Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832012008 BAB IV

(1)

54 BAB IV

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

Untuk mendeskripsikan dukacita dan kehilangan orang Toraja melalui ritual ma‟nenek maka penulis melakukan penelitian melalui observasi, mengikuti ritual ma‟nenek, dan wawancara serta menganalisa persepsi para partisipan tentang apa makna ma‟nenek dan bagaimana mengekspresikan dukacita mereka.

Bab ini berisi penyajian data penelitian dan analisis untuk masing-masing partisipan dalam penelitian. Data dan analisis penelitian dipaparkan dalam bentuk narasi tentang pengalaman 8 partisipan yang telah diwawancarai pada waktu, suasana dan tempat yang berbeda. Dalam penulisan ini penulis mengidentifikasikan partisipan utama sebagai partisipan pertama (P1) dan partisipan pelengkap diurutkan sebagai partisipan kedua (P2), partisipan ketiga (P3), partisipan keempat (P4), partisipan kelima (P5), partisipan keenam (P6), partisipan ketujuh (P7), dan partisipan kedelapan (P8).

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap Pra-lapangan

Menurut Bogdan ( dalam Moleong, 2010), ada 6 tahap kegiatan persiapan pra penelitian yang peneliti lakukan yakni menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajaki dan menilai lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, menyiapkan perlengkapan penelitian, memahami etika penelitian.

Sebelum melaksanakan penelitian peneliti telah memiliki data-data observasi lapangan yang kemudian menjadi bahan untuk menyusun Bab 1


(2)

55

sampai Bab 3 yang mencakup latar belakang, tinjauan pustaka dan metodologi penelitian.

2. Persiapan Penelitian

Setelah melakukan observasi tempat sejak juni 2013 peneliti mulai menentukan partisipan sesuai dengan karakteristik yang sesuai dan langsung melakukan wawancara untuk mengambil data awal pada saat mengikuti ritual ma‟nenek pada bulan Agustus 2013 di To‟Nakka dan Lempo Poton . Wawancara berlangsung dalam suasan penuh keakraban karena semua partisipan mengenal baik orang tua peneliti. Sekalipun demikian berdasarkan etika penelitian maka peneliti tetap menyampaikan maksud dan tujuan penelitian kepada semua partisipan.Selama wawancara dilakukan, peneliti melakukan perekaman gambar dan video menggunakan handy cam dan hand phone.

Analisis Data

Proses analisis data dimulai dengan pengetikan transkrip wawancara yang peneliti lakukan secara manual dengan mendengar dan menonton rekaman video sambil mengetik kata perkata. Selanjutnya peneliti menambahkan nomor (1,2,3...) pada bagian kanan transkripsi wawancara. Peneliti juga mengetik hasil observasi lapangan yang peneliti kumpulkan pada saat pengambilan data berlangsung dengan menggunakan buku catatan serta bolpoin yang selalu peneliti bawa.

B.Deskripsi Partisipan 1. Gambaran umum P1

Seorang ibu rumah tangga berusia 72 tahun. Sejak kecil sampai saat ini masih melaksanakan ritual ma‟nenek. Wawancara dengan P1 berlangsung di lumbung yakni tempat menyimpan padi masyarakat Toraja sekaligus tempat duduk tokoh-tokoh masyarakat pada saat berlangsung upacara Rambu Tuka‟ maupun Rambu Solo‟. Dalam beberapa kali percakapan P1 berbagi cerita


(3)

56

tentang pengalaman mengikuti ma‟nenek. Awalnya sekedar ikut-ikutan sebagai anak kecil, namun akhirnya dapat merasakan sendiri hikmah dibalik ritual ini. Ibunya meninggal disaat dia masih kecil sehingga P1 sama sekali tidak bisa mengingat bagaimana wajah ibunya namun ma‟nenek memungkinkan dia merasa dekat dengan ibunya lagi. Dia juga menyaksikan bagaimana ayahnya mengekspresikan dukacita yang dalam ketika ibunya meninggal. Sebagaimana aturan dalam budaya Aluk to dolo (agama asli orang Toraja) bahwa setiap janda atau duda harus selalu ada di samping jenasah pasangannya telanjang, tidak makan nasi, selalu menghadap ke arah selatan, hanya boleh makan makanan dingin dan minum air dingin (mentah) sepanjang jenazah belum dikuburkan.

Sampai saat ini, menjelang bulan Agustus anak-anak P1 yang ada di perantauan selalu mengirim kain.

1. Analisis P1 berdasarkan wawancara I.Proses dukacita

1. Tangisan dan kerinduan

Masannang omiki’ too nak tibaya’ sussa sia mali’ta maringan mangka omiki’ sitammu. Saya merasa senang, legami lagi (lega setelah ma‟nenek sebagai obat duka dan kerinduan).

Maringan mangka omiki’ sitammu (lega rasanya setelah berjumpa lagi)

Dipaa lan penaa bang tae’ka ta ma’din tumangi’ punala (selalu ada kerinduan dalam hati saya tetapi tidak boleh menangis sembarang waktu)

2.Harapan

Dikua dennoupa’ temai bati’ na matinuru’

Ekspresi perasaan tersurat dan tersirat berdasarkan observasi P1 merasa senang, lega setelah berkesempatan melakukan ritual ma‟nenek setelah sekian

lama menyimpan

kerinduan dalam hati saja


(4)

57 ndaka’ kande dio lu padang na tau ..yaa..saya juga percaya kumua na sae temai nenek lan pangimpi (saya berharap semoga anak cucu saya tetap sehat dalam mencari nafkah di rantau orang dan supaya juga datang dalam mimpiku)

lewat ritual ma‟nenek anak cucu senantiasa dilindungi oleh leluhur dan ketika sedang rindu leluhur juga hadir dalam mimpi

II.Ekspresi dukacita dan kehilangan Tulang-tulangnya saya bersihkan, pakaiannya juga dirapikan

Biasa ada yang menangis, biasa dukana’ mbating, tumangi’ ba’tu mattuna’-tuna’ (saya juga masih sering meratap, dan menangis kalau ada jenazah yang baru diritualkan. Tapi untuk jenazah yang sudah lama dikuburkan cukup dengan curhat saja) Diseroi, dialloi ta maringan sondana uai mata (saya membersihkan, menjemur tulang-tulang sebagai ganti air mata dan ternyata itu melegakan perasaan saya) Saya menangis dalam hati, bicara biasa seperti ketika mereka masih hidup, saya cerita banyak too

Semua lingkungan kuburan saya bersihkan

Meratap, menangis, curhat membersihkan tulang-tulang jenazah maupun lingkungan sekitar pemakaman sesungguhnya adalah pengganti air mata dukacita

III.Makna ma‟nenek

Belanna dipokaboro’ (karena saya menyanyanginya)

Saya merasa senang karena saya tetap massiman-siman sia messa’bi pada mereka seperti waktu masih hidup (hormat dan penghargaan

Koo mbai saba’ tae’ bang mo ta tanga’ sussa tonna mane male (saya ma‟nenek sebagai ungkapan kesedihan karena waktu baru meninggal pikiran hanya tertuju pada

P1 memaknai ma‟nenek sebagai ungkapan kasih sayang, hormat dan penghargaan serta kesempatan untuk menyatakan dukacita yang sempat tertunda


(5)

58 persiapan upacara sehingga saya lupa pada kesedihan saya)

Kesimpulan

Ma‟nenek menjadi kesempatan bagi P1 untuk menyatakan kerinduan yang telah dipendamnya cukup lama. Melalui perilaku, menjemur tulang-tulang, curhat dan membersihkan lingkungan di sekitar kuburan sebagai ganti air mata, P1 juga menyatakan sikap hormat, kasih sayang dan penghargaannya kepada orang tua sama seperti ketika mereka masih hidup. Perasaannya menjadi lega dan ringan. Dibalik semua itu terbesit juga harapan P1 agar leluhur senantiasa menyertai anak cucu dalam mencari nafkah di manapun mereka berada.

Ma‟nenek merupakan ungkapan kesedihan yang tertunda karena pada saat orang tuanya baru meninggal pikiran hanya tertuju pada persiapan upacara pemakaman sehingga P1 lupa pada kesedihannya. Kematian adek iparnya alm.Toding mengingatkan P1 kembali pada rasa kehilangan terbesar yang pernah ia alami yakni ketika ayah dan kedua mertuanya meninggal dunia.

Pengalaman ma‟nenek sejak kecil dari sekedar ikut-ikutan sampai akhirnya terlibat dalam ritual ini tanpa ia sadari ternyata mampu menumbuhkan perasaan yang sangat dalam, sikap hormat dan sayang kepada ibu, ayah dan kedua mertuanya sekalipun mereka kini tiada lagi. Setelah dua kali ma‟nenek maka selanjutnya P1 merasa cukup untuk “menjenguk” ibu, ayah dan mertuanya saja. Tidak ada lagi tangisan apalagi ratapan.

2. Gambaran umum P2

Seorang ayah dari 3 orang anak, saudara almarhum Toding, ipar P1. Selama ini tinggal di Timika, Papua. Pada bulan Agustus 2013 datang ke Toraja


(6)

59

untuk menghadiri ritual ma‟nenek bagi adek dan ayahnya. P2 merasa sangat sedih ketika mendengar adeknya sakit lalu meninggal, karena selama ini adeknyalah yang menjadi ambe’ tondok (yang di tuakan di kampung) sebagai pengganti almarhum ayahnya. Berperan sebagai tempat bertanya segala sesuatu yang berhubungan dengan adat istiadat sekalipun ia masih terbilang muda. P2 merasa putus asa karena adek yang selama ini ia andalkan tinggal di kampung kini tiada lagi. Kesedihan yang dalam seperti itu, juga dirasakan saat ma‟nenek untuk pertama kali bagi ayahnya Nek Tandi di To‟ Nanna‟.

P2 mengisahkan bahwa sejak kecil sering diikutkan oleh orang tuanya dalam ritual ma‟nenek. Akhirnya diapun terlatih menjadi “ahli” dalam hal mengikat dan membungkusan jenazah atau tulang-tulang. P2 paham berapa jumlah simpul ikatan untuk setiap jenazah. Hal tersebut didasarkan pada jumlah kerbau yang dipotong pada saat upacara pemakaman jenazah tersebut.

Analisis P2 berdasarkan wawancara I.Proses dukacita

1.Tangisan dan kerinduan

Yoo begitu mi anakku baru ada tempat untuk menangis karena waktu baru meninggal pikirkan segala macam keperluan jadi tidak rasa sedih. Manee ri sito’doan uai matangku ( air mataku jatuh berlinang padahal selama ini saya tidak merasakan apa-apa).

Saya menangis sambil

mengeluarkan batang rabukna (tulang-tulangnya) kasian.

Betapa sakitnya mane sito’doan ri uai matangku belanna mali’ku (air mataku jatuh bercucuran karena kerinduan yang dalam). Mandaka’ bang tu penaangku (hatiku selalu

Ekspresi perasaan tersurat dan tersirat berdasarkan observasi

Dua tahun menahan kesedihan yang dalam bukanlah sesuatu yang mudah bagi P2.

Maka saat ritual ma‟nenek dilaksanakan itulah kesempatan baginya untuk menangis

meringankan segala beban yang disimpannya selama ini

Betapa berat dan dalamnya perasaan kehilangan karena ditinggal adeknya.


(7)

60 mencari-cari). Dua tahun mi lebih ditahan mandaka’ penaa tapi kan tidak boleh menangis (sudah dua tahun saya hanya bisa menangis dalam hati saja)

2.Penolakan

Nakua penaangku matumbai na yaa, mangura maro’paa. Minda paa la kisattuan na tae’ mo adingku lan tondok (hatiku bertanya-tanya bahkan menolak, mengapa mesti adekku yang masih muda, siapa lagi yang dapat kami andalkan di kampung)

3.Merasa bersalah

Terlamba’ liuna’ dikka’ rangi karebanna adingku dadi susi mi too. Sitonganna bisa bang paa dipotau (Sebenarnya masih bisa ditolong tapi sayang sekali saya terlambat mendapat kabar tentang kondisi kesehatan adekku)

Ada perasaan tak rela bahkan menolak, mengapa harus adeknya yang secepat itu meninggal. P2 merasa sangat kehilangan sosok yang selama ini diandalkannya

Di sisi lain P2 merasa bersalah tak dapat menolong adeknya lebih cepat padahal kemungkinan itu menurut dia, sebenarnya ada.

