Gambaran Gaya Resolusi Konflik Pada Pasangan Perkawinan Campuran Tionghoa – Indonesia

(1)

GAMBARAN GAYA RESOLUSI KONFLIK PADA PASANGAN PERKAWINAN CAMPURAN TIONGHOA – INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikoligi

Oleh:

VINDY FADHILLA NASUTION 081301075

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

GAMBARAN GAYA RESOLUSI KONFLIK PADA PASANGAN PERKAWINAN CAMPURAN TIONGHOA – INDONESIA

Dipersiapkan dan Disusun oleh: VINDY FADHILLA NASUTION

081301075

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 26 November 2013

Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Eka Ervika, M.Si., psikolog Penguji I NIP. 197710142002122001 Merangkap Pembimbing

2. Dr. Wiwik Sulistyaningsih Penguji II NIP. 196501122000032001

3. Eka Danta Jaya, MA, psikolog Penguji III NIP. 19730819200112100


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

GAMBARAN GAYA RESOLUSI KONFLIK PADA PASANGAN PERKAWINAN CAMPURAN TIONGHOA – INDONESIA

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaedah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 20 November 2013

Vindy Fadhilla Nasution NIM 081301075


(4)

Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan Campuran Tionghoa – Indonesia

VindyFadhilla Nasution dan EkaErvika

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan Campuran Tionghoa – Indonesia. Gaya Resolusi Konflik merupakan cara atau pendekatan atau metode yang digunakan seseorang untuk mengatasi atau menghadapi suatu konflik tertentu

Penelitian ini dilakukan pada pasangan perkawinan campuran Tionghoa – Indonesia di kota Medan sebanyak 74 pasangan. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik non probability sampling secara incidental. Data dikumpulkan melalui Skala Gaya Resolusi Konflik berdasarkan teori Gaya Resolusi Konflik oleh Killman dan Thomas (DeFrain, 2006)

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Adapun hasil penelitian dan analisa data diketahui bahwa gaya resolusi konflik yang digunakan oleh pasangan perkawinan campuran Tionghoa – Indonesia di Medan, yaitu : (1) Competitive Style sebesar 14,9% dengan 11 pasangan, (2) Accommodating Style sebesar 12,2% dengan 9 pasangan, (3) Compromise Style sebesar 12,2% dengan 9 pasangan, (4) Avoidance Style sebesar 10,8% dengan 8 pasangan, dan (5) Collaborative Style sebesar 8,1% dengan 6 pasangan.


(5)

Description Style of Conflict Resolution on Intermarriage Couples Tionghoa – Indonesia.

Vindy Fadhilla Nasution and Eka Ervika

ABSTRACT

The purpose of this study is to describe style of conflict resolution on intermarriage couples Tionghoa – Indonesia. Style of Conflict Resolution is a way or approach or method used someone to solve or confront of a particular conflict.

The study was conducted on intermarriage couples Tionghoa – Indonesia in Medan by 74 couples. Sampling was using non-probability incidental sampling. Data were collected through style of conflict resolution scale based on style of conflictresolution theory by Killman and Thomas(DeFrain, 2006).

This study is a descriptive study. The results of research and data analysis known that the style of conflict resolution used by the intermarriage couples Tionghoa – Indonesia in Medan namely: (1) Competitive Style by 14,9% with 11 couples, (2) Accommodating Style by 12,2% with 9 couples, (3) Compromise Style by 12,2% to 9 couples, (4) Avoidance Style by 10,8% to 8 couples, and (5) Collaborative Style by 8,1% with 6 couples.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia, kemudahan, dan ridho-Nya dalam penyelesaian skripsi ini dengan judul “Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan Campuran Tionghoa-Indonesia”. Adapun penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara..

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan berbagai pihak baik sejak masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini, maka sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Eka Ervika, M.Si, Psikolog, selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas segala masukan, arahan, saran, dan keluangan waktu yang telah diberikan sejak pengerjaan seminar hingga penyelesaian skirpsi ini. Terima kasih banyak atas motivasi dan bimbingannya ya bu.

3. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si., psikolog dan Bapak Eka Danta Jaya Ginting, MA, psikolog selaku dosen penguji yang telah membantu saya dalam proses revisi skripsi.


(7)

4. Ibu Emmy Mariatin, MA., Phd., psi selaku dosen pembimbing akademik yang bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing saya selama masa perkuliahan

5. Seluruh dosen di departemen Psikologi Perkembangan dan seluruh staf pengajar serta pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas bantuan yang telah diberikan kepada peneliti.

6. Kepada kedua orang tua yang sangat luar biasa baiknya dan hebatnya yang sangat banyak menginspirasi H. Zulkfli Nasution dan Azwinar Saleh Dalimunthe, orang tua yang sangat saya cintai di hidup saya ini yang telah bekerja keras dan selalu mendukung, membahagiakan dan selalu mendoakan meskipun sangat sibuk dengan pekerjaannya. Terima kasih atas doa yang tak henti dandukungannya baik moril maupun materil dan untuk kakak saya Ria Sarawina Nst, SE dan adik saya Amanda Yurike Putri Nst yang sudah memberi dukungan dan semangat buat saya selama ini.

7. Kepada teman-teman saya yaitu, Denise, Mayang, Dita, Tiwi, Una, Ririn, Ica emen, Caca, Ica kity, dan Meme. Terima kasih untuk bantuan dan dukungannya dan untuk semua yang sudah kita lewati selama masa kuliah, untuk semua kenangan dan keceriaan, terima kasih untuk membuat masa kuliah menjadi lebih seru dan lebih menyenangkan.

8. Seluruh teman-teman angkatan 2008 yang sangat kompak dan sangat saya sayangi yang tidak bias disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk semua kenangan dan keseruan kita selama masaper kuliahan.


(8)

9. Seluruh sampel penelitian yang telah bersedia mengisi skala penelitian ini. Terima kasih banyak atas kesedian dan waktunya.

10.Segala pihak dan teman-teman yang mendukung proses penyelesaian penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua dan penulis menyadari bahwa isi dari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun sebagai masukan yang berguna bagi penelitian ini. Harapan penuli ssemoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, November 2013


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 1. Manfaat Teoritis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

A. Konflik ... 10

1. Konflik pada Perkawinan ... 10

2. Resolusi Konflik ... 11

B. Perkawinan ... 18

C. Perkawinan Campuran ... 18

1. Definisi Perkawinan Campuran ... 18

2. Alasan Melakukan Perkawinan Campuran ... 20

D. Etnis Tionghoa ... 20

E. Indonesia ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 26

A. Identifikasi Variabel ... 26

B. Definisi Operasional ... 27

C. Populasi,Sampel dan Metode Pengambilan Sampel ... 28

1. Populasi dan Sampel Penelitian ... 28

2. Metode Pengambilan Sampel ... 29

D. Metode Pengumpulan Data ... 29

E. Validitas dan Reliabilitas ... 32

1. Validitas alat ukur ... 33

2. Reliabilitas alat ukur ... 33

3. Uji Daya Beda Aitem ... 34

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 35

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 38

1. Tahap Persiapan ... 38


(10)

3. Tahap Pengolahan Data ... 39

H. Metode Analisis Data ... 39

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 41

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 41

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Etnis atau Suku 41 2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Perkawinan 42 B. Hasil Penelitian ... 43

1.Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan Campuran Tionghoa-Indonesia ... 44

C. Pembahasan ... 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

A. Kesimpulan ... 54

B. Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(11)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

Tabel 1. Cara Penilaian Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan Campuran Tionghoa – Indonesia ... 31 Tabel 2. Blue Print Distribusi aitem Skala Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan Campuran Tionghoa-Indonesia .... 31 Tabel 3. Distribusi aitem-aitem Skala Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia ... 36 Tabel 4. Reliabilitas dari tiap-tiap gaya resolusi konflik ... 36 Tabel 5. Distribusi aitem-aitem Skala Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia ... 37 Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Etnis atau Suku ... .. 41 Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lamanya Perkawinan ... ... 42 Tabel 8. Deskripsi Nilai Mean, Nilai Minimum, Nilai Maksimum dan Standar deviasi... ... 45 Tabel 9. Deskripsi Umum Gaya Resolusi Konflik... . 46 Tabel 10. Deskripsi Gaya Resolusi Konflik Berdasarkan Etnis Pasangan 46


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

Lampiran 1 Skala ... 64

Lampiran 2 Reliabilitas Hasil Uji Coba ... 68

Lampiran 3 Data Gaya Resolusi Konflik ... 74


(13)

Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan Campuran Tionghoa – Indonesia

VindyFadhilla Nasution dan EkaErvika

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan Campuran Tionghoa – Indonesia. Gaya Resolusi Konflik merupakan cara atau pendekatan atau metode yang digunakan seseorang untuk mengatasi atau menghadapi suatu konflik tertentu

Penelitian ini dilakukan pada pasangan perkawinan campuran Tionghoa – Indonesia di kota Medan sebanyak 74 pasangan. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik non probability sampling secara incidental. Data dikumpulkan melalui Skala Gaya Resolusi Konflik berdasarkan teori Gaya Resolusi Konflik oleh Killman dan Thomas (DeFrain, 2006)

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Adapun hasil penelitian dan analisa data diketahui bahwa gaya resolusi konflik yang digunakan oleh pasangan perkawinan campuran Tionghoa – Indonesia di Medan, yaitu : (1) Competitive Style sebesar 14,9% dengan 11 pasangan, (2) Accommodating Style sebesar 12,2% dengan 9 pasangan, (3) Compromise Style sebesar 12,2% dengan 9 pasangan, (4) Avoidance Style sebesar 10,8% dengan 8 pasangan, dan (5) Collaborative Style sebesar 8,1% dengan 6 pasangan.


(14)

Description Style of Conflict Resolution on Intermarriage Couples Tionghoa – Indonesia.

Vindy Fadhilla Nasution and Eka Ervika

ABSTRACT

The purpose of this study is to describe style of conflict resolution on intermarriage couples Tionghoa – Indonesia. Style of Conflict Resolution is a way or approach or method used someone to solve or confront of a particular conflict.

