71
Pada bagian isi sinetron merupakan penggambaran sikap toleransi antar suku dan umat beragama masyarakat yang beragama
Islam terhadap perayaan tahun baru Imlek yang dirayakan oleh salah satu keluarga yang beretnis Tionghoa. Pada beberapa scene, bagian isi
digambarkan secara detil mengenai sikap toleransi, baik membantu persiapan Imlek dan memberikan ijin menyelenggarakan pertunjukkan
barongsai sebagai adat istiadat etnis Tionghoa saat tahun baru Imlek, menghormati dan menghargai keluarga etns Tionghoa yang akan
beribadah ke klenteng, serta menghadiri acara yang untuk menonton pertunjukkan barongsai sebagai bagian dari perayaan tahun baru Imlek
keluarga tersebut. Sedangkan pada bagian penutup menjelaskan bahwa sikap toleransi yang ditunjukkan oleh masyarakat Islam terhadap
perayaan Imlek sesuai dengan batasan dari ajaran agama.
4.3.1.3 Analisis Struktur Mikro
Struktur mikro merupakan makna lokal dari suatu teks yang dapat di amati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh
suatu teks. Dalam struktur mikro ini akan terlihat bagaimana sesungguhnya makna lokal yang ingin dibangun dalam sinetron ini.
Penulis akan mengamati beberapa scene yang menjadi objek kajian dalam struktur ini. Berikut analisis struktur mikro sinetron Tukang
Bubur Naik Haji The Series episode 39-440-441. a.
Scene 12 dan 16 Dalam scene 12 dan 16 menggambarkan kesediaan Mali,
Tarmiji, Syape’i dan Romi membantu persiapan Imlek keluarga
Wan Wan, membawa suatu pemahaman mengenai penerimaan dan dukungan terhadap perayaan tahun baru Imlek keluarga etnis
Tionghoa. Sikap Mali, Tarmiji, Syape’i dan Romi sebagai pemeluk
Islam yang bersedia membantu berbeda motif dan tujuan; Mali dan
72
Tramiji membantu keluarga Wan Wan karena berharap ada imbalan upah yang diterima, sedangkan Syape’i dan Romi membantu
dengan niat tulus dan ikhlas untuk keluarga Wan Wan dalam penyelenggaraan perayaan tahun baru Imlek. Sebagai penerimaan
dan dukungan dapat dilihat dari beberapa adegan Mali, Tarmiji, Syape’i dan Romi pada scene 12 dan 16 seperti analisa berikut ini.
Scene 12 Syape’i : Eh selamat siang babah Acong, koh Wan Wan,
ci leny, ngomong-ngomong ini kok pada penuh? Dari mana mau
kemana to? Acong : Y
ah biasa…habis belanja keperluan Imlek
S
yape’i : Waaahh Gong Xi Fa Chai? K
alo begitu pasti ada yang bisa saya bantu dong nanti buat acara Imlek?
Makna yang ingin ditampilkan scene 12 episode 439-441 sinetron
Tukang Bubur
Naik Haji
The Series
adalah menggambarkan interaksi harmonis antara warga beretnis Tinghoa
yang akan merayakan Imlek dengan masyarakat yang beragama Islam. Penempatan kalimat yang menjelaskan bahwa tokoh
Syape’i dan Romi bersedia membantu keluarga Acong untuk acara Imlek,
memberikan asumsi bahwa perayaan Imlek mendapat sambutan yang baik di lingkungan tempat tinggal keluarga Acong yang
mayoritas menganut agama Islam. Kalimat tersebut memberi gagasan bahwa etnis Tionghoa membaur dengan masyarakat yang
berbeda suku serta agama. Berdasarkan uraian scene 12, peneliti dapat menganalisa
bahwa cuplikan dialog diatas mengarah pada wacana yang dibangun mengenai dukungan dan penerimaan etnis Tionghoa dan
beragama Khonghuchu oleh masyarakat khususnya yang beragama Islam. Disisi lain, sinetron ini secara tidak langsung melalui wacana
73
yang dibangun tersebut memberikan gambaran bagi masyarakat mengenai suatu hubungan interaksi harmonis antar suku dan antar
agama untuk
mengajarkan pentingnya
menghargai dan
menghormati meskipun terdapat banyak perbedaan. Selain itu, penggunaan kata “Gong Xi Fa Chai” pada awal cerita tentunya
dibuat dengan tujuan tertentu, termasuk untuk membangun pemahaman mendasar tentang topik yang akan disampaikan. Hal
tersebut menjelaskan bahwa keluarga beretnis Tionghoa tersebut akan merayakan tahun baru Imlek.
