Pembahasan Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan Campuran Tionghoa-Indonesia

style 1 pasangan dan yang tidak terkategori 11 pasangan. Dari 5 pasangan Tionghoa-Melayu yang menggunakan gaya resolusi konflik collaborative style 1 pasangan, accommodating style 2 pasangan, avoidance style 2 pasangan dan yang tidak terkategori 13 pasangan. Dari 6 pasangan Tionghoa-Padang yang menggunakan gaya resolusi konflik accommodating style 1 pasangan dan yang tidak terkategori 5 pasangan. Satu pasangan Tionghoa-Sunda menggunakan accommodating style sebagai gaya resolusi konflik.

C. Pembahasan

Perkawinan campuran adalah perkawinan yang terjadi antar pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Budaya menjadi suatu aspek yang paling penting dalam perkawinan, dimana pasangan tersebut tentu memiliki dalam hal nilai-nilai budaya yang dianut, menurut keyakinan dan kebiasaan, serta adat istiadat dan gaya hidup yang berbeda, suku yang berbeda Koentjaraningrat, 1981. Salah satu contoh perkawinan campuran antara orang Indonesia dan etnis lain adalah dengan etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa merupakan etnis mayoritas non pribumi yang ada di Indonesia. Sebagai kaum minoritas, sikap terhadap mereka pun tidak menentu, dalam keadaan tertentu disenangi, dalam keadaan lainnya dibenci. Hubungan antara etnis Tionghoa dan orang Indonesia di Indonesia tidak luput dari keberadaan stereotype. Menurut Suryadinata 1984 salah satu pencetus stereotype terhadap etnis Tionghoa adalah disebabkan selain jumlahnya yang makin lama makin besar, juga disebabkan peranan mereka yang Universitas Sumatera Utara menonjol dalam kehidupan ekonomi di negara Indonesia, akibat kelebihan itu maka persepsi terhadap etnis Tionghoa selalu bersifat negatif. Perkawinan antara etnis Tionghoa dan Indonesia suatu fenomena unik.. Etnis Tionghoa yang dikenal agak tertutup dan kurang mau bergaul dengan suku lain, berbanding terbalik dengan orang Indonesia yang lebih suka bersosialisasi dan berkelompok. Latar belakang yang berbeda ini dapat menimbulkan ketidakcocokan, karena pasangan Tionghoa dan Indonesia tentu memiliki adat istiadat dan kebudayaaan yang yang berbeda sehingga akan membentuk kepribadian tersendiri dengan pola pemikiran, cara pandang atau pemikiran yang berbeda. Ketidakcocokan tersebut dapat mengakibatkan konflik, baik tentang kebiasaan, sikap perilaku dominan, maupun campur tangan keluarga.Purnomo dalam Natalia Iriani, 2002. Konflik merupakan suatu proses atau keadaan dimana dua pihak atau lebih berusaha untuk saling menggagalkan tujuan masing-masing karena adanya perbedaan pendapat, nilai-nilai ataupun tuntunan dari masing-masing pihak Koentjaraningrat, 1984. Konflik yang tidak diselesaikan atau tidak dapat diselesaikan akan berdampak negatif untuk masing-masing individu dalam pasangan. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh konflik dapat dirasakan langsung oleh orang yang mengalami konflik. Konflik tidak bisa terus menerus dihindarkan didalam hubungan antar manusia.Namun konflik juga tidak perlu dipandang sebagai suatu hal yang buruk dan secara mutlak harus dihindarkan. Begitupula dalam setiap keluarga, suatu saat nanti pasti juga akan mengalami konflik dalam tingkatan besar maupun kecil. Universitas Sumatera Utara Masing-masing individu tentu mempunyai cara yang berbeda dalam mengelola konflik yang sedang dihadapi. Dengan mengetahui bagaimana cara menghadapi konflik maka diharapkan dapat mencari penyelesaian yang tepat terhadap perbedaan dan ketidaksetujuan yang timbul, untuk itu diperlukan adanya penanganan atau resolusi konflik. Resolusi konflik adalah cara atau pendekatan atau metode yang digunakan seseorang untuk mengatasi atau menghadapi suatu konflik tertentu Dwijanti, 2000. Menurut Killman dan Thomas dalam DeFrain, 2006 ada 5gaya resolusi konflik yang dapat digunakan