Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832013008 BAB II

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam sebuah penelitian akademik atau ilmiah, tinjuan pustaka merupakan hal yang sangat penting untuk diuraikan sebagai dasar dalam membangun hubungan antar variabel dan juga kerangka pikir yang pada akhirnya akan menjadi sumber dalam penyusunan hipotesis. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka dalam bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang mendasari masing-masing variabel, aspek-aspek dan faktor pengaruh dari masing-masing variabel. Selain itu dijelaskan juga tentang hasil-hasil penelitian sebelumnya, model penelitian, serta hipotesis penelitian.

2.1 COMMUNICATION APPREHENSION

2.1.1 Pengertian Communication Apprehension

Communication Apprehension merupakan kecemasan yang muncul dalam diri individu dalam kaitannya dengan kemampuan berkomunikasi.Communication Apprehension yang biasa dikenal dengan istilah CA dapat terjadi karena kurangnya pengalaman individu atau keterbatasan informasi yang dimiliki. Menurut Beatty (1998) dalam Blume (2013), CA merupakan kombinasi dari dimensi kepribadian yang tertutup dan

neuroticism dalam interaksi sosial yang ditandai dengan adanya sikap yang menghindari interaksi atau munculnya berbagai perasaan cemas saat berkomunikasi. Burgoon & Ruffner (1978) dalam Indi (2009) menyatakan bahwa CA merupakan suatu reaksi


(2)

negatif yang muncul dalam diri individu yang biasanya berupa rasa yang dialami individu saat berkomunikasi, baik dalam komunikasi antar pribadi, komunikasi di depan umum, atau komunikasi masa. Rogers (2004) juga menyatakan bahwa kecemasan dan ketakutan berbicara di depan umum ditandai dengan perasaan gelisah dan tertekan. Selain itu, Daradjat (1969) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika individu mengalami tekanan perasaan dan pertentangan batin. Spielberger (1972) menambahkan bahwa kecemasan merupakan reaksi emosional yang disertai dengan perubahan sistem syaraf otonom dan pengalaman subjektif sebagai tekanan, ketakutan, dan kegelisahan. Selanjutnya, ada ungkapan yang menyatakan bahwa CA adalah elemen utama yang berkaitan erat dengan keterbatasan kemampuan individu dalam berkomunikasi. Secara tegas, ungkapan tersebut dijelaskan oleh McCroskey (1977, h.75) sebagai berikut:

---“Communication Apprehension is an individual’s level of fear or anxiety associated with either real or anticipated communication with another person or persons”.---

Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa CA merupakan tingkat kecemasan dan ketakutan yang dimiliki oleh individu dalam kaitannya dengan komunikasi antar individu, dalam konteks berbicara di depan umum atau dalam melakukan presentasi di depan kelas, terutama dengan menggunakan Bahasa Inggris.


(3)

2.1.2 Teori Communication Apprehension

Kecemasan komunikasi merupakan suatu gejala yang mempunyai banyak istilah. Horwits (2001) menyatakan bahwa kecemasan komunikasi sebagai demam panggung (stage fright), kecemasan komunikasi (communication anxiety), kecemasan tampil di depan umum (performance anxiety), kemudian berkembang dengan istilah Communication Apprehension (CA). CA didefinisikan sebagai kecemasan atau ketakutan yang diderita oleh individu secara nyata atau antisipasi komunikasi, baik dalam suatu kelompok atau individu dengan individu, sehingga kecemasan komunikasi akan sangat memengaruhi komunikasi verbal mereka. Kecemasan berbicara didepan umum (CA) terbagi menjadi beberapa komponen. Menurut Rogers (2004) dalam Indi (2009), kecemasan berbicara di depan umum terbagi menjadi 3 komponen, yaitu komponen fisik, komponen proses mental, dan komponen emosional. Komponen fisik biasanya dirasakan jauh sebelum individu memulai pembicaraan, dan gejala-gejala fisik yang ditimbulkan oleh tiap-tiap individu berbeda-beda. Dalam komponen proses mental, individu biasanya mengulang kata atau kalimat, kehilangan ide secara tiba-tiba sehingga sulit mengingat fakta secara tepat dan melupakan hal penting. Sedangkan, komponen emosional adalah munculnya rasa tidak mampu, takut, dan rasa kehilangan kendali.

Horwitz (2001) juga mengemukakan bahwa kecemasan komunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan adanya suatu pemikiran bahwa dirinya akan dikritik atau


(4)

dinilai jelek oleh orang lain. Hal ini tampak pada diri seseorang terutama saat diminta untuk melakukan presentasi dalam bahasa asing. Seperti yang dikemukan Rakhmat (2007) bahwa orang yang mengalami kecemasan komunikasi akan sedapat mungkin menghindari situasi komunikasi, hal ini karena ia takut orang lain akan mengejeknya atau menyalahkannya.

Selain Horwitz (2001), Berrios (1999) menyatakan bahwa kecemasan merupakan sesuatu yang berkaitan dengan ketidakmudahan, ketakutan dan kegugupan yang dirasakan oleh individu yang memiliki ketakutan untuk gagal dalam mengerjakan suatu tugas. Selain itu, MacIntyre & Gardner (1991) menyatakan bahwa kecemasan berbicara merupakan masalah yang paling rumit dan mengerikan yang sering muncul ketika individu mencoba berkomunikasi dengan individu-individu lainnya. Menurut Spielberger (1972), kecemasan berkomunikasi dibedakan menjadi dua, yaitu state anxiety dan trait anxiety. State anxiety merupakan kecemasan yang bersifat sementara, sedangkan trait anxiety lebih mengarahkan pada kestabilan perbedaan personality dalam kecenderungan untuk merasa cemas. Dalam hal ini trait anxiety tidak dapat terlihat langsung pada perilaku individu, tetapi dapat dilihat dari frekuensi state anxiety yang muncul dalam diri individu.

Sejalan dengan hal tersebut, McCroskey (1977) menyebutkan bahwa CA merupakan kecemasan dasar yang sangat berkaitan dengan oral communication. McCroskey juga menggolongkan CA menjadi 4 tipe atau dimensi, yaitu CA as a trait, CA in generalized context, CA with generalized people, dan


(5)

juga CA as a state. Communication Apprehension merupakan kecemasan yang terdapat atau dapat dilihat dalam kelompok, di dalam kelas, dalam komunikasi interpersonal, dan juga di lingkungan publik. McCroskey (1977) juga menyatakan bahwa tidak dalam semua kondisi individu mengalami kecemasan karena beberapa individu hanya mengalami kecemasan pada kondisi tertentu, sebagai contohnya adalah berbicara di depan umum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori

Communication Apprehension yang dikemukakan McCroskey tersebut yang sesuai dengan tujuan penelitian penulis.

