Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang PDAM.

(1)

S U R AT P E R IN T AH K E R J A :

D P R D K L U N GK U N G : S E K W AN :0 2 7 / V/ B AG.H U K U M/ K P A/ S E T W AN / 2 0 1 5 F H U N U D : 1 7 5 2 A/ U N .1 4 .1 .1 1 / K S .0 0 .0 0 / 2 0 1 5


(2)

TIM PENYUSUN:

1.

Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH, M.Hum

2.

Dr. I Nyoman Suyatna, SH,MH

3. Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH,MH


(3)

DAFTAR I SI

TI M PENYUSUN KATA PENGANTAR DAFTAR I SI

BAB I . PENDAHULUAN

A. URGENSI NASKAH AKADEMI K DALAM PERANCANGAN PRODUK HUKUM DAERAH

1

B. LATAR BELAKANG MASALAH 11

C. I DENTI FI KASI MASALAH 53

D. TUJUAN DAN KEGUNAAN NASKAH AKADEMI K 54

E. METODE 55

1. Tipe Penelitian 55

2. Pendekatan Masalah 59

3. Bahan Penelitian 60

4. Langkah Penelitian 61

5. Analisis Hasil Penelitian 66

6. Desain Penelitian

BAB I I . KAJI AN TEORITI S DAN PRAKTI K EMPI RIS 67

A. KERANGKA TEORI TI K PERUBAHAN PERDA PENDIRI AN PDAM 1. Teori Validitas Norma

2. Teori Badan Hukum

3. Teori Legislasi, Fungsi, dan Tujuan Hukum

4. Teori Koherensi dan Norma Sebagai Suatu Sistem 5. Teori Perancangan Norma Produk Legislasi

B. KARAKTERI STI K PDAM KLUNGKUNG 1. Karaktersitik Pasar PDAM

2. Karakteristik Sumberdaya PDAM 3. Karakteristik Kelembagaan PDAM 4. Karakteristik Produk PDAM


(4)

5. Karakteristik Pengelolaan PDAM

C. KARAKTERI STI K MASALAH PDAM

1. Masalah Kebutuhan dan Daya Beli Pasar PDAM 2. Masalah Sumber Daya PDAM

3. Masalah Kelembagaan PDAM 4. Karakteristik Masalah Produk PDAM 5. Karakteristik Masalah Pengelolaan PDAM

6. Karakteristik Masalah Konstruksi Norma Pengaturan PDAM D. KARAKTERI STI K KEBUTUHAN PEMECAHAN MASALAH PDAM E. KARAKTERI STI K KONSEP PENGATURAN PDAM

F. KARAKTERI STI K KONSTRUKSI NORMA YANG DI BUTUHKAN UNTUK MEMECAHKAN MASALAH PDAM

BAB I I I . DASAR, RUANG LINGKUP, DAN MATERI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN KLUNGKUNG DALAM PENGATURAN PDAM

75

A. KARAKTERI STI K PENGATURAN PDAM 1. Landasan Konstitusional

2. Pengaturan oleh Pemerintah

3. Pengaturan oleh Pemerintah Daerah 4. Pelingkupan Materi Pengaturan

B. KARAKTERI STI K DASAR, RUANG LI NGKUP, DAN MATERI KEWENANGAN PEMERI NTAH KABUPATEN KLUNGKUNG DALAM MENGATUR PDAM 1. Undang-Undang Nomor [ ] Tentang Pemerintahan Daerah 2. Undang-Undang BUMD

BAB I V. LANDASAN FI LOSOFIS, SOSI OLOGI S, DAN YURI DI S 86

A. LANDASAN FI LOSOFI S

1. Landasan Filosofis Hukum

2. Landasan Filosofis Keilmuan I lmu Hukum


(5)

C. LANDASAN YURI DI S D. KONSTRUKSI JUDUL

E. KONSTRUKSI KONSI DERANS MENI MBANG F. KONSTRUKSI KONSI DERANS MENGINGAT

G. KONSTRUKSI MATERI DAN NORMA PENGATURAN PDAM 1. Konstruksi Azas Pengaturan

2. Konstruksi Materi Pengaturan

BAB V. KESI MPULAN DAN SARAN 86

A. SI MPULAN B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPI RAN

LAMPI RAN 1: RANPERDA PDAM LAMPI RAN 2: SPK


(6)

BAB I PENDAHULUAN

F.

URGENSI NASKAH AKADEMIK DALAM PERANCANGAN PRODUK HUKUM

DAERAH

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan mendefinisikan Naskah Akademik (NA) sebagai naskah hasil

penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu

masalah tertentu yang dapat dipertanggungjaw abkan secara ilmiah mengenai

pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan

Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota, sebagai

solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

Naskah Akademik dalam perancangan produk legislasi diperlukan untuk

dua alasan:

pertama

, untuk memenuhi persyaratan epistemelogi dalam perancangan

norma; dan

kedua

, untuk mencegah berbagai masalah fungsi dan pew ujudan tujuan

norma yang timbul akibat kekosongan landasan tersebut.

Syarat epistemelogi perancangan norma mencakup: (a) syarat obyektivitas;

(b) syarat rasionalitas; dan (c) syarat kontekstual. Pemenuhan ketiga syarat ini

bertujuan untuk mencegah problem obyektivitas norma, problem rasionalitas

norma, dan problem kontekstual norma. Problem obyektivitas norma adalah

problem obyektif-tidaknya atau sesuai/ tidak konstruksi (struktur dan rumusan)

norma dengan karakter obyek pengaturan yang diatur dalam norma. Problem

obyektivitas norma muncul dari akibat kelemahan kapasitas epistemelogis


(7)

perancang produk legislasi dan intervensi kepentingan legislator atau pihak lainnya

terhadap produk legislasi yang dirancang.

Problem rasionalitas norma adalah problem valid-tidaknya norma

berdasarkan uji keberdasaran, uji kebersumberan, dan uji konsistensi antara norma

produk legilasi dengan norma peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

yang menjadi dasar atau sumber dari norma produk yang dibentuk. Problem

rasionalitas norma juga menyangkut w ajar/ tidaknya dan adil/ tidaknya norma

suatu produk legislasi diukur dari persyaratan moral, nilai sosial budaya,

kemanusiaan, dan nilai-nilai historis politik, sosial, dan ekonomi yang dianut

Negara (ideologi) dan masyarakat. Problem kontekstual norma adalah problem

sesuai/ tidaknya norma dengan ekspektasi masyarakat, yaitu harapan masyarakat

yang merupakan hasil dari proses atau interaksi komunitas. Landasan teoritik

mencakup konstruksi teori, konsep, dan persyaratan landasan lainnya yang

dipersyaratkan sebagai landasan dalam perancangan struktur dan rumusan norma.

Hakekat naskah akademik dalam perancangan produk legislasi adalah landasan

teoritik perancangan produk tersebut.

Dalam perancangan produk legislasi daerah, landasan demikian itu

dipersyaratkan dalam bentuk persyaratan pengadaan naskah akademik, yaitu suatu

naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum yang diselenggarakan dalam rangka

perancangan suatu produk legislasi. Lampiran I angka 1 Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan

bahw a naskah akademik adalah hasil penelitian atau pengkajian hukum yang dapat

dipertanggungjaw abkan secara ilmiah, terhadap suatu masalah tertentu dalam


(8)

rangka pengaturan masalah tersebut melalui Undang-Undang atau Peraturan

Daerah sebagai solusi terhadap masalah tersebut dan bentuk upaya untuk

memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Pengertian ini melahirkan konsep,

bahw a naskah akademik merupakan:

a.

naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum;

b.

penelitian terhadap masalah tertentu dan solusinya;

c.

hasil penelitian dan pengkonstruksian masalah dan pemecahannya merupakan

bahan untuk mengkonstruksikan norma hukum untuk mengatur masalah dan

pemecahan masalah tersebut; dan

d.

dapat dipertanggungjaw abkan secara ilmiah.

Definisi tersebut mengandung konsep bahw a suatu penelitian hukum dalam

penyusunan naskah akademik merupakan penelitian yang diselenggarakan karena

ada suatu masalah yang memerlukan pemecahan dan pemecahan masalah itu hanya

dapat dilakukan melalui pengaturan (hukum). Karena itu, suatu penelitian hukum

yang diselenggarakan dalam rangka penyusunan naskah akademik haruslah

dimulai dengan eksplorasi dan pendeskripsian masalah yang sedang dihadapi

masyarakat, untuk kemudian diidentifikasi dan didefinisikan, selanjutnya dicarikan

konstruksi teoritik pemecahannya. Hasil pemecahan masalah ini digunakan sebagai

bahan dan dasar pengkonstruksian norma untuk mengendalikan potensi dan

mengatur penyelenggaraan pemecahan masalah tersebut.

Berdasarkan ketentuan dan konsep tersebut, materi penelitian ini disusun

berdasarkan model konstruksi penelitian untuk pemecahan masalah (

problem solving based

) sesuai dengan epistemelogi perancangan produk legislasi yang berkembang


(9)

sangat pesat belakangan ini. Penelitian hukum dalam penyusunan naskah ini

difokuskan pada obyek-obyek berikut:

a.

Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung No. 11 Tahun 1990 Pendirian

PDAM dengan peraturan perundang-undangan yang baru.

b.

Dampak penyelenggaraan tugas dan w ew enang PDAM apabila Peraturan

Daerah Kabupaten Klungkung No. 11 Tahun 1990 Pendirian PDAM tidak

direvisi.

Konstruksi korelasi obyek penelitian dengan hasil dan kegunaan hasil

penelitian dalam penyusunan naskah akademik ini dapat digambarkan sebagai

berikut:

KONSTRUKSI KORELASI OBYEK PENELITIAN DENGAN HASIL DAN

KEGUNAAN HASIL PENELITIAN

NO OBYEK PENELITIAN HASIL YANG DIHARAPKAN

KEGUNAAN HASIL PENELITIAN 1 PERATURAN DAERAH

KABUPATEN KLUNGKUNG

TENTANG PENDIRIAN PDAM

Deskripsi tentang urgensi perubahan PDAM

Memberikan

penjelasan perlunya perubahan Peraturan Daerah

2 DAMPAK

PENYELENGGARAAN

TUGAS DAN

WEWENANG PDAM APABILA PERATURAN DAERAH NO. 11 TAHUN 1990 TIDAK DIREVISI.

Deskripsi tentang dampak negatif pelayanan PDAM dengan tidak dirubahnya Peraturan Daerah No. 11 Tahun 1990.

Dasar Argumentasi masalah-masalah dalam

penyelenggaraan pelayanan PDAM yang belum optimal di Kab. Klungkung.

Untuk keperluan pertanggungjaw aban ilmiah, penelitian hukum dalam

rangka penyusunan naskah ini menggunakan pendekatan hukum normatif


(10)

(

structural normative approach

),

1

hukum fungsional (

functional approach

)

2

dan

pendekatan

hukum

dengan

orientasi

kebijakan

(

policy-oriented approach

).

3

Penggunaan pendekatan ini mencakup penggunaan teori, konsep, metode

penelitian, dan model analisis yang dibangun berdasarkan pendekatan tersebut.

Lampiran I angka 2.1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menentukan

bahw a bagian Pendahuluan suatu naskah akademik memuat latar belakang, sasaran

yang akan diw ujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode

penelitian. Berdasarkan ketentuan tersebut, bagian Pendahuluan dari Naskah

Akademik ini secara berturut-turut menyajikan:

a.

latar belakang masalah dan sasaran yang akan diw ujudkan;

b.

identifikasi masalah;

c.

tujuan dan kegunaan penyusunan landasan teoritik; serta

d.

metode penelitian.

Lampiran I angka 2.1.A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menentukan

bahw a latar belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya penyusunan

naskah akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah

tertentu. Latar belakang menjelaskan mengapa pembentukan Peraturan Daerah

memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai

teori atau pemikiran ilmiah

yang berkaitan dengan

materi muatan

Rancangan Peraturan

1 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Transaction Publishers, New Brunswick, 2006,

h. 29.

2George Whitecross Paton, A Text-Book of Jurisprudence, Clarendon Press, Oxford, 1951, h. 20. 3 Lihat: lung-chu Chen, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented Perspective, Yale University Press, New York, 1989, h. ix. Lihat Juga: Myres S. McDougal and W. Michael Reisman, International Law in Policy-Oriented Perspective, dalam R. St. Johnston and J. Macdonald Douglas, The Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy, Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague, 1983, h. 103.


(11)

Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada

penyusunan

argumentasi filosofis, sosiologis

serta

yuridis

guna mendukung perlu

atau tidak perlunya penyusunan Rancangan Peraturan Daerah.

Lampiran I angka 1.B. menentukan bahwa identifikasi masalah memuat

rumusan mengenai masalah apa yang akan ditemukan dan diuraikan dalam naskah

akademik. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam suatu naskah akademik

mencakup 4 (empat) elemen pokok masalah, yaitu:

a.

Permasalahan apa yang dihadapi dalam pelaksanaantugas dan kew enangan dari

PDAM selama ini.

b.

Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah Perubahan Atas Pendirian PDAM

sebagai dasar pemecahan masalah tersebut.

c.

Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis

pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah,

dalam hal ini Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang

Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian

Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.

d.

Apa sasaran yang akan diw ujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan

arah pengaturan dari pengaturanRancangan Peraturan Daerah Kabupaten

Klungkung tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990

tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II

Klungkung.


(12)

Lampiran I angka 1.C. menentukan bahw a tujuan dan kegunaan penyusunan

naskah akademik sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang

dirumuskan sebagai berikut:

a.

Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi

PDAM Kabupaten Klungkung selama ini.

b.

Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan

Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar

hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa,

bernegara, dan bermasyarakat, dalam hal ini permasalahan hukum yang

dihadapi sebagai alasan pembentuk Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten

Klungkung tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990

tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II

Klungkung.

c.

Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis

pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah,

dalam hal ini Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang

Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian

Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.

d.

Merumuskan sasaran yang akan diw ujudkan, ruang lingkup pengaturan,

jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang atau

Rancangan Peraturan Daerah, dalam hal ini sasaran yang akan diw ujudkan,

ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan

Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perubahan Atas Peraturan


(13)

Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum

Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.

Kegunaan penyusunan naskah akademik adalah sebagai acuan atau referensi

penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, dalam hal ini

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perubahan Atas

Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air

Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.

Lampiran I angka 1.D. menentukan bahw a penyusunan naskah akademik

pada dasarnya merupakan kegiatan penelitian yang harus diselenggarakan

berdasarkan metode penyusunan naskah akademik yang berbasis pada metode

penelitian hukum.Penelitian hukum dapat dilakukan dengan menggunakan metode

yuridis normatif dan metode yuridis empiris.Metode yuridis empiris dikenal juga

dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi

pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder berupa Peraturan

Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya,

serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis

normatif dapat dilengkapi dengan w aw ancara, diskusi (

focus group discussion, FGD

),

dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah

penelitian yang diaw ali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap

Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang

mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor non

hukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan

Perundang-undangan yang diteliti. Berdasarkan dua model metode itu, metode penelitian yang


(14)

digunakan di dalam penyusunan buku ini adalah penelitian hukum normatif

dengan menggunakan pendekatan hukum normatif struktural, pendekatan hukum

normatif fungsional, dan pendekatan hukum dengan orientasi kebijakan.

Berdasarkan standar normatif itu, bagian Pendahuluan dari Naskah

Akademik ini menyajikan:

a.

latar belakang masalah;

b.

identifikasi masalah;

c.

tujuan dan kegunaan penyusunan landasan teoritik; dan

d.

metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan landasan teoritik.

G.

LATAR BELAKANG MASALAH

Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Klungkung adalah perusahaan

daerah milik Pemerintah Daerah Kabupaten Klungkung yang didirikan berdasarkan

Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian

Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung

(selanjutnya: Perda PDAM 1990). Perusahaan daerah ini menyelenggarakan

pelayanan air bersih di Kabupaten Klungkung dengan menggunakan sumber daya

air yang

dimiliki

oleh Pemerintah Kabupaten Klungkung. Total pelanggan yang

dilayani Perusahaan Daerah Air Minum Klungkung (selanjutnya: PDAM), data

pelanggan per 2013, adalah 23.176 pelanggan, tersebar di empat kecamatan.

Produksi air bersih per tahun 2013 adalah 9.567.350 m

3

dengan jumlah tersalur ke


(15)

kecamatan Banjarangkan 782.316 m3, kecamatan Klungkung 3.056.026 m3 dan

kecamatan Daw an 671.841 m3.

4

Perda PDAM 1990 mengatur tentang: pendirian, tempat kedudukan, organ

perusahaan, tugas dan wew enang organ perusahaan, pengangkatan dan

pemberhentian, dan kepegaw aian [Pasal 2, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 16, Pasal 25 dari

Peraturan Daerah No. 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air

Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung). Perda ini telah berlaku selama 25

(dua puluh lima) tahun, sementara itu kehidupan sosial masyarakat telah berubah,

demikian juga berbagai aspek dari kehidupan itu, sehingga keberadaan Perda ini

perlu disesuaikan dengan perubahan itu. Alasan perubahan ini juga berasal dari

kehadiran berbagai produk peraturan perundang-undangan yang baru, seperti:

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 tentang banetuk Hukum

Badan Usaha Milik Daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya

Air yang bahkan telah dibatalkan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor

85/ PUU-XI/ 2013,

5

Peraturan Menteri BUMN Nomor: Per-01/ MBU/ 2011 tentang

Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik

(Good Corporate Governance)

Pada

Badan Usaha Milik Negara, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun

2007 tentang Organ dan Kepegaw aian PDAM, yang mengakibat Perda PDAM 1990

memerlukan penyesuaian terutama karena: (a) alasan validitas Perda, yang lebih

jauh berpengaruh terhadap validitas tindakan perusahaan; dan (b) kinerja

4Ibid

5 Pembatalan ini memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang


(16)

perusahaan dalam mw ujudkan tujuan-tujuan pengelolaan air minum berdasarkan

berbagai regulasi yang baru.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 tahun 2007 tentang Organ dan

Kepegaw aian PDAM mengatur berbagai ketentuan baru tentang organ perusahaan

dan kepegaw aian, seperti: komponen organ perusahaan; dasar penentuan jumlah

Direksi dan Dew an Pengaw as, yang sekaligus mengubah nomenklatur Badan

Pengaw as menjadi Dew an Pengaw as; persyaratan, pengangkatan, masa jabatan, dan

pemberhentian Direksi dan Dew an Pengaw as; tugas w ew enang Direksi dan Dew an

Pengaw as; kepegaw aian; persyaratan, mengangkatan, dan pensiun pegaw ai;

penghasilan dan tunjangan Direksi, Dew an Pengaw as, dan Pegawai; dan materi

lainnya yang jauh berbeda dengan komponen, tugas, dan kew enangan organ

perusahaan sebagaimana diatur di dalam Perda PDAM 1990.