II.Ekspresi dukacita dan kehilangan Kuseroi dikka’ ku alloi sia kukamayai (saya membersihkan tulang –tulang adek saya lalu menjemurnya)...ternyata beda waktu saya membungkus tulang-tulangnya adekku. Kalau orang lain perasaan biasa saja. Tapi ini adekku saya betul-betul menangis sambil keluarkan tulang-tulangnya . Mungkin karena terlalu lama pendam sedih. Padahal waktu dipesta (diupacarakan) biasa saja.

Yaa karena pikirkan segala macam keperluan jadi tidak rasa sedih.

P2 mengungkapkan dukacita dan kehilangan yang dirasakannya pada ritual ma‟nenek

dengan membersihkan, menjemur dan membungkus tuang-tulang adeknya.

Amat besar perbedaan yang P2 rasakan ketika merawat tulang-tulang adeknya dibandingkan dengan orang lain


(8)

61 Waktu satu bulan mi lebih dikubur baru terasa. Mapa’dik liuki’ pale’ maneri sito’doan uai matangku (saya baru merasakan betapa sakitnya ditinggal adekku).

Dua tahun lebih bayangkan itu bagaimana sedih ditahan lama-lama.

III.Makna ma‟nenek

Untung sudahmi ma‟nenek jadi kepalaku yang kemarin-kemarin berat sekali sudah langsung kayak kosong. Maringan liu mo (Kepalaku yang kemarin terasa amat berat kini menjadi ringan berkat ma‟nenek)

Ma‟nenek menolong P2 mampu menerima kenyataan, perasaannya juga menjadi ringan dari berbagai beban yang selama ini ditahannya.

Melalui proses dukacita , yakni tangisan dan kerinduan P2 menyadari betapa pentingnya ritual ma‟nenek karena pada saat itulah ia dapat mengungkapkan dukacitanya yang tertunda selama ini karena sibuk mempersiapkan kebutuhan upacara pemakaman bagi adeknya. Pada sisi lain juga tradisi tidak mengizinkan siapapun untuk menangis “tidak pada tempatnya”. Hal tersebut nampak antara lain dari ungkapan:

Yoo begitu mi anakku baru ada tempat untuk menangis karena waktu baru meninggal pikirkan segala macam keperluan jadi tidak rasa sedih. Manee ri sito’doan uai matangku ( air mataku jatuh berlinang padahal selama ini saya tidak merasakan apa-apa). Betapa sakitnya mane sito’doan ri uai matangku belanna mali’ku (air mataku jatuh bercucuran karena kerinduan yang dalam). Mandaka’ bang tu penaangku (hatiku selalu mencari-cari). Dua tahun mi lebih ditahan mandaka‟ penaa tapi kan tidak boleh menangis. Reaksi lain yang ditunjukkan oleh P2 atas kepergian adeknya adalah penolakan:


(9)

62

Nakua penaangku matumbai na yaa, mangura maro’paa. Minda paa la kisattuan na tae’ mo adingku lan tondok (hatiku berkata mengapa harus dia yang masih terlalu muda)

Ada juga perasaan bersalah:

Terlamba’ liuna’ dikka’ rangi karebanna adingku dadi susi mi too. Sitonganna bisa bang paa dipotau (Sebenarnya masih bisa ditolong tetapi sayang sekali saya terlambat mendapat kabar tentang kondisi kesehatan adekku)

P2 mengekspresi dukacita dan kehilangan yang dirasakannya dengan membersihkan tulang-tulang adeknya lalu menjemur dan menyimpannya kembali

Kuseroi dikka’ ku alloi sia kukamayai (saya membersihkan dan merawatnya) Akhirnya bagi P2, makna ma‟nenek adalah ritual dimana ia dapat mengungkapkan segala kesedihan hatinya sehingga perasaannya menjadi lega

Untung sudahmi ma’nenek jadi kepalaku yang kemarin-kemarin berat sekali sudah langsung kayak kosong. Maringan liu mo(syukurlah, setelah ma‟nenek perasaan saya menjadi lega)

3.Gambaran umum P3

Seorang ibu rumah tangga usia 53 tahun, mempunyai 4 orang anak. Suaminya sudah bertahun-tahun menjadi TKI di Malaysia dan hanya sekali-kali pulang ke kampung. Dialah yang tinggal menjaga tongkonan sesekali-kaligus menjadi orang tua tunggal bagi anak-anaknya dan 7 orang anak dari almarhum kakaknya. Wawancara dengannya berlangsung saat P3 sedang


(10)

63

duduk-duduk di pematang setelah menanam padi. Letak sawahnya tidak jauh dari kuburan keluarga besarnya. P3 sejak kecil juga sudah terbiasa mengikuti ritual ma‟nenek namun ma‟nenek kali ini benar-benar berbeda dari sebelumnya. P3 mengatakan bahwa inilah ma‟nenek kedua yang membuatnya benar-benar sedih setelah ma‟nenek bagi ayahnya. Namun lama kelamaan akhirnya P3 merasa jauh lebih kuat kembali setelah bertemu ayahnya lagi dan curhat kepada kakaknya. Baginya, ma‟nenek adalah obat yang sangat mujarab.

3.Analisis P3 berdasarkan wawancara Proses dukacita

1.Tangis dan kerinduan

Selalu mau menangis tapi kan tidak boleh sembarang too, yaa ditahan mi saja

Saya baru merasakan betapa berartinya kakaku kasian. Lan bang penaangku lai’(saya memendam semua perasaan duka dalam hati) .Saya rindu sekali kakakku dia andalan kami kasian..

.sudah lama saya mau datang bercerita tetapi belum bisa jadi saya menangis siang dan malam di rumah pada saat tidak ada orang..itu pun di sini saja ( sambil menunjuk dada) Natappe kan dikka’ ( dia meninggalkan saya)

Saya selalu berharap dia datang dalam mimpi. Menjenguk kami. Anak-anaknya juga masih kecil kasian....

“dikka’ tu kakak ku oo kakakku (Oh kakak ku mengapa ini harus terjadi ) 2.Marah

saya dulu selalu marah dalam hati kenapa dia cepat pergi... .matumbai dikka’ na kakang ku. Tae’ liu na tarimai

Ekspresi perasaan tersurat dan tersirat berdasarkan observasi

Kerinduan kepada almarhum kakaknya selalu menghantui hari-hari P3. Betapa beratnya kehidupan tanpa kakaknya lagi.

Namun semua itu hanya dipendam dalam hati oleh karena sebagai orang Toraja pantang baginya untuk menangis di sembarang tempat dan waktu.

P3 mencurahkan perasaan kehilangan yang dialaminya bukan hanya dengan tangis dalam


(11)

64 penaangku. Lama’ apa mokan dikka’ na tae’pa apa naissan te mai pia (hatiku sangat sulit menerima, mengapa harus kakakku yang begitu cepat harus meninggalkan kami).

3.Merasa bersalah

Ku kua tae’ dikka’ pabelang ku untoe penaam mu kakangku (saya menyesal tak mampu mempertahankan nyawa kakakku) .

4.Menerima kenyataan

Inang laa tontong diingaran paa bua’ rika na laa sule pa. Inaang laa tontong diingaran paa ko bua’ rika na laa sule pa

.mui la tappu’ tu uai matangku inang tae’ mo gai’na . de’ to na melae mo dikka’ jo mai sakinna (kenangan bersama kakakku tak akan pernah terlupakan, namun kenyataan ini saya harus terima dengan lapang dada).

kerinduan namun juga dengan kemarahan atas kepergian kakaknya.

P3 juga merasa bersalah seakan-akan kematian kakaknya disebabkan oleh ketidakberdayaannya melakukan sesuatu untuk menyelamatkan nyawa kakaknya.

Setelah sekaian lama memendam perasaan kehilangan, lalu berkesempatan mengungkapkannya lewat ratapan dan tangis dalam ritual ma‟nenek akhirnya P2 mampu menerima kenyataan itu. “bua’ rika na laa sule pa” (dia tak mungkin kembali lagi).

III.Ekspresi dukacita dan kehilangan Mbating na’ lai’, ku tonganni ungkaroi sarro budangku. yoo kalau tidak ada itu ma’nenek terpaksa ditahan terus tapi berat di sini (sambil pegang kepala lalu dada). Dennoupa’ tontongkan dikka’ na tiro. De’ too na melayo mo tu kakang ku (saya meratap mengeluarkan seluruh isi hatiku. Entah bagaimana hidupku seandainya tidak ada ma‟nenek karena disitulah tempatku bisa meratap)

P3 merasa lega setelah

mengungkapkan dukacitanya melalui ratapan pada saat ritual.

IV.Makna ma‟nenek

Terima kasih ada ji bulan nenek. Bisa


(12)

65 Puas makka bating . Pedappi matoto’ ku te ma’ nenek. Mata na ku sa’ ding yaa (sambil pegang kepala lalu dada) ringan...ringan. (saya puas setelah meratap, ringan rasanya...terimakasih untunglah ada ma‟nenek)

Tumba yaa kapuanna gai’ na te ma’nenek. Karapanna yaa na tae’ koo la ma pa’dik bang mo’ aku dikka’ natemme’ rokko sussangku (betapa besarnya manfaat ma‟nenek bagi saya, seandainya tidk ada entah bagaimana hidupkusetelah ditinggal kakakku)

hubungan psikososial dengan almarhum kakaknya sehingga sekalipun rasa sedih itu masih ada namun ada kelegaan, hati dan kepala sudah terasa lebih ringan.

Kesimpulan

P3 selalu berusaha menahan kesedihan yang dirasakannya di dalam hati. Seringkali ingin ke makam kakaknya untuk menangis namun itu tak mungkin dilakukannya :

.sudah lama saya mau datang bercerita tetapi belum bisa jadi saya menangis siang dan malam di rumah pada saat tidak ada orang..itu pun di sini saja ( sambil menunjuk dada)Natappe kan dikka’ ( dia meninggalkan kami)

Reaksi lain yang ditunjukkan P3 karena ketidakmampuan menerima kenyataan atas kepergian kakaknya yang dianggapnya terlalu cepat adalah kemarahan, sikap tersebut nampak dari ungkapan:

“saya dulu selalu marah dalam hati kenapa dia cepat pergi... .matumbai dikka’ na kakang ku. Tae’ liu na tarimai penaangku” (mengapa harus kakakku, hatiku tak bisa menerima itu).

P3 tidak hanya marah atas kematian kakaknya namun juga merasa bersalah karena tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolong nyawa kakaknya.


(13)

66

Ku kua tae’ dikka’ pabelang ku untoe penaam mu kakangku (saya tidak berdaya mempertahankan nyawamu kakakku).

Setelah melewati waktu yang cukup panjang akhirnya P3 mampu menerima kenyataan atas kepergian kakaknya

Inang laa tontong diingaran paa bua’ rika na laa sule pa. Inaang laa tontong diingaran paa ko bua’ rika na laa sule pa (Kenangan bersama kakakku tak akan pernah terlupakan, namun kenyataan ini saya harus terima dengan lapang dada).

Ia percaya bahwa Tuhan lah yang mengatur kehidupan setiap orang,

Ku kua dikka mbai madosa mo’ ma’pasudung sia sengke lako Puang Matua apa ko lan mata penaangku inang ku kanassai kumua kenna tang mamaseNa Puang umpamatoto’kan na laa ma’ apa tongan mokan dikka’.

(Saya merasa berdosa telah marah kepada Tuhan atas kepergian kakakku tapi hati kecilku sungguh mengimani bahwa hanya Tuhanlah sumber kekuatan bagiku untuk menerima kenyataan ini)

Meratap sambil mengungkapkan semua dukacita yang terpendam selama ini menjadi pilihan P3 untuk mengekspresikan dukacita dan kehilangan yang dirsakannya: Mbating na’ lai’, ku tonganni ungkaroi sarro budangku (saya meratap mengeluarkan seluruh isi hatiku).