2.1.3 Aspek-Aspek Communication Apprehension

Kecemasan dalam berkomunikasi atau yang lebih dikenal sebagai CA merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan adanya suatu pemikiran bahwa dirinya akan dikritik atau dinilai jelek oleh orang lain. Menurut Horwits (2001) CA

memiliki empat aspek sebagai berikut: a. Aspek kognitif

Dalam hal ini individu memberikan perhatian yang berlebihan terhadap diri sendiri dan juga pandangan atau penilaian orang lain.

b. Aspek motorik

Timbulnya perasaan malu, gelisah dan bingung jika harus berbicara di depan umum.


(6)

c. Perubahan fisiologis

Ditandai dengan meningkatnya detak jantung dan nadi, keringat berlebihan, tangan dan kaki dingin serta perut yang mulas atau sakit.

d. Perilaku motorik

Ditandai dengan berbicara yang terpatah-patah, lebih memilih untuk tidak berbicara, gemetaran, selalu merunduk atau berusaha untuk menghindari tatap mata dengan lawan bicara.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Semiun (2006), bahwa ada empat aspek yang memengaruhi kecemasan berbicara di depan umum yaitu:

a. Aspek suasana hati.

Aspek-aspek suasana hati dalam gangguan kecemasan adalah kecemasan, tegang, panik dan kekhawatiran, individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan adanya hukuman atau bencana yang akan mengancam dari sumber tententu yang tidak diketahui. Aspek-aspek suasana hati yang lainnya adalah depresi dan sifat mudah marah.

b. Aspek kognitif.

Aspek-aspek kognitif dalam gangguan kecemasan menujukan kekhawatiran dan keprihatinan mengenai bencana yang diantisipasi oleh individu misalnya seseorang individu yang takut berada ditengah khalayak ramai.


(7)

c. Aspek somatik.

Aspek-aspek somatik dari kecemasan dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu pertama aspek langsung dan aspek tambah. Aspek-aspek langsung terdiri dari keringat, mulut kering, bernapas pendek, denyut nadi cepat, tekanan darah meningkat, kepala terasa berdenyut-denyut, dan otot terasa tegang. Kedua apabila kecemasan berkepanjangan aspek-aspek tambah seperti tekanan darah meningkat secara kronis, sakit kepala, dan gangguan usus (kesulitan dalam pencernaan, dan rasa nyeri pada perut) dapat terjadi. d. Aspek motor.

Orang-orang yang cemas sering merasa tidak tenang, gugup, kegiatan motorik menjadi tanpa arti dan tujuan, misalnya jari-jari kaki mengetuk-mengetuk, dan sangat kaget terhadap suara yang terjadi secara tiba-tiba. Aspek-aspek motor ini merupakan gambaran rancangan kognitif dan somatik yang tinggi pada individu dan merupakan usaha untuk melindungi diri dari apa saja yang dirasanya mengancam.

Selain Horwitz dan Semiun, McCroskey (1984, p.282-283) juga membagi Communication Apprehension kedalam 4 aspek. Berikut adalah 4 aspek CA yang dikemukakan oleh McCroskey:

a. Traitlike CA dilihat sebagai “a relatively enduring, personality type orientation toward a given made of communication across a wide variety of context”.


(8)

Traitlike CA ini berkaitan dengan kesusastraan atau secara specifik berkaitan dengan CA dalam oral communication, CA about writing, dan CA about singing

dengan alat ukur WAT dan TOSA untuk masing-masing kategori.

b. Generalized-Context CA merupakan gambaran

komunikasi dengan konteks yang disamaratakan. McCroskey (1977) melihat Generalized-context CA

sebagai “relatively enduring, personality type orientation toward communication in a given type of context”. Hal ini berarti kecemasan dalam berkomunikasi muncul karena individu harus berbicara sesuai dengan konteks yang diberikan. Dalam jenis ini, terdapat 4 varian CA yaitu CA dalam public speaking,

CA dalam speaking in a meeting/classroom, CA dalam

speaking dikelompok kecil, dan CA dalam interaksi diadik.

Alat ukur yang digunakan oleh penulis adalah PRCA

(Personal Report of Communication Apprehension)

Scale. Hal ini dikarenakan PRCA lebih menjawab kebutuhan penulis dalam penelitiannya karena terdapat banyak aspek yang ditemui, seperti dalam diskusi kelompok, menyampaikan ide atau gagasan dalam kelas, dan lain sebagainya.

c. Person-Group CA (CA with generalized people)

menggambarkan reaksi dari individu dalam berkomunikasi dengan individu atau grup dalam waktu


(9)

tertentu. McCroskey (1977) memandang hal ini sebagai, “a relatively enduring orientation toward communication with a given person or group of people”. Dalam tipe atau jenis ini, CA muncul karena ketidakfamiliaran dengan orang yang diajak berkomunikasi atau berinteraksi.

d. Situational CA / CA as a State menggambarkan reaksi yang akan ditimbulkan atau dimunculkan oleh individu dalam berkomunikasi dengan individu atau kelompok tertentu dalam jangka waktu yang telah ditentukan. McCroskey (1977) memandang CA tipe ini sebagai, “transitory orientation toward communication with a given person or group of people”. Ini berarti komunikasi tidak terjadi dalam situasi seperti kehidupan sehari-hari, tetapi lebih dalam situasi yang khusus.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh beberapa peneliti diatas, penulis menggunakan aspek CA yang dikemukakan oleh McCroskey (1984). Hal ini dikarenakan aspek-aspek CA yang dikemukakan oleh McCroskey tersebut, sesuai dengan kebutuhan penulis. Selain itu, aspek-aspek yang dikemukakan oleh McCroskey (1984) jauh lebih mudah untuk dijumpai di dalam kehidupan nyata seperti halnya di kelas Public Speaking.


(10)

2.1.4 Faktor – faktor yang memengaruhi Communication Apprehension

Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi CA, antara lain faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal CA dapat dilihat dari faktor-faktor yang dinyatakan oleh Miller (2002). Miller (2002) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi CA adalah sebagai berikut:

a. Lack of preparation

Dalam hal ini, tingkat kecemasan yang muncul dalam diri individu dipengaruhi oleh kesiapan individu dalam mempersiapkan ataupun melakukan presentasi. Semakin sering individu mempersiapkan diri, maka tingkat CA

yang dimilikinya menurun.

b. Lack of speaking skills

Kemampuan berbicara merupakan modal utama yang harus dimiliki individu dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Salah satu contohnya adalah presentasi. Apabila individu tidak memiliki skill dalam berkomunikasi

c. Negative reinforcement from previous communication efforts

Pengalaman individu yang gagal menjalankan suatu tugas sebelumnya akan menentukan sikap individu dalam melakukan tugas berikutnya.


