Analisis Pendapatan Usahatani Mentimun di Desa Laladon, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI MENTIMUN
DI DESA LALADON, KECAMATAN CIOMAS,
KABUPATEN BOGOR

MUHAMMAD TAUFIQ HIDAYAT

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pendapatan
Usahatani Mentimun di Desa Laladon, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013
Muhammad Taufiq Hidayat
NIM H34090061

ABSTRAK
MUHAMMAD TAUFIQ HIDAYAT. Analisis Pendapatan Usahatani Mentimun
di Desa Laladon, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DWI
RACHMINA.
Sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi sayuran sebagai pelengkap
makanan dan memenuhi kebutuhan gizinya, salah satu sayuran yang sering
dikonsumsi masyarakat adalah mentimun. Pertumbuhan konsumsi mentimun
selama periode 2005 – 2008 rata-rata sebesar 51.31 kg perkapita per tahun. Desa
Laladon merupakan salah satu daerah produksi mentimun di Kecamatan Ciomas,
Kabupaten Bogor. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan keragaan
usahatani mentimun di Desa Laladon Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor, dan
menganalisis tingkat pendapatan usahatani mentimun di Desa laladon Kecamatan
Ciomas Kabupaten Bogor. Penelitian menunjukkan produksi mentimun di Desa
Laladon sebesar 32 982 ton/ha. Pendapatan atas biaya tunai mentimun sebesar

Rp56 732 268. Pendapatan atas biaya total sebesar Rp50 092 769. R/C rasio atas
biaya tunai adalah 3.23 sedangkan R/C rasio atas biaya total adalah 2.56. Return
to labor yang diperoleh sebesar Rp223 077 sementara Return to capital sebesar
156 persen. Kegiatan usahatani mentimun perlu dipertahankan agar tercipta
pendapatan yang tinggi di Desa Laladon.
Kata kunci: pendapatan usahatani, Return to labor, Return to capital, R/C rasio

ABSTRACT
MUHAMMAD TAUFIQ HIDAYAT. Revenue Analysis of Cucumber Farming in
Laladon Village, Ciomas Subdistrict, Bogor Regency. Supervised by DWI
RACHMINA.
Most Indonesian consume vegetables as their complementary food to fulfill the
nutritional needs. One of vegetables that often consumed is cucumber. During
2005-2008, cucumber consumption growth is in the amount of 51.31
kg/capita/year. This study aims to identify the variability of cucumber farming
and to analyze the level of cucumber farming revenue in Laladon Village, as one
of the cucumber production area in Ciomas Bogor. The result showed that
cucumber production in Laladon Village is in the amount of 32 982 kgs/ha.
Revenue from cash cost of cucumber is Rp56 732 268 while the revenue from
total cost is Rp50 092 769. Besides, R/C ratio based on cash cost is 3.23 while

R/C ratio toward the total cost is 2.56. Moreover, return to labor obtained is in the
amount of Rp223 077 while return to capital attains 160 percent. Cucumber
farming activity need to be maintained so that created a high income in the
Village of Laladon.
Keywords: farming revenue, R/C ratio, return to capital, return to labor

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI MENTIMUN
DI DESA LALADON, KECAMATAN CIOMAS,
KABUPATEN BOGOR

MUHAMMAD TAUFIQ HIDAYAT

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan Usahatani Mentimun di Desa Laladon,
Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor
Nama
:Muhammad Taufiq Hidayat
NIM
:H34090061

Disetujui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Tanggal Lulus:


1 1 DEC

RPQ

S セ@

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan Usahatani Mentimun di Desa Laladon,
Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor
Nama
: Muhammad Taufiq Hidayat
NIM
: H34090061

Disetujui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina MSi
Pembimbing

Diketahui oleh


Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah usahatani, dengan judul
Analisis Pendapatan Usahatani Mentimun di Desa Laladon, Kecamatan Ciomas,
Kabupaten Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Dwi Rachmina, MSi dan
Ibu Dra Yusalina, MSi selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan arahan
kepada penulis serta saran selama penyelesaian skripsi ini. Terimakasih penulis
ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji utama dan
Ibu Eva Yolynda Aviny, SP. MM selaku dosen penguji komisi pendidikan
Departemen Agribisnis. Di samping itu, penulis sampaikan terima kasih kepada
Bapak Kedung, Bapak Halim, dan Ibu Endah yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih yang besar juga disampaikan kepada
Abi Drs Mardhon Umar, Umik Nur Indayati, mas Mahar, adik Mudif, Ayah Budi,

Mama Sri, serta seluruh keluarga besar atas segala doa, motivasi dan kasih
sayangnya. Penghargaan terima kasih juga penulis sampaikan kepada dek Fudin,
dek Ipin, dek Yuli, mba Ayu, cak Pi’i, Samson dan Tile. Terakhir penulis
sampaikan salam semangat dan terimakasih atas segala dukungan dan bantuan
dari rekan-rekan Agribisnis 46, Alumni Darul Ulum, dan Arek Gudang Ruwet
atas kebersamaan dan kerjasamanya selama penulis kuliah di Institut Pertanian
Bogor.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2013
Muhammad Taufiq Hidayat

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

vi
vi

vi
1

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penulisan

1
4
6
6

TINJAUAN PUSTAKA

7

Perkembangan Mentimun di Indonesia
Pendapatan Usahatani Sayuran
KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel
Metode Analisis dan Pengolahan Data
GAMBARAN UMUM DESA LALADON
Kondisi Geografis
Keadaan Penduduk
Karakteristik Responden
ANALISIS USAHATANI MENTIMUN
Keragaan Usahatani Mentimun di Desa Laladon
Analisis Penggunaan Faktor Produksi
Analisis Pendapatan Usahatani
R/C Rasio
Imbalan terhadap Tenaga Kerja Keluarga dan Imbalan terhadap Modal
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran


7
8
12
12
16
19
19
19
19
19
22
22
23
24
29
29
32
39
41

42
43
43
44

DAFTAR PUSTAKA

44

LAMPIRAN

46

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26

Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) komoditas hortikultura
berdasarkan harga berlaku di Indonesia tahun 2008 – 2010
Perkembangan produksi tanaman sayuran di Indonesia tahun 2008 2011
Produktivitas tanaman mentimun nasional tahun 2008 – 2012
Produksi mentimun menurut propinsi di Indonesia tahun 2007-2011
Produktivitas tanaman mentimun di Kabupaten Bogor tahun 2007 –
2011
Komposisi lahan di Desa Laladon tahun 2012
Jumlah penduduk berdasarkan usia di Desa Laladon tahun 2012
Jumlah penduduk menurut pendidikan di Desa Laladon tahun 2012
Jumlah penduduk Desa Laladon berdasarkan jenis pekerjaan tahun 2012
Sebaran responden menurut usia petani mentimun di Desa Laladon
musim tanam April – Mei 2013
Sebaran responden menurut tingkat pendidikan petani mentimun di
Desa Laladon musim tanam April – Mei 2013
Sebaran responden menurut pengalaman usahatani petani mentimun di
Desa Laladon musim tanam April – Mei 2013
Sebaran responden menurut luas lahan petani mentimun di Desa
Laladon musim tanam April – Mei 2013
Sebaran responden menurut status kepemilikan lahan petani mentimun
di Desa Laladon musim tanam April – Mei 2013
Sebaran responden menurut status usahatani petani mentimun di Desa
Laladon musim tanam April – Mei 2013
Rata-rata penggunaan luas lahan untuk budidaya mentimun di Desa
Laladon musim taman April – Mei 2013
Rata-rata penggunaan benih per hektar di Desa Laladon musim tanam
April – Mei 2013
Penggunaan pupuk pada usahatani mentimun di Desa Laladon musim
tanam April – Mei 2013
Perbandingan rata-rata dosis penggunaan obat-obatan per hektar di
Desa Laladon musim tanam April – Mei 2013
Penggunaan rata-rata tenaga kerja HOK per hektar di Desa Laladon
musim tanam April – Mei 2013
Perbandingan rata-rata penyusutan peralatan petani mentimun di Desa
Laladon musim tanam April – Mei 2013
Perbedaan penggunaan pupuk petani mentimun di Desa Laladon musim
tanam April - Mei 2013
Perbedaan penggunaan tenaga kerja petani mentimun di Desa Laladon
musim tanam April - Mei 2013
Perbedaan produktifitas petani mentimun di Desa Laladon musim
tanam April - Mei 2013
Biaya usahatani mentimun per hektar di Desa Laladon musim tanam
April – Mei 2013
Produksi dan penjualan rata-rata usahatani mentimun hektar di Desa
Laladon musim tanam April – Mei 2013

1
2
2
3
4
22
23
23
24
25
26
26
27
28
28
33
33
34
35
36
37
37
38
38
39
40

27 Pendapatan usahatani mentimun per hektar di Desa Laladon musim
tanam April – Mei 2013
28 Nilai R/C rasio usahatani mentimun per hektar di Desa Laladon musim
tanam April – Mei 2013
29 Return to labor petani mentimun di Desa Laladon musim tanam April –
Mei 2013
30 Return to capital petani mentimun di Desa Laladon musim tanam April
– Mei 2013

41
42
42
43

DAFTAR GAMBAR
1
2

Konsumsi mentimun nasional per kapita di Indonesia tahun 2005 –
2008
Harga mentimun per Kilogram (Rp) di pasar induk Kemang Bogor
Tahun 2012

3
5

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Karakteristik responden petani mentimun di Desa Laladon
Analisis pendapatan usahatani petani mentimun per hektar di Desa
Laladon musim tanam April – Mei 2013

46
47

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hortikultura merupakan salah satu sumberdaya di Indonesia yang hasilnya
banyak memberikan keuntungan bagi manusia dan lingkungan hidup. Hortikultura
juga merupakan salah satu subsektor pertanian yang sangat berpotensi untuk
dikembangkan di Indonesia. Hortikultura terdiri dari sayuran, buah-buahan,
tanaman hias dan biofarmaka. Produk hortikultura tersebut selain memberikan
gizi juga berperan dalam memperluas kesempatan kerja, meningkatkan
pendapatan petani, dan pelestarian lingkungan. Salah satu produk hortikultura
yang memiliki prospek bagus untuk dikembangkan adalah sayuran. Sayuran
merupakan bahan makanan yang dibutuhkan oleh tubuh manusia sebagai sumber
vitamin dan mineral.
Hortikultura juga menjadi salah satu subsektor yang penting dalam
perekonomian nasional, karena memiliki kontribusi besar terhadap nilai Produk
Domestik Bruto (PDB) nasional. Kontribusi komoditas hortikultura terhadap
perekonomian nasional dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) komoditas hortikultura berdasarkan
harga berlaku di Indonesia tahun 2008 – 2010
Nilai PDB (Milyar Rp)
Komoditas
Laju (%/th)
2008
2009
2010
Sayuran
28 205
30 506
31 244
5.29
Buah-buahan
47 060
48 437
45 481
-158
Tanaman Hias
5 085
5 494
6 173
10.19
Biofarmaka
3 853
3 897
3 665
-240
Sumber : Direktorat Jendral Hortikultura 2011 (diolah).

Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa komoditi buah-buahan masih
mendominasi dan memberikan sumbangsih terbesar terhadap tingkat PDB
nasonal. Namun dari segi pertumbuhan, komoditi sayuran merupakan komoditi
dengan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas
lain yaitu sebesar 5.29 persen per tahun. Peningkatan ini disebabkan adanya
kecenderungan masyarakat dalam merubah pola konsumsi, dari konsumsi
makanan yang berlemak tinggi terutama dari bahan hewani beralih ke bahan
nabati yang disebut vegetarian. Sayuran yang dibudidayakan oleh petani
bermacam-macam tergantung kondisi lingkungan, antara lain sayuran dataran
tinggi dan sayuran dataran rendah. Tabel 2 merupakan data produksi tanaman
sayuran di Indonesia pada tahun 2008-2011.

2
Tabel 2 Perkembangan produksi tanaman sayuran di Indonesia tahun 2008 - 2011
Produksi (ton)
Komoditas
Laju
Sayuran
(%/th)
2008
2009
2010
2011
853 615
965 164
1 048 934
893 124
2.30
Bawang merah
1
071
543
1
176
304
1
060
805
955
488
-3.32
Kentang
1 323 702
1 358 113
1 385 044
1 363 741
1.01
Kubis
540 122
583 139
547 141
521 535
-0.96
Mentimun
12 339
15 419
12 295
14 749
8.22
Bawang putih
455
524
483
793
489
449
458
307
0.34
Kacang panjang
725 973
853 061
891 616
954 046
9.68
Tomat
427 166
451 564
482 305
519 481
6.74
Terung
323 757
360 992
350 879
355 466
3.34
Kangkung
Sumber: Badan Pusat Statistik (2011)

Berdasarkan Tabel 2, kuantitas produksi sayuran setiap tahunnya beragam.
Salah satu komoditas sayuran tersebut adalah mentimun. Mentimun merupakan
salah satu komoditas sayuran di Indonesia yang telah lama diusahakan oleh
petani. Perkembangan produksi mentimun setiap tahunnya menurun sebesar 0.96
persen. Menurunnya produksi mentimun di Indonesia disebabkan oleh faktor
iklim dan cuaca yang tidak menentu. Selain itu, merupakan faktor yang menarik
untuk dilakukan penelitian mengenai usahatani mentimun. Adapun perkembangan
luas panen, produksi dan produktivitas mentimun nasional dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3 Produktivitas tanaman mentimun nasional tahun 2008 – 2012
Tahun
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (ton/ha)
2008
55 795
540 122
96.80
2009
56 099
583 139
103.90
2010
56 921
547 141
96.10
2011
53 596
521 535
97.30
2012
51 283
511 485
99.74
Laju (%/th)
-2.04
-1.20
0.89
Sumber: Kementrian pertanian (2013)