Scene 16
Tarmiji : Wah koh, kayaknya lagi banyak kerjaan nih? Acong : sambil tersenyum biasa kan mau imlek.
Mali : Maaf koh, kira-kira perlu bantuan gak? Acong : Boleh, kalo mau bantu. Oek sangat senang, ayo silahkan
. Syape’i : Waduh udah pada sibuk aja nih? Bapak Acong, saya
bantu ya? Acong : Iya, boleh-boleh ayo Ayo silahkan ayo.
Dari scene 16, makna yang ingin ditampilkan yaitu bahwa perayaan Imlek keluarga Acong juga disambut bahagia oleh
masyarakat tempat tinggalnya, meskipun mereka tidak merayakan Imlek. Terlihat dengan kesediaan tokoh Mali, Tarmiji, Syape’i dan
Romi membantu menghias rumah dalam keluarga Acong, membawa suatu pemahaman bahwa masyarakat yang tidak
merayakan Imlek ikut merasakan kemeriahan tersebut. Sikap yang ditunjukkan Mali, Tarmiji,
Syape’i dan Romi dalam membantu persiapan Imlek keluarga Acong merupakan bukti
bahwa sebagai anggota masyarakat muslim mengamalkan ajaran agama mengenai toleransi dengan sikap dan perilakunya terhadap
warga non muslim. Terlebih seperti apa yang dilakukan oleh Syapei
74
dan Romi membantu dengan niat tulus dan ikhlas seperti yang terlihat dalam scene 16 ketika keluarga Acong memberikan imbalan
dalam membantu persiapan perayaan Imlek, namun ditolak oleh mereka
yang terlihat pada teks kalimat Syape’i: “
Nda k usah Ci Leny, terima kasih. Maaf bukannya kami ndak mau trima, tapi kami
membantu ini dengan tulus kok”. Yang kemudian diperjelas dengan jawaban Romi: “Iya, kami ikhals Ci”.
Berdasarkan analisa peneliti, pada scene 16 memberikan makna mengenai ketulusan dalam membantu, sebagai bentuk sikap
toleransi terhdap etnis Tionghoa meskipun berbeda latar belakang baik suku, agama, dan budaya.
b. Scene 35 dan 39
Scene 35
Wan Wan : Sebelumnya saya minta maaf pak Haji, sama semua yang ada disini. Saya mohon bicara sebentar.
Ki Dawud : Iya silahkan aja ngomong…. H. Muhidin: Iya silahkan….
Wan Wan : Begini, menyambut perayaan Imlek, saya mau minta ijin untuk merayakan pertunjukkan barongsai di rumah saya.
H. Muhidin : dengan nada marah Kagak bisa Enak aja mau ngadain gituan
Wan Wan : Jadi? Gak boleh pak haji? Waduh gimana ya, Kebetulan saya sudah terlanjur memesan barongsainya.
Dari cuplikan dialog diatas dapat dilihat bahwa tujuan keluarga Wan Wan selain meminta ijin juga sebagai pemberitahuan kepada
H. Muhidin yang menjabat sebagai ketua RW di kampung tersebut, bahwa keluarga Wan Wan akan mengadakan pementasan barongsai
saat perayaan tahun baru Imlek.
75
Berdasarkan analisa peneliti pada dialog yang diugkapkan oleh tokoh Wan Wan diatas memberikan makna, bahwa keluarga Wan
Wan sebagai masyarakat minoritas menunjukkan etika dengan meminta ijin dan pemberitahauan mengenai pementasan barongsai
yang akan diselenggarakan sebagai bentuk menghormati ketua RW yaitu H. Muhidin. Hal tersebut membawa suatu pemahaman bahwa
nilai-nilai etika merupakan hal penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena manusia sebagai makhluk sosial akan selalu
bersinggungan dengan manusia lain.
Ki Da wud : Eh Din, lo harus kasih ijin. Emang kenape sih kagak boleh? Itu kan hak nye dia, mau bikin acara
menyambut perayaan hari besarnye dia. Kalo lo kagak kasih ijin, gue tambahin hukuman lo, mau? Si Acong
kan temen gue.
