Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832013008 BAB I

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Perkembangan jaman yang dikenal sebagai era globalisasi saat ini menuntut setiap individu untuk berkomunikasi dengan individu dari berbagai kalangan dan belahan dunia. Bahasa yang paling sering digunakan untuk berkomunikasi di era ini dan dianggap sebagai bahasa Internasional adalah Bahasa Inggris. Demikian juga halnya di Indonesia, melalui pendidikan di jenjang perguruan tinggi, diupayakan memfasilitasi mahasiswa dengan mengajarkan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Salah satunya adalah dengan pengajaran Public Speaking. Melalui matakuliah tersebut, diharapkan dapat membekali para mahasiswa untuk dapat menggunakan Bahasa Inggris dengan baik dan berkomunikasi dihadapan publik dengan lancar. Namun, selama perkuliahan berlangsung, banyak mahasiswa apabila diminta untuk berbicara di depan kelas merasa cemas dan gugup. Untuk itu dalam bab ini penulis akan menjelaskan latar belakang

Communication Apprehension pada mahasiswa di kelas Public Speaking di FBS UKSW.


(2)

1.1 Latar Belakang

Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, yang didukung dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia pendidikan juga merupakan salah satu bidang yang terkena dampak dari globalisasi, yang berarti terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia (Admadi & Setyaningsih, 2005). Oleh sebab itu diperlukan proses pendidikan yang bermutu agar menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, salah satunya melalui pendidikan tinggi di perguruan tinggi.

Perguruan tinggi merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. Menurut Peraturan Pemerintah Pasal 2 Nomor 60 Tahun 1999, tujuan umum pendidikan di perguruan tinggi adalah untuk meningkatkan taraf pendidikan masyarakat sehingga tercipta masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Secara khusus, pendidikan di perguruan tinggi sangat berperan dalam pembentukan, peningkatan skill dan kualitas sumber daya manusia yang nantinya akan terjun di dunia kerja, yang salah satunya adalah meningkatkan keterampilan dalam berkomunikasi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penguasaan bahasa asing sebagai alat komunikasi global, karena globalisasi yang memasuki ranah pendidikan adalah bahasa. Menanggapi fenomena globalisasi tersebut, berbagai upaya dilakukan Pemerintah Indonesia untuk memperlengkapi SDM


(3)

yang ada dengan penguasaan Bahasa Asing. Berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia antara lain mengajarkan Bahasa Inggris sejak jenjang pendidikan dasar, bahkan di Taman Kanak-Kanak dan Kelompok Bermain. Sementara itu, di sekolah-sekolah unggulan, Bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pengantar di sebagian atau keseluruhan proses belajar mengajar (Harian Kompas 14 Juli 2009, Anonim).

Oleh sebab itu, sangat penting bagi perguruan tinggi untuk memfasilitasi para mahasiswa dengan matakuliah Bahasa Inggris. Salah satu kemampuan dasar yang harus dikuasai dalam mempelajari Bahasa Inggris adalah Speaking, karena siswa diharapkan mampu berkomunikasi dengan baik dengan menggunakan bahasa tersebut.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Florez (1999),

Speaking merupakan hal yang penting bagi seseorang yang belajar Bahasa Inggris agar dapat berpartisipasi secara total dalam percakapan Bahasa Inggris. Selain itu, dengan adanya pembelajaran Speaking, individu diharapkan dapat berinteraksi dan mampu bersaing di era globalisasi. Selanjutnya, Djigunovic (2006) menambahkan bahwa Speaking, terutama dengan bahasa asing dianggap sebagai suatu skill yang kompleks dan multilevel. Selebihnya, tujuan disediakannya matakuliah Speaking adalah agar mahasiswa termotivasi untuk berbicara menggunakan bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris. Salah satu kegiatan yang paling sering dilakukan dalam matakuliah Speaking adalah presentasi, yang diawali dari mata kuliah Speaking level pertama sampai dengan level terakhir. Melalui kegiatan presentasi, mahasiswa


(4)

dituntut untuk mampu berbicara dengan baik di hadapan teman-temannya dan juga dosen pengampu mata kuliah tersebut (Wahyuni, 2014).

Di kelas Speaking, mahasiswa dituntut untuk melakukan 3 sampai 4 kali individual presentation dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Dengan adanya tugas tersebut, tampak bahwa mahasiswa merasa cemas dan takut untuk menyampaikan ide atau gagasan mereka. Hal tersebut sejalan dengan pendapat MacInnis (2006) yang menyatakan bahwa sebagian besar individu lebih memilih “mati” daripada harus melakukan presentasi di hadapan orang banyak. Hal ini dipertegas oleh Tilton (2002) dengan temuan bahwa masyarakat Amerika menggolongkan berbicara di depan umum sebagai ketakutan terbesar mereka. Tilton (2002) menambahkan, dalam kenyataannya, banyak individu yang menyatakan lebih takut untuk berbicara di depan umum dibanding ketakutan lainnya seperti kesulitan ekonomi, menderita suatu penyakit, bahkan ketakutan terhadap kematian. Ketakutan dan kecemasan yang terjadi dalam fenomena tersebut lebih dikenal sebagai Communication Apprehension.