Berdasarkan Tabel 3, pertumbuhan produktivitas mentimun nasional
mengalami penurunan. Penurunan terhadap luas panen sebesar 2.04 persen,
penurunan terhadap produksi sebesar 1.20 persen, sementara peningkatan
terhadap produktivitas hanya sebesar 0.89 persen. Hal ini disebabkan oleh faktor
iklim dan cuaca yang mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas.
Mentimun dibutuhkan oleh hampir semua kalangan yang umumnya
digunakan sebagai lalapan, acar, gado-gado, asinan dan lain lain. Komoditas ini
mengandung vitamin, mineral, dan gizi yang bermanfaat untuk tubuh. Selama
periode 2005-2009 konsumsi mentimun per kapita mengalami pertumbuhan yang

3
cenderung meningkat. Pertumbuhan konsumsi mentimun dapat dilihat pada
Gambar 1.

Kg/kapita/tahun

60

51.31

50
40

40.9

35.3

34.06

2005

2006

30
20
10
0
2007

2008

Tahun

Gambar 1 Konsumsi mentimun nasional per kapita di Indonesia tahun 2005 –
2008

Berdasarkan Gambar 1, konsumsi mentimun per kapita cenderung naik,
pada tahun 2005 sebesar 35.3 kg per kapita per tahun dan 2006 sebesar 35.30 kg
per kapita per tahun. Pada tahun 2008, konsumsi mentimun per kapita per tahun
mengalami peningkatan yang signifikan mencapai 51.31 kg per kapita per tahun.
Oleh karena itu, permintaan mentimun diperkirakan akan terus meningkat sejalan
dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat terhadap
kesehatan. Peningkatan konsumsi terhadap mentimun yang tinggi harus diiringi
dengan peningkatan produksi, agar permintaan konsumen terpenuhi. Berikut data
sentra produksi mentimun per Propinsi pada Tabel 4.

Tabel 4 Produksi mentimun menurut propinsi di Indonesia tahun 2007-2011
Produksi (ton)
Laju
Propinsi
(%/th)
2008
2009
2010
2011
163 661
212 159 178 308
182 220
5.29
Jawa Barat
30 725
34 924
34 931
34 458
4.11
Jawa Timur
26 081
26 229
25 463
22 265
-4.97
Jawa Tengah
26
936
21
245
27
183
20
577
-5.83
Banten
20 471
21 635
21 354
20 518
0.16
Sumatra Barat
Sumber: Badan Pusat Statistik (2011)

Berdasarkan Tabel 4, menunjukkan bahwa propinsi Jawa Barat sebagai
salah satu provinsi penghasil utama dalam memproduksi mentimun dibandingkan
dengan propinsi-propinsi lainnya. Hal ini dapat dilihat dari segi pertumbuhan dan
produksi, Jawa Barat menunjukkan tingkat pertumbuhan paling tinggi dari
propinsi-propinsi lainnya, yaitu sebesar 5.29 persen. Meskipun produksinya

4
sempat menurun pada tahun 2010, tetapi tetap menjadi penghasil sayuran
mentimun terbesar di Indonesia.
Salah satu daerah yang memproduksi mentimun di Propinsi Jawa Barat
adalah Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor memiliki suhu rata-rata setiap
bulannya 260C dan suhu rata-rata terendahnya adalah 21,80C serta kelembaban
udaranya kurang lebih 70 persen yang sesuai dengan kondisi untuk budidaya
mentimun. Adapun perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas
mentimun di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Produktivitas tanaman mentimun di Kabupaten Bogor tahun 2007 – 2011
Tahun
2007
2008
2009
2010
2011
Laju (%/th)

Luas Panen (ha)
1 543
1 242
1 152
1 182
1 015
-9.57

Produksi (ton)
22 060
18 352
13 978
16 866
11 918
-12.3

Produktivitas (ton/ha)
14.30
14.78
12.13
14.27
11.74
-3.66

Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2012)

Berdasarkan Tabel 5, pertumbuhan produktivitas tanaman mentimun setiap
tahunnya di Kabupaten Bogor mengalami penurunan. Penurunan luas panen
sebesar 9.57 persen, penurunan produksi sebesar 12.3 persen, sedangkan
penurunan produktivitas sebesar 3.66 persen. Penurunan produktivitas mentimun
di Kabupaten Bogor ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: iklim dan
cuaca yang tidak menentu, serangan hama dan penyakit, serta beralihnya petani
kekomoditas lain. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi produktivitas
tanaman, sehingga menjadikan faktor yang menarik untuk dilakukan mengenai
penelitian usahatani mentimun.
Berdasarkan informasi yang didapat dari pasar Induk Kemang Bogor, Desa
Laladon merupakan desa penghasil mentimun terbesar di Kecamatan Ciomas.
Hampir setiap bulan petani mentimun di Desa Laladon menjual hasil panennya ke
pasar Induk Kemang Bogor.

Perumusan Masalah
Desa Laladon adalah desa yang berada di Kecamatan Ciomas, yang
merupakan salah satu desa penghasil mentimun. Berdasarkan berbagai jenis
sayuran yang ditanam, mentimun menjadi komoditas yang dominan diusahakan
oleh petani di Desa Laladon. Teknis budidaya yang tidak sulit dan musim tanam
yang singkat menjadi pertimbangan utama para petani untuk menanam mentimun.
Selain itu, harga juga menentukan keputusan petani untuk berusahatani sayuran
mentimun. Rata-rata harga yang diterima petani relatif tinggi, meskipun harganya
berfluktuasi tetapi harga yang diterima pada tingkat petani tidak kurang dari

5

Harga

Rp2500 per kilogram. Data mengenai fluktuasi harga mentimun dapat dilihat pada
Gambar 2.
4,000
3,500
3,000
2,500
2,000
1,500
1,000
500
0