(11)

d. Poor role models from which communication was learned

Tidak adanya individu yang berkompeten untuk dijadikan contoh atau untuk ditiru, membuat individu dapat dengan mudah mengalami kecemasan dalam berkomunikasi. Sedangkan faktor internal CA, terdapat dalam faktor yang dikemukakan oleh McCroskey (1977). McCroskey (1977) menunjukkan bahwa terdapat dua faktor psikologi dalam CA

yaitu emosi dan motivasi.

Mengacu pada faktor-faktor CA yang dikemukakan oleh McCroskey, Thaher (2005) melakukan penelitian tentang CA dan menggolongkan faktor-faktor CA tersebut menjadi 3 kategori atau golongan sebagai berikut:

a. Psychological factors

Yang termasuk di dalam psychological factors adalah

emotion, self efficay, attitude, fear, dan motivation b. Instructional factors

Yang termasuk di dalam instructional factors adalah

goals, teacher, method, text, time, intensity, dan means of evaluation.

c. Sosiocultural factors

Sedangkan yang termasuk di dalam sosiocultural factors

adalah acculturation, sosial distance, second versus foreign language learning dan culturally accepted thought.

Selanjutnya, Khajavy & Khodadady (2013) menambahkan bahwa faktor afeksi merupakan bagian dari emosi.


(12)

Salah satu faktor afeksi yang berperan penting dalam CA adalah

Self Efficacy. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Self Efficacy merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan kecemasan berpresentasi di depan banyak orang atau yang biasa disebut dengan CA. Hal tersebut dipertegas oleh Bandura (1997) yang menyatakan bahwa ketika individu menghadapi tugas yang menekan, dalam hal ini berbicara di depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka (Self-Efficacy) akan memengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan.

Disisi lain, untuk dapat melakukan presentasi secara maksimal, individu perlu menyeimbangkan aspek afektif dan kognitif yang ada dalam dirinya. Seperti yang disampaikan oleh Tsagarakis (1992), yang menyatakan bahwa Self Efficacy

merupakan bagian dari variabel kognitif, sehingga Self Efficacy

memiliki kaitan dengan Communication Apprehension. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa individu dengan Self Efficacy

tinggi akan memiliki tingkat CA yang rendah, demikian juga sebaliknya.

Sesuai dengan faktor-faktor yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan landasan faktor-faktor eksternal internal yang memengaruhi CA. Dengan demikian, sesuai dengan faktor-faktor yang telah diuraikan, maka penulis menggunakan faktor-faktor yang dikemukakan oleh McCroskey (1977) dan Thaher (2005).

Pada akhirnya, Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi dipilih sebagai variabel dalam penelitian ini. Motivasi yang


(13)

digunakan dalam penelitian ini adalah Motivasi Berprestasi karena yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang mengambil matakuliah Speaking. Didalam matakuliah Speaking, berhasil atau tidaknya mahasiswa di dalam matakuliah tersebut dapat dilihat dari performansi mereka. Itulah sebabnya, motivasi yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah Motivasi Berprestasi. Demikian pula dengan Self Efficacy, karena yang menjadi subyek penelitian ini adalah mahasiswa FBS, yang mana Bahasa Inggris merupakan bahasa asing bagi mereka maka penulis menggunakan istilah Foreign Language Learner (FLL) Self Efficacy.

2.2 Foreign Language Learner (FLL) Self Efficacy 2.2.1 Pengertian

Menurut Schultz (1994), Self Efficacy adalah perasaan individu terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan individu dalam mengatasi kehidupan. Selanjutnya, Lahey (2004) mendefinisikan Self Efficacy sebagai persepsi bahwa seseorang mampu melakukan sesuatu yang penting untuk mencapai tujuannya. Hal ini mencakup perasaan mengetahui apa yang harus dilakukan dan juga secara emosional mampu untuk melakukannya. Woolfolk (2004) menambahkan bahwa Self Efficacy adalah penilaian spesifik yang berkaitan dengan kompetensi untuk mengerjakan sebuah tugas yang spesifik, sedangkan Bandura (1997) menyatakan bahwa Self Efficacy

adalah keyakinan individu terhadap kemampuan akan memengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi dan


(14)

kondisi tertentu. Sedangkan FLLSelf Efficacy merupakan bagian dari Academic Self Efficacy, yang mana Academic Self Efficacy

merupakan penilaian pribadi mengenai kemampuan yang dimiliki individu untuk mengolah dan melaksanakan suatu tindakan dalam serangkaian pelajaran atau mata pelajaran untuk mencapai berbagai macam performance dalam pendidikan sebagaimana yang diungkapkan oleh Zimmerman (1991) dalam Akomolafe (2013). Selain itu yang menjadi subjek penelitian ini adalah mahasiswa, yang apabila dilihat dari segi pembelajaran Bahasa Inggris, mereka merupakan Foreign Language Learners.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa

Self Efficacy adalah kemampuan dan keyakinan individu dalam mencapai keberhasilan dalam segala bidang, termasuk dalam dunia akademik. Demikian pula dengan FLL Self Efficacy, dari berbagai uraian yang telah disajikan, dapat disimpulkan bahwa

FLL Self Efficacy adalah kemampuan dan keyakinan individu untuk berhasil dalam melakukan presentasi dengan demikian akan mendapatkan nilai yang bagus di dalam kelas Speaking.

2.2.2 Dimensi Self Efficacy

Corsini (1994) menyatakan bahwa Self-Efficacy terdiri dari empat dimensi sebagai berikut:

a. Kognitif, merupakan kemampuan seseorang dalam memikirkan cara-cara yang digunakan dan merancang tindakan yang akan diambil untuk mencapai tujuan yang diharapkan.


(15)

b. Motivasi, merupakan kemampuan seseorang untuk memotivasi diri melalui pikirannya dalam melakukan suatu tindakan dan keputusan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

c. Afeksi, merupakan kemampuan dalam mengatasi emosi yang mungkin timbul pada diri individu dalam mencapai tujuan yang diharapkan.

d. Seleksi, merupakan kemampuan seseorang untuk menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang tepat sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Sedangkan menurut Bandura (1997), Self-Efficacy individu dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu:

a. Tingkat (level)

Self-efficacy individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat kesulitan tugas. Individu memiliki

Self-Efficacy yang tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki Self-Efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya. b. Keluasan (generality)

Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki Self-Efficacy pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu dengan Self-Efficacy yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan


(16)

suatu tugas. Individu yang memiliki Self Efficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas.

c. Kekuatan (strength)

Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu terhadap keyakinannya.