Communication Apprehension merupakan kecemasan yang dialami oleh berbagai kalangan. McCroskey (1977) menyatakan bahwa 15-20% pelajar Amerika mengalami

Communication Apprehension. Ternyata, fenomena yang terjadi di Amerika tersebut juga terjadi di Indonesia. Apollo (2007) melakukan penelitian terhadap siswa SMF Bina Darma Madiun, dengan hasil temuan bahwa 65% remaja kelas II SMF Bina Farma Madiun mengalami CA.


(5)

Selain itu, kecemasan berbicara yang berkaitan dengan bahasa asing juga biasa disebut dengan Foreign Language Anxiety. Walaupun berkaitan dengan Foreign Language Learning, penulis tidak menggunakan istilah Foreign Language Anxiety, melainkan tetap menggunakan istilah Communication Apprehension (CA). Hal ini dikarenakan CA merupakan istilah khusus yang dipakai untuk menggambarkan perasaan cemas yang berbeda-beda dan ketakutan pelajar dalam setiap pengalaman berbicara menggunakan bahasa asing (Lahtinen, 2013).

Demikian pula halnya dengan MacIntyre & Gardner (1991) yang mengatakan bahwa kecemasan pada seseorang saat berkomunikasi dengan orang lain disebut sebagai Communication Apprehension (CA). Opt & Loffredo (2000) juga menggunakan istilah CA sebagai bentuk dari perasaan takut atau cemas secara nyata ketika berbicara di depan orang – orang sebagai hasil dari proses belajar sosial. Dengan demikian, belum ada istilah yang sepadan untuk CA dalam Bahasa Indonesia. Penulis memilih CA

sebagai variabel dalam penelitian ini karena adanya fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan seperti yang telah disebutkan di atas.

Ada beberapa fenomena yang menarik terkait dengan

Communication Apprehension. Salah satunya adalah yang dialami oleh para mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), yang merasa kuatir dan cemas ketika harus berbicara di depan orang banyak atau saat melakukan presentasi dalam Bahasa Inggris. Berdasarkan fenomena yang terjadi di FBS UKSW tersebut, penulis tertarik


(6)

untuk melakukan penelitian di kelas Public Speaking. Beberapa alasan diantaranya adalah, mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini telah berada di tahun kedua atau semester empat dalam jenjang perkuliahan dan sudah melewati dua level matakuliah

Speaking sebelumnya, yaitu Interpersonal Speaking, dan

Transactional Speaking. Dalam matakuliah Public Speaking, mahasiswa dituntut untuk dapat berkomunikasi secara aktif selama proses pembelajaran berlangsung. Selain itu, di FBS UKSW, para mahasiswa dituntut untuk berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Inggris dalam berinteraksi dengan lingkungan perkuliahan sehari-hari. Dengan demikian, seharusnya dapat dipastikan bahwa mahasiswa telah terbiasa berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Inggris. Selanjutnya, dalam matakuliah Public Speaking, mahasiswa sering mendapatkan tugas untuk melakukan presentasi individu. Selain itu, dalam matakuliah Public Speaking, siswa akan dihadapkan pada situasi-situasi riil yang mungkin akan mereka temui didalam lingkungan sosial dan pekerjaan mereka nantinya.

Pada dasarnya, melakukan presentasi dalam Bahasa Inggris atau berbicara di depan kelas seharusnya merupakan hal yang sangat mudah dilakukan oleh mahasiswa FBS UKSW karena mereka memang mempelajari Bahasa Inggris secara intensif. Namun pada kenyataannya, mereka merasa frustasi, kuatir, cemas, dan tertekan ketika harus melakukan presentasi, khususnya “oral presentation”. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Prastiwi (2011) terhadap mahasiswa kelas Speaking FBS UKSW, dengan hasil


(7)

81,25 % responden merasa kuatir, cemas, dan tertekan ketika mereka harus melakukan presentasi atau menyampaikan ide atau gagasan mereka.

Selain itu, pada tahun 2012, saat penulis mengajar matakuliah Public Speaking, penulis mengamati bahwa ada mahasiswa yang merasa cemas ketika diminta untuk melakukan presentasi. Pernyataan tersebut juga didukung oleh data laporan penilaian, dari 54 orang mahasiswa yang diamati oleh penulis pada saat itu, 46 orang diantaranya, atau 85% dari mahasiswa di kelas Public Speaking, mendapat nilai rendah pada aspek

confidence. Selain itu, pada bulan Oktober 2014, penulis juga melakukan observasi di kelas Public Speaking. Pada kesempatan itu, selain melakukan wawancara dengan beberapa mahasiswa, penulis juga melakukan penyebaran angket kepada 48 mahasiswa yang mengambil matakuliah Public Speaking. Dari hasil penyebaran angket dan wawancara, diketemukan bahwa 80% mahasiswa merasa cemas ketika harus berpresentasi di depan kelas. (Tabel 1.1)

Tabel 1.1

Tingkat CA Mahasiswa FBS UKSW di Kelas Public Speaking Tahun Mahasiswa Prosentase Referensi

KT KR

2011 52 12 81, 25% Prastiwi 2011

2012 46 8 85, 10% Observasi

2013 - - - Not available

2014 39 9 81, 25% Observasi

Keterangan : KT : Kecemasan Tinggi KR: Kecemasan Rendah

Atas dasar data empirik pada Tabel 1.1 yang menunjukkan tingginya eksistensi Communication Apprehension,


(8)

maka dapat disimpulkan bahwa ada masalah yang terkait dengan

CA yang dimiliki mahasiswa dalam berkomunikasi. Oleh sebab itu, Communication Apprehension merupakan isu penting yang perlu dikaji lebih lanjut.

