KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka Ada sejumlah karya ilmiah ekolinguistik yang secara substansial dan ontologis berkaitan dengan penelitian ini. Kaitan substansial, kesamaan, dan perbedaannya dengan kajian ini dipaparkan secara singkat. Upaya penjelajahan atas beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para pengembang ekolinguistik, khususnya ekoleksikal, bertujuan pula untuk memaknai dan memosisikan penelitian ekoleksikal bahasa Lio, Flores. Penelitian Mbete dkk. 2007 bertajuk “Ungkapan-Ungkapan Verbal Etnik Lio yang Berfunsi Melestarikan Lingkungan”, harus diakui sebagai salah satu sumber inspirasi untuk melanjutkan penelitian ini. Demikian pula penelitian Mbete 1992 tentang “Fungsi Bahasa Lio, Flores” membuka ruang peduli akademis yang mendair dan sumber daya air, orong peneliti ihwal pentingnya penelitian ini. Ungkapan-ungkapan verbal, baik berupa tuturan-turan parsial dalam kaitan dengan prinsip-prinsip hidup dan praktek hidup sehari-hari, mengandung makna, nilai, dan pesan-pesan adicita ideology. Di antaranya adalah ungkapan verbal yang menekankan pentingnya kebersamaan, kekompakan, dan kesatuan dalam kehidupan sosial. Selain demi keserasian hidup dengan sesama, keharmonisan hidup dengan sesama makhluk yang digolongkan sebagai lingkungan alam, secara khusus amanat pelestarian mata air, adalah fungsi-fungsi ekologis yang sangat penting. Akan tetapi, hasil kajian tersebut juga merampatkan bahwa daya makna ungkapan-ungkapan tersebut sudah tidak kuat lagi. Pemahaman dan kepatuhan sikap untuk menjaga lingkungan telah menyusut. Meskipun tidak menggunakan teori dan metode ekolinguistik, secara tematik penelitian tersebut memiliki kaitan pula dengan penelitian ini. Merosotnya fungsi-fungsi sosial bahasa Lio dalam sejumlah ranah juga telah dideskripsikan oleh Mbete 1992. Dalam penelitiannya ditemukan menurunnya penggunaan bahasa Lio dalam sejumlah ranah pakai bahasa. Kendati telah dilakukan 23 tahun silam, generasi muda dalam guyub tutur bahasa Lio, memang sudah enggan menggunakan bahasa Lio, sudah beralih ke bahasa Indonesia. 2.2 Kerangka Teori, Pendekatan, dan Metode Penelitian ini menggunakan teori ekolinguistik sebagaimana telah dikembangkan oleh Sapir 1912; 2001 dan Haugen 1992; 2001, serta Bang and Door 2000. Eratnya hubungan timbal-balik antara manusia, lewat fungsi simbolik verbal, dalam wujud bahasa karena di dalamnya bentuk-bentuk lingual itu tidak hanya bentuk tetapi juga kandungan makna konseptual lihat de Saussure, 1985. Bahasa lingkungan atau leksikon-leksikon lingkungan adalah gambaran tentang realitas lingkungan, sekaligus juga representasi pengetahuan dan pengalaman guyub tutur dalam berinteraksi, berinterelasi, dan berinterdependensi dengan entitas-entitas yang ada di lingkungan. Dalam konteks itu pula sarana kelinguistikan berperan. Proses leksikalisasi, yang diikuti pula dengan gramatikalisasi, misalnya ungkapan-ungkapan yang metaforik, juga proses kulturalisasi terjadi di dalamnya, di sisi sosialisasi. Yang dimaksudkan dengan kulturalisasi dalam konteks ekolinguistik ini adalah adanya pengetahuan dan proses pemahaman secara simbollik-verbal, kemudian bersasarkan pemahaman itu terjadi proses pemeliharaan dan pengolahan sumber daya alam itu sebagai produk budaya. Pengolahan atas padi atau kelapa menjadi produk kuliner yang khas, dengan