Untuk alasan demikian itu, Dew an Perw akilan Rakyat Daerah Klungkung

memandang perlu melakukan perubahan terhadap Perda PDAM 1990, mencakup 5

(lima) alasan:

pertama

, pelayanan pengadaan air minum merupakan salah satu

upaya pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yang perlu diselenggarakan dengan baik

agar kebutuhan rakyat demikian itu dapat terpenuhi dengan baik;

kedua

,

pemenuhan kebutuhan rakyat terhadap air minum dan pelayanan pengadaan air

minum merupakan bagian dari kew ajiban konstitusional Pemerintah Daerah dalam

menyelenggarakan pelayanan public dalam pemenuhan hak-hak konstitusional

rakyat atas pemenuhan kebutuhan dasar;

ketiga

, Perda PDAM 1990 ditetapkan pada

tahun 1990 dan telah berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun sehingga tidak

mampu lagi memenuhi berbagai kebutuhan yang timbul dari akibat perubahan


(17)

sosial dan perubahan kebutuhan masyarakat yang berkembang sangat pesat dan

bersifat multidimensional;

keempat

, selama dua puluh lima tahun itu telah terbit

berbagai produk regulasi yang berpengaruh terhadap validitas Perda PDAM 1990,

yang lebih jauh berpengaruh terhadap validitas tindakan PDAM sebagai perusahaan

daerah, yang potensial menimbulkan berbagai masalah hukum yang dapat

mempenagruhi kinerja dan akuntabilitas perusahaan;

kelima

, PDAM sebagai

satu-satunya perusahaan daerah yang bergerak dalam bidang pelayanan pengadaan air

bersih harus mampu menyelenggarakan pelayanan publik dalam bidang pengadaan

air bersih sesuai dengan harapan masyarakat berdasarkan kinerja yang memenuhi

syarat tata kelola perusahaan yang baik (

good coprporate governance

), sehingga

pelayanan pengadaan air minum dapat menyeimbangkan kepentingan antara

perlindungan dan ketersediaan sumber daya air dalam rangka penyelenggaraan

pelayanan yang berkelanjutan dengan kebutuhan air minum masyarakat pada sisi

lainnya. Lima alasan itu merupakan alasan mendasar yang mendorong Dew an

Perw akilan Rakyat Daerah Kabupaten Klungkung mengusulkan perubahan Perda

PDAM 1990.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan menentukan berbagai persyaratan dalam pembentukan dan

perubahan peraturan perundang-undangan, antara lain:

(a)

syarat kajian teoritik dan praktik empiris;

(b)

syarat analisis peraturan perundang-undangan;

(c)

syarat landasan filosofis, sosilogis, dan yuridis;


(18)

(d)

syarat jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan

undang-undang, peraturan daerah provinsi, atau peraturan daerah.

Pemenuhan syarat-syarat itu bertujuan untuk:

(a)

pencegahan problem epistemelogis perancangan produk hukum daerah;

(b)

mencagah masalah validitas, kekosongan dan tumpang tindih kew enangan;

(c)

mencegah masalah legitimasi dan validitas produk hukum daerah; dan

(d)

mencegah problem fungsi dan pew ujudan tujuan produk hukum daerah yang

dibentuk.

Berdasarkan persyaratan dan tujuan pemenuhan persyaratan itu, maka

penelitian dalam penyusunan naskah kademik ini diarahkan pada penelitian

terhadap empat masalah, yaitu:

(a)

landasan teoritik dan praktik empiris sebagai landasan perubahan Perda PDAM

1990;

(b)

dasar kew enangan, lingkup materi kew enangan, dan materi kew enangan

Pemerintah Kabupaten Klungkung dalam melakukan perubahan terhadap Perda

PDAM 1990 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(c)

landasan filosofis, sosilogis, dan yuridis perubahan Perda PDAM 1990; dan

(d)

jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Perda PDAM

yang akan dibentuk.

H.

IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang demikian itu, maka penelitian hukum dalam rangka

penyusunan naskah akademik ini akan difokuskan empat rumusan masalah, yaitu:


(19)

a.

Bagaimanakah landasan teoritik dan praktik empiris sebagai landasan

perubahan Perda PDAM 1990?

b.

Bagaimanakah dasar kew enangan, lingkup materi kew enangan, dan materi

kew enangan Pemerintah Kabupaten Klungkung dalam melakukan perubahan

terhadap Perda PDAM 1990 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku?

c.

Bagaimanakah landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis perubahan Perda

PDAM 1990?

d.

Bagaimanakah jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan

Perda PDAM yang akan dibentuk?

I.

TUJUAN DAN KEGUNAAN NASKAH AKADEMIK

Penyusunan naskah akademik ini bertujuan untuk memberikan landasan ontologis,

epistemelogis dan aksiologis terhadap Perda yang akan dirancang. Karena itu,

tujuan penelitian dalam penyusunan naskah akademik ini mencakup:

(1)

Merumuskan landasan teoritik dan praktik empiris sebagai landasan perubahan

Perda PDAM 1990.

(2)

Merumuskan dasar kew enangan, lingkup materi kew enangan, dan materi

kew enangan Pemerintah Kabupaten Klungkung dalam melakukan perubahan

terhadap Perda PDAM 1990 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

(3)

Merumuskan landasan filosofis, sosilogis, dan yuridis perubahan Perda PDAM

1990.


(20)

(4)

Merumuskan jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan

Perda PDAM yang akan dibentuk.

Kegunaan hasil penelitian ini adalah ketersediaan informasi dan bahan-bahan

penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang

Perusahaan Daerah Air Minum.

J.

METODE

1.

Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan tipe penelitian hukum normatif, yaitu suatu

penelitian yang memfokuskan penelitian terhadap masalah hukum dalam sifat

tektualnya. Penelitian ini mencakup penelitian terhadap masalah norma hukum,

baik asal-usul, konstruksi normanya, validitas, keberadaannya dalam korelasi

dengan norma lainnya, maupun penerapan dan penegakannya. Penelitian ini

memfokuskan penelusuran terhadap beberapa aspek norma, yaitu:

a.

dasar pengkonstruksian norma, konsep pengkonstruksian norma;

b.

aspek dasar kew enangan; dan

c.

aspek pengkonstruksian norma.

Aspek yang pertama mencakup: penelitian terhadap urgensi perubahan

Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah

Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung serta pengkajian tentang

masalah dampak tidak dirubahnya Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990


(21)

tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II

Klungkung.

Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif dalam cakupan

meliputi ketiga variannya, yaitu: penelitian hukum normatif struktural,

penelitian hukum normatif fungsional, dan penelitian hukum normatif

kontekstual. Obyek penelitian ini adalah karakteristik obyek pengaturan dan

masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkoba sebagai dasar

pengkonstruksian konsep pengaturan dan pengkonstruksian norma pengaturan

yang diasumsikan sebagai faktor penentu fungsi dan keberhasilan fungsi dalam

mew ujudkan tujuan hukum. Dengan demikian, kendatipun memusatkan

penelitian dan pembahasan pada norma, penelitian ini bukanlah penelitian

hukum normatif sebagaimana diperkenalkan oleh Kelsen (

normative structural

),

melainkan kombinasi antara penelitian hukum normatif dalam pengertian

hukum normatif struktural, hukum normatif fungsional sebagaimana

diperkenalkan oleh Pound (

normative functional

), dan hukum normatif

kontekstual sebagaimana diperkenalkan oleh McDougal. Model penelitian

McDougal dipergunakan sebagai instrument untuk meneliti karakteristik obyek

penelitian, termasuk karakteristik masalah pengelolaan, karakteristik kebutuhan

pemecahan masalah pengelolaan, dan kebutuhan konsep pengaturannya. Model

penelitian Kelsen digunakan dalam mengidentifikasi kew enangan, dan model

penelitian Pound digunakan dalam mengidentifikasi karakteristik konstruksi

struktur dan substansi norma pengaturan.