P3 memaknai ma‟nenek sebagai obat manjur pengobat dukacitanya yang terpendam selama ini. Pedappi matoto’ ku te ma’ nenek. Mata na ku sa’ ding (ma‟nenek adalah obat mujarab bagi saya, perasaanku menjadi lega).

4.Gambaran umum P4

P4 adalah seorang pemuda berusia 29 tahun, anak sulung dari 7 bersaudara. Menyelesaikan pendidikan S1 di sebuah universitas di Surabaya.


(14)

67

Setelah tamat P4 melamar pekerjaan dan diterima sebagai salah satu karyawan PT Pelni di Jakarta. Dialah yang saat ini menjadi harapan keluarga untuk membiayai semua adek-adeknya dan membayar utang upacara pemakaman ayahnya.

Analisis P4 berdasarkan wawancara I.Aspek dukacita dan kehilangan 1.Tangis dan kerinduan

Saya juga tidak tenang selalu didatangi papa dalam mimpi

kalau sudah begitu saya langsung bangun menangis ternyata papaku benar-benar telah pergi.

2.Putus asa

Kadang saya berfikir lebih baik saya pulang saja urus adek-adek. Apa gunanya saya bekerja lagi toh papa juga tidak ikut nikmati gaji saya. 3.Marah

Jujur saya marah . Papa terlalu cepat pergi. Mengapa Tuhan seperti itu sama kami kasian. (mengepalkan tangan, diam lalu tertunduk). Apa yang harus ku lakukan untuk adek-adekku.

4.Merasa bersalah

Merasa bersalah ka’. Kasian sekali papaku terlambat di antar ke Makassar untuk berobat karena di Jakarta ka‟. Padahal kalau lihat keadaannya waktu itu masih besar ji peluang untuk sembuh Tapi yaa begitu ...gara-gara saya terlambat datang

5.Menerima kenyataan

Saya sebenarnya masih sedih tapi toh

Ekspresi perasaan tersurat dan tersirat berdasarkan observasi

Kerinduan P4 pada sosok ayah sering terbawa dalam mimpi

Pencurahan perasaan dilakukan oleh P4, kadang putus asa, merasa bahwa apapun yang dilakukannya tak ada artinya tanpa papanya lagi.

Disatu sisi P4 juga marah atas kepergian papanya yang dianggap terlalu cepat

Namun di sisi lain P4 merasa bersalah karena tak mampu menolong papanya lebih cepat


(15)

68 semua sudah terjadi. Saya bersyukur bisa lebih kuat. Sekarang ini kalau ingat papa langsung telpon adek-adek di kampung sebagai pengobat rindu, sesudah bicara dengan mereka hatiku jauh lebih tenang. Hidup mesti jalan terus sekalipun tanpa papa lagi

perasaan, akhirnya P4 menyadari bahwa kepergian papanya adalah kenyataan yang harus ia terima. Oleh karena itu berkomunikasi dengan adeknya setiap kali rasa rindu itu datang adalah cara paling tepat untuk mengobati rasa kehilangannya.

II.Ekspresi dukacita dan kehilangan Menangis ka’ kasian apa lagi waktu papa ku dijemur

Pokoknya menangis teruska‟ ..saya minta papaku saat ma‟nenek dikasih berdiri lalu saya lap mukanya dengan handuk. Saya pegang lama dan peluk dari belakang supaya tidak jatuh.

P4 mengungkapkan dukacitanya saat ma‟nenek dengan menangis,

membersihkan wajah papanya

dengan handuk bahkan memeluknya.

III.Makna ma‟nenek

ma‟nenek itu yang bikin saya sekarang tidak stres berat lagi kayak dulu. Di kuburan saya menangis saya bilang papa cepat sekali pergi adek-adekku tidak ada yang urus lagi. (dia kemudian menceritakan bahwa selama hidup bapaknyalah yang mengurus adek-adeknya.)

Jauh beda memang kak. Tapi waktu sudahmi saya ma‟nenek pertama dan mengungkapkan semua perasaanku di kuburannya papa, lebih tenangmo‟ tidak mimpi buruk lagi. Cuma memang masih selalu membayangkan papa selalu di rumah dengan adek-adekku.

Saya juga tidak pusing dan mual-mual lagi.

Ma‟nenek menolong P4 untuk memutuskan hubungan psikososial dengan papanya. Ada kelegaan, ketenangan dan semangat untuk melanjutkan kehidupan sekalipun tanpa papanya lagi


(16)

69 Kesimpulan

Selama menunggu dilaksanakannya ritual ma‟nenek bagi ayahnya beban hidupnya terasa begitu berat sekalipun gajinya untuk membayar utang-utang adat maupun kebutuhan hidup dan pendidikan adek-adeknya bukanlah masalah bagi dia. P4 selalu merasa ada sesuatu yang paling penting telah hilang dari kehidupannya. Hidup tanpa ayah baginya berarti kehilangan segala-galanya.

Proses dukacita yakni tangisan, kerinduan, putus asa, marah dan perasaan bersalah yang dirasakannya datang silih berganti,

Saya juga tidak tenang selalu didatangi papa dalam mimpi,... apa gunanya saya bekerja lagi toh papa juga tidak ikut nikmati gaji saya,.... jujur saya marah papa terlalu cepat pergi, mengapa Tuhan seperti itu sama kami ...merasa bersalah ka’, kasian sekali papaku terlambat di antar ke Makassar untuk berobat padahal kalau lihat keadaannya waktu itu masih besar ji peluang untuk sembuh .

Pada akhirnya, setelah melewati proses dukacita akhirnya P4 mampu menerima kenyataan:

Saya sebenarnya masih sedih tapi toh semua sudah terjadi. Saya bersyukur bisa lebih kuat. Sekarang ini kalau ingat papa langsung telpon adek-adek di kampung sebagai pengobat rindu, sesudah bicara dengan mereka hatiku jauh lebih tenang. ..hidup mesti jalan terus sekalipun tanpa papa lagi

Menangis, membersihkan dengan handuk, memeluk jenazah ayahnya saat ritual ma‟nenek adalah cara P4 mengekspresi dukacita dan kehilangan yang dirasakannya.

Pokoknya menangis teruska’ ..saya minta papaku saat ma’nenek dikasih berdiri lalu saya lap mukanya dengan handuk. Saya pegang lama dan peluk dari belakang supaya tidak jatuh.

Bagi P4 ma‟nenek memberikan makna yang sangat berbeda. Setelah ma‟nenek, Ia merasakan ketenangan dan tidak lagi mimpi buruk.

Jauh beda memang. Dulunya (sebelum ma’nenek) saya tidak pernah tenang papaku selalu datang dalam mimpi. Seakan-akan dia mengatakan mengapa tidak pernah jenguk dia. ...Tapi waktu sudahmi saya ma’nenek pertama dan


(17)

70

mengungkapkan semua perasaanku di kuburannya papa, lebih tenangmo’ tidak mimpi buruk lagi.

5.Gambaran umum P5

Seorang perempuan berusia 25 tahun adalah adek dari P4, dia telah menyelesaikan studinya di sebuah universitas di Makassar. Setelah tamat P5 mencoba melamar pekerjaan dan akhirnya di terima di PT Pertamina dan ditempatkan di kantor pusat Semarang. Wawancara berlangsung di rumah kontrakannya di Makassar. Pada saat ma‟nenek, P5 histeris bahkan sampai pingsan ketika peti ayahnya pertama kali dibuka. Dalam tangisannya dia mengungkapkan kerinduan pada ayahnya yang begitu cepat pergi. P5 merasa kini tidak ada lagi yang dia bisa banggakan untuk melindungi dia dan saudara-saudaranya, tidak punya siapa-siapa lagi karena semasa hidup ayahnyalah yang lebih banyak memperhatikan mereka.

Kurang lebih 6 bulan setelah ma‟nenek peneliti bertemu lagi dengan P5, wajahnya jauh lebih ceria P5 lebih bersemangat menjawab pertanyaan-pertanyaan sekalipun kadang terlihat sedih saat mengingat masa-masa ketika ayahnya masih hidup. P5 mengatakan bahwa semangat hidupnya kini sudah bangkit setelah punya kesempatan mencurahkan segala beban pikirannya selama ini pada ayahnya. P5 menyadari bahwa ayahnya yang sudah meninggal tidak mungkin mendengar semua itu tetapi yang kini ia rasakan adalah jauh lebih tenang. Berat badannya naik, makanan dan tidur sudah bisa ia nikmati lagi.

Analisis P5 berdasarkan wawancara I.Proses dukacita

1.Tangis dan kerinduan

Sejak papa meninggal tidak enak

Ekspresi perasaan tersurat dan tersirat berdasarkan observasi


(18)

71 makan . Tidak mampuka‟ ..selalu menangis karena rindu sama papa. ...Tapi Ini sudah naik 3 kg setelah ma‟nenek (kelihatan gembira)

lebih tenang mi kurasa . Bisa menangis sepuasnya di kuburan papa. Lega, ringan, jadi enak makan tidak kayak dulu lagi kalau tidak kesehatan lebih baik saya tidak usah makan saja.

2. Marah

Saya pernah marah sama Tuhan..saya bilang kenapa kasian harus papa ku . Masih banyak ji orang yang lebih tua. Papaku masih kuat, masih sangat kami butuhkan

kehilangan yang teramat dalam membuat P5 mengalami gangguan bukan hanya secara psikis tetapi juga fisik.

P5 juga marah kepada Tuhan memprotes kepergian papanya yang dianggap terlalu cepat

II.Ekspresi dukacita dan kehilangan saya menangis, bilang kami rindu papa, jangan tinggalkan kami, kami tidak bisa tanpa papa.

Menangis pada saat ritual ma‟nenek adalah cara P5 mengungkapkan dukacitanya yang dalam.

III.Makna ma‟nenek

Masih sedih kak..tapi setelah menangis di kuburan..lega, ringan, enak makan, berat badanku sudah naik, tidak lagi bangun tengah malam, dada juga tidak sakit lagi. Kami juga tidak mau sia-siakan harapan dan perjuangan papa selama ini bagi kami. Sangat berat ditinggal papa tapi hidup mesti jalan terus . Kami harus mandiri sebagimana harapan papa.

Ma‟nenek menolong P5 menerima kenyataan bahwa papanya kini tiada lagi namun hidup dan perjuangannya tak boleh berhenti


(19)

72 Kesimpulan

Kehilangan ayah yang selama ini dirasakan sebagai sosok yang sangat dekat dengan anak-anaknya menyisakan dukacita yang dalam bagi P5. Melalui proses dukacita nampak bahwa kesedihan yang dalam mengakibatkan P5 mengalami gangguan makan, sehingga berat badannya pun turun.

Sejak papa meninggal tidak enak makan, tidak mampuka’ ..selalu menangis karena rindu sama papa.

P4 juga mencurahkan perasaannya melalui kemarahan, Saya pernah marah sama Tuhan..saya bilang kenapa kasian harus papa ku . Masih banyak ji orang yang lebih tua. Papaku masih kuat, masih sangta kami butuhkan Namun akhirnya P5 mampu melewat masa-masa tersulit dan menerima kenyataan atas kepergian papa yang sangat dirindukannya.

Masih sedih..tapi setelah menangis di kuburan..lega, ringan, enak makan, berat badanku sudah naik, tidak lagi bangun tengah malam, dada juga tidak sakit lagi. Kami juga tidak mau sia-siakan harapan dan perjuangan papa selama ini bagi kami. Sangat berat ditinggal papa tapi hidup mesti jalan terus .

6.Gambaran umum P6

P6 adalah seorang kakek berusia 65 tahun, adek bungsu dari alm.Nek Tandi, paman dari almarhum Toding. Satu-satunya anak lelakinya yang merupakan bungsu dari tiga bersaudara meninggal 4 tahun yang lalu di perantauan, jenazahnya tidak dibawa pulang dan dikuburkan di Kalimantan . Sepanjang bulan Agustus (2013) P6 selalu berada di kuburan kakak dan adek sepupunya almarhum Toding untuk membersihkan, menanam pohon, bunga atau hanya sekedar duduk-duduk minum kopi yang dia bawa dari rumah. Kepergian putranya yang begitu mendadak, disusul kemanakannya membuatnya benar-benar patah semangat.


