2
1.1 Latar Belakang
Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan keamanan, yang didukung dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Tidak dapat dipungkiri
bahwa dunia pendidikan juga merupakan salah satu bidang yang terkena dampak dari globalisasi, yang berarti terintegrasinya
pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia Admadi Setyaningsih, 2005. Oleh sebab itu diperlukan proses pendidikan
yang bermutu agar menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, salah satunya melalui pendidikan tinggi di perguruan
tinggi. Perguruan tinggi merupakan satuan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi. Menurut Peraturan Pemerintah Pasal 2 Nomor 60 Tahun 1999, tujuan umum
pendidikan di perguruan tinggi adalah untuk meningkatkan taraf pendidikan masyarakat sehingga tercipta masyarakat sejahtera,
adil dan makmur. Secara khusus, pendidikan di perguruan tinggi sangat berperan dalam pembentukan, peningkatan skill dan
kualitas sumber daya manusia yang nantinya akan terjun di dunia kerja, yang salah satunya adalah meningkatkan keterampilan
dalam berkomunikasi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penguasaan bahasa asing sebagai alat komunikasi global, karena
globalisasi yang memasuki ranah pendidikan adalah bahasa. Menanggapi fenomena globalisasi tersebut, berbagai upaya
dilakukan Pemerintah Indonesia untuk memperlengkapi SDM
3
yang ada dengan penguasaan Bahasa Asing. Berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia antara lain mengajarkan Bahasa
Inggris sejak jenjang pendidikan dasar, bahkan di Taman Kanak- Kanak dan Kelompok Bermain. Sementara itu, di sekolah-
sekolah unggulan, Bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pengantar di sebagian atau keseluruhan proses belajar mengajar
Harian Kompas 14 Juli 2009, Anonim. Oleh sebab itu, sangat penting bagi perguruan tinggi
untuk memfasilitasi para mahasiswa dengan matakuliah Bahasa Inggris. Salah satu kemampuan dasar yang harus dikuasai dalam
mempelajari Bahasa Inggris adalah Speaking, karena siswa diharapkan mampu berkomunikasi dengan baik dengan
menggunakan bahasa tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Florez 1999,
Speaking merupakan hal yang penting bagi seseorang yang belajar Bahasa Inggris agar dapat berpartisipasi secara total dalam
percakapan Bahasa Inggris. Selain itu, dengan adanya pembelajaran Speaking, individu diharapkan dapat berinteraksi
dan mampu bersaing di era globalisasi. Selanjutnya, Djigunovic 2006 menambahkan bahwa Speaking, terutama dengan bahasa
asing dianggap sebagai suatu skill yang kompleks dan multilevel. Selebihnya, tujuan disediakannya matakuliah Speaking adalah
agar mahasiswa termotivasi untuk berbicara menggunakan bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris. Salah satu kegiatan yang paling
sering dilakukan dalam matakuliah Speaking adalah presentasi, yang diawali dari mata kuliah Speaking level pertama sampai
dengan level terakhir. Melalui kegiatan presentasi, mahasiswa
4
dituntut untuk mampu berbicara dengan baik di hadapan teman- temannya dan juga dosen pengampu mata kuliah tersebut
Wahyuni, 2014. Di kelas Speaking, mahasiswa dituntut untuk melakukan 3
sampai 4 kali individual presentation dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Dengan adanya tugas tersebut, tampak bahwa
mahasiswa merasa cemas dan takut untuk menyampaikan ide atau gagasan mereka. Hal tersebut sejalan dengan pendapat MacInnis
2006 yang menyatakan bahwa sebagian besar individu lebih memilih “mati” daripada harus melakukan presentasi di hadapan
orang banyak. Hal ini dipertegas oleh Tilton 2002 dengan temuan bahwa masyarakat Amerika menggolongkan berbicara di
depan umum sebagai ketakutan terbesar mereka. Tilton 2002 menambahkan, dalam kenyataannya, banyak individu yang
menyatakan lebih takut untuk berbicara di depan umum dibanding ketakutan lainnya seperti kesulitan ekonomi, menderita
suatu penyakit, bahkan ketakutan terhadap kematian. Ketakutan dan kecemasan yang terjadi dalam fenomena tersebut lebih
dikenal sebagai Communication Apprehension. Communication Apprehension merupakan kecemasan
yang dialami oleh berbagai kalangan. McCroskey 1977 menyatakan bahwa 15-20 pelajar Amerika mengalami
Communication Apprehension. Ternyata, fenomena yang terjadi di Amerika tersebut juga terjadi di Indonesia. Apollo 2007
melakukan penelitian terhadap siswa SMF Bina Darma Madiun, dengan hasil temuan bahwa 65 remaja kelas II SMF Bina
Farma Madiun mengalami CA.