Wacana yang ingin ditampilkan yaitu sikap toleransi yang ditunjukkan Ki Dawud, salah satu sikapnya yang mencerminkan
toleransi terlihat pada kalimat yang terdapat scene 35 ketika Ki Dawud menegur dan akan menambah hukuman H. Muhidin agar
keluarga Wan Wan diberikan ijin menyelenggarakan pertunjukkan barongsai saat perayaan Imlek. Sikap yang ditunjukkan oleh Ki
Dawud mengungkapkan bahwa perayaan Imlek yang dirayakan oleh etnis Tionghoa dan beragama Khong Hu Chu merupakan hak
mereka dalam menyelenggarakan perayaan hari besar. Berdasarkan analisa peneliti pada dialog diatas membawa
suatu pemahaman, jika perayaan Imlek yang dirayakan oleh etnis Tionghoa sebagai kaum minoritas di Indonesia perlu diberikan
kebebasan sebagai bentuk hak asasi manusia.
76
Dalam setiap agama mengajarkan akan pentingnya toleransi, begitu juga dalam ajaran Islam. Hal tersebut terlihat jelas pada Qs.
Al-hujarat: 13 Al-Quran dan terjemahannya: 517, yang menerangkan bahwa Tuhan menghendaki penciptaan manusia
beragam. Keberagaman sengaja diciptakan sebagai media untuk saling mengenal, berdialog, dan kerjasama. Karena dengan saluran
saling mengenal, kedamaian dan ketentraman, di alam dunia ini. Dalam konteks sinetron ini, ditampilkan sikap toleransi seperti
yang terlihat pada tokoh Ki Dawud dengan menghormati dan menghargai keluarga Acong yang akan beribadah ke klenteng saat
perayaan tahun baru Imlek, walaupun di kampung tersebut tdak terdapat klenteng, hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga Acong
merupakan warga minoritas. Seperti yang dipaparkan dalam scene 39, tokoh Ki Dawud memberikan semangat kepada keluarga Acong
dalam merayakan Imlek sebagai bentuk toleransi. Dalam pemilihan kata dan kalimat yang diproduksi pada
sinetron ini memberikan detil mengenai toleransi seperti yang diungkapkan tokoh Ki Dawud dalam kalimat
“
emang kagak ada disini. Ngomong-ngomong kompak banget pake baju merah-merah.
Yang semangat ye tahun baru Imlek” terhadap keluarga Acong. Kalimat tersebut memiliki maksud dan mengarah pada suatu
pemahaman bahwa perayaan tahun baru Imlek yang dirayakan oleh kaum minoritas di tengah-tengah masyarakat mayoritas merupakan
bentuk diterima dan didukungnya perayaan tersebut. Berdasarkan uraian dari cuplikan dialog diatas, peneliti
berkesimpulan jika sinetron ini bermaksud menyampaikan pesan sosial dan membangun wacana toleransi bagi penonton terhadap
kehidupan berbangsa dengan beragam suku, budaya, dan agama yang mengedepankan nilai toleransi antar sesama.
77
Adegan-adegan dalam scene 35 dan 39 yang telah diuraikan di atas memperkuat tema utama dalam sinetron Tukang Bubur Naik
Haji The Series episode 439-441, sehingga mudah untuk dipahami maksud dari sinetron tersebut.
c. Scene 41 dan 42
Sinetron Tukang bubur Naik Haji the Series episode 439-441 mengusung tema Imlek melalui produksi pesan sosial pada tokoh-
tokoh sinetron yang berlatar belakang agama Islam untuk mengarahakan masyarakat mengenai nilai toleransi dalam
kehidupan berbangsa. Dengan mengangkat tema tentang perayaan tahun baru Imlek dalam sinetron ini, merupakan bentuk menghargai
tradisi dan kepercayaan masyarakat etnis Tionghoa sebagai bagian dari budaya Indonesia yang diterima oleh masyarakat. Penanaman
nilai toleransi yang dikonstruksi pada sinetron ini, mengarahkan masyarakat agar tidak ada lagi sikap diskriminasi dan pembedaan
terhadap suku, budaya, serta agama pada masyarakat minoritas seperti etnis Tionghoa. Hal tersebut terlihat pada beberapa adegan
dalam sinetron yang dipaparkan berikut ini. Scene 41
Rumanah, Roby, Ki Dawud, Nini : Assalamuallaikum…
H. Muhidin : Nah ini lu juga pada mau kmana sih? Ki Da wud : Mau ke rumah temen gua si Acong, emang nape?
Rumanah : Abah gak mau ikut? H. Muhidin : Kagak, kagak penting nonton begituan rum, udah
sono kalo mau pergi. Rumanah: Kami pergi ya bah, assalamuallaikum.
H. Muhidin : Waalaikumsalam kemudian H. Muhidin melamun
78
Ustad Zakaria : Assalamualaikum, pak Haji…. Riyamah, Umi Zakaria : Assalamualaikum…
H. Muhidin : Waalaikumsalam….
Ustad Zakaria : Sendirian aja pak Haji? Kagak nonton barongsai? H. Muhidin : Kagak pak ustad, eh Ini mamah ngomong-ngomong
mau nonton barongsai juga?