cara-cara atau teknik yang khas, tentu direkam secara verbal dalam bahasa lokal itu, itulah yang merupakan proses pembudayaan atau kulturalisasi. Pemahaman makna simbolik, misalnya padi tidaklah hanya demi perut dan kebutuhan hidup ragawi, melainkan juga adanya makna adicita yang menuntun hidup manusia, itulah proses kultural berbasis sumber daya alam. Seiring dengan bahasa dan leksikon-leksikon lingkungan itu, fenomena bahasa lingkungan sebagai praktik sosial dikembangkan juga oleh Bang dan Door 2000. Dimensi ideologikal berkaitan dengan bangunan pengetahunan kognitif guyub tutur tentang lingkungannya, dimensi sosiologikal bertautan dengan hubungan timbal balik dan kesalingtergantungan antarwarga guyub tutur. Di dalamnya dapat pula dispesifikasikan adanya kasih-sayang, cinta, atau sebaliknya benci, dendam, tidak saling kenal; sednagkan dimensi biologikal menggambarkan kesalingtergantungan dan kesalingterhubungan manusia dengan aneka entitas yang ada di lingkungan utamanya tetumbuhan, hewan, tanah, bahkan udara. Haugen 1992; 2001 menegaskan pula bahwa bahasa yang hidup itu hanya ada dalam otak dan pikiran manusia, dan secara nyata terwujudkan dalam interaksi sosail antaranggota guyub tutur saja. Dimensi ruang atau lingkungan ragawi menjadi penting bagi Haugen, dengan demikian lingkungan-lingkungan khusus bioregion dan ecoregion, secara khusus lingkungan-lingkungan tertentu berbasiskan kekayaan khusus lingkungan alam itulah yang menghasiilkan bahasa, ungkapan, dan kata-kata yang khas. Fenomena subtetnik, atau juga subkultur berbasiskan kekayaan lingkungan, merupakan gejala adanya hubungan antara bahasa, budaya, dan lingkungan lihat Cassirer, 1999. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang ditunjang pula dengan pendekatan lapangan dengan human instrument sebagai alat penjaring data. Penggalian pengalaman-pengalaman probadi personal experience diandalkan dalam penelitian ini. Khazanah leksikon dan ungkapan dalam dinamikanya lintas generasi, khususnya generasi tua dan muda di lingkungan-lingkungan khusus subkultur, di antaranya dapat diangkakan dan dihitung dikuantifikasi, khususnya berkaitan dengan penyusutan fungsi kulturalnya. Sebagai penelitian kelinguistikan, sejumlah anggota guyub tutur yang berusia tua di atas 50 tahun dengan memilih 5-7 orang dan berusia muda di atas 25 tahun 5-7 orang dijadikan nara sumber atau informan penghasil data. Anggota guyub tutur bahasa Lio, dengan mengutamakan mereka yang jarang meninggalkan lokasi dalam waktu lama, baik pria maupun wanita menjadi pilihan informan. Wawancara mendalam depth interview secara terstruktur dilakukan berdasarkan pedoman wawancara digunakan dalam pengumpulan data utama. Wawancara terstruktur untuk menggali data berkaitan dengan sejumlah subtopic ekolinguistik. Data-data tentang pengetahuan khazanah leksikon dan praktik kegerabahan diperoleh dari kaum perempuan pengrajin gerabah dan parktik kegerabahan. Data-data tentang tanaman dan tumbuhan serta hewan yang berkaitan dengandunia perladangan dalam arti luas, sedangkan khazanah bahasa kebaharian diperoleh dari para nelayan. Yang terakhir, data tentang tenun ikat juga diperoleh dari perempuan erajin tenun ikat Lio. Data sekunder diperoleh dari sejumlah pustaka yang berkaitan dengan masalah-masalah penelitian ini.

BAB III GUYUB TUTUR BAHASA LIO, DINAMIKA BUDAYA