5
Selain itu, kecemasan berbicara yang berkaitan dengan bahasa asing juga biasa disebut dengan Foreign Language
Anxiety. Walaupun berkaitan dengan Foreign Language Learning, penulis tidak menggunakan istilah Foreign Language
Anxiety, melainkan tetap menggunakan istilah Communication Apprehension CA. Hal ini dikarenakan CA merupakan istilah
khusus yang dipakai untuk menggambarkan perasaan cemas yang berbeda-beda dan ketakutan pelajar dalam setiap pengalaman
berbicara menggunakan bahasa asing Lahtinen, 2013. Demikian pula halnya dengan MacIntyre Gardner
1991 yang mengatakan bahwa kecemasan pada seseorang saat berkomunikasi dengan orang lain disebut sebagai Communication
Apprehension CA. Opt Loffredo 2000 juga menggunakan istilah CA sebagai bentuk dari perasaan takut atau cemas secara
nyata ketika berbicara di depan orang – orang sebagai hasil dari proses belajar sosial. Dengan demikian, belum ada istilah yang
sepadan untuk CA dalam Bahasa Indonesia. Penulis memilih CA sebagai variabel dalam penelitian ini karena adanya fenomena
yang terjadi dalam dunia pendidikan seperti yang telah disebutkan di atas.
Ada beberapa fenomena yang menarik terkait dengan Communication Apprehension. Salah satunya adalah yang
dialami oleh para mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra FBS Universitas Kristen Satya Wacana UKSW, yang merasa kuatir
dan cemas ketika harus berbicara di depan orang banyak atau saat melakukan presentasi dalam Bahasa Inggris. Berdasarkan
fenomena yang terjadi di FBS UKSW tersebut, penulis tertarik
6
untuk melakukan penelitian di kelas Public Speaking. Beberapa alasan diantaranya adalah, mahasiswa yang mengambil mata
kuliah ini telah berada di tahun kedua atau semester empat dalam jenjang perkuliahan dan sudah melewati dua level matakuliah
Speaking sebelumnya, yaitu Interpersonal Speaking, dan Transactional Speaking. Dalam matakuliah Public Speaking,
mahasiswa dituntut untuk dapat berkomunikasi secara aktif selama proses pembelajaran berlangsung. Selain itu, di FBS
UKSW, para mahasiswa dituntut untuk berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Inggris dalam berinteraksi dengan
lingkungan perkuliahan
sehari-hari. Dengan
demikian, seharusnya dapat dipastikan bahwa mahasiswa telah terbiasa
berkomunikasi dengan
menggunakan Bahasa
Inggris. Selanjutnya, dalam matakuliah Public Speaking, mahasiswa
sering mendapatkan tugas untuk melakukan presentasi individu. Selain itu, dalam matakuliah Public Speaking, siswa akan
dihadapkan pada situasi-situasi riil yang mungkin akan mereka temui didalam lingkungan sosial dan pekerjaan mereka nantinya.