(22)

Penelitian ini berinduk pada penelitian hukum fungsional (

functional research of law

) atau penelitian hukum normatif fungsional (

normative functional

)-nya

Roscoe Pound

6

dan McDougal dalam kombinasi dengan model penelitian

hukum normatif strukturalnya Kelsen. Esensi model penelitian Pound dan

McDougal adalah korelasi antara obyek pengaturan dengan konsep dan

konstruksi norma pengaturan sebagai aspek-aspek norma yang satu sama lain

saling mempengaruhi dan menentukan fungsi dan capaian tujuan hukum.

Konsistensi antara keseluruhan aspek itu merupakan dasar untuk menghasilkan

produk hukum yang berkualitas dan mengemban fungsi–fungsinya, dan fungsi

hukum yang berkualitas merupakan dasar pew ujudan tujuan hukum secara

baik. Sementara esensi model penelitian Kelsen adalah model uji validitas, yaitu

uji terhadap keberdasaran pada dan kebersumberan norma kepada norma yang

lebih tinggi yang akan menentukan validitas norma yang dibentuk.

Bentuk penelitian ini, dengan demikian, adalah:

a.

uji konsistensi konsep pengaturan, konstruksi struktur dan substansi norma

pengaturan dengan karakteristik obyek pengaturan dan karakteristik

kebutuhan pengaturan; dan

b.

konstruksian dasar dan substansi kew enangan pengaturan sebagai instrumen

uji validitas terhadap konstruksi norma dalam pengaturan Rancangan

6 Ibid. Di Indonesia, model ini diperkenalkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan namape nelitian hukum pembangunandan pembangunan hukum. Di Amerika, model ini dikembangkan oleh Myres S. McDougal dan Harold D. Lasswell dengan nama ” model penelitian hukum dengan orientasi kebijakan hukum” (a policy-oriented approach), yang kemudian dipopulerkan oleh para penganut aliran New Heaven School. Bandingkan: Lung-chu Chen, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented Perspective, Yale University Press, New York, 1989, h. ix. Baca juga: Myres S. McDougal and W. Michael Reisman, International Law in Policy-Oriented Perspective, dalam R. St Johnston and J. Macdonald Douglas, The Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy, Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague, 1983, h. 103.


(23)

Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan Daerah Air

Minum;

2.

Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif fungsional

(

functional normative approach

), normatif struktural (

structural normative approach

),

dan normatif konstruktif dan kontekstual (

policy-oriented research

).

7

Pendekatan

ini merupakan pendekatan penelitian hukum yang seharusnya digunakan

dalam proses legislasi di Indonesia mengingat kultur hukum Indonesia (

civil law system

) dan kebutuhan-kebutuhan pengaturan yang lebih obeyktif dan

kontekstual.

Fungsi pendekatan tersebut dalam pelaksanaan penelitian ini adalah:

a.

Pendekatan hukum kontekstual digunakan dalam penelitian terhadap

karakteristik obyek penelitian, karakteristik masalah pengelolaan obyek,

karakteristik kebutuhan pemecahan masalah pengelolaan obyek, dan

karakteristik konsep pengaturan obyek;

b.

Pendekatan hukum normatif struktural digunakan sebagai dasar untuk

menjelaskan dasar, ruang lingkup dan substansi kew enangan Pemerintah

7 Pendekatan hukum dengan orientasi kebijakan melihat hukum sebagai bagian proses

otoritatif pengambilan kebijakan yang berkelanjutan (continuing otoritative process of decision making) dimana substansi hukum dipandang sebagai bentuk transformasi substansi kebijakan yang ada dan diciptakan mendahului hukum, yang pada gilirannya akan menjadi sumber dari hukum dan kebijakan organik dan teknis yang akan dilahirkannya. Penguatan fungsi hukum, menurut pendekatan ini, dapat dilakukan melalui pengendalian substansi kebijakan atau hukum dalam proses kebijakan atau proses hukum. Pengendalian ini dilakukan dengan cara melakukan analisis konstruktif

dan kontekstual terhadap bahan-bahan substansi kebijakan. Hubungan hukum dengan kebijakan dipandang sebagai suatu bentuk korelasi berkesinambungan dari tahap input, proses, output, dan


(24)

Daerah dalam melakukan pengaturan terhadap perubahan atas Peraturan

Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air

Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.

c.

Pendekatan hukum normatif konstruktif dan fungsional digunakan sebagai

dasar untuk menjelaskan korelasi konstruksi struktur dan substansi norma

dengan konstruksi konsep pengaturan, korelasi konstruksi konsep

pengaturan dengan karakteristik kebutuhan pengaturan, dan korelasi

kebutuhan pengaturan dengan karakterisitik obyek pengaturan dan

karakteristik masalah pengelolaan obyek pengaturan.

3.

Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan ketiga jenis bahan hukum, yaitu: bahan hukum

primer (

primary legal source

), bahan hukum sekunder (

secondary legal materials

).

Bahan hukum primer (domestik) yang digunakan mencakup:

undang-undang (

statutes passed by legislatures

); peraturan atau keputusan-keputusan

pemerintah (

decrees and orders of executives

); kebijakan atau keputusan

administratif yang dibuat oleh lembaga-lembaga administratif (

regulations and rulings of administrative agencies

).

Bahan hukum sekunder domestik yang digunakan, mencakup: literatur

standar (

text-books

); risalah-risalah hukum (

treatises

);

commentaries; restatements;

terbitan-terbitan hukum periodik yang digunakan sebagai acuan bagi praktisi,

pengajar, dan mahasisw a (

periodicals which explain and describe the law for the practicioner, the scholar and the student

)..


(25)

Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada perpustakaan umum dan

perpustakaan hukum, seperti: Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Udayana dan ekplorasi melalui internet.

4.

Langkah Penelitian

Penelitian hukum dengan orientasi kebijakan (

configurative approach

) memiliki

beberapa ciri-ciri sebagai berikut:

(1)

bahw a penelitian pertama-tama harus menentukan titik pijak penelitian

dalam perspektif manusia sebagai suatu keseluruhan, memisahkan titik pijak

antara penelitian yang dilakukan oleh akademisi dan pembuat kebijakan, dan

untuk tujuan penyadaran, termasuk juga proses pengambilan kebijakan,

mengembangkan teori tentang hukum (

theory about law

), dan tidak

semata-mata teori hukum (

not merely theory of law

);

(2)

harus membuat peta penelitian, baik yang sifatnya menyeluruh maupun

khusus, berkenaan dengan suatu kebijakan otoritatif yang efektif untuk suatu

proses komunitas dan masyarakat yang lebih luas yang mendapat pengaruh

dari kebijakan tersebut atau sebaliknya mempengaruhi kebijakan tersebut;

(3)

harus merumuskan seperangkat nilai tujuan yang komprehensif dari

ketentuan hukum, yang dapat diw ujudkan dalam konteks proses sosial,

dalam tingkatan abstraksi dan ketepatan apapun yang mungkin diperlukan

dalam penelitian maupun perumusan kebijakan;

(4)

harus memerinci seluruh cakupan tugas-tugas intelektual yang diperlukan

untuk proses pemecahan masalah berkenaan dengan hubungan saling

mempengaruhi

antara

hukum

internasional

dengan

proses

sosial


(26)

internasional, dan harus menentukan prosedur-prosedur ekonomi yang

bersifat khusus dan efektif untuk setiap kerja tersebut.

8

Penentuan titik pijak penelitian sangat penting untuk memudahkan

perumusan masalah, perumusan tujuan, dan pelaksanaan tugas-tugas

keintelektualan, untuk menjaga keutuhan penelitian. Pembuatan peta

penelitian yang komprehensif namun tetap memperhatikan detail, sangat

penting untuk memudahkan peneliti merumuskan fokus utama penelitian,

cara memandang hukum dan cara menempatkannya dalam konteks proses

sosial, karena akan sangat mempengaruhi cara merumuskan masalah,

penentuan prioritas masalah yang akan diteliti, dan menentukan tugas

intelektualitas yang hendak dipikul dalam kaitan dengan pengembangan

keilmuan dan pemecahan suatu masalah. Perumusan tujuan pengaturan

publik yang bersifat mendasar dan mempunyai sifat nyata sangat penting

untuk menentukan bahw a suatu penelitian kebijakan dan hukum dilakukan

untuk kepentingan bersama dan keadilan bagi masyarakat sebagai suatu

keseluruhan, bukan untuk kepentingan komunitas yang lebih besar atau yang

lebih kecil, komunitas yang lebih kuat atau lebih lemah. Penentuan

tanggungjaw ab intelektual sangat penting untuk efek praktis dan pemecahan

masalah dari hasil penelitian tersebut dalam rangka perlakuan kebijakan dan

hukum yang lebih efektif dalam proses sosial.

MacDougal merumuskan lima tahap penelitian hukum dengan orientasi

kebijakan yaitu:

8Macdougald, op.cit, h. 114.


(27)

(1)

klarifikasi tujuan (

goal clrarification

);

(2)

pendeskripsian kecenderungan kebijakan masa lalu (

the description of past trends in decision

);

(3)

pengidentifikasian faktor-faktor yang berpengaruh (

identification of conditioning factors

);

(4)

analisis dan perumusan proyeksi dan prediksi (

projection and prediction

);

(5)

penemuan dan evaluasi alternatif kebijakan (

the invention and evaluation of

policy alternatives

).