(20)

73 Analisis P6 berdasarkan wawancara I.Proses dukacita

1.Putus asa

Apa para dikka’ gai’ ku tuo male nasang mo tee to ku sattuanan (tak ada artinya lagi saya hidup, karena semua yang kuandalkan telah pergi)

...begini mi saja...saya selalu duduk duduk saja kasian melihat kuburan kakak dan kemanakan dari jauh. koo bisa paa di boko pi..ke denni keluarga mambela mane’ rampo (setelah ma‟nenek masih bisa ke kuburan tetapi hanya “dicuri” (dibuka sebentar) kalau ada keluarga yang baru tiba dari jauh.

Ekspresi perasaan tersurat dan tersirat berdasarkan observasi

P6 merasa putus asa karena di usianya yang sudah lanjut justru orang-orang yang diandalkannya telah pergi.

Kadang ia sangat rindu namun “berjumpa lagi” dengan kakak dan kemanakan namun hanya bisa sesaat jika ada keluarga yang datang dari perantauan.

II.Ekspresi dukacita dan kehilangan Dampi na’ dikka’ pa’dikku belanna inde malolle’...na turu’ omo inde to masaang adikku. Tang pa kulle tongan mo’ (matanya nampak berkaca-kaca). Saya mengobati luka hatiku karena ditinggal kedua orang terkasih yang masih sangat muda.

Saya sering duduk-duduk sendiri melihat kuburan anak dan adekku dari jauh. Hanya itu kasian yang bisa

kulakukan untuk mengobati

rinduku...tidak mungkin saya menceritakan penderitaan ku ini Mereka meninggal muda (diam, tertunduk sambil memijit jari-jarinya).

Membersihkan kuburan hampir setiap hari di bulan Agustus 2013 bahkan kadang-kadang hanya duduk dan melihat kuburan dari jauh, merupakan cara P6 untuk mengobati rasa kehilangan yang amat dalam akibat ditinggal anak dan

kemanakannya di usia yang masih muda.

III.Makna ma‟nenek

Iyo lai’ matana ku sa’ding...koo den bang paa yaa lan penaa paa bua’ rika. Tae’ na laa eloran misa ki To

Bagi P6 makna ma‟nenek adalah sarana dimana ia dapat


(21)

74 Tumampata (saya merasa lega...yaa masih tersimpan dalam hati semua kenangan, tapi ini lah kenyataan yang harus saya terima)

Kepala saya tidak terlalu pusing mi lagi selama mangka ma‟nenek. Membersihkan kuburan adalah obat mujarab bagi saya.

Yaa..makanan sudah enak saya telan, tidur juga sudah bisa...ringan mi ku rasa nak.

La sala raka pangato’ na Puang . Dennoupa’ na tontong pa matoto’ kan Mangka omiki’ ma’ nenek...den raka mi anga’

Ku kua kenna sae sia mo sola duai lan pangimping ku metaa ke mamali’ ona’ (Tuhan tidak mungkin salah, semoga anak dan adekku selalu datang dalam mimpi setiap kali saya merindukan mereka)

mengungkapkan dukacitanya sehingga perasaannya menjadi lega, mampu menerima perpisahan dengan orang-orang yang sangat dikasihinya.

Kesimpulan

Bagi P6 ma‟nenek bagi almarhum Toding sekaligus menjadi kesempatan untuk melampiaskan kerinduan dan dukacita yang amat dalam atas kepergian anaknya yang masih muda secara mendadak dalam sebuah kecelakaan kerja di Kalimantan.

Melalui proses dukacita P6 sempat merasa putus asa karena di usianya yang sudah lanjut justru orang-orang yang diandalkannya telah pergi.

Apa para dikka’ gai’ ku tuo male nasang mo tee to ku sattuanan (tak ada lagi artinya saya hidup, karena semua yang kuandalkan telah pergi

Seluruh rasa duka dan kehilangan yang dialami P6, diekspresikan dengan mengunjungi kuburan keluarganya hampir setiap hari dibulan Agustus. Membersihkan atau hanya sekedar duduk-duduk minum kopi mengenang


(22)

75

kembali kebersamaan dengan ayah, anak dan kemanakannya, bahkan

sebelum ritul ma‟nenek P6 hanya bisa melihat kuburan keluarganya dari jauh untuk megobati rasa rindunya..

Dampi na’ dikka’ pa’dikku belanna inde malolle’...na turu’ omo inde to masaang adikku. Tang pa kulle tongan mo’ (Saya mengobati luka hatiku karena ditinggal kedua orang terkasih yang masih sangat muda).

Setelah ma‟ma‟nenek P6 merasakan kelegaan. Kesepian tetap terasa namun P6 kini mampu menerima kenyataan yang teramat berat itu, kehilangan anak yang masih sangat muda disusul lagi oleh kemanakannya yang selama ini berperan sebagai tokoh mayarakat.

Matana ku sa’ding...koo den bang paa yaa lan penaa paa bua’ rika (hatiku merasa lega) . Yaa..makanan sudah enak saya telan, tidur juga sudah bisa. La sala raka pangato’ na Puang . Dennoupa’ na tontong pa matoto’ na’ (Tuhan tidak mungkin salah, semoga IA tetap menguatkanku)

C. Memeriksa keabsahan data

Untuk menguji keabsahan data penulis menggunakan metode triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data (Moleong, 2005). Triangulasi ini dilakukan dengan mewawancarai dua orang kepala adat (P7 dan P8) yang sangat berkompeten dan memiliki pengetahuan yang luas tentang adat istiadat Toraja khususnya ma‟nenek. Teknik pemeriksaan keabsahan data tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:


(23)

76 E. Triangulasi

Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data untuk mengkaji dukacita dan kehilangan orang Toraja serta apa makna ritual ma‟nenek. Data yang dikumpulkan melalui observasi dan keikutsertaan dalam ritual tersebut sudah cukup kuat namun untuk meningkatkan kredibilitas dan kehandalan data peneliti melakukan triangulasi data.

1. Triangulasi metode

Triangulasi dari segi metode memungkinkan data yang dikumpulkan tidak hanya dari hasil observasi tetapi juga diperkuat dengan metode lain seperti keitkutsertaan peneliti dalam ritual, wawancara dan studi dokumentasi.

Observasi, wawancara dan studi dokumentasi dalam upaya mengkaji lebih dalam dukacita dan kehilangan pada orang Toraja yang melaksanakan ritual ma‟nenek dilakukan dalam satu wancara khusus dengan seorang kepala adat yang mempunyai wawasan yang luas tentang adat istiadat Toraja khususnya ma‟nenek yaitu Nek Lumbaa.

7. Gambaran umum P7

Nek Lumbaa adalah Seorang pria berusia 77 tahun yang dalam masyarakat Toraja dikenal sebagai to minaa (kepala adat). P7 memilih untuk tetap beragama to dolo meskipun semua masyarakat di sekitarnya sudah menganut agama kristen. Selama ini P7 menjadi narasumber bagi berbagai kalangan yang hendak meneliti tentang budaya Toraja baik di dalam maupun dari luar negeri. Menurut P7 setiap orang harus hidup sesuai budaya leluhurnya supaya ia tidak semena-mena terhadap alam dan sesamanya. P7 merasa senang dan bangga bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan siapa pun, namun menunjukkan ekspresi yang sedih ketika menceritakan bagaimana orang-orang muda Toraja sekarang tuo tang mekaaluk (hidup


(24)

77

tanpa peduli budayanya lagi) sehingga terjadi banyak tindak kejahatan. Menurutnya banyak orang tidak lagi mengutamakan karapasan lan tondok (ketenangan bersama), tidak menghargai kehidupan pernikahan, tidak menghargai orang tua.

Hal itu menurut P7 antara lain nampak dalam ritual ma‟nenek yang hanya dilihat oleh orang-orang muda sekedar tradisi saja. Padahal menurutnya berhasil tidaknya seorang anak akan sangat tergantung pada seberapa besar penghargaannya terhadap orang tua baik ketika mereka masih hidup maupun setelah mereka sudah meninggal.

Analisis P7 berdasarkan wawancara

I.Ekspresi dukacita dan kehilangan Ekspresi perasaan tersurat dan tersirat berdasarkan observasi

selesai panen...alla‟ padang (masa antara) baru boleh pada waktu lo‟bang padang (tanah lagi kosong). tidak boleh waktu lain (tegas) nanti padi mati semua atau gagal panen, pasian (kena hama) Tae‟ na ma‟din di pogau‟ tu apa senga‟ na kande pasi tu tananan sia uai saba‟(air bah, sawah longsor).

tidak boleh pake warna hitam, tidak boleh juga yang terlalu bagus, tidak boleh makan jagung dan nasi nanti pulang baru kita ma‟tamman serre‟ (makan nasi kucing)

boleh (boleh menangis pada saat ma‟nenek) tetapi tidak boleh lagi katakan oo ibu, oo ayah . kita harus katakan berikan aku rendenan tedong, doloanna‟ lako matanna lalan ke lolangna‟ ma‟lemba kalando, ammi pasitammuna‟ dalle‟

Bagi P7 ma‟nenek bukanlah ritual dukacita maupun sukacita. Namun Ia mengakui bahwa tujuan akhir dari pelaksanaan ma‟nenek adalah demi kelegaan hati. Oleh karena itu waktu ritual dikhususkan. Hanya boleh sesudah panen di bulan Agustus. Diluar itu akan mengakibatkan bencana bagi masyarakat. Pakaian dan makanan juga haruslah sederhana.

Menangis pada saat ritual menurut P7 masih boleh tetapi tangisan itu bukan lagi karena dukacita

melainkan permohonan supaya diberi rejeki yang lebih baik.


(25)

78 masempo, limbongna‟ pala‟ na to matasak na benna‟ ringgi‟ di ratu‟i (saya menangis tetapi bukan lagi tangis dukacita melainkan permohonan supaya diberi rejeki berupa kerbau, uang dan kesehatan) yaa jangan dibawa terlalu susah tapi jangan juga dibawa terlalu senang...yang penting kaliuan penaanta (kelegaan hati) yaa belanna la morai piki‟ sitammu, mamallingki‟ (saya selalu merasa rindu untuk bertemu).

yaa makanya dibungkus. hari pertama dibuka, besoknya ma‟pakande nenek hari kedua ta mane ma‟kassa‟i...

nenek harus diberi makan terlebih dahulu baru kita makan, tidak boleh sembarang....makanan yang terbaik dipilih untuknya...”

. Tapi harus daging pilihan seperti waktu ma‟pesung (kurban persembahan untuk leluhur)

II. Makna ma‟nenek

oo karena dulu belum cukup

rezekinya jadi hewan yang dipotong belum cukup, makanya dipaundii . Masaki inaa, tang rapa‟ tau, terjadi pertengkaran too, jadi ma‟nenek itu menjadi obatnya (tangan selalu dikepal kemudian

digaruk-garuk)...tang rapa‟ ki belanna tae‟ ta sirempun un nando melona lako nenek...ia tu to tae‟ bang na

mengkilala inang laa tae‟ duka yaa apa-apan na too. Susi keluargaku daa To‟Nakka‟ tang rapa‟

Pada saat ma‟nenek leluhur

diperlakukan seperti waktu mereka masih hidup. Prosesinya mesti sesuai aturan adat yakni hari pertama peti-peti dibuka, hari kedua menjamu leluhur dengan lauk pilihan dan terakhir dijemur kemudian

dibungkus lalu disimpan kembali.

Ma‟nenek merupakan pemenuhan tuntutan adat bagi setiap keluarga yang berduka, antara lain memotong hewan kurban sesuai dengan status sosial keluarga yang meninggal.