Riyamah : Iya pak Haji….
H. Muhidin : hening Ustad Zakaria : Gimana pak Haji jadi mau nonton kagak?
H. Muhidin : Oh jelas dong, ikut dong Kan aye ketua RW, Acong sama Wan Wan aje ngundang saya secara khusus. Pak ustad,
tunggu sebentar ye? Mamah tunggu ye?
Pemilihan kalimat dalam scene 41, menggambarkan para warga yang mayoritas muslim berbondong-bondong datang ke
rumah keluarga Wan Wan untuk menonton pertunjukkan barongsai, menunjukkan adanya toleransi yang terlihat pada kesediaan dan
partisipasi mereka datang menonton pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan oleh keluarga Wan Wan sebagai bagian dari
perayaan tahun baru Imlek, hal teresbut memberikan makna jika perayaan tahun baru Imlek yang dirayakan oleh etnis Tionghoa juga
dirasakan dengan sikap senang menonton barongsai oleh masyarakat non Tionghoa terlebih tontonan tersebut baru pertama
kali diselenggarakan dikampungnya. Selain menghormati perayaan keluarga beretnis Tionghoa yang di lingkungan tersebut,
pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan juga sebagai media hiburan bagi para warga yang beragama lain.
Berdasarkan dari analisa peneliti, scene 41 menjelaskan bahwa perayaan Imlek mendapat dukungan dari masyarakat sebagai
bentuk tidak adanya pembedaan bagi etnis Tionghoa dan beragama
79
Khonghuchu sebagai etnis dan agama minoritas. Selain memberikan arahan nilai sosial bagi penonton atau pemirsa juga
untuk dapat menghargai budaya etnis Tionghoa sebagai bagian dari kekayaan budaya Bangsa Indonesia. Dalam pemaparan lain, terlihat
bagaimana hasil pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan oleh keluarga Wan Wan terhadap masyarakat, yaitu hubungan yang
harmonis antar etnis dan agama. Rasa ketertarikan yang ditunjukkan masyarakat beragama Islam terhadap pertunjukkan
barongsai memberikan keuntungan tersendiri bagi keluarga beretnis Tionghoa yaitu rasa senang dan bahagia karena keberadaannya
dapat diterima oleh masyarakat dilingkungannya. Perwujudan toleransi masyarakat yang beragama Islam
dilakukan sebagai bukti dalam kerangka hubungan sosial, diperlukan sikap toleransi tanpa memandang suku, budaya, dan
agama. Disisi lain kehadiran masyarakat menonton pertunjukkan barongsai menunjukkan adanya hubungan harmonis yang terjalin
dan memberikan keuntungan bagi etnis Tionghoa untuk mengekspresikan kebudayaan Tionghoanya dan sebagai media
untuk menunjukkan
kepada masyarakat
bahwa barongsai
merupakan kebudayaan etnis Tionghoa. Barongsai yang di kemas dalam sinetron Tukang Bubur Naik
Haji The Series episode 439-441 ditempatkan sebagai bagian yang penting dalam perayaan tahun baru Imlek. hal tersebut
menunjukkan bahwa barongsai tidak lagi dianggap sebagai budaya etnis Tionghoa yang dilarang seperti yang selama ini diberlakukan
pada masa pemerintahan presiden Soeharto yang melarang berbagai hal berbau Tionghoa. Sehingga pertunjukkan barongsai tidak lagi
dianggap sebagai suatu hal yang dilarang, bahkan sekarang ini
80
kebudayaan etnis Tionghoa tersebut diterima oleh masyarakat dari berbagai suku dan agama.