Pada dasarnya, melakukan presentasi dalam Bahasa Inggris atau berbicara di depan kelas seharusnya merupakan hal
yang sangat mudah dilakukan oleh mahasiswa FBS UKSW karena mereka memang mempelajari Bahasa Inggris secara
intensif. Namun pada kenyataannya, mereka merasa frustasi, kuatir, cemas, dan tertekan ketika harus melakukan presentasi,
khususnya “oral presentation”. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Prastiwi 2011
terhadap mahasiswa kelas Speaking FBS UKSW, dengan hasil
7
81,25 responden merasa kuatir, cemas, dan tertekan ketika mereka harus melakukan presentasi atau menyampaikan ide atau
gagasan mereka. Selain itu, pada tahun 2012, saat penulis mengajar
matakuliah Public Speaking, penulis mengamati bahwa ada mahasiswa yang merasa cemas ketika diminta untuk melakukan
presentasi. Pernyataan tersebut juga didukung oleh data laporan penilaian, dari 54 orang mahasiswa yang diamati oleh penulis
pada saat itu, 46 orang diantaranya, atau 85 dari mahasiswa di kelas Public Speaking, mendapat nilai rendah pada aspek
confidence. Selain itu, pada bulan Oktober 2014, penulis juga melakukan observasi di kelas Public Speaking. Pada kesempatan
itu, selain melakukan wawancara dengan beberapa mahasiswa, penulis juga melakukan penyebaran angket kepada 48 mahasiswa
yang mengambil matakuliah Public Speaking. Dari hasil penyebaran angket dan wawancara, diketemukan bahwa 80
mahasiswa merasa cemas ketika harus berpresentasi di depan kelas. Tabel 1.1
Tabel 1.1
Tingkat CA Mahasiswa FBS UKSW di Kelas Public Speaking
Tahun Mahasiswa
Prosentase Referensi
KT KR
2011 52
12 81, 25
Prastiwi 2011 2012
46 8
85, 10 Observasi
2013 -
- -
Not available 2014
39 9
81, 25 Observasi
Keterangan : KT : Kecemasan Tinggi KR: Kecemasan Rendah
Atas dasar data empirik pada Tabel 1.1 yang menunjukkan tingginya eksistensi Communication Apprehension,
8
maka dapat disimpulkan bahwa ada masalah yang terkait dengan CA yang dimiliki mahasiswa dalam berkomunikasi. Oleh sebab
itu, Communication Apprehension merupakan isu penting yang perlu dikaji lebih lanjut.
Di kelas Public Speaking mahasiswa harus mampu berpresentasi dengan baik dan lancar guna mendapatkan nilai
maksimal. Namun, mahasiswa di tengah-tengah presentasi sering kehilangan ide yang hendak disampaikan, sehingga ada yang
meminta kepada dosen agar diijinkan untuk mengulang presentasi dari awal. Ada pula yang ketika perasaan gugup dan cemas
timbul, mereka selalu mengulang-ulang ide yang hendak disampaikan. Aksi yang sering dilakukan antara lain adalah
memainkan tangan, menggoyangkan kaki, bahkan mengucapkan kata “ehmmm” atau ‘er…er..er..’ secara berulang-ulang walaupun
telah dipahami bahwa hal tersebut tidak penting. Hal-hal tersebut diatas sejalan dengan Nevid et al.1997
yang menyatakan bahwa kecemasan berbicara di depan umum biasanya ditandai dengan gejala fisik seperti tangan berkeringat,
jantung berdetak lebih cepat, dan kaki gemetaran. Penulis menduga terdapat rasa kuatir dan kurang percaya diri yang
berlebihan dalam diri mahasiswa yang menyebabkan perilaku tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa CA terjadi
dan dialami oleh individu ketika individu harus berkomunikasi ataupun melakukan presentasi di depan umum.