Di kelas Public Speaking mahasiswa harus mampu berpresentasi dengan baik dan lancar guna mendapatkan nilai maksimal. Namun, mahasiswa di tengah-tengah presentasi sering kehilangan ide yang hendak disampaikan, sehingga ada yang meminta kepada dosen agar diijinkan untuk mengulang presentasi dari awal. Ada pula yang ketika perasaan gugup dan cemas timbul, mereka selalu mengulang-ulang ide yang hendak disampaikan. Aksi yang sering dilakukan antara lain adalah memainkan tangan, menggoyangkan kaki, bahkan mengucapkan kata “ehmmm” atau ‘er…er..er..’ secara berulang-ulang walaupun telah dipahami bahwa hal tersebut tidak penting.

Hal-hal tersebut diatas sejalan dengan Nevid et al.(1997) yang menyatakan bahwa kecemasan berbicara di depan umum biasanya ditandai dengan gejala fisik seperti tangan berkeringat, jantung berdetak lebih cepat, dan kaki gemetaran. Penulis menduga terdapat rasa kuatir dan kurang percaya diri yang berlebihan dalam diri mahasiswa yang menyebabkan perilaku tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa CA terjadi dan dialami oleh individu ketika individu harus berkomunikasi ataupun melakukan presentasi di depan umum.

Walaupun demikian, Communication Apprehension

bukanlah suatu penyakit komunikasi yang tidak wajar dan setiap individu memiliki peluang untuk mengalami CA. Communication


(9)

Apprehension akan menjadi tidak wajar apabila terjadi secara berlebihan, karena akan berdampak atau berpengaruh dalam performa individu.

Hal tersebut dipertegas dengan beberapa penelitian mengenai CA dalam beberapa tahun terakhir ini, antara lain yaitu penelitian yang dilakukan oleh MacIntyre & Gardner (1991), Kurtus (2001), Thaher (2005), dan Horwitz et al. (2001) dalam Lahtinen (2013). CA memiliki peran yang sangat besar dalam konsep Language Learning Anxiety sebagaimana diungkapkan oleh Horwitz et al. (2001) dalam Lahtinen (2013). Skill yang ada kaitannya dengan pembelajaran Bahasa Inggris yang diteliti dalam penelitian ini adalah Speaking, karena memiliki kaitan yang sangat erat dengan CA. Skala CA yang digunakan dalam penelitian ini adalah Personal Report of Communication Apprehension 24 (PRCA-24), yang diciptakan oleh McCroskey (1984). Penulis menggunakan PRCA-24 karena alat ukur tersebut dapat digunakan untuk mengukur keseluruhan aspek yang hendak diteliti oleh penulis.

Berkaitan dengan fenomena Communication Apprehension yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk meneliti mengapa mahasiswa cenderung mengalami kecemasan ketika melakukan presentasi menggunakan Bahasa Inggris di depan kelas, sedangkan para mahasiswa tersebut sudah sangat terbiasa berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Inggris. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Communication Apprehension merupakan fenomena yang bisa terjadi dimana saja, dan salah satunya di FBS UKSW.


(10)

Selanjutnya, dalam dunia akademik atau pendidikan,

Communication Apprehension memiliki dampak yang negatif, terutama dalam partisipasi kelas, kesuksesan akademis, dalam prestasi dan daya ingat tiap-tiap individu. Siswa dengan CA

tinggi cenderung menjadi pasif di kelas, dan sering lupa akan apa yang hendak disampaikan pada saat berbicara di hadapan orang banyak. Erickson & Gardner (1992) menyatakan bahwa siswa menengah atas yang memiliki tingkat Communication Apprehension yang tinggi memilih untuk tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki tingkat CA yang rendah. Elliot, et al (2000) menyatakan bahwa mahasiswa sering mengalami kecemasan saat akan menghadapi ujian ataupun saat harus berbicara di depan orang banyak, dan kecemasan tersebut akan memengaruhi performansinya. McCroskey (1984) dalam Byers & Weber (1995) juga mengatakan bahwa CA menghasilkan pengaruh negatif terhadap kehidupan ekonomi, akademis, politik, dan sosial individu

Namun sebaliknya, terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa CA tidak serta-merta berdampak negatif tetapi juga dapat memberikan kontribusi positif. Hal positif bagi mahasiswa yang menyadari memiliki CA tinggi adalah mahasiswa tampak lebih mempersiapkan diri dengan baik sebelum melakukan presentasi. Communication Apprehension

dapat memotivasi individu dalam menghadapi hal baru dan memberikan rangsangan dalam aspek emosional dalam diri


(11)

individu yang mengarahkan perilaku. Hal tersebut dinyatakan oleh Scovel (1991, p.18) sebagai berikut:

“----facilitating anxiety motivates the learner to fight the new learning task; it gears the learner emotionally for approach behavior. Debilitating anxiety, in contrast, motivates the learner to flee the new learning task; it stimulates the individual emotionally to adopt avoidance behavior.”