Scene 42
Tarmiji : Gong Xi Fa Chai Acong :Eh, terima kasih ya. Doain keluarga gue a wet, sukses
merayakan Imlek ini Tarmiji : Iya koh, mudah-mudahan keluarga koh rejekinya makin
banyak.Gong Xi Fa Chai, Gong Xi Fa Chai Mali : bersalaman dengan keluarga Wan Wan Gong Xi Fa Chai,
Gong Xi Fa Chai
Penggunaan kata ”Gong Xi Fa Chai” pada dialog scene 42
mengarah pada pesan mengenai ucapan pada perayaan Imlek. Hal tersebut pula yang terlihat pada sinetron Tukang Bubur Naik Haji
The Series episode 439-441 yang diucapkan tokoh Mali dan Tarmiji kepada keluarga Acong. Dari cuplikan dialog pada scene 42 diatas
memberikan makna adanya toleransi masyarakat yang beragama Islam terhadap keluarga beretnis Tionghoa sebagai minoritas yang
merayakan tahun baru Imlek. Berdasarkan dari analisa peneliti, penggunaan kata “Gong Xi
Fa Chai“ yang biasa diberikan oleh masyarakat selama ini, hanya bersifat ikut-ikutan. Karena penggunaan kata selamat tanpa
pemahaman mengenai arti kata”Gong Xi Fa Chai” sebagai ucapan selamat tahun baru Imlek. Sebenarnya arti dari kata “Gong Xi Fa
Chai” sendiri yaitu “selamat semoga murah rezeki”. Kebiasaan
memberikan ucapan tersebut, selama ini digunakan oleh masyarakat non etnis Tionghoa dalam memberikan ucapan selamat kepada etnis
Tionghoa pada perayaan tahun baru Imlek. Tetapi sebenarnya “Gong Xi Fa Chai” bukanlah ucapan yang berkaitan langsung
dengan tahun baru, karena ucapan yang tepat adalah “Xin Nien
81
Kuai Lok” yang artinya selamat tahun baru. Ucapan pada perayaan Imlek lebih lengkapnya “Gong Xi Fa Chai, Xin Nien Kuai Lok”
yang berarti “selamat semoga murah rezeki dan selamat tahun baru”. Tetapi penggunaan “Gong Xi Fa Cahi” dalam cerita ini
bermaksud memberikan makna pesan bahwa agama Islam memiliki sikap toleransi terhadap etnis Tionghoa dengan mengucapkan
kalimat tersebut. d.
Scene 50 H. Muhidin : Assalamualaikum….
Rumanah, Roby : Waalaikumsalam…..
H. Muhidin : Wah udah pulang seneng-seneg yah? Anak jaman sekarang bukannya banyak istighfar, dzikir, sholat, eh
hobinya seneng-seneng doang, kalo ada tontonan heboh, pengen nonton terus.
Rumanah : Bah, abah kenapa sih suka banget berprasangka yang enggak-enggak dari dulu? Kenapa sih bah? Lagian kan
apa yang kita lakuin tadi juga gak dosa, nggak menyebabkan kemusyrikan kan? Karena itu semua
sifatnya hanya hiburan semata bah. H. Muhidin : Yaa.. tapi baiknya itu kan tenang di rumah. Kesana
itu kagak ada manfaatnya nonton begituan. Rumanah : Ya mungkin buat abah sama sekali gak ada
manfaatnya, tapi buat keluarga babah Acong, mereka punya kebahagiaan sendiri bah.
H. Muhidin : Ah sok tau lu
… Rumanah : Ya… Rum bukan sok tau bah. Ya udah terserah deh
bah kalo abah nilainya seperti itu, yang jelas kedatangan kita tadi tujuannya baik.
82
Berdasarkan penggunaan kalimat dalam scene 50, peneliti menganalisa bahwa cuplikan dialog pada tokoh Rumanah,
membawa suatu pemahaman tentang makna toleransi antar etnis dan agama. Atas dasar hubungan sosial, ditunjukkan sikap toleransi
dengan mengahdiri pertunjukkan barongsai yang merupakan bagian dari perayaan Imlek. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk empati
dan penghormatan dari masyarakat yang beragama Islam terhadap perayaan Imlek etnis Tionghoa sebagai warga minoritas di
lingkungan mereka. Selain itu menonton barongsai juga tidak menimbulkan dosa menurut ajaran agama Islam, karena hanya
bersifat hiburan saja. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada struktur mikro,
peneliti menganalisa bahwa secara keseluruhan, dari semua teks dalam sinetron episode 439-441 menampilkan pesan sosial secara eksplisit.
Dalam menampilkan teks tersebut mengesankan pada penonton untuk paham dan mengarahkan penonton mengenai makna pesan sosial yang
disampaikan. Karena sinetron ini menggambarkan toleransi tidak hanya melalui dialog saja, namun juga menonjolkan melalui visual gambar
sebagai pendukung isi pesan yang disampaikan. Dari seluruh uraian di atas, peneliti berkesimpulan bahwa dialog
dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 tidak menggunakan bahasa Indonesia sebagaimana mestinya. Sinteron
ini menggunakan bahasa betawi dan sisipan bahasa mandarin pada beberapa tokoh yang mudah dimengerti dan dipahami. Dengan
demikian meskipun menggunakan bahasa betawi dan sedikit bahasa mandarin, akan tetapi masih mudah dipahami oleh penonton dan lebih
menekankan maksud dari sinetron, yang membedakan hanya gaya bicara dan intonasi.