9

Model tersebut mencakup 3 ciri dasar, yaitu:

(1)

klarifikasi tujuan, yang mencakup: pemetaan latar belakang masalah,

pelingkupan dan perumusan masalah, dan perumusan tujuan penelitian;

(2)

pendeskripsian kondisi kebijakan yang sedang berlaku;

(3)

analisis, perumusan hasil, dan penemuan alternatif pemecahan masalah.

Model tersebut dapat ditransformasikan kedalam model penelitian hukum

dan kebijakan, baik yang mempunyai sifat murni internasional, nasional,

maupun yang menunjukkan sifat campuran diantara keduanya. Model

penelitian hukum dengan orientasi kebijakan ini dipergunakan sebagai model

dasar penelitian ini. Alasannya adalah:

(1)

obyek penelitian ini merupakan obyek yang berada pada konteksnya,

yaitu masyarakat tempat di mana produk legislasi itu akan ditetapkan;

9 Macdougald, ibid., h. 124-128.


(28)

(2)

masalah belum dirubahnya Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990

tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah

Tingkat II Klungkung;

(3)

Perda merupakan produk hukum yang harus dibangun sesuai dengan

karakteristik obyeknya dan karakteristik kebutuhan konteksnya;

(4)

pendekatan ini tidak menutup peluang untuk menggunakan pendekatan

lain untuk menyempurnakan hasil penelitain, dalam penelitian ini

pendekatan ini dikombinasi dengan pendekatan hukum normatif

strukturalnya Kelsen.

5.

Analisis Hasil Penelitian

Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis norma dan

obyek norma, analisis struktur (validitas) norma dan analisis konteks dan

fungsional norma hukum. Analisis struktur dan substansi norma menggunakan

analisis konstruksi (uji konsistensi dan koherensi) dan analisis konteks (uji

konsistensi) norma. Hasil-hasil penelitian yang telah dikelompokkan secara

terstruktur, sesuai dengan struktur materi (obyek) penelitian, sesuai dengan

rumusan masalah dan tujuan penelitian, dianalisis sesuai dengan sifat komponen

masalah dan tujuannya.


(29)

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EM PIRIS

Standar materi bab ini ditentukan dalam Lampiran I angka 2 UUP3. Bagian

ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik,

perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan

negara dari pengaturan dalam suatu Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi,

atau Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota. Bagian ini mencakup:

(a)

Kajian teoretis.

Kajian terhadap asas/ prinsip yang terkait dengan penyusunan norma. Analisis

terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek dan


(30)

bidang kehidupan terkait dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan

dibuat, yang berasal dari hasil penelitian.

(b)

Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan

yang dihadapi masyarakat. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru

yang akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek

kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.

A.

KAJIAN TEORITIS

a.

Landasan Teoritik Perubahan Perda PDAM 1990

Alinea ke - 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 (UUD NRI 1945), menyatakan: “ Kemudian dari pada itu untuk membentuk

suatu Pemerintah Negara Indonesia yang

melindungi

segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia

dan

untuk memajukan kesejahteraan umum

,

mencerdaskan kehidupan bangsa

……….” . Frasa

melindungi seluruh tumpah darah Indonesia

dan

untuk memajukan kesejahteraan umum

mencerminkan suatu kerangka teoritik tentang

kew ajiban konstitusional Pemerintahan Negara, termasuk Pemerintah Daerah,

untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, termasuk penyediaan air minum

atau air besih, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya air dlam

rangka penyelenggaraan penyediaan air bersih yang berkelanjutan.

Indonesia yang merupakan negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1

ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945, mengedepankan penyelenggaraan

pemerintahan negara, termasuk ke dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik

berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan. Secara teoritik,


(31)

pemikiran “ negara hukum” Eropa Kontinental dimulai oleh pemikiran Imanuel

Kant, kemudian dikembangkan oleh J.F Stahl. Pemikiran negara hukum tersebut,

dipengaruhi oleh pemikiran Ekonom Adam Smith. Julius Friedrich Stahl,

mengemukakan 4 unsur sebagai ciri negara hukum, yakni:

(1)

Tindakan pemerintah berdasarkan Undang-undang (Legalitas)

(2)

Perlindungan HAM,

(3)

Pemisahan Kekuasaan,

(4)

Adanya peradilan administrasi

10

.

Ciri-ciri negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl

dalam menguraikan “ Konsep Negara Hukum” (

Rechtstaat

), berbeda dengan konsep

negara hukum

Anglo Saxon

yakni

TheRule of Law

. Secara konseptual “

the rule of law”

dalam

Dictionary of Law

, diartikan sebagai

principle of government that all persons and bodies and the government itself are equal before and answerable to the law and that no

person shall be punished without trial”

.

11

Kemudian A.V Dicey mengemukakan

unsur-unsur konsep

TheRule of law

, yakni;

(1)

supremacy of law

,

(2)

equality before the law

,

(3)

the constitution based on individual rights

.

12

Terlepas dari perkembangan pemikiran negara hukum yang sangat pesat,

yang melahirkan berbagai gagasan tetang penyelenggaraan kehidupan negara

berdasarkan atas hukum, terdapat kesamaan pada kedua sistem hukum itu

10 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta, 1993, h.28 11 PH. Collin, Dictionary of Law, Fourth Edition, Bloomsbury Publishing Plc, London. 2004,

P.266

12 A.V Dicey, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Fifth edition, London,


(32)

berkenaan dengan penempatan hukum dalam penyelenggaraan negara, yaitu

bahw a hukum harus diletakkan sebagai dasar seluruh perilaku negara. Pemikiran

negara hukum ini menjadi jastifikasi teoritis dalam pembentukan Peraturan Daerah

dalam mengatur tentang perubahan Perda PDAM 1990

.

Eksistensi peraturan daerah

ini akan menjamin dan melindungi hak rakyat atas ketersediaan air bersih di satu

sisi dan perlindungan serta penyelamatan sumber daya air pada sisi lainnya, sebagai

bentuk pemenuhan syarat terhadap asas legalitas dalam negara hukum “

rechtstaat

” ,

yang mensyaratkan bahw a bentuk perlindungan itu harus diatur dalam instrumen

hukum, yaitu undang-undang, dan untuk di daerah berupa Peraturan Daerah.

Peraturan daerah itu merupakan legitimasi hukum bagi pemerintah daerah dalam

penyelenggaraan pelayanan publik yang akutabel, yaitu pelayanan publik

berdasarkan atas hukum.

A. Hamid S. Attamimi

13

menyatakan bahw a teori perundang-undangan

berorientasi pada tujuan untuk menjelaskan dan menjernihkan pemahaman

pembentuk, pelaksana, penegak, serta masyarakat terhadap materi undang-undang

dalam sifat kognitif. Pemikiran ini menekankan pada pemahaman terhadap hal-hal

yang mendasar. Oleh sebab itu dalam membuat peraturan daerah, perlu dipahami

kharakter norma dan fungsi peraturan daerah dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah. Peraturan daerah merupakan peraturan

perundang-undangan. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya: UP3) menentukan

bahw a Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat

13 A. Hamid S. Attamimi dalam H. Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 1998,h. 14-15.


(33)

norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh

lembaga negara atau pejabat yang berw enang melalui prosedur yang ditetapkan

dalam Peraturan Perundang-undangan.

Peraturan daerah merupakan penjabaran Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang

Dasar NRI 1945, yang menggunakan frasa “ dibagi atas” , lebih lanjut diatur sebagai

berikut:

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan

kota itu mempunyai pemerintahan aerah, yang diatur dengan undang-undang

.

Frasa “ dibagi atas” ini menunjukkan bahw a kekuasaan negara terdistribusi

ke daerah-daerah, sehingga memberikan kekuasaan kepada daerah untuk mengatur

rumah tangganya. Karenanya hal ini menunjukkan pemerintah daerah memiliki

fungsi

regeling

(mengatur). Dengan fungsi tersebut, dilihat dari sudut pandang “

asas legalitas

” (tindak tanduk pemerintah berdasarkan hukum) memperlihatkan adanya

kew enangan pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah. Pasal 1 angka

7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

undangan, mengartikan Peraturan Daerah Kabupaten adalah Peraturan

Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dew an Perw akilan Rakyat Daerah Kabupaten dengan

persetujuan bersama Bupati.

Jimly Asshidiqqie mengatakan peraturan tertulis dalam bentuk ”

statutory laws

” atau ”

statutory legislations

” dapat dibedakan antara yang utama (

primary legislations

) dan yang sekunder (

secondary legislations

). Menurutnya

primary legislations

juga disebut sebagai

legislative acts

, sedangkan secondary dikenal dengan


(34)

istilah ”

executive acts

” ,

delegated legislations

atau

subordinate legislations

.

14

Peraturan

daerah merupakan karakter dari legislative acts, sama halnya dengan

undang-undang. Oleh sebab itu hanya peraturan daerah dan undang-undang saja yang

dapat memuat sanksi.