3,500
2,800

3,500

3,500

3,000
2,500

2,500

3,000 3,000
2,500

2,700 2,800

Bulan

Gambar 2 Harga mentimun per kilogram (Rp) di pasar induk Kemang Bogor
tahun 2012

Berdasarkan Gambar 2, harga mentimun di pasar Induk Kemang Bogor
berkisar antara Rp2 500 – 3 500 per kilogram. Harga yang diterima petani sangat
penting untuk keberlanjutan usahataninya. Selain harga, produksi berpengaruh
pada usahatani mentimun, dimana produksi akan mempengaruhi pendapatan
petani. Semakin banyak produksi yang dihasilkan oleh petani, maka semakin
banyak pendapatan yang diterima petani.
Luas lahan berpengaruh positif terhadap produksi yang dihasilkan oleh
petani. Rata-rata luas lahan yang digunakan petani dalam budidaya mentimun
masih kurang dari satu hektar. Sebagian besar petani menggunakan lahan sewa
dalam proses budidaya mentimun, banyaknya petani yang menggunakan lahan
sewa akibat dari petani yang menjual lahannya pada perusahaan. Alasan petani
menjual lahannya pada perusahaan adalah keterbatasan ekonomi dan tidak adanya
modal untuk berusahatani.
Petani harus merencanakan usahatani dengan tepat akibat keterbatasan
modal yang dialami petani mentimun di Desa Laladon, supaya usahatani tetap
berjalan dengan modal yang ada. Keterbatasan modal membuat petani harus
cermat dalam menerapkan teknologi pada usahataninya. Teknologi yang
digunakan oleh petani mentimun di Desa Laladon yaitu sprayer dan mulsa,
teknologi ini mampu membantu petani pada proses budidaya mentimun.
Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam usahatani
mentimun. Harga pupuk dari tahun ke tahun terus meningkat, hal ini terjadi
karena pemerintah membuat kebijakan untuk mengurangi subsidi pupuk.
Kebijakan pemerintah ini mengakibatkan petani harus mengeluarkan biaya
produksi yang tinggi, sehingga meningkatkan biaya yang dikeluarkan untuk
usahatani semakin besar dan berakibat pada berkurangnya pendapatan yang
diterima petani dari usahataninya.

6
Dengan demikian analisis pendapatan usahatani mentimun menjadi hal yang
penting untuk diteliti. Apakah dengan harga jual yang relatif tinggi dan biaya
usahatani yang tinggi mampu memberikan keuntungan terhadap petani mentimun.
Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini
antara lain:
1. Bagaimana keragaan usahatani mentimun di Desa Laladon Kecamatan
Ciomas Kabupaten Bogor?
2. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani mentimun di Desa Laladon
Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor?
3. Mengetahui Return to labor dan Return to capital usahatani mentimun di
Desa Laladon Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan pemikiran yang diuraikan diatas maka tujuan yang ingin
dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan keragaan usahatani mentimun di Desa Laladon Kecamatan
Ciomas Kabupaten Bogor.
2. Menganalisis tingkat pendapatan usahatani mentimun di Desa laladon
Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor
3. Menganalisis Return to labor dan Return to capital usahatani mentimun di
Desa Laladon Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor

Manfaat Penulisan
Penelitian ini merupakan karya ilmiah yang hasilnya dipublikasikan agar
dapat digunakan sebagaimana mestinya termasuk sebagai bahan masukan dan
kajian. Adapun manfaat yang diperoleh dengan adanya penelitian ini antara lain:
1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dan manfaat bagi
petani mentimun dan dapat membantu petani dalam membuat keputusan.
2. Penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan informasi dan pengetahuan
serta pengalaman bagi penulis dalam menganalisis permasalahan agribisnis.
3. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan bahan referensi dan sumber
informasi bagi penelitian berikutnya.
4. Hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
informasi terbaru di dunia pertanian.
5. Peneitian ini diharapkan juga mampu membantu pemerintah sebagai
pertimbangan untuk kebijakan-kebijakan yang tepat sasaran.

7

TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Mentimun di Indonesia
Mentimun atau ketimun mempunyai nama latin Cucumis Sativus L.
mentimun termauk dalan keluarga labu-labuan (cucurbitaceae). Sejarah mentimun
berasal dari Himalaya di benua Asia Utara dan telah meluas ke seluruh daratan
baik tropis atau subtropis, kemudian terus meluas hingga ke Indonesia. Di
Indonesia mentimun umumnya mempunyai masing-masing nama yang berbeda
untuk setiap wilayah, seperti timun (Jawa), bonteng (Jawa Barat), hantimun
(Lampung), dan timon (Aceh) (Balitbang Pertanian, 2013).
Wahyudi (2010) menyebutkan bahwa mentimun dapat dibudidayakan di
sawah, ladang, kebun, polibag, dengan menggunakan lanjaran atau dibiarkan
merambat ditanah. Mentimun merupakan tanaman semusim yang bersifat
menjalar atau memanjat dengan perantaraan alat pemegang seperti ajir. Cara
budidaya mentimun pada dasarnya sama dengan budidaya sayuran konvensional
lainnya yaitu: (1) melakukan persiapan persemaian yang mencakup menyediakan
kebutuhan benih, menyiapkan media semai dan persemaian. (2) melakukan
persiapan penanaman dimana menyiapkan lahan dan penanaman. (3) melakukan
pemupukan. (4) melakukan pemeliharaan tanaman yaitu dengan pemangkasan
cabang, pemasangan ajir, pengikatan ajir, pengikat tanaman, sanitasi lahan dan
pengairan. (5) melakukan pencegahan atau pemberantasan hama dan penyakit
yang ada pada tumbuhan mentimun. (6) melakukan panen dan pascapanen.
Menurut Wahyudi (2010), mentimun memiliki beberapa varietas, terdapat
tiga contoh varietas yaitu Mayapada F-1, Wulan F-1, dan Venus. Mayapada F-1
memiliki bentuk buah meruncing dan warna buah hijau muda sampai sedang,
mayapada F-1 memiliki ukuran panjang 16.0 – 16.5 cm dan diameter 3.0 – 3.5 cm
serta bobot perbuah 120 – 130 gram. Varietas ini dapat dipanen ketika tanaman
berumur 32 HST dengan potensi produksi sebesar 50 - 60 ton per hektar. Wulan
F-1 memiliki bentuk buah lonjong dan berwarna hijau muda. Berukuran panjang
12 cm diameter 3.5 – 5 cm, serta bobot perbuah berkisar 115 gram. Varietas ini
dapat dipanen ketika tanaman berumur 32 HST dengan potensi produksi sebesar
50 - 60 ton per hektar. Lain halnya dengan varietas venus dimana bentuk buah
langsing dengan bagian pangkal bulat dimana daging buahnya memiliki rasa yang
manis, sehingga varietas ini cocok untuk bahan lalapan. Varietas ini memiliki
ukuran 15 - 16 cm dengan diameter 3.5 – 4 cm serta bobot perbuah berkisar 120 –
130 gram. Varietas ini dapat dipanen ketika tanaman berumur 32 HST dengan
potensi produksi sebesar 50 - 60 ton per hektar.
Mentimun merupakan salah satu sayuran yang dapat dikonsumsi baik dalam
bentuk segar maupun olahan, seperti acar, asinan, dan lain-lain. Selain sebagai
sayuran konsumsi mentimun mempunyai berbagai manfaat lainnya seiring dengan
berkembangnya industri kosmetik, ilmu kesehatan dan makanan dengan berbahan
mentimun. Mentimun memiliki kandungan gizi yang cukup baik, karena
mentimun merupakan sumber mineral dan vitamin. Kandungan nutrisi per 100
gram mentimun terdiri dari 15 kalori, 0.8 gram protein, 0.1 gram pati, 3 gram
karbohidrat, 30 mg fosfor, 0.5 mg besi, 0.02 mg thianine, 0.01 mg nriboflavin, 14