Smith (2003) menambahkan bahwa CA tidak semata-mata berdampak negatif tetapi juga berdampak positif. Individu yang menyadari bahwa dirinya memiliki CA dapat juga termotivasi untuk melakukan persiapan dengan lebih baik sebelum melakukan presentasi di depan kelas seperti berlatih dengan lebih giat, mempersiapkan diri jauh hari, dan membuat catatan ketika melakukan presentasi.

Hasil pengamatan yang dilakukan oleh penulis selama bulan Oktober 2014 menunjukkan bahwa ada mahasiswa dengan

CA tinggi yang tampak berusaha keras mengatasi kecemasan saat berpresentasi dengan membuat catatan. Namun sayangnya, hal ini membuat mahasiswa menjadi sangat bergantung pada catatan saja atau hanya membaca, sehingga tujuan pembelajaran Speaking

tidak tercapai. Ada pula mahasiswa yang mengatakan telah berlatih dengan keras sejak beberapa hari sebelum berpresentasi, tetapi pada kenyataanya masih saja terlihat gugup. Fenomena yang terjadi di kelas Public Speaking di FBS UKSW


(12)

menunjukkan bahwa dampak negatif lebih dominan dibandingkan dampak positif CA.

Pada umumnya, fokus penelitian dalam Pembelajaran Bahasa Asing (Second Language Acquisition) adalah pada hal-hal yang berkaitan dengan pengajaran bahasa. Akibatnya, banyak penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut dibatasi pada pembelajaran dan pengajaran bahasa saja, atau dapat dikatakan pembelajaran yang berpusat pada aspek kognitif, dan tidak begitu memberikan perhatian pada aspek afektif. Hal tersebut juga menjadi salah satu penyebab tingginya tingkat CA individu, karena ketika individu berbicara atau berkomunikasi dengan menggunakan bahasa asing, mereka harus benar-benar menggunakan tata bahasa yang baku dan benar. Barulah pada akhir abad keduapuluh, SLA mulai mempelajari peran penting antara sikap dan motivasi yang dimiliki individu seperti yang dinyatakan oleh Shamas (2006).

Shamas (2006) menambahkan, bahwa dalam rangka mendapatkan proses pemahaman holistik dalam pembelajaran bahasa asing, selain kompetensi linguistik yang perlu dikembangkan, maka aspek afektif seperti gaya belajar, motivasi, dan kepribadian perlu diperhatikan untuk meningkatkan performa individu, mendukung kompetensi komunikatifnya, sehingga dapat berbicara dalam bahasa asing secara spontan di berbagai konteks sosial, dan mengurangi tingkat kemungkinan munculnya

Communication Aprehension.

Selanjutnya dalam konteks pembelajaran Bahasa Inggris, Djigunovic (2006) menjelaskan bahwa Speaking merupakan skill


(13)

yang multilevel dan kompleks, maka diperlukan faktor-faktor pendukung untuk dapat berbicara dengan baik. Faktor tersebut mencakup pengetahuan mengenai bahasa yang digunakan beserta topik yang akan disampaikan, dan kemampuan berbicara dalam berbagai situasi yang nyata. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa Speaking tidak hanya memerlukan proses kognitif melainkan juga mencakup faktor-faktor afektif.

Communication Apprehension (CA) yang dialami oleh mahasiswa dapat muncul disebabkan oleh beberapa hal seperti kurangnya persiapan mahasiswa, keterbatasan kemampuan komunikasi, kurangnya pengalaman berkomunikasi di depan umum, kepribadian yang introvert, dan juga situasi yang berbeda atau baru seperti yang dinyatakan oleh McCroskey (1984) dan Miller (2002). Pada suatu kesempatan McCroskey (1977) menunjukkan bahwa terdapat dua faktor psikologi dalam

Communication Apprehension yaitu emosi dan motivasi.

Thaher (2005) menambahkan bahwa tidak hanya emosi dan motivasi saja yang memengaruhi CA dalam konteks Foreign Language Learning, tetapi ada beberapa faktor yaitu

psychological factors, instructional factors, dan sosiocultural factors.

Berkaitan dengan hal tersebut, Khodadady & Khajavy (2013) menyatakan bahwa emosi memiliki kaitan yang erat dengan afeksi, dan salah satu faktor afeksi dalam CA adalah Self Efficacy. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Self Efficacy

merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan


(14)

Pada suatu kesempatan, Feist & Feist (2002) juga menyatakan bahwa ketika seseorang mengalami ketakutan yang tinggi, kecemasan yang akut atau tingkat stress yang tinggi, maka biasanya mempunyai Self Efficacy yang rendah. Sementara individu yang memiliki Self Efficay yang tinggi merasa mampu dan yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan menganggap ancaman sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari. Ketika menghadapi tugas yang menekan, dalam hal ini berbicara di depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka (Self Efficacy) akan memengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan (Bandura,1997). Hal ini mencakup perasaan mengetahui apa yang dilakukan dan juga secara emosional mampu untuk melakukannya.

