BAB V KHAZANAH LEKSIKON FLORA KEPANGANAN
PADA GUYUB TUTUR BAHASA LIO
5.1 Bahasa Lio sebagai Representasi Realitas Lingkungan Alam. Meskipun tidaklah lengkap apalagi secara keseluruhan, bahasa Lio khususnya kekayaan
kata yang dimilikinya merekam realitas khususnya realitas yang kasat mata atau pertampakannya dapat disimak dengan mata oleh guyub tutur. Realitas yang dimaksudkan itu
bersfat alami di jagad raya, alam semesta, atau makrokosmos. Leksiikon-leksikon uluela ‘cakrawala’, lirubewa ‘langit’, mesi ‘laut’, tanawatu ‘lingkungan ragawi dengan segala isinya’
dan sebagainya adalah realitas alam yang disadari dan dialami oleh manusia dengan mata sebagai alat pengelihatan. Demikian juga keli wolo
‘gunung bukit’, birifila’ jurang’, deturia ‘dataran luas’, leja ‘matahari’, wula ‘bulan’, dala ‘bintang’, nipamoa ‘pelangi’, adalah benda-
benda di alam raya yang dikenal manusia dan diberi nama pada setiap bahasa, termasuk bahasa Lio. Lebih khusus lagi sejumlah tumbuhan dan tanaman yang ada di sekitar manusia, di
antaranya dikenal baik dan bahkan sangat diakrabi oleh manusia. Selain berinterelasi, berinteraksi, dan berinterdependensi dengan tanah, elemen dan
entitas abiotic tempat setiap warrga guyub tutur berpijak dan berdiri dalam arti harafia, aneka tumbuhan yang ada di lingungan manapun, termasuk pada lingkungan guyub tutur bahasa Lio,
merepresntasikan semuanya itu. Aneka tumbuhan yang memang dikenal dan dimanfaatkan ditemukan dalam wadah khazanah leksikon juga ditemukan cukup banyak. Kendati tidak semua
dipaparkan, khazanah leksikon tumbuhan di bawah ini mengonformasikan inetrelasi guyub tutur bahasa Lio dengan lingkungan.
Dalam kenyataan, sesungguhnya sangat banyak tanaman yang ada dan hidup di sekiatr guyub tutur bahasa Lio, Flores. Sebagai kawasan yang dikitari oleh gugung-gunung dan bukitt-
bukit yang cukup terjal ruang hidup tumbuhan dan tanaman cukup banyak. Sudah tentu hanyalah tumbuhan yang berada di lingkunga hidup guyub tutur saja, dan yang bermanfaat bagi
manusia pula, sejumlah tumbuhan dan tanaman diberi nama dalam baahsa Lio. Sejumlah tanaman pangan khususnya bahkan dirinci secara taksonomis dan meronimis pula.
5.2 Khazanah Leksikon Tumbuhan dan Tanaman pada Guyub Tutur Bahasa Lio Guyub tutur bahasa Lio memiliki kekayaan kosa kata lingkungan tumbuhan dan
tanaman. Secara semantik referensial eksternal kosa kata yang dimaksudkan itu merujuk pada sejumlah entitas yang dikategorikan sebagai tumbuh-tumbuhan yakni keberagaman tumbuhan
dan pepohonan dari pelbagai jenis yang ada di lingkungannya. Di antara tumbuh-tumbuhan itu, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman generasi terdahulu diwariskan secara leksikal sebagai
pengetahuan dan diturunkan sebagai praktik budaya perladangan. Akumulasi pengetahuan, pengalaman, dan teknik tradisional dalam membudidayakan aneka jenis tumbuhan tertentu
sehingga menjadi kelompok tanama. Kelompok tanaman itulah, yang memang karena ditanam, dirawat, dipanen, disiapkan bibitnya, entah biji, entah, batang, entah akarnya, dalam siklus
hidup tahunan tertentu tanaman itu menjadi tanaman budaya. Di bawah ini ditabulasikan nama jenis-jenis tumbuhan dan tanaman dalam bahasa Lio, makna, dan fungsinya.