8
mg asam, 0.45 mg vitamin A, 0.3 mg vitamin B1, dan 0.2 mg vitamin B2
(Sumpena, 2007).
Menurut Anwar et al. (2005), tanaman mentimun (Cucumis sativus L.)
merupakan salah satu dari tujuh jenis tanaman sayuran utama yang dibudidayakan
oleh petani di Indonesia selain bawang merah, cabai, kacang panjang, kentang,
kubis, dan tomat. Produksi nasional mentimun di Indonesia dari tahun 2000
hingga 2002 adalah 423 282; 431 921; 505 241 ton, dan rata-rata hasilnya adalah
9.67; 8.94; 12.15 ton per hektar. Keputusan Menteri Pertanian (2006), berdasarkan
rata-rata hasil mentimun yang masih sangat rendah jika dibandingkan dengan
potensi hasil dari salah satu varietas timun hibrida Spring Swallow yang mencapai
45 ton per hektar, serta belum adanya peningkatan produksi mentimun yang
signifikan secara nasional dari kurun waktu tahun 2000 hingga 2009, maka harus
diupayakan untuk meningkatkan produksi dan hasil mentimun per hektarnya agar
dapat tercapai sesuai potensi hasilnya.
Hasil penelitian Irianto (2009), menunjukkan meningkatnya kebutuhan
sayuran sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kesadaran
masyarakat terhadap gizi. Namun, sampai saat ini tingkat konsumsi sayuran per
kapita bagi masyarakat Indonesia masih tergolong rendah, jika dibandingkan
dengan rekomendasi FAO yaitu 73 kg per tahun. Menurut Saptana et al. (2005)
bahwa konsumsi sayuran secara nasional masih berkisar antara 38.92 hingga
43.92 kg per kapita per tahun.

Pendapatan Usahatani Sayuran
Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk menghitung seberapa besar
penerimaan petani dalam berusahatani yang dikurangi dengan biaya. Besarnya
pendapatan usahatani merupakan ukuran keberhasilan usahatani. Petani dapat
mengetahui gambaran keadaan aktual usahatani melalui analisis pendapatan
usahatani, sehingga dapat melakukan evaluasi dalam perencanaan kegiatan
usahatani pada masa yang akan datang. Penelitian tentang analisis pendapatan
usahatani sudah banyak dilakukan, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan
oleh Darius (2006), Sumiyati (2006), Osin (2010), Karmizon (2011), Florent
(2012), dan Safitri (2012).
Darius (2006) menganalisis pendapatan usahatani dan optimalisasi pola
tanam sayuran di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur.
Sumiyati (2006) menganalisis pendapatan dan efisiensi penggunaan faktor-faktor
produksi usahatani bawang daun di Desa Sindangjaya, Kecamatan Pacet,
Kabupaten Cianjur. Osin (2010) melakukan analisis pendapatan usahatani dan
pemasaran kembang kol pada Kelompok Tani Suka Tani di Desa Tugu Utara,
Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Karmizon (2011) melakukan analisis
pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani ubi jalar di
Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Florent (2012)
menganalisis pendapatan usahatani dan optimalisasi pola tanam sayuran di
Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten
Bogor. Safitri (2012) menganalisis pendapatan usahatani dan pemasaran ketimun
di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten
Bogor.

9
Analisis yang dilakukan para peneliti cukup beragam dalam menentukan
kategori petani. Darius dan Florent menganalisis pendapatan petani berdasarkan
dua kelompok, yaitu petani lahan luas dan petani lahan sempit. Petani luas adalah
petani yang luas lahan garapannya berada di atas atau sama dengan rata-rata luas
lahan seluruh responden, sedangkan petani sempit adalah petani yang luas
lahannya berada di bawah rata-rata luas lahan seluruh responden. Perbedaan
kedua peneliti dalam menganalisis pendapatan usahatani adalah satuan luas lahan.
Darius menggunakan satuan luas per 1000 m2 sedangkan Florent menggunakan
satuan per hektar. Analisis usahatani yang dilakukan Osin juga dibedakan
berdasarkan dua kategori, yaitu berdasarkan rata-rata luasan lahan 0.4 hektar dan
luas lahan satu hektar. Sementara itu, Sumiyati, Karmizon dan Safitri tidak
membagi petani berdasarkan golongan tertentu dalam menganalisis usahatani,
namun hanya mengkonversi satuan luas yang sama yaitu per hektar.
Musim tanam yang digunakan para peneliti untuk selanjutnya dilakukan
analisis juga beragam. Darius dan Florent menganalisis pendapatan usahatani
komoditas sayuran selama satu tahun terakhir atau tiga musim tanam terakhir.
Karmizon juga menganalisis pendapatan usahatani selama satu terakhir tetapi
pada komoditas ubi jalar. Sementara itu Sumiyati, Osin dan Safitri menganalisis
pendapatan usahatani selama satu musim tanam terakhir. Komoditas yang
dianalisis Sumiyati adalah bawang daun, Osin menganalisis kembang kol,
sedangkan Safitri menganalisis ketimun.
Keragaan usahatani sayuran akan berbeda-beda pada tiap komoditas dan
tiap lokasi yang berbeda. Hasil penelitian Darius menggambarkan bahwa kegiatan
usahatani dilakukan dengan sistem tumpangsari dan monokultur. Tanaman
sayuran yang biasanya digunakan untuk tanaman tumpangsari antara lain bawang
daun, lobak dan ceisin. Tanaman sayuran yang biasanya monokultur adalah
brokoli, horinso, cabai, selada, bawang daun, dan tomat. Pola tanam yang
dilakukan oleh petani Desa Cipendawa dilakukan sangat beragam. Alasan petani
menerapkan pola tanam secara beragam adalah menghindari hama dan penyakit
pada musim tanam sebelumnya. Selain itu untuk mempertahankan produktivitas
tanaman agar tetap tinggi. Sementara itu, dalam penelitian Sumiyati dijelaskan
bahwa petani di Desa Sindangjaya pada umumnya menanam bawang daun pada
lahan yang sempit dan terpencar-pencar dengan waktu penanaman dan pemanenan
yang berbeda-beda. Pada umumnya petani Desa Sindangjaya menggunakan
sebagian lahan untuk menanam bawang daun secara khusus dan lahan sisanya
digunakan petani untuk melakukan tumpangsari tanaman bawang daun dengan
tanaman lain seperti wortel dan daun mint.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Karmizon menunjukkan bahwa
keragaan usahatani ubi jalar di Desa Purwasari belum menerapkan teknik
budidaya yang sesuai baik dengan teori maupun anjuran penyuluh. Bibit ubi jalar,
pupuk dan pestisida belum sesuai anjuran pertanian, beberapa input produksi
usahatani berlebihan dan beberapa yang lainnya kekurangan. Alat-alat pertanian
yang digunakan masih tradisional dan rata-rata telah melewati umur ekonomisnya.
Sementara itu, pada penelitian Florent dan Safitri dijelaskan bahwa jenis sayuran
yang diusahakan di lokasi penelitian adalah cabe keriting, tomat, timun, kacang
panjang, buncis, jagung manis, dan caisin. Usahatani sayuran yang dilakukan
Desa Citapen adalah usahatani dengan sistem monokultur dan tumpangsari.