Oleh sebab itu, penelitian mengenai Self Efficacy

penting untuk dilakukan, dengan alasan bahwa Self Efficacy

merupakan faktor yang sangat memengaruhi keberhasilan seseorang untuk berbicara di depan umum atau berpresentasi di depan kelas (Speaking). Hal ini penting karena kelancaran mahasiswa dalam Speaking akan memengaruhi kelulusannya dalam matakuliah Public Speaking.

Self Efficacy yang akan didiskusikan di dalam penelitian ini adalah Foreign Language Learner Self Efficacy, dimana FLL Self Efficacy merupakan bagian dari Academic Self Efficacy.

Sebagaimana diungkapkan oleh Akomolafe (2013), bahwa

Academic Self Efficacy merupakan penilaian pribadi mengenai kemampuan yang dimiliki individu untuk mengolah dan


(15)

melaksanakan suatu tindakan dalam serangkaian pelajaran atau mata pelajaran untuk mencapai berbagai macam performance

dalam pendidikan. FLL Self Efficacy juga menjadi salah satu faktor penting dari CA dan juga menjadi alat untuk mengukur kemampuan individu guna menyelesaikan tugas atau tujuan seperti yang diungkapkan oleh Ormrod (2006) dalam Azar (2013). Dalam penelitian ini, yang menjadi subyek penelitian adalah mahasiswa FBS UKSW. Apabila dilihat dari segi pembelajaran Bahasa Inggris, mahasiswa FBS UKSW merupakan

‘Foreign Language Learner’. Oleh sebab itu, penulis menggunakan istilah Foreign Language Learner Self Efficacy.

Ada beberapa penelitian berkaitan dengan hubungan antara FLL Self Efficacy dengan Communication Apprehension. Temuan dari beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara Self Efficacy dengan CA (Respati, et al, 2008 dan Indi, 2009). Maksudnya semakin tinggi Self Efficacy mahasiswa, maka akan semakin rendah tingkat CA. Sebaliknya, semakin rendah Self Efficacy mahasiswa, maka tingkat CA akan semakin tinggi.

Namun, hal tersebut berbeda dengan penelitian Cubukcu (2008), yang meneliti korelasi antara Self Efficacy dengan CA

pada 100 siswa dalam program pelatihan guru Bahasa Inggris di salah satu universitas di Turki. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara Self Efficacy

dengan Communication Apprehension.

Sehubungan dengan adanya perbedaan hasil penelitian pada beberapa penelitian sebelumnya mengenai Self Efficacy dan CA,


(16)

penulis tertarik untuk menguji kembali hasil-hasil dari penelitian sebelumnya.

Selain FLL Self Efficacy, motivasi juga merupakan faktor yang memberikan kontribusi penting dalam berkomunikasi (Thaher, 2005). Motivasi menurut Longman Dictionary of Contemporary English, mengacu pada alasan mengapa seseorang ingin melakukan sesuatu. Schunk, et al. (2010) melihat motivasi sebagai sebuah dorongan dan dukungan dalam melakukan sebuah aktivitas untuk mencapai tujuan. Motivasi yang dimiliki seseorang akan menentukan tindakan yang akan dilakukannya.

Dalam konteks pembelajaran Bahasa Inggris, motivasi yang dimiliki seseorang untuk belajar Bahasa Inggris akan mendorong orang tersebut untuk mempelajarinya lebih lanjut. Asnawi (2002) menyatakan bahwa motivasi adalah kondisi yang berpengaruh dalam membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku tiap-tiap individu terhadap suatu aktivitas. Sementara itu, menurut Putra (2010), motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan dengan kata lain sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan hidup.

Dalam penelitian ini, penulis memilih Motivasi Berprestasi sebagai salah satu faktor yang dapat memengaruhi

CA, karena Motivasi Berprestasi berkaitan erat dengan outcome

atau performance individu. Seperti yang dinyatakan oleh Thaher (2005) bahwa Motivasi Beprestasi merupakan faktor yang sangat berperan dalam pembelajaran bahasa asing ataupun bahasa kedua.


(17)

Selain itu, Khalek (1994) menyatakan bahwa terdapat kemungkinan besar bahwa Motivasi Berprestasi memengaruhi kecemasan. Apabila Motivasi Berprestasi individu rendah, maka individu tersebut diprediksi memiliki tingkat kecemasan yang tinggi. Selanjutnya, Azar (2013) menambahkan bahwa Motivasi berprestasi merupakan motivasi yang memiliki andil besar dalam pencapaian academic performance mahasiswa. Hal ini sejalan dengan kriteria penilaian yang dilakukan dalam matakuliah

Public Speaking, yaitu untuk mengukur keberhasilan siswa dalam berbicara menggunakan Bahasa Inggris, dinilai dari keberhasilan dalam berpresentasi atau hasil performance mahasiswa.

Ada sebagian besar penulis yang menyatakan Motivasi Berprestasi dengan pandangan yang berbeda-beda. Atkinson (1964) dalam Singh (2011) menjelaskan bahwa Motivasi Berprestasi merupakan perbandingan performance tiap individu dan juga perlawanan terhadap standar tertentu dalam sebuah aktivitas.