(26)

79 ...itu baru sekarang karena

disesuaikan dengan kesempatan keluarga yang pulang dari perantauan. Semakin mahal juga kerbai dan babi laa, berat tuntutan kebutuhan upacara jadi orang mau cepat-cepat ketemu nenek too ooooo sangat beda ampo. Kita senang sekali kalau sudah pulang. Ringan karena rindu terobati lagi. Rindu kepada rara buku, buku rapo

Waktu pelaksanaan ma‟nenek juga sudah berubah dan menurut P7 kemungkinan disebabkan oleh

semakin beratnya tuntutan kebutuhan upacara pemakaman sehingga

dukacita keluarga tertunda

Pada akhirnya P7 sama dengan pengalaman partisipan lainnya merasakan bahwa ma‟nenek terbukti menolong keluarga yang

ditinggalkan lebih mampu menerima kenyataan dan menjadi sarana untuk memutuskan hubungan psikososial dengan keluarga yang telah

meninggal..

Kesimpulan

Menurut P7 ma‟nenek bukanlah ritual Aluk Rambu Tuka‟ (syukuran) maupun Aluk Rambu Solo‟ (kedukaan). Oleh karena itu pelaksanaanya tidak boleh dengan suasana terlalu gembira, namun tidak boleh juga dengan kesedihan. Pakaian yang dikenakan pun haruslah sederhana. Pandangan tersebut berbeda dengan hasil wawancara terhadap P1-P6 dan juga kenyataan di lapangan berdasarkan fakta yang peneliti temukan selama beberapa kali mengikuti ritual ini. Faktanya adalah keluarga masih meratap, menangis, syair-syair badong yakni nyanyian dan tarian kedukaan masyarakat Toraja melalui rekaman masih diperdengarkan. Ekspresi dan tingkat dukacita keluarga yang ditinggal juga sangat tergantung pada nilai yang diberikan pada seseorang yang sudah meninggal dan waktu (lama dan berapa kali ) seseorang diritualkan setelah dimakamkan. Hal tersebut nampak dari ekspresi dukacita yang ditunjukkan oleh keluarga besar nek Ambaa‟ saat


(27)

80

ma‟nenek terhadap jenazah almarhum Toding dan ayahnya almarhum nek Tandi.

Namun secara tegas P7 juga mengakui bahwa tujuan akhir dari semua yang dilakukan pada saat ritual adalah demi kaliuan penaa (kelegaan hati) ini sama dengan pengalaman dan pengakuan P1-P6. Disamping itu P7 juga mengakui kemungkinan lain dari makna ma‟nenek yaitu kesempatan untuk mengekspresikan dukacita yang tertunda,

Kusangan duka susi too tae’ri ta paduli belanna buda tu diposara’ sia ditanga’ (saya kira demikian, waktu baru meninggal saya tidak peduli pada kesedihan karena banyak yang saya dipikirkan dan harus disiapkan).

Bahkan pelaksanaan ritual ma‟nenek yang menurut P7 pada zaman dulu dilaksanakan sekali dalam 7,9 atau 12 tahun menjadi jauh lebih cepat yakni 3 tahun sekali bahkan ada daerah seperti To‟Nakka‟ yang melaksanakannya setiap tahun. Hal tersebut menurut P7 mungkin disebabkan oleh semakin beratnya tuntutan kebutuhan untuk pelaksanaan upacara pemakaman.

Sa masuli’ suli’ na mo tu allian tedong sa bai ya mo too naurunganni temai ma’rapu morai madomi’ sitammu nenek mpokada sarro budanna

(harga kerbau dan babi semakin mahal sehingga keluarga ingin segera ketemu nenek menyampaikan kelu kesahnya)

Ada kebutuhan untuk segera „berjumpa” dengan keluarga yang sudah meninggal akibat beban perasaan yang tak bisa diungkapkan selama ini. Oleh karena itu ma‟nenek menjadi amat penting bagi keluarga yang ditinggalkan. Bukan hanya sebagai kesempatan untuk mengungkapkan kesedihan tetapi P7 juga meyakini bahwa rejeki keluarga yang ditinggalkan akan sangat dipengaruhi oleh seberapa besar perhatian mereka kepada mereka yang telah meninggal.


(28)

81 F.Perpanjangan keikutsertaan

Perpanjangan keikutsertaan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang sebenar-benarnya tanpa melakukan analisa berdasarkan dugaan-dugaan. Peneliti menganggap ini sangat penting oleh karena itu peneliti tidak lagi mendatangi semua partisipan satu persatu untuk melakukan wawancara ulang melainkan mendatangi seorang mantan ketua adat yang kini telah menjadi kristen dan juga masih memiliki hubungan kekerabatan dengan P1-P6

8. Gambaran umum P8

Nek Tonga‟ adalah seorang pria yang merupakan tokoh adat berusia 80 tahun, tidak memiliki anak. Tinggal di kampung yang bernama To‟Nanna‟. Sehari-harinya bekerja sebagai petani dan oleh masyarakat setempat dikenal sebagai tabib dan dibawa ke mana-mana di Indonesia bahkan ke Malaysia untuk mengobati orang sakit. Oleh karena itu sekalipun tidak berpendidikan P8 bisa berbahasa Indonesia. Baru-baru masuk kristen setelah istrinya meninggal karena dia berfikir kalau tidak masuk kristen maka tidak ada yang akan mengurus jenazah istrinya karena semua orang di kampung itu sudah kristen.

Analisis P8 berdasarkan wawancara

I.Proses dukacita Ekspresi perasaan tersurat dan tersirat berdasarkan observasi 1.Tangis dan kerinduan

Hati kita tidak tenang too, la morai bangki’ tumangi’ sia mbating paa tae’ na ma’din (hati saya tidak tenang, sedih ingin menangis dan meratap namun adat melarang itu) ..bisa juga mereka datang dalam mimpi nakua na tae’ bang mo mu padulina’.

Memendam tangis dan kerinduan mengakibatkan P8 sering bermimpi didatangi oleh istri dan leluhurnya


(29)

82 (leluhur kadang datang dalam mimpi saya dan mengatakan bertanya mengapa saya tidak lagi memperhatikan mereka)

2.Harapan

saya meyakini too bahwa dari ma‟ nenek ini nenek dan keluarga yang telah pergi akan selalu menyertai dalam usaha. Kita juga diberikan rejeki berupa babi, kerbau, serta menyertai anak cucu di perantauan... II.Ekspresi dukacita & kehilangan

sirempunki’ sisola tu ludio mai padang mambela ta pada pada unnando kamasakkean...dikua kampinmo allian manuk, allian bai sia rendenan tedong

(saya selalu memanggil sanak saudara di perantauan untuk pulang agar kami berkumpul memohon rejeki kepada leluhur melalui ma‟nenek

Harapan akan diberi rejeki menjadi alasan utama bagi P8 tetap

memelihara ritual ma‟nenek.

III.Makna ma‟nenek

dari dulu memang sudah begitu. Kan ma‟nenek sebagai bukti sayang kita kepada nenek dan keluarga yang sudah meninggal. Paa sitonganna iatu ma’iringanna kaliuan penaa ampo. (bagi saya makna utama ma‟nenek adalah untuk kelegaan hati)

Seandainya tidak ada ma‟nenek kasian betul itu keluarga besarku. Indo’mu (tante) Limbong (P1), mbek

Ma‟nenek adalah tradisi yang

dilakukan sebagai bukti kasih sayang kepada leluhur namun P8 menyadari bahwa tujuan sesungguhnya adalah demi kelegaan hati.

Karena pada saat itu dapat mengungkapkan semua dukacita yang sempat tertunda akibat seluruh perhatian hanya tertuju pada

persiapan kebutuhan upacara pemakaman, harga-harga hewan kurban yang semakin mahal .


(30)

83 mu (om) Nek Riman (P6) sia mintu’ anak na to masaang ( anak-anak alamrhum) Sampe Karaeng (P2-P5). Sisakian sidodongan, tang ma’rundunan apa na pogau’ belanna pa’dik tang sirau. Paa tae’ ta ma’din tumangi’ sia masussa puna laa too (semua sakit, kurus, hidupnya tidak tenang karena dukacita yang amat dalam). Bayangkan ampo (cucu) bagaimana sakitnya kalau hanya disimpan di hati saja...

untung mereka sudah ma‟nenek jadi bagus mi sekarang too (keadaan mereka menjadi lebih baik).

Karena disitumi kita bisa paliu penaan ta too supaya ringan.

Koo mbai duka saba’ masuli’mo allian bai la’bi tedong (mungkin juga karena dulu hanya sibuk urus pesta dan kerbau jadi saya lupa pada kesedihan)

P8 lalu mencontohkan bagaimana ma‟nenek telah menolong P1-P6 melewati dukacitanya.

Ma‟nenek menandai berakhirnya seluruh proses dukacita.

Kesimpulan

Memendam tangis dan kerinduan mengakibatkan P8 sering bermimpi didatangi oleh istri dan leluhurnya . Sama dengan pandangan P7, P8 pun meyakini bahwa ma‟nenek tdk termasuk ARS maupun ART melainkan saat dimana keluarga yang ditinggalkan berkesempatan untuk memohon rejeki, hal tersebut nampak dari ungkapan:

sirempunki’ sisola tu ludio mai padang mambela ta pada pada unnando kamasakkean...dikua kampinmo allian manuk, allian bai sia rendenan tedong”


(31)

84

(saya berkumpul bersama sanak keluarga yang kembali dari perantauan bersama-sama mohon rejeki bahwa tidak ada lagi uang untuk membeli ayam, babi dan kerbau)

Harapan akan diberi rejeki menjadi alasan utama bagi P8 tetap memelihara ritual ma‟nenek. Ia meyakini bahwa bertambahnya rejeki seseorang tergantung pada kasih sayang dan homatnya kepada keluarga yang telah meninggal melalui ma‟nenek. Pada akhirnya P8 sama seperti P7 menyadari bahwa orang yang sudah meninggal sebenarnya tidak lagi merasakan apapun yang dilakukan terhadapnya, tetapi itu penting demi kelegaan hati orang yang ditinggal. Dengan demikian pandangan P7 dan P8 tentang makna ma‟nenek sama dengan pandangan dan pengalaman P1-P6. Setiap kali P8 selesai melaksanakan ritual ma‟nenek hatinya menjadi ringan, terhibur dan merasa lebih kuat bekerja. Selain sebagai kesempatan untuk mengungkapkan kesedihan dan harapan, P8 juga mengakui bahwa ma‟nenek adalah kesempatan untuk curhat karena semakin beratnya tuntutan tradisi mntunu (mengurbankan kerbau dan babi).

P8 lalu mencontohkan bagaimana ma‟nenek telah menolong P1-P6 melewati dukacitanya.

Seandainya tidak ada ma’nenek kasian betul itu keluarga besarku. Indo’mu (tante) Limbong (P1), mbek mu (om) Nek Riman (P6) sia mintu’ anak na to masaang ( anak-anak alamrhum) Toding. Sisakian sidodongan, tang ma’rundunan apa na pogau’ belanna pa’dik tang sirau. Paa tae’ ta ma’din tumangi’ sia masussa puna laa too (semua sakit, kurus, hidupnya tidak tenang karena dukacita yang amat dalam). Bayangkan ampo (cucu) bagaimana sakitnya kalau hanya disimpan di hati saja...

untung mereka sudah ma’nenek jadi bagus mi sekarang too (keadaan mereka menjadi lebih baik).


(32)

85

Dengan demikian sesungguhnya ma‟nenek menandai berakhirnya seluruh proses dukacita karena mampu menolong keluarga yang ditinggalkan memutuskan hubungan psikososial dengan orang-orang yang dikasihinya. Berdasarkan hasil wawancara dan analisis verbatim tentang makna tersurat dan tersirat dari P1-P8 maka peneliti menyimpulkan proses dukacita, cara mengekspresikan dukacita dan makna ma‟nenek bagi orang Toraja, sebagai berikut.


(33)

86 G.Makna Ma’nenek

Sekelompok masyarakat di Toraja melaksanakan ritual ma‟nenek sebagai ekspresi dukacita dan kehilangan yang dalam akibat kematian orang-orang yang dikasihinya. Tradisi masyarakat Toraja meyakini bahwa ma‟nenek adalah semata-mata sebuah bentuk penghormatan kepada leluhur agar tetap memberikan rezeki serta menolong mereka dalam berbagai rencana dan usaha.