Teori penjenjangan norma (

Stufenbau des rechts

), menurut Hans Kelsen

15

bahw a norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu

hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber,

dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku,

bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya

sampai pada norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis

dan fiktif, yaitu norma dasar (

Grundnorm

).

Selain Hans Kelsen, Hans Nawiasky juga mengklasifikasikan norma hukum

negara dalam 4 (empat) kategori pokok, yaitu

Staatsfundamentalnorms

(Norma

fundamental negara),

Staatsgrundgesetz

(aturan dasar/ pokok negara),

Formell Gesetz

(undang-undang formal) dan

Verordnung & Autonoe Satzung

(Aturan pelaksana dan

Aturan otonom).

16

Sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia dipengaruhi oleh

pemikiran Hans Kelsen, sebagaimana tercermin dalam Pasal 7 ayat (1) UUP3, yang

menentukan bahw a jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

14 Jimly Asshidiqqie, Perihal Undang-Undang, Cetakan Ke II, RajaGrafindo Persada, Jakarta,

2011, h. 10

15 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius, Jogjakarta,

1998, h.25

16 Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analis: Keputusan Presiden Yang Berfungsi Peraturan Dalam Kurun W aktu Pelita I – Pelita V, Disertasi PPS Universitas Indonesia, 1990, h. 287


(35)

b.

Ketetapan Majelis Permusyaw aratan Rakyat;

c.

Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d.

Peraturan Pemerintah;

e.

Peraturan Presiden;

f.

Peraturan Daerah Provinsi; dan

g.

Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.

Pengaturan demikian menunjukkan bahw a peraturan yang dibentuk atau

berada dibaw ah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi atau dengan kata lain peraturan dibaw ah bersumber pada aturan

yang lebih tinggi. Melihat ketentuan diatas Peraturan Daerah Provinsi pada huruf f,

sehingga pembentukannya harus mengacu pada peraturan perundang-undangan

sebagaimana tercantum pada huruf a sampai dengan e.

Teori dan metode legislasi, dari perspektif substansial hukum, menurut

Seidmann, mencakup 2 tujuan yaitu: pertama, untuk memberikan jastifikasi

terhadap produk yang dibuat; dan kedua, untuk mendapatkan panduan dalam

penyusunan laporan penelitian dari sisi fakta dan logika (

facts and logic

), yaitu untuk

menyusun jastifikasi rasio berdasarkan pengalaman (

reason informed by experience

),

yang mengakibatkan detail substansi suatu rancangan undang-undang menjadi

sebagaimana ditampilkan dalam rancangan.

17

Teori Seidmann ini merupakan dasar

untuk memberikan jastifikasi teoritik terhadap suatu produk legislasi dan panduan

teoritik berkenaan dengan kegiatan perancangan produk legislatif.


(36)

Teori legislasi dalam kategori sebagai panduan penelitian hukum (

legislative theory’ s categories as a guide to research

) adalah teori tentang cara melakukan

identifikasi dan cara menjelaskan masalah perilaku (

identifies and explain problematic behaviors

) berkenaan dengan: (a) ketentuan yang dibuat dan akan diberlakukan

terhadap masyarakat yang akan terkena aturan (

the rule addressed to the role occupant

);

(b) perilaku masyarakat yang terkena aturan yang diharapkan oleh para pelaksana

aturan (

the implementing agenciy’ s expected behaviors

); (c) seluruh sumber dan faktor

non-hukum yang bersifat menghambat dari keadaan lingkungan dan lokasi

pemberlakuan hukum yang bersifat khas (

all non-legal constraints and resources of the actors’ location-specific environment

) yang menghambat bekerjanya aturan.

18

Teori

legislasi kategori kedua dari Seidman berkenaan dengan posisi aturan dalam

korelasi dengan perilaku masyarakat.

Kategori tersebut dapat digunakan untuk menyusun HIPOTESIS SEBAB

(

causal hypotheses

), sesuatu yang sangat diperlukan dalam perancangan produk

legislasi yang efektif (

necessary to design effective legislative measures

). Teori legislasi

merumuskan kategori tersebut dalam kategori yang lebih sempit, yaitu:

Rule

,

Opportunity

,

Capacity

,

Communication

,

Interest

,

Process

, dan

Ideology

(ROCCIPI).

19

Kategori itu diklasifikasikan atas dua kelompok, yaitu; (a) faktor subyektif;

dan (b) faktor obyektif. Faktor subyektif adalah faktor subyek hukumnya. Faktor ini

mencakup kepentingan (

interests atau incentives

), yaitu persepsi masyarakat terhadap

18 Ibid., h. 4.15.

19 Susunan huruf ROCCIPI bersifat tidak mutlak. Susunan ini hanya digunakan untuk

memudahkan para drafter untuk mengingat. Komponen huruf itu jauh lebih penting dan tidak boleh diabaikan/ ditiadakan. Seidmann, op.cit., h. 4.15.


(37)

siapa ketentuan itu dibuat dan diberlakukan (

role occupants

) berkenaan dengan

tindakan yang mereka lakukan berdasarkan pertimbangan biaya dan kemanfaatan

yang akan diperoleh (

costs and benefits

), baik insentif material maupun non-material,

seperti penghargaan terhadap seseorang di dalam kelompoknya (

power and reference-group esteem

). Ideologi (

Ideology

:

values and attitude

) merupakan kategori kedua dari

kategori perilaku subyektif seseorang, yang menjadi motivasi seseorang melakukan

atau tidak melakukan tindakan tertentu. Motivasi ini merupakan motivasi yang

tidak bertolak dari kepentingan.

20

Analisis terhadap faktor ini merupakan analisis

terhadap perilaku orang-perorang dalam struktur institusi yang sudah ada.

Faktor obyektif adalah faktor ketentuannya. Faktor ini

mencakup: (a)

ketentuan (

Rules

); (b) peluang (

Opportunity

); (c) kemampuan (

Capacity

); (d)

komunikasi (

Communication

); dan (e) proses (

Process

). Komponen

Rules

merupakan

komponen yang berkaitan dengan pertanyaan: mengapa orang berperilaku tertentu

dibaw ah suatu ketentuan hukum, tidak hanya berkenaan dengan satu ketentuan (

a single rule

), melainkan ketentuan dalam arti perangkat atau keseluruhan (

a whole cage of laws

).

21

Faktor

Opportunity

berkenaan dengan peluang seseorang untuk

berperilaku sesuai dengan perintah ketentuan yang dibuat. Apakah lingkungan

tempat ketentuan itu akan diberlakukan memungkinan perlaku yang diperintahkan.

Ketidaksesuaian antara perilaku yang diperintahkan dengan lingkungan tempat

20 Ibid., 4.16.

21 Lima faktor yang menentukan perlaku seseorang di bawah skema hukum: (a) rumusan

normanya kabur atau bermakna ganda (vague or ambiguously); (b) beberapa ketentuan memerintahkan melakukan tindakan yang dapat menimbulkan masalah (command problematic behaviours); (c) ketentuan tidak menyediakan alas an atau sebab tindakan demikian itu; (d) ketentuan yang ada membolehkan perlaku yang tidak transparan, tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan non-partisipatif (non-transparent, unaccountable, non-participatory); atau (e) ketentuan memboleh tindakan diskresi yang tidak diperlukan dalam pemecahan masalah perilaku bermasalah. Ibid., h. 418.


(38)

perilaku itu dilakukan merupakan pemicu korupsi. Faktor

Capacity

berkenaan

dengan kemampuan

role occupant

untuk bertindak sesuai perintah undang-undang.

Communication

merupakan faktor komunikasi antara pelaksana aturan dengan

role occupant

dalam hal

role occupant

berperilaku menyimpang dengan ketentuan yang

berlaku. Komunikasi ini bertujuan mencari sebab-sebab ketidaktaatan itu.

Process

merupakan faktor yang berkaitan dengan kriteria dan prosedur standar yang

ditetapkan ketentuan yang berlaku. Dalam hal terjadi penyimpangan perilaku,

pelaksana hukum harus memeriksa ketepatan kriteria dan prosedur standar yang

ditetapkan.

22

Panduan perancangan produk legislasi ini mensyaratkan suatu eksplorasi

obyektif, analisis pada aturannya (analisis rumusan normanya, analisis lingkungan

aturannya, analisis kemampuan sasaran aturannya, analisis komunikasi sosialnya,

dan analisis kriteria dan standar prosedurnya), untuk membuat agar suatu produk

legislasi dapat berfungsi dengan baik pasca penetapannya.

Dikotomi fakta (FACTS) dengan logika (LOGIC) sebagaimana digunakan

Seidmann sebagai dasar konstruksi berfikir dalam penyusunan teorinya,

mengandung bahaya tersendiri dibandingkan dikotomi kenyataan (REALITIY)

dengan pikiran (MIND).

23 Mind

and

reality

memiliki kandungan makna yang lebih

luas dari komponen Seidmann. MIND adalah konstruksi substantif yang lebih luas

dibanding LOGIC. MIND adalah rumah besar dari LOGIC. Atau, LOGIC

merupakan kandungan dari MIND. REALITIY merupakan rumah besar dari

22 Ibid., 4.17-4.20. 23 Ibid, 127.


(39)

FACTS, atau FACTS merupakan kandungan teknis/ detail dari REALITY.