Self Efficacy menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan individu. Self Efficacy menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun.

Berdasarkan dimensi-dimensi Self Efficacy yang dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut, penulis memilih untuk menggunakan dimensi Self Efficacy yang dikemukakan oleh Bandura (1997), karena lebih sesuai dengan kebutuhan penulis. Selain itu, salah satu dimensi Self Efficacy yang dikemukakan oleh Corsini adalah motivasi, yang mana motivasi merupakan variabel bebas didalam penelitian yang dilakukan penulis.

2.2.3 Peran Self Efficacy

Menurut Bandura (1997), Self Efficacy atau efikasi diri akan memengaruhi bagaimana individu merasakan, berpikir, memotivasi diri sendiri, dan bertingkah laku. Berikut ini merupakan peran efikasi diri bagi tiap-tiap individu:

a. Tindakan individu

Efikasi diri menentukan kesiapan individu dalam merencanakan apa yang harus dilakukanya.


(17)

b. Usaha

Efikasi diri mencerminkan seberapa besar upaya yang dikeluarkan individu untuk mencapai tujuanya.

c. Daya tahan individu dalam menghadapi rintangan atau kegagalan

Individu dengan efikasi diri tinggi mempunyai daya tahan yang kuat dalam menghadapi rintangan atau kegagalan serta dengan mudah dapat mengembalikan rasa percaya diri setelah mengalami kegagalan.

d. Ketahanan individu dalam keadaan tidak nyaman

Individu dengan efikasi diri menganggap keaadaan tidak nyaman sebagai suatu tantangan, dan bukan sebagai sesuatu yang harus dihindari.

e. Pola pikir

Pola pikir individu dengan efikasi diri tinggi tidak akan mudah terpengaruh dengan situasi lingkungan.

f. Stress dan Depresi

Individu dengan efikasi diri tinggi tidak akan mudah mengalami stress atau depresi.

g. Tingkat pencapaian yang akan terealisasi

Individu dengan efikasi diri tinggi dapat membuat tujuan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

2.3 Motivasi Berprestasi 2.3.1 Pengertian

Beberapa ahli melihat istilah motivasi dari berbagai sudut pandang, namun mereka memiliki konsep yang sama yaitu bahwa


(18)

motivasi berkaitan dengan tujuan. Motivasi berasal dari kata “motif” yang dalam Bahasa Inggris adalah motive. Motive berasal dari kata motion yang mempunyai arti gerak atau sesuatu yang bergerak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi merupakan suatu dorongan atau penggerak untuk menjadi aktif. Perspektif yang pertama adalah dari Schunk, Pintrich, and Meece (2010) yang melihat bahwa motivasi berkaitan erat dengan keinginan dan tujuan seseorang. Mereka menyatakan bahwa keinginan dan tujuan mengarahkan dan memotivasi seseorang untuk mencapai hasil yang maksimal. Asnawi (2002) menambahkan bahwa motivasi adalah kondisi yang berpengaruh dalam membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku tiap-tiap individu terhadap suatu aktivitas.

Menurut Putra (2010) motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan dengan kata lain sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan hidup. Motivasi juga bisa dikatakan sebagai sebuah proses untuk tercapainya suatu tujuan. Seseorang yang mempunyai motivasi berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk memperoleh kesuksesan dalam kehidupan. Motivasi dapat berupa motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi yang bersifat intinsik adalah dorongan yang berasal dari dalam diri pribadi tersebut, sehingga orang yang mempunyai jenis motivasi ini melakukan sesuatu untuk kepuasan mereka sendiri tanpa ada rangsangan atau faktor lain seperti status ataupun imbalan Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah hal – hal yang berasal dari luar diri individu yang


(19)

mendorong tiap individu untuk lebih termotivasi dalam melakukan suatu kegiatan atau aktivitas seperti hadiah atau peringatan. Dari berbagai pengertian yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu tenaga atau daya yang berasal dari dalam diri individu, dan yang mendorong munculnya suatu tindakan dalam mencapai sebuah tujuan.

Banyak teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli yang dimaksudkan untuk memberikan uraian yang menuju pada apa sebenarnya manusia dan manusia akan dapat menjadi seperti apa, termasuk motivasi berprestasi. Motivasi Berprestasi merupakan teori yang dikembangkan oleh David McClelland (1985). Teori ini didasarkan pada teori kebutuhan Maslow, namun ia memiliki konsep tersendiri yang dirangkumnya menjadi tiga kebutuhan dan salah satunya adalah kebutuhan untuk berprestasi, yaitu need for achievement (nAch). McClelland (1985) berpendapat bahwa Motivasi Berprestasi adalah kecenderungan individu berupaya untuk mengarahkan tingkah laku dalam pencapaian prestasi. Robert (2009) menyatakan bahwa

“---need for Achievement (N-Ach) refers to an individual’s desire for significant accomplishment, mastering of skills, control, or high standards.”---

Lebih lanjut, Robert (2009) menyatakan bahwa need for achievement is the desire to accomplish difficult tasks and to meet standards of excellence. Sedangkan menurut Handoko (2003), Motivasi Berprestasi adalah dorongan yang muncul dari


(20)

dalam diri individu untuk berupaya guna mencapai prestasi kerja yang tinggi.

McClelland (1985) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kebutuhan yang kuat untuk berprestasi, dorongan untuk berhasil atau unggul berkaitan dengan sejauh mana individu termotivasi untuk melakukan tugasnya. Individu dengan kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi suka bertanggung jawab untuk memecahkan masalah, mereka cenderung untuk menetapkan sasaran yang cukup sulit untuk mereka sendiri dan mengambil resiko yang sudah diperhitungkan untuk mencapai sasaran ini dan mereka sangat menghargai umpan balik tentang seberapa baik mereka bekerja. Dengan demikian mereka yang mempunyai kebutuhan berprestasi (nAch) yang tinggi cenderung termotivasi dengan situasi kerja yang penuh tantangan dan persaingan sedangkan individu dengan kebutuhan berprestasi rendah cenderung berprestasi jelek dalam situasi kerja yang sama (Stoner dkk, 1996).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Motivasi Berprestasi adalah kebutuhan yang mendorong individu melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan yaitu menghasilkan prestasi yang lebih baik sesuai dengan standar keunggulan. Motivasi Berprestasi ini didasarkan atas kecenderungan untuk meraih sukses dan kecenderungan untuk menghindari kegagalan. Untuk mencapai prestasi yang lebih baik, individu barusaha untuk mengatur lingkungan serta mengatasi berbagai rintangan yang ada agar dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Selanjutnya, berusaha untuk lebih baik dari pada


(21)

prestasi yang berhasil diraih sebelumnya dan mengungguli prestasi orang lain.