Sebelum ritual peti-peti sudah dikeluarkan dari patane.

Namun peneliti justru menemukan sesuatu yang tidak pernah terlihat selama ini termasuk bagi mereka yang melaksanakan ritual ma‟nenek. Dari hasil observasi, wawancara dan keikutsertaan beberapa kali dalam ritual ini di lokasi yang berbeda, peneliti menemukan bahwa sesungguhnya ma‟nenek adalah kesempatan bagi keluarga untuk mengungkapkan dukacita dan kehilangan yang tertunda. Sebagai mana yang telah diungkapkan diawal tulisan ini bahwa kematian bagi orang Toraja bukan pertama-tama dukacita melainkan beban berat untuk menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan demi pelaksanaan upacara pemakaman (baca:pesta) yang berlangsung berhari-hari, berminggu-minggu bahkan sebulan.


(34)

87

Dalam situasi seperti itu mereka sama sekali tidak punya kesempatan untuk berduka atas kematian yang dihadapi karena lebih sibuk dengan hiruk pikuk “pesta” sampai acara selesai. Kenyataan inilah yang tidak memberi ruang yang cukup bagi orang Toraja untuk mengungkapkan dukacita dan kehilangan yang dialaminya hingga selesainya acara pemakaman.

1. Dukacita dan kehilangan yang unik, “ku seroi ku alloi sia ku kamayai” Wiryasaputra (2003) mengatakan bahwa setiap kedukaan sesungguhnya merupakan sebuah pengalaman yang bersifat unik, khas dan sangat pribadi. Pengalaman kedukaan yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang dalam budaya tertentu bisa saja berbeda dengan pengalaman orang lain walaupun sama-sama kehilangan objek yang sama. Waktu, konteks, situasi dan kondisi yang berbeda dapat membuat penghayatan dan cara mengekspresikan dukacita dan kehilangan juga akan berbeda.

Semua sanak saudara ikut merasakan dukacita

Jika dibandingkan dengan ketiga etnis lainnya di Sulawesi selatan yakni Bugis, Mandar dan Makassar, pada dasarnya orang Toraja memiliki kepribadian yang unik. Hal tersebut antara lain nampak dari rasa kekeluargaan dan penghormatan kepada para leluhur yang sangat tinggi.


(35)

88

Keunikan kepribadian orang Toraja juga nampak dari cara mereka mengekspresikan dukacita dan kehilangan dalam ritual ma‟nenek. Semua partisipan mengalami kenyataan ditinggal orang-orang terkasih namun tingkat kedalaman dukacita dan cara mereka mengungkapkan rasa kehilangan itu berbeda-beda.

Dalam pelaksanaan ritual ma‟nenek, orang Toraja memiliki cara-cara yang unik untuk mengartikulasikan perasaan duka dan kehilangan, yakni seperti yang dilakukan oleh P2:

ku seroi dikka’, ku alloi sia ku kamayai tu batang rabuk na sondana uai mata (saya membersihkan, menjemur, membungkus lalu menyimpan kembali tulang-tulangnya sebagai ganti air mata).

P2/W2/4/12/2014 No.24-25

Bahkan beberapa pemuda memakai terlebih dahulu untuk berfoto pakaian baru yang akan dipakai untuk jenazah, sambil mengikuti gaya orang yang sudah meninggal itu semasa hidupnya.

2. Litani Ratapan, mbating na’ ku tonganni karoi....

Menurut Scheineider (1984) dukacita dan kehilangan terkait erat dengan kenangan. Rasa kehilangan merupakan suatu fenomena yang tidak mungkin dapat dipahami secara langsung karena sifatnya unik, ekspresinya sangat tergantung pada budaya dan struktur perasaannya tak terlukiskan. Individu membangun hubungan dengan diri sendiri dan orang lain melalui kehilangan: kehilangan orang yang dicintai, kehilangan diri sendiri dan kehilangan masa lalu. Maka setiap orang dari berbagai budaya akan mengungkapkan perasaan tersebut secara berbeda. Peneliti setuju dengan pandangan tersebut karena dalam ritual ma‟nenek hal itu dijumpai juga,


(36)

89

yakni orang Toraja mengenang dan mengekspresikan dukacitanya dalam bentuk syair-syair duka yang puitis yang menggambarkan kenangan tentang orang yang telah meninggal.

Litani ratapan (P1)

Untuk mengungkapkan perasaan tersebut orang Toraja memiliki 2 nyanyian yang mengartikulasikan perasaannya dalam ritual ma‟nenek, yakni lewat nyanyian ratapan (bating) dan nyanyian litani (badong).

Menurut Rambe (2014), kedua nyanyian tersebut memiliki paralelisme dengan motif pengulangan dalam bahasa Toraja tingkat tinggi dan bahasa yang puitis. Inti dari kedua nyanyian tersebut adalah mengenang orang yang meninggal dengan cara menghadirkannya dalam ingatan sebagai orang hidup. Di dalam formulasi nyanyian duka ini orang yang meninggal dunia tidak pernah disebut sebagai bombo (roh) melainkan selalu disapa dalam status dan peranannya sebagai manusia secarah utuh seperti semasa ia hidup, misalnya sebagai ayah, ibu, nenek, kakak dan sebagainya.

Balun (bungkusan tulang yang menyerupai bantal guling) yang dikeluarkan dari liang dibawa ke tempat yang telah dipersiapkan dimana kaum perempuan yang duduk dengan menggunakan tutup kepala warna hitam


(37)

90

menanti dan menyambut balun-balun tersebut. Mereka memeluk balun-balun itu sambil meratap seolah-olah baru saja terjadi kematian. Suasana tiba-tiba menjadi sangat emosional dan relasi antara orang hidup dan yang mati menjadi sangat intim.

Mengikat balun

Hal tersebut peneliti saksikan dan dengar dari ratapan P3 dan P5 pada saat ritual ma‟nenek bagi almarhum Toding (26-8-2013):

P2:

mbating na’ ku tonganni karoi sarro sia pa’dik penaangku, soso mokan dikka’ (saya meratap, meluapkan segala duka yang dalam serta keluh kesahku, kami tak berdaya lagi.)

P4:

Di kuburan saya menangis saya bilang papa cepat sekali pergi adek-adekku tidak ada yang urus lagi

P5:


(38)

91

Sementara itu litani badong dimaknai sebagai nyanyian ratapan yang melibatkan banyak orang baik laki-laki maupun perempuan dengan membentuk lingkaran, bergerak amat perlahan berlawanan arah jarum jam serta bergandengan tangan mnggunakan jari kelingking.

Pada pelaksaan ritual ma‟nenek seperti yang beberapa kali peneliti ikuti di tempat-tempat yang berbeda litani ini cukup diperdengarkan melalui rekaman hand phone mengiringi prosesi ritual dan akan berhenti pada saat akan mengganti pakaian jenazah. Berbeda dengan yang dikisahkan oleh P1: dulu kita ma’nenek itu too dilakukan dengan cara bermalam satu malam dikuburan membuat pondok-pondok yang beratapkan daun nira yang disusun secara rapi, pake ki kabola ba’tu peputu’ sambako’ yang dijadikan dinding lantang-lantang untuk di tempati tidur, membuat patung – patung dari bambu muda kemudian disusun rapi, setelah itu ma’ Badong dan Ma’ Dondi sae lako melambi’.

(Pada waktu P1 masih kecil ma‟nenek dilakukan dengan membuat pondok-pondok beratapkan daun-daunan lalu bermalam di kuburan dan

menyanyikan syair dukacita ma‟badong dan ma‟dondi‟ semalam suntuk) P1/W1/10/2/2014 No 112-121

Salah satu elemen yang terdapat dalam badong adalah ajakan untuk bersama-sama berduka dan meratap atas kehilangan seseorang (Rambe, 2014). Hal tersebut nampak antara lain dari syair badong sebagai berikut: Maikomi ta mallun bating ( mari kita semua menangis)

Ta pana‟ta‟ rio-rio ( mari kita semua meratap)

Male tongan mo ambe‟ta ( ayah kita sungguh-sungguh telah pergi) Litani badong juga berisi penghiburan bagi yang berduka dan sekaligus ungkapan ketidakberdayaan manusia menghadapi kematian sebagai peristiwa yang dikehendaki Sang Khalik. Syair badong juga melukiskan pemahaman tentang kematian sebagai persekutuan kembali


(39)

92

dengan para leluhur dan anggota keluarga yang telah meninggal terlebih dahulu. Hal tersebut sesuai dengan falsafah orang Toraja yang melihat kematian sebagai kesempatan untuk kembali ke dalam perkumpulan keluarga yang telah meninggal yakni ke suatu kehidupan yang ideal –ke “rumah tak berasap”.

Laa diapapi (apa hendak dikata)

Loo mo ma‟tondok senga‟ (dia telah pergi membuat kampung lain) Unggaraga banua tang merambu (membuat rumah tak berasap)

3.Ungkapan kasih sayang dan hormat, “sebagai bukti kaboro’ sia pangangga’ ta”

Jenazah yang telah dijemur “berdiri’ lalu dibersihkan dengan handuk

Salah satu pokok kepercayaan aluk to dolo adalah keyakinan akan kontinutas kehidupan setelah kematian. Dalam masyarakat Toraja di mana ikatan sosial menempati posisi yang sangat penting maka kematian dipandang bukanlah sebagai perhentian total dari kehidupan sehari-hari melainkan hanyalah peralihan ke bentuk kehidupan yang baru.


(40)

93

P3 menulis nama alm/almh dibungkusan masing-masing

Perilaku dalam ritual ini mengungkapkan keyakinan tersebut antara lain tidak boleh melangkahi jenazah yang sedang dijemur, mengganti pakaian dan bungkusan dengan sangat hati-hati bahkan apapun yang hendak dilakukan selama ritual harus “ permisi” terlebih dahulu. Dilakukan juga ma‟pakande nenek (menghidangkan makanan dan minuman bagi leluhur/keluarga yang sudah meninggal). Hal tersebut sesuai dengan penjelasan P7:

”...nenek harus diberi makan terlebih dahulu baru kita makan, tidak boleh sembarang....makanan yang terbaik dipilih untuknya...” P7/W7/4/3/2014/No. 85-87

Pemenuhan kebutuhan jasmani orang yang meninggal dunia menjadi salah satu aspek penting dalam ritual ini juga sebagai ungkapan kasih sayang dan hormat. Jenazah dan tulang-tulang pun tetap diperlakukan sebagaimana semasa hidupnya. Pandangan ini sesuai juga dengan yang disampaikan oleh P1:

Kita sayang karena waktu hidup kan mereka sayang juga kita too, Orang tua harus disayang karena mereka yang besarkan kita. kan ada firman Tuhan yang mengatakan “ hormatilah ayahmu dan ibumu


(41)

94 P1/W1/10/2/2014/No.8-12

Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh P8: dari dulu memang sudah begitu, kan sebagai bukti kaboro’ sia pangngga’ ta

P8/W8/1/3/2014, No.13-14

4.Kesempatan untuk curhat, mattuna’-tuna’ tu mintu’ apa dadi lan tondok

P1 sedang curhat di depan jenasah keluarganya

Pemahaman tentang kontinuitas seperti di atas juga mempengaruhi sikap keluarga dalam memperlakukan jenazah atau tulang-tulang. Sebagaimana waktu masih hidup maka ketika mati pun melalui ritual ini keluarga menceritakan semua yang terjadi sejak mereka ditinggal.

Hal tersebut terdengar dari tangisan keluarga pada saat ritual ma‟nenek almarhum Toding di To‟Nakka‟ (26:8-2013).

P2

O adingku maparri’ mo dikka’ temai anakmu mu tampe (adekku anak-anakmu kini sengsara engkau tinggalkan ).