Dalam penelitian ini, penulis tidak menggunakan teori motivasi dari Atkinson (1964) dalam Singh (2011), melainkan dari McClelland (1985). Dalam kegiatan belajar, Motivasi Berprestasi merupakan salah satu faktor pendorong yang bersifat internal yang perlu ditingkatkan untuk kemajuan belajar. McClelland (1985), menyatakan bahwa Motivasi Berprestasi sebagai kecenderungan individu untuk berupaya mengarahkan tingkah laku dalam pencapaian prestasi. Selain itu, McClelland (1985) mengembangkan teorinya berdasarkan teori kebutuhan Maslow, yang dikelompokkan menjadi tiga kebutuhan yaitu


(18)

kebutuhan akan pencapaian, kebutuhan akan afiliasi, dan kebutuhan akan kekuasaan.

Selanjutnya, ada berbagai penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya mengenai hubungan antara Motivasi Berprestasi dengan Communication Apprehension. Beberapa penelitian menemukan bahwa Motivasi Berprestasi memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan performance dalam pembelajaran bahasa asing. Hal tersebut didukung oleh beberapa penelitian yang antara lain dilakukan oleh Putra (2010) dengan, Budiawan (2008), Yusuf (2011), dan Azar (2013), yang menyatakan bahwa Motivasi Berprestasi berkorelasi positif dan signifikan dengan keberhasilan berpresentasi atau performance

dalam pembelajaran bahasa asing.

Sebaliknya, hasil temuan berbeda ditemukan oleh Baharudin (2013) dan Ray (1990), yang menyatakan bahwa Motivasi Berprestasi tidak memiliki hubungan dengan

Communication Apprehension (CA). Temuan ini mengindikasikan bahwa Motivasi Berprestasi tidak memiliki korelasi dengan CA.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tersebut, penting bagi penulis untuk meneliti motivasi terutama Motivasi Berprestasi mahasiswa kelas Speaking FBS UKSW, karena motivasi merupakan salah satu fondasi dari kemampuan berkomunikasi baik dalam komunikasi interpersonal, group, ataupun komunikasi massa. Selain itu, dalam kaitannya dengan

Foreign Language Learning, motivasi berfungsi sebagai kendali dan pengurang CA dalam diri individu seperti yang dinyatakan


(19)

oleh Schunk (1995). Selain itu, Khodadady & Khajavy (2013) menyatakan bahwa motivasi merupakan salah satu faktor afektif yang penting yang memengaruhi pembelajaran bahasa.

Dalam penelitian ini, penulis mengaitkan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang menggunakan istilah performance.

Hal ini disebabkan karena CA memiliki kaitan dengan

performance. Keberhasilan seseorang dalam penguasaan

Speaking di hadapan orang banyak (berpresentasi) dalam konteks pembelajaran Bahasa Inggris dapat dinilai dalam bentuk

performance. Performance merupakan skill atau kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki individu yang seharusnya dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan sosial. Performance

berarti tampil di depan umum, yang mana dalam konteks pembelajaran Bahasa Inggris di kelas Public Speaking berarti melakukan presentasi di depan kelas, dihadapan dosen pengampu dan mahasiswa lainnya (Thaher, 2005).

Dari kondisi atau fenomena dan juga penelitian sebelumnya, penulis tertarik untuk memilih Motivasi Berprestasi sebagai variabel dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan Motivasi Berprestasi merupakan salah satu aspek penting yang harus dimiliki seseorang apabila mereka ingin memiliki kompetensi berbicara yang baik. Selain itu, dalam kaitannya dengan Foreign Language Learning, motivasi berfungsi sebagai kendali dan pengurang CA dalam diri individu seperti yang dinyatakan oleh Schunk (1995). Selain itu, Khodadady & Khajavy (2013) menyatakan bahwa motivasi merupakan salah


(20)

satu faktor afektif yang penting yang memengaruhi pembelajaran bahasa.

Selain faktor-faktor yang telah diuraikan, perbedaan jenis kelamin juga telah menjadi fokus dalam beberapa penelitian mengenai Communication Apprehension. Elliot & Chong (2004) menyebutkan bahwa perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi CA, dimana wanita memiliki

CA yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Temuan Elliot & Chong (2004) sejalan dengan penelitian Johnson dan Faunce (1973). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Johnson & Faunce (1973) menunjukkan bahwa mahasiswa perempuan memiliki tingkat Communication Apprehension yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa laki-laki. Temuan ini mengindikasikan bahwa ada perbedaan tingkat CA apabila ditinjau dari jenis kelamin. Artinya, tingkat CA laki-laki bisa lebih tinggi maupun lebih rendah dari perempuan.

Sebaliknya, dalam penelitian yang dilakukan oleh Thaher (2005) ditemukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat

Communication Apprehension antara laki-laki dan perempuan [(0,731 > 0,05), t-hitung < t-tabel (0,344 < 1,96)]. Dengan kata lain, tingkat CA laki-laki dan perempuan adalah sama.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti Self Efficacy dan juga Motivasi Berprestasi mahasiswa terutama dalam kaitannya dengan pembelajaran Bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Penulis ingin meneliti adakah hubungan antara FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi yang dimiliki siswa dengan CA dalam berpresentasi. Penelitian mengenai FLL


(21)

Self Efficacy, Motivasi Berprestasi dan Communication Apprehension juga pernah dilakukan oleh Mettasari (2013). Penelitian yang dilakukan oleh Mettasari (2013) menemukan bahwa hasil koefisien korelasi berganda diperoleh sebesar R= 0,772 dengan nilai signifikansi 0,000 (p< 0,05), yang artinya ada hubungan antara SE, MB dengan CA.