yaitu competitive, collaborative, compromise, accomodatingdan avoidance, dimana masing-masing gaya memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan konflik yang sedang dihadapi. Pasangan perkawinan campuran mungkin dapat menggunakan berbagai macam gaya dalam mengelola konflik yang dihadapinya. Biasanya cara tersebut dipilih berdasarkan kebiasaan dan kebiasaan tersebut muncul akibat proses belajar dimasa lalu. Berdasarkan hasil penelitian gambaran gaya resolusi konflik pada pasangan perkawinan campuran Tionghoa dan Indonesia dapat dilihat gaya resolusi konflik murni yang ditemukan pada 74 pasangan perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia di Medan adalah competitive style sebanyak 11 pasangan 14,9, kemudian collaborative style sebanyak 6 pasangan 8,1 kemudian compromise style 9 pasangan 12,2, accommodating style 9 pasangan 12,2, dan yang terakhir adalah avoidance style 8 pasangan 10,8. Pada penelitian ini diketahui gaya resolusi konflik pada pasangan Tionghoa-Indonesia paling banyak menggunakan competitive style yaitu sebanyak Universitas Sumatera Utara 11 pasangan., dimana menurut Killman dan Thomas dalam DeFrain, 2006, competitive style adalah merupakan cara menyelesaikan konflik tanpa memikirkan pasangannya Individu yang menggunakan gaya ini menampilkan perilaku seperti agresi, koersi, manipulasi, intimidasi, dan senang berdebat. Aspek lain dalam gaya ini adalah tidak mempedulikan kebutuhan dari pasangan. Orang-orang yang menggunakan gaya ini cenderung agresif dan tidak kooperatif, dan mengikuti apa yang diinginkan dengan mengorbankan orang lain. Mereka mendapatkan kekuatan dengan mengkonfrontasi dan berusaha menang tanpa menyesuaikan tujuan dan hasratnya dengan tujuan dan hasrat orang lain. Duval dan Miller 1985 mengatakan masa awal pernikahan merupakan masa paling berat ketika pasangan yang baru menikah harus menghadapi berbagai proses penyesuaian diri terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Proses ini pasti melibatkan banyak konflik didalamnya, karena pada masa ini pasangan masih akan bertahan dengan ego masing-masing dan tidak mau mengalah satu sama lain karena merasa paling benar. Menurut Dwijanti 2000 gaya resolusi konflik adalah cara atau pendekatan atau metode yang digunakan seseorang untuk mengatasi atau menghadapi suatu konflik tertentu. Dalam perkawinan resolusi konflik melibatkan pasangan suami istri, dimana karakter dari pasangan berpengaruh dalam menentukan gaya resolusi konflik mana yang akan cenderung digunakan. Hal ini berkaitan dengan yang dikemukakan oleh Willmott Hocker 2001 bahwa gaya resolusi konflik dibentuk oleh respon atau kumpulan perilaku yang digunakan individu-individu dalam konflik. Universitas Sumatera Utara Gaya yang paling banyak digunakan pasangan Tionghoa-Indonesia dalam resolusi konflik mereka selanjutnya adalah compromise style dan accommodating style, masing-masing sebanyak 9 pasangan 12,2. Menurut Killman dan Thomas dalam DeFrain, 2006 Pada compromise style kedua individu dalam pasangan membuat kesepakatan yang mengarah pada persetujuan. Pasangan memberikan beberapa tujuan penting untuk mendapatkan kesepakatan.Gaya ini merupakan jalan tengah yang dihasilkan dari kombinasi tingginya perhatian terhadap tujuan individu dan tujuan pasangannya. Accommodating style adalah perilaku non asertif namun kooperatif dimana idividu cenderung mengesampingkan keinginan pribadi dan berusaha untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang lain. Pasangan yang secara konsisten menggunakan gaya ini seringkali menghindari konflik. Hal ini dikarenakan untuk menghindari kemarahan pasangan dan untuk menjaga keharmonisan hubungan.Killman dan Thomas dalam DeFrain, 2006. Sisanya adalah avoidance style 8 pasangan 10,8 dan yang paling sedikt adalah collaborative style sebanyak 6 pasangan 8,1. Menurut Thomas dan Killman