The study was conducted on intermarriage couples Tionghoa – Indonesia in Medan by 74 couples. Sampling was using non-probability incidental sampling. Data were collected through style of conflict resolution scale based on style of conflictresolution theory by Killman and Thomas(DeFrain, 2006).

This study is a descriptive study. The results of research and data analysis known that the style of conflict resolution used by the intermarriage couples Tionghoa – Indonesia in Medan namely: (1) Competitive Style by 14,9% with 11 couples, (2) Accommodating Style by 12,2% with 9 couples, (3) Compromise Style by 12,2% to 9 couples, (4) Avoidance Style by 10,8% to 8 couples, and (5) Collaborative Style by 8,1% with 6 couples.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya suku bangsa di Indonesia yang mendiami berbagai pulau yang ada. Mereka tersebar di kepulauan nusantara yang berjumlah sekitar 13.677 pulau, terdiri dari 300 suku bangsa atau kelompok etnis dengan bahasa komunikasi berbeda-beda yang jumlahnya lebih dari 250 bahasa. Budaya yang berbeda melahirkan standar masyarakat yang berbeda dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk juga dalam mengatur hubungan perkawinan adat istiadat. Namun diantara berbagai bentuk yang ada, perkawinan merupakan salah satu contoh yang dapat dilihat secara adat istiadat suku setempat yang dapat diterima serta diakui secara universal (Duvall& Miller, 1985).

Perkawinan adalah hubungan yang diketahui secara sosial antara seorang pria dan wanita untuk memberikan hubungan seksual, berproduksi (memiliki anak) dan membuat pembagian tugas (Duvall & Miller, 1985).Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974, mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sunarto (2004) menyatakan dalam hubungan perkawinan berlaku aturan eksogami dan endogami.Perkawinan endogami adalah perkawinan dengan


(16)

anggota dalam kelompok yang sama. Ada bermacam-macam jenis endogami, diantaranya endogami agama, suku, maupun ras. Perlawanan dari endogami adalah eksogami. Eksogami adalah jenis perkawinan dengan anggota diluar kelompok. Yang menarik dari perkawinan eksogami adalah adanya upaya dari homo sapiens (manusia modern) dalam masyarakat yang akumulatif untuk membuat persekutuan dengan kelompok lain sebagai pemberi kemungkinan pemerataan kebudayaan. Hal ini semakin terkait dengan konsep Global Culture yang semakin memudahkan penyebaran globalisasi budaya dengan adanya perkawinan eksogami.Dengan demikian perkawinan campuran yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda tergolong ke dalam perkawinan eksogami.

Salah satu contoh perkawinan campuran antara orang Indonesia dan etnis lain adalah dengan etnis Tionghoa. Menurut Suryadinata (1984) etnis Tionghoa merupakan etnis mayoritas non pribumi yang ada di Indonesia,sebagai kaum minoritas, sikap terhadap mereka pun tidak menentu dalam keadaan tertentu disenangi, dalam keadaan lainnya dibenci. Hal ini berhubungan dengan stereotype, yaitu sikap, keyakinan, atau pendapat yang baku (fixed) tentang orang-orang yang berasal dari budaya lain (Matsumoto, 2004).Keberadaan Tionghoa yang terbentuk melaluigelombang-gelombang imigrasi semakin mempercepat akulturasi Cina rantau. Dalam misi penyebaran budaya mereka berusaha untuk menjadi bagian dari pribumi dalam pembentukan kehidupan bermasyarakat. Usaha yang dilakukan diantaranya berdagang, melalui perkawinan campuran, dan masuk ke dalam kegiatan-kegiatan lain bersama orang Indonesia.


(17)

Hubungan antara etnis Tionghoa dan orang Indonesia di Indonesia tidak luput dari keberadaan stereotype. Menurut Suryadinata (1984) salah satu pencetus stereotype terhadap etnis Tionghoa adalah disebabkan selain jumlahnya yang makin lama makin besar, juga disebabkan peranan mereka yang menonjol dalam kehidupan ekonomi di negara Indonesia, akibat kelebihan itu maka persepsi terhadap etnis Tionghoa selalu bersifat negatif. Etnis Tionghoa seringkali dipandang sebagai etnis yang cenderung hanya berorientasi pada keuntungan dirinya (opportunistdan profit-oriented), pelit, memeras tenaga orang, tidak patriotis, memiliki loyalitas rendah terhadap negara Indonesia, dan bersifat eksklusif dalam pergaulan dengan masyarakat etnis lain (Suryadinata, 1984). Sebaliknya, orang-orang keturunan Tionghoa memandang orang Indonesia sebagai orang-orang yang malas, bodoh, dan memiliki kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dari mereka (Sunarto, 2004).

Perkawinan antara etnis Tionghoa dan Indonesiasuatu fenomena unik. Etnis Tionghoa yang dikenal agak tertutup dan kurang mau bergaul dengan suku lain, berbanding terbalik dengan orang Indonesia yang lebih suka bersosialisasi dan berkelompok.Latar belakang yang berbeda ini dapat menimbulkan ketidakcocokan. Ketidakcocokan tersebut dapat mengakibatkan konflik, baik tentang kebiasaan, sikap perilaku dominan, maupun campur tangan keluarga. (Purnomo dalam Natalia & Iriani, 2002).Hal ini terkait dengan ungkapan responden C (wanita, 30 tahun, Tionghoa) :

“ sebelum memutuskan untuk menikah, saya dan suami sadar hubungan perkawinan kami pasti akan penuh dengan masalah karena budaya kami yang sangat berbeda. Apa yang diajarkan oleh sukunya berbeda dengan yang saya terima dari ajaran etnis saya. Tapi kami tetap memilih untuk menikah, karena


(18)

orang yang nikah satu suku atau etnis saja kan pasti punya perbedaan pendapat dan kami yakin seburuk-buruknya masalah yang ada nanti pasti kami akan dapat menyelesaikannya dengan baik.

(Komunikasi Personal, 27 Juni 2012)

Pruitt & Rubin (2004) menyatakan pandangannya tentang istilah konflik sebagai perbedaan persepsi mengenai kepentingan. Konflik didefinisikan sebagai suatu perbedaan persepsi mengenai kepentingan dan bukan sebagai perbedaan kepentingan yang sesungguhnya.

McGonagle dkk (dalam Sears dkk, 1994) menyatakan bahwa pada pasangan yang sudah menikah, konflik merupakan keadaan yang sudah biasa terjadi. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gurin dkk (dalam Sears, 1994), yang menyimpulkan bahwa konflik akan senantiasa terjadi dalam kehidupan perkawinan. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil penelitiannya dimana 45% orang yang sudah menikah mengatakan bahwa dalam kehidupan bersama akan selalu muncul berbagai masalah, dan 32% pasangan yang menilai perkawinan mereka sangat membahagiakan melaporkan bahwa mereka juga pernah mengalami pertentangan.

Umumnya konflik adalah sesuatu yang sangat dihindari, dengan berbagai efek yang ditimbulkannya, konflik apapun bentuknya akan merugikan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Apabila terdapat dua orang yang dalam hubungannya terdapat konflik maka hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan yang terjalin tersebut terdapat masalah. Konflik memiliki potensi untuk merusak hubungan, selain itu konflik merupakan sesuatu yang buruk. Sebab, konflik menunjukkan sisi negatif diri kita (DeVito, 2004).


(19)

Ada bebearapa cara yang dapat dilakukan pasangan untuk mempertahankan perkawinannya jika terjadi konflik. Pertama, melawan konflik dengan percekcokan menggunakan emosi yang tinggi. Kedua, menghindari masalah dan menolak memecahkan situasi konflik. Ketiga, mengajukan suatu resolusi konflik yang mengarah kearah perdamaian (Duvall & Miller, 1985). Dari beberapa pilihan tersebut, hal yang paling baik dilakukan adalah melakukan resolusi konflik, agar konflik tidak semakin parah dan memberikan dampak negatif terhadap perkawinan.

Berikut adalah salah satu resolusi konflik pada perkawinan yang dipaparkan oleh responden S (wanita, 30 tahun) :

“ dulu di etnis saya wanita tionghoa itu harus tunduk dan patuh terhadap suaminya, itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada saat itu. Tetapi sekarang kan zaman sudah berubah, yaa walaupun begitu yang namanya istri harus patuh terhadap suami, jadi ya kalau kami ada malasah biasanya saya lebih memilih diam dan mengalah karena saya gak mau membantah suami saya karena itu tidak sesuai dengan ajaran yang diajarkan kepada saya “

(Komunikasi Personal, 27 Juni 2012)

Resolusi konflik yang berbeda disampaikan oleh subjek R (pria, 38 tahun):

“ kalau ada masalah dirumah saya biasanya diam karena gak mau ambil pusing sama masalah itu toh nanti bakal beres juga. Biasanya kalau saya diam, istri saya juga diam. Kami gak mau nambah masalah jadi yauda diam sama diam aja, nanti baik sendiri. “

(Komunikasi Personal, 4 September 2013) Resolusi konflik memiliki dampak pada hubungan perkawinan. Resolusi konflik yang efektif dapat meningkatkan ketrampilan pada problem solving, kemampuan komunikasi, saling pengertian serta meningkatkan rasa percaya diri satu sama lain dan meningkatkan kepuasan perkawinan. Tetapi jika penyelesaian konflik tidak efektif dapat mengakibatkan dampak yang negatif, seperti


(20)

meningkatnya interpersonal distress, rendah diri, menurunnya kualitas hubungan positif dengan orang lain serta menurunkan kualitas perkawinan yang menyebabkan ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan pada perkawinan yang berakibat perceraian (Killis, 2006).