Walaupun demikian, Communication Apprehension bukanlah suatu penyakit komunikasi yang tidak wajar dan setiap
individu memiliki peluang untuk mengalami CA. Communication
9
Apprehension akan menjadi tidak wajar apabila terjadi secara berlebihan, karena akan berdampak atau berpengaruh dalam
performa individu. Hal tersebut dipertegas dengan beberapa penelitian
mengenai CA dalam beberapa tahun terakhir ini, antara lain yaitu penelitian yang dilakukan oleh MacIntyre Gardner 1991,
Kurtus 2001, Thaher 2005, dan Horwitz et al. 2001 dalam Lahtinen 2013. CA memiliki peran yang sangat besar dalam
konsep Language Learning Anxiety sebagaimana diungkapkan oleh Horwitz et al. 2001 dalam Lahtinen 2013. Skill yang ada
kaitannya dengan pembelajaran Bahasa Inggris yang diteliti dalam penelitian ini adalah Speaking, karena memiliki kaitan
yang sangat erat dengan CA. Skala CA yang digunakan dalam penelitian ini adalah Personal Report of Communication
Apprehension 24 PRCA-24, yang diciptakan oleh McCroskey 1984. Penulis menggunakan PRCA-24 karena alat ukur tersebut
dapat digunakan untuk mengukur keseluruhan aspek yang hendak diteliti oleh penulis.
Berkaitan dengan
fenomena Communication
Apprehension yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk meneliti mengapa mahasiswa cenderung mengalami kecemasan
ketika melakukan presentasi menggunakan Bahasa Inggris di depan kelas, sedangkan para mahasiswa tersebut sudah sangat
terbiasa berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Inggris. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Communication
Apprehension merupakan fenomena yang bisa terjadi dimana saja, dan salah satunya di FBS UKSW.
10
Selanjutnya, dalam dunia akademik atau pendidikan, Communication Apprehension memiliki dampak yang negatif,
terutama dalam partisipasi kelas, kesuksesan akademis, dalam prestasi dan daya ingat tiap-tiap individu. Siswa dengan CA
tinggi cenderung menjadi pasif di kelas, dan sering lupa akan apa yang hendak disampaikan pada saat berbicara di hadapan orang
banyak. Erickson Gardner 1992 menyatakan bahwa siswa menengah
atas yang
memiliki tingkat
Communication Apprehension yang tinggi memilih untuk tidak melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki tingkat CA yang rendah. Elliot, et al 2000
menyatakan bahwa mahasiswa sering mengalami kecemasan saat akan menghadapi ujian ataupun saat harus berbicara di depan
orang banyak, dan kecemasan tersebut akan memengaruhi performansinya. McCroskey 1984 dalam Byers Weber
1995 juga mengatakan bahwa CA menghasilkan pengaruh negatif terhadap kehidupan ekonomi, akademis, politik, dan
sosial individu Namun sebaliknya, terdapat beberapa penelitian yang
menunjukkan bahwa CA tidak serta-merta berdampak negatif tetapi juga dapat memberikan kontribusi positif. Hal positif bagi
mahasiswa yang menyadari memiliki CA tinggi adalah mahasiswa tampak lebih mempersiapkan diri dengan baik
sebelum melakukan presentasi. Communication Apprehension dapat memotivasi individu dalam menghadapi hal baru dan
memberikan rangsangan dalam aspek emosional dalam diri
11
individu yang mengarahkan perilaku. Hal tersebut dinyatakan oleh Scovel 1991, p.18 sebagai berikut:
“----facilitating anxiety motivates the learner to fight the new learning task; it gears the learner
emotionally for approach behavior. Debilitating anxiety, in contrast, motivates the learner to flee the
new learning task; it stimulates the individual emotionally to adopt avoidance behavior.”
Smith 2003 menambahkan bahwa CA tidak semata-mata berdampak negatif tetapi juga berdampak positif. Individu yang
menyadari bahwa dirinya memiliki CA dapat juga termotivasi untuk melakukan persiapan dengan lebih baik sebelum
melakukan presentasi di depan kelas seperti berlatih dengan lebih giat, mempersiapkan diri jauh hari, dan membuat catatan ketika
melakukan presentasi. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh penulis selama
bulan Oktober 2014 menunjukkan bahwa ada mahasiswa dengan CA tinggi yang tampak berusaha keras mengatasi kecemasan saat
berpresentasi dengan membuat catatan. Namun sayangnya, hal ini membuat mahasiswa menjadi sangat bergantung pada catatan saja
atau hanya membaca, sehingga tujuan pembelajaran Speaking tidak tercapai. Ada pula mahasiswa yang mengatakan telah
berlatih dengan keras sejak beberapa hari sebelum berpresentasi, tetapi pada kenyataanya masih saja terlihat gugup. Fenomena
yang terjadi di kelas Public Speaking di FBS UKSW
12
menunjukkan bahwa dampak negatif lebih dominan dibandingkan dampak positif CA.