Tidak lepas dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, penulis ingin menguji kembali adakah hubungan antara Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi dengan CA dalam

Foreign Language Learning. Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu mahasiswa untuk menyadari tingkatan Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi yang mereka miliki. Dengan demikian, siswa yang memiliki tingkat FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi yang rendah dapat menaikkan tingkat FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi mereka. Hal ini diharapkan dapat menurunkan tingkat Communication Apprehension yang mereka miliki dan meningkatkan

performance mereka di kelas Speaking.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:

1. Adakah hubungan signifikan antara FLL Self Efficacy

dan Motivasi Berprestasi dengan Communication Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking


(22)

2. Adakah interaksi antara Foreign Language Self Efficacy dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking

FBS UKSW?

3. Adakah interaksi antara Motivasi Berprestasi dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension

mahasiswa di kelas Public Speaking di FBS UKSW? 4. Adakah perbedaan signifikan Communication

Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking

FBS UKSW ditinjau dari jenis kelamin?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menentukan hubungan antara FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi dengan Communication Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking

FBS UKSW.

2. Menentukan interaksi FLL Self Efficacy dan jenis kelamin dengan Communication Apprehension

mahasiswa di kelas Public Speaking FBS UKSW. 3. Menentukan interaksi Motivasi Berprestasi dan jenis

kelamin dengan Communication Apprehension

mahasiswa di kelas Public Speaking FBS UKSW.

4. Menentukan perbedaan Communication

Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking


(23)

1.4 Manfaat penelitian

Merujuk pada tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis:

Dapat memperkaya konsep serta pola pikir individu tentang hubungan FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi dengan Communication Apprehension. Selain itu, kiranya penelitian ini dapat memberikan kontribusi pikir khususnya dalam bidang psikologi pendidikan, serta menguji kembali beberapa teori yang berhubungan dengan FLL Self Efficacy, Motivasi Berprestasi, dan Communication Apprehension.

1.4.2 Manfaat Praktis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis antara lain:

a. Sebagai kontribusi positif bagi lembaga-lembaga pendidikan dimana pun, secara khusus FBS UKSW. b. Memberikan informasi dan masukan positif bagi FBS

UKSW untuk dapat mengembangkan materi yang dapat meningkatkan kualitas mahasiswa agar lebih meningkatkan kemampuan dalam hal public speaking. c. Memberikan kontribusi pikir kepada FBS UKSW

mengenai pentingnya FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi di kelas Public Speaking

d. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman atau referensi untuk penelitian berikutnya yang sejenis.


(1)

kebutuhan akan pencapaian, kebutuhan akan afiliasi, dan kebutuhan akan kekuasaan.

Selanjutnya, ada berbagai penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya mengenai hubungan antara Motivasi Berprestasi dengan Communication Apprehension. Beberapa penelitian menemukan bahwa Motivasi Berprestasi memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan performance dalam pembelajaran bahasa asing. Hal tersebut didukung oleh beberapa penelitian yang antara lain dilakukan oleh Putra (2010) dengan, Budiawan (2008), Yusuf (2011), dan Azar (2013), yang menyatakan bahwa Motivasi Berprestasi berkorelasi positif dan signifikan dengan keberhasilan berpresentasi atau performance dalam pembelajaran bahasa asing.

Sebaliknya, hasil temuan berbeda ditemukan oleh Baharudin (2013) dan Ray (1990), yang menyatakan bahwa Motivasi Berprestasi tidak memiliki hubungan dengan Communication Apprehension (CA). Temuan ini mengindikasikan bahwa Motivasi Berprestasi tidak memiliki korelasi dengan CA.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tersebut, penting bagi penulis untuk meneliti motivasi terutama Motivasi Berprestasi mahasiswa kelas Speaking FBS UKSW, karena motivasi merupakan salah satu fondasi dari kemampuan berkomunikasi baik dalam komunikasi interpersonal, group, ataupun komunikasi massa. Selain itu, dalam kaitannya dengan Foreign Language Learning, motivasi berfungsi sebagai kendali


(2)

oleh Schunk (1995). Selain itu, Khodadady & Khajavy (2013) menyatakan bahwa motivasi merupakan salah satu faktor afektif yang penting yang memengaruhi pembelajaran bahasa.

Dalam penelitian ini, penulis mengaitkan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang menggunakan istilah performance. Hal ini disebabkan karena CA memiliki kaitan dengan performance. Keberhasilan seseorang dalam penguasaan Speaking di hadapan orang banyak (berpresentasi) dalam konteks pembelajaran Bahasa Inggris dapat dinilai dalam bentuk performance. Performance merupakan skill atau kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki individu yang seharusnya dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan sosial. Performance berarti tampil di depan umum, yang mana dalam konteks pembelajaran Bahasa Inggris di kelas Public Speaking berarti melakukan presentasi di depan kelas, dihadapan dosen pengampu dan mahasiswa lainnya (Thaher, 2005).