Kepuasan dalam hubungan perkawinan dapat ditentukan oleh sikap masing-masing pasangan atau bagaimana cara mereka mengelola konflik. Bahagia atau tidaknya pasangan perkawinandapat dilihat bagaimana mereka dapat mengelola konflik yang terjadi diantara mereka (Olson & Defrain, 2006). Keberhasilan dalam menyelesaikan konflik dapat memperkuat ikatan hubungan dan meningkatkan solidaritas antar pasangan. Gotmann megatakan bahwa pengelolaan konflik yang tidak efektif akan menyebabkan kualitas hubungan yang memburuk dan emotional distress. Metode untuk menghindari konflik mempengaruhi tingkat kepuasan dalam perkawinan dan akhirnya dapat berakibat kearah perpisahan atau perceraian. Dalam waktu yang sama, tingkat kebahagiaan atau ketidakbahagiaan dalam suatu perkawinan mempengaruhi bagaimana mereka bekomunikasi selama konflik berlangsung.

Setiap orang tentu memiliki gaya resolusi konflik yang berbeda untuk menangani masalahnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan responden oleh N (wanita, 36 tahun)

“ ya biasanya kalau ada pertengkaran sih seringnya karena beda pendapat. Suami saya itu kan rada pendiam, jadi saya kadang susah buat tau mau dia itu apa. Kalo misalnya saya uda ngelakuin ini eh ternyata dia gak suka jadi dia bisa marah, jadi itulah kadang yang buat kami berantam. Tapi kalau sudah bertengkar yaa itu tadi suami saya lebih memilih diam dan mengalah dengan sikap saya yang keras, kayaknya dia gak mau aja mempersulit keadaan atau memperpanjang masalah, tepi kalo saya mau masalah harus tuntas saat itu juga, saya juga kadang gak suka dengan sikap dia yang kek gitu kesannya gak mau tahu kalo bagi saya. Mungkin


(21)

sikap saya yang seperti ini karena ajaran dari keluarga saya yang selalu bilang kalo ada masalah itu jangan dibiarkan berlarut-larut harus diselesaikan saat itu juga. “

(Komunikasi Personal, 3 Juni 2012)

Hal yang sama disampaikan oleh responden pasangan yang lain yaitu H (pria, 30 tahun)

“ Saya sebagai orang batak tentu memiliki perwatakan yang keras, tetapi kalau ada konflik atau ada pertentangan diantara kami biasanya yaa karena salah paham saja atau ada hal-hal yang lakukan istri saya tidak suka dan begitu juga sebaliknya, kalau sudah seperti itu saya lebih memilih diam. Karena saya tidak mau memperpanjang masalah. Istri saya juga orangnya penurut jadi sebenarnya kami tidak terlalu bermasalah dengan konflik, karena saat saya sudah mulai diam saja saat kami ada masalah dia tahu kalau saya sedang marah, jadi ya biasanya dia meminta maaf dan kami menganggap permasalahan selesai“

(Komunikasi Personal, 27 Juni 2012)

Burgess dan Houston (dalam Counts, 2003) menyatakan bahwa resolusi konflik muncul ketika terdapat negoisasi ulang akan kewajiban dan kepuasan. Untuk memulai resolusi konflik, pasangan harus berkomunikasi secara efektif. Pasangan akan membicarakan penyebab dari perdebatan dan pentingnya mengekspresikan sudut pandang mengenai cara perdebatan tersebut. Pasangan mengambil aspek terbaik dari masing-masing sudut pandang, mengkombinasikannya, dan memutuskan hal yang harus dilakukan. Saat sumber konflik telah diidentifikasi dengan jelas, pasangan perlu mencari pendekatan terbaik untuk mengatasinya (Borisoff & Victor, dalam Counts, 2003).

Setiap orang memiliki cara atau gaya tersendiri untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, begitu juga dengan pasangan dalam perkawinan. Killman dan Thomas (dalam Olson & DeFrain, 2006) merumuskanbeberapa gaya resolusi konflik. Model ini dikembangkan dengan pemikiran bahwa terdapat aspek yang


(22)

menjadi fokus perhatian saat individu mengusahakan tujuannya, yaitu: perhatian pada diri sendiri dan orang lain. Perhatian pada diri sendiri diukur dengan sejauh mana tingkat asertivitas atau agresivitas seseorang. Perhatian terhadap orang lain ditekankan kepada tingginya kerjasama. Gaya pemecahan konflik ini mengidentifikasi 5 gaya resolusi konflik, yaitu: competitive style, collaborative style, compromise style, accommodating styledan avoidance style

Berdasarkan pemaparan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti atau melihat gambaran gaya resolusi konflik pada perkawinan campuran Tionghoa dan Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah gambaran gaya resolusi konflikpada pasangan perkawinan campuran Tionghoa - Indonesia.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan gaya resolusi konflik pada pasangan perkawinan campuran Tionghoa - Indonesia.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya bidangPsikologi Perkembangan.

2. Manfaat Praktis

a. Dengan adanya penelitian ini, maka dapat membantu para pasangan perkawinan campuran Tionghoa - Indonesia untuk menemukan gaya resolusi konflik yang sesuai pada perkawinan mereka.


(23)

b. Bagi peneliti selanjutnya, dapat digunakan sebagai masukan dan acuan sehingga dapat menjadi rujukan dalam melakukan penelitian selanjutnya.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun berdasarkan suatu sistematika penulisan yang teratur sehingga lebih mudah untuk dipahami.

a. Pada Bab I akan dikemukakan mengenaipendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuanpenelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

b. Pada Bab II akan di utarakan mengenai landasan teori yang terdiri dariteori-teori yang menjelaskan dan mendukung data penelitian.

c. Pada Bab III mengenai metode penelitian. Pada bagian ini berisi uraian yang menjelaskan mengenai pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi, sampel dan metode pengambilan sampel, teknik pengambilan sampel, alat ukur penelitian, validitas dan reabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data.

d. Pada bab IV akan dibahas mengenai analisa data hasil penelitian, interpretasi data dan pembahasan mengenai hasil berkenaan dengan penelitan.

e. Bab V akan membahas mengenai kesimpulan peneliti mengenai hasil penelitian serta saran penelitian berupa saran metodologis dan saran praktis bagi penelitian selanjutnya


(24)

BAB II

Landasan Teori

A. Konflik

1. Konflik pada perkawinan

Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa latincon yang berarti bersama dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan. Konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan dan pendapat yang melibatkan dua pihak atau lebih. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial atau dua orang atau lebih, atau kelompok dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya (DeVito, 2004)

Menurut Willmot & Hocker (2001), konflik adalah suatu ekspresi pertentangan dari sekurang-kurangnya dua orang yang saling bergantung yang tujuannya saling bertentangan, memliki sedikitnya sumber penghasilan, dan campur tangan dari pihak lain dalam mencapai tujuan mereka.

Koentjaraningrat (1981) mengatakan bahwa konflik merupakan suatu proses atau keadaan dimana dua pihak atau lebih berusaha untuk saling menggagalkan tujuan masing-masing karena adanya perbedaan pendapat, nilai-nilai ataupun tuntunan dari masing-masing pihak.

Berdasarkan beberapa definisi diatas,dapat diambil kesimpulan bahwa konflik adalah suatu ekspresi pertentangan antar dua belah pihak yang saling


(25)

bergantung yang memiliki tujuan berbeda dan berusaha untuk menggagalkan tujuan dari masing-masing pihak.

Konflik dalam hubungan perkawinan merupakan hal yang wajar dan tidak dapt dihindari. Menurut Donohue & Kolt (1992), konflik dalam perkawinan adalah situsi dimana pasangan yang saling bergantung mengekpresikan perbedaan dintara mereka dalam upaya mencapai kebutuhan kebutuhan dan minat masing-masing. Jika masing-masing individu dalam pasangan merasa ada yang menghalangi keinginan satu sama lain dalam mencapai suatu tujuan maka hal ini cenderung menimbulkan suatu konflik. Selain itu, konflik juga dapat terjadi dikarenakan adanya penyesuaian kecocokan dan keintiman pada pasangan.

Duval dan Miller (1985) mengatakan masa awal pernikahan merupakan masa paling berat ketika pasangan yang baru menikah harus menghadapi berbagai proses pernyesuaian diri terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Proses ini pasti melibatkan konflik didalamnya dan melauli proses ini pasangan dapat mempelajari cara resolusi konflik yang efektif, yang dapat bermanfaat bagi mereka yang menjalani kehidupan perkawinan di masa yang akan datang.

2. Resolusi Konflik

Konflik yang tidak diselesaikan atau tidak dapat diselesaikan akan berdampak negatif untuk masing-masing individu dalam pasangan. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh konflik dapat dirasakan langsung oleh orang yang mengalami konflik. Untuk itu diperlukan adanya penanganan atau resolusi konflik.


(26)

Hendricks (1992) menyatakan bahwa resolusi konflik adalah strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik. Menurut Mindes (2006) resolusi konflik merupakan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting dalam pembangunuan sosial dan moral yang memerlukan keterampilan dan penilaian untuk bernegoisasi, kompromi serta mengembangkan rasa keadilan.

Dalam resolusi konflik ada dua pendekatan, yaitu: a. Pendekatan Konstruktif

Pada pendekatan ini, fokus pada yang terjadi saat ini dibandingkan masalah yang lalu, membagi perasaan negatif dan positif, mengungkapkan informasi dengan terbuka, menerima kesalahan bersama dan mencari persamaan-persamaan. Konflik konstruktif cenderung untuk kooperatif, prososial, dan menjaga hubungan secara alami (Olson & DeFrain, 2006)

b. Pendekatan Destruktif

Pada pendekatan ini, pasangan mengungkit masalah-masalah yang lalu, hanya mengekpresikan perasaan-perasaan negatif, fokus pada orang bukan pada masalanya, mengungkapkan selektif informasi dan menekankan pada perbedaan tujuan untuk perubahan yang minim. Konflik destruktif mengarah pada kompetitif, antisosial, dan merusk hubungan. Perilaku destruktif memperlihatkan perilaku negatif, ketidaksetujuan dan kadang kekerasan.

Dalam kedua pendekatan tersebut ada beberapa gaya dalam menyelesaikan konflik atau resolusi konflik.