Pada umumnya, fokus penelitian dalam Pembelajaran Bahasa Asing Second Language Acquisition adalah pada hal-hal
yang berkaitan dengan pengajaran bahasa. Akibatnya, banyak penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut dibatasi pada
pembelajaran dan pengajaran bahasa saja, atau dapat dikatakan pembelajaran yang berpusat pada aspek kognitif, dan tidak begitu
memberikan perhatian pada aspek afektif. Hal tersebut juga menjadi salah satu penyebab tingginya tingkat CA individu,
karena ketika individu berbicara atau berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa asing,
mereka harus
benar-benar menggunakan tata bahasa yang baku dan benar. Barulah pada
akhir abad keduapuluh, SLA mulai mempelajari peran penting antara sikap dan motivasi yang dimiliki individu seperti yang
dinyatakan oleh Shamas 2006. Shamas 2006 menambahkan, bahwa dalam rangka
mendapatkan proses pemahaman holistik dalam pembelajaran bahasa asing, selain kompetensi linguistik yang perlu
dikembangkan, maka aspek afektif seperti gaya belajar, motivasi, dan kepribadian perlu diperhatikan untuk meningkatkan performa
individu, mendukung kompetensi komunikatifnya, sehingga dapat berbicara dalam bahasa asing secara spontan di berbagai
konteks sosial, dan mengurangi tingkat kemungkinan munculnya Communication Aprehension.
Selanjutnya dalam konteks pembelajaran Bahasa Inggris, Djigunovic 2006 menjelaskan bahwa Speaking merupakan skill
13
yang multilevel dan kompleks, maka diperlukan faktor-faktor pendukung untuk dapat berbicara dengan baik. Faktor tersebut
mencakup pengetahuan mengenai bahasa yang digunakan beserta topik yang akan disampaikan, dan kemampuan berbicara dalam
berbagai situasi yang nyata. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa Speaking tidak hanya memerlukan proses kognitif
melainkan juga mencakup faktor-faktor afektif. Communication Apprehension CA yang dialami oleh
mahasiswa dapat muncul disebabkan oleh beberapa hal seperti kurangnya persiapan mahasiswa, keterbatasan kemampuan
komunikasi, kurangnya pengalaman berkomunikasi di depan umum, kepribadian yang introvert, dan juga situasi yang berbeda
atau baru seperti yang dinyatakan oleh McCroskey 1984 dan Miller 2002. Pada suatu kesempatan McCroskey 1977
menunjukkan bahwa terdapat dua faktor psikologi dalam Communication Apprehension yaitu emosi dan motivasi.
Thaher 2005 menambahkan bahwa tidak hanya emosi dan motivasi saja yang memengaruhi CA dalam konteks Foreign
Language Learning, tetapi ada
beberapa faktor
yaitu psychological factors, instructional factors, dan sosiocultural
factors. Berkaitan dengan hal tersebut, Khodadady Khajavy
2013 menyatakan bahwa emosi memiliki kaitan yang erat dengan afeksi, dan salah satu faktor afeksi dalam CA adalah Self
Efficacy. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Self Efficacy merupakan
salah satu
faktor yang
berkaitan dengan
Communication Apprehension.
14
Pada suatu kesempatan, Feist Feist 2002 juga menyatakan bahwa ketika seseorang mengalami ketakutan yang
tinggi, kecemasan yang akut atau tingkat stress yang tinggi, maka biasanya mempunyai Self Efficacy yang rendah. Sementara
individu yang memiliki Self Efficay yang tinggi merasa mampu dan yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan
menganggap ancaman sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari. Ketika menghadapi tugas yang menekan, dalam hal ini
berbicara di depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka Self Efficacy akan memengaruhi cara
individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan Bandura,1997. Hal ini mencakup perasaan mengetahui apa yang
dilakukan dan
juga secara
emosional mampu
untuk melakukannya.