10
Berdasarkan hasil analisis biaya, penelitian yang dilakukan Darius
menunjukkan bahwa pada petani luas lahan diatas 1000 m2 komponen biaya
terbesarnya adalah tenaga kerja karena petani memerlukan banyak buruh tani
untuk mengolah lahan. Sementara itu pada petani luas lahan dibawah 1000 m2
komponen biaya terbesarnya adalah pestisida. Hal ini dikarenakan petani tersebut
bergantung pada lahan yang digarap sehingga tidak mau mengambil risiko
terhadap kerusakan yang mungkin akan dihadapi. Komponen biaya terkecil dalam
usahatani keduanya adalah biaya penyusutan karena umur pemakaian alat relatif
lama dan petani hanya memiliki peralatan dalam jumlah yang sedikit. Hasil yang
serupa juga ditunjukkan oleh Florent. Analisis biaya yang dilakukan Florent
menunjukkan bahwa komponen biaya terbesar untuk petani adalah biaya tenaga
kerja, sedangkan komponen biaya terkecil adalah penyusutan peralatan. Lain
halnya dengan hasil analisis yang dilakukan Sumiyati. Pada hasil analisisnya,
komponen biaya produksi terbesar yang dikeluarkan oleh petani adalah biaya
untuk bibit yaitu sebesar 56.52 persen dari total biaya. Sementara itu, komponen
biaya produksi terbesar kedua adalah biaya untuk tenaga kerja, terutama untuk
tenaga kerja luar keluarga (TKLK) yaitu sebesar 16.97 persen dari biaya total.
Sayuran merupakan komoditas yang memerlukan biaya input yang lebih
intensif jika dibandingkan padi, buah maupun palawija. Hal ini dapat dibuktikan
melalui perbandingan biaya dan pendapatan dengan komoditas lainnya seperti
padi, buah dan palawija. Hasil penelitian Sumiyati (2006) mengenai pendapatan
bawang daun menunjukkan bahwa biaya total rata-rata per hektar per musim
tanam adalah Rp27 040 198 sedangkan pendapatan atas biaya total adalah Rp31
753 163. Penelitian lain yang dilakukan oleh Tuti (2007) mengenai pendapatan
petani padi sawah menunjukkan bahwa rata-rata biaya produksi per hektar selama
dua kali musim tanam (satu tahun) yaitu Rp12 413 935 dan pendapatan rata-rata
per hektar per tahun adalah Rp23 758 118. Berdasarkan hasil perbandingan antara
sayuran dan padi terlihat bahwa sayuran merupakan komoditas yang memerlukan
biaya produksi tinggi jika dibandingkan padi. Akan tetapi walaupun biaya
inputnya tinggi, pendapatan yang diperoleh juga lebih tinggi jika dibandingkan
padi dalam satuan luas yang sama dan dalam kurun waktu yang sama.
Sayuran merupakan komoditas bernilai jual tinggi. Hal ini dapat dibuktikan
dengan cara membandingkan pendapatan dari sayuran dengan komoditas lain,
misalnya antara komoditas ketimun dibandingkan dengan padi. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan Safitri (2012), pendapatan ketimun atas biaya total
berdasarkan rata-rata luasan lahan satu hektar sebesar Rp38 967 976 per musim
tanamnya. Perbandingan pendapatan dilakukan terhadap penelitian yang
dilakukan oleh Nor Laila (2012) mengenai pendapatan usahatani padi benih
varietas Ciherang yang bersertifikat dan tidak bersertifikat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata benih padi bersertifikat adalah Rp5 842
648 per hektar per satu musim tanam dan pendapatan rata-rata benih padi tidak
bersertifikat adalah Rp2 764 365 per hektar per satu musim tanam. Hal ini
menunjukkan bahwa sayuran merupakan high value commodity karena mampu
menciptakan pendapatan yang lebih tinggi jika dibandingkan padi per satuan luas
yang sama dan dalam kurun waktu tertentu. Bahkan sayuran dapat dipanen tiga
kali selama satu tahun, sedangkan padi hanya dua kali panen selama satu tahun.
R/C rasio adalah salah satu ukuran efisiensi. Hasil perhitungan R/C rasio
akan beragam tergantung skala usahatani dan komoditas yang diusahakan.

11
Berdasarkan penelitian terdahulu, seluruh kegiatan usahatani yang dilakukan
efisien karena nilai R/C lebih besar daripada satu. Hasil analisis Sumiyati
menunjukkan bahwa usahatani petani responden pada kondisi optimal lebih
menguntungkan dibandingkan pada kondisi aktual. Hal ini ditunjukkan oleh nilai
R/C pada kondisi optimal sebesar 8.13 lebih besar dibandingkan nilai R/C pada
kondisi aktual sebesar 2.32 per musim tanam terakhir. Oleh karena itu usahatani
bawang daun di Desa Sindangjaya dapat memberikan keuntungan bagi petani
walaupun tingkat produksinya rendah yaitu 20.82 ton per hektar jika
dibandingkan dengan tingkat produksi idealnya yaitu 40 ton per hektar. Karmizon
mendapatkan hasil nilai R/C atas biaya total adalah 1.23 per tahun. Oleh karena
itu usahatani ubi jalar di Desa Purwasari efisien untuk diusahakan karena nilai
R/C lebih dari satu. Berdasarkan hasil perhitungan R/C rasio dari seluruh
penelitian terdahulu, dapat disimpulkan bahwa usahatani sayuran sudah efisien
untuk dilakukan di berbagai daerah dan berbagai komoditas.
Perhitungan efisiensi dilakukan oleh setiap peneliti yang menganalisis
pendapatan usahatani, karena analisis pendapatan selalu diikuti dengan analisis
efisiensi. Analisis R/C yang dilakukan Osin menunjukkan bahwa R/C rasio atas
biaya total yang diperoleh petani dengan luasan lahan satu hektar adalah sebesar
2.6 per musim tanam sedangkan R/C rasio atas biaya total yang diperoleh petani
kembang kol dengan luasan lahan 0.4 hektar adalah sebesar 2.5 per musim tanam.
Oleh karena itu luasan lahan yang sempit juga masih efisien untuk dilakukan
usahatani kembang kol. Safitri juga melakukan analisis R/C rasio untuk melihat
efisiensi usahatani ketimun di Desa Citapen. Usahatani ketimun menunjukkan
nilai R/C > 1 menurut rata-rata luasan lahan satu hektar baik dilihat dari nilai R/C
atas biaya tunai maupun nilai R/C atas biaya total. Dapat disimpulkan bahwa
petani lahan luas lebih efisien daripada petani lahan sempit.
Perbedaan luasan lahan yang digarap juga akan berpengaruh terhadap
tingkat efisiensi yang mampu diciptakan. Penelitian Darius menunjukkan bahwa
rata-rata R/C rasio petani lahan luas untuk ketiga musim tanam sebesar 2.02
sedangkan untuk petani lahan sempit R/C rasio yang didapatkan sebesar 1.41.
Penyebab rendahnya R/C rasio petani lahan sempit dikarenakan petani
menggunakan tenaga kerja lebih besar dibandingkan petani lahan luas. R/C rasio
petani lahan luas yang lebih besar dibandingkan R/C rasio petani lahan sempit
menunjukkan petani lahan luas lebih efisien dalam menjalankan usahataninya.
Pada penelitian Florent, R/C rasio petani luas adalah 1.10 dan R/C rasio petani
sempit adalah 1.06 selama satu tahun terakhir. Hal ini berarti penerimaan terhadap
biaya yang dikeluarkan oleh petani luas dan petani sempit tidak berbeda jauh.
Dapat disimpulkan bahwa usahatani sayuran yang dilakukan petani luas lebih
efisien dibandingkan petani sempit.
Terdapat persamaan dan perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian
terdahulu. Persamaannya adalah pada struktur analisis usahatani yaitu mengenai
pendapatan usahatani yang terdiri dari penerimaan, biaya, pendapatan dan R/C
rasio. Perbedaannya adalah mengenai komoditas yang diteliti serta waktu dan
lokasi penelitian. Komoditas yang akan diteliti adalah sayuran di Desa Panundaan,
Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung. Selain itu, penelitian ini menghitung
return to labor dan return to capital yang tergolong jarang dianalisis oleh para
peneliti usahatani terdahulu.