Konstruksi ini melahirkan konstruksi pembahasan yang berbeda: rentang

pembahasan Mind dan Reality beranjak dari analisis FILOSOFIS, lanjut ke analisis

ILMU (TEORI), sampai pada analisis KONSEP, dan berhenti pada analisis TEKNIS

PERANCANGAN (KONSISTENSI KONSTRUKSI dan KOHERENSI SUBSTANSI

norma). Analisis Seidmann mulai dari analisis ILMU (TEORI) dan langsung ke

TEKNIS PERANCANGAN (ROCCIPI).

Perbedaan konstruksi berfikir tesebut menimbulkan akibat terhadap

penajaman arah dan hasil analisis Seidman. Teori Seidmann merupakan dasar untuk

memberikan jastifikasi teoritik terhadap suatu produk legislasi dari segi ROCCIPI

(

Rule, role Occupant, occupant Capacity, Communication, Interest, Procedure, Ideology

),

sedangkan dalam korelasi Mind and Reality bermaksud memberikan landasan

teoritik terhadap perancangan produk legislasi dalam konteks KONSISTENSI

LOGIC dari NORMA dan KOHERENSI SUBSTANTIF dari NORMA.

Analisis ROCCIPI mengabaikan karakteristik obyek (obyek pengaturan)

suatu pengaturan. Fokus analisis ROCCIPI adalah komponen tertentu dari

pengaturan,

yaitu

perilaku

masyarakat

yang diatur.

Analisis

ROCCIPI

memfokuskan analisis pada tiga substansi norma, yaitu: subyek, rumusan norma,

kriteria dan prosedur standar yang diatur dalam norma. Fokus ini merupakan

konsekuensi dari titik berangkat konstruksi berfikir Seidmann yang berangkat dari

sisi teknis dari bilah kajian filsafat (LOGIC dan FACTS), dan bukan aspek nilainya

(MIND dan REALITY). Fokus analisis ini dapat membahayakan suatu produk


(40)

legislasi dari soal KONSISTENSI KONSTRUKSI NORMA dan KOHERENSI

SUBSTANSI NORMA.

Teori Seidman dapat digunakan sebagai alat untuk penajaman konstruksi

berfikir

Mind

and

Reality

dalam menyusun teori legislasi dalam konteks pengaturan

suatu obyek yang memiliki karakter khas. Analisis teoritik ini memberikan

gambaran bahw a teori legislasi Seidmann tidak memadai untuk digunakan sebagai

dasar untuk merancang suatu produk legislasi yang obyek pengaturannya memiliki

karakteristik tertentu. Pemaksaan penggunaan teori legislasi Seidman dalam

perancangan produk legislasi dengan obyek demikian itu dapat menimbulkan

ancaman serius terhadap KONSISTENSI LOGIKA NORMA dan KOHERENSI

SUBSTANSI NORMA. Untuk mengatasi kelemahan ini, penelitian ini menggunakan

teori korelasi dan konsistensi obyek, konsep pengaturan, dengan konstruksi norma,

yang lebih jauh akan menentukan kualitas fungsi norma dan capaian tujuan

pengaturan. Teori ini mencakup:

(1)

DEFINISI dan KONSEP HUKUM berkenaan dengan OBYEK yang akan diatur

dalam suatu produk legislasi merupakan PRASYARAT MUTLAK dalam

perancangan suatu produk legislasi, terutama yang mengatur obyek yang

karakteristik;

(2)

DEFINISI dan KONSEP HUKUM tentang obyek yang diatur dalam suatu

produk legislasi merupakan satu-satunya DASAR KEILMUAN untuk


(41)

membangun atau menyusun KONSTRUKSI STRUKTUR NORMA dan

MERUMUSKAN SUBSTANSI NORMA.

24

Berdasarkan teori ini, maka perancangan suatu produk legislasi harus

dimulai dari identifikasi terhadap karakteristik obyek yang akan diatur untuk

kemudian dipergunakan sebagai dasar untuk mengkonstruksikan konsep

pengaturan dan selanjutnya pengkonstruksian norma pengaturan. Dengan model

perancangan seperti ini, berbagai persoalan inkonsistensi logika antara norma

pengaturan dengan obyeknya dapat dicegah dan dihindarkan.

2.

Kajian Asas

Secara yuridis Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan

dituangkan dalam Pasal 5 UUP3, meliputi asas:

a.

kejelasan tujuan;

b.

kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c.

kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

d.

dapat dilaksanakan;

e.

kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f.

kejelasan rumusan; dan

g.

keterbukaan.

Yang dimaksud “ asas kejelasan tujuan” adalah bahw a setiap Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak

dicapai. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, bahw a setiap jenis

24 Konstruksi teoritik ini telah digunakan dalam beberapa penelitian terhadap bahan-bahan


(42)

Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat

Pembentuk

Peraturan

Perundang-Undangan

yang

berw enang.

Peraturan

Perundang-Undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila

dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berw enang.

Kemudian “ asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah

bahw a dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus benar-benar

memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki

Peraturan Perundang-Undangan. “ Asas dapat dilaksanakan” adalah bahw a setiap

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus memperhitungkan efektivitas

Peraturan Perundang-Undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,

sosiologis, maupun yuridis.

Selanjutnya yang dimaksud dengan “ asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”

adalah bahw a setiap Peraturan Perundang-Undangan dibuat karena memang

benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara. Yang dimaksud dengan “ asas kejelasan rumusan” adalah

bahw a setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi persyaratan teknis

penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah,

serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan

berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. “ Asas keterbukaan” adalah

bahw a

dalam

Pembentukan

Peraturan

Perundang-undangan

mulai

dari

perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan

pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan


(43)

masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan

masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dari asas-asas dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut jika digunakan untuk

mengkaji Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang

Perusahaan Daerah Air Minum

maka dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

(1)

Asas Kejelasan Tujuan,

bahw a tujuan dari Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan Daerah Air Minum, adalah berupaya

mengharmonisasi dengan aturan yang lebih tinggi serta menciptakan iklim good

coporate governance dalam perusahaan daerah air minum.

(2) Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang tepat

, bahw a Peraturan Daerah

Kabupaten Klungkung tentang

Perusahaan Daerah Air M inum

dibentuk oleh

Bupati dan DPRD Kabupaten Klungkung.

(3) Kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan,

bahw a pembentukan

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang

Perusahaan Daerah Air Minum

, memperhatikan jenis, hirarki dan materi muatan.

(4) Dapat dilaksanakan

, alasan filosofis perlunya Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Klungkung tentang

Perusahaan Daerah Air M inum

ini

dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan memenuhi hak

masyarakat untuk mendapatkan air yang bersih. Alasan sosiologis perlunya

Peraturan Daerah tersebut dalam rangka peningkatan pelayanan PDAM.

(5) Kedayagunaan dan kehasilgunaan

, bahw a Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Klungkung tentang

Perusahaan Daerah Air M inum

berdayaguna


(44)

dan berhasilguna untuk meningkatkan pelayanan PDAM dalam rangka

memenuhi kebutuhan dasar masyarakat akan air bersih.

(6) Kejelasan rumusan

, bahw a pembentukan Peraturan Daerah ini memperhatikan

sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah

dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya.

(7) Keterbukaan

, Pembentukan Peraturan daerah ini mulai dari perencanaan,

penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan

bersifat transparan dan partisipatif.

Sedangkan dalam Pasal 6 UUP3, menentukan bahw a materi muatan

peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:

a.

pengayoman;

b.

kemanusiaan;

c.

kebangsaan;

d.

kekeluargaan;

e.

kenusantaraan;

f.

bhinneka tunggal ika;

g.

keadilan;

h.

kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i.

ketertiban dan kepastian hukum; dan/ atau


(45)

Asas-asas itu menjadi pedoman bagi pembentukan Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan Daerah Air Minum. Penjabaran

asas-asas Pasal 6 UUP3 adalah:

a.

Yang dimaksud dengan “ asas pengayoman” adalah bahw a setiap Materi Muatan

Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan

untuk menciptakan ketentraman masyarakat.

b.

Yang dimaksud dengan “ asas kemanusiaan” adalah bahw a setiap Materi Muatan

Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan

penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap w arga negara

dan penduduk Indonesia secara proporsional.

c.

Yang dimaksud dengan “ asas kebangsaan” adalah bahw a setiap Materi Muatan

Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan w atak bangsa

Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

d.

Yang dimaksud dengan “ asas kekeluargaan” adalah bahw a setiap Materi

Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan musyaw arah

untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

e.

Yang dimaksud dengan “ asas kenusantaraan” adalah bahw a setiap Materi

Muatan

Peraturan

Perundang-Undangan

senantiasa

memperhatikan

kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem

hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.


(46)

f.

Yang dimaksud dengan “ asas Bhineka Tunggal Ika” adalah bahw a Materi

Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus memperhatikan keragaman

penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

g.