(42)

95 P5

Papa susi bang mo kan dikka’ manuk natampe ndokna, tae’ mo ummpadulikan, tae’ mo sengkei sia unnada’i kan

(papa kami sudah seperti ayam kehilangan induk, tidak ada yang perhatikan, tidak ada lagi yang marahi)

Tae’ mo tau sengke ke tae’ ki melada’ ( tidak ada lagi yang marah kalau kami tidak belajar)

Pada saat ritual juga peneliti memperhatikan P1, setelah duduk cukup lama di depan pintu kuburan, P1 kemudian berpindah lalu duduk sambil mencabut rumput rumput namun mulutnya terus komat-kamit. Peneliti hanya mengambil gambar dari jarak jauh dan tidak berusaha mendekat agar tidak mengganggu P1 yang kelihatannya sangat serius berbicara pada seseorang pada hal di sekitarnya tidak nampak seorangpun. Beberapa waktu kemudian dalam wawancara peneliti bertanya mengapa P1 kelihatan komat-kamit pada saat ritual.

“mattuna’-tuna’ na’ tu mintu’ apa dadi lan tondok sia umpokadana’ issi penaangku”

(saya menceritakan kejadian-kejadian di kampung dan isi hatiku).

5.Reuni dan Harapan dibalik ma’nenek, dinii sirampun unnanga’ pangandota

Menurut P7 ma‟nenek adalah kesempatan dinii sirampun unnanga’ pangandota (berkumpul untuk menyampaikan harapan) P7/W7/4/3/2014 No 32-33


(43)

96

Dalam masyarakat Toraja dikenal istilah pa‟rapuan; dari kata rapu yang artinya hubungan kekeluargaan berdasarkan hubungan darah; keluarga besar. Hubungan ini menyangkut seluruh anak-cucu. Hubungan darah daging inilah yang mendasari persekutuan orang Toraja dalam sebuah tongkonan (rumah keluarga besar) dan juga membangun kuburan bersama.

Reuni keluarga saat ma’nenek

Ma‟nenek menjadi kesempatan bagi keluarga untuk berkumpul kembali termasuk yang ada di perantauan. Menjelang bulan Agustus mereka kembali ke kampung halaman dengan “oleh-oleh” masing-masing untuk diberikan kepada keluarga yang telah meninggal. Pada saat ritual mereka akan menyampaikan harapan-harapan mereka agar leluhur senantiasa menjauhkan mereka dari malapetaka dan memberkati pekerjaan mereka di manapun keluarga besar berada. Jika ada keluarga yang dianggap belum berhasil maka ia akan diingatkan bahwa jangan-jangan itu disebabkan oleh karena ia tidak pernah menyayangi leluhurnya. Keyakinan tersebut disampaikan juga oleh hampir semua partisipan.

6. Kerinduan dan Attachment Behaviour dalam ritual ma‟nenek

Sekali pun P5 sadar bahwa papanya kini tiada lagi namun ia selalu berusaha untuk mempertahankan kehadiran sosok ayahnya dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut nampak dari ungkapan:


(44)

97

saya masih bicara, minta pendapat dan izin sama papa. Saya tahu papa sudah tidak ada tapi saya selalu rindu dan ingin papa ada di samping saya selalu.

Kode: P5/W5/20/2/2014 No.30-33

Menurut Bedikian (2008) Individu yang berduka perlu menemukan makna kehilangan. Percaya pada kehidupan akhirat dan percaya bahwa orang yang meninggal menjadi pembimbing pribadi merupakan respon kognitif yang berfungsi mempertahankan keberadaan orang yang meninggal. Melakukan dialog internal dengan orang yang dicintai sambil melakukan aktifitas sehari-hari adalah upaya untuk mengurangi dampak kehilangan sampai akhirnya seseorang dapat memahami realitas kehilangan. Hal tersebut nampak juga dalam ritual ma‟nenek.

Penggunaan tali pengikat kepala sebagai simbol penyatuan terhadap jenasah

Harapan untuk menikmati “perjumpaan kembali” dengan keluarga yang telah meninggal dunia menjadikan Agustus dianggap sebagai bulan khusus untuk nenek sehingga kegiatan-kegiatan yang dianggap dapat mengganggu


(45)

98

perjumpaan itu dilarang di bulan Agustus. Pandangan tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan P1, P6 dan P7.

Tae’ duka ta ma’din unnalli bai dipatuo ...Alla’ padang tae’ ta ma’ din pogau’ apa senga’ . tidak boleh kerja-kerja sawah sia pa’lak mangka opi yaa bulan karua too

(tidak boleh membeli hewan piaraan seperti babi...tanah lagi kosong tidak boleh melakukan pekerjaan-pekerjaan di sawah dan kebun)

P1/W1/10/2/2014/No.144-148

Ziarah ke kubur di luar bulan Agustus tidak diperbolehkan. Kesempatan untuk ziarah hanya berlangsung sekitar satu bulan lamanya dimana relasi orang hidup dan yang mati dibangun kembali melalui ritual. Sepanjang bulan itu kehidupan orang-orang yang hidup terkonsentrasi pada anggota keluarganya yang sudah meninggal dunia sehingga tabu untuk melakukan aktifitas lain seperti pekerjaan di sawah maupun kebun.

tidak boleh (tegas) nanti padi mati semua, pasian, ... Tae’ na ma’din di pogau’ tu apa senga’ na kande pasi tu tananan sia sae uai saba’

(Bulan nenek tidak boleh diganggu supaya tanaman tidak dimakan hama atau terbawa arus air bah).

P7/W7/7/3/2014/No.56-59

Dengan demikian ritual me‟nenek ini sebenarnya memberi ruang bagi terbangunnya kembali relasi antara orang yang hidup dan yang mati dalam kerangka kultus. Di luar kerangka ritual ini membangun relasi antara keduanya dianggap berbahaya. Orang yang telah meninggal akan tetap


(46)

99

dikenang dalam ingatan orang yang hidup, namun bagi orang Toraja, ma‟nenek memiliki kebutuhan lebih dari sekedar ko-memorasi, yakni attachment behaviour. Ada kelekatan dan kebutuhan untuk menghadirkan kembali orang yang meninggal di tengah-tengah persekutuan orang yang hidup. Kelekatan merupakan suatu hubungan yang didukung oleh tingkah laku lekat (attachment behaviour) yang dirancang untuk memelihara hubungan tersebut (Durkin, 1995).

Sikap penyambutan setiap jenazah (peti/balun) yang dikeluarkan dari kuburan dengan suasana yang penuh emosi dan ketegangan melalui ratapan dan tangisan baik oleh perempuan, laki-laki maupun anak-anak menunjuk pada simbol “menghadirkan kembali”. Tindakan ini merupakan simbol inisiasi kembali untuk mengintegrasikan ulang keluarga yang telah meninggal ke dalam kehidupan orang yang hidup sekalipun hanya dalam batas waktu tertentu. Itu berarti “kehadiran” setiap orang yang meninggal dalam ritual ma‟nenek memungkinkan terjadinya perjumpaan dengan anggota keluarganya yang diwujudkan melalui sikap hormat terhadap jenazah, ratapan dan tangisan. Pemberian pakaian baru bagi setiap balun dihayati sebagai upaya untuk membaharui relasi kedua pihak. Pada bagian luar setiap balun akan ditulis nama yang bersangkutan (Rambe, 2014). 7.Tuntutan Adat

Menurut P7 dan P8 salah satu alasan pentingnya melakukan ma‟nenek adalah tuntutan adat yakni diganna’i- dipaundii (dicukupkan). Oleh karena pada saat seseorang meninggal mungkin rejeki anak cucunya belum cukup untuk memotong hewan sesuai dengan strata sosialnya.

oo karena dulu belum cukup rezekinya jadi hewan yang dipotong belum cukup, makanya dipaundii .


(47)

100 P7/W7/4/3/2014 No 5-6

Parallu liu tu ma’nenek belannna tuntunan ada’ ..inang pepasanna nenek to dolo ta ..dinii duka ma’paundii ketanggannna’ pi tu kinallona tonnna mane male. Belanna tae’pa na ganna’ kaletteran utanna anak ampona pirambongi’

( Ma‟nenek sangat penting karena tuntutan adat...merupakan pesan nenek moyang...menjadi kesempatan juga untuk mencukupkan hewan kurban karena pada saat upacara pemakaman rejeki anak cucunya belum cukup) P8/W8/7/3/2014 No.25-28

8. Kelegaan hati

Semua partisipan bahkan dan masyarakat Toraja yang memelihara ritual ma‟nenek menyadari bahwa apap pun yang dilakukan padaa saat ritual tidak lagi diketahui dan dirasakan oleh keluarga yang sudah meninggal namun semua itu adalah demi kelegaan hati orang-orang yang ditinggalkan.

Tae’ mo yaa apa na sa’ding...iatu ma’ iringanna inang kaliuan penaanta tu to tuo (yang terutama adalah kelegaan hati orang yang masih hidup)

Sebaliknya jika ritual ini tidak dilakukan maka perasaan tidak akan tenang, sering terjadi pertengkaran dan perselisihan di antara keluarga besar karena ada sesuatu yang belum diselesaikan. Ada utang yang belum dibayar.

Tae’ kamarampasan, tang rapa’ penaa, buda tau sigaga, tang silomban belanna ma’ kundun bang lan penaan na (tak ada kedamaian, hati tidak tenang, banyak yang bertengkar, tidak bertegur sapa karena ada beban dalam hati).

9. Berakhirx seluruh proses dukacita

Disamping sebagai kesempatan untuk mengungkapkan dukacita yang tertunda akibat beban kebutuhan untuk upacara pemakaman, ma‟nenek juga


(48)

101

sesungguhnya merupakan ritual yang menandai berakhirnya masa duka. Titik sentral dari pesan ritual ini adalah pembersihan diri dari situasi “panas” akibat dari kematian. Dengan kata lain pemulihan dari kondisi kehidupan yang “tidak normal” menjadi keadaan normal di mana keberlangsungan kehidupan dengan segala kegiatan keseharian seperti pekerjaan di sawah atau kebun diperbolehkan kembali dan pesta sukacita seperti pernikahan kembali memperoleh tempatnya di dalam kehidupan masyarakat di kampung To‟Nakka‟. Hal tersebut ditandai dengan mengganti pakaian, mencuci muka, tangan dan kaki setelah ritual sebagaimana yang penulis juga lakukan ketika mengikuti ritual tersebut.

Tindakan simbolis itu menandai dimulainya babak baru kehidupan tanpa orang yang meninggal lagi. Terjadi pemulihan yang memungkinkan keluarga yang berduka memasuki proses reintegrasi ke dalam dunia sekitar dan komunitasnya dan sekaligus memasuki kembali kehidupan keseharian “yang normal”.

10.Merayakan kehidupan, dipakaraya tu katuoan,

Ma‟nenek menandai berakhirnya seluruh proses dukacita. Saat – saat terakhir dari seluruh prosesi ritual ma‟nenek adalah kesempatan untuk merayakan kembali kehidupan yang pernah dinikmati bersama keluarga yang telah meninggal. Kenangan itu dikisahkan kembali oleh keluarga sambil mengikat bungkusan jenazah sebelum disimpan kembali. Hal tersebut nampak dari ungkapan:

Kutonganni kumalasi tonna sementara dibungku’ tu papa’ masannang na’ kilalai tonna sisolapakan. Kupakaraya meoli-oli.


(49)

102

(saya meluapkan kegembiraan sambil meoli - pekikan khas orang Toraja sebagai ungkapan kegembiraan, ketika mengingat dan mendengar kisah-kisah baik dan lucu saat papa masih hidup. Saya merayakannya).

P4/W4/18/2/2014 No 59-61

oo matoto’ mo’ yaa mangka kupakaraya tu kamasannanganku belanna na benna’ Puang Matua tu attu tuo sola anak sa adingku te diomai. Kurre. Kurre.

(oo saya sudah kuat. Saya sudah merayakan kebaikan Tuhan yang telah memberi kesempatan kepada saya menikmati hidup bersama anak dan adekku, trimaksih, terima kasih).