Motivasi Berprestasi (achievement motivation) merupakan teori yang dikenalkan oleh David McClelland (1985). Dasar teorinya tetap berakar pada teori kebutuhan Maslow, namun McClelland mencoba mengkristalisasikannya menjadi tiga kebutuhan. Tiga kebutuhan yang dipelajari adalah (Ivancevich dkk, 2006):

a. Kebutuhan akan pencapaian (need for achievement, n Ach),

b. Kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation, n Aff), dan c. Kebutuhan akan kekuasaan (need for power, n Pow).

Dalam membangun teorinya, McClelland (1985) mengajukan teori kebutuhan motivasi yang dipelajari erat hubunganya dengan konsep belajar. Menurutnya, banyak kebutuhan yang didapatkan dari kebudayaan suatu masyarakat. Untuk melihat Motivasi Berprestasi, digunakan metode pengetesan dengan tes TAT (Thematic Apperception Test). Tes ini merupakan tes proyektif yang menggunakan analisa terhadap seseorang dari gambar-gambar untuk mengetahui perbedaan individual. Zarkasyi (2006) menyatakan bahwa dari penelitian yang dilakukan, kemudian dihasilkan profil individu yang memiliki kebutuhan berprestasi (nAch):

a. Individu dengan nAch tinggi memilih untuk menghindari tujuan prestasi yang mudah dan sulit. Mereka sebenarnya


(22)

memilih tujuan yang moderat yang mereka pikir akan mampu mereka raih.

b. Individu dengan nAch tinggi memilih umpan balik lansung dan dapat diandalkan mengenai bagaimana mereka berprestasi.

c. Individu dengan nAch tinggi menyukai tanggung jawab pemecahan masalah.

McClelland (1985) menyatakan bahwa ketika muncul suatu kebutuhan yang kuat di dalam diri individu, kebutuhan tersebut memotivasi diri untuk menggunakan perilaku yang dapat mendatangkan kepuasan. Penelitian McClelland (1985) menunjukkan bahwa motif yang kuat untuk berprestasi, keinginan untuk berhasil atau unggul dalam situasi persaingan, berhubungan dengan sejauh mana individu dimotivasi untuk menjalankan tugas-tugasnya. Dengan kata lain, Motivasi Berprestasi adalah usaha untuk mencapai sukses dan bertujuan untuk berhasil dalam kompetisi dengan suatu ukuran keunggulan.

Dengan demikian, disimpulkan bahwa Motivasi Berprestasi merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh McClelland (1985) dengan mengemukakan tiga kebutuhan manusia yakni kebutuhan akan pencapaian, afiliasi, dan kekuasaan. Demikian juga dalam kaitanya dalam presentasi yang dilakukan didalam kelas Speaking. Individu yang memiliki kebutuhan berprestasi tinggi akan berupaya semaksimal mungkin untuk melakukan pencapaian prestasi yang maksimal.


(23)

2.3.2 Ciri-ciri Motivasi Berprestasi

Dalam kaitannya dengan belajar, motivasi sangat erat hubungannya dengan kebutuhan aktualisasi diri sehingga motivasi paling besar pengaruhnya pada kegiatan belajar siswa yang bertujuan untuk mencapai prestasi tinggi. Apabila tidak ada Motivasi Berprestasi dalam diri siswa, maka akan menimbulkan rasa malas dalam mengikuti proses belajar mengajar maupun mengerjakan tugas-tugas individu dari guru. Individu dengan Motivasi Berprestasi tinggi dalam belajar akan memunculkan minat yang besar dalam mengerjakan tugas, membangun sikap dan kebiasaan belajar yang sehat melalui penyusunan jadual belajar dan melaksanakannya dengan tekun.

Menurut McClelland (1985) ciri-ciri individu yang memiliki Motivasi Berprestasi tinggi yaitu:

a. Pengambilan resiko sedang. Individu memilih pencapaian prestasi dengan resiko sedang sehingga dalam pengambilan tugas individu memiliki keyakinan dapat meraih sukses dan menghindari kegagalan, serta sukses dicapai dengan cara yang inovatif.

b. Menginginkan umpan balik. Individu menyukai aktivitas yang dapat memberikan umpan balik berharga dan cepat mengenai kemajuan dalam mencapai tujuan. Dengan demikian, individu perlu memanfaatkan waktu secara efektif, baik dalam belajar maupun dalam mengerjakan tugas-tugas.

c. Puas dengan prestasi. Individu yang tingkat prestasinya tinggi menganggap bahwa menyelesaikan tugas


(24)

merupakan hal yang menyenangkan secara pribadi, mereka tidak mengharapkan penghargaan material, namun memiliki pemikiran yang berorientasi pada pengharapan akan penghargaan di masa depan.

d. Totalitas terhadap tugas. Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi cenderung total dan gigih dengan mengerjakan tugas, hingga dapat menyelesaikannya dengan sukses.

Menurut Ivancevich, dkk (2006), ciri-ciri individu yang memiliki Motivasi Berprestasi tinggi adalah:

a. Suka menerima tanggung jawab untuk memecahkan masalah.

b. Cenderung menetapkan pencapaian yang moderat dan cenderung mengambil resiko yang telah diperhitungkan. c. Menginginkan umpan balik atas kinerja.

Sedangkan menurut Martaniah dalam Noya (2011), individu dengan Motivasi Berprestasi tinggi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Mempunyai aspirasi yang tingkatnya sedang, karena menurut beberapa penelitian individu yang mempunyai motif berprestasi tinggi memiliki resiko yang sedang sedangkan individu yang memiliki motif berprestasi rendah memilih tugas-tugas yang terlalu sukar dan terlalu mudah.

b. Perspektif waktunya berorientasi ke depan. Hal ini didasarkan pada penemuan bahwa individu yang mempunyai motif berprestasi tinggi mempunyai sifat


(25)

dinamis yang lebih tinggi dari pada individu yang mempunyai motif berprestasi rendah. Hal ini menjadikan individu tersebut berorientasi ke depan.

c. Adanya suatu dorongan untuk menyelesaikan tugas yang belum selesai.

d. Cenderung bertindak secara inovatif dan kreatif. e. Menyukai hal-hal baru yang penuh tantangan.