Yang dimaksud dengan “ asas keadilan” adalah bahw a setiap Materi Muatan

Peraturan

Perundang-undangan

harus

mencerminkan

keadilan

secara

proporsional bagi setiap w arga Negara.

h.

Yang dimaksud dengan “ asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan” adalah bahw a setiap Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar

belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

i.

Yang dimaksud dengan “ asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahw a

setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mew ujudkan

ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.

j.

Yang dimaksud dengan “ asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”

adalah bahw a setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus

mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan

individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.

Disamping asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

terdapat beberapa asas dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah yang patut dijadikan referensi, yang terdapat dalam beberapa

ketentuan, diantaranya:


(47)

“ Perusahaan umum Daerah dapat melakukan restruksturisasi untuk menyehatkan

perusahaan umum Daerah agar dapat beroperasi secara efisien, akuntabel,

transparan, dan profesional.”

Pasal 344 ayat (2) :

Pelayanan publik diselenggarakan berdasarkan pada asas:

a.

kepentingan umum;

b.

kepastian hukum;

c.

kesamaan hak;

d.

keseimbangan hak dan kew ajiban;

e.

keprofesionalan;

f.

partisipatif;

g.

persamaan perlakuan/ tidak diskriminatif;

h.

keterbukaan;

i.

akuntabilitas;

j.

fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;

k.

ketepatan w aktu; dan

l.

kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

Dengan demikian dalam penyusunan Perda PDAM pengganti Perda PDAM

1990 asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut dijadikan

pedoman dalam perumusannya.

B.

KAJIAN PRAKTIK EMPIRIK

Kabupaten Klungkung merupakan dataran pantai sehingga potensi

perikanan laut. Panjang pantainya sekitar 90 Km yang terdapat di Klungkung

daratan 20 Km dan Kepulauan Nusa Penida 70 Km. Permukaan tanah pada

umumnya tidak rata, bergelombang bahkan sebagian besar berupa bukit-bukit terjal

yang kering dan tandus. Hanya sebagian kecil saja merupakan dataran

rendah.Tingkat kemiringan tanah diatas 40 % (terjal) adalah seluas 16,47 Km2 atau

5,32% dari Kabupaten Klungkung.


(48)

Bukit dan gunung tertinggi bernama Gunung Mundi yang terletak di

Kecamatan Nusa Penida. Sumber air adalah mata air dan sungai hanya terdapat di

w ilayah daratan Kabupaten Klungkung. Air sungai ini mengalir sepanjang tahun.

Sedangkan di Kecamatan Nusa Penida sama sekali tidak terdapat sungai. Sumber air

di Kecamatan Nusa Penida adalah mata air dan air hujan yang ditampung dalam

cubang oleh penduduk setempat. Kabupaten Klungkung termasuk beriklim tropis.

Bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering antara Kecamatan Nusa Penida dan

Kabupaten Klungkung daratan sangat berbeda.

Wilayah Kabupaten Klungkung terbagi atas 4 Kecamatan, yaitu: (1)

kecamatan Klungkung; (2) Banjarangkan; (3) Daw an; dan (4) kecamatan Nusa

Penida. Kecamatan Klungkung merupakan kecamatan terkecil dari 4 (empat)

Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung, dengan batas-batas: di sebelah Utara

Kabupaten Karangasem; sebelah Timur Kecamatan Daw an; sebelah Barat

Kecamatan Banjarangkan dan sebelah Selatan dengan Selat Badung; dengan luas

2.095 Ha, secara persis semua terletak di daerah daratan pulau Bali.

Kecamatan Banjarangkan merupakan Kecamatan yang terletak paling Barat

dari 4 (empat) Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung, dengan batas-batas,

sebelah Utara Kabupaten Bangli, sebelah Timur Kecamatan Klungkung, sebelah

Barat Kabupaten Gianyar dan sebelah Selatan Selat Badung, dengan luas 45,73 Km².

Secara administrasi Kecamatan Banjarangkan terdiri dari 13 Desa, 55 dusun, 26 Desa

Adat, dalam usaha untuk memajukan perekonomian di w ilayah ini telah didukung

dengan beberapa sarana seperti, pasar umum, koperasi, KUD, dan bank, RPD yang

dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memajukan perekonomian desa.


(1)

BAB VII SANKSI Pasal 64

(1) Konsumen yang tidak memenuhi kew ajiban sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 60 ayat (1) dikenakan sanksi berupa:

a. Peringatan tertulis, apabila konsumen tidak memenuhi kew ajiban selama

3 (tiga) bulan berturut-turut;

b. Penyegelan, apabila konsumen tidak memenuhi kew ajiban selama 3 (tiga)

bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal penerimaan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. Pemutusan saluran, apabila konsumen tidak memenuhi kew ajiban selama

5 (lima bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal penerimaan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a.

(2) Penerimaan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,

dan huruf b dibuktikan dengan lembar ekspedisi surat.

(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal

konsumen memenuhi kew ajiban sebelum batas akhir pengenaan sanksi. BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 65

Pada saat Peraturan Daerah ini, Direksi dan Dew an Pengaw as PDAM tetap melaksanakan tugas sampai berakhir masa jabatannya.

Pasal 66

Direksi, Dew an Pengaw as, dan Pegaw ai PDAM menyesuaikan dengan Peraturan Daerah ini paling lambat 6 (enam) bulan sejak ditetapkan.

BAB IX PEMBINAAN

Pasal 67

Bupati melakukan pembinaan umum dan pengaw asan.

BAB X


(2)

Pasal 68

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Pemerintah Daerah Tingkat II Klungkung dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 69

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Klungkung.

Ditetapkan di Klungkung Pada tanggal [ ] [bulan] [tahun]

BUPATI KLUNGKUNG ttd.

SUWITRA

Diundangkan di Klungkung pada tanggal ………2015

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG,

[nama ]

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULUNGKUNG TAHUN 2015 NOMOR ...

PENJELASAN


(3)

NOMOR [ ] TAHUN 2015 TENTANG

ORGAN DAN KEPEGAWAIAN PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM

1. UMUM

Pemerintah Kabupaten Klungkung telah mendirikan Perusahaan Daerah Air Minum pada tahun 1990 dengan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Klungkung. Perusahaan daerah ini melakukan pelayanan air minum diseluruh w ilayah Kabupaten Klungkung, yang merupakan kebutuhan dasar manusia.

Perubahan peraturan daerah ini dilakukan sebagai akibat perkembangan berbagai kebutuhan sosial dan ekonomi mengakibatkan Pemerintah Kabupaten Klungkung harus menyesuaikan dengan perkembangan dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adapun urgensi perubahan peraturan daerah ini dalam hal peningkatan kinerja PDAM dan pelayanan air minum bagi masyarakat kabupaten Klungkung.

2. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas Pasal 2

Cukup jelas Pasal 3

Cukup jelas Pasal 4

Cukup jelas Pasal 5

Cukup jelas Pasal 6

Cukup jelas Pasal 7

Cukup jelas Pasal 8

Cukup jelas Pasal 9

Cukup jelas Pasal 10

Cukup jelas Pasal 11

Cukup jelas Pasal 12


(4)

Cukup jelas Pasal 13

Cukup jelas Pasal 14

Cukup jelas Pasal 15

Cukup jelas Pasal 16

Cukup jelas Pasal 17

Cukup jelas Pasal 18

Cukup jelas Pasal 19

Cukup jelas Pasal 20

Cukup jelas Pasal 21

Cukup jelas Pasal 22

Cukup jelas Pasal 23

Cukup jelas Pasal 24

Cukup jelas Pasal 25

Cukup jelas Pasal 26

Cukup jelas Pasal 27

Cukup jelas Pasal 28

Cukup jelas Pasal 29

Cukup jelas Pasal 30

Cukup jelas Pasal 31

Cukup jelas Pasal 32

Cukup jelas Pasal 33

Cukup jelas Pasal 34


(5)

Pasal 35

Cukup jelas Pasal 36

Cukup jelas Pasal 37

Cukup jelas Pasal 38

Cukup jelas Pasal 39

Cukup jelas Pasal 40

Cukup jelas Pasal 41

Cukup jelas Pasal 42

Cukup jelas Pasal 43

Cukup jelas Pasal 44

Cukup jelas Pasal 45

Cukup jelas Pasal 46

Cukup jelas Pasal 47

Cukup jelas Pasal 48

Cukup jelas Pasal 49

Cukup jelas Pasal 50

Cukup jelas Pasal 51

Cukup jelas Pasal 52

Cukup jelas Pasal 53

Cukup jelas Pasal 54

Cukup jelas Pasal 55

Cukup jelas Pasal 56

Cukup jelas Pasal 57


(6)

Cukup jelas Pasal 58

Cukup jelas Pasal 59

Cukup jelas Pasal 60

Cukup jelas Pasal 61

Cukup jelas Pasal 62

Cukup jelas Pasal 63

Cukup jelas Pasal 64

Cukup jelas Pasal 65

Cukup jelas Pasal 66

Cukup jelas Pasal 67

Cukup jelas Pasal 68

Cukup jelas Pasal 69