(27)

Menurut Dwijanti (2000) gaya resolusi konflik adalah cara atau pendekatan atau metode yang digunakan seseorang untuk mengatasi atau menghadapi suatu konflik tertentu. Meskipun sebagian besar individu memiliki kemampuan untuk memberikan respon terhadap konflik yang bervariasi tergantung pada situasinya, namun setiap individu mempunyai preferensi tertentu yang menjadi dasar bagi tindakannya ketika menghadapi konflik(Robbins & Couller, 1996). Hal ini serupa dengan yang dinyataakan Thomas (1983) bahwa setiap orang memiliki gaya penyelesaianyang berbeda ketika menghadapi konflik. Dalam pandangan tersebut setiap orang memiliki satu macam gaya yang lebih dominan, namu bukan berarti hanya gaya tersebut yang dimiliki.

Gaya resolusi konflik dibentuk oleh respon atau kumpulan perilaku yang digunakan individu-individu dalam konflik (Willmot & Hocker, 1995). Rubin, Pruitt, dan Kim (1994) mengusulkan konflik yang didasarkan pada tingkat kepedulian terhadap tujuan pribadi dan tujuan pasangan. Pengkategorian gaya resolusi konflik semakin berkembang di sepanjang sejarahnya, mulai dari yang mengkategorikan hanya dua gaya resolusi konflik sampai mengkategorikan lima gaya resolusi konflik.

Ada beberapa model resolusi konflik (Killman dan Thomas dalam Olson & DeFrain, 2006), model ini dikembangkan dengan pemikiran bahwa terdapat aspek yang menjadi fokus perhatian saat individu mengusahakan tujuannya, yaitu: perhatian pada diri sendiri dan orang lain. Perhatian pada diri sendiri diukur dengan sejauh mana tingkat asertivitas atau agresivitas seseorang. Perhatian terhadap orang lain ditekankan kepada tingginya kerjasama.


(28)

Model resolusi konflik ini mengidentifikasi 5 gaya resolusi konflik, yaitu: 1. Competitive Style

Competitive style merupakan cara menyelesaikan konflik tanpa memikirkan pasangannya. Menurut Thomas (1975) cara ini disebut juga gaya resolusi konflik dominasi. Individu yang menggunakan gaya ini menampilkan perilaku seperti agresi, koersi, manipulasi, intimidasi, dan senang berdebat. Aspek lain dalam gaya ini adalah tidak mempedulikan kebutuhan dari pasangan. Orang-orang yang menggunakan gaya ini cenderung agresif dan tidak kooperatif, dan mengikuti apa yang diinginkan dengan mengorbankan orang lain. Mereka mendapatkan kekuatan dengan mengkonfrontasi dan berusaha menang tanpa menyesuaikan tujuan dan hasratnya dengan tujuan dan hasrat orang lain

2. Collaboration Style

Collaborative style menggambarkan pendekatan resolusi konflik dimana masing-masing pasangan saling memperhatikan kebutuhan atau kepentingan pasangannya. Gaya ini menekankan pada kepentingan hubungan pernikahan. Gaya ini juga biasa disebut gaya integrasi. Kesadaran terhadap kebutuhan diri sendiri dan pasangan serta kesediaan untuk berusaha berdamai merupakan kesempatan yang paling baik dalam resolusi konflik. Indivdiu yang menggunakan gaya ini memiliki asertif yang tinggi dalam mencapai tujuannya tapi memiliki perhatian terhadap tujuan orang lain.

Orang dengan collaborative style bersedia menghabiskan waktu banyak untuk menyelesaikan konflik dengan tuntas. Ia mampu memperhatikan orang lain sekaligus diri sendiri. Ia akan mengungkapkan apa yang ada dipikirannya dan


(29)

bersedia mendengarkan pikiran orang lain. Wajar saja jika gaya ini menghabiskan energi yang sangat besar. Biasanya gaya ini sangat diperlukan untuk menyelesaikan konflik yang sangat sulit dan kompleks.

3. Compromise Style

Compromise style lebih terbuka dibandingkan dengan avoidance, tetapi masalah yang terungkap tidak sebanyak gaya collaborative. Yang membedakan antara compromise style dengan collaborative style adalah waktu. Waktu yang dibutuhkan compromise style untuk menyelesaikan konflik lebih sedikit, namun solusi yang dihasilkan bisa jadi bukan solusi yang terbaik untuk semua pihak Pada gaya ini kedua individu dalam pasangan membuat kesepakatan yang mengarah pada persetujuan. Pasangan memberikan beberapa tujuan penting untuk mendapatkan kesepakatan. Gaya ini merupakan jalan tengah yang dihasilkan dari kombinasi tingginya perhatian terhadap tujuan individu dan tujuan pasangannya

4. Accommodating Style

Ditandai dengan perilaku non asertif namun kooperatif. Individu cenderung mengesampingkan keinginan pribadi dan berusaha untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang lain. Pasangan yang secara konsisten menggunakan gaya ini seringkali menghindari konflik. Hal ini dikarenakan untuk menghindari kemarahan pasangan dan untuk menjaga keharmonisan hubungan. Orang dengan gaya accommodating style biasanya akan berbicara seperti ini “ya sudah terserah kamu, aku ikut aja”.


(30)

5. Avoidance Style

Ciri utama gaya ini adalah perilaku yang tidak asertif dan pasif. Biasanya mereka mengalihkan perhatian dari konflik atau justru menghindari konflik. Kelebihan dari gaya ini adalah memberikan waktu untuk berfikir pada masing-masing pihak, apakah ada kemauan dari diri atau pihak lain untuk menangani situasi dengan cara yang lebih baik. Kelemahan dari gaya ini adalah individu menjadi tidak peduli dengan permasalahan dan cederung untuk melihat konflik sebagai sesuatu yang buruk dan harus dihindari dengan cara apa pun. Gaya ini biasanya justru mengarahkan pada konflik yang lebih parah.

Pasangan dengan gaya avoidance style biasanya akan mengalihkan pembicaraan ketika mulai membahas konflik yang dihadapi. Apa pun caranya dia akan berusaha untuk terus menghindar. Dia tidak peduli dengan orang lain namun juga tidak mau mengungkapkan keinginannya (nahan uneg-uneg di hati), intinya ia mencoba menghindari konflik dan menganggap konflik itu tidak ada.

Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa setiap gaya resolusi konflik memiliki ciri khas masing-masing. Setiap gaya akan efektif jika digunakan pada situasi atau kondisi yang tepat. Penggunaan gaya resolusi konflik yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi maka tidak akan menghasilkan penyelesaian konflik yang diharapkan. Oleh karena itu penting bagi pasangan untuk memahami semua gaya resolusi konflik sehingga dapat memilih gaya yang tepat dan disesuaikan dengan konflik yang dihadapi


(31)

Gaya resolusi konflik dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu kematangan pribadi, usia, jenis kelamin dan karakteristik pribadi.

a. Kematangan pribadi meliputi pandangan hidup, sikap netral serta toleran terhadap perbedaan nilai, dan memiliki kesanggupan menyelesaikan masalah. Orang-orang yang matang pribadinya lebih mampu menyelesaikan konflik dengan baik.

b. Usia mempengaruhi gaya penyelesaian konflik sesorang. Potensi konflik cenderung terjadi pada seseorang yang usianya lebih muda dan penyelesaiaan konfliknya sering kali menggunakan emosi.

c. Jenis kelamin tentanng peran jenis kelamin menimbulkan asumsi bahwa terdapat perbedaan gaya resolusi konflik pada jenis kelamin yang berbeda. Penelitian Brovermann dkk, pada 599 pria dan 383 wanita menunjukkan hasil bahwa pria lebih menggunakan gaya aktif atau kompetitif sementara wanita lebih akomodatif.

d. Karakteristik individu, resolusi konflik seorang individu dapat diprediksi dari karakteristik intelektual dan kepribadiannya. Mereka menemukan bahwa subjek dengan skor intelektual yang rendah cenderung menggunakan aksi fisik dalam mengatasi konflik. Dari karakteristik kepribadian dapat diprediksi bahwa subjek dengan skor tinggi pada need for deference ( kebutuhan untuk mengikuti dan mendukung seseorang), need for abasement (kebutuhan untuk menyerah atau tunduk) dan need for order (kebutuhan untuk membuat teratur) cenderung untuk memilih gaya-gaya resolusi konflik yang membuat konflik mereda. Sebaliknya


(32)

subjek dengan skor tinggi pada need for autotomi (kebutuhan untuk bebas dan lepas dari tekanan ) dan need for change (kebutuhan untuk membuat perubahan) memiliki kecenderungan untuk memilih paling tidak satu gaya resolusi konflik yang membuat konflik semakin intensif

B. Perkawinan

Duvall dan Miller (1986) mendefinisikan perkawinan sebagai hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri.

Gardiner & Myers (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) menambahkan bahwa perkawinan menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas dan harga diri.

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan perkawinan adalah hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksualdan kesempatan untuk pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas dan harga diri

C. Perkawinan Campuran

1. Definisi Perkawinan Campuran

Menurut Cohen (dalam Hariyono, 1993) perkawinan campur merupakan perkawinan yang terjadi antara individu dari kelompok etnis yang berbeda.


(33)

Menurut Sunarto (2004) dalam hubungan perkawinan berlaku aturan eksogami dan endogami, yaitu:

a. Eksogami

Eksogami adalah suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang berbeda. Eksogami dapat dibagi menjadi dua macam, yakni :

1. Eksogami connobium asymetris terjadi bila dua atau lebih lingkungan bertindak sebagai pemberi atau penerima gadis seperti pada perkawinan suku batak dan ambon.

2. Eksogami connobium symetris apabila pada dua atau lebih lingkungan saling tukar-menukar jodoh bagi para pemuda.

Eksogami melingkupi heterogami dan homogami. Heterogami adalah perkawinan antar kelas sosial yang berbeda seperti misalnya anak bangsawan menikah dengan anak petani. Homogami adalah perkawinan antara kelas golongan sosial yang sama seperti contoh pada anak saudagar atau pedagang yang kawin dengan anak saudagar atau pedagang.

b. Endogami

Endogami adalah suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang sama.

perkawinan campuran adalah bersatunya jiwa, kepribadian, sifat dan perilaku dua insan berlawanan jenis yang berbeda etnis/latar belakang budaya untuk disyahkan secara resmi sebagai pasangan suami istri. Dalam perkawinan campur ini terjadi proses akulturasi budaya antara pasangan yang mungkin


(34)

menimbulkan konflik (stres akulturasi). Melalui adaptasi secara psikologis dan sosiokultural segala hal yang berkaitan dengan pasangannya serta latar belakang yang berbeda dapat diterima untuk menjalani rumah tangga bersama-sama.