83
4.3.2 Analisis Kognisi Sosial Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series di RCTI Episode 439-441
Pada analisis wacana model Van Dijk, analisis tidak hanya difokuskan pada teks semata, karena struktur wacana menunjukkan atau menandakan
sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Untuk membongkar bagaimana makna tersembunyi dari teks, membutuhkan analisis kognisi dan konteks
sosial. Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa, yaitu
proses kesadaran mental dari pemakai bahasa. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian atas representasi kognisi dan strategi pembuat teks dalam
memproduksi suatu teks Eriyanto, 2011:260. Analisis kognisi sosial dilakukan dalam sinetron ini untuk mengetahui
kenapa penggambaran wacana toleransi cenderung seperti itu, dibutuhkan analisis kognisi sosial untuk menemukan struktur mental penulis cerita dan
skenario bagaimana struktur mental penulis cerita dan skenario ketika memahami hal tersebut.
Pada proses terbentuknya teks mengenai pesan sosial, penulis cerita dan skenario memasukkan isu yang tengah berkembang di masyarakat mengenai
perayaan tahun baru Imlek dengan memunculkan tokoh-tokoh berketurunan Tionghoa. Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441
berusaha untuk memberikan tontonan tentang toleransi yang dikemas secara menarik dengan nuansa religi yang sesuai dengan latar belakang sinetron ini
yaitu religi Islam. Berdasarkan analisa peneliti, terbentuknya teks mengenai pesan sosial
sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series ini, menceritakan kejadian- kejadian seperti yang layaknya terjadi di kehidupan nyata. Seperti halnya yang
terlihat pada episode 439-441, sinetron ini ingin menyampaikan pesannya didasarkan atas nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat. Penyampaian nilai
84
sosial dilakukan dengan menyajikan gambaran kepada penonton tentang bagaimana toleransi antar etnis dan antar umat beragama melalui episode ini.
Bagaimana konsep toleransi antar etnis dan antar umat beragama dipahami, dimengerti, dan kemudian digambarkan ke dalam teks, tentunya hal ini
dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti memasukkan informasi sebagai keperluan untuk menggambarkan nilai sosial. Dimana dalam analisa peneliti,
penggambaran wacana toleransi pada sinetron ini dipahami sebagai bentuk mengajarkan ajaran agama Islam yaitu Nabi Muhammad SAW mengajarkan
Islam sebagai agama kasih sayang dan menolak kekerasan yang dapat memicu konflik. Nabi juga melindungi minoritas dalam melaksanakan ibadah sesuai
keyakinannya Spencer, 2003:226-228. Mengacu dari ajaran agama yang mengajarkan pentingnya toleransi,
penggambaran bentuk toleransi pada sinetron ini terlihat pada sikap umat Islam kepada masyarakat beretnis Tionghoa dan beragama Khonghuchu, dengan
menghormati dan menghargai perayaan Imlek seperti halnya dengan yang dimunculkan pada sinetron ini. Nilai sosial yang ditekankan dalam sinetron ini
adalah nilai sosial yang mengandung penerapan sikap terhadap individu yang bernilai kebaikan dalam ruang lingkup hubungan antar manusia yang tercermin
dalam sikap tokoh-tokoh sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441.
Sementara itu terkait dengan bagaimana penulis cerita dan skenario memandang serta menggambarkan peran dan posisinya, sedikit banyak akan
berpengaruh dalam cerita sinetron yang diproduksi. Berdasarkan analisa peneliti, sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441
dipandang sebagai bentuk representasi mental penulis cerita dan skenario dalam memandang toleransi. Bahwa toleransi antar etnis dan antar umat beragama
merupakan ajaran agama yang harus diamalkan. Oleh karena itu Imlek yang kental dengan etnis Tionghoa menjadi konsep menarik bagi sinetron ini untuk
85
menyampaikan toleransi. Bahkan penayangan episode ini juga bertepatan dengan perayaan tahun baru Imlek 10 Februari 2013.
4.3.3 Analisis Konteks Sosial Sinetron TukangBubur Naik Haji The Series di RCTI Episode 439-441
Dimensi ketiga analisis wacana yang diungkapkan oleh Van Dijk adalah konteks sosial. Wacana adalah bagian dari wacana yang berkembang di
masyarakat, sehingga untuk meneliti teks diperlukan analsis intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal dipoduksi dan
dikonstruksi dalam masyarakat. Menurut Van Dijk dalam analisis mengenai masyarakat ada dua poin penting yaitu kekuasaan
power
dan akses
acess
Eriyanto,2011:272. Dalam penelitian ini akan diuraikan penelitian bagaimana dimensi sosial
masyarakat mampu menjawab wacana apa yang muncul dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 terkait wacana toleransi dengan
konsep Imlek yang diangkat dalam sinetron ini. 1.