Tabel 6. Khazanah Nomina Tumbuhan dan Tanaman Guyub Tutur Lio No
Nama Tumbuhan dalam bahasa Lio
Bahas Indonesia dan Bahasa Latin
ilmiah Fungsi dan
Makna Umum Fungsi dan
Makna Sosial- Budaya
1 Utandutu
Jamur pohon Lauk
2 Busuperi
Rebung Sayur di musim
hujan
3 Mbaka nipo
Jenis rerumputan yang tumbuh di
ladang Sayur-sayuran
3 Lelu
ə Paku, pakis kali
Sayur lalapan 4
Lada Selada
Sayur-sayuran 5
Nggako Kangkung
Sayur-sayuran 6
Ndora Ketela rambat
Makanan pokok 7
Ndora mera Ketela rambat
merah Makanan pokok
8 Ndora bara
Ketela rambat putih
Makanan pokok 9
Ndora kunitelo Ketela rambat
kuning Makanan pokok
10 Uta ba’i
Papaya Daunanya yang
dijadikan sayur dan penyembuh
malaria
11 Wunu uwi kaju Daun ubi kayu
Sayur-sayuran 12 Besi e
Labu warna kuning
Sayur-sayuran Sayuran ritual
pascapanen Mbama
13 Timu Mentimun
Sayuran 14 Kea
Labu bulat yang dagingnya putih
warna abu Sayur
Sayuran ritual pascapanen
Mbama
15 Mberi, toro Terung
Sayur 16 Boti
Bayam Sayur
17 Pusu muku Jantung pisang
Sayur 18 Bue
Kacang daun Sayur umum
Sayur khusus untuk ritual
Remba, Pesa Uta di daerah Lise
19 Leba e Pare
Sayur 20 Besi tua
labu siam Sayur
21 ki’i
Jenis jamur Sayur
22 Fako Cendawan
Sayur 23 Bue Nggoli
Jenis kacang merah
Mkanan pokok yang dicampur
nasi
24 Bue mite Kacang hitam
Makanan pokok yang dicampur
dengan nasi
25 Bue bewa Kacang panjang
Sayur Sayur khusus
dalam ritual Pesa
Uta 26 Bue brenebon
Kacang brenebon pinjaman
Sayuran dan bahan campuran
dengan nasi
27 Bue mera Kacang merah
Bahan makanan pokok campuran
dengan nasi
28 Nggo’dho
Kedelai Makanan
Bahan dasar temped an tahu
29 Bue tana Kacang tanah
Bahan pembuat kue kacang
30 Ke’ombape,
pega Sejenis sorgum
Bahan makanan pokok
BAhan ritual pendirian rumah
31 Dowe Sejenis kacang-
kacangan Sayur daun dan
biji Sayur wajib
dalam ritual Pesa Uta
32 Fesa Sejenis kacang
yang batangnya menjalar di pohon
Sayur
33 Wete w əte
Jewawut Sejenis makanan
pokok BAhan pokok
ritual-ritual perladangan
34 Lloo Sorgum
Makanan pokok 35 Doba
Wijen hitam Bahan bumbu
Bahan sambal utama ritual Pesa
Uta
36 Lenga Wijen putih
Bahan bumbu Bahan bumbu
wajib ritual Pesa Uta
37 Ura Sejenis biji-bijian
perdu Makanan pokok
dan sayuran 38 Fako
Cendawan Lauk-pauk
39 Fako manu Sej. Cendawan
Lauk pauk 40 Fako relo e
Cendawan tanah yang tumbuhnya
menyebar Sayura
41 Fako kena e Cendawan
berukuran besar dan membulat
Lauk-pauki
42 Worumoke Jamur di pohon
aren Sayur
43 Ndoro muku Jamur dalam
pohon pisang Sayur
44 Kinga te’u
Jamur kuping hitam
Sayur 45 Uwi
Ubi Makanan pokok
Makanan wajib dalam ritual
perladangan
46 Uwi manu Sej. Ubi merah
Makanan pokok Bahan ritual Pesa
Uta 47 Uwi nio
Jenis ubu berbentuk buah
kelapa Makanan pokok
Bahan ritual pesa uta
48 Uwi lea Sej. Ubi
berbentuk jahe Makanan pokok
49 Uwi monda Sej. Umbi
Makanan pokok 50 Uwi sepi
ə Bentuk seperti
siisir pisang 51 Uwi roar