Oleh sebab itu, penelitian mengenai Self Efficacy penting untuk dilakukan, dengan alasan bahwa Self Efficacy
merupakan faktor yang sangat memengaruhi keberhasilan seseorang untuk berbicara di depan umum atau berpresentasi di
depan kelas Speaking. Hal ini penting karena kelancaran mahasiswa dalam Speaking akan memengaruhi kelulusannya
dalam matakuliah Public Speaking. Self Efficacy yang akan didiskusikan di dalam penelitian
ini adalah Foreign Language Learner Self Efficacy, dimana FLL Self Efficacy merupakan bagian dari Academic Self Efficacy.
Sebagaimana diungkapkan oleh Akomolafe 2013, bahwa Academic Self Efficacy merupakan penilaian pribadi mengenai
kemampuan yang dimiliki individu untuk mengolah dan
15
melaksanakan suatu tindakan dalam serangkaian pelajaran atau mata pelajaran untuk mencapai berbagai macam performance
dalam pendidikan. FLL Self Efficacy juga menjadi salah satu faktor penting dari CA dan juga menjadi alat untuk mengukur
kemampuan individu guna menyelesaikan tugas atau tujuan seperti yang diungkapkan oleh Ormrod 2006 dalam Azar
2013. Dalam penelitian ini, yang menjadi subyek penelitian adalah mahasiswa FBS UKSW. Apabila dilihat dari segi
pembelajaran Bahasa Inggris, mahasiswa FBS UKSW merupakan ‘Foreign Language Learner’. Oleh sebab itu, penulis
menggunakan istilah Foreign Language Learner Self Efficacy. Ada beberapa penelitian berkaitan dengan hubungan
antara FLL Self Efficacy dengan Communication Apprehension. Temuan dari beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara Self Efficacy dengan CA Respati, et al, 2008 dan Indi, 2009.
Maksudnya semakin tinggi Self Efficacy mahasiswa, maka akan semakin rendah tingkat CA. Sebaliknya, semakin rendah Self
Efficacy mahasiswa, maka tingkat CA akan semakin tinggi. Namun, hal tersebut berbeda dengan penelitian Cubukcu
2008, yang meneliti korelasi antara Self Efficacy dengan CA pada 100 siswa dalam program pelatihan guru Bahasa Inggris di
salah satu universitas di Turki. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara Self Efficacy
dengan Communication Apprehension. Sehubungan dengan adanya perbedaan hasil penelitian pada
beberapa penelitian sebelumnya mengenai Self Efficacy dan CA,
16
penulis tertarik untuk menguji kembali hasil-hasil dari penelitian sebelumnya.
Selain FLL Self Efficacy, motivasi juga merupakan faktor yang memberikan kontribusi penting dalam berkomunikasi
Thaher, 2005. Motivasi menurut Longman Dictionary of Contemporary English, mengacu pada alasan mengapa seseorang
ingin melakukan sesuatu. Schunk, et al. 2010 melihat motivasi sebagai sebuah dorongan dan dukungan dalam melakukan sebuah
aktivitas untuk mencapai tujuan. Motivasi yang dimiliki seseorang akan menentukan tindakan yang akan dilakukannya.
Dalam konteks pembelajaran Bahasa Inggris, motivasi yang dimiliki seseorang untuk belajar Bahasa Inggris akan
mendorong orang tersebut untuk mempelajarinya lebih lanjut. Asnawi 2002 menyatakan bahwa motivasi adalah kondisi yang
berpengaruh dalam
membangkitkan, mengarahkan,
dan memelihara perilaku tiap-tiap individu terhadap suatu aktivitas.