Dari kondisi atau fenomena dan juga penelitian sebelumnya, penulis tertarik untuk memilih Motivasi Berprestasi sebagai variabel dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan Motivasi Berprestasi merupakan salah satu aspek penting yang harus dimiliki seseorang apabila mereka ingin memiliki kompetensi berbicara yang baik. Selain itu, dalam kaitannya dengan Foreign Language Learning, motivasi berfungsi sebagai kendali dan pengurang CA dalam diri individu seperti yang dinyatakan oleh Schunk (1995). Selain itu, Khodadady & Khajavy (2013) menyatakan bahwa motivasi merupakan salah


(3)

satu faktor afektif yang penting yang memengaruhi pembelajaran bahasa.

Selain faktor-faktor yang telah diuraikan, perbedaan jenis kelamin juga telah menjadi fokus dalam beberapa penelitian mengenai Communication Apprehension. Elliot & Chong (2004) menyebutkan bahwa perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi CA, dimana wanita memiliki CA yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Temuan Elliot & Chong (2004) sejalan dengan penelitian Johnson dan Faunce (1973). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Johnson & Faunce (1973) menunjukkan bahwa mahasiswa perempuan memiliki tingkat Communication Apprehension yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa laki-laki. Temuan ini mengindikasikan bahwa ada perbedaan tingkat CA apabila ditinjau dari jenis kelamin. Artinya, tingkat CA laki-laki bisa lebih tinggi maupun lebih rendah dari perempuan.

Sebaliknya, dalam penelitian yang dilakukan oleh Thaher (2005) ditemukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat Communication Apprehension antara laki-laki dan perempuan [(0,731 > 0,05), t-hitung < t-tabel (0,344 < 1,96)]. Dengan kata lain, tingkat CA laki-laki dan perempuan adalah sama.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti Self Efficacy dan juga Motivasi Berprestasi mahasiswa terutama dalam kaitannya dengan pembelajaran Bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Penulis ingin meneliti adakah hubungan antara FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi yang dimiliki


(4)

Self Efficacy, Motivasi Berprestasi dan Communication Apprehension juga pernah dilakukan oleh Mettasari (2013). Penelitian yang dilakukan oleh Mettasari (2013) menemukan bahwa hasil koefisien korelasi berganda diperoleh sebesar R= 0,772 dengan nilai signifikansi 0,000 (p< 0,05), yang artinya ada hubungan antara SE, MB dengan CA.

Tidak lepas dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, penulis ingin menguji kembali adakah hubungan antara Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi dengan CA dalam Foreign Language Learning. Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu mahasiswa untuk menyadari tingkatan Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi yang mereka miliki. Dengan demikian, siswa yang memiliki tingkat FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi yang rendah dapat menaikkan tingkat FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi mereka. Hal ini diharapkan dapat menurunkan tingkat Communication Apprehension yang mereka miliki dan meningkatkan performance mereka di kelas Speaking.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:

1. Adakah hubungan signifikan antara FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi dengan Communication Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking FBS UKSW?


(5)

2. Adakah interaksi antara Foreign Language Self Efficacy dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking FBS UKSW?

3. Adakah interaksi antara Motivasi Berprestasi dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking di FBS UKSW? 4. Adakah perbedaan signifikan Communication

Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking FBS UKSW ditinjau dari jenis kelamin?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menentukan hubungan antara FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi dengan Communication Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking FBS UKSW.

2. Menentukan interaksi FLL Self Efficacy dan jenis kelamin dengan Communication Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking FBS UKSW. 3. Menentukan interaksi Motivasi Berprestasi dan jenis

kelamin dengan Communication Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking FBS UKSW. 4. Menentukan perbedaan Communication


(6)

1.4 Manfaat penelitian

Merujuk pada tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis:

Dapat memperkaya konsep serta pola pikir individu tentang hubungan FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi dengan Communication Apprehension. Selain itu, kiranya penelitian ini dapat memberikan kontribusi pikir khususnya dalam bidang psikologi pendidikan, serta menguji kembali beberapa teori yang berhubungan dengan FLL Self Efficacy, Motivasi Berprestasi, dan Communication Apprehension.

1.4.2 Manfaat Praktis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis antara lain:

a. Sebagai kontribusi positif bagi lembaga-lembaga pendidikan dimana pun, secara khusus FBS UKSW. b. Memberikan informasi dan masukan positif bagi FBS

UKSW untuk dapat mengembangkan materi yang dapat meningkatkan kualitas mahasiswa agar lebih meningkatkan kemampuan dalam hal public speaking. c. Memberikan kontribusi pikir kepada FBS UKSW

mengenai pentingnya FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi di kelas Public Speaking

d. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman atau referensi untuk penelitian berikutnya yang sejenis.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: suatu analisis psikologi indigenous

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832013008 BAB II

1 1 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832013008 BAB IV

0 1 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832013008 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous

0 1 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous

0 0 35

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832012008 BAB I

0 1 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832012008 BAB II

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832012008 BAB IV

0 3 53

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832012008 BAB V

0 0 4