Ciri yang dikemukakan di atas merupakan hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi. Hal ini disebabkan karena tanpa memiliki ciri tersebut maka individu tidak dapat dikatakan memiliki Motivasi Berprestasi yang tinggi. Oleh sebab itu ciri yang dikemukakan di atas dapat menunjukkan bahwa individu yang memiliki Motivasi Berprestasi yang tinggi cenderung memiliki tingkat prestasi belajar yang tinggi jika dibandingkan dengan individu yang memiliki Motivasi Berprestasi yang rendah.

Berdasarkan berbagai uraian tersebut, penulis menggunakan ciri-ciri Motivasi Berprestasi yang dikemukakan oleh McClelland (1985), dikarenakan ciri-ciri tersebut lebih sesuai dengan kebutuhan penulis.

2.3.3. Peran Motivasi Berprestasi

Motivasi Berprestasi merupakan salah satu faktor psikologis dalam belajar yang memiliki peran penting sebagai penggerak atau pendorong jiwa individu untuk melakukan kegiatan belajar.Meskipun demikian, Motivasi Berprestasi dapat


(26)

berubah ataupun hilang seketika dan muncul dengan tiba-tiba. Hal ini terjadi karena adanya fungsi atau peran yang dimiliki. Menurut Dimyati, dkk (2002) peranan Motivasi Berprestasi adalah sebagai berikut:

a) Cita-cita atau aspirasi mahasiswa. Cita-cita akan memperkuat motivasi baik intrinsik maupun ekstrinsik. Sebab tercapainya suatu cita-cita akan mewujudkan aktualisasi diri.

b) Kemampuan mahasiswa. Kemampuan akan memperkuat motivasi mahasiswa untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangan. Keinginan seorang mahasiswa perlu diikuti dengan perkembangan atau kecakapan dalam mencapainya.

c) Kondisi mahasiswa. Kondisi mahasiswa yang meliputi kondisi jasmani dan rohani mempengaruhi motivasi. Seorang mahasiswa yang sedang sakit, lapar atau marah-marah akan mengganggu perhatian belajar, dan sebaliknya.

d) Kondisi Lingkungan. Lingkungan mahasiswa dapat berupa keadaan alam, lingkungan tempat tinggal, pergaulan sebaya dan kehidupan kemasyarakatan. Oleh karena itu kondisi lingkungan sekolah yang sehat, kerukunan hidup, serta ketertiban pergaulan perlu dipertinggi mutunya. Dengan lingkungan yang aman, tenteram, tertib dan indah, maka motivasi berprestasi mudah diperkuat.


(27)

e) Unsur-unsur dinamis dalam belajar dan pembelajaran. Setiap mahasiswa memiliki perasaan, perhatian, kemauan, ingatan dan pikiran yang mengalami perubahan berkat pengalaman hidupnya. Dengan demikian maka unsur-unsur yang bersifat labil tersebut sangat mudah untuk dipengaruhi.

f) Upaya pengajar dalam mengajar. Pengajar adalah pendidik profesional yang selalu bergaul dengan mahasiswa. Intensitas pergaulan dan bimbingan pengajar tersebut mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jiwa mahasiswa. Sehingga sebagai seorang yang profesional, pengajar harus mampu membelajarkan mahasiswa secara bijaksana.

Berdasarkan uraian di atas, Motivasi Berprestasi tidak selamanya stabil. Hal ini disebabkan banyaknya faktor-faktor yang memengaruhi Motivasi Berprestasi tersebut seperti kemampuan mahasiswa, kondisi mahasiswa, lingkungan mahasiswa dan lain-lain.

2.4 Hasil Penelitian Sebelumnya

Communication Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking dapat menjadi suatu penentu mengenai tinggi rendahnya nilai yang akan diperoleh. Semakin tinggi tingkat CA yang dimiliki mahasiswa, pada umumnya akan semakin rendah nilai yang diperoleh. Namun, semakin rendah tingkat CA yang dimiliki maka semakin tinggi nilai yang akan mereka peroleh. Dengan demikian, untuk menurunkan CA mahasiswa di kelas Public Speaking, maka


(28)

perlu ditelusuri faktor-faktor apa saja yang memiliki hubungan dengan dengan penurunan tingkat CA mahasiswa. Oleh sebab itu, berbagai penelitian sebelumnya telah menemukan hasil analisa bahwa, FLL Self Efficacy, Motivasi Berprestasi, dan karakteristik personal (jenis kelamin) menjadi faktor yang memiliki keterkaitan dengan Communication Apprehension.

a. Hubungan FLL Self Efficacy dengan Communication Apprehension

Untuk dapat menurunkan tingkat Communication Apprehension, maka mahasiswa perlu berupaya untuk memiliki

FLL Self Efficacy yang tinggi dalam mengikuti matakuliah Public Speaking. Artinya, FLLSelf Efficacy merupakan salah satu faktor penting yang memiliki keterkaitan terhadap penurunan tingkat

CA.

Ada berbagai temuan penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli dalam kaitan dengan hubungan antara Self Efficacy dan

Communication Apprehension diantaranya; penelitian Indi (2009) mengenai hubungan antara Self Efficacy dengan CA pada 184 mahasiswa Fakultas Psikologi USU. Indi menggunakan Skala

Self Efficacy dan Skala Kecemasan berbicara di depan umum yang disusun dalam bentuk Skala Likert berdasarkan aspek-aspek

Self Efficacy dan komponen kecemasan berbicara di depan umum. Analisis dalam penelitian tersebut menggunakan korelasi

Pearson Product Moment dengan hasil terdapat hubungan negatif signifikan antara Self Efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum (r = -.670 dengan p=0,01). Dengan kata lain,


(29)

semakin tinggi Self Efficacy yang dimiliki mahasiswa, maka semakin rendah tingkat kecemasan berbicara di depan umum dan begitu juga sebaliknya.

Penelitian yang dilakukan oleh Indi sejalan dengan penelian yang dilakukan oleh Putra (2010), yang meneliti mengenai hubungan Self Efficacy dan konsep diri dengan CA. Subyek dalam penelitian ini adalah 58 mahasiswa yang berumur 18-22 tahun. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan negatif antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di muka umum (rx1y = 0,520, p < 0,001) dan sumbangan efektif sebesar 27,0%. Penelitian Indi (2009) dan Putra (2013) juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Respati dkk., (2008), dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0.518 dengan signifikansi nilai (p) = 0,000. Yusuf (2011) dan Azar (2013) yang juga meneliti mengenai hubungan Self Efficacy dengan CA dengan hasil yang negatif signifikan.