Warnanya ungu 52 Lolo telo leko
ə Sorgum Warnanya hitam
da nada bagian yang seperti telur
katak
53 Lolo pega tea Sej. Sorgum
Makanan pokok 54 Lolo nggela
Sorgum merah Makanan pokok
55 Lolo poe Sorgum yang
mudah lepas dari tangkai
Makanan pokok
56 Lolo mite Sorgum hitam
Makanan pokok 57 Pare kea
Sej. padi lokal Makanan pokok
Makanan pokok ritual; Pati Ka
58 Pare nggondo Sej. padi lokal
Makanan pokok Idem
59 Pare sera Sej. padi lokal
Makanan pokok Idem
60 Pare ndale Sej. padi lokal
Makanan pokok Idem
61 Pare eko Sej. padi lokal
Makanan pokok Idem
62 Pare maru Sej. padi lokal
Makanan pokok Ditanam di
terasering terbawah
pu’u uma
63 Pare laka Sej. padi lokal
Makanan pokok 64 Pare gatarede
Sej. padi lokal Makanan pokok
Sebagaimana dipaparkan dalam tabel di atas, khazanah leksikon berkategori nomina tumbuhan dan tanaman pangan dalam guyub tutur Lio cukup banyak. Sudah tentu masih cukup
banyak yang tidak diidentifikasi dan dilabeli secara khusus dalam bahasa Lio. Sebelum pemaknaannya secara ekolinguistik, identifikasi secara morfologis diuraikan pula secara singkat
dan sederhana. Bentuk-bentuk leksikon nomina tumbuh-tumbuhan dan tanaman dalam bahasa Lio memang mencerminkan struktur kata dasar dan turunan sesuai dengan tata bunyi dan tata
pembentukan kata bahasa Lio yang sederhana. Sebagaimana diperikan oleh Mbete 1972; 2007, bahasa Lio mmeiliki struktur morfem dan kata yang sederhana berpola V, KV, V+KV,
KV+V, KV+KV, KV+KV+KV, dan KV+KV+KV+KV. Pola V misalnya kata e ’menuduh,
mengharap’. KV seperti Ka ‘makan’, V+KV misalnya aku ‘aku’, KV+V misalnya ‘miu’, KV+KV misalnya poru
‘mengusap’, KV+KV+KV misalnya rubunu ‘kabut; KV+KV+KV+KV misalnya gerugiwa ‘cecak’. Perlu diutarakan bahwa bahasa Lio seperti halnya bahasa Ngadha
dan Manggarai tergolong bahasa vokalis sebagai hasil proses apakope masa lalu. Pola persukuan terbuka V, KVKVKVKV tergolong sedikit jumlahnya.
Pola morfologis leksksikon-leksikon tumbuhan dan anaman dalam bahasa Lio terdiri atas bentuk dasar dan bentuk turunan. Bentuk dasar leksikon nomina tumbuhan bahasa Lio
berpola bentuk dasar adalah: uta ‘sayur’, bue ‘kacang’, fako ‘cendawan, uwi ‘ubi’, lolo ‘sorgum’, pare ‘padi’, nggako ‘kangkung’ lelu ‘pakis’ dan sebagainya. Selanjutnya, seperti
yang ditemukan dalam data di atas, sejumlah leksikon tubuhan dan tanaman dalam bahasa Lio tergolong bentuk majemuk.
Sejumlah contoh misalnya: uta ndutu ‘jamur’, wora moke ‘jamur dari pohon enau’, bue tana ‘kacang tanah’ lolo telo leko ‘sejenis sorgum’, pare maru ‘sejenis
padi gogo’, dan seterusnya.
Perlu diuraikan pula bahwa dalam kajian ini dibedakan antara tumbuh-tumbuhan dan tanaman. Tumbuh-tumbuhan dalam kajian ekoleksikal ini mencakupi semua tumbuhan dari
perlbagai jenis, baik yang dibudidayakan maupun yang tidak dibudidayakan namun bermanfaat bagi manusia.