Sementara itu, menurut Putra 2010, motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau
mencapai sesuatu tujuan dengan kata lain sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan
hidup. Dalam
penelitian ini, penulis
memilih Motivasi
Berprestasi sebagai salah satu faktor yang dapat memengaruhi CA, karena Motivasi Berprestasi berkaitan erat dengan outcome
atau performance individu. Seperti yang dinyatakan oleh Thaher 2005 bahwa Motivasi Beprestasi merupakan faktor yang sangat
berperan dalam pembelajaran bahasa asing ataupun bahasa kedua.
17
Selain itu, Khalek 1994 menyatakan bahwa terdapat kemungkinan besar bahwa Motivasi Berprestasi memengaruhi
kecemasan. Apabila Motivasi Berprestasi individu rendah, maka individu tersebut diprediksi memiliki tingkat kecemasan yang
tinggi. Selanjutnya, Azar 2013 menambahkan bahwa Motivasi berprestasi merupakan motivasi yang memiliki andil besar dalam
pencapaian academic performance mahasiswa. Hal ini sejalan dengan kriteria penilaian yang dilakukan dalam matakuliah
Public Speaking, yaitu untuk mengukur keberhasilan siswa dalam berbicara menggunakan Bahasa Inggris, dinilai dari keberhasilan
dalam berpresentasi atau hasil performance mahasiswa. Ada sebagian besar penulis yang menyatakan Motivasi
Berprestasi dengan pandangan yang berbeda-beda. Atkinson 1964 dalam Singh 2011 menjelaskan bahwa Motivasi
Berprestasi merupakan perbandingan performance tiap individu dan juga perlawanan terhadap standar tertentu dalam sebuah
aktivitas. Dalam penelitian ini, penulis tidak menggunakan teori
motivasi dari Atkinson 1964 dalam Singh 2011, melainkan dari McClelland 1985. Dalam kegiatan belajar, Motivasi
Berprestasi merupakan salah satu faktor pendorong yang bersifat internal yang perlu ditingkatkan untuk kemajuan belajar.
McClelland 1985, menyatakan bahwa Motivasi Berprestasi sebagai kecenderungan individu untuk berupaya mengarahkan
tingkah laku dalam pencapaian prestasi. Selain itu, McClelland 1985 mengembangkan teorinya berdasarkan teori kebutuhan
Maslow, yang dikelompokkan menjadi tiga kebutuhan yaitu
18
kebutuhan akan pencapaian, kebutuhan akan afiliasi, dan kebutuhan akan kekuasaan.
Selanjutnya, ada berbagai penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya mengenai hubungan antara Motivasi
Berprestasi dengan Communication Apprehension. Beberapa penelitian menemukan bahwa Motivasi Berprestasi memiliki
hubungan yang positif dan signifikan dengan performance dalam pembelajaran bahasa asing. Hal tersebut didukung oleh beberapa
penelitian yang antara lain dilakukan oleh Putra 2010 dengan, Budiawan 2008, Yusuf 2011, dan Azar 2013, yang
menyatakan bahwa Motivasi Berprestasi berkorelasi positif dan signifikan dengan keberhasilan berpresentasi atau performance
dalam pembelajaran bahasa asing. Sebaliknya, hasil temuan berbeda ditemukan oleh
Baharudin 2013 dan Ray 1990, yang menyatakan bahwa Motivasi
Berprestasi tidak
memiliki hubungan
dengan Communication
Apprehension CA.