Sebaliknya, ada hasil penelitian yang ditemukan berbeda oleh para peneliti sebelumnya. Cubukcu (2008) juga melakukan penelitian yang sama terhadap 100 mahasiswa disalah satu universitas di Turki. Namun hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Cubukcu (2008) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara Self Efficacy terhadap CA yang ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.003, dengan kata lain memiliki koefisien korelasi antar variabel yang termasuk dalam kategori sangat rendah. Dengan kata lain, tinggi rendahnya Self Efficacy

yang dimiliki oleh individu tidak ada kaitanya dengan CA yang dimiliki oleh tiap – tiap individu.


(30)

b. Motivasi Berprestasi dan Communication Apprehension Selain Self Efficacy, penelitian mengenai motivasi dengan

CA juga telah dilakukan oleh beberapa penulis. Putra (2010) menemukan bahwa ada hubungan signifikan antara motivasi dengan performance mahasiswa di STIE AMA Salatiga yang ditunjukkan dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0.05). Budiawan (2008) juga menemukan hubungan yang signifikan antara Motivasi Belajar Bahasa Inggris dengan Prestasi dalam mempelajari Bahasa Inggris. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Yusuf (2011) dan Azar (2013) yang meneliti mengenai Self Efficacy, Motivasi Berprestasi dan prokrastinasi dalam kaitanya dengan achievement dan juga performance dengan nilai signifikan 0,04 (p< 0,05). Temuan peneliti sebelumnya tersebut menunjukkan bahwa Motivasi cenderung memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan performance.

Namun, hasil dari penelitian-penelitian di atas berbeda dengan penelian yang dilakukan oleh Baharudin (2013) terhadap siswa kelas XI di Pejagoan Kebumen. Baharudin (2013) menemukan bahwa motivasi tidak memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan performance mahasiswa dalam menggunakan Bahasa Inggris dengan koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,019, yang menggambarkan bahwa sumbangan motivasi terhadap performance sangat kecil yaitu 1,9 % atau hampir tidak memberikan pengaruh. Ray (1990) menganalisa mengenai hubungan Motivasi Berprestasi dengan (CA) dari berbagai macam sudut pandang budaya. Hasil analisis dan penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara


(31)

Motivasi Berprestasi dengan kecemasan berbahasa asing (CA).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan Motivasi Berprestasi dengan Communication Apprehension masih dalam perdebatan. Oleh sebab itu penulis ingin menguji kembali hubungan Motivasi Berprestasi dengan Communication Apprehension.

c. Self Efficacy, Motivasi Berprestasi, dan Communication Apprehension

Penelitian mengenai Self Efficacy, Motivasi Berprestasi, dan Communication Apprehension sudah pernah dilakukan oleh Mettasari (2013). Mettasari (2013) melakukan penelitian terhadap 130 mahasiswa semester 1 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Pendidikan Ganesha. Penelitiannya menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Self Efficacy dan

Communication Apprehension, dan juga terdapat hubungan yang signifikan antara Motivasi Berprestasi dengan Communication Apprehension. Selain itu, Yusuf (2011) dan Azar (2013) juga meneliti mengenai Self Efficacy, Motivasi Berprestasi dan prokrastinasi dalam kaitannya dengan achievement dan juga

performance dengan hasil temuan bahwa Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi memiliki hubungan yang positif dengan

Communication Apprehension.

Atas dasar inilah, penulis menuliskan hipotesa: ada korelasi antara FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi dengan Communication Apprehension.


(32)

d. Interaksi Self Efficacy dan Jenis Kelamin terhadap Communication Apprehension

Dalam kaitan dengan pengaruh interaksi Self Efficacy dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension, beberapa peneliti menemukan hasil yang berbeda. Penelitian Azar (2013) menghasilkan temuan bahwa ada interaksi yang signifikan antara

FLL Self Efficacy dan jenis kelamin terhadap CA dengan nilai signifikansi 0.001 (p<0,05). Namun, temuan Azar (2013) berbeda dengan temuan Cubukcu (2008), yang menemukan bahwa tidak ada interaksi antara FLL Self Efficacy dan jenis kelamin terhadap

Communication Apprehension.

Atas dasar hasil penelitian Azar (2013), penulis merumuskan hipotesa: ada interaksi antara FLL Self Efficacy dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension.

e. Interaksi Motivasi Berprestasi dan Jenis Kelamin dengan Communication Aprrehension

Dalam kaitannya dengan interaksi Motivasi Berprestasi dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension, beberapa peneliti menemukan hasil yang berbeda. Azar (2013) melakukan penelitian dengan temuan bahwa terdapat interaksi antara Motivasi Berprestasi dan jenis kelamin terhadap

Communication Apprehension dengan nilai signifikansi 0.04 (p<0,05). Hasil temuan Azar (2013) berbeda dengan hasil temuan Ray (1990), yang menganalisa mengenai hubungan Motivasi Berprestasi dengan kecemasan berbahasa (CA) dari berbagai macam sudut pandang budaya. Hasil analisis dan penelitiannya


(33)

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara Motivasi Berprestasi dengan kecemasan berbahasa asing (CA)

Berdasarkan temuan Azar (2013), maka penulis menulis hipotesa; ada interaksi antara Motivasi Berprestasi dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension.

f. Perbedaan Communication Apprehension ditinjau dari Jenis Kelamin

Salah satu faktor demografi yang diteliti oleh beberapa penelitian sebelumnya dalam kaitannya dengan Communication Apprehension adalah jenis kelamin. Selain jenis kelamin dapat berpengaruh pada Communication Apprehension mahasiswa, perbedaan jenis kelamin juga menarik untuk diteliti sehubungan dengan Communication Apprehension.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Thaher (2005) ditemukan bahwa tidak ada perbedaan cukup berarti antara laki-laki dan perempuan dalam kaitannya dengan tingkatan

Communication Apprehension [(0,731 > 0,05), t-hitung < t-tabel (0,344 < 1,96)]. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Cubukcu (2008) menemukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat

Communication Apprehension antara responden laki-laki dan perempuan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Thaher (2005) dan Cubukcu (2008) berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Johnson & Faunce (1973). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa perempuan memiliki tingkat Communication Apprehension yang lebih tinggi dari pada mahasiswa laki-laki (Johnson & Faunce, 1973). Hasil ini menunjukkan bahwa ada


(34)

Communicaction Apprehension (Y)

Motivasi Berprestasi(X2)

FLL Self efficacy (X1)

Jenis Kelamin

perbedaan tingkat Communication Apprehension ditinjau dari jenis kelamin.