dalam DeFrain, 2006 avoidance style adalah gaya yang mengalihkan perhatian dari konflik atau justru menghindari konflik. Kelebihan dari gaya ini adalah memberikan waktu untuk berfikir pada masing-masing pihak, apakah ada kemauan dari diri atau pihak lain untuk menangani situasi dengan cara yang lebih baik. Kelemahan dari gaya ini adalah individu menjadi tidak peduli dengan permasalahan dan cederung untuk melihat konflik sebagai sesuatu yang buruk dan harus dihindari dengan cara apa pun. Universitas Sumatera Utara Collaborative style menggambarkan pendekatan resolusi konflik dimana masing-masing pasangan saling memperhatikan kebutuhan atau kepentingan pasangannya.Gaya ini menekankan pada kepentingan hubungan pernikahan. Gaya ini juga biasa disebut gaya integrasi. Kesadaran terhadap kebutuhan diri sendiri dan pasangan serta kesediaan untuk berusaha berdamai merupakan kesempatan yang paling baik dalam resolusi konflik. Indivdiu yang menggunakan gaya ini memiliki asertif yang tinggi dalam mencapai tujuannya tapi memiliki perhatian terhadap tujuan orang lain Killman dan Thomas dalam DeFrain, 2006. Hasil lain dari peneilitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 31 pasangan Tionghoa - Indonesia 41,9 tidak terkategorikan dalam 5 gaya resolusi konflik, karena kemungkinan 31 pasangan tersebut tidak konsisten dalam menggunakan gaya resolusi konfliknya. Menurut Kuntaraf dan Kuntaraf 1999, masing-masing pasangan memiliki kecendrungan untuk menggunakan salah satu cara saja dalam menghadapi konflik. Ini disebabkan oleh kebiasaan, dimana apabila sudah terbiasa dengan menggunakan satu gaya untuk menghadapi konflik yang terjadi maka gaya itu juga yang akan digunakan untuk konflik-konflik selanjutnya. Setiap gaya akan efektif jika digunakan pada situasi atau kondisi yang tepat. Penggunaan gaya resolusi konflik yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi maka tidak akan menghasilkan penyelesaian konflik yang diharapkan. Oleh karena itu penting bagi pasangan untuk memahami semua gaya resolusi konflik sehingga dapat memilih gaya yang tepat dan disesuaikan dengan konflik yang dihadapi. Universitas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab terakhir ini peneliti akan menjelaskan lebih lanjut peneilitian yang telah dilakukan. Bab ini terdiri dari dua bagian yaitu kesimpulan dan saran. Pada bagian kesimpulan terdapat rangkuman hasil analisis data yang ada pada bab sebelumnya., yang kemudian akan dikemukakan saran – saran penelitian untuk masa yang akan datang yang berkaitan dengan penelitian ini. A. KESIMPULAN Berikut ini akan dipaparkan kesimpulan yang diperoleh berdasarkan pembahasan hasil penelitian, yaitu : 1. Berdasarkan perhitungan nilai Z, diperoleh kesimpulan bahwa subjek penelitian gambaran gaya resolusi konflik pada pasangan perkawinan campuran Tionghoa –Indonesia yang terkategorisasi paling banyak menggunakan competitive style sebanyak 11 pasangan 14,9, kemudian collaborative style sebanyak 6 pasangan 8,1 kemudian compromise style 9 pasangan 12,2, accommodating style 9 pasangan 12,2, dan yang terakhir adalah avoidance style 8 pasangan 10,8. 2. Sementara sisanya sebanyak 31 pasangan tidak dapat dikategorisasikan, dikarenakan hasil olah data pasangan-pasangan tersebut tidak mencapai nilai z yang telah ditentukan yaitu sebesar 1,936. Hal ini disebabkan kemungkinan subjek tidak konsisten dalam menggunakan gaya resolusi konflik yang dihadapi. 54 Universitas Sumatera Utara B. SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, Penelitian ini tidak luput dari kekurangan baik secara metodologis ataupun secara praktis. Peneliti menyampaikan beberapa saran metodologis yang diharapkan nantinya dapat menjadi bahan masukan yang cukup berarti untuk penelitian selanjutnya. Berikut ini adalah beberapa saran metodologis yang penting untuk dipertimbangkan

1. Saran Metodologis