2. Alasan Melakukan Perkawinan Campuran

Porterfield (dalam Hariyono, 1993) menyebutkan ada enam alasan seseorang melakukan perkawinan campur:

a. Seseorang mungkin melakukan perkawinan campur dengan alasan idealisme b. Seseorang bersifat kosmopolitan atau memilih teman secara personal bukan

alasan budaya.

c. Seseorang melakukan perkawinan campur untuk menentang otoritas orang tua baik secara sadar ataupun tidak sadar.

d. Seseorang melakukan perkawinan campur karena tertarik secara psikoseksual

D. Etnis Tionghoa

Etnis Tionghoa di Indonesia berperan penting dalam perjalanan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Sejak berdirinya Partai Tionghoa Indonesia, beberapa orang Tionghoa seperti Kho Sien Hoo bergabung dengan gerakan kemerdekaan. Setelah Negara Indonesia terbentuk, maka secara otomatis etnis Tonghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup Indonesia dan sejajar dengan suku-suku lain (Liem, 2000).

Kebudayaan dan kehidupan suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh sistem kepercayaannya.Kepercayaan yang dianut etnis Tionghoa adalah Budha,


(35)

Taoisme, dan Konfusionisme dimana ajaran Konfisionisme lebih dominan dianut oalh Tionghoa dimanamengajarkan tentang moralitas yang harus dimiliki oleh setiap orang.Kunci ini dipakai Konfusius untuk mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat (Lubis, 1995).

Nilai-nilai Sosial Budaya Tionghoa:

1. Sistem Kekerabatan

Etnis tionghoa pada masa lalu membuat sebuah pembaharuan yang berdasarkan ideology-nya.Kehidupan etnis tionghoa sejak dulu telah teratur dan teroganisir. Saat suku lain masih berpindah-pindah tempat, etnis ini sudah mulai menetap. Dimana suatu kelompok sudah mulai hidup menetap, kelompok itu akan lebih berkembang karena waktu yang dimilki-nya untuk kebutuhan hidup lebih banyak. Sehingga hal tersebut dapat memacu berkembangnya teknologi guna melengkapi kebutuhan hidup.

2. Pemilihan Jodoh

Sama halnya dengan suku bangsa lain yang ada di Indonesia, etnis Tionghoa juga memiliki aturan sendiri dalam hal penentuan jodoh guna meneruskan kehidupannya. Mereka sangat pantang melakukan pernikahan dengan marga yang sama, namun guna menjaga harta keluarga agar kelak tidak jatuh ke tangan orang lain etnis ini mengusahakan adannya pernikahan satu nenek moyang yang berbeda marga. Untuk perkawinan antara pihak laki-laki yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan wanita menjadi sebuah pantangan bilamana pihak laki-laki berasal dari generasi yang lebih muda. Hal


(36)

ini memiliki filosofi tersendiri, karna di maksudkan bahwa seorang suami haruslah lebih tua dan tinggi derajatnya dari sang istri. Pada masa lalu, saat kerajaan-kerajaan masih banyak berdiri di Indonesia etnis Tionghoa mengadakan ikatan-ikatan terhadap penguasa lokal serta pihak istana.Hal seperti itu dianggap sebagai syarat yang harus ada pada masa itu, karena hal inimenjadi sangat penting untuk keberhasilan perdagangan mereka di pedalaman.

3. Perkawinan

Pada umumnya pernikahan adalah sebuah bagian metamorfosis kehidupan manusia sebagai final kedewasaanya. Dimana seseorang akan memiliki tanggung jawab lain atas kehidupan barunnya. Bagi etnis Tionghoa sendiri pernikahan dianggap sebagai tolak ukur kesuksesan seseorang dalam hidupnnya. Oleh karena itu mereka akan membuat pesta pernikahan ini dengan mahal, mewah, sarat tradisi bahkan rumit. Karena siklus ini merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan setiap insan.Upacara pernikahan pada etnis ini tidak seragam di semua tempat, melainkan tergantung pada tempat diadakannya, adat lain, adat setempat, agama, pengetahuan dan pengalaman mereka masing-masing. Dapat disimpulkan bahwa sebuah pernikahan dalam etnis tionghoa didasarkan kekerabatan, keleluhuran , kemanusiaan dan sebagai pelindung keluarga.


(37)

4. Adat menetap sesudah menikah

Dalam adat Tionghoa, ahli waris akan di teruskan oleh anak laki-laki tertua dalam suatu keluarga dan akan meneruskan pemujaan leluhur yang dilakukan oleh ayahnnya. Oleh karena itu pihak wanita yang telah menikah di wajibkan hidup dan tinggal bersama keluarga pihak suami.Karena pada prinsipnya setiap anak di wajibkan untuk tetap berbakti pada orang tua-nya sebelum maupun setelah mereka menikah. Hal ini akan menjadi gambaran bagi generasi seterusnnya dalam berbakti pada orang tuannya. Namun untuk anak laki-laki selanjutnnya diberi kebebasan dalam menentukan tempat tinggalnya sesudah menikah.

5. Kedudukan Wanita

Pada masa lalu para wanita etnis tionghoa mengalami diskriminasi gender yang sangat kuat. Adannya perbedaan perlakuan yang diterimanya sangat berbeda dengan pria. Saat para wanita etnis Tionghoa mulai beranjak dewasa, ia mulai mengalami larangan untuk keluar rumah (di pingit). Dan saat sudah menikah para wanita juga tidak di perkenankan untuk memilih tempat tinggal, melainkan harus tinggal bersama suaminnya serta mereka wajib untuk patuh dan tunduk pada mertuanya.Para wanita juga mendapat larangan untuk mendapat bagian kehidupannya diluar rumah.

Pada masa kini hal tersebut sudah mulai di tinggalkan, para wanita sudah mulai bergabung dengan perkumpulan-perkumpulan di luar. Selain itu para wanita juga berhak mnedapatkan harta yang sama. Bahkan dalam memuja para leluhur terdahulu telah di warisakan kepadannya, hal ini membuat para


(38)

suami terkadung harus tinggal bersama dengan istrinnya.Dengan adanya pembaharuan kedudukan wanita saat ini, sehingga kecenderungan untuk memilki anak laki-laki tidak lagi sekuat seperti pada masa lalu.

E. Indonesia

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Indonesia terbentang antara 6 derajat garis lintang utara sampai 11 derajat garis lintang selatan, dan dari 97 derajat sampai 141 derajat garis bujur timur serta terletak antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia/Oceania. Posisi strategis ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi.

Penduduk Indonesia dapat dibagi secara garis besar dalam dua kelompok.Di bagian barat Indonesia penduduknya kebanyakan adalah suku Melayu sementara di timur adalah suku Papua, yang mempunyai akar di kepulauan Melanesia.Banyak penduduk Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari kelompok suku yang lebih spesifik, yang dibagi menurut bahasa dan asal daerah, misalnya Jawa, Sunda atau Batak.

Selain itu juga ada penduduk pendatang yang jumlahnya minoritas diantaranya adalah Etnis Tionghoa, India, dan Arab.Mereka sudah lama datang ke nusantara dengan jalur perdagangan sejak abad ke 8 SM dan menetap menjadi bagian dari Nusantara.Di Indonesia terdapat sekitar 3% populasi etnis Tionghoa. Angka ini berbeda-beda karena hanya pada tahun 1930-an terakhir kalinya


(39)

pemerintah melakukan sensus dengan menggolong-golongkan masyarakat Indonesia ke dalam suku bangsa dan keturunannya.

Karakter orang di Indonesia berbeda-beda berdasarkan etnisnya. Berikut beberapa streotype karakter orang Indonesia berdasarkan etnisnya

1. Orang Batak adalah dua kata yang banyak difahami oleh orang diluar suku Batak sebagai gambaran orang yang tidak mau kalah, bersuara keras, terbuka, spontan, agresif, pemberani, tetap orang batak juga dikenal sebagai pekerja keras, gigih dan selalu berorientasi kedepan, solidaritasnya tinggi, kekeluargaan, dan keakrabannya erat.

2. Orang Jawa, suku Jawa diidentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan, menyembunyikan perasaan alias tidak suka langsung-langsung, menjaga etika berbicara baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak berbicara, selain itu orang Jawa dikenal dengan keegoisannya yang tinggi dan kurang mau bergaul dengan suku lain yang ada di Indonesia. 3. Orang Aceh, lembut dan penuh kasih sayang adalah sifat masyarakat Aceh

sesungguhnya, orang Aceh juga dikenal dengan watak militan yang artinya memiliki semangat juang yang tinggi, reaktif atas keberadaanya, optimis, dan loyal, selain itu ada anggapan bahwa orang Aceh itu orang yang pendendam. 4. Orang Sunda terkenal dengan karakter yang lemah lembut, halus perkataan,

ramah, selain itu orang-orang Sunda dikatakan boros dan malas karena tidak mau merantau ke tempat yang di luar daerahnya.


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta, karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu.Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif, tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari implikasi (Hadi, 2002).

Punch (dalam Hasan 2003) menyatakan bahwa ada dua kegunaan penelitian deskriptif. Pertama, untuk pengembangan teori dan area penelitian yang baru. Kedua, untuk mendapatkan deskripsi yang tepat mengenai proses-proses sosial yang kompleks sehingga dapat membantu kita untuk memahami faktor apa saja yang mempengaruhi suatu variabel dan faktor apa yang perlu diteliti lebih lanjut dalam penelitian berikutnya secara lebih mendalam.

Jenis penelitian ini tidak mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel, dan tidak melakukan pengujian hipotesis. Pengolahan dan analisis data menggunakan pengolahan statistik yang bersifat deskriptif (Hasan, 2003).