Temuan ini
mengindikasikan bahwa Motivasi Berprestasi tidak memiliki korelasi dengan CA.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tersebut, penting bagi penulis untuk meneliti motivasi terutama Motivasi
Berprestasi mahasiswa kelas Speaking FBS UKSW, karena motivasi merupakan salah satu fondasi dari kemampuan
berkomunikasi baik dalam komunikasi interpersonal, group, ataupun komunikasi massa. Selain itu, dalam kaitannya dengan
Foreign Language Learning, motivasi berfungsi sebagai kendali dan pengurang CA dalam diri individu seperti yang dinyatakan
19
oleh Schunk 1995. Selain itu, Khodadady Khajavy 2013 menyatakan bahwa motivasi merupakan salah satu faktor afektif
yang penting yang memengaruhi pembelajaran bahasa. Dalam penelitian ini, penulis mengaitkan hasil-hasil
penelitian sebelumnya yang menggunakan istilah performance. Hal ini disebabkan karena CA memiliki kaitan dengan
performance. Keberhasilan
seseorang dalam
penguasaan Speaking di hadapan orang banyak berpresentasi dalam konteks
pembelajaran Bahasa Inggris dapat dinilai dalam bentuk performance. Performance merupakan skill atau kemampuan dan
pengetahuan yang dimiliki individu yang seharusnya dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan sosial. Performance
berarti tampil di depan umum, yang mana dalam konteks pembelajaran Bahasa Inggris di kelas Public Speaking berarti
melakukan presentasi di depan kelas, dihadapan dosen pengampu dan mahasiswa lainnya Thaher, 2005.
Dari kondisi atau fenomena dan juga penelitian sebelumnya, penulis tertarik untuk memilih Motivasi Berprestasi
sebagai variabel dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan Motivasi Berprestasi merupakan salah satu aspek penting yang
harus dimiliki seseorang apabila mereka ingin memiliki kompetensi berbicara yang baik. Selain itu, dalam kaitannya
dengan Foreign Language Learning, motivasi berfungsi sebagai kendali dan pengurang CA dalam diri individu seperti yang
dinyatakan oleh Schunk 1995. Selain itu, Khodadady Khajavy 2013 menyatakan bahwa motivasi merupakan salah
20
satu faktor afektif yang penting yang memengaruhi pembelajaran bahasa.
Selain faktor-faktor yang telah diuraikan, perbedaan jenis kelamin juga telah menjadi fokus dalam beberapa penelitian
mengenai Communication Apprehension. Elliot Chong 2004 menyebutkan bahwa perbedaan jenis kelamin merupakan salah
satu faktor yang dapat memengaruhi CA, dimana wanita memiliki CA yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Temuan Elliot
Chong 2004 sejalan dengan penelitian Johnson dan Faunce 1973. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Johnson Faunce
1973 menunjukkan bahwa mahasiswa perempuan memiliki tingkat Communication Apprehension yang lebih tinggi
dibandingkan dengan
mahasiswa laki-laki.
Temuan ini
mengindikasikan bahwa ada perbedaan tingkat CA apabila ditinjau dari jenis kelamin. Artinya, tingkat CA laki-laki bisa
lebih tinggi maupun lebih rendah dari perempuan. Sebaliknya, dalam penelitian yang dilakukan oleh Thaher
2005 ditemukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat Communication Apprehension antara laki-laki dan perempuan
[0,731 0,05, t-hitung t-tabel 0,344 1,96]. Dengan kata lain, tingkat CA laki-laki dan perempuan adalah sama.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti Self Efficacy dan juga Motivasi Berprestasi mahasiswa
terutama dalam kaitannya dengan pembelajaran Bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Penulis ingin meneliti adakah hubungan
antara FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi yang dimiliki siswa dengan CA dalam berpresentasi. Penelitian mengenai FLL
21
Self Efficacy, Motivasi Berprestasi dan Communication Apprehension juga pernah dilakukan oleh Mettasari 2013.
Penelitian yang dilakukan oleh Mettasari 2013 menemukan bahwa hasil koefisien korelasi berganda diperoleh sebesar R=
0,772 dengan nilai signifikansi 0,000 p 0,05, yang artinya ada hubungan antara SE, MB dengan CA.
Tidak lepas dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, penulis ingin menguji kembali adakah hubungan
antara Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi dengan CA dalam Foreign Language Learning. Adapun hasil penelitian ini
diharapkan dapat membantu mahasiswa untuk menyadari tingkatan Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi yang mereka
miliki. Dengan demikian, siswa yang memiliki tingkat FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi yang rendah dapat menaikkan
tingkat FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi mereka. Hal ini diharapkan dapat menurunkan tingkat Communication
Apprehension yang
mereka miliki
dan meningkatkan
performance mereka di kelas Speaking.
1.2 Rumusan Masalah