta dalam pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengatur tentang tata cara pelaksanaan UU Narkotika, mencakup: transito narkotika pelaporan, perubahan negara tujuan, pengemasan kembali, penggantian sarana pengangkut, pengelolaan barang sitaan penyitaan dan penyegelan, penyisihan dan pengujian, penyimpanan, pengamanan dan pengaw asan, penyerahan dan pemusnahan, ganti rugi, pemusnahan narkotika temuan, perlindungan hukum bentuk dan tatacara perindungan, pengehentian perlindungan, hasil tindak pidana narkotika, pembinaan dan pengaw asan. PP lebih banyak mengatur cara pelaksanaan kew enangan Menteri, BNN, dan kepolsian dalam pelaksanaan tugas dan kew enangan masing-masing. PP tidak mengatur kew enangan bagi Pemerintah Provinsi dalam tata cara pelaksanaan UU Narkotika itu. Demikian juga Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2010 Tentan Badan Narkotika Nasional BNN hanya mengatur tentang BNN: kedudukan, tugas, fungsi, dan kew enangan; organisasi BNN; kelompok ahli; w adah peran serta masyarakat; tata kerja; eselonisasi, pengangkatan, dan pemberhentian; dan ketentuan lainnya berkenaan dengan eksistensi BNN sebagai lembaga pemerintah non kementerian yang bertanggungjaw ab langsung kepada Presiden. Tugas BNN mencakup: tugas kebijakan; pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika P4GN; tugas koordinasi dengan kepolisian; tugas rehabilitasi sosial pecandu narkotika; pemberdayaan masyarakat dalam mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika; memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pencegahan penyarahgunaan dan peredaran gelap narkotika; tugas kerjasama; tugas mengembangkan laboratorium; tugas administrasi dan pelaporan; dan tugas lainnya yaitu menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. Perpres juga tidak menyediakan alokasi kew enangan tertentu bagi Pemerintah Provinsi dalam pengaturan P4GN. Kew enangan Pemerintah Provinsi dalam pengaturan P4GN baru disediakan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika selanjutan: Permendagri FP2N. Permen ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, UU Narkotika, Perpres BNN, dan Permendagri Nomor Nomor 41 Tahun 2010 tentang Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2009 tentang Pedoman Kerjasama Departemen Dalam negeri dan Pemerintah Daerah dengan Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Nirlaba Lainnya dalam Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2009 tentang Pedoman Kerjasama Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah dengan Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Nirlaba Lainnya dalam Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri dan Politik Dalam Negeri. Penggantian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya: UU Pemda membuat pengaturan kew enangan Pemerintah Provinsi dalam pengaturan FP2N perlu disesuaikan dengan alokasi kew enangan baru Pemerintah Provinsi. Pasal 9 UU Pemda menentukan bahw a Urusan Pemerintahan terdiri atas: a urusan pemerintahan absolute; b urusan pemerintahan konkuren; dan c urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolute adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kew enangan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten kota. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kew enangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Pasal 11 UU Pemda menentukan bahw a urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kew enangan Daerah terdiri atas: a Urusan Pemerintahan Wajib; dan b Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan Wajib terdiri atas: a Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar; dan b Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar. Pasal 12 UU pemda menentukan bahw a Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi: a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum dan penataan ruang; d. perumahan rakyat dan kaw asan permukiman; e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan f. sosial . Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi: a. tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; c. pangan; d. pertanahan; e. lingkungan hidup; f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g. pemberdayaan masyarakat dan Desa; h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana; i. perhubungan; j. komunikasi dan informatika; k. koperasi, usaha kecil, dan menengah; l. penanaman modal; m. kepemudaan dan olah raga; n. statistik; o. persandian; p. kebudayaan; q. perpustakaan; dan r. kearsipan. Urusan Pemerintahan Pilihan meliputi: a. kelautan dan perikanan; b. pariw isata; c. pertanian; d. kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral; f. perdagangan; g. perindustrian; dan h. transmigrasi. Pasal 13 ayat 3 UU Pemda menentukan bahw a berdasarkan prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional, kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kew enangan Daerah provinsi adalah: a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten kota; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten kota; c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah kabupaten kota; dan atau d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi. Alokasi kew enangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan P4GN ditentukan di dalam Lampiran I huruf F UU Pemda Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten Kota sebagai bagian dari alokasi urusan Pemerintahan bidang sosial. Lapiran I huruf F UU Pemda menentukan bahw a alokasi kew enangan Pemerintah Provinsi dalam penyelenggaraan REHABILITASI SOSIAL bukantidak termasuk bekas korban penyalahgunaan NAPZA , orang dengan Human Immunodeficiency VirusAcquired Immuno Deficiency Sy ndrome yang memerlukan rehabilitasi pada panti . Ketentuan tersebut menunjukkan bahw a alokasi kew enangan Pemerintah Provinsi dalam bidang rehabilitasi sosial tidak mencakup rehabilitasi sosial terhadap bekas korban penyalahgunaan NA PZA Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya. Ketentuan tersebut sepintas terlihat bertolak belakang dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2013 tentang FP2N yang menyediakan kew enangan bagi Pemerintah Provinsi dalam penyelenggaraan P4GN, yaitu terbatas pada FP2N. Pasal 3 Permendagri FP2N menentukan bahw a Gubernur melakukan fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika di provinsi dan kabupaten kota di w ilayahnya. Bupati w alikota melakukan fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika di kabupaten kota. Pelaksanaan fasilitasi dilakukan oleh Kepala SKPD yang terkait dengan pencegahan dan penyalahgunaan narkotika yang dikoordinasikan oleh Kepala SKPD yang membidangi urusan kesatuan bangsa dan politik. Pasal 4 Permendagri FP2N menentukan bahw a Gubernur dan bupati w alikota dalam melakukan fasilitasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4, melaksanakan tugas, antara lain dalam bentuk menyusun peraturan daerah mengenai narkotika. Ketentuan tersebut menunjukkan bahw a Pasal 3 dan Pasal 4 Permendagri FP2N menentukan alokasi kew enangan bagi Pemerintah Provinsi untuk menyelenggarakan P4GN, tetapi terbatas pada FP2N, dan untuk keperluan penyelenggaraan kew enangan itu Pemerintah Provinsi diberi kew enangan untuk membentuk Peraturan Daerah tentang Narkotika. Kew enangan sebagaimana ditentukan di dalam Lampiran I huruf F UU Pemda adalah kew enangan untuk melakukan rehabilitasi sosial dan kew enangan dalam melaksanakan rehabilitasi sosial itu tidak mencakup rehabilitasi sosial terhadap korban penyalahgunaan NAPZA. Rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan NAPZA masuk kedalam kategori kew enangan sebagaimana ditentukan di dalam ketentuan pasal 4 huruf a Permendagri FP2N yang menentukan bahw a fasilitasi sebagaimana diatur di dalam Permendagri FP2N, yang menurut Permen diharuskan diatur melalui Perda, mencakup REHABILITASI terhadap korban NAPSA. Pasal 4 Permendagri selengkapnya menentukan sebagai berikut: Gubernur dan bupati w alikota dalam melakukan fasilitasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4, melaksanakan tugas sebagai berikut: d. menyusun peraturan daerah mengenai narkotika yang memuat sekurang- kurangnya: 1. antisipasi dini; 2. pencegahan; 3. penanganan;

4. rehabilitasi;