Lelu ‘pakis’ adalah tanaman di bantaran dungai yang tidak pernah dibudidayakan. Para warga guyub tutur bahasa Lio hanya memetiknya kapan saja sesuai
kebutuhan sayur- sayuran. Demikian pula busuperi ‘rebung’ kendati ada bamboo yang ditanam
juga, namun pad a umumnya busuperi ‘rebung’ tidaklah dibudidayakan. Di sisi lain, tanaman
adalah tumbuhan yang memang ditanam dalam arti dibudidayakan secara tradisional, khususnya tanaman pangan. Tanaman budaya dengan posisi tertinggi adalah pare
‘padi’ khususnya padi asli atau padi gogo. Secara khusus dalam telaah ini hanya tumbuhan dan tanaman yang
dijadikan bahan makanan tradisional sedangkan tumbuh-tumbuhan dan tanaman lainnya tidak diinventarisasi dan diidentifikasikan secara verbal berupa leksikon-leksikon.
Dalam konteks ekologi dan guyub tutur bahasa Lio, tumbuh-tumbuhan dan tanaman yang dikodekan secara lingual berupa leksikon-leksikon nomina itu menggambarkan
keberagaman variaetas tumbuhan pangan. Fungsi dasar sebagai makanan dalam arti luas dan umum, sejumlah jenis tumbuhan serta tanaman memang pada umumnya bermanfaat bagi
manusia. Meskipun tidaklah semua leksikon nomina tumbuhan dan tanaman ditabulasikan, dalam kajian ini hanyalah beberapa tanaman yang dibedah dan didalami makna dan fungsinya,
khususnya kategori tanaman-tanaman pangan dan minuman yang menjadi bagian kebudayaan pangan sejak generasi terdahulu. Secara singkat tanaman pangan dan minuman yang didalami
kebermaknaan dan keberfungsiannya diuraikan di bawah ini.
1 Leksikon Pare ‘padi’
Pare ‘padi’ dalam kerangka kajian ini lebih difokuskan pada pare ‘padi’ asli
yang diwariskan dari budaya padi oleh para leluhur penutur bahasa Auastronesia purba dengan bentuk asalinya etymon pajey Dempowollf, 1934-1938. Banyaknya varietas
pare ‘padi’ lihat Mbete, 2007 menunjukkan bahwa mitos padi yang cukup terkenal di
Flores Tengah hingga Timur lihat Sarengbao, 1992, memperkuat mitos kea rah fakta lingual-kultural yang menarik dan menantang untuk dikaji lebih mendalam dan lebih
interdisipliner atas fenomena pare. Secara biologis dan rangkaian budidaya padi lokal asli sebagai tanaman, pare
memang ditanam dan ditempatkan sebagai tanaman utama dan sangat sentral. Pola perladangan guyub tutur Lio selalu menyiapkan lahan subur, sepanjang musim hujan
berlangsung secara tepat dan teratur, pare ‘padi’ memang sangat dilindungi. Penanaman
jawa ‘jagung’ pada awal musim tanam, selai untuk dipanen terlebih dahulu dalam
rangkaian ritual pesa uta , jawa ‘jagung’ pun berfungsi melindingi pare. Selain itu, lolo
‘sorgum’ yang ditanam bersama-sama dengan wini pare ‘benih padi’, justru untuk melindungi gangguan hama burung-burung. Tidaklah hanya jawa
‘jagung’ dan lolo ‘sorgum’ sebagai pelindung dan predator. ‘Wete ‘jewawut’, lenga dan doba ‘wijen’
adalah benteng pelindung yang mengelilingi uma ‘ladang’ padi. Jikalau jawa ‘jagung’
dan lolo ‘sorgum’ hidup, melindungi, dan berposisi di antara tanaman utama pare ‘padi’,
berjarak sekitar dua-tiga meter, wete ‘jewawut, lenga, dan doba ‘wijen’ justru
membentengi di sekelilingnya. Pola makan atau budaya makan guyub tutur Lio yang boleh dianggap asli juga
berkorespondensi dengan pola perladanganm dengan tetap menempatkan are ‘nasi’
sebagai pusat dan puncak kenikmatan. Di beberapa subkultur seperti di pedalaman Moni dan Nuamuri misalnya, pola makan warga lokal sangat beragam. Bermula dari ubi kayu,
umbi-umbian, pisang, dan atau jagung dengan olahan tradisional, makan pagi, siang, atau malam sebagai kerutinan ditutup dengan nasi dan lauk pauk serta sayur-sayuran.