12
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, dapat disimpulkan bahwa tiap
komoditas yang diusahakan oleh para petani menguntungkan untuk diusahakan
sehingga petani mampu memperoleh pendapatan dari kegiatan usahatani. Hal
yang membedakan jumlah pendapatan yang diterima masing-masing petani adalah
jenis komoditas yang diusahakan karena berbeda komoditas akan berbeda juga
perlakuannya dari segi biaya yang dikeluarkan serta penerimaan yang diterima.
Luas lahan juga berpengaruh terhadap tingkat produksi yang dapat dihasilkan
petani. Selain itu faktor produksi dan harga jual juga berpengaruh terhadap
pendapatan petani.
Analisis mengenai perhitungan return to labor dan return to capital pernah
dilakukan oleh Kamiliah (2009). Kamiliah menganalisis imbalan bagi faktorfaktor produksi pada usahatani sayuran di Desa Batulicin Irigasi Kabupaten Tanah
Laut.
Hasil analisis Kamiliah menunjukkan bahwa rata-rata imbalan bagi tenaga
kerja petani (return to labor) pada usahatani sayuran di Desa Batulicin Irigasi
adalah sebesar Rp4 143 436 per usahatani per musim tanam atau Rp84 698.20 per
HKSP. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa imbalan bagi tenaga kerja
lebih besar daripada rata-rata upah tenaga kerja yang berlaku di daerah penelitian
yaitu sebesar Rp20 000 per HKSP. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani sayuran
secara ekonomis menguntungkan karena mampu memberikan imbalan yang besar
bagi faktor produksi tenaga kerja yang telah dicurahkan untuk menyelenggarakan
usatani sayuran tersebut.
Berdasarkan perhitungan return to capital menunjukkan bahwa rata-rata
imbalan bagi modal pada usahatani sayuran di Desa Batulicin Irigasi adalah
sebesar Rp3 835 809 per usahatani per musim tanam. Rata-rata modal untuk
menyelenggarakan usahatani di Desa Batulicin Irigasi adalah sebesar Rp1 625 600
dan diperoleh imbalan sebesar Rp2.36, artinya setiap Rp1 modal yang dimiliki
akan memperoleh imbalan sebesar Rp2.36. Hasil perhitungan tersebut
menunjukkan bahwa imbalan bagi modal jauh lebih besar daripada biaya modal
yang dikeluarkan dalam mengelola usahatani sayuran di daerah penelitian.
Berdasarkan hasil kedua perhitungan yang dilakukan Kamiliah dapat
diambil kesimpulan bahwa usahatani sayuran di daerah penelitian secara
ekonomis menguntungkan. Hal ini dikarenakan usahatani sayuran mampu
memberikan imbalan yang sangat besar bagi faktor produksi tenaga kerja yang
telah dicurahkan serta modal yang telah dipergunakan untuk menyelenggarakan
usahatani sayuran.

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Usahatani
Usahatani didefinisikan sebagai satuan organisasi produksi di lapangan
pertanian dimana terdapat unsur lahan/tanah yang mewakili alam, unsur tenaga
kerja, unsur modal, dengan aneka ragam jenisnya dan unsur manajemen atau
pengelolaan yang peranannya dibawakan oleh seseorang yang disebut petani.
Usahatani menurut Mosher (1969) diacu dalam Soekartawi et al. (1986), adalah