Atas dasar inilah penulis menuliskan hipotesa: ada perbedaan tingkat CA ditinjau dari jenis kelamin.

2.5 Model Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, landasan teori, kerangka berpikir dan juga hasil penelitian sebelumnya, maka kaitan atau hubungan antar variabel dapat digambarkan melalui model penelitian berikut ini:

2.6 Hipotesis

Berdasarkan uraian, teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H1: Ada hubungan antara FLL Self Efficacy dan motivasi berprestasi secara simultan dengan CA pada mahasiswa di FBS UKSW


(35)

H2: Ada interaksi antara FLL self efficacy dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension

mahasiswa di FBS UKSW

H3: Ada interaksi antara motivasi berprestasi dan jenis kelamin terhadap CA mahasiswa di FBS UKSW.

H4: Ada perbedaan bermakna Communication

Apprehension ditinjau dari jenis kelamin mahasiswa FBS UKSW.


(36)

(1)

Motivasi Berprestasi dengan kecemasan berbahasa asing (CA). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan Motivasi Berprestasi dengan Communication Apprehension masih dalam perdebatan. Oleh sebab itu penulis ingin menguji kembali hubungan Motivasi Berprestasi dengan Communication Apprehension.

c. Self Efficacy, Motivasi Berprestasi, dan Communication Apprehension

Penelitian mengenai Self Efficacy, Motivasi Berprestasi, dan Communication Apprehension sudah pernah dilakukan oleh Mettasari (2013). Mettasari (2013) melakukan penelitian terhadap 130 mahasiswa semester 1 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Pendidikan Ganesha. Penelitiannya menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Self Efficacy dan Communication Apprehension, dan juga terdapat hubungan yang signifikan antara Motivasi Berprestasi dengan Communication Apprehension. Selain itu, Yusuf (2011) dan Azar (2013) juga meneliti mengenai Self Efficacy, Motivasi Berprestasi dan prokrastinasi dalam kaitannya dengan achievement dan juga performance dengan hasil temuan bahwa Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi memiliki hubungan yang positif dengan Communication Apprehension.

Atas dasar inilah, penulis menuliskan hipotesa: ada korelasi antara FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi dengan Communication Apprehension.


(2)

d. Interaksi Self Efficacy dan Jenis Kelamin terhadap Communication Apprehension

Dalam kaitan dengan pengaruh interaksi Self Efficacy dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension, beberapa peneliti menemukan hasil yang berbeda. Penelitian Azar (2013) menghasilkan temuan bahwa ada interaksi yang signifikan antara FLL Self Efficacy dan jenis kelamin terhadap CA dengan nilai signifikansi 0.001 (p<0,05). Namun, temuan Azar (2013) berbeda dengan temuan Cubukcu (2008), yang menemukan bahwa tidak ada interaksi antara FLL Self Efficacy dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension.

Atas dasar hasil penelitian Azar (2013), penulis merumuskan hipotesa: ada interaksi antara FLL Self Efficacy dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension.

e. Interaksi Motivasi Berprestasi dan Jenis Kelamin dengan Communication Aprrehension

Dalam kaitannya dengan interaksi Motivasi Berprestasi dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension, beberapa peneliti menemukan hasil yang berbeda. Azar (2013) melakukan penelitian dengan temuan bahwa terdapat interaksi antara Motivasi Berprestasi dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension dengan nilai signifikansi 0.04 (p<0,05). Hasil temuan Azar (2013) berbeda dengan hasil temuan Ray (1990), yang menganalisa mengenai hubungan Motivasi Berprestasi dengan kecemasan berbahasa (CA) dari berbagai macam sudut pandang budaya. Hasil analisis dan penelitiannya


(3)

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara Motivasi Berprestasi dengan kecemasan berbahasa asing (CA)

Berdasarkan temuan Azar (2013), maka penulis menulis hipotesa; ada interaksi antara Motivasi Berprestasi dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension.

f. Perbedaan Communication Apprehension ditinjau dari Jenis Kelamin

Salah satu faktor demografi yang diteliti oleh beberapa penelitian sebelumnya dalam kaitannya dengan Communication Apprehension adalah jenis kelamin. Selain jenis kelamin dapat berpengaruh pada Communication Apprehension mahasiswa, perbedaan jenis kelamin juga menarik untuk diteliti sehubungan dengan Communication Apprehension.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Thaher (2005) ditemukan bahwa tidak ada perbedaan cukup berarti antara laki-laki dan perempuan dalam kaitannya dengan tingkatan Communication Apprehension [(0,731 > 0,05), t-hitung < t-tabel (0,344 < 1,96)]. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Cubukcu (2008) menemukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat Communication Apprehension antara responden laki-laki dan perempuan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Thaher (2005) dan Cubukcu (2008) berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Johnson & Faunce (1973). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa perempuan memiliki tingkat Communication Apprehension yang lebih tinggi dari pada mahasiswa laki-laki


(4)

Communicaction Apprehension (Y)

Motivasi Berprestasi(X2)

FLL Self efficacy (X1)

Jenis Kelamin

perbedaan tingkat Communication Apprehension ditinjau dari jenis kelamin.

Atas dasar inilah penulis menuliskan hipotesa: ada perbedaan tingkat CA ditinjau dari jenis kelamin.

2.5 Model Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, landasan teori, kerangka berpikir dan juga hasil penelitian sebelumnya, maka kaitan atau hubungan antar variabel dapat digambarkan melalui model penelitian berikut ini:

2.6 Hipotesis

Berdasarkan uraian, teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H1: Ada hubungan antara FLL Self Efficacy dan motivasi berprestasi secara simultan dengan CA pada mahasiswa di FBS UKSW


(5)

H2: Ada interaksi antara FLL self efficacy dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension mahasiswa di FBS UKSW

H3: Ada interaksi antara motivasi berprestasi dan jenis kelamin terhadap CA mahasiswa di FBS UKSW.

H4: Ada perbedaan bermakna Communication Apprehension ditinjau dari jenis kelamin mahasiswa FBS UKSW.


(6)

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: suatu analisis psikologi indigenous

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832013008 BAB I

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832013008 BAB IV

0 1 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832013008 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous

0 1 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous

0 0 35

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832012008 BAB I

0 1 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832012008 BAB II

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832012008 BAB IV

0 3 53

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832012008 BAB V

0 0 4