Secara sosiologis, menyuguhkan are ‘nasi’, kepada tamu dan pejabat, terlebih lagi nasi
asli, adalah penghormatan kepada tamu dan kehormatan penerima tamu atau tuan rumah dengan nilai tertinggi, kendati sikap sahaja dan rendah hati tamu disapa ka uwi kaju
‘makan ubi kayu’. Ini adalah nilai kearifan tradisi guyub tutur bahasa Lio yang patut dipertahankan.
Daya cipta generasi terdahulu mengolah beras menjadi nasi dalam kemasan yng beragam juga menjadi petanda dan penanda betapa sentral dan pentingnya pare
, ‘padi’ dan are
‘beras atau nasi’. Tidalah hanya tampilan nasi merah atau nasi putih asli saja, terutama jiga nasi asli itu dipersembahklan kepada para leluhur dan Sang Pencipta kala
Pati Ka. Guyub tutur dan guyub kultur kuliner lokal Lio memiliki beberapa kemasan nasi, juga dengan memanfaatkan sejumlah daun tumbuh-tmbuhan yang ada di
sekitarnya. Keberagaman kemasan yang dikenal dengan are gau ‘nasi kemasan khas’
yang disebut dengan are gau wunu nio ‘nasi bungkus janur kelapa’, are gau wunu fendo
‘nasi berbunghkus daun fendndo’, are gau wunu bake ‘nasi berbungkus daun bake’, are gau wunu kore
‘nasi berbungkus daun pakis’, are gau wunu peri ‘nasi berbungkus daun bambu’ dan setakat ini are gau wunu kakao ‘nasi berbungkus daun kakao’, menegaskan
sentral dan kuatnya budaya padi dalam guyub tutur bahasa Lio. Kemasan kreatif kuliner lokal berbasis pare
‘padi’ atau are ‘bera‘ itulah yang menjadi sajian prestisius dalam masayakat lokal tatkala menerima tamu dan pejabat pemerintah mauun para pemimpin
agama. Suguhan khas yang berbahandasarkan pare ‘padi’ adalah kuliner asli yang
disebut kibi atau hibi. Kibi ‘semacam emping beras yang memang diolah secara khusus’,
adalah makanan khusus dalam pelbagai ritual dan seremoni adat. Daya cipta mengolah sumber daya pare ‘padi’ lalu ditumbuk menjadi are ‘beras’
sebelum berwujud are ‘nasi’ yang siap disantap, tidak sebatas berbungkus dedaunan
khusus yang dipaparkan di atas. Berbasiskan pare ‘padi’ yang ditumbuk lalu menjadi are
‘beras’, juga dikemas dalam campuran dengan jagung sehingga menjadi are-jawa ‘nasi jagung’ dan are bue ‘nasi kacang’. Semua jenis kacang dapat dipadumasakkan dengan
are ’beras’. Akan tetapi, tidak ditemukan campuran are ‘beras’ dengan lolo ‘sorgum’.
Kendati lolo ‘sorgum’ dapat saja dipadumasakkan dengan semua jenis kacang. Bagi guyub tutur dan guyub kultur kuliner lokal Lio, nasi campur jagung dan kacang
memberikan kelesatan dan kenikmatan “lidah” yang khas dan berkesan tersendiri. Adanya rangkaian ritual khusus pada tahapan penanaman hingga pesta panen
padi atau mi are adalah petanda dan penanda betapa kedudukan pare ‘padi’, tidaklah
hanya demi memenuhi kebutuhan biologis padidan manusia, dalam hal ini warga guyub tutur bahasa Lio. Sebagao makan pokok dengan kandungan karbohidrat tertinggi bagi
kebutuhan bilogis manusia, ritual sejak tedo ‘menanam’, saat ritual remba ‘panen
perdana jagung dan daun kacang panjang’, hingga keti ‘panen’ dan terakhir mi are ‘menyuguhkan nasi baru bagi leluhur dan sesama’, semuanya itu merepresntasikan
sentralnya pare ‘padi’ sebagai tanaman budaya dan kebudayaan yang sarat makna dan kaya nilai adicita ideology.