Praktik kekuasaan Van Dijk mendefinisikan kekuasaan sebagai kepemilikan yang dimiliki
oleh suatu kelompok atau anggotanya, satu kelompok untuk mengontrol kelompok lain. Kekuasaan ini umumnya didasarkan pada kepemilikan atas
sumber-sumber yang bernilai seperti uang, status, dan pengetahuan. Selain berupa kontrol yang bersifat langsung dan fisik, kekuasaan dipahami oleh
Van Dijk juga berbentuk persuasif, tindakan seseorang secara tidak langsung mengontrol dengan mempengaruhi kondisi mental seperti kepercayaan,
sikap, dan pengetahuan Eriyanto, 2011:272. Analisis wacana memberikan perhatian yang besar terhadap apa yang disebut sebagai dominasi, juga
memberi perhatian atas produksi lewat legitimasi melalui bentuk kontrol pikiran. Secara umum dianalisis bagaimana proses produksi itu secara umum
dipakai untuk membentuk kesadaran dan konsensus.
86
Seperti yang telah diuraikan oleh Van Dijk, kekuasaan dipahami juga berbentuk persuasif, tindakan seseorang secara tidak langsung mengontrol
dengan mempengaruhi kondisi mental, tentu dalam kajian ini yang dimaksudkan adalah respon masyarakat yang dominan pemeluk agama Islam
terhadap keberadaan keluarga yang beretnis Tionghoa sebagai penganut Konghuchu yang merayakan perayaan tahun baru Imlek. Dengan
mengangkat konsep Imlek pada episode 439-441, memberikan gambaran kepada masyarakat, khususnya anggota masayarakat yang beragama Islam
memandang pentingnya tentang toleransi didalam kehidupan bermasyarakat, dengan berbeda budaya, berbeda etnis, dan berbeda agama tetapi saling
menghormati satu sama lain. Hal tersebut terlihat dari penggambaran perayaan Imlek dalam masyarakat di lingkungan tempat tinggal keluarga
Wan Wan yang mayoritas pemeluk agama Islam, dimana dalam sinetron tersebut muncul sikap antusias masyarakat untuk membantu persiapan
penyelenggaraannya maupun antusias di dalam menonton pertunjukkan barongsai. Sehingga sinetron ini menggambarkan bentuk toleransi dengan
sikap dominasi masyarakat yang beragama Islam terhadap etnis Tionghoa yang merayakan Imlek sebagai minoritas. Hal tersebut dikarenakan ingin
menekankan nilai-nilai sosial yang menyangkut toleransi bagi masyarakat khususnya yang beragama Islam untuk mencontoh Nabi Muhammad SAW
dalam hal bagaimana realisasi tentang toleransi. Disisi lain, kekuasaan yang terdapat pada sinetron Tukang Bubur Naik
Haji The Series episode 439-441 juga bersifat koersif. Komunikasi instruktif koersif adalah memaksa dengan menggunakan sanksi-sanksi Widjaja,
2002:32. Koersif dapat berbentuk perintah atau instruksi. Akibat dari kegiatan koersif adalah perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku dengan
perasaan terpaksa karena diancam, yang menimbulkan rasa tidak senang Effendy, 2008:21. Dalam konteks sinetron, toleransi yang bersifat koersif
terlihat pada tokoh H. Muhidin ketika mendapat tekanan dari Ki Dawud
87
untuk memberikan ijin kepada keluarga Wan Wan menyelenggarakan pementasan barongsai untuk perayaan tahun baru Imlek. Tekanan Ki Dawud
terhadap H. Muhidin dengan ancaman akan menambah hukuman jika tidak memberikan ijin. Hal tersebut menandakan bahwa sikap M. Muhidin
memberikan ijin kepada keluarga Wan Wan dengan perasaan terpaksa. Berdasarkan dari uraian diatas, konsep Imlek yang digambarkan pada
episode 439-441 sebenarnya merupakan praktik kekuasaan media dalam memberikan pembelajaran kepada masyarakat mengenai pentingnya
toleransi. Wacana yang ditekankan dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 sebagai upaya menumbuhkan rasa toleransi,
menghargai, dan menghormati antar etnis dan antar pemeluk agama lain bagi masyarakat dan mengamalkan ajaran Islam.