P6/W6/24/2/2014 No 41-43

Ma‟nenek sebagai kesempatan untuk mengekspresikan dukacita dan kehilangan pada orang Toraja memiliki makna konstruktif. Hal tersebut membuktikan pandangan Hofstede (1991) bahwa dukacita akibat kematian merupakan sesuatu yang dibutuhkan juga oleh manusia untuk meringankan kehidupannya menghadapi kesedihan mendalam. Dukacita adalah nafas manusia yang merupakan gerakan yang simultan seperti ketika mengeluarkan udara yang kotor lalu kemudian menghirup udara yang bersih. Ada nafas dalam, sebagaimana ada duka yang dalam dan ringan untuk dapat melajutkan kehidupan sekalipun tanpa orang terkasih lagi. Tugas proses berduka yakni memutus ikatan psikososial terhadap orang yang dicintai akan membentuk suatu ikatan yang baru, menambah peran dan mengintegrasikan kehilangan ke dalam kehidupan. sebagaimana yang dikatakan Rando (1984) menjadi penting sebagai suatu bentuk pemulihan yang sesungguhnya dijumpai dalam ritual ma‟nenek. Sebagaimana juga yang dikatakan oleh Kubler-Ross (1969) bahwa tahapan berduka itu terdiri atas penyangkalan,


(50)

103

kemarahan, tawar-menawar dan penerimaan. Tahapan dukacita yang juga dialami oleh masyarakat Toraja yang mememilihara ritual ma‟nenek.

Salah seorang keluarga menggunakan tali, topi dan baju yang akan dikenakan pada jenasah

Mengangkat balun sambil tersenyum sebelum menyimpannya kembali

Senada dengan itu Bowlby (1980) berpendapat bahwa pada fase re-organisasi, yakni setelah tiga tahap sebelumnya : mati rasa; penyangkalan, kerinduan terhadap orang yang dicintai; memprotes kehilangan yang tetap ada, sulit melakukan fungsi maka keluarga yang berduka mulai membangun


(51)

104

kembali rasa identitas personal, arah dan tujuan hidup, percaya diri dan mandiri. Pengalaman emosional dan afektif ini terkait erat dengan pengakuan bahwa kehidupan tanpa orang yang dicintai adalah suatu realitas dan karena itu perlu berbeda. Pada fase ini orang yang meninggal masih dirindukan tetapi memikirkannya tidak lagi menimbulkan duka yang dalam. Penulis sepakat dengan pernyataan tersebut karena hal yang sama juga dialami oleh semua partisipan.

Sekarang ini kalau ingat papa langsung telpon adek-adek sebagai pengobat rindu, sesudah bicara dengan mereka hatiku jauh lebih tenang.

P4/W4/18/2/2014/No.57-59

P4 masih sangat merindukan ayahnya tetapi setelah ma‟nenek dia merasa jauh lebih mampu menerima kenyataan sehingga kalau rindu kepada ayahnya ia cukup menelpon dan ngobrol dengan adeknya maka kerinduannya itu akan terobati.

Lebih tenang mi kurasa...bisa menangis sepuasnya di kuburan papa ....lega...ringan, jadi enak makan tidak kayak dulu lagi

P5/W5/2/2/2014/No.12-15

Seluruh prosesi dari ma‟nenek diakhiri dengan membungkus lalu mengikat kembali tulang-tulang jenazah yang telah dijemur dalam bungkusan yang baru. Hal tersebut baru dapat dilakukan setelah tak ada lagi yang menangis. Sambil mengganti pakaian jenazah dan selanjutkan mengikat akan kedengaran gelak tawa dari semua yang hadir di sekitar kuburan itu karena masing-masing akan menceritakan kembali kenangan-kenangan indah, lucu dan lain sebagainya dari yang telah meninggal.


(1)

101

sesungguhnya merupakan ritual yang menandai berakhirnya masa duka. Titik sentral dari pesan ritual ini adalah pembersihan diri dari situasi “panas” akibat dari kematian. Dengan kata lain pemulihan dari kondisi kehidupan yang “tidak normal” menjadi keadaan normal di mana keberlangsungan kehidupan dengan segala kegiatan keseharian seperti pekerjaan di sawah atau kebun diperbolehkan kembali dan pesta sukacita seperti pernikahan kembali memperoleh tempatnya di dalam kehidupan masyarakat di kampung To‟Nakka‟. Hal tersebut ditandai dengan mengganti pakaian, mencuci muka, tangan dan kaki setelah ritual sebagaimana yang penulis juga lakukan ketika mengikuti ritual tersebut.

Tindakan simbolis itu menandai dimulainya babak baru kehidupan tanpa orang yang meninggal lagi. Terjadi pemulihan yang memungkinkan keluarga yang berduka memasuki proses reintegrasi ke dalam dunia sekitar dan komunitasnya dan sekaligus memasuki kembali kehidupan keseharian “yang normal”.

10.Merayakan kehidupan, dipakaraya tu katuoan,

Ma‟nenek menandai berakhirnya seluruh proses dukacita. Saat – saat terakhir dari seluruh prosesi ritual ma‟nenek adalah kesempatan untuk merayakan kembali kehidupan yang pernah dinikmati bersama keluarga yang telah meninggal. Kenangan itu dikisahkan kembali oleh keluarga sambil mengikat bungkusan jenazah sebelum disimpan kembali. Hal tersebut nampak dari ungkapan:

Kutonganni kumalasi tonna sementara dibungku’ tu papa’ masannang na’ kilalai tonna sisolapakan. Kupakaraya meoli-oli.


(2)

102

(saya meluapkan kegembiraan sambil meoli - pekikan khas orang Toraja sebagai ungkapan kegembiraan, ketika mengingat dan mendengar kisah-kisah baik dan lucu saat papa masih hidup. Saya merayakannya).

P4/W4/18/2/2014 No 59-61

oo matoto’ mo’ yaa mangka kupakaraya tu kamasannanganku belanna na benna’ Puang Matua tu attu tuo sola anak sa adingku te diomai. Kurre. Kurre.

(oo saya sudah kuat. Saya sudah merayakan kebaikan Tuhan yang telah memberi kesempatan kepada saya menikmati hidup bersama anak dan adekku, trimaksih, terima kasih).

P6/W6/24/2/2014 No 41-43

Ma‟nenek sebagai kesempatan untuk mengekspresikan dukacita dan kehilangan pada orang Toraja memiliki makna konstruktif. Hal tersebut membuktikan pandangan Hofstede (1991) bahwa dukacita akibat kematian merupakan sesuatu yang dibutuhkan juga oleh manusia untuk meringankan kehidupannya menghadapi kesedihan mendalam. Dukacita adalah nafas manusia yang merupakan gerakan yang simultan seperti ketika mengeluarkan udara yang kotor lalu kemudian menghirup udara yang bersih. Ada nafas dalam, sebagaimana ada duka yang dalam dan ringan untuk dapat melajutkan kehidupan sekalipun tanpa orang terkasih lagi. Tugas proses berduka yakni memutus ikatan psikososial terhadap orang yang dicintai akan membentuk suatu ikatan yang baru, menambah peran dan mengintegrasikan kehilangan ke dalam kehidupan. sebagaimana yang dikatakan Rando (1984) menjadi penting sebagai suatu bentuk pemulihan yang sesungguhnya dijumpai dalam ritual ma‟nenek. Sebagaimana juga yang dikatakan oleh Kubler-Ross (1969) bahwa tahapan berduka itu terdiri atas penyangkalan,


(3)

103

kemarahan, tawar-menawar dan penerimaan. Tahapan dukacita yang juga dialami oleh masyarakat Toraja yang mememilihara ritual ma‟nenek.

Salah seorang keluarga menggunakan tali, topi dan baju yang akan dikenakan pada jenasah

Mengangkat balun sambil tersenyum sebelum menyimpannya kembali

Senada dengan itu Bowlby (1980) berpendapat bahwa pada fase re-organisasi, yakni setelah tiga tahap sebelumnya : mati rasa; penyangkalan, kerinduan terhadap orang yang dicintai; memprotes kehilangan yang tetap ada, sulit melakukan fungsi maka keluarga yang berduka mulai membangun


(4)

104

kembali rasa identitas personal, arah dan tujuan hidup, percaya diri dan mandiri. Pengalaman emosional dan afektif ini terkait erat dengan pengakuan bahwa kehidupan tanpa orang yang dicintai adalah suatu realitas dan karena itu perlu berbeda. Pada fase ini orang yang meninggal masih dirindukan tetapi memikirkannya tidak lagi menimbulkan duka yang dalam. Penulis sepakat dengan pernyataan tersebut karena hal yang sama juga dialami oleh semua partisipan.

Sekarang ini kalau ingat papa langsung telpon adek-adek sebagai pengobat rindu, sesudah bicara dengan mereka hatiku jauh lebih tenang.

P4/W4/18/2/2014/No.57-59

P4 masih sangat merindukan ayahnya tetapi setelah ma‟nenek dia merasa jauh lebih mampu menerima kenyataan sehingga kalau rindu kepada ayahnya ia cukup menelpon dan ngobrol dengan adeknya maka kerinduannya itu akan terobati.

Lebih tenang mi kurasa...bisa menangis sepuasnya di kuburan papa

....lega...ringan, jadi enak makan tidak kayak dulu lagi

P5/W5/2/2/2014/No.12-15

Seluruh prosesi dari ma‟nenek diakhiri dengan membungkus lalu mengikat kembali tulang-tulang jenazah yang telah dijemur dalam bungkusan yang baru. Hal tersebut baru dapat dilakukan setelah tak ada lagi yang menangis. Sambil mengganti pakaian jenazah dan selanjutkan mengikat akan kedengaran gelak tawa dari semua yang hadir di sekitar kuburan itu karena masing-masing akan menceritakan kembali kenangan-kenangan indah, lucu dan lain sebagainya dari yang telah meninggal.


(5)

105

Menurut Rambe (2014) pada momen ini kehidupan seseorang diberi makna dan diangkat sama seperti ketika ia masih hidup. Di sini terjadi ko-memorasi atau pengenangan kembali kehidupan seseorang serta pemberian penghargaan atas kehidupan itu sendiri. Disini ada ruang untuk glorifikasi bagi yang meninggal sebagai bagian dari proses pengolahan duka. Tindakan ini dilakukan secara bersama-sama sebagai bentuk pengesahan bersama bagi pemberian penghargaan atas kehidupan seseorang. Hal ini nampak dari percakapan keluarga yang peneliti saksikan saat ritual ma‟nenek dimana keluarga yang mengelilingi jenazah pada saat membungkus lalu mengikatnya bercanda, bersahut-sahutan secara spontan sambil tertawa menceritakan kembali kenangan-kenangan tentang orang yang meninggal itu lalu saling mengingatkan tentang pesan-pesan almarhum semasa hidupnya.

H. Ritual Ma’nenek dalam pendekatan indigenous psychology

Oleh karena studi ini menggunakan pendekatan psikologi indigenous maka ritual ma‟nenek menjadi variabel tunggal dan orang Toraja menjadi subjek uniknya. Studi ini membuktikan pandangan Kim, Huang dan Yang seperti yang telah disampaikan pada awal tulisan ini bahwa psikologi indigenous merupakan sebuah pendekatan yang berisi makna sesungguhnya, nilai dan kepercayaan dalam konteks keluarga, sosial, budaya dan ekologi yang tidak tergantung pada desain penelitian yang sudah ada.

Perilaku menjemur tulang/jenazah, menangis serta meratapinya, mengganti pakaian, membungkusnya dengan kain baru lalu mengikatnya adalah merupakan ekspresi dukacita dan kehilangan mendalam yang dibuat dan diwariskan oleh leluhur orang Toraja sendiri dan bukan pengaruh dari budaya orang lain. Hal tersebut juga membuktikan kebenaran dari apa yang telah dipaparkan oleh Kim dan Berry (1993) bahwa dalam pendekatan indigenous hanyalah orang pribumi atau orang dalam di sebuah komunitas


(6)

106

dan budaya yang dapat memahami fenomena indigenous dan kultural sedangkan orang luar hanya dapat memiliki pengetahuan yang terbatas.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: suatu analisis psikologi indigenous

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832013008 BAB I

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832013008 BAB II

1 1 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832013008 BAB IV

0 1 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832013008 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous

0 1 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous

0 0 35

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832012008 BAB I

0 1 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832012008 BAB II

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832012008 BAB V

0 0 4