Bagi guyub tutur dan guyub kultur Lio, tanaman pare ‘padi asli’ memiliki mitos
tersendiri sebagai sastra suci yang hingga kini masih dipelihara dengan sangat baik.
Guyub tutur bahasa Lio memercayai pare ‘padi’ adalah simbol pengeorban gadis dalam
mitos Ine Pare ‘Dewi Padi” band. Dewi Sri dalam masyarakat Jawa dan Bali. Baik
versi Bobi- Nombi maupun versi Ine Mbu’ ideology pengirbanan bagi sesame yang
kelaparan karena kemarau panjang, sehingga Sang Dewi Padi mengikhlaskan diri untuk dicincang di Gunung Kelindota, Lio Utara demi tumbuhnya tanaman pare
‘padi’, adalah pegangan hidup Orang Lio dalam berladang padi dan berperilaku kepda sesame di atas
landasan adicita Wuamesu ’belas kasihan’.
Meskipun pare uma ae , sudah mengimbangi kedudukan para uma maja ‘padi
gogo’ sebagai jenis padi asli, pare ‘padi’ asli tetap lestari. Kebertahanannya tak terlepas dari konteks budaya perladangan yang menempatkan pare ‘padi’ asli sebagai yang
sentral dan terpenting.
2 Leksikon jawa ‘jagung’
Leksikon jawa ‘jagung’ juga tergolong tanaman tua. Dalam taksonomi makanan
pokok, jawa ‘jagung’ telah menyatu dengan masyarakat Lio, seperti juga masyarakat
lainnya di Nusa Tenggara Timur. Jagung adalah makanan pokok kedua setelah pare ‘padi’ dalam komposisi makanan pokok dan asli masyarakat lokal Lio, seperti juga
masyarakat lainnya di Indonesia. Jawa
‘jagung’ asli Lio juga beragam kendati hanya dilabeli sebagai leksikon jawa dengan rincian, ada jawa bara
‘jagung putih’ dan jawa kune ‘jagung kuning’, dengan warna bijinya sebagai pembeda. Seperti diuraikan di atas, lihat pare, padi
ditanam mendahului padi yakni pada awal musim tanam pada bulan November atau
awal Desember setiap tahunnya tergantung turunnya hujan secara teratur. Jikalau pada bulan-bulan Juni atau Juli terjadi pula turun hujan yang agak teratur, guyub tutur
menanam kembali jagung yang dikenal dengan jawa leja ‘jagung musim kemarau’.
Jawa leja umumnya tidaklah memberikan hasil yang memadai. Remba jawa
‘panen jagung muda perdana dalam ritual pesa uta dodan sayur- sayuran kacang panjang dalam ritual Pesa Uta Dowe pada masyarakat Lise di Lio,
menjadikan jawa ngura ‘jagung muda’ sebagai sentral dalam ritual tersebut. Jawa
‘jagung’ pula yang menjadi syarat mutlak berlangsungnya ritual syukuran panen jagung perdana tatkala tanaman pare
‘padi’ lading sedang tumbuh subur menghijau. Olahan dari jawa
‘jagung’ juga ada beberapa jenis makanan khsa Lio. Hu’u ‘tepung jagung yang matang’ adalah kemasan tradisional yang lezat bagi lidah guyub
tutur Lio. Lebih popular lagi adalah jawa to ‘jagung titi’ yakni emping jagung yang lezat
pula dan telah menjadi komoditas baru dengan kemasan baru pula. Selain itu, pengaruh budaya Kupang dan sekitarnya, jagung bose menjadi kemasan baru yang memperkaya
khazanah kuliner lokal berbasis jawa ‘jagung’.