A. Identifikasi Variabel

Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah gaya resolusi konflik.


(41)

B. Definisi Operasional

Resolusi konflik adalah strategi atau metode yang digunakan seseorang untuk mengatasi atau mengelola suatu konflik tertentu. Gaya resolusi konflik yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari lima gaya yaitu:

1. Competitive Style adalah individu memaksa pasangannya unttuk menerima dan mengikuti apa yang diinginkan, tidak mau menerima pendapat orang lain, suka mengintimidasi dan senang berdebat.

2. Collaborative Style adalah individu memiliki kesadaran terhadap kebutuhan diri sendiri dan pasangan serta ketersediaan untuk berusaha berdamai merupakan kesempatan yang paling baik dalam resolusi konflik

3. Compromise Style adalah dimana pasangan membuat kesepakatan yang mengarah pada persetujuan.

4. Accomodting Style adalah individu tidak mementingkan kebutuhan sendiri tetapi mementingkan kebutuhan pasangannya, mengikuti apa yang menjadi keputusan pasangan, menerima segala pendapat dan keinginan pasangan. 5. Avoidance Style adalah individu memunculkan perilaku menghindari situasi

konflik, menolak membicarakan konflik, dan menyangkal terlibat dalam suatu konflik.

Non kategori adalah dimana pasangan tidak termasuk dalam 5 gaya diatas dalam resolusi konfliknya, dikarenakan pasangan ini tidak konsisten dalam menggunakan gaya resolusi konflik terhadap konflik yang dihadapi.


(42)

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah keseluruhan individu yang akan diselidiki dan mempunyai minimal satu sifat yang sama atau ciri–ciri yang sama dan untuk siapa kenyataan yang diperoleh dari subjek penelitian hendak digeneralisasikan (Hadi, 2000).Hadi (2000) mengemukakan bahwa semua individu yang memiliki generalisasi keadaan atau kenyataan yang sama disebut dengan populasi. Populasi adalah seluruh subjek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki sifat yang sama. Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus memiliki paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000).

Sugiarto (2003) berpendapat bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data dengan statistik, besar sampel yang paling kecil adalah 30, walaupun ia juga mengakui bahwa banyak peneliti lain menganggap bahwa sampel sebesar 100 merupakan jumlah yang minimum. Menurut Azwar (2004), secara tradisional statistika menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak. Namun, sesungguhnya tidak ada angka yang dapat dikatakan dengan pasti. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 109pasangan untuk uji coba dan 74pasangan untuk uji sebenarnya. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka karakteristik sampel atau subjek dalam penelitian ini adalah pasangan perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia


(43)

2. Metode Pengambilan Sampel

Metode sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasidengan menggunakan prosedur tertentu agar diperoleh sampel yang mewakili populasi (Hadi, 2000).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan non probability sampling.Teknik non probability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental sampling. Metode incidental berarti tidak semua individu dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dapat dipilih menjadi anggota sampel, hanya individu-individu yang kebetulan dijumpai atau dapat dijumpai saja yang diteliti dan sesuai dengan kriteria penelitian (Hadi, 2000). Alasan menggunakan teknik sampling ini adalah mengingat subjek yang akan diteliti sulit untuk ditemukan, dan ada kemungkinan akan mendapat penolakan sehingga peluang tidak semua orang mau menjadi subjek penelitian sangat besar.

Teknik pengambilan sampel ini sesuai untuk penelitian mengingat jumlah populasi yang tidak memiliki jumlah data yang jelas dalam arti tidak ada sumber data yang pasti mengenai jumlah populasi penelitian.Besarnya sampel yang dipilih adalah berdasarkan pertimbangan ketepatan dan efisiensi biaya, tenaga, waktu dan kemampuan peneliti.

D. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode skala. Metode skala yang digunakan mengingat data yang ingin diukur berupa konsep psikologis yang dapat


(44)

diungkapkan secara tidak langsung melaui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam aitem-aitem (Azwar, 2004). Skala berisi kumpulan pernyataan yang diajukan kepada responden untuk diisi oleh responden.

Alasan digunakannya alat ukur skala didasarkan atas asumsi : 1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.

2. Interpretasi subjek terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti adalah sama dengan pemahaman dan interpretasi peneliti.

3. Pernyataan atau tanggapan yang diberikan subjek adalah benar, jujur serta dapat dipercaya (Hadi, 2000).

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur berupa skala yang aitemnya disusun berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Killman dan Thomas (dalam Olson & DeFrain, 2006) yang terdiri dari lima gaya resolusi konflik yaitu competitive style, collaborative style, compromise style, accomodating style dan avoidance style.

Skala yang digunakan adalah skala dikotomi atau skala Guttman. Pemberian skor pada penelitian ini menggunakan dua alternatif jawaban pada tiap-tiap aitem (dikotomi), untuk jawaban ”Ya” pada aitem favorabel mendapat skor 1 (satu), sedangkan yang menjawab ”Tidak” mendapat skor 0 (nol). Sebaliknya, untuk jawaban ”Ya” pada aitem unfavorabel mendapat skor 0 (nol) dan jawaban ”Tidak” mendapat skor 1 (satu). Skala ini tidak menyediakan pilihan netral atau ragu-ragu karena membutuhkan jawaban yang tegas, oleh karena itu skala ini sebenarnya kurang halus dalam mempresentasikan respon, tetapi adakalanya peneliti membutuhkan jawaban yang tegas (Simamora, 2005)


(45)

Penilaian skala gambaran gaya resolusi konflik pada pasangan perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel 1. Cara Penilaian Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan Campuran Tionghoa – Indonesia

Bentuk Pertanyaan

Skor

0 1

Favorable Tidak Ya

Unfavorable Ya Tidak

Penyusunan skala gaya resolusi konflik dalam penelitian ini didasarkan lima gaya resolusi konflikyang dikemukakan oleh Killman dan Thomas (dalam Olson & DeFrain, 2006) dengan Blueprint pada Tabel dibawah ini :

Tabel 2. Blue PrintDistribusi aitem Skala Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan Campuran Tionghoa-Indonesia

No Komponen

Aitem

Jumlah

Bobot Favorable Unfavorable

1. competitive style 1, 17, 22, 30, 39 4, 10, 19, 37 9 19,15%

2. collaborative

style

3, 9, 15, 20, 36, 41

7, 23, 32, 43 10 21,28%

3. compromise style 2, 16, 25, 31, 47 11, 26, 38, 45 9 19,15%

4. accommodating

style

5, 18, 29, 35, 42 13, 27, 33, 46 9 19,15%

5. avoidance style 8, 14, 21, 28, 34, 44

6, 12, 24, 40 10 21,28%


(46)

Skala dalam penelitian ini akan diproses dengan diuji coba untuk mengetahui kualitas aitem-aitem sebelum digunakan pada penelitian yang sesungguhnya. Aitem-aitem yang kualitasnya kurang baik akan dibuang dan aitem-aitem yang berkualitas baik akan digunakan sebagai alat ukur penelitian yang sesungguhnya. Aitem-aitem yang berkualitas akan ditunjukkan oleh koefisiensi korelasi yang tinggi, yaitu korelasi antara masing-masing aitem dengan aitem total.

Selain aitem-aitem tersebut, di dalam alat ukur juga tertera identitas yang harus diisi oleh subjek penelitian. Identitas tersebut terbagi atas identitas pasangan. Identitasnya terdiri dari nama atau inisial, jenis kelamin, usia, etnis atau suku dan lamanya perkawinan. Setelah uji coba selesai, maka selanjutnya peneliti melakukan penomoran kembali terhadap aitem-aitem skala untuk dijadikan sebagai alat pengumpulan data penelitian yang sebenarnya.

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

Salah satu masalah utama dalam kegiatan penelitian sosial khususnya psikologi adalah cara memperoleh data yang akurat dan objektif. Hal ini menjadi sangat penting, artinya kesimpulan penelitian hanya akan dapat dipercaya apabila didasarkan pada info yang juga dapat dipercaya (Azwar, 2001). Dengan memperhatikan kondisi ini, tampak bahwa alat pengumpulan data memiliki peranan penting. Baik atau tidaknya suatu alat pengumpulan data dalam mengungkap kondisi yang ingin diukur tergantung pada validitas dan reliabilitas alat ukur yang akan digunakan.


(47)

1. Validitas alat ukur

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrument atau alat ukur dalam menjalankan fungsi ukurnya dan memberikan hasil yang tepat dan akurat sesuai dengan maksud diadakannya pengukuran tersebut (Azwar, 2004). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas ini menunjukkan sejauh mana aitem-aitem dalam skala telah komprehensif mencakup semua aspek dalam penelitian dan tingkat relevansinya. Validitas isi dalam penelitian ini diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional (kesesuaian dengan blueprint yang telah disusun oleh peneliti) dan diperkuat lewat professional judgement (dalam hal ini dilakukan oleh dosen pembimbing) (Azwar, 2004).

2. Reliabilitas alat ukur

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil dari suatu pengukuran dapat dipercaya. Artinya dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama selama aspek dalam diri subyek yang diukur memang belum berubah (Azwar, 2004). Uji reliabilitas untuk skala gambaran dilakukan dengan menguji konsistensi internal. Prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan tes kepada sekelompok individu sebagai subjek penelitian. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis, dan berefisiensi tinggi (Azwar, 2004).

Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai dengan 1. Koefisien reliabilitas yang semakin mendekati


(48)

angka 1 menandakan semakin tinggi reliabilitas. Sebaliknya, koefisien yang semakin mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitas yang dimiliki. Menurut Azwar (2004) pengukuran pada aspek-aspek sosial-psikologis yang mencapai angka koefisien reliabilitas 1 tidak pernah dijumpai, dikarenakan manusia sebagai subjek pengukuran psikologis merupakan sumber eror yang potensial.