13
sebagai bagian dari permukaan bumi, dimana petani atau suatu badan tertentu
lainnya bercocok tanam atau memelihara ternak. Usahatani dapat dipandang
sebagai suatu cara hidup (a way of life) atau sebagai bagian dari perusahaan (farm
business).
Hernanto (1996) menyatakan bahwa keberhasilan usahatani dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu faktor-faktor pada usahatani itu sendiri (internal) dan
faktor-faktor di luar usahatani (eksternal). Adapun faktor internal antara lain para
petani pengelola, lahan, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, jumlah keluarga,
dan kemampuan petani dalam mengaplikasikan penerimaan keluarga. Disisi lain,
faktor eksternal yang berpengaruh pada keberhasilan usahatani adalah tersedianya
sarana transportasi, dan komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran
hasil dan bahan usahatani (harga jual, harga saprodi, dan lain-lain), fasilitas kredit,
dan sarana penyuluhan bagi petani.
Menurut Hernanto (1996), terdapat empat unsur pokok usahatani, yaitu:
1. Tanah atau Lahan
Lahan merupakan faktor produksi yang mewakili unsur alam, dan lahan
merupakan faktor yang relatif langka dibanding dengan faktor produksi lain
serta distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Lahan usahatani
dapat berupa pekarangan, sawah, tegalan dan sebagainya. Lahan usahatani
dapat diperoleh dengan membeli, menyewa, pemberian Negara, membuka
lahan sendiri, ataupun wakaf.
2. Tenaga kerja
Tenaga kerja dalam hal ini petani merupakan faktor penting dan perlu
diperhitungkan dalam proses produksi komoditas pertanian. Tenaga kerja
harus mempunyai kualitas berpikir yang maju seperti petani yang mampu
mengadopsi inovasi-inovasi baru, terutama dalam menggunakan teknologi
untuk pencapaian komoditas yang bagus sehingga nilai jual tinggi.
Penggunaan tenaga kerja dapat dinyatakan sebagai curahan tenaga kerja.
Curahan tenaga kerja adalah besarnya tenaga kerja efektif yang dipakai.
Usahatani yang mempunyai ukuran lahan berskala kecil biasanya disebut
usahatani skala kecil, dan biasanya pula menggunakan tenaga kerja keluarga.
Lain halnya dengan usahatani berskala besar, selain menggunakan tenaga
kerja luar keluarga juga memiliki tenaga kerja ahli. Ukuran tenaga kerja dapat
dinyatakan dalam harian orang kerja (HOK), sedangkan dalam analisis
ketenagakerjaan diperlukan standarisasi tenaga kerja yang biasanya disebut
dengan hari kerja setara pria (HKSP).
3. Modal
Setiap kegiatan dalam mencapai tujuan membutuhkan modal, apalagi kegiatan
proses produksi komoditas pertanian. Dalam kegiatan proses tersebut, modal
dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu modal tetap (fixed cost) dan modal
tidak tetap (variable cost). Modal tetap (fixed cost) terdiri atas tanah,
bangunan, mesin dan peralatan pertanian dimana biaya yang dikeluarkan
dalam proses prosuksi tidak habis dalam sekali proses produksi, sedangkan
modal yang tidak tetap (variable cost) terdiri dari benih, pupuk, pestisida, dan
upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja. Besar kecilnya skala usaha
pertanian atau usahatani tergantung dari skala usahatani, macam komoditas,
dan tersedianya kredit. Skala usahatani sangat menentukan besar kecilnya
modal yang dipakai. Makin besar skala usahatani, makin besar pula modal

14
yang dipakai, begitu pula sebaliknya. Macam komoditas tertentu dalam proses
produksi komoditas pertanian juga menentukan besar kecilnya modal yang
dipakai. Tersedianya kredit sangat menentukan keberhasilan usahatani.
4. Pengelolaan atau Managemen
Pengelolaan usahatni adalah kemampuan petani untuk menentukan,
mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi dengan sebaikbaiknya sehingga mampu memberikan produksi pertanian sedemikian rupa
sebagaimana yang diharapkan. Untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil,
maka pemahaman mengenai prinsip teknik maupun ekonomis harus dikuasai
oleh pengelola. Kemampuan dalam mengelola usahatani yang baik akan
menjadikan setiap keputusan baik teknis maupun ekonomis yang akan
memberikan resiko sekecil mungkin bagi usahanya dan memberikan
keuntungan yang maksimum.
Konsep Penerimaan Usahatani
Penerimaan disebut juga dengan pendapatan kotor (gross farm income).
Penerimaan usahatani dapat didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari
penjualan produk usahatani (Soekartawi et al. 1986). Besarnya proporsi
penerimaan tunai dari total penerimaan dapat digunakan untuk perbandingan
keberhasilan petani satu terhadap petani lainnya (Hernanto 1996). Menurut
soekartawi (1995), penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang
diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat ditulis sebagai berikut:
TR = Y . Py
Keterangan,
TR
Y
Py

: Total penerimaan
: Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani
: Harga Y

Konsep Biaya Usahatani
Biaya usahatani adalah biaya yang digunakan untuk menghitung berapa
pendapatan kerja petani ketika modal dan nilai kerja keluarga diperhitungkan.
Biaya total usahatani adalah semua input yang habis terpakai atau dikeluarkan
didalam produksi (Soekartawi 1995). Menurut Hernanto (1996) ada empat
kategori biaya, yaitu:
1. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang penggunaannya tidak habis dalam
satu masa produksi, misalnya: pajak tanah, sewa tanah, penyusutan bangunan
pertanian, dan bunga pinjaman.
2. Biaya variabel (variabel cost) adalah biaya yang besar kecilnya sangat
bergantung pada skala produksi, misalnya: pengeluaran untuk benih, pupuk,
obat-obatan, dan biaya tenaga kerja. Secara matematis dinotasikan sebagai
berikut:

TC = TFC + TVC
yaitu: TC

= total biaya

15
TFC
TVC

= total fixed cost
= total variabel cost

3. Biaya tunai adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai. Biaya
tetap misalnya: pajak tanah dan bunga pinjaman, sedangkan biaya variabel
misalnya: pengeluaran untuk benih, pupuk, obat-obatan, dan tenaga kerja luar
keluarga. Biaya tunai ini berguna untuk melihat pengalokasian modal yang
dimiliki petani.
4. Biaya tidak tunai (diperhitungkan) adalah biaya penyusutan alat-alat pertanian,
sewa lahan milik sendiri (biaya tetap), dan tenaga kerja dalam keluarga (biaya
variabel). Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
TC = Bt + Bd
yaitu: TC
Bt
Bd

= total biaya
= biaya tunai
= biaya diperhitungkan

Konsep Pendapatan Usahatani
Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk menghitung seberapa besar
penerimaan yang diterima petani dalam berusahatani yang dikurangi dengan
biaya. Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk mengukur keberhasilan
usahatani. Dengan adanya analisis pendapatan usahatani petani dapat mengetahui
gembaran keadaan aktual usahatani sehingga dapat melakukan evaluasi dengan
perencanaan kegiatan usahatani pada masa yang akan datang.
Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dengan semua biaya
(soekartawi 1995). Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk mengetahui
keberhasilan usahatani dilihat dari pendapatan yang diterima petani. pendapatan
secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
π = TR – TC
yaitu:

π
TR
TC

= pendapatan usahatani
= total penerimaan
= total biaya

Terdapat beberapa istilah yang dipergunakan dalam menganalisis
pendapatan usahatani menurut Soekartawi et al. (1986), diantaranya:
1. Penerimaan tunai usahatani merupakan nilai yang diterima dari penjualan
produk usahatani.
2. Pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk
pembelian barang dan jasa bagi usahatani.
3. Pendapatan tunai usahatani adalah produk usahatani dalam jangka waktu
tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual.
4. Pengeluaran total usahatani merupakan nilai semua yang habis terpakai atau
dikeluarkan dalam kegiatan produksi termasuk biaya yang diperhitungkan.
5. Pendapatan total usahatani adalah selisih antara penerimaan kotor usahatani
dengan pengeluaran total usahatani.

16
Selain pengertian diatas pendapatan juga dapat diartikan sebagai sisa dari
pengurangan nilai penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan.
Pendapatan yang diharapkan tentu saja memiliki nilai positif dan semakin besar
nilainya maka semakin baik, meskipun besar pendapatan tidak selal