3 Leksikon Bue ‘kacang’
Tanaman bue ‘kacang’ merupakan jenis tanaman yang juga sangat akrab dengan
guyub tutur bahasa Lio. Bue ‘kacang’ dengan sejumlah varietasnya: anatara lain bue tsns
‘kacang tanah’, bue kaju ‘kscsng hijsu’, bue mite ‘kacang hitam’ adalah contoh jenis kacang yang dimakan. Selain untuk dicampurpadukan dengan beras khususnya, kacang
juga dijadikan sayur-sayuran, khususnya daunnyaan. Daun kacang yang mentah dan bernas digunakan juga sebagai lalapan. Jenis kacang seperti nggoli, semakin langka
padahal mengandung protein nabati tinggi.
Sejumlah jenis bue ‘kacang’ juga dijadikan bahan-bahan ritual Remba, atau Pesa Uta
, ‘pesta panen perdana jagung’ sekitar bulan Maret. Selain jawa ‘jagung’ sebagai tanaman sentral dalam ritual iti, panenan lainnya seperti buah kacang sayur dan daun
dowe ‘kemicir’, merupakan bahan-bahan ritual yang harus dipenuhi dan digenapi dalam
ritual Pesa Uta. 4
Leksikon Uwi kaju ‘ubi kayu’ Leksikon uwi kaju
‘ubi kayu, singkong’ adalah simbol verbal untuk tanaman rakyat yang tergolong tua. Uwi kaju
‘ubi kayu’ adalah makan pokok guyub tutur Lio. Tanaman ini sangat terkenal dan sangat merakyat karena memang menajdi bahan
makanan pokok masyarakat Lio Ende. Secara morfologis uwi kaju
‘ubi kayu’ tergolong bentuk turunan atau kata majemuk. Bentuk turunan itu lebih kompelks lagi karena sejumlah varietas uwi kaju
‘ubi kayu’ tampak pada bentuk-bentuk atau konstruksi leksikon-leksikon berikut ini. Uwi
kaju mite, uwi kaju suja, uwi kaju kole; uwi kaju kune, uwi kaju fole’ uwi kaju bogo, dan
sebagainya. Varietas-varietas itu merupakan bentuk-bentuk-bentuk leksikon yang menjadi kahazanah kata bahasa Lio.
Secara ekoleksikal, leksikon uwi kaju ‘ubi kayu’ sebagai tanaman budaya sangat
penting dalam kehidupan guyub tuttur bahasa Lio. Selain dengan pare ‘padi’ sebagai
makanan pokok berjenjang nilai kultral tertinggi, uwi kaju memiliki posisi yang sangat strategis dan sangat “diplomatis”. Seperti disinggung di atas, sikap kerendahan hati dan
kesahajaan justru menggunakan ungkapan litotes dengan menggunakan kalimat Maisai kit aka uwi kaju
dengan makna harfiahnya ‘mari kita makan ubi kayu’. Bagi guyub tutur bahasa Lio, ungkapan litotes ini sangat bermakna dan pada umumnya digunakan oleh
tuan rumah di kala menyambut, menyuguhkan, dan mengundang tamu untuk makan di rumahnya. Baik dalam suasana resmi mauoun dalam situasi yang tidak resmi dan penuh
kekeluargaan, ungkapan itulah yang selalu dipakai. Ada cukup banyak jensi uwi kaju ‘ubi kayu’ yang menjadi kebanggaan. Selain
uwi kaju nuabosi ‘ubi kayu nuabosi’ yang ada di dekat Kota Ende, sejumlah vaiettas uwi
kaju juga memiliki kelezatan, baik yang diolah secara khusus maupun secara umum dikeringka. Khazanah leksikon ubi kayu adalah khazanah kuliner lokal yang sanagat
potensial untuk dikembangkan. Dapat dirampatkan bahwa leksikon uwi kaju
’ubi kayu’ secara simbolik idak hanya bernilai bilogis baik demi kehidupan tanaman itu mauoun demi kehidupan guyub
tuturnya. Selain itu ungkapan yang litotes itu jelas menjadi simbol jati diri guyub tutur bahasa Lio yang tidak hanya merendahkan diri di hadapan tamu, tetapi juga merawat
keserasian hubungan dengan sesama manusia. Uwi
‘ubi’ yang khas dan unik
BAB VI KHAZANAH LEKSIKON FAUNA PADA GUYUB TUTUR BAHASA LIO