Menurut Triton (2006) kategori reliabilitas pengukuran terbagi atas 5 (lima) bagian, yaitu:

1. 0,00 s/d 0,20 (kurang reliabel) 2. >0,20 s/d 0,40 (agak reliabel) 3. >0,40 s/d 0,60 (cukup reliabel) 4. >0,60 s/d 0,80 (reliabel)

5. >0,80 s/d 1,00 (sangat reliabel)

Teknik yang digunakan adalah teknik koefisiensi Alpha Cronbach. Selanjutnya, pengujian realibilitas ini akan menghasilkan realibilitas dari skala gambaran. Uji reliabilitas alat ukur dilakukan dengan menggunakan program SPSS for Windows Versi 16.0.

3. Uji Daya Beda Aitem

Setelah skala diuji coba pada sejumlah sampel, maka peneliti akan melakukan uji daya beda aitem untuk mendapatkan aitem-aitem yang memenuhi persyaratan. Uji daya beda aitem adalah sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Prinsip kerja yang dijadikan dasar untuk melakukan seleksi aitem


(49)

dalam hal ini adalah memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes sebagaimana yang dikehendaki oleh penyusunnya (Azwar, 2004).

Untuk menguji daya beda dari aitem-aitem dalam skala gambaran, peneliti menggunakan formula koefisien korelasi Pearson Product Moment. Prosedur pengujian ini menghasilkan koefesien korelasi aitem total yang dikenal dengan indeks daya beda aitem (Azwar, 2004). Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan dengan SPSS versi 16.0 for windows akan diperoleh item-item yang memenuhi persyaratan.

Menurut Azwar, (2004) semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal rix ≥ 0.300, daya pembedanya dianggap memuaskan. Semakin tinggi harga kritik, maka aitem tersebut semakin baik.

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Setelah melakukan uji coba skala gaya resolusi konflik pada 109 pasangan subjek penelitian, didapatkan 9 aitem yang dinyatakan gugur dari 47 aitem keseluruhan menjadi 38 aitem. Seperti yang dinyatakan Azwar (2004) bahwa kriteria berdasarkan keofisien aitem total yang biasanya digunakan adalah batasan ≥ 0,300 yang dianggap memiliki daya beda yang memuaskanKoefisien korelasi aitem total yang memenuhi kriteria bergerak dari 0,360 hingga0,836. Distribusi aitem skala setelah uji coba ditunjukkan pada tabel 3.


(50)

Tabel. 3. Distribusi aitem-aitem Skala Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia

No Komponen

Aitem

Jumlah

Bobot Favorable Unfavorable

6. competitive style 1, 17, 22, 30,

39

4, 10, 19, 37 9 23,68%

7. collaborative style 3, 15, 36, 41 7, 23 6 15,79%

8. compromise style 2, 16, 31, 47 11, 26, 45 7 18,42%

9. accommodating

style

5, 18, 29, 35, 42

13, 27, 33, 46

9 23,68%

10. avoidance style 14, 21, 28 6, 12, 24, 40 7 18,42%

Jumlah 21 17 38 100 %

Dari tabel 3 dapat diketahui bahwa dari keseluruhan yaitu 47 aitem yang diujicobakan diperoleh 38 aitem yang memenuhi indeks diskriminasi ≥ 0,300 dengan nilai koefisien alpha masing-masing dari tiap gaya. Nilai realiabilitas dari tiap gaya resolusi konflik dapaat dilihat pada tabel 4:

Tabel 4. Reliabilitas dari tiap-tiap gaya resolusi konflik

Gaya Resolusi Konflik Realiabitas

Competitive Style .911

Collaborative Style .773

Compromise Style .808

Accomadating Style .872


(51)

Peneliti menggunakan 38 aitem yang lolos dari seleksi setelah uji coba skala dilakukan. Selanjutnya dilakukan penomoran baru terhadap aitem yang dimasukkan dalam skala untuk penelitian. Distribusi aitem skala gambarangaya resolusi konflik pada pasangan perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia yang digunakan dalam penelitian ditunujukkan pada tabel 5 berikut :

Tabel. 5. Distribusi aitem-aitem Skala Gambaran Gaya Resolusi Konflik pada Pasangan Perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia

No Komponen

Aitem

Jumlah Bobot Favorable Unfavorab

le 1. competitive style 1, 15, 19,

26, 32

4, 8, 17, 31 9 23,68%

2. collaborative

style

3, 13, 30, 34

7, 20 6 15,79%

3. compromise style 2, 14, 27, 38

9, 22, 36 7 18,42%

4. accommodating

style

5, 16, 25, 29, 35

11, 23, 28, 37

9 23,68%

5. avoidance style 12, 18, 24 6, 10, 21, 33

7 18,42%


(52)

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap persiapan

Dalam rangka pelaksanaan penelitian ini ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan oleh peneliti, antara lain:

a. Rancangan alat dan instrumen penelitian

Pada tahap ini, alat ukur yang berupa skala gaya resolusi konflikoleh peneliti berdasarkan berdasarkan lima gaya resolusi konflikyang dikemukakan oleh Killman dan Thomas (dalam Olson & DeFrain, 2006) dengan bimbingan professional judgement (dalam hal ini dilakukan oleh dosen pembimbing). Skala dibuat dalam bentuk booklet ukuran kertas A4 yang terdiri petunjuk pengisian, setiap pernyataan memiliki 2 alternatif jawaban yang tempatnya telah disediakan sehingga memudahkan subjek dalam memberikan jawaban.

b. Uji coba alat ukur

Sebelum menjadi alat ukur yang sebenarnya, skala tersebut diujicobakan terlebih dahulu kepada sejumlah responden yang sesuai dengan karakteristik sampel yang akan digunakan dalam penelitian. Dalam hal ini peneliti akan mengujicobakan pada sejumlah reponden yang tidak terpilih sebagai sampel penelitian. Total skala yang disebarkan berjumlah 230 skala.

c. Revisi alat ukur

Setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur yang dilakukan pada 109 pasangan, peneliti menguji validitas dan reliabilitas skala gaya resolusi konflik melalui koefisien alpha cronbach dengan menggunakan SPSS version 16.0 for


(53)

windows. Aitem-aitem yang valid kemudian disusun kembali dalam bentuk booklet untuk dijadikan alat ukur yang sebenarnya.

2. Tahap pelaksanaan

Setelah skala penelitian lulus dalam uji validitas dan reliabilitas, maka aitem-aitemdalam skala tersebut disusun kembali. Selanjutnya, aitem-aitem yang sudah lulus penyaringan dijadikan alat pengumpulan data pada sampel penelitian. 3. Tahap pengolahan data

Setelah diperoleh data maka dilakukan pengolahan data. Untuk mempermudah penganalisaan data, data diolah dengan menggunakan SPSS 16.0 for Windows.

H. Metode Analisis Data

Azwar (2004) menyatakan bahwa pengolahan data penelitian yang sudah diperoleh dimaksudkan sebagai suatu cara mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga dapat dibaca dan dapat diinterpretasikan.

Data yang diperoleh akan diolah dengan analisis statistika. Alasan yang mendasari digunakannya analisis statistik adalah karena statistik dapat menunjukkan kesimpulan atau generalisasi penelitian.

Pertimbangan lain adalah (Hadi, 2002) : 1. statistik bekerja dengan angka

2. statistik bersifat objektif 3. statistik bersifat universal


(54)

Dalam penelitian ini, analisis statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran atau memberikan deskriptif mengenai subjek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh untuk kelompok subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis.

Data yang diperoleh akan diolah dengan metode analisis deskriptif. Data yang akan diolah yaitu skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi. Untuk lebih jelasnya pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS versi16.0 for windows


(55)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Bab ini akan menguraikan deskripsi umum subjek penelitian dan hasil penelitian yang berkaitan dengan analisis data penelitian dan sesuai dengan permasalahan yang ingin dilihat dari penelitan ini terhadap data yang ada.

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Subjek penelitian berjumlah 74 pasangan yang keseluruhannya merupakan pasangan perkawinan campuran Tionghoa - Indonesia. Berdasarkan skala yang diberikan kepada subjek penelitian, diperoleh deskripsi data sebagai berikut:

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Etnis atau Suku

Berdasarkan etnis atau suku, penyebaran subjek penelitian dapat digambarkan seperti pada tabel di bawah ini :

Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Etnis atau Suku

Suku atau Etnis Frequency Percent

Aceh 4 2.7

Batak 39 26.4

Jawa 19 12.8

Melayu 5 3,4

Padang 6 4,1

Sunda 1 0,7

Tionghoa 74 50.0


(56)

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa hasil penelitian gambaran secara umum dengan 148 orang yang melakukan perkawinan campuran Tionghoa-Indonesiaada7 etnis atau suku dimana pembagiannya adalahsuku Aceh terdapat 3 orang (2%), lalu sebanyak 39 orang yang bersuku batak (26,4%), sedangkan suku Jawa ada 19 orang (12,8%), orang yang berusuku Melayu ada 3 orang (2%), lalu suku Padang dan suku Sunda masing-masing ada sebanyak 5 orang (3,4%), dan yang terakhir merupakan sebagian dari total subjek penelitian ini yaitu etnis Tionghoa sebanyak 74 orang (50%).

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lamanya Perkawinan Berdasarkan lamanya perkawinan, penyebaran subjek penelitian dapat digambarkan pada tabel beikut in :

Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lamanya Perkawinan

Lamanya Perkawinan Frequency Percent

1 tahun – 10 tahun 32 43,2

10 tahun 1 bulan – 20 tahun

31 41,9

20 tahun 1 bulan – 30 tahun

11 14,9

Total 74 100

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa lamanya subjek pnelitian menjalankan perkawinan dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu 1 tahun – 10 tahun ada sebanyak 32 pasangan (43,2%), sedangkan 10 tahun 1 bulan – 20 tahun


(57)

ada 31 pasangan (41,9%), dan yang terakhir adalah 20 tahun 1 bulan – 30 tahun sebanyak 11 pasangan (14,9%).