2. Akses Atas Media
Analisis wacana Van Dijk memberi perhatian yang besar pada akses, bagaimana akses di antara masing-masing kelompok dalam masyarakat.
Kelompok elit mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang tidak berkuasa. Oleh karena itu, mereka yang berkuasa
mempunyai kesempatan lebih besar untuk mempunyai akses pada media, dan kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi kesadaran khalayak. Akses
yang lebih besar tidak hanya memberi kesempatan untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar, tetapi juga menentukan topik apa dan isi
wacana apa yang dapat disebarkan dan di diskusikan kepada khalayak Eriyanto, 2011:272. Akses yang lebih besar kan hanya memberi
kesempatan untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar tetapi juga menentukan topik pada isi wacana apa yang dapat disebarkan.
Dari konsep perayaan tahun baru Imlek yang dikemas dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series, bahwa dari beberapa sinetron lainnya,
disini peneliti mengkategorikannya sebagai sinetron bertema religi Islam, sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series yang tayang di RCTI lah yang
88
mengemas tentang toleransi antar suku dan agama, melalui konsep perayaan tahun baru Imlek memberikan gambaran mengenai keberadaan etnis
Tionghoa di Indonesia yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat yang mayoritas pemeluk agama Islam.
Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series melalui episode 439-441, memiliki ruang dan kesempatan untuk mengangkat konsep Imlek tentang
toleransi antar suku dan agama. Sehingga dalam penyampaian pesannya pun cenderung menggambarkan tentang sikap toleransi ditunjukkan dengan
kehidupan masyarakat yang harmonis dan dapat hidup berdampingan, meskipun berbeda etnis dan agama. Dari pihak masyarakat yang beragama
Islam misalnya, menunjukkan sikap penerimaan dan dukungan pada perayaan tahun baru Imlek yang dirayakan oleh warga minoritas di kampung
mereka, yaitu keluarga Wan Wan yang beretnis Tionghoa. Penerimaan dan dukungan yang ditunjukkan dengan berbagai bentuk seperti membantu
persiapan Imlek,
menghadiri acara
pertunjukkan barongsai
yang diselenggarakan, dan memberikan ucapan selamat tahun baru Imlek serta
mendoakan keluarga Wan Wan. Di lain pihak, yaitu keluarga Wan Wan yang merupakan etnis Tionghoa
dan merayakan Imlek juga merasakan penerimaan dan dukungan dari masyarakat sekitar tempat tinggalnya meskipun penuh dengan perbedaan,
baik suku, agama, serta budaya. Sehingga melalui episode ini, penonton dapat menangkap pesan bahwa konsep perayaan tahun baru Imlek oleh etnis
Tionghoa, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat dari suku dan agama lain meskipun hal tersebut bagian dari adat istiadat dan tradisi etnis Tionghoa.
Bagi penonton sinetron ini, dapat dipahami bahwa perayaan tahun baru Imlek sebagai salah satu budaya etnis Tionghoa di Indonesia sekarang ini,
karena sebelumnya, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, masyarakat etnis Tionghoa mendapatkan perlakuaan yang berbeda bahkan segala bentuk
praktek keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat etnis Tionghoa di
89
Indonesia dilarang. Sehingga etnis Tionghoa yang ada di Indonesia merasa dibatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan agama,
kepercayaan, dan adat istiadatnya. Berbeda pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid mengembalikan hak etnis Tionghoa dengan
mencabut Instruksi Presiden No 6 Tahun 1967. Dengan dicabutnya Instruksi Presiden, maka warga negara Indonesia yang beretnis Tionghoa dapat
melakukan kembali kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat. Yang sebelumnya dilarang untuk diselenggarakan secara bebas kemudian diperkuat
lagi oleh Presiden Megawati Soekarno Putri dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No 12 Tahun 2002 yang menetapkan Imlek sebagai hari
Nasional Yau Hoon. Oleh karena itu dengan ditetapkannya Imlek sebagai hari Nasional, maka segala bentuk kegiatan agama, kepercayaan, dan adat
istiadat etnis Tionghoa dapat dilaksanakan secara bebas serta telah diakui oleh negara.
Dari paparan tersebut diatas, peneliti berkesimpulan bahwa sinetron ini sebagai media memberikan akses karena realitas sosial yang tidak
menunjukkan toleransi. Oleh karena itu sinetron ini sebaga media media meluruskan makna toleransi melalui konsep Imlek yang digambarkan pada
episode 439-441. Artinya pihak sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series berperan sebagai moderator yaitu dengan mengangkat konsep tahun baru
Imlek tentang toleransi.
4.4 Pembahasan 4.4.1 Konsep Toleransi dalam Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series