B. Hasil Penelitian

Data dalam penelitian ini akan dianalisa secara deskriptif. Tujuan dari analisis ini adalah untuk menjelaskan karakteristik variabel yang diteliti, dalam hal ini adalah gaya resolusi konflik pada pasangan perkawinan campuran Tionghoa-Indonesia. Fungsi analisis deskriptif adalah menyederhanakan kumpulan data hasil pengukuran sedemikian rupa sehingga kumpulan data tersebut berubah menjadi informasi yang berguna.Secara teknis, analisis deskriptif merupakan kegiatan meringkas kumpulan data menjadi ukuran tengah dan ukuran variasi.Selanjutnya membandingkan data kelompok subjek satu dan lainnya (Hastono, 2001).

Data dalam penelitian ini adalah data numerik, maka analisis deskriptif yang akan disajikan adalah ukuran tengah meliputi nilai mean dan ukuran variasi meliputi standar deviasi, minimum dan maksimum.

Mean adalah angka rata-rata. Nilai maksimum dan nilai minimum digunakan untuk mengetahui range (selisih antara nilai maximum dan minimum). Nilai kuadrat penyimpangan dari nilai mean disebut dengan varian. Agar satuan varian sama dengan mean, maka dikembangkan ukuran variasi yang disebut dengan standar deviasi. Standar deviasi merupakan akar dari varian, dimana standar deviasi yang semakin besar menunjukan variasi yang semakin besar pula (Hastono, 2001).


(1)

Collaborative style menggambarkan pendekatan resolusi konflik dimana masing-masing pasangan saling memperhatikan kebutuhan atau kepentingan pasangannya.Gaya ini menekankan pada kepentingan hubungan pernikahan. Gaya ini juga biasa disebut gaya integrasi. Kesadaran terhadap kebutuhan diri sendiri dan pasangan serta kesediaan untuk berusaha berdamai merupakan kesempatan yang paling baik dalam resolusi konflik. Indivdiu yang menggunakan gaya ini memiliki asertif yang tinggi dalam mencapai tujuannya tapi memiliki perhatian terhadap tujuan orang lain (Killman dan Thomas dalam DeFrain, 2006).

Hasil lain dari peneilitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 31 pasangan Tionghoa - Indonesia (41,9 %) tidak terkategorikan dalam 5 gaya resolusi konflik, karena kemungkinan 31 pasangan tersebut tidak konsisten dalam menggunakan gaya resolusi konfliknya. Menurut Kuntaraf dan Kuntaraf (1999), masing-masing pasangan memiliki kecendrungan untuk menggunakan salah satu cara saja dalam menghadapi konflik. Ini disebabkan oleh kebiasaan, dimana apabila sudah terbiasa dengan menggunakan satu gaya untuk menghadapi konflik yang terjadi maka gaya itu juga yang akan digunakan untuk konflik-konflik selanjutnya. Setiap gaya akan efektif jika digunakan pada situasi atau kondisi yang tepat. Penggunaan gaya resolusi konflik yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi maka tidak akan menghasilkan penyelesaian konflik yang diharapkan. Oleh karena itu penting bagi pasangan untuk memahami semua gaya resolusi konflik sehingga dapat memilih gaya yang tepat dan disesuaikan dengan konflik yang dihadapi.


(2)

54

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab terakhir ini peneliti akan menjelaskan lebih lanjut peneilitian yang telah dilakukan. Bab ini terdiri dari dua bagian yaitu kesimpulan dan saran. Pada bagian kesimpulan terdapat rangkuman hasil analisis data yang ada pada bab sebelumnya., yang kemudian akan dikemukakan saran – saran penelitian untuk masa yang akan datang yang berkaitan dengan penelitian ini.

A. KESIMPULAN

Berikut ini akan dipaparkan kesimpulan yang diperoleh berdasarkan pembahasan hasil penelitian, yaitu :

1. Berdasarkan perhitungan nilai Z, diperoleh kesimpulan bahwa subjek penelitian gambaran gaya resolusi konflik pada pasangan perkawinan campuran Tionghoa–Indonesia yang terkategorisasi paling banyak menggunakan competitive style sebanyak 11 pasangan (14,9%), kemudian

collaborative style sebanyak 6 pasangan (8,1%) kemudian compromise style 9 pasangan (12,2%), accommodating style 9 pasangan (12,2%), dan yang terakhir adalah avoidance style 8 pasangan (10,8%).

2. Sementara sisanya sebanyak 31 pasangan tidak dapat dikategorisasikan, dikarenakan hasil olah data pasangan-pasangan tersebut tidak mencapai nilai z yang telah ditentukan yaitu sebesar 1,936. Hal ini disebabkan kemungkinan subjek tidak konsisten dalam menggunakan gaya resolusi konflik yang dihadapi.


(3)

B. SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, Penelitian ini tidak luput dari kekurangan baik secara metodologis ataupun secara praktis. Peneliti menyampaikan beberapa saran metodologis yang diharapkan nantinya dapat menjadi bahan masukan yang cukup berarti untuk penelitian selanjutnya. Berikut ini adalah beberapa saran metodologis yang penting untuk dipertimbangkan

1. Saran Metodologis

Berikut ini adalah beberapa saran metodologis yang penting untuk dipertimbangkan, yaitu:

a. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik melakukan penelitian yang berkaitan dengan judul ini, hendaknya dilakukan dengan metode kualitatif. Metode kualitatif akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam yang tidak bisa dijawab oleh penelititan ini.

b. Mengontrol proses pengisian skala yang dilakukan dirumah, dimana hal ini pasangan berpotensi tidak mengisi skala penelitian secara bersama-sama dan tidak memberikan jawaban yang sejujurnya. Kelemahan ini dapat menimbulkan kurang akuratnya data yang diperoleh karena tidak menggambarkan dengan tepat hal yang benar-benar dirasakan pasangan. Peneliti selanjutnya bisa mengontrol dan berkomunikasi lebih intens dengan subjek penelitian.


(4)

56

c. Penelitian selanjutnya hendaknya memperhatikan teknik sampling yang digunakan sehingga memungkinkan hasil penelitian dapat digeneralisasikan.

2. Saran Praktis

a. Berdasarkan dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa gaya resolusi konflik yang paling sering digunakan pada pasangan Tionghoa – Indonesia yang terkategori ada competitive style. Oleh karena itu, hendaknya pasangan lebih memahami karakteristik dari pasangannya masing-masing dan dapat mengembangkan pendekatan pemecahan masalah yang efektif dikarenakan competitive style termasuk gaya resolusi konflik yang destruktif yang dapat memperkeruh hubungan suami dan istri

b. Individu yang menikah beda etnis hendaknya dapat mengembangkan pendekatan pemecahan masalah yang efektif, memahami perbedaan pasangannya, mengembangkan pola resolusi konflik agar terhindar dari hal yang tidak diinginkan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (2001). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Azwar, S. (2004). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Devito. Joseph. (1997). Komunikasi Antar manusia. Jakarta: Professional Book. Duvall, E.M.,& Miller, B.C. (1985). Marriage and Family Development. 6th

Edition. New York: Harper & Row Publishers.

Donohue, W. A., and R. Kolt. 1992. Managing interpersonal conflict. Newbury Park, Calif: Sage Publications.

Dwijanti, J. E. (2000). Perbedaan penggunaan metode resolusi konflik pemutusan hubungan kerja (PHK) antara manajemen dan karyawan. Anima: Indonesian Psychological Journal, Vol. 15 No. 2, 131-148.

Hadi, S. (2000). Metodologi research. Yogyakarta: Andi Offset.

Hadi, S. (2002). Metodologi Research. Jilid 1. Yogyakarta: Andi Offset. Hadi, S. (2002). Metodologi Research. Jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset

Hastono, S.P. (2001). Analisis Data. Jakarta, Penerbit Pustaka Fakultas Kesehatan Masyarakat-UI.

Hariyono, P. (1993). Kultur Cina dan Jawa, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hasan, M. I. (2003) Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.

Jakarta: Ghalia Indonesia

Hendrick, S. S. and Hendrick, C. (1992) Liking, loving and relating (2nd edn.),

Pacific Grove, CA: Brooks/Cole

Hocker, J.L., & Wilmot, W.W. (2001). Interpersonal Conflict (6th Ed). New York: Mc Graw Hill Companies.

Liem, Yusiu. (2000). Prasangka Terhadap Etnis Cina. Jakarta: Djambatan

Lubis, M. Rajab. (1995). Pribumi Di Mata Orang Cina. Medan : Pustaka Widyasaran.


(6)

58

Killis. Grace. (2006). Dinamika Konflik Suami Istri pada Masa Awal Perkawinan. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Koentjaraningrat. (1981). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Matsumoto, David. (2004). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Mindes, Gayle. (2006). Teaching Young Children Social Studies. United States of America: Praeger Publishers.

Natalia, D., & Iriani, F. (2002). Penyesuaian Perempuan Non-Batak Terhadap Pasangan Hidupnya Yang Berbudaya Batak. Jurnal Ilmiah Psikologi. No.VII.27-36.

Olson, David H & Defrain, John. (2006). Marriages and Families: Intimacy,. Diversity, and Strengthts. (Ed. ke-5). Boston: McGraw Hill

Papalia, D. E., Old, S. W., & Feldman, R.D. (2004). Human Development. (10th Ed). USA: McGraw-Hill

Pruitt, Dean G., Rubin, Jeffrey Z. (2004). Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Safitri, Delonix. (2010). Asimilasi Kebudayaan Melalui Perkawinan Campuran Antara Warga Negara Jepang dengan Indonesia. Yokyakarta: AKPAR BSI.

Khasanah Ilmu,Vol.I.

Sears, D.O., Freedman, J.L., and Peplau, L.A. (1985) Psikologi sosial. Jakarta: Erlangga.

Simamora, Bilson. (2005).Analisis Multivariat Pemasaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Sugiarto. 2003, Teknik Sampling, Gramedia, Jakarta

Sunarto, Kamanto. (2004). Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Suryadinata, Leo. (1984). Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Pers. Tinambunan, D. (2010). Orang Batak Kasar? (Membangun Citra & Karakter).

Jakarta: Elex Media Komputindo

Triton Prawira. (2006). SPSS 13.0 Terapan Statistik Parametik. Jakarta